• Tidak ada hasil yang ditemukan

Progress Report VII. Pengadilan HAM Ad Hoc Tim-Tim

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Progress Report VII. Pengadilan HAM Ad Hoc Tim-Tim"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Progress Report VII

Pengadilan HAM Ad Hoc Tim-Tim

I. Masalah Administrasi yang berkaitan dengan sumberdaya Yudisial (Hakim)

Standar-standar Internasional yang berkenaan dengan suatu pengadilan independen menuntut pihak berwenang menyediakan sumber-daya yang memadai guna memungkinkan pengadilan agar mampu melaksanakan fungsi-fungsinya dengan layak.1

Dalam monitoring, ELSAM menemukan sejumlah masalah-masalah berkaitan dengan sumberdaya yudisial terhadap hakim pengadilan HAM ad hoc. Masalah-masalah ini berpotensial untuk menimbulkan efek langsung dalam gugurnya prinsip suatu pengadilan yang berkompeten. Dalam monitoring ini, ditemukan beberapa masalah terkait yaitu: kurangnya kuantitas (jumlah) hakim, kurangnya jumlah staf pembantu (panitera) hakim, kurangnya dukungan finansial yang memadai buat hakim (misalnya biaya transportasi, makan dll), kurangnya sumber daya material (ruang kerja, komputer, laptop, printer dll) tertundanya pemberian gaji, kurangnya fasilitas-fasilitas buku, referensi, perpustakaan, internet dll

• Kuantitas Hakim

Hasil monitoring ELSAM mencatat bahwa jumlah hakim dalam Pengadilan Ham Ad hoc untuk kasus Tim-tim ini adalah sebanyak 23 orang. Jumlah hakim ini digunakan untuk memeriksa sembilan berkas perkara dan untuk setiap berkas perkara dibutuhkan lima orang hakim. Dari jumlah hakim ini ternyata ada 17 orang hakim yang memeriksa lebih dari satu berkas perkara Komposisi ini menunjukkan bahwa sebagian besar hakim memeriksa lebih dari satu berkas perkara2 (lihat Tabel)

Daftar Hakim yang memeriksa lebih dari satu berkas perkara

No Nama Berkas yang diperiksa dan Jadwal

1 Andi Samsan Nganro • Kasus Sujarwo (Hakim Ketua) : selasa

1

Lihat Prinsip ke-7 dari prinsip-prinsip dasar tentang kemrdekaan Peradilan yag disetujui oleh kongres PBB ke-7 di Milan dan disahkan oleh Resolusi Majelis Umum 40/32 tanggal 29 November 1985 dan 40/146 tanggal 13 Desember 1985, yang secara tegas menyatakan bahwa “adalah setiap kewajiban negara anggota untuk menyediakan sumber-sumber yang memadai guna memungkinkan peradilan melaksanakan fungsi-fungsinya dengan tepat”.

2

Pengadilan HAM ad hoc untuk kasus Tim-Tim ini dilakukan secara marathon, pada hari senin, selasa, rabu dan kamis

(2)

• Kasus Tono Suratman (Hakim Ketua) : rabu 2 Rocky panjaitan • Kasus Adam Damiri (Hakim Anggota): Selasa

• Kasus Eurico Guterres (Hakim Anggota): Kamis 3 Adriani Nurdin • Kasus Hulman Gultom (Hakim Ketua): Rabu

• Kasus Noer Muis (Hakim Ketua): Rabu

4 Cicut Sutiarso • Kasus Asep Kuswani, Adios Salova, Leonito Martins (Hakim Ketua): Rabu

• Kasus Yayat Sudrajat (Hakim Ketua): Kamis 5 Rudi M Rizky • Kasus Adam Damiri (Hakim Anggota): Selasa

• Kasus Hulman Gultom (Hakim Anggota): Rabu • Kasus Noer Muis (Hakim Anggota): rabu

• Kasus Eurico Guterres (Hakim Anggota): Kamis 6 Kabul Supriadi • Kasus Sujarwo (Hakim Anggota): Selasa

• Kasus Endar Prianto (Hakim Anggota): senin • Kasus Tono Suratman (Hakim Anggota): Rabu 7 Heru Sutanto • Kasus Sujarwo (Hakim Anggota): Selasa

• Kasus Tono Suratman (Hakim Anggota): Rabu 8 Amiruddin Abudaera • Kasus Sujarwo (Hakim Anggota): Selasa

• Kasus Endar Prianto (Hakim Anggota): Senin • Kasus Tono Suratman (Hakim Anggota): Rabu 9 Winarno Yudho • Kasus Hulman Gultom (Hakim Anggota): Rabu

• Kasus Noer Muis (Hakim Anggota) : Rabu • Kasus Eurico Guterres (Hakim Anggota): Kamis 10 Komariah Emong • Kasus Adam Damiri (Hakim Anggota) : Selasa

• Kasus Eurico Guterres (Hakim Anggota): Kamis

11 Abdurrahman • Kasus Asep Kuswani, Adios Salova, Leonito Martins (Hakim Anggota): Rabu

• Kasus Jajat Sudrajat (anggota): Kamis

12 Muhammad Guntur Alfie • Kasus Asep Kuswani, Adios Salova, Leonito Martins (Hakim Anggota): Rabu

• Kasus Jajat Sudrajat (anggota) : Kamis

13 Rachmad Syafei • Kasus Asep Kuswani, Adios Salova, Leonito Martins (Hakim Anggota): Rabu

• Kasus jajat Sudrajat (anggota) : Kamis

14 Sulaiman Hamid • Kasus Adam Damiri (Hakim Anggota): Selasa • Kasus Endar Prianto (Hakim Anggota): Senin 15 Binsar Gultom • Kasus Sujarwo (Hakim Anggota): Selasa

• Kasus Tono Suratman (Hakim Anggota): Rabu

16 Jalaluddin H • Kasus Asep Kuswani, Adios Salova, Leonito Martins (Hakim Anggota).

• Kasus Jajat Sudrajat (angota) : Kamis 17 Kalelong Bukit • Kasus Hulman Gultom (Hakim Anggota).

