• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I. PENDAHULUAN Latar Belakang"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

I.

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang

Pemanfaatan lahan dataran tinggi untuk pertanian menunjukkan

kecenderungan (

trend

) yang meningkat, seiring dengan meningkatnya konversi

lahan pertanian produktif ke pemanfaatan non pertanian di dataran rendah.

Dariah (2007) menegaskan bahwa 45% wilayah Indonesia adalah perbukitan dan

pegunungan sehingga pemanfaatan lahan dataran tinggi untuk pertanian menjadi

sangat strategis manakala lahan pertanian di dataran rendah tidak dapat

dipertahankan lagi.

Pemanfaatan lahan dataran tinggi untuk pertanian, mampu menghasilkan

berbagai jenis tanaman seperti hortikultura, perkebunan, pangan dan hasil

peternakan. Selain memberikan manfaat ekonomi bagi jutaan petani, lahan

dataran tinggi juga berperan penting dalam menjaga fungsi lingkungan daerah

aliran sungai (DAS) dan penyangga daerah di bawahnya. Perubahan bentuk

penutupan lahan dari hutan menjadi lahan pertanian atau ke pemanfaatan

lainnya seperti perumahan, menyebabkan peluang terjadinya erosi di wilayah ini

sangat tinggi. Curah hujan, kemiringan lereng dan kondisi tanah yang tidak

stabil sangat menentukan besarnya erosi yang terjadi di dataran tinggi (Truman

et al

., 2003). Oleh karena itu pemerintah menetapkan berbagai undang-undang

dan peraturan agar laju perubahan fungsi kawasan lindung menjadi kawasan

budidaya di wilayah dataran tinggi tidak semakin meluas.

Penerapan teknik pengelolaan yang tidak tepat akan menyebabkan

terjadinya eksploitasi lahan dataran tinggi secara berlebihan dan menimbulkan

kerusakan lingkungan yang meluas. Publikasi laporan mengenai kerusakan

lingkungan yang terjadi akibat eksploitasi dan kesalahan dalam pengelolaan

agroekosistem lahan dataran tinggi telah banyak beredar. Sebagian besar

menegaskan bahwa telah terjadi degradasi kualitas lahan dan air yang cukup

parah dan menimbulkan dampak yang tidak bisa diabaikan terhadap kehidupan

masyarakat setempat maupun masyarakat yang lebih luas di bagian hilir. Reed

(2002) memperkuat hal tersebut dengan menyatakan bahwa masalah degradasi

lingkungan telah menjadi gejala umum dalam masyarakat perdesaan di negara

berkembang, terutama dalam masyarakat yang masih dihadapkan pada masalah

pemenuhan kebutuhan dasar dan kemiskinan.

(2)

2

Sedikitnya terdapat empat hal yang mencerminkan kondisi pertanian di

lahan dataran tinggi pada saat ini.

Pertama

, usahatani semakin tidak

menguntungkan bagi petani sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan ekonomi

keluarganya.

Kedua

, menurunnya daya dukung lingkungan yang ditunjukkan

oleh meningkatnya kerusakan lingkungan dan rendahnya produktivitas lahan.

Ketiga

, meningkatnya curah hujan bulanan pada waktu-waktu tertentu akibat

anomali iklim yang memicu terjadinya ledakan serangan hama penyakit tanaman

sehingga mengakibatkan gagal panen dan kerugian materi yang tidak sedikit

(Anyamba

et al

., 2006).

Keempat

, hilangnya kemampuan masyarakat untuk

membangun modal sosial (

social capital

) sehingga mereka tidak mampu

mengendalikan terjadinya kerusakan lingkungan dan sangat tergantung kepada

modal usaha yang berasal dari luar.

