I.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Pemanfaatan lahan dataran tinggi untuk pertanian menunjukkan
kecenderungan (
trend
) yang meningkat, seiring dengan meningkatnya konversi
lahan pertanian produktif ke pemanfaatan non pertanian di dataran rendah.
Dariah (2007) menegaskan bahwa 45% wilayah Indonesia adalah perbukitan dan
pegunungan sehingga pemanfaatan lahan dataran tinggi untuk pertanian menjadi
sangat strategis manakala lahan pertanian di dataran rendah tidak dapat
dipertahankan lagi.
Pemanfaatan lahan dataran tinggi untuk pertanian, mampu menghasilkan
berbagai jenis tanaman seperti hortikultura, perkebunan, pangan dan hasil
peternakan. Selain memberikan manfaat ekonomi bagi jutaan petani, lahan
dataran tinggi juga berperan penting dalam menjaga fungsi lingkungan daerah
aliran sungai (DAS) dan penyangga daerah di bawahnya. Perubahan bentuk
penutupan lahan dari hutan menjadi lahan pertanian atau ke pemanfaatan
lainnya seperti perumahan, menyebabkan peluang terjadinya erosi di wilayah ini
sangat tinggi. Curah hujan, kemiringan lereng dan kondisi tanah yang tidak
stabil sangat menentukan besarnya erosi yang terjadi di dataran tinggi (Truman
et al
., 2003). Oleh karena itu pemerintah menetapkan berbagai undang-undang
dan peraturan agar laju perubahan fungsi kawasan lindung menjadi kawasan
budidaya di wilayah dataran tinggi tidak semakin meluas.
Penerapan teknik pengelolaan yang tidak tepat akan menyebabkan
terjadinya eksploitasi lahan dataran tinggi secara berlebihan dan menimbulkan
kerusakan lingkungan yang meluas. Publikasi laporan mengenai kerusakan
lingkungan yang terjadi akibat eksploitasi dan kesalahan dalam pengelolaan
agroekosistem lahan dataran tinggi telah banyak beredar. Sebagian besar
menegaskan bahwa telah terjadi degradasi kualitas lahan dan air yang cukup
parah dan menimbulkan dampak yang tidak bisa diabaikan terhadap kehidupan
masyarakat setempat maupun masyarakat yang lebih luas di bagian hilir. Reed
(2002) memperkuat hal tersebut dengan menyatakan bahwa masalah degradasi
lingkungan telah menjadi gejala umum dalam masyarakat perdesaan di negara
berkembang, terutama dalam masyarakat yang masih dihadapkan pada masalah
pemenuhan kebutuhan dasar dan kemiskinan.
2
Sedikitnya terdapat empat hal yang mencerminkan kondisi pertanian di
lahan dataran tinggi pada saat ini.
Pertama
, usahatani semakin tidak
menguntungkan bagi petani sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan ekonomi
keluarganya.
Kedua
, menurunnya daya dukung lingkungan yang ditunjukkan
oleh meningkatnya kerusakan lingkungan dan rendahnya produktivitas lahan.
Ketiga
, meningkatnya curah hujan bulanan pada waktu-waktu tertentu akibat
anomali iklim yang memicu terjadinya ledakan serangan hama penyakit tanaman
sehingga mengakibatkan gagal panen dan kerugian materi yang tidak sedikit
(Anyamba
et al
., 2006).
Keempat
, hilangnya kemampuan masyarakat untuk
membangun modal sosial (
social capital
) sehingga mereka tidak mampu
mengendalikan terjadinya kerusakan lingkungan dan sangat tergantung kepada
modal usaha yang berasal dari luar.
Meskipun budidaya pertanian di lahan dataran tinggi menghadapi
permasalahan yang kompleks, tetapi masyarakat lokal terutama petani tetap
berusaha mempertahankannya. Upaya pemerintah untuk mengembalikan lahan
dataran tinggi sebagai kawasan lindung dengan cara menghutankan kembali,
menjadi alternatif penyelesaian yang sulit dilakukan. Bagi petani, bertani adalah
cara hidup (
way of life
) dan bagi pemilik lahan, kepemilikan atas tanah adalah
segalanya (harga diri) sehingga harus dipertahankan (Pranadji, 2006). Relokasi
lahan membutuhkan biaya yang besar, yaitu biaya ganti rugi tanah dan biaya
sosial yang ditimbulkan oleh penolakan masyarakat.