(3)

Implikasi dari kondisi ini ialah bahwa beban bagi hakim-hakim yang memeriksa berkas perkara lebih dari satu berkas perkara akan mempunyai beban kerja yang lebih besar, di tambah lagi jika para hakim yang bersangkutan juga masih bertugas memeriksa perkara-perkara lain di luar pengadilan HAM ad hoc.3

Akibat dari adanya hakim yang memeriksa lebih dari satu berkas adalah pertama, pengadilan ini akan sulit untuk menentukan jadwal sidang yang baik karena dalam beberapa kali persidangan ditemukan bahwa sidang tidak dapat berjalan karena hakim yang kebetulan akan bersidang untuk kasus A misalnya, masih bersidang dalam kasus B. Kedua, Hakim akan kekurangan waktu untuk bisa lebih fokus pada berkas-berkas yang ditanganinya.

• Dukungan Administratif (staf pembantu para hakim)

Dalam kaitannya dengan dukungan teknis, salah satu hal yang dimonitoring adalah melihat dukungan staf pembantu terhadap hakim-hakim pengadilan dalam wilayah kerjanya. Dalam pengadilan ini ditemukan bahwa jumlah seluruh panitera dalam membantu hakim sebanyak 14 orang. jumlah itu di bagi untuk membantu hakim dalam sembilan berkas perkara. Ada beberapa panitera yang membantu hakim dalam persidangan lebih dari satu perkara dan panitera tersebut tidak terbagi secara merata dalam beberapa berkas. (lihat daftar panitera)

Daftar Panitera Pengadilan HAM Ad Hoc

No Nama Panitera Berkas yang di bantu

1 Sri Sunaryati Kasus Adam Damiri 2 Siti Agustiani Djamilah Kasus Adam Damiri 3 Pipit Rustami Kasus Soejarwo 4 Mahdi Kasus Hulman Gultom 5 Uripan Kasus Hulman Gultom 6 Mathius B Situru Kasus Asep Kuswani, Dkk

Kasus Tono Suratman 7 Rafitalina Kasus Endar Prianto 8 Parmin Kasus Endar Prianto 9 Churiah Saragih Kasus Tono Suratman 10 Lindawati Kasus Jajat Sudrajat 11 Yanwira Kasus jajat sudrajat 12 Ida Iskandar Kasus jajat sudrajat 13 Widiastuti Kasus Eurico guteres

14 Kasus M Noer Muis

3 Hasil monitoring terhadap Hakim pengadilan Ham ad hoc yang juga bersidang di luar kasus Tim-Tim

menunjukkan bahwa hakim-hakim yang berasal dari hakim karier masih juga banyak memeriksa berkas perkara di luar kasus Tim-Tim, yang jumlahnya mencapai puluhan berkas setiap harinya, seperti Andi Samsan Nganro, Andriani Nurdin, Binsar Gultom, Cicut Sutiarso, Emmy Marni Mustafa, dll.

(4)

Menurut ELSAM jumlah panitera ini, belum memadai karena dalam melaksanakan pekerjaan dalam membantu hakim pengadilan HAM ad hoc, beberapa panitera juga meembantu untuk kasus di luar sidang pengadilan HAM ad hoc. Hal ini menimbulkan keprihatinan, karena jadwal dan beban tugas hakim (dari paparan pertama) dalam memeriksa persidangan sudah terlihat sangat padat dan ditambah lagi dengan jumlah jumlah staf pembantu yang kurang memadai. Dengan kurangnya dukungan administratif bagi hakim ini maka para hakim tidak hanya akan melakukan segala riset legal, tetapi juga menulis, mengetik, mengedit, membaca ulang sendiri semua berkas pengadilan yang ditanganinya. Di samping itu kebutuhan administrasi yang seharusnya secara cepat diperlukan oleh hakim bisa menjadi tertunda, misalnya berkaitan dengan kebutuhan terhadap transkrip persidangan yang seharusnya dalam tempo yang cepat dapat diperoleh hakim.

• Fasilitas Perpustakaan yang Kurang Memadai

Fasilitas perpustakaan mencakup juga kebutuhan referensi dan internet merupakan suatu hal yang sangat penting. Semua hakim memerlukan fasilitas ini. Tetapi dalam proses pengadilan HAM Ad Hoc Tim-tim, ELSAM melihat bahwa kebutuhan ini tidak mampu difasilitasi secara mencukupi buat hakim.

Suatu perpustakaan pengadilan untuk para hakim pengadilan memang ditemukan di pengadilan, namun koleksi buku-buku yang sementara ini ada masih berkisar pada buku-buku hukum yang bersifat umum. Buku yang secara spesifik di butuhkan oleh para hakim dalam menyidangkan perkara pelanggaran HAM berat ini masih sangat minim. Terlebih lagi buku-buku standar tersebut jarang didapat dan sebagian besar berbahasa Inggris. Beberapa hakim biasanya secara swadaya dan mandiri untuk mencari bahan-bahan yang mereka butuhkan.

Bagi hakim-hakim ad hoc yang bekerja untuk Pengadilan HAM ad hoc, mungkin hal ini merupakan pengangkatan yudisial mereka yang pertama, namun bagi hakim-hakim karier yang sudah berpengalaman dalam menyidangkan perkara-perkara pidanapun, dalam mengadili Kasus Pelangaran HAM berat berdasarkan UU No 26 Tahun 2000 juga merupakan suatu pengalaman baru juga bagi mereka. Oleh karena itu maka referensi yang terkait dengan suatu peradilan Pelanggaran HAM berat dalam hal ini perkara Kejahatan Terhadap Kemanusiaan sangat penting dalam bagi para hakim ini dalam memeriksa perkara tersebut.

Dalam beberapa putusan sela hakim memang terlihat hakim sudah mencoba memasukkan beberapa yurisprudensi dan referensi internasional, namun memfasilitasi kebutuhan referensi yang lebih spesifik mengenai ICTY dan ICTR akan memberikan kontribusi yang penting bagi hakim.

• sumberdaya material

Berkaitan dengan sumber daya material, ELSAM melihat bahwa situasi sumberdaya materiel para hakim kurang memadai, seluruh hakim Pengadilan HAM ad hoc semuanya di satukan dalam satu ruangan.

(5)

Fasilitas komputer lebih-lebih lagi, terlalu sedikit jumlah komputer yang bisa digunakan dibanding dengan jumlah hakim yang ada. Komputer yang ada, tidak berjaringan untuk memampukan menajemen informasi yang efisien dari berbagai sumber daya. Dalam beberapa pengamatan, untuk mensiasati kebutuhan ini maka hakim memutuskan untuk menggunakan fasilitas pribadi mereka.

Ada juga masalah yang berkaitan dengan kebutuhan penginapan buat hakim, perlu diketahui bahwa karena sebagian besar hakim tidak berdomisili di Jakarta maka kebutuhan untuk fasilitas penginapan merupakan hal yang urgen dalam mendukung kerja-kerja hakim pengadilan. Untuk menangani kendala tersebut biasanya para hakim berusaha secara pribadi untuk mendapatkannya.

Masalah sistem penggajian dan tunjangan transport yang tidak menentu juga menjadi kendala bagi hakim. Dalam monitoring diketahui bahwa jumlah uang surat perintah perjalanan (SPJ) bagi para hakim adalah sebesar Rp 150.000 (seratus lima puluh ribu rupiah ) per hakim untuk sakali persidangan dan uang SPJ mencakup uang transportasi, penginapan hakim makan dll dan hal ini sering kali tertunda di terima oleh hakim.

II. Administrasi Persidangan

• Masalah Penundaan Persidangan

Kondisi terakhir dari monitoring yang dilakukan oleh ELSAM menunjukkan adanya penurunan proses persidangan yang secara umum hampir di semua berkas persidangan. Banyak sekali dilakukan penundaan-penundaan persidangan. ELSAM mencatat alasan penundaan-penundaan persidangan tersebut dikarenakan oleh : pertama, karena hakim tidak hadir dengan alasan beberapa hal. Kedua adalah karena jadwal persidangan yang sangat padat sehingga tidak mampu lagi menampung beban persidangan4 Ketiga, adalah karena saksi-saksi korban tidak dapat dihadirkan oleh jaksa penuntut umum. (lihat table penundaan sidang)

Jumlah penundaan Sidang

Berkas Jumlah Penundaan

Adam damiri 2 M Noer Muis 2 Tono Suratman 1 Soedjarwo 4 Eurico Gutteres 4 Asep Kuswani 2 Jajat Sudrajat 3 Endar priyatno 5 4

Hal ini berkaitan erat dengan jadwal hakim persidangan dan jumlah ruang sidang yang terbatas (lihat uraian mengenai masalah kuantitas hakim)

(6)

Hulman Gultom 1

• Terlambatnya proses persidangan

Dalam monitoring yang dilakukan oleh ELSAM seringkali terjadi keterlambatan pembukaan persidangan dari jadwal yang semestinya. Keterlambatan pembukaan persidangan ini terjadi diakibatkan oleh berbagai hal, seperti belum lengkapnya anggota majelis hakim, masih simpang siurnya ruangan yang akan digunakan untuk persidangan atau ruangan sidang yang akan digunakan masih digunakan untuk sidang perkara HAM lain.

Implikasi dari terlambatnya proses persidangan tersebut adalah tidak cukupnya waktu yang diperlukan untuk melakukan pemeriksaan terhadap saksi yang hadir, apalagi kalau misalnya saksi yang hadir dalam persidangan lebih dari satu orang. Dengan terbatasnya waktu yang tersedia, tentunya akan berpengaruh pula terhadap eksplorasi para pihak, dalam hal ini jaksa penuntut umum, hakim dan penasehat hukum dalam mengorek keterangan dari saksi sesuai dengan kepentingannya masing-masing.