Meskipun budidaya pertanian di lahan dataran tinggi menghadapi

permasalahan yang kompleks, tetapi masyarakat lokal terutama petani tetap

berusaha mempertahankannya. Upaya pemerintah untuk mengembalikan lahan

dataran tinggi sebagai kawasan lindung dengan cara menghutankan kembali,

menjadi alternatif penyelesaian yang sulit dilakukan. Bagi petani, bertani adalah

cara hidup (

way of life

) dan bagi pemilik lahan, kepemilikan atas tanah adalah

segalanya (harga diri) sehingga harus dipertahankan (Pranadji, 2006). Relokasi

lahan membutuhkan biaya yang besar, yaitu biaya ganti rugi tanah dan biaya

sosial yang ditimbulkan oleh penolakan masyarakat.

Pada batasan-batasan tertentu dan jika dikelola berdasarkan

prinsip-prinsip berkelanjutan, sebenarnya lahan dataran tinggi berpotensi sangat besar

sebagai penghasil pangan yang ramah lingkungan (Hidayat dan Mulyani, 2002).

Dalam pelaksanaannya, tetap harus memperhatikan: kesesuaian jenis

pemanfaatan dengan kondisi lahan dan peraturan yang berlaku, pengendalian

terhadap sumber utama penyebab lahan menjadi kritis, budidaya konservasi

demi keberlanjutan fungsi-fungsi dalam ekosistem, kondisi

sosial-ekonomi-budaya petani pengelola lahan, jenis tanah dan agroklimat setempat serta

prospek pengembangan kawasan sebagai sistem produksi pangan.

Berdasarkan hal-hal yang telah disebutkan di atas, diperlukan satu model

pengelolaan agroekosistem yang dapat memberikan kepastian penghasilan bagi

peningkatan kesejahteraan petani dan masyarakat sekitarnya, menjaga stabilitas

sosial yang dinamis dan mempertahankan kelestarian lingkungan. Untuk itulah

perlu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk merumuskan model pengelolaan

(3)

agroekosistem yang berkelanjutan. Model pertanian berbasis ekologi

(

ecofarming

) sebagai hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi

rekomendasi untuk kebijakan pembangunan pertanian lahan dataran tinggi yang

saat ini sedang menghadapi permasalahan yang kompleks.

1.2.

Perumusan Masalah

Dataran tinggi memiliki fungsi lindung utama sebagai daerah tangkapan

air (

wate

r

catchment area

). Fungsi tersebut diyakini hanya dapat berlangsung

jika vegetasi yang tumbuh di atas permukaannya adalah tanaman tahunan atau

vegetasi hutan. Perakaran tanaman tahunan yang dalam memiliki kemampuan

untuk meresapkan air ke dalam tanah dan menahan tanah dari erosi permukaan.

Namun kenyataannya luasan kawasan lindung di dataran tinggi terus berkurang,

berubah menjadi kawasan budidaya untuk pemanfaatan pertanian dan

pemukiman. Masyarakat cenderung mengabaikan risiko kerusakan lingkungan

yang dapat ditimbulkan akibat perlakuan tersebut.

Demikian halnya dengan lahan dataran tinggi yang terdapat di wilayah

penelitian. Kawasan dengan kemiringan lereng < 40% sebagian besar telah

dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai lahan pertanian. Kondisi topografi

wilayah yang berbukit-bergunung membuat masyarakat tidak memiliki alternatif

lokasi lain untuk kegiatan pertaniannya. Budidaya secara intensif dalam jangka

waktu yang lama seperti di Kecamatan Lembang dan Kecamatan Dongko telah

menimbulkan masalah serius baik ditinjau dari aspek ekologi, sosial maupun

ekonomi.

Dari aspek ekologi, permasalahan terjadi akibat pola usahatani yang

dilakukan bersifat monokultur, didominasi oleh tanaman semusim dan jenis

komoditas yang dibudidayakan sangat terbatas. Masyarakat juga belum

melakukan tindakan konservasi yang memadai meskipun lahan pertanian

mereka berlokasi di lahan yang miring. Bahkan ditemukan indikasi meluasnya

kawasan budidaya di lahan dataran tinggi sejalan dengan dibukanya kerjasama

Perhutani dengan masyarakat desa sekitar hutan untuk memanfaatkan sebagian

hutan untuk kegiatan pertanian. Sehingga tidak mengherankan jika laju erosi

meningkat seiring dengan meluasnya areal terbuka di wilayah dataran tinggi.

Erosi dapat mengakibatkan degradasi lahan pertanian dataran tinggi,

pendangkalan sungai dan terganggunya sistem hidrologi daerah aliran sungai

(DAS) yang mendorong terjadinya banjir dan kekeringan di bagian hilir. Bencana

banjir dilaporkan telah menenggelamkan sebagian besar wilayah Kabupaten

(4)

4

Trenggalek pada awal tahun 2006, 2007 dan 2008. Demikian pula kejadian

banjir yang terjadi disekitar DAS Cikapundung dan DAS Citarum Jawa Barat.

Fenomena ini menjadi peristiwa rutin yang selalu dihadapi masyarakat setiap

musim hujan. Keadaan tersebut membuktikan bahwa erosi yang terjadi di bagian

atas wilayah tersebut tidak hanya mengakibatkan terbentuknya lahan kritis,

namun juga menimbulkan sedimentasi yang menghambat aliran air di sepanjang

alur drainase sehingga mengakibatkan banjir (Siswanto dan Suharjono, 2006).

Penelitian Poerbandono

et al

., (2006) menyebutkan laju sedimentasi di DAS

Citarum hulu telah meningkat dua kali lipat selama satu dasawarsa, ditunjukkan

oleh peningkatan laju sedimentasi tahunan dari sebesar 1,18 juta ton pada tahun

1993 menjadi sebesar 2,15 juta ton pada tahun 2003.

Erosi juga mengakibatkan hilangnya lapisan

top soil

yang subur sehingga

menjadi pemicu meningkatnya penggunaan pupuk kimia di lahan pertanian.

Untuk wilayah Kecamatan Lembang, pemakaian pestisida secara berlebihan

diduga telah meninggalkan residu yang mencemari produk sayuran yang

dihasilkan. Semua hal tersebut menyebabkan menurunnya kapasitas daya

dukung lingkungan.

Diperhatikan dari aspek ekonomi, keuntungan yang diperoleh pada saat

panen seringkali tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Beberapa

faktor yang diduga menyebabkan rendahnya margin keuntungan yang diterima

oleh petani yaitu:

a. Karakteristik produk pertanian yang cepat rusak dan membutuhkan tempat

yang luas (

voluminous)

menyebabkan harganya sangat fluktuatif tergantung

musim.

b. Rantai pemasarannya yang panjang, melibatkan lebih dari satu tingkat

pedagang pengumpul, pedagang grosir, prosesor dan pedagang pengecer

menyebabkan harga sayuran di tingkat petani umumnya sangat rendah

dibandingkan dengan harga di tingkat pengecer. Belum lagi biaya tak

terduga yang timbul dari pengutan liar yang dilakukan oleh oknum-oknum

tertentu.

c. Penguasaan lahan yang sempit menyebabkan usaha tani dilakukan tanpa

manajemen pengelolaan lahan yang memungkinkan tercapainya skala usaha

ekonomis. Hal ini mengakibatkan terjadinya inefisiensi yang tinggi dan

sulitnya menjaga kontinuitas produksi baik kuantitas maupun kualitasnya.

(5)

d. Budidaya intensif mengakibatkan tingginya biaya produksi yang harus

dikeluarkan petani untuk benih, pupuk, pestisida dan pengolahan tanah.

Untuk mendapatkan modal usahanya petani seringkali harus menjual

produksinya secara ijon.

Namun demikian, bagi petani di Kecamatan Lembang dan Kecamatan

Dongko, bertani bukan semata-mata mencari keuntungan ekonomi. Bertani

adalah suatu cara kehidupan, oleh karenanya tetap dilakukan meskipun tidak

selalu memberi keuntungan materi. Ditinjau dari aspek sosial, hal ini juga

menimbulkan beragam permasalahan. Seperti misalnya: munculnya konflik

dalam kehidupan sosial masyarakat akibat lemahnya kualitas SDM (sumberdaya

manusia) dan tidak berfungsinya kelembagaan lokal sebagai dasar kekuatan

komunitas untuk membangun modal sosial masyarakat. Kondisi umum dan

permasalahan yang dihadapi saat ini oleh masyarakat di lokasi penelitian secara

ringkas dapat dilihat pada Gambar 1.1.