Pada batasan-batasan tertentu dan jika dikelola berdasarkan
prinsip-prinsip berkelanjutan, sebenarnya lahan dataran tinggi berpotensi sangat besar
sebagai penghasil pangan yang ramah lingkungan (Hidayat dan Mulyani, 2002).
Dalam pelaksanaannya, tetap harus memperhatikan: kesesuaian jenis
pemanfaatan dengan kondisi lahan dan peraturan yang berlaku, pengendalian
terhadap sumber utama penyebab lahan menjadi kritis, budidaya konservasi
demi keberlanjutan fungsi-fungsi dalam ekosistem, kondisi
sosial-ekonomi-budaya petani pengelola lahan, jenis tanah dan agroklimat setempat serta
prospek pengembangan kawasan sebagai sistem produksi pangan.
Berdasarkan hal-hal yang telah disebutkan di atas, diperlukan satu model
pengelolaan agroekosistem yang dapat memberikan kepastian penghasilan bagi
peningkatan kesejahteraan petani dan masyarakat sekitarnya, menjaga stabilitas
sosial yang dinamis dan mempertahankan kelestarian lingkungan. Untuk itulah
perlu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk merumuskan model pengelolaan
agroekosistem yang berkelanjutan. Model pertanian berbasis ekologi
(
ecofarming
) sebagai hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi
rekomendasi untuk kebijakan pembangunan pertanian lahan dataran tinggi yang
saat ini sedang menghadapi permasalahan yang kompleks.
1.2.
Perumusan Masalah
Dataran tinggi memiliki fungsi lindung utama sebagai daerah tangkapan
air (
wate
r
catchment area
). Fungsi tersebut diyakini hanya dapat berlangsung
jika vegetasi yang tumbuh di atas permukaannya adalah tanaman tahunan atau
vegetasi hutan. Perakaran tanaman tahunan yang dalam memiliki kemampuan
untuk meresapkan air ke dalam tanah dan menahan tanah dari erosi permukaan.
Namun kenyataannya luasan kawasan lindung di dataran tinggi terus berkurang,
berubah menjadi kawasan budidaya untuk pemanfaatan pertanian dan
pemukiman. Masyarakat cenderung mengabaikan risiko kerusakan lingkungan
yang dapat ditimbulkan akibat perlakuan tersebut.
Demikian halnya dengan lahan dataran tinggi yang terdapat di wilayah
penelitian. Kawasan dengan kemiringan lereng < 40% sebagian besar telah
dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai lahan pertanian. Kondisi topografi
wilayah yang berbukit-bergunung membuat masyarakat tidak memiliki alternatif
lokasi lain untuk kegiatan pertaniannya. Budidaya secara intensif dalam jangka
waktu yang lama seperti di Kecamatan Lembang dan Kecamatan Dongko telah
menimbulkan masalah serius baik ditinjau dari aspek ekologi, sosial maupun
ekonomi.
Dari aspek ekologi, permasalahan terjadi akibat pola usahatani yang
dilakukan bersifat monokultur, didominasi oleh tanaman semusim dan jenis
komoditas yang dibudidayakan sangat terbatas. Masyarakat juga belum
melakukan tindakan konservasi yang memadai meskipun lahan pertanian
mereka berlokasi di lahan yang miring. Bahkan ditemukan indikasi meluasnya
kawasan budidaya di lahan dataran tinggi sejalan dengan dibukanya kerjasama
Perhutani dengan masyarakat desa sekitar hutan untuk memanfaatkan sebagian
hutan untuk kegiatan pertanian. Sehingga tidak mengherankan jika laju erosi
meningkat seiring dengan meluasnya areal terbuka di wilayah dataran tinggi.
Erosi dapat mengakibatkan degradasi lahan pertanian dataran tinggi,
pendangkalan sungai dan terganggunya sistem hidrologi daerah aliran sungai
(DAS) yang mendorong terjadinya banjir dan kekeringan di bagian hilir. Bencana
banjir dilaporkan telah menenggelamkan sebagian besar wilayah Kabupaten
4
Trenggalek pada awal tahun 2006, 2007 dan 2008. Demikian pula kejadian
banjir yang terjadi disekitar DAS Cikapundung dan DAS Citarum Jawa Barat.