III. Kendala Jaksa Penuntut Umum

Dalam hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia, yang membuktikan dakwaan adalah Jaksa Penuntut Umum dengan menghadirkan beberapa alat bukti yang sah, baik itu berupa saksi-saksi, maupun bukti lainnya. pada idealnya jaksa seharusnya berusaha semaksimal mungkin untuk membuktikan dakwaannya dan menguasai kasus yang diembankan kepadanya. kenyataan pada persidangan HAM ad hoc di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang sedang berlangsung saat ini, jaksa diindikasikan kurang maksimal dalam membuktikan dakwaannya. Kewajiban jaksa sebagai wakil negara untuk mendakwa para pelaku diidentifikasikan telah disimpangi. Beberapa indikator yang dapat digunakan untuk menilai tingkat keseriusan jaksa dalam membuktikan dakwaannya.

• Menghadirkan saksi korban

KUHAP mengatur bahwa dalam menghadirkan saksi, seyogyanya lebih dahulu dihadirkan di muka persidangan untuk diperiksa adalah saksi korban, baru kemudian saksi-saksi yang lain. Namun demikian, hal itu tidaklah mutlak.

Pentingnya saksi korban dalam pengadilan HAM ad hoc adalah untuk mengumpulkan fakta-fakta hukum, peristiwa apa saja sesungguhnya yang terjadi, dan bagaimana pengetahuan mereka ( yang dilihat, didengar) tentang peristiwa-peristiwa pelanggaran berat HAM di timtim, karena saksi ini adalah orang yang mengalami langsung pelanggaran HAM itu, atau setidak-tidaknya menyaksikan atau mendengar peristiwa itu karena mereka ada di sana pada waktu peristiwa terjadi.

Dalam monitoring, ELSAM menemukan bahwa Jaksa Penuntut Umum tidak berhasil menghadirkan saksi-saksi untuk mendukung dakwaannya. Ketidak hadiran dari saksi-saksi

(7)

korban yang diajukan oleh jaksa penuntut umum adalah lebih dikarenakan implikasi pertama akibat ketidak seriusan JPU sendiri sehingga gagal dalam memberikan kepercayaan bagi para saksi korban yang sebagian besar berada di Timor Lorosai, untuk datang dan memberikan kesaksiannya di pengadilan. Kedua adalah karena akibat tidak konsistennya JPU untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah No 2 Tahun 2002 tentang perlindungan saksi bagi pelanggaran HAM Berat.5

Daftar komposisi saksi yang diajukan oleh JPU (s.d. 30 September 2002)

Berkas Saksi Korban Saksi non korban

Adam damiri 1 3 M Noer Muis 5 9 Soedjarwo 1 8 Tono Suratman 1 9 Euriko Guteres 6 7 Asep Kuswani 2 11 Jajat Sudrajat 2 11 Endar priyatno 1 9 Hulman Gultom 4 11

Dalam proses persidangan kali ini, pentingnya saksi korban tampaknya tidak menjadi perhatian jaksa, seolah-olah JPU bangga apabila telah berhasil menghadirkan saksi yang notabene tidak dapat mendukung dakwaannya, bahkan yang lebih parah lagi, kehadiran saksi itu lebih menguntungkan terdakwa, sebab hampir semua saksi yang berhasil dihadirkan oleh JPU semuanya adalah anggota TNI/Polri. Bahkan keterangan para jaksa mengenai tidak dapat hadirnya para saksi korban sangat tidak memuaskan. Alasan yang dikemukakan JPU semuanya sama, bahwa Jaksa Agung Timor Lorosae tidak dapat menghadirkan saksi-saksinya dari Timor Lorosae dengan alasan mereka tidak mau menjadi saksi di Jakarta karena takut keamanannnya tidak terjamin.

Namun yang sangat memprihatinkan adalah, dengan tidak dapat dihadirkannya para saksi korban dari Timor Lorosae ini, tidak ada satupun JPU yang mengupayakan dengan upaya lain untuk menghadirkan saksi korban ini, seperti misalnya tidak ada upaya JPU untuk menjemput secara langsung para saksi korban dari Timor Lorosae atau mengupayakan dilakukannya teleconference ataupun mengusulkan supaya dilakukannya sidang ditempat.

• Tingkat eksplorasi Jaksa terhadap saksi-saksi (materi pertanyaan)

Idealnya seorang jaksa yang akan membuktikan dakwaannya setidak-tidaknya ia akan berusaha mencari fakta sebanyak-banyaknya dari saksi yang dihadirkan, mencoba untuk menggali keterangan-keterangan yang kiranya dapat membuktikan dakwaannya atau memiliki dasar

5

bila dikaitkan dengan PP perlindungan saksi maka hal yang paling penting harus difasilitasi bagi para saksi korban berkaitan dengan perlindungan fisik dan psikis mereka sebelum persidangan, saat persidangan dan sesudah persidangan, kemudian masalah yang menyangkut biaya transportasi dan akomodasi para saksi

(8)

argumen yang cukup terhadap dakwaanya. Akan tetapi idealnya seorang jaksa yang ulung dan berpengalaman tidak ditemukan dalam beberapa kasus yang diperiksa di pengadilan HAM ad hoc.

Hampir semua jaksa mengeksplorasi saksi dengan hanya berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam BAP. Sedangkan saksi-saksi dalam BAP tersebut kebanyakan adalah saksi-saksi yang mempunyai hubungan jabatan dengan terdakwa. Misalnya mantan bawahan atau atasan. Saksi-saksi dapat dikatakan mempunyai institusi yang sama dengan saksi. Dampaknya adalah semua keterangan saksi-saksi (dari BAP) itu lebih banyak membela terdakwa atau institusinya. Persidangan (pemeriksaan saksi) menjadi kelihatan sangat aneh, seharusnya saksi yang dihadirkan oleh jaksa adalah saksi memberatkan tapi dalam kenyataannya malah meringankan terdakwa. Sehingga agak percuma dalam menghadirkan saksi, karena secara substansi tidak memberikan keterang yang diharapkan untuk membuktikan dakwaan jaksa. Namun demikian, tampaknya jaksa tidak terlalu mempedulikan itu, jaksa seolah-olah merasa bebannya sudah terlepaskan ketika saksi datang, entah itu saksi dari mana, korban atau bukan. Dengan kata lain ‘yang penting saksi datang’.

Penggalian fakta yang hanya berdasarkan pertanyaan-pertanyaan dan keterangan-keterangan yang ada dalam berkas Acara Pemeriksaan tidaklah dapat membuktikan apa-apa mengenai keterkaitan terdakwa dengan peristiwa yang terjadi. Karena memang pada dasarnya pertanyaan-pertanyaan itu bersifat umum. Lagi pula, apabila ada keterangan yang kira-kira akan memberatkan terdakwa maka buru-buru saksi akan mencabut keterangan itu.

Penggalian fakta yang seperti itu sangatlah sulit untuk membuktikan dakwaan jaksa yang berupa tindak pidana crimes against humanity yang dikaitkan dengan tanggung jawab komando (command responsibility atau superior order). Pertanyaan jaksa cenderung bersifat teknis terhadap tindakan yang diambil oleh terdakwa pada waktu peristiwa terjadi karena pada umumnya – jaksa lebih menanyakan apakah tindakan terdakwa (atau bawahannya) sudah layak atau belum. Padahal ukuran layak tidaknya suatu tindakan yang diambil tidak ada indikator yang pasti, namun hanya berdasarkan persepsi jaksa, hakim, atau pembela terdakwa.

• Menghadirkan alat bukti lain selain saksi

Minimnya usaha jaksa tidak hanya pada saat menghadirkan saksi korban, tetapi juga menghadirkan alat-alat bukti lain seperti: surat, petunjuk dan lain-lainnya. dalam persidangan, saat ini hanya ada satu alat bukti yang dimunculkan jaksa yaitu: surat telegram dari pangdam udayana yang memerintahkan agar TNI dan Polri untuk mem-back up pro integrasi pada waktu peristiwa penyerangan di Gereja Liquisa tanggal 6 April 1999 (muncul pada persidangan Adam R. Damiri dan Tono Suratman).,tetapi sayangnya alat bukti itu pun masih dalam perdebatan karena keadaannya berupa photo copy dan tidak dibubuhi ‘tanda’ sebagai alat bukti yang sah. Oleh karena itu, alat bukti ini masih lemah dalam kedudukannya di KUHAP. Padahal berdasarkan keterangan salah satu anggota KPP HAM untuk Timtim, banyak sekali alat bukti yang diserahkan kepada jaksa, namun sampai sekarang alat bukti itu tidak pernah dihadirkan dalam persidangan.

(9)

Apabila jaksa berani untuk membuat terobosan hukum, Jaksa bisa menggunakan beberapa metode interpretasi terhadap KUHAP yang memang terlihat sangat lemah bila digunakan dalam memeriksa pelanggaran berat HAM. dengan interpretasinya jaksa bisa menghadirkan alat bukti lain, misalnya: menghadirkan bukti visual seperti rekaman video atau photo-photo, beberapa keterangan di media massa, bahkan bisa saja mencari dokumen-dokumen lain misalnya dengan memeriksa dokumen di mabes TNI atau Polri, jaksa mempunyai kekuasaan untuk itu. Namun sangat sayang, hal itu tidak dilakukan oleh jaksa.

Pada pemeriksaan saksi korban Manuel Carascalao dalam kasus Adam R. Damiri, ada rekaman video -- tentang peristiwa 17 April 1999 di Dilli -- yang diserahkan oleh Manuel Carascalao kepada majelis, dan selanjutnya bukti itu dilimpakan oleh majelis kepada jaksa untuk menerimanya. Namun demikian, sampai sekarang alat bukti itu entah bagaimana kabarnya tidak pernah ditindaklanjuti.

Jaksa dalam menghadirkan alat bukti sangat kaku dan terpaku pada KUHAP. Jaksa tidak berani untuk berusaha menciptakan preseden baru dalam proses pemeriksaan. Apabila jaksa masih terpatri pada KUHAP itu, maka pembuktian dakwaannya yang berupa tindak pidana crimes against humanity akan mengalami kesulitan.

• Keberanian jaksa dalam persidangan

Pada prinsipnya, suatu persidangan sepenuhnya dikendalikan oleh hakim. Tetapi itu lebih kepada hal-hal yang bersifat prosedural, hakim lebih mengendalikan bagaimana agar persidangan tetap tertib dan adil seimbang. Untuk hal-hal lain yang kiranya lebih mengarahkan saksi, berdasarkan pemantauan, jaksa tidak berani untuk menyatakan keberatan. Begitu juga untuk pertanyaan-pertanyaan yang tidak relevan untuk ditanyakan kepada saksi, jaksa tidak berusaha untuk meminta keberatan. Jaksa tidak bisa menjaga situasi atau kondisi dimana keterangan saksi yang sebenarnya dapat dikualifikasikan sebagai saksi a charge untuk tetap pada keterangannya seperti pada waktu pemeriksaan oleh penyidik, sehingga banyak saksi yang diajukan oleh jaksa yang mencabut keterangannya dalam BAP (berita acara pemeriksaan). Akibat dari hal ini adalah keterangan yang pada awalnya dapat mendukung surat dakwaan jaksa, ternyata ketika dilakukan pemeriksaan di pengadilan, keterangan saksi tersebut kebanyakan malah meringankan atau menguntungkan terdakwa (menjadi keterangan saksi a de charge) yang pada akhirnya melemahkan dakwaan itu sendiri.

IV.Terobosan Hukum Dari hakim ?

Hakim bertugas untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Oleh karena itu hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat6.

Dengan melihat fakta persidangan dimana JPU tidak berhasil menghadirkan para saksi korban ke persidangan ataupun minimnya alat bukti yang diajukan oleh jaksa penuntut umum dalam

6

vide pasal 27 UU No. 14 tahun 1970

(10)

mendukung dakwaannya, telah menimbulkan permasalahan baru, yaitu apakah persoalan ini harus didiamkan terus berlanjut sebagaimana adanya ataukah perlu dilakukannya terobosan hukum oleh hakim yang memeriksa perkara dalam pengadilan HAM Tim-Tim ini.. Padahal telah menjadi asas dalam hukum internasional bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan hostis humanis generis (musuh utama umat manusia) dimana terhadap pelakunya dapat diadili dimanapun dan kapanpun (asas universal) serta berlaku pula asas tiada kejahatan tanpa penghukuman. Dengan demikian, penyelenggaraan peradilan terhadap pelaku kejahatan kemanusiaan adalah menjadi kewajiban umat manusia dimanapun berada.

Memang menjadi dilematis bagi hakim ad hoc kasus pelanggaran HAM berat di tim-Tim dalam menjalankan tugasnya. Disatu sisi jaksa penuntut umum tidak berhasil menghadirkan saksi korban dan mengajukan alat bukti yang diperlukan, dan disisi lain pula hakim mengetahui bahwa banyak barang bukti yang masih bertebaran di tempat lain yang dapat digunakan sebagai sebagai barang bukti.

Untuk menjawab persoalan tersebut memang hukum positif Indonesia belum mengaturnya jelas secara jelas dan konkrit, yaitu apakah hakim dalam tugasnya menemukan kebenaran materiil dapat melakukan hal-hal yang sebenarnya belum diatur dalam hukum positif Indonesia- tetapi menjadi suatu kebutuhan yang mendesak mengingat bahwa perkara ini bukan perkara bisa, tapi merupakan perkara kejahatan terhadap kemanusiaan- seperti misalnya mencari barang bukti lain yang tidak diajukan jaksa penuntut umum padahal barang bukti tersebut ada7 atau menetapkan untuk dilakukannya teleconference8 dengan alasan bahwa jaksa penuntut umum kesulitan untuk menghadirkan saksi korban ataupun melakukan sidang di tempat (di Timor Lorosae) untuk memudahkan menghadirkan saksi korban.

Untuk mengatasi permasalahan seperti yang disebutkan di atas, hal yang paling memungkinkan dilakukan majelis hakim adalah dengan melakukan pemeriksaan perkara di luar gedung pengadilan negeri atau melakukan sidang di tempat/ plaatsonderzoek sebagaimana dapat disimpulkan dari ketentuan pasal 230 ayat 4 KUHAP bahwa sidang pengadilan disamping dilakukan di ruang sidang pada pengadilan negeri, dapat pula dilakukan diluar gedung pengadilan.9 Artinya proses persidangan ini selain dapat dilaksanakan di gedung pengadilan negeri (dalam perkara ini pengadilan negeri Jakarta Pusat), dapat pula dilaksanakan di luar gedung pengadilan negeri, seperti misalnya dilakukan di tempat-tempat kejadian perkara yang disebutkan JPU dalam surat dakwaannya (rumah Manuel Carascalao dan rumah kediaman pastur Rafael) atau melaksanakan sidang di tempat/di Timor Lorosae (plaatzonderzoek), dengan tujuan

7 Misalnya dalam kasus Adam Damiri dimana salah seorang anggota majelis hakim mengajukan laporan khusus dari

penguasa darurat militer Tim-Tim Letjend TNI Kiki Syahnakrie kepada Panglima TNI yang disebutnya sebagai kebebasan hakim dalam mencari petunjuk untuk kepentingan persidangan.

8 Di dalam KUHAP mengenai hal ini sama sekali belum diatur. Pasal 185 ayat 1 KUHAP menyatakan bahwa

keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah adalah apa yang saksi nyatakan di depan sidang pengadilan. Mengenai masalah teleconference ini pernah dilakukan dalam kasus korupsi dana Bulog dengan terdakwa Rahardi Ramelan, dimana teleconference dilakukan pada waktu pemeriksaan saksi B.J Habibie yang berada di Jerman dengan pengadilan negeri Jakarta Selatan.

9

Ratna Nurul Afiah, S.H, dalam bukunya “Barang Bukti Dalam Proses Pidana”, Sinar Grafika, February 1989 hal 178. Lengkapnya Pasal 230 ayat 4 tersebut berbunyi” apabila sidang pengadilan dilangsungkan diluar gedung pengadilan, maka tata tertib sejauh mungkin disesuaikan dengan ketentuan ayat 3 tersebut di atas”.

(11)

untuk lebih memudahkan menghadirkan saksi-saksi korban yang kebanyakan berasal dari Timor Lorosae, sehingga keterangan saksi korban ini dapat didengar oleh para pihak (hakim, jaksa, penasehat hukum dan terdakwa).

Mengenai pelaksanaan sidang di luar gedung pengadilan negeri ini diatur dalam instruksi bersama Ketua Mahkamah Agung RI, Menteri Kehakiman RI dan Jaksa Agung RI No. KMA/35/1981, No. M.01.PW.07.10 tahun 1981, No. INSTR.001/JA/3/1981 tentang Peningkatan Tertib Penyidangan dan Penyelesaian Perkara-Perkara Pidana, yang antara lain menyebutkan bahwa pelaksanaan sidang dapat juga dilakukan diluar tempat kedudukan pengadilan negeri, di tempat kejadian, di tempat beradanya kebanyakan saksi dan atau terdakwa ditahan dalam rangka mendekatkan peradilan kepada pencari keadilan.

Pemeriksaan atau sidang di tempat dalam hal ini di tempat kejadian perkara dan banyaknya saksi korban berada- dapat dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut10:

• prakarsa pelaksanaannya dapat datang dari jaksa ataupun hakim yang berwenang; • pemrakarsa berkewajiban mempersiapkan sarana-sarana untuk pelaksanaan fisiknya

• masing-masing instansi memikul biaya yang ditimbulkan, termasuk biaya perjalanan dan lain-lain sesuai dengan anggaran yang tersedia untuk itu

Dengan demikian, melihat fakta dan kondisi proses persidangan dalam kasus pelanggaran HAM berat di tim-tim tersebut, semestinya jaksa penuntut umum maupun majelis hakim mau melakukan terobosan untuk melaksanakan sidang di tempat (plaatsonderzoek). Hal ini dilakukan dengan alasan bahwa jaksa penuntut umum tidak mampu lagi untuk menghadirkan saksi-saksi korban dari Timor Lorosae dan alat bukti yang diperlukan dalam proses persidangan sangat minim. Apabila sidang di tempat (plaatsonderzoek) ini dilakukan, tentunya kebenaran yang diharapkan dari proses persidangan ini adalah kebenaran materiil dimana pihak-pihak yang berkepentingan dalam perkara ini (jaksa, hakim, penasehat hukum, terdakwa) saling mempertahankan argumentasi hukumnya secara seimbang sesuai dengan fakta-fakta dan bukti-bukti (termasuk kesaksian dari saksi korban) yang terungkap di persidangan, sehingga keputusan yang diambil oleh majelis hakimpun dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat (terutama korban), tidak semata-mata yang hanya memenuhi kepastian hukum belaka.

Berkaitan dengan permasalah diatas, posisi hakim menjadi sangat penting untuk berani melakukan langkah-langkah strategis bukan saja “telah” mengambil alih peran jaksa dalam proses pemeriksaan terhadap saksi tapi juga keberanian hakim untuk melakukan berbagai terobosan hukum dalam kerangka untuk mencari kebenaran material. Selama persidangan berlangsung, persoalan formal (prosedur) yang banyak menjadi penghambat. Kelemahan hukum acara menjadi tameng yang efektif (shielding)untuk menghambat proses peradilan ke arah pencarian fakta secara komprehensif untuk memperoleh kebenaran materil.11

10 Ibid, hal 179. Pemeriksaan di tempat ini pernah dilakukan oleh hakim pengadilan negeri Jakarta Selatan dalam

memeriksa perkara pembunuhan Ny. Dietje Budiasih atas terdakwa Pak De, yaitu dengan melakukan pemeriksaan di tempat tinggal terdakwa di kampung Susukan Pasar Rebo Jakarta Selatan dan di tempat kejadian perkara di jalan Dupa, Kalibata, Jakarta Selatan.

11

Asas pemeriksaan perkara pidana adalah untuk mencari kebenaran materil atau “kebenaran sejati”, bukan mencari kebenaran formil. Dalam upaya memperoleh kebenaran materil tersebut hakim mempunyai kewenangan yang

(12)

Hakim, dalam posisi ini, menjadi bagian penting dari proses kearah penemuan kebenaran materil tersebut, disini terdapat asas keyakinan hakim.12 Asas ini, sesuai dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wetteljk), dalam menilai salah tidaknya seorang terdakwa, memberi kebebasan sepenuhnya kepada hakim untuk menilai kekuatan pembuktian yang diperolehnya di persidangan. Bahkan asas keyakinan hakim ini sendiri dapat melumpuhkan semua kekuatan pembuktian yang diperoleh di sidang pengadilan.

Dalam proses persidangan kasus pelanggaran HAM berat di Tim-tim sendiri hakim mempunyai kewenangan untuk melakukan upaya-upaya ke arah penemuan kebenaran meteril. Persoalan yang muncul kemudian adalah apakah hakim dapat menggali atau melakukan upaya mencari barang bukti diluar berkas perkara yang di ajukan oleh jaksa demi untuk mencari kebenaran materil.

Misalnya dalam pemeriksaan terhadap kasus Adam Damiri, penesehat hukum terdakwa menyatakan protes keras karena menganggap hakim telah menggunakan bukti yang dianggapnya illegal dan mengabaikan aturan mengenai penemuan dan penggunaan barang bukti di pengadilan dengan menggunakan bukti yang sebelumnya tidak diajukan oleh JPU untuk berkas tersebut, melainkan untuk berkas yang lainnya.13 Hakim dianggap melakukan tindakan yang tidak imparsial karena dianggap mencari bukti-bukti guna mencari letak kesalahan terdakwa.

Sebenarnya protes keras itu menjadi tidak begitu beralasan karena, pertama, kasus Tim-Tim ini merupakan satu kasus yang secara prinsip tidak terpisahkan yaitu kasus Kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di Tim-Tim, pemilahan kasus menjadi beberapa berkas tersebut pada dasarnya adalah untuk memudahkan prosedur dakwaan semata, yang dibatasi oleh keterbatasan sumber daya dan waktu; Kedua, bukti yang diajukan oleh hakim tersebut digunakan oleh hakim sebagai bukti petunjuk, dan ini dibenarkan oleh KUHAP.14

Dengan alat bukti minimal yang bisa diajukan oleh jaksa- yang sebetulnya adalah pihak yang bertanggung jawab untuk membuktikan dakwaannya- telah mendorong hakim untuk melakukan upaya penemuan bukti-bukti diluar yang diajukan oleh jaksa. Hakim mempunyai pengetahuan tidak sebatas dari apa yang diajukan oleh jaksa, dan pengetahuan hakim itu bisa diperoleh dari mana saja. Penemuan bukti-bukti oleh hakim secara formal tidak bisa dijadikan sebagai alat bukti yang sah menurut hukum kalau memang tidak melalui prosedur yang ditentukan oleh

diberikan oleh undang-undang untuk menggali atau menemukan fakta yang sebenarnya atas sebuah peristiwa pidana.

12

Pasal 183 KUHAP menyatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali bila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwanya lah yang bersalah melakukannya. Dari ketentuan ini ada hal yang sama yaitu bahwa pembuat undang-undang merumuskan pasal 183 KUHP ditujukan untuk mewujudkan suatu ketentuan yang seminimal mungkin dapat menjamin ” tegaknya kebenaran sejati”, serta tegaknya keadilan dan kepastian hukum.

13

Supra note 7

14 Lihat Pasal 184 ayat 1 KUHAP

(13)

undang-undang. Bukti-bukti atau penemuan hakim hanya bisa dimintakan klarifikasi atau konfirmasi terhadap saksi, terdakwa maupun saksi ahli.15

Hakim mempunyai kewenangan untuk melakukan rechtsvinding sesuai dengan pasal 27 UU No. 17 Tahun 1970 Tentang kekuasaan Kehakiman. Ketentuan ini merupakan landasan hukum bagi hakim untuk melakukan terobosan hukum atau menggali norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat.16 Persoalan-persoalan hukum yang muncul dalam pengadilan HAM ini menjadi relevan untuk mengkaitkannya dengan kewengan hakim untuk melakukan “penemuan hukum”. Ditengah kelemahan KUHAP dan tuntutan agar pengadilan HAM berstandar internasional, pihak yang paling punya kewenangan untuk “menafsirkan hukum” adalah hakim pengdilan HAM itu sendiri.

Keberanian hakim untuk melakukan terobosan hukum terhadap hukum acara-termasuk mengajukan bukti diluar berkas, yang meskipun ditentang oleh penasehat hukum- adalah sangat positif dalam kerangka untuk mencari kebenaran materil dan pencapaian keadilan bagi korban.

Jakarta, 7 Oktober 2002.

15 Proses ini bisa mengarah pada persesuaian dengan alat bukti yang lain sehingga bisa dijadikan sebagai sebuah

petunjuk bagi hakim. Alat bukti petunjuk pada umumnya baru diperlukan apabila alat bukti yang lain belum mencukupi batas minimum pembuktian yang digariskan pasal 183 KUHAP.

16

Hakim dapat menggali norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat internasional, dalam hal ini praktek-praktek peradilan internasional terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat.

Referensi

Dokumen terkait

Rataan persentase motilitas, viabilitas, abnormalitas, konsentrasi, total spermatozoa motil, integritas membran dan status kapasitasi (belum kapasitasi, kapasitasi dan reaksi

Pada tabel di atas nilai sig variable DPK = 0.7675 > 0.05 sehingga H0 tidak ditolak, yang berarti variable independen DPK secara parsial tidak berpengaruh signifikan

Taong 1543 dumating si aong 1543 dumating si Villalobos sa pulo ng Leyte. Siya Villalobos sa pulo ng Leyte. Siya ang nagpangalan sa ang nagpangalan sa ating bansa ng Felipinas

dengan daftar isian dokumen kualifikasi perusahaan saudara pada aplikasi SPSE, yang akan. dilaksanakan

Hasanah, et al., Menurunkan Derajat Flebitis akibat Terapi Intravena pada Anak dengan Kompres Aloe Vera 27.. Aloe vera menjadi (1,07) dengan skor minimum- maksimum (0

[r]

For the example of monitoring grape canopy at the early stage of grape ripening (Figure 1), the data acquired with a lightweight and low-cost multi-echo line

[r]