1.3.

Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah membuat model

ecofarming

di lahan

dataran tinggi yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai lahan pertanian.

Untuk mencapai tujuan utama tersebut, dilakukan tahapan penelitian dengan

pencapaian setiap tahapan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Menetapkan indeks dan status keberlanjutan usahatani saat ini

(existing)

.

2. Menetapkan variabel-variabel dominan model

ecofarming

berdasarkan

analisis 5 sub model

.

3. Menetapkan desain model

ecofarming.

4. Mengetahui hasil simulasi model

ecofarming.

5. Menetapkan alternatif rekomendasi skenario strategis

ecofarming

untuk

rancangan kebijakan pembangunan pertanian

.

(6)

6

Gambar 1.1. Permasalahan dan Kondisi Umum di Lokasi Penelitian

Lahan Dataran Tinggi Berlereng Pertanian

Ekonomi Sosial Ekologi

Penguasaan lahan sempit/sewa/buruh

Biaya input produksi tinggi Harga fluktuatif

Rantai pemasaran yang panjang Pungutan liar

Kelembagaan lokal tdk berkembang

Kualitas SDM rendah Konflik sosial

Fasilitas & infrastruktur terbatas

Tingginya angka pengangguran

Meluasnya konversi lahan Erosi

Pencemaran oleh residu pestisida di tanah, air dan produk

Pola usaha dan jenis komoditas terbatas

Tidak ada perlakuan konservasi lahan dan air

Menurunnya daya dukung lingkungan Anomali iklim yang sulit diprediksi

sehingga petani sering merugi Hilangnya kemampuan masy.

membangun modal sosial Usahatani tidak cukup untuk

memenuhi kebutuhan keluarga

(7)

1.4.

Kerangka Pemikiran

Intensitas pemanfaatan lahan dataran tinggi di Pulau Jawa, terutama

Jawa Barat dan Jawa Timur pada saat ini sudah sangat tinggi. Padahal,

kegiatan membuka lahan dataran tinggi dan memanfaatkannya untuk pertanian

tanaman semusim sangat berisiko terhadap lingkungan. Tekanan jumlah

penduduk yang membutuhkan pangan dan lapangan pekerjaan serta target

pencapaian PAD (pendapatan asli daerah) seringkali menjadi penyebab

sebagian besar lahan dataran tinggi di Indonesia, terutama di Pulau Jawa

berubah fungsi dari kawasan lindung menjadi kawasan budidaya. Sebagian

besar berubah menjadi lahan pertanian tanaman semusim seperti yang terjadi di

Kecamatan Lembang dan Kecamatan Dongko.

Karakteristik petani di wilayah yang terletak pada ketinggian lebih dari

1.000 m dpl seperti di Kecamatan Lembang, biasanya menanam berbagai jenis

sayuran. Pada wilayah yang ketinggiannya lebih rendah (< 900 m dpl) seperti di

Kecamatan Dongko, petani menanami lahannya dengan tanaman pangan seperti

ubi kayu dan jagung.

Konversi daerah konservasi di dataran tinggi juga tidak terlepas dari

tekanan semakin sulitnya mendapatkan tanah di dataran rendah untuk kegiatan

pertanian. Pemerintah daerah menggunakan alasan kesesuaian lahan dan

agroklimat, tingginya aktivitas pembangunan fisik di dataran rendah dan

meningkatnya jumlah penduduk, serta kebutuhan pangan nasional dan peluang

pasar komoditas pertanian sebagai penyebab meningkatnya konversi lahan

dataran tinggi. Target pencapaian PAD juga berpengaruh terhadap tingginya laju

konversi lahan pertanian produktif di dataran rendah menjadi bentuk usaha lain

yang dianggap lebih menguntungkan. Semua itu mengakibatkan peraturan

daerah mengenai RTRW yang sudah dibuat sebelumnya untuk mengatur

pemanfaatan ruang dan wilayahnya, tidak lagi dipatuhi.

Hal ini jelas bertentangan dengan UU Tata Ruang No 26 Tahun 2007

yang menyebutkan bahwa pemerintah propinsi mempunyai wewenang

melakukan perencanaan, pemanfaatan sekaligus pengendalian pemanfaatan

ruang wilayahnya. Terkait dengan pemanfaatan lahan dataran tinggi,

Departemen Pertanian juga telah mengeluarkan Pedoman Umum Budidaya

Pertanian Pada Lahan Pegunungan tahun 2006. Buku tersebut dimaksudkan

sebagai panduan cara berusahatani di lahan dengan elevasi minimal 350 m dpl

(8)

8

dan kemiringan lereng 15 % (disebut sebagai lahan pegunungan) agar laju erosi

yang menyebabkan terjadinya degradasi lahan dapat dikendalikan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertanian di lahan dengan

kemiringan 5% – 15% seperti halnya di Jasinga Bogor, berpotensi

mengakibatkan erosi tanah sebesar 90,5 ton/ha/th (Kurnia

et al

., 1997).

Dilaporkan pula bahwa erosi pada tanah Andisol di Pacet Cianjur dengan

kemiringan lahan 9% - 22% telah mencapai 252,0 ton/ha/th. Kesalahan dalam

mengelola lahan dataran tinggi berisiko tinggi terhadap kerusakan lingkungan

sekaligus menghilangkan sebagian dari multifungsi pertanian. Salah satu contoh

multifungsi pertanian lahan dataran tinggi yang terkait dengan aspek lingkungan

adalah dampak positif dari penerapan teknik konservasi di bagian hulu terhadap

lingkungan di sekitarnya. Pengurangan laju sedimentasi di daerah hilir dari hasil

penerapan konservasi di daerah hulu akan memberikan manfaat bagi pengguna

air di sepanjang aliran sungai sekaligus berfungsi sebagai pengendali banjir.

Oleh karena itu, keputusan memanfaatkan lahan dataran tinggi untuk kegiatan

pertanian seharusnya berdasarkan pertimbangan manfaat ekonomi, sosial dan

ekologi yang akan diperoleh. Pemanfaatan lahan di dataran tinggi yang tidak

memperhatikan prinsip-prinsip berkelanjutan jelas menimbulkan permasalahan

yang kompleks.

Keberlanjutan pertanian di daerah peka terhadap erosi juga diragukan

seiring dengan hilangnya kemampuan masyarakat setempat untuk membangun

kekuatan modal sosial (

social capital

) untuk menjaga kelestarian sumberdaya

alam yang dimilikinya. Jika

stakeholders

yang terdapat di wilayah pengamatan

enggan untuk berpartisipasi dalam upaya untuk memperbaiki lingkungannya,

maka tidak seorangpun dapat menjamin keberlanjutan usaha pertanian yang

selama ini menjadi andalan penghasil pangan wilayah. Stigma pertanian sebagai

salah satu kegiatan yang menimbulkan kerusakan lingkungan akan semakin kuat

melekat. Apalagi ketergantungan masyarakat terhadap input modal dari luar

sangat tinggi, hal ini jelas menyebabkan lemahnya kekuatan agroekosistem

sebagai sebuah kawasan produksi yang dikelola oleh masyarakat lokal. Salah

satu acuan utama mengenai modal sosial adalah dari Bank Dunia (1988)

menjelaskan bahwa :

” The social capital of a society includes the institution, the relationship, the

attitudes and value that govern interaction among people and contribute to the

economic and social development…It includes the shared values and rules for

social conduct expressed in personal relationships, trust and a common sense of

(9)

“civic” responsibility, that makes society more than a collection of individuals.

Without a degree of common identification with form of governance, cultural

norms and social rules, it is difficult to imagine a functioning society”

Sesuai dengan prinsip pembangunan pertanian berkelanjutan, maka

aspek pengendalian tidak dapat dipisahkan dari usahatani lahan dataran tinggi.

Dari aspek ekologi, pengendalian erosi tanah secara mekanis dan vegetasi dapat

mempertahankan lapisan top soil yang subur, sehingga laju sedimentasi di

sungai dan badan air bagian hilir akan berkurang demikian juga penggunaan

bahan kimia seperti pupuk dan pestisida sebagai input produksi. Konservasi

yang disertai penerapan tekonologi LEISA (

low external input for sustainable

agriculture

) akan mengurangi beban lingkungan untuk menerima limbah

sekaligus meningkatkan kemampuan daya dukungnya (Reijntjes

et al

., 1992).

Dari aspek ekonomi, kesejahteraan petani yang diperoleh dari

peningkatan pendapatan usahataninya dapat tercapai jika agribisnis dikelola

berbasis kawasan yang didukung oleh pasar komoditas yang

fair

(Irawan, 2003).

Pengalaman menunjukkan bahwa pengelolaan usahatani sendiri-sendiri dan

mengandalkan lahan yang sempit hanya akan membuat usahatani bersifat

subsisten. Demikian halnya dengan sistem penetapan harga yang diberlakukan

oleh tengkulak kepada petani, mengakibatkan sebagian besar dari margin

keuntungan dimiliki oleh tengkulak sebagai pedagang pengumpul.

Dari aspek sosial, penguatan kelembagaan sosial masyarakat merupakan

prioritas yang harus dilakukan untuk meningkatkan kemampuan lokal dalam

mempertahankan kelestarian lingkungan dan membangun modal usaha secara

bersama (Saptana

et al

., 2004). Pemerintah mendukung upaya tersebut dengan

menerapkan kebijakan pembangunan pertanian berkelanjutan secara konsisten

yang berpihak kepada petani selaku produsen.

Pembangunan pertanian berkelanjutan pada hakekatnya adalah

memproduksi bahan pangan dan melestarikan basis sumberdaya pertanian

(Reeve, 1990). Istilah yang digunakan untuk menjelaskan terminologi tersebut

mengacu kepada pertanian berbasis ekologi (

ecological agriculture

), seperti:

ecofarming

,

eco-development

,

low-external input

agriculture (LEIA)

, dan

site

appropriate agriculture

. Namun demikian, semua istilah yang digunakan masih

dalam satu pemahaman yaitu “pertanian yang berkelanjutan”.

Ecofarming

adalah bentuk budidaya pertanian yang mengusahakan

sedapat mungkin tercapainya keharmonisan dengan lingkungannya. Meskipun

Jerman menjadi negara pertama yang menemukan metodenya, namun pada

(10)

10

saat ini China yang paling berhasil mengembangkan pertaniannya dengan

ecofarming

(Public Medline Index Development , 1993).

Pengelolaan usahatani menggunakan model e

cofarming

memiliki ciri

utama keanekaragaman, sehingga tidak dibatasi oleh jenis komoditas tertentu.

Dalam

ecofarming

diperbolehkan menggunakan komponen pepohonan atau

tumbuhan berkayu lainnya, sehingga dapat disebut agroforestri. Unsur

peternakan juga menjadi bagian dalam model ini, karena bermanfaat sebagai

sumber bahan organik yang dapat diolah menjadi pupuk dan sumber energi.

Petani sebagai pelaku utama dalam model ini, tetap diperbolehkan menanam

tanaman semusim sebagai sumber bahan pangan dan pendapatan dalam waktu

yang cukup singkat, namun harus dikombinasikan dengan tanaman tahunan

sebagai tanaman konservasi.

Dengan pola seperti itu, maka model

ecofarming

diyakini dapat menjamin

berlangsungnya fungsi lindung dan fungsi budidaya di wilayah dataran tinggi.

Model ini tidak hanya memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat dalam

bentuk produksi pertanian, namun juga manfaat sosial dan ekologi dalam bentuk

jasa lingkungan yang disediakan oleh kawasan agroekosistem.

Model

ecofarming

diharapkan juga menjadi

win-win solution

bagi

pemerintah daerah yang ingin mengembalikan fungsi wilayah dataran tinggi

sebagai kawasan lindung dan bagi masyarakat yang menggantungkan

kelangsungan hidupnya dari usahatani di wilayah tersebut. Dalam jangka

panjang, implementasi

ecofarming

secara konsisten dan didukung oleh seluruh

stakeholders

terkait, akan berperan penting dalam mewujudkan ketahanan

pangan wilayah dan nasional. Hal ini tidak terlepas dari pencapaian keberhasilan

pada indikator penting yang digunakan untuk menilai pembangunan ketahanan

pangan yaitu keberlanjutan usahatani, peningkatan kesejahteraan petani dan

kelestarian lingkungan. Kerangka pemikiran dari penelitian ini seperti yang

terdapat pada Gambar 1.2.

(11)

1.5.

Kebaruan Penelitian (Novelty)

Kebaruan dari penelitian ini terletak pada penyatuan berbagai sub model

yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan pertanian di lahan dataran

tinggi dalam satu

grand design

holistik yang mencakup aspek sosial, ekonomi

dan ekologi serta memperhatikan karakteristik agroekosistem setempat dan

prinsip pengelolaan sebuah kawasan.

Gambar 1.2. Kerangka Pemikiran Model

Ecofarming

Di Lahan Dataran Tinggi

yang Dimanfaatkan untuk

Pertanian

Perda RTRW

Ketahanan Pangan Nasional

PAD

Pangan

Pekerjaan

Ekonomi

Kawasan Lindung di

Dataran Tinggi

Kawasan Budidaya

(Lembang dan Dongko)

Model Ecofarming di Lahan Dataran Tinggi

UUTR 26/2007

Konversi

Erosi

Tinggi

Kesesuaian Agroklimat

Penerapan teknologi LEISA

Kebijakan publik yang mendukung Penguatan modal sosial

Pengelolaan lahan terpadu Agribisnis - Pemasaran

Fungsi Lindung

Tidak Berkelanjutan

Pengelolaan kawasan

Fungsi Budidaya

Gambar

Gambar 1.2.  Kerangka Pemikiran Model Ecofarming Di Lahan Dataran Tinggi                                       yang Dimanfaatkan untuk Pertanian

Referensi

Dokumen terkait

Dalam pelaksanaan Program Induksi, pembimbing ditunjuk oleh kepala sekolah/madrasah dengan kriteria memiliki kompetensi sebagai guru profesional; pengalaman mengajar

Latar Belakang: Persiapan mental merupakan hal yang tidak kalah pentingnya dalam proses persiapan operasi karena mental pasien yang tidak siap atau labil dapat

ayo kita coba bermain ayo kita coba bermain gerakan yang agak sulit gerakan yang agak sulit yaitu berjalan di balok titian yaitu berjalan di balok titian naiklah ke atas balok

Sedangkan apabila sistem ingin dijalankan secara manual maka switch 1 pilih pada mode manual dan switch 3 pilih pada mode start manual atau bisa juga dikendalaikan melalui

 Situasi yang dialami anak saat ini senang memiliki waktu lebih banyak untuk membantu orang tua 60,3%, senang lebih dekat dengan orang tua 59,7%, merasa bosan belajar di rumah

Karya dokumenter “Penjajah Aspal” merupakan karya dokumenter informasi yang memberikan informasi, edukasi, dan hiburan dari fenomena kemacetan ibu kota yang

Oleh karena itu, peristiwa turunnya Al Qur’an selalu terkait dengan kehidupan para sahabat baik peristiwa yang bersifat khusus atau untuk pertanyaan yang muncul.Pengetahuan

Dalam kedudukannya sebagai Pemilik Rekening (yang untuk selanjutnya disebut Pemilik Rekening ) dengan ini menyatakan tunduk pada ketentuan yang berlaku di PT