• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. mana saja dan kapan saja. Pada dasarnya, masyarakat merupakan arena konflik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. mana saja dan kapan saja. Pada dasarnya, masyarakat merupakan arena konflik"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah

Konflik merupakan gejala sosial yang serba hadir dalam kehidupan sosial, sehingga konflik bersifat inheren. Artinya konflik akan senantiasa ada dalam setiap ruang dan waktu dalam kehidupan umat manusia. Konflik dapat terjadi di mana saja dan kapan saja. Pada dasarnya, masyarakat merupakan arena konflik atau wadah pertentangan dan integrasi yang eternal atau senantiasa berlangsung. Banyak hal yang mendorong terjadinya konflik itu sendiri dalam kehidupan bermasyarakat, seperti adanya persamaan dan perbedaan kepentingan sosial. Di dalam setiap kehidupan sosial tidak ada satupun manusia yang memiliki kesamaan yang sama persis, baik dari unsur etnis, kepentingan, kemauan, kehendak, tujuan dan sebagainya.1

Terdapat beberapa istilah yang sering disamakan dengan kata sengketa, yaitu kasus, masalah dan konflik. Penyeragaman pemahaman diperlukan untuk tidak menimbulkan perbedaan penafsiran. Rusmadi Murad mengatakan bahwa kasus pertanahan terdiri dari masalah pertanahan dan sengketa pertanahan. Masalah pertanahan terdiri dari masalah pertanahan dan sengketa pertanahan. Masalah pertanahan adalah lebih bersifat teknis yang penyelesaiannya cukup melalui petunjuk teknis kepada aparat pelaksana berdasarkan kebijaksanaan dan

1

Elly M Setiady dan Usman Kolip. 2010. Pengantar sosiologi: Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi dan Pemecahannya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. hal 347

(2)

peraturan-peraturan yang berlaku, sedangkan sengketa pertanahan adalah perselisihan yang terjadi antara dua pihak atau lebih karena merasa diganggu hak dan penguasaan tanahnya yang diselesaikan melalui musyawarah atau pengadilan.2

Sengketa tanah atau perkebunan di Indonesia sendiri bukanlah hal yang baru lagi. Hal itu sudah sejak ada sejak zaman penjajahan Belanda. Pada masa itu pusat konflik terjadi antara sultan atau raja-raja penguasa dengan penduduk setempat dan juga dengan penguasa kolonial yang berusaha memperoleh hak guna dari tanah tersebut. Dimasa penjajahan Belanda telah terjadi “perkosaan” terhadap hak-hak rakyat atas tanah yang dikenal dengan pernyataan domein (domein

Vorklaring). Hal ini sangat merugikan serta melanggar hak-hak rakyat atas tanah yang bersumber pada hukum adat yang tidak tertulis.

Menurut Kepala Badan Pertanahan Nasional No 1 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan, yang dimaksud dengan sengketa adalah perbedaan pendapat mengenai keabsahan suatu hak, pemberian hak atas tanah dan pendaftaran hak atas tanah termasuk peralihan dan penerbitan tanda bukti haknya antara pihak-pihak yang berkepentingan serta antara pihak-pihak yang berkepentingan dengan instansi Badan Pertanahan Nasional.

3

2

Rusmadi Murad. 1991. Penyelesaian Sengketa Hukum Hak Atas Tanah. Bandung: Alumni.hal 2. 3

Budi Darsono. 1999. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah dan Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria danPelaksanaannya. Jakarta: Penerbit Djembatan, hal 44

Setelah kemerdekaan, yaitu pada masa orde baru, konflik tanah untuk sementara mereda. Namun, setelah era reformasi bergulir, intensitas konflik meningkat tajam. Sebagian kalangan menilai

(3)

bahwa salah satu penyebab atau pemicunya adalah pernyataan Presiden Abdurrahman Wahid yang mengatakan bahwa PT Perkebunan (PTP) sepatutnya merelakan 40% tanah yang dikuasainya untuk dikembalikan kepada rakyat karena menurut beliau banyak tanah yang dikuasai PT Perkebunan (PTP) sesungguhnya adalah milik masyarakat yang diambil tanpa dibayar.4