Fenomena ini menjadi peristiwa rutin yang selalu dihadapi masyarakat setiap
musim hujan. Keadaan tersebut membuktikan bahwa erosi yang terjadi di bagian
atas wilayah tersebut tidak hanya mengakibatkan terbentuknya lahan kritis,
namun juga menimbulkan sedimentasi yang menghambat aliran air di sepanjang
alur drainase sehingga mengakibatkan banjir (Siswanto dan Suharjono, 2006).
Penelitian Poerbandono
et al
., (2006) menyebutkan laju sedimentasi di DAS
Citarum hulu telah meningkat dua kali lipat selama satu dasawarsa, ditunjukkan
oleh peningkatan laju sedimentasi tahunan dari sebesar 1,18 juta ton pada tahun
1993 menjadi sebesar 2,15 juta ton pada tahun 2003.
Erosi juga mengakibatkan hilangnya lapisan
top soil
yang subur sehingga
menjadi pemicu meningkatnya penggunaan pupuk kimia di lahan pertanian.
Untuk wilayah Kecamatan Lembang, pemakaian pestisida secara berlebihan
diduga telah meninggalkan residu yang mencemari produk sayuran yang
dihasilkan. Semua hal tersebut menyebabkan menurunnya kapasitas daya
dukung lingkungan.
Diperhatikan dari aspek ekonomi, keuntungan yang diperoleh pada saat
panen seringkali tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Beberapa
faktor yang diduga menyebabkan rendahnya margin keuntungan yang diterima
oleh petani yaitu:
a. Karakteristik produk pertanian yang cepat rusak dan membutuhkan tempat
yang luas (
voluminous)
menyebabkan harganya sangat fluktuatif tergantung
musim.
b. Rantai pemasarannya yang panjang, melibatkan lebih dari satu tingkat
pedagang pengumpul, pedagang grosir, prosesor dan pedagang pengecer
menyebabkan harga sayuran di tingkat petani umumnya sangat rendah
dibandingkan dengan harga di tingkat pengecer. Belum lagi biaya tak
terduga yang timbul dari pengutan liar yang dilakukan oleh oknum-oknum
tertentu.
c. Penguasaan lahan yang sempit menyebabkan usaha tani dilakukan tanpa
manajemen pengelolaan lahan yang memungkinkan tercapainya skala usaha
ekonomis. Hal ini mengakibatkan terjadinya inefisiensi yang tinggi dan
sulitnya menjaga kontinuitas produksi baik kuantitas maupun kualitasnya.
d. Budidaya intensif mengakibatkan tingginya biaya produksi yang harus
dikeluarkan petani untuk benih, pupuk, pestisida dan pengolahan tanah.
Untuk mendapatkan modal usahanya petani seringkali harus menjual
produksinya secara ijon.
Namun demikian, bagi petani di Kecamatan Lembang dan Kecamatan
Dongko, bertani bukan semata-mata mencari keuntungan ekonomi. Bertani
adalah suatu cara kehidupan, oleh karenanya tetap dilakukan meskipun tidak
selalu memberi keuntungan materi. Ditinjau dari aspek sosial, hal ini juga
menimbulkan beragam permasalahan. Seperti misalnya: munculnya konflik
dalam kehidupan sosial masyarakat akibat lemahnya kualitas SDM (sumberdaya
manusia) dan tidak berfungsinya kelembagaan lokal sebagai dasar kekuatan
komunitas untuk membangun modal sosial masyarakat. Kondisi umum dan
permasalahan yang dihadapi saat ini oleh masyarakat di lokasi penelitian secara
ringkas dapat dilihat pada Gambar 1.1.
1.3.
Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah membuat model
ecofarming
di lahan
dataran tinggi yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai lahan pertanian.
Untuk mencapai tujuan utama tersebut, dilakukan tahapan penelitian dengan
pencapaian setiap tahapan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Menetapkan indeks dan status keberlanjutan usahatani saat ini
(existing)
.
2. Menetapkan variabel-variabel dominan model
ecofarming
berdasarkan
analisis 5 sub model
.
3. Menetapkan desain model
ecofarming.
4. Mengetahui hasil simulasi model
ecofarming.
5. Menetapkan alternatif rekomendasi skenario strategis
ecofarming
untuk
rancangan kebijakan pembangunan pertanian
.
6
Gambar 1.1. Permasalahan dan Kondisi Umum di Lokasi Penelitian
Lahan Dataran Tinggi Berlereng Pertanian
Ekonomi Sosial Ekologi
Penguasaan lahan sempit/sewa/buruh
Biaya input produksi tinggi Harga fluktuatif
Rantai pemasaran yang panjang Pungutan liar
Kelembagaan lokal tdk berkembang
Kualitas SDM rendah Konflik sosial
Fasilitas & infrastruktur terbatas
Tingginya angka pengangguran
Meluasnya konversi lahan Erosi
Pencemaran oleh residu pestisida di tanah, air dan produk
Pola usaha dan jenis komoditas terbatas
Tidak ada perlakuan konservasi lahan dan air
Menurunnya daya dukung lingkungan Anomali iklim yang sulit diprediksi
sehingga petani sering merugi Hilangnya kemampuan masy.
membangun modal sosial Usahatani tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan keluarga
1.4.
Kerangka Pemikiran
Intensitas pemanfaatan lahan dataran tinggi di Pulau Jawa, terutama
Jawa Barat dan Jawa Timur pada saat ini sudah sangat tinggi. Padahal,
kegiatan membuka lahan dataran tinggi dan memanfaatkannya untuk pertanian
tanaman semusim sangat berisiko terhadap lingkungan. Tekanan jumlah
penduduk yang membutuhkan pangan dan lapangan pekerjaan serta target
pencapaian PAD (pendapatan asli daerah) seringkali menjadi penyebab
sebagian besar lahan dataran tinggi di Indonesia, terutama di Pulau Jawa
berubah fungsi dari kawasan lindung menjadi kawasan budidaya. Sebagian
besar berubah menjadi lahan pertanian tanaman semusim seperti yang terjadi di
Kecamatan Lembang dan Kecamatan Dongko.
Karakteristik petani di wilayah yang terletak pada ketinggian lebih dari
1.000 m dpl seperti di Kecamatan Lembang, biasanya menanam berbagai jenis
sayuran. Pada wilayah yang ketinggiannya lebih rendah (< 900 m dpl) seperti di
Kecamatan Dongko, petani menanami lahannya dengan tanaman pangan seperti
ubi kayu dan jagung.
Konversi daerah konservasi di dataran tinggi juga tidak terlepas dari
tekanan semakin sulitnya mendapatkan tanah di dataran rendah untuk kegiatan
pertanian. Pemerintah daerah menggunakan alasan kesesuaian lahan dan
agroklimat, tingginya aktivitas pembangunan fisik di dataran rendah dan
meningkatnya jumlah penduduk, serta kebutuhan pangan nasional dan peluang
pasar komoditas pertanian sebagai penyebab meningkatnya konversi lahan
dataran tinggi. Target pencapaian PAD juga berpengaruh terhadap tingginya laju
konversi lahan pertanian produktif di dataran rendah menjadi bentuk usaha lain
yang dianggap lebih menguntungkan. Semua itu mengakibatkan peraturan
daerah mengenai RTRW yang sudah dibuat sebelumnya untuk mengatur
pemanfaatan ruang dan wilayahnya, tidak lagi dipatuhi.
Hal ini jelas bertentangan dengan UU Tata Ruang No 26 Tahun 2007
yang menyebutkan bahwa pemerintah propinsi mempunyai wewenang
melakukan perencanaan, pemanfaatan sekaligus pengendalian pemanfaatan
ruang wilayahnya. Terkait dengan pemanfaatan lahan dataran tinggi,
Departemen Pertanian juga telah mengeluarkan Pedoman Umum Budidaya
Pertanian Pada Lahan Pegunungan tahun 2006. Buku tersebut dimaksudkan
sebagai panduan cara berusahatani di lahan dengan elevasi minimal 350 m dpl
8
dan kemiringan lereng 15 % (disebut sebagai lahan pegunungan) agar laju erosi
yang menyebabkan terjadinya degradasi lahan dapat dikendalikan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertanian di lahan dengan
kemiringan 5% – 15% seperti halnya di Jasinga Bogor, berpotensi
mengakibatkan erosi tanah sebesar 90,5 ton/ha/th (Kurnia
et al
., 1997).
Dilaporkan pula bahwa erosi pada tanah Andisol di Pacet Cianjur dengan
kemiringan lahan 9% - 22% telah mencapai 252,0 ton/ha/th. Kesalahan dalam
mengelola lahan dataran tinggi berisiko tinggi terhadap kerusakan lingkungan
sekaligus menghilangkan sebagian dari multifungsi pertanian. Salah satu contoh
multifungsi pertanian lahan dataran tinggi yang terkait dengan aspek lingkungan
adalah dampak positif dari penerapan teknik konservasi di bagian hulu terhadap
lingkungan di sekitarnya. Pengurangan laju sedimentasi di daerah hilir dari hasil
penerapan konservasi di daerah hulu akan memberikan manfaat bagi pengguna
air di sepanjang aliran sungai sekaligus berfungsi sebagai pengendali banjir.
Oleh karena itu, keputusan memanfaatkan lahan dataran tinggi untuk kegiatan
pertanian seharusnya berdasarkan pertimbangan manfaat ekonomi, sosial dan
ekologi yang akan diperoleh. Pemanfaatan lahan di dataran tinggi yang tidak
memperhatikan prinsip-prinsip berkelanjutan jelas menimbulkan permasalahan
yang kompleks.
Keberlanjutan pertanian di daerah peka terhadap erosi juga diragukan
seiring dengan hilangnya kemampuan masyarakat setempat untuk membangun
kekuatan modal sosial (
social capital
) untuk menjaga kelestarian sumberdaya
alam yang dimilikinya. Jika
stakeholders
yang terdapat di wilayah pengamatan
enggan untuk berpartisipasi dalam upaya untuk memperbaiki lingkungannya,
maka tidak seorangpun dapat menjamin keberlanjutan usaha pertanian yang
selama ini menjadi andalan penghasil pangan wilayah. Stigma pertanian sebagai
salah satu kegiatan yang menimbulkan kerusakan lingkungan akan semakin kuat
melekat. Apalagi ketergantungan masyarakat terhadap input modal dari luar
sangat tinggi, hal ini jelas menyebabkan lemahnya kekuatan agroekosistem
sebagai sebuah kawasan produksi yang dikelola oleh masyarakat lokal. Salah
satu acuan utama mengenai modal sosial adalah dari Bank Dunia (1988)
menjelaskan bahwa :
” The social capital of a society includes the institution, the relationship, the
attitudes and value that govern interaction among people and contribute to the
economic and social development…It includes the shared values and rules for
social conduct expressed in personal relationships, trust and a common sense of
“civic” responsibility, that makes society more than a collection of individuals.
Without a degree of common identification with form of governance, cultural
norms and social rules, it is difficult to imagine a functioning society”
Sesuai dengan prinsip pembangunan pertanian berkelanjutan, maka
aspek pengendalian tidak dapat dipisahkan dari usahatani lahan dataran tinggi.
Dari aspek ekologi, pengendalian erosi tanah secara mekanis dan vegetasi dapat
mempertahankan lapisan top soil yang subur, sehingga laju sedimentasi di
sungai dan badan air bagian hilir akan berkurang demikian juga penggunaan
bahan kimia seperti pupuk dan pestisida sebagai input produksi. Konservasi
yang disertai penerapan tekonologi LEISA (
low external input for sustainable
agriculture
) akan mengurangi beban lingkungan untuk menerima limbah
sekaligus meningkatkan kemampuan daya dukungnya (Reijntjes
et al
., 1992).
Dari aspek ekonomi, kesejahteraan petani yang diperoleh dari
peningkatan pendapatan usahataninya dapat tercapai jika agribisnis dikelola
berbasis kawasan yang didukung oleh pasar komoditas yang
fair
(Irawan, 2003).
Pengalaman menunjukkan bahwa pengelolaan usahatani sendiri-sendiri dan
mengandalkan lahan yang sempit hanya akan membuat usahatani bersifat
subsisten. Demikian halnya dengan sistem penetapan harga yang diberlakukan
oleh tengkulak kepada petani, mengakibatkan sebagian besar dari margin
keuntungan dimiliki oleh tengkulak sebagai pedagang pengumpul.
Dari aspek sosial, penguatan kelembagaan sosial masyarakat merupakan
prioritas yang harus dilakukan untuk meningkatkan kemampuan lokal dalam
mempertahankan kelestarian lingkungan dan membangun modal usaha secara
bersama (Saptana
et al
., 2004). Pemerintah mendukung upaya tersebut dengan
menerapkan kebijakan pembangunan pertanian berkelanjutan secara konsisten
yang berpihak kepada petani selaku produsen.
Pembangunan pertanian berkelanjutan pada hakekatnya adalah
memproduksi bahan pangan dan melestarikan basis sumberdaya pertanian
(Reeve, 1990). Istilah yang digunakan untuk menjelaskan terminologi tersebut
mengacu kepada pertanian berbasis ekologi (
ecological agriculture
), seperti:
ecofarming
,
eco-development
,
low-external input
agriculture (LEIA)
, dan
site
appropriate agriculture
. Namun demikian, semua istilah yang digunakan masih
dalam satu pemahaman yaitu “pertanian yang berkelanjutan”.
Ecofarming
adalah bentuk budidaya pertanian yang mengusahakan
sedapat mungkin tercapainya keharmonisan dengan lingkungannya. Meskipun
Jerman menjadi negara pertama yang menemukan metodenya, namun pada
10
saat ini China yang paling berhasil mengembangkan pertaniannya dengan
ecofarming
(Public Medline Index Development , 1993).
Pengelolaan usahatani menggunakan model e
cofarming
memiliki ciri
utama keanekaragaman, sehingga tidak dibatasi oleh jenis komoditas tertentu.
Dalam
ecofarming
diperbolehkan menggunakan komponen pepohonan atau
tumbuhan berkayu lainnya, sehingga dapat disebut agroforestri. Unsur
peternakan juga menjadi bagian dalam model ini, karena bermanfaat sebagai
sumber bahan organik yang dapat diolah menjadi pupuk dan sumber energi.
Petani sebagai pelaku utama dalam model ini, tetap diperbolehkan menanam
tanaman semusim sebagai sumber bahan pangan dan pendapatan dalam waktu
yang cukup singkat, namun harus dikombinasikan dengan tanaman tahunan
sebagai tanaman konservasi.
Dengan pola seperti itu, maka model
ecofarming
diyakini dapat menjamin
berlangsungnya fungsi lindung dan fungsi budidaya di wilayah dataran tinggi.
Model ini tidak hanya memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat dalam
bentuk produksi pertanian, namun juga manfaat sosial dan ekologi dalam bentuk
jasa lingkungan yang disediakan oleh kawasan agroekosistem.
Model
ecofarming
diharapkan juga menjadi
win-win solution
bagi
pemerintah daerah yang ingin mengembalikan fungsi wilayah dataran tinggi
sebagai kawasan lindung dan bagi masyarakat yang menggantungkan
kelangsungan hidupnya dari usahatani di wilayah tersebut. Dalam jangka
panjang, implementasi
ecofarming
secara konsisten dan didukung oleh seluruh
stakeholders
terkait, akan berperan penting dalam mewujudkan ketahanan
pangan wilayah dan nasional. Hal ini tidak terlepas dari pencapaian keberhasilan
pada indikator penting yang digunakan untuk menilai pembangunan ketahanan
pangan yaitu keberlanjutan usahatani, peningkatan kesejahteraan petani dan
kelestarian lingkungan. Kerangka pemikiran dari penelitian ini seperti yang
terdapat pada Gambar 1.2.
1.5.
Kebaruan Penelitian (Novelty)
Kebaruan dari penelitian ini terletak pada penyatuan berbagai sub model
yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan pertanian di lahan dataran
tinggi dalam satu
grand design
holistik yang mencakup aspek sosial, ekonomi
dan ekologi serta memperhatikan karakteristik agroekosistem setempat dan
prinsip pengelolaan sebuah kawasan.
Gambar 1.2. Kerangka Pemikiran Model
Ecofarming
Di Lahan Dataran Tinggi
yang Dimanfaatkan untuk
Pertanian
Perda RTRW
Ketahanan Pangan Nasional
PAD
Pangan
Pekerjaan
Ekonomi
Kawasan Lindung di
Dataran Tinggi
Kawasan Budidaya
(Lembang dan Dongko)
Model Ecofarming di Lahan Dataran Tinggi
UUTR 26/2007
Konversi
Erosi
Tinggi
Kesesuaian Agroklimat
Penerapan teknologi LEISA
Kebijakan publik yang mendukung Penguatan modal sosial
Pengelolaan lahan terpadu Agribisnis - Pemasaran