Memasuki era Otonomi Daerah terdapat nuansa baru konflik tanah perkebunan di mana terjadi konflik terselubung antara pengusaha perkebunan dengan pemerintah daerah. Secara umum konflik terjadi karena adanya permintaan atau instruksi dari pemerintah daerah agar pihak perkebunan melepaskan sebagian areal Hak Guna Usaha (HGU) milik perusahaan tersebut untuk kepentingan dan kepentingan sosial dan beberapa pemerintah daerah yang merekomendasikan agar tidak diluluskannya perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan tersebut dengan berbagai alasan.5

Mingguan Sinar Tani memberikan data bahwa konflik lahan perkebunan di Indonesia mencapai 482 kasus dengan total areal 328.00 ha, di mana 323 kasus terdapat di areal Perkebunan Besar Negara (PT Perkebunan Nusantara (persero) I sampai IV) dengan luas areal 185.000 ha. Kasus terbesar terjadi di Provinsi Sumatera Utara yaitu sebesar 290 kasus, 279 kasus di Perkebunan Besar Negara dan 11 kasus di Perkebunan Besar Swasta.6

4

Kompas, “Kembalikan 40 persen Tanah PTP pada Rakyat” Rabu, 24 Mei 2000. 5

J. sembiring.2009.“Konflik Tanah Perkebunan di Indonesia”. Jurnal Hukum. No. 3 Vol. 16 Juli 2009. hal 341-342

6

(4)

Sementara itu pihak Badan Pertanahan Nasional merilis data jumlah kasus sengketa konflik perkara pertanahan nasional, yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 1.2

Jumlah Kasus Sengketa Konflik Perkara Pertanahan Nasional

JENIS JUMLAH Kasus 4.223 kasus Selesai 2.014 kasus Sisa 2.209 kasus k-1 820 kasus k-2 93 kasus k-3 793 kasus k-4 504 kasus k-5 176 kasus

Sumber: Badan Pertanahan Nasional

Keterangan:

1. Kriteria 1 (K1) : penerbitan surat pemberitahuan penyelesaian kasus pertanahan dan pemberitahuan kepada semua pihak yang bersengketa. 2. Kriteria 2 (K2) : penerbitan Surat Keputusan tentang pemberian hak atas

tanah, pembatalan sertifikat hak atas tanah, pencatatan dalam buku tanah atau perbuatan hukum lainnya sesuai Surat Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan.

(5)

3. Kriteria 3 (K3) : Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan yang ditindaklanjuti mediasi oleh BPN sampai pada kesepakatan berdamai atau kesepakatan yang lain disetujui oleh pihak yang bersengketa.

4. Kriteria 4 (K4) : Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan yang intinya menyatakan bahwa penyelesaian kasus pertanahan akan melalui proses perkara di pengadilan.

5. Kriteria 5 (K5) : Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan yang menyatakan bahwa penyelesaian kasus pertanahan yang telah ditangani bukan termasuk kewenangan BPN dan dipersilakan untuk diselesaikan melalui instansi lain.7

Selain itu menurut Ditjen Perkebunan sepanjang tahun 1999 kerugian Negara akibat konflik sosial di sekitar lokasi perkebunan mencapai Rp. 3 trilyun. Konflik tersebut adalah konflik antara pengusaha besar, baik yang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun swasta dengan masyarakat di sekitar perkebunan.

Sengketa lahan juga menempati angka tertinggi dalam kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Berdasarkan laporan tahunan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) tahun 2010 tercatat pengaduan kasus sengketa lahan mencapai 819 kasus. Sementara periode September 2007 hingga

7Peraturan Penanganan dan Penyelesaian Konflik Pertanahan dengan Prinsip Win-Win Solution oleh Badan

(6)

September 2008, pengaduan pelanggaran hak atas tanah menempati peringkat kedua dengan 692 kasus.8

Berbagai sengketa lahan yang terjadi seringkali menimbulkan banyak korban jiwa, selain juga harta benda yang tak terhitung nilainya. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sebanyak 23 petani dan penggarap lahan tewas akibat konflik kepemilikan tanah sepanjang 2007-2010. Selain korban tewas terdapat 668 petani menjadi korban kriminalisasi. Sengketa lahan juga mengakibatkan 82.726 ke luarga tergusur dari tanah mereka. Total konflik 2007-2010 mencapai 185 kasus. Sejak tahun 2004 setidaknya sudah 189 petani yang meninggal akibat kekerasan yang dialami karena tersangkut konflik agrarian. Sebanyak 22 petani di antaranya meninggal pada tahun 2011 karena tindakan represif keamanan. Sekitar 33.000 desa juga rusak karena konflik agrarian.9

Berdasarkan uraian dan deskripsi dari tabel di atas dapat kita lihat bagaimana besarnya jumlah konflik yang terjadi di Indonesia dan juga seberapa besar konflik tersebut berdampak kepada masyarakat dan Negara. Konflik yang telah terjadi selama berabad-abad sebenarnya di setiap masanya menunjukkan gejala yang hampir sama, yaitu tuntutan pengembalian hak rakyat atas tanah perkebunan karena diklaim tanah tersebut diperoleh pihak perkebunan dengan cara merampas ataupun dalam kasus lain berupa pemenuhan pembayaran nilai ganti rugi (tanah) yang dianggap terlalu kecil. Tuntutan-tuntutan tersebut diikuti

8

Dian Cahyaningrum. 2012. ”Permasalahan Hukum Konflik Lahan”. Jurnal Hukum. Edisi 4 tahun 2012, hal 1 9

(7)

dengan okupasi tanah oleh masyarakat (termasuk penjarahan). Di samping pendudukan/okupasi juga terjadi penjarahan produksi yang meliputi luas 246.891 ha dengan volume 876.230 ton dengan perkiraan nilai kerugian sebesar ± Rp. 46,5 milyar.

Uraian di atas juga menimbulkan pertanyaan-pertanyaan mengenai upaya-upaya penyelesaian yang harus ditempuh, baik oleh pemerintah maupun para pembuat kebijakan sektor perkebunan. Upaya penyelesaian konflik yang sudah banyak dilakukan pada masa sebelum reformasi umumnya dilakukan secara represif tetapi ada juga dengan cara memperbarui kontrak yang dimaksudkan untuk memberikan perlindungan yang lebih terhadap hak-hak rakyat atas tanah. Upaya-upaya non-litigasi dan tidak represif mulai dilakukan pemerintah setelah era reformasi. Upaya non-litigasi dilakukan dengan dimediasi oleh Pemerintah Daerah setempat yang melibatkan pihak-pihak lain yang dianggap berkompeten dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Pihak-pihak tersebut di antaranya adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Komando Distrik Militer (KODIM) dan Kepolisian, serta pihak-pihak pendukung kelompok masyarakat penuntut.

Di Sumatera Utara sendiri, seperti sudah disebutkan sebelumnya, kasus sengketa pertanahan angkanya sangat tinggi. Hal ini disebabkan karena secara geografis daerah Sumatera Utara memang sangat cocok untuk dijadikan lahan perkebunan. Selain itu sudah sejak zaman penjajahan Belanda, daerah Sumatera Utara menjadi salah satu daerah perkebunan yang terkenal. Sebagian besar

(8)

masyarakat Sumatera Utara juga menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian dan perkebunan.

Salah satu kabupaten di Sumatera Utara yang terkenal rawan konflik sengketa lahan adalah Kabupaten Padang Lawas. Kabupaten Padang Lawas yang memiliki luas ± 4.313, 95 km2 dengan jumlah penduduk pada tahun 2005 berjumlah 311.631 jiwa terdiri atas 12 kecamatan. Sektor dominan dalam mendukung perekonomian masyarakat di Padang Lawas yaitu sektor perkebunan, baik itu perkebunan kopi, kakao, kelapa dan yang paling menjadi primadona adalah karet maupun kelapa sawit.10

Salah satu pihak yang turut serta dalam mengupayakan penyelesaian konflik antara kedua pihak tersebut adalah DPRD Kabupaten Padang Lawas.

Sektor perkebunan inilah yang sering sekali menimbulkan konflik di Padang Lawas. Tercatat beberapa kasus yang sering muncul di media lokal maupun nasional, seperti kasus register 40, kasus PT Sumatera Riang Lestari (SRL) dan PT Sumatera Silva Lestari (SSL) dengan masyarakat Tobing Tinggi, dan kasus PT Sumatera Riang Lestari (SRL) dan PT Sumatera Silva Lestari (SSL) dengan masyarakat Aek Nabara Barumun. Di antara konflik-konflik tersebut ada yang sudah bisa diselesaikan baik dengan jalan damai maupun melalui lembaga peradilan. Salah satunya adalah kasus yang terjadi antara PT SRL dan PT SSL dengan masyarakat adat Kecamatan Aek Nabara Barumun.

10

Lihat Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Padang Lawas di Sumatera Utara, bab penjelasan.

(9)

Dalam hal ini, DPRD Kabupaten Padang Lawas mengupayakan usaha-usaha non-litigasi untuk menyelesaikan konflik tersebut. Peran DPRD Padang Lawas sangat penting bagi penyelesaian konflik ini, terutama bagi pihak masyarakat adat Kecamatan Aek Nabara Barumun karena mereka bisa menyampaikan kepentingan-kepentingan mereka kepada para wakil rakyat tersebut. Beberapa kali masyarakat dari daerah tersebut mengadakan aksi unjuk rasa ke kantor DPRD Kabupaten Padang Lawas untuk menyampaikan aspirasi mereka.

Upaya non-litigasi yang sudah dilakukan meliputi usaha-usaha melalui mediasi dengan menjadi mediator antara kedua pihak yang bersengketa, mengusahakan terbentuknya Peraturan Daerah yang akan mengurangi konflik dan sebagainya. Sedangkan upaya-upaya litigasi yang dilakukan adalah dengan mendampingi masyarakat yang terlibat konflik dalam mengajukan tuntutan ke pengadilan dan mengupayakan penyelesaian konflik melalui lembaga hukum. Selain itu, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah juga meminta jaminan dari pihak kepolisian setempat untuk tidak melakukan tindakan represif dalam menangani konflik tersebut. Peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam penyelesaian konflik ini menjadi sangat penting karena mereka adalah representasi dari rakyat. Rakyat yang telah memilih mereka sehingga mereka berkewajiban untuk mendengarkan aspirasi dari konstituen mereka.

Pembahasan mengenai konflik sengketa lahan di Padang Lawas menurut pandangan penulis sangat menarik untuk diteliti karena banyaknya permasalahan konflik sengketa lahan yang sudah terjadi selama bertahun-tahun dan sampai

(10)

sekarang masih berlangsung. Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas maka penulis tertarik untuk melalukan penelitian mengenai bagaimana peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Padang Lawas dalam menyelesaikan konflik sengketa lahan yang terjadi di Kabupaten Padang Lawas.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah yang akan menjadi pokok bahasan dalam penelitian ini adalah :

1. Apa peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Padang Lawas dalam penyelesaian sengketa pertanahan antara PT Sumatera Riang Lestari (SRL) dan PT Sumatera Silva Lestari SSL) dengan masyarakat adat Kecamatan Aek Nabara Barumun Kabupaten Padang Lawas?

2. Apa saja kendala Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Padang Lawas dalam penyelesaian sengketa pertanahan antara PT Sumatera Riang Lestari dan PT Sumatera Silva Lestari dengan masyarakat adat Kecamatan Aek Nabara Barumun Kabupaten Padang Lawas?

C. Pembatasan Masalah

Agar sebuah penelitian tetap fokus pada permasalahan dan pembahasan, maka perlu dibuat pembatasan masalahnya. Pembatasan masalah adalah usaha untuk menetapkan batasan dari masalah penelitian yang akan diteliti. Hal ini berguna untuk mengidentifikasikan faktor mana saja yang termasuk dalam ruang lingkup masalah penelitian, dan faktor mana saja yang tidak termasuk dalam ruang

(11)

lingkup masalah penelitian.11

1. Objek penelitian. Karena sudah banyak pihak yang mencoba turun tangan dalam penyelesaian sengketa pertanahan antara PT Sumatera Riang Lestari (SRL) dan PT Sumatera Silva Lestari (SSL) dengan masyarakat adat Kecamatan Aek Nabara Barumun Kabupaten Padang Lawas, di antaranya dari pihak eksekutif Kabupaten Padang Lawas, dari Kementrian Kehutanan dan juga dari beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Akan tetapi, yang akan dibahas dalam penelitian ini hanya peran anggota DPRD Padang Lawas saja.

Adapun yang menjadi pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah :

2. Pihak DPRD Padang Lawas yang akan diteliti juga dibatasi pada

Komisi yang mengurusi permasalahan konflik saja, yaitu Komisi A dan Komisi B.

D. Tujuan Penelitian

Tujuan dari sebuah penelitian adalah pernyataan mengenai apa yang hendak kita capai dari penelitian tersebut.12

1. Untuk mengetahui apa peran anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Padang Lawas dalam penyelesaian konflik sengketa pertanahan antara PT Sumatera Riang Lestari (SRL) dan PT Sumatera Silva Lestari dengan

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

11

Prof. Dr. Husaini Usman, Mpd., M.T. dan Purnomo setiady Akbar, M.Pd. 2009. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Hal. 24

12

(12)

masyarakat adat Kecamatan Aek Nabara Barumun Kabupaten Padang Lawas.

2. Untuk mengetahui apa saja kendala yang muncul dalam upaya

penyelesaian konflik sengketa pertanahan yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Padang Lawas pada konflik sengketa lahan antara PT Sumatera Riang Lestari (SRL) dan PT Sumatera Silva Lestari (SSL) dengan masyarakat adat Kecamatan Aek Nabara Barumun Kabupaten Padang Lawas.

E. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian dalam penelitian ini adalah :

1. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan menjadi sarana untuk

mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh selama mengikuti perkuliahan. Selain itu juga bermanfaat untuk mengasah kemampuan penulis dalam membuat karya ilmiah dan menambah cakrawala berpikir mengenai konflik pertanahan.

2. Secara akademis, hasil penelitian ini diharapkan menambah wawasan berpikir dan khasanah ilmu politik khususnya ilmu yang terkait dengan permasalahan peran legislatif dan juga permasalahan konflik pertanahan. 3. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat

dan menjadi bahan masukan dan evaluasi bagi lembaga-lembaga terkait mengenai peran legislatif dalam penyelesaian konflik pertanahan.

(13)

F. Kerangka Teori

F.1 Peran dan Fungsi Lembaga Perwakilan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi (DPRD) adalah sebuah Lembaga Perwakilan Rakyat di daerah yang terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum (Pemilu) yang dipilih berdasarkan hasil pemilihan umum. DPRD juga berkedudukan sebagai Lembaga Pemerintahan Daerah yang memiliki fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. DPRD berada di setiap daerah Indonesia. Anggota DPRD berjumlah 35-100 orang. Masa jabatan anggota DPRD adalah 5 tahun, dan berakhir bersamaan pada saat anggota DPRD yang baru mengucapkan sumpah/janji. DPRD merupakan mitra kerja gubernur/bupati/walikota (eksekutif). Sejak diberlakukannya UU Nomor 32 tentang Pemerintahan Daerah, Gubernur tidak lagi bertanggung jawab kepada DPRD, karena dipilih langsung oleh rakyat melalui Pilkada.

Penyelenggaraan pemerintah di daerah adalah pemerintah daerah dan bersama dengan DPRD. DPRD bukan merupakan badan legislatif di daerah. Hal ini karena Indonesia adalah negara kesatuan yang monosentris terdiri hanya satu negara, satu pemerintahan, satu kepala negara dan satu badan legislatif yang berlaku bagi seluruh warga negara yang bersangkutan. Dalam melakukan aktifitas ke luar maupun ke dalam, diurus oleh satu pemerintahan yang merupakan langkah kesatuan, baik pemerintah pusat maupun daerah.13

13

Budi Sudjijono dalam “Peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam Menjalankan Fungsi Pengawasan.”Jurnal Hukum No. 4 Vol. 18 Oktober 2011, hal 605-606

(14)

Lembaga perwakilan yang disebut parlemen umumnya mempunyai lima fungsi, yaitu:

1. Fungsi perundang-undangan (legislasi), yang dimaksud dengan fungsi perundang-undangan adalah membentuk undang-undang biasa, seperti: a. Undang-undang biasa seperti Undang-undang pajak dan

peraturan-peraturan daerah

b. Undang-undang tentang anggaran pendapatan belanja

negara/daerah (APBN/D)

2. Fungsi pengawasan (oversight) adalah fungsi yang dijalankan oleh parlemen untuk mengawasi eksekutif, agar berfungsi menurut undang-undang yang dibentuk oleh parlemen. Dalam hal ini badan legislatif melakukan fungsi pengawasan atas pelaksanaan undang-undang, pelaksanaan anggaran pendapatan belanja daerah dan kebijakan pemerintah.

Untuk melaksanakan fungsi ini parlemen diberi beberapa hal antara lain :

a. Hak bertanya, anggota legislatif berhak mengajukan pertanyaan tertulis kepada pemerintah mengenai sesuatu hal.

b. Hak interpelasi, hak meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan di suatu bidang.

c. Hak angket, hak anggota badan legislatif untuk mengadakan penyelidikan sendiri. Untuk keperluan ini dapat dibentuk suatu panitia angket yang melaporkan hasil penyelidikannya kepada anggota badan legislatif lainnya, yang selanjutnya merumuskan pendapatnya mengenai soal ini, dengan harapan agar diperhatikan oleh pemerintah

d. Hak mengajukan memorandum, fungsi badan ini memberikan

persetujuan hubungan diplomasi, selain itu bentuk komunikasi yang berisi saran, arahan dan penerangan kepada badan eksekutif e. Hak inisiatif, hak untuk mengajukan rancangan undang-undang

f. Hak amandemen, hak untuk mengadakan perubahan

undang-undang

g. Hak Soepena, mengajukan jabatan publik

h. Hak protokoler, hak untuk mendapatkan mobil dinas dan fasilitas lainnya

i. Hak resolusi, hak menyatakan pendapat

j. Hak impeachment, hak untuk menuntut pertanggungjawaban

k. Hak imunitas, hak atas kekebalan hukum

l. Hak mosi, umumnya dipergunakan dalam sistem parlementer, biasanya pernyataan mosi tidak percaya legislatif kepada pemerintah.

m. Hak mosi dukungan, fungsi pemberian dukungan

3. Hak budgetary, badan ini berwenang mengajukan rancangan anggaran

(15)

4. Hak representative (sarana pendidikan politik), rakyat dididik untuk mengetahui persoalan yang menyangkut kepentingan umum melalui pembahasan dan pembicaraan tentang kebijakan yang dilakukan oleh lembaga perwakilan yang dimuat baik dan diulas oleh media massa, rakyat mengikuti persoalan yang menyangkut kepentingan umum dan menilai menurut kemampuan masing-masing sehingga secara tidak langsung mereka dididik menjadi warga negara yang sadar akan hak dan kewajibannya.

5. Hak institusional, hak untuk mendengarkan pengaduan-pengaduan masyarakat terhadap parlemen, seperti para demonstran yang ingin menemui anggota dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD).14

Sedangkan menurut Undang-undang No 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah DPRD kabupaten/kota merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten/kota. Mengenai tugas dan fungsi dewan perwakilan rakyat daerah juga disebutkan dalam beberapa pasal di antaranya adalah:

DPRD kabupaten/kota mempunyai fungsi: a. Legislasi

b. Anggaran c. Pengawasan.

Ketiga fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijalankan dalam kerangka representasi rakyat di kabupaten/kota.

DPRD kabupaten/kota mempunyai tugas dan wewenang:

a. Membentuk peraturan daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota. b. Membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah

mengenai anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota yang diajukan oleh bupati/walikota.

c. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota.

14

Toni Andrianus Pito, dkk. 2006. Mengenal Teori-Teori Politik: dari Sistem Politik Sampai Korupsi.

(16)

d. Mengusulkan pengangkatan dan/atau pemberhentian bupati/walikota dan/atau wakil bupati/wakil walikota kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan/atau pemberhentian.

e. Memilih wakil bupati/wakil walikota dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil bupati/wakil walikota.

f. Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota terhadap rencana perjanjian internasional di daerah.

g. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota.

h. Meminta laporan keterangan pertanggungjawaban bupati/walikota dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota.

i. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama dengan daerah lain atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah.

j. Mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

k. Melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.15

Terlepas dari kepastianya bertindak sebagai utusan, wali, politik, kesatuan dan penggolongan, tetapi yang paling pokok pada dasarnya adalah adanya kesadaran tanggungjawab dan komitmen dari setiap sang wakil untuk tetap memperjuangkan dan berpihak kepada kepentingan rakyat banyak. Tanggungjawab tersebut mengandung tiga macam kewajiban, yaitu:

1. Kewajiban untuk berpartisipasi dalam pembahasan dan pegawasan politik dan kebijaksanaan nasional.

2. Kewajiban untuk menjelaskan kepada para warga negara mengenai kegiatan-kegiatan sendiri dan kegiatan badan perwakilan rakyat. 3. Kewajiban untuk memberikan bantuan dan nasihat kepada para warga

negara.16

15

Lihat Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, pasal 344-351

(17)

F.2 Teori Konflik

Karl Max mempunyai pandangan bahwa masyarakat terdiri dari dua kelas yang didasarkan pada kepemilikan sarana dan alat produksi, atau properti, yaitu kelas borjuis dan proletar. Kelas borjuis adalah kelompok yang memiliki sarana dan alat produksi yaitu perusahaan sebagai modal dalam usaha. Kelas proletar adalah kelas yang tidak memiliki sarana dan alat produksi sehingga dalam pemenuhan akan kebutuhan ekonominya tidak lain hanyalah menjual tenaganya. Menurut Marx, masyarakat terintegrasi karena adanya struktur kelas di mana kelas borjuis menggunakan Negara dan hukum untuk mendominasi kelas proletar. Konflik antarkelas sosial terjadi melalui proses produksi sebagai salah satu kegiatan ekonomi di mana di dalam proses produksi terjadi kegiatan pengeksploitasian terhadap kelompok proletar oleh kelompok borjuis. Ketimpangan sosial yang terjadi antara kelas proletar dan borjuis tersebut memicu munculnya gerakan perlawanan dari pihak yang merasa dirugikan, yaitu kelas proletar, yang pada akhirnya akan berujung pada konflik antarkelas sosial.17

Sementara itu Ralf Dahrendorf mengatakan bahwa masyarakat terbagi dalam dua kelas atas dasar kepemilikan kewenangan (authority) yaitu kelas yang memiliki kewenangan (dominan) dengan kelas yang tidak memiliki kewenangan (subjeksi). Menurut teori konflik yang dikemukakan oleh Dahrendorf ini,

16 Juanda. 2004. Hukum Pemerintahan Daerah: Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara

DPRD dan Kepala Daerah. Bandung: Alumni, hal 199

17

Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, 2010. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hal 366

(18)

masyarakat terintegrasi karena adanya kelompok kepentingan dominan yang menguasai masyarakat banyak. Dalam setiap kehidupan bermasyarakat selalu ada asosiasi seperti Negara, industri, partai, agama, klub-klub dan sebagainya. Dalam setiap asosiasi akan selalu ada dua kelas tersebut, yaitu yang menjadi pihak dominan dan pihak subjeksi. Dengan demikian, jika dalam kehidupan sosial terdapat 100 asosiasi, pasti akan terdapat 200 kelas sosial. Semakin banyaknya kelas sosial dalam masyarakat akan semakin rentan terhadap konflik antar kelas.

Meskipun tidak ada defenisi tunggal mengenai pengertian konflik, sebagian besar defenisi melibatkan faktor-faktor seperti setidaknya ada dua kelompok yang berbeda dan masing-masing independen, masing-masing kelompok tersebut melihat beberapa ketidakcocokan antara mereka sehingga masing-masing kelompok tersebut berinteraksi dalam beberapa cara. Ketidakcocokan tersebut bisa muncul dari hal-hal seperti adanya pihak yang merasakan bahwa kepentingannya sedang ditentang atau diancam oleh pihak lain dan proses interaktif yang tercipta justeru terwujud dalam bentuk ketidakcocokan, perselisihan atau disonansi dalam sebuah entitas sosial.18

1. Sistem sosial terdiri dari unsur-unsur atau kelompok-kelompok yang saling berhubungan satu sama lain.

Jonathan Turner membagi Sembilan tahapan menuju konflik terbuka, yaitu:

18

Rahim, M.A. 2002. Toward a Theory of Managing Original Conflict. The International Journal of Conflict Management, hal 16

(19)

2. Di dalam unit-unit atau kelompok-kelompok itu terdapat

ketidakseimbangan pembagian kekuasaan atau sumber-sumber

penghasilan.

3. Unit-unit atau kelompok-kelompok yang tidak berkuasa atau tidak mendapat bagian dari sumber-sumber penghasilan mulai mempertanyakan legitimasi sistem tersebut.

4. Pertanyaan atas legitimasi itu membawa mereka pada kesadaran bahwa mereka harus mengubah sistem alokasi kekuasaan atau sumber-sumber penghasilan itu demi kepentingan mereka.

5. Kesadaran itu menyebabkan mereka secara emosional terpancing untuk marah.

6. Kemarahan itu sering kali meledak begitu saja atas cara yang tidak terorganisasi.

7. Keadaan yang demikian menyebabkan mereka semakin tegang.

8. Ketegangan yang semakin hebat menyebabkan mereka mencari jalan untuk mengorganisir diri guna melawan kelompok yang berkuasa.

9. Akhirnya konflik terbuka bisa terjadi antara kelompok yang berkuasa dan tidak berkuasa. Tingkatan kekerasan dalam konflik sangat bergantung kepada kemampuan masing-masing pihak untuk mendefenisikan kembali kepentingan mereka secara objektif atau kemampuan masing-masing pihak untuk menanggapi, mengatur, dan mengontrol konflik itu.19

19

(20)

Dalam kesembilan tahapan tersebut, Turner merumuskan kembali proses terjadinya konflik dalam sebuah sistem sosial atau masyarakat. Pada akhirnya, konflik yang terbuka antara kelompok-kelompok yang bertikai sangat bergantung kepada kemampuan masing-masing pihak untuk mendefenisikan kepentingan mereka secara objektif dan untuk menangani, mengatur dan mengontrol kelompok itu.

F.3 Pengaturan Konflik

Antara kehidupan sosial dan konflik merupakan gejala yang tidak dapat dipisahkan antara satu dan lainnya sehingga dalam setiap kehidupan sosial akan tercipta pola-pola “hukum kekekalan konflik”. Artinya konflik tidak dapat diciptakan dalam kehidupan sosial dan juga tidak dapat dimusnahkan. Asumsi ini dilandasi oleh kenyataan bahwa konflik merupakan gejala yang serba hadir dan melekat dalam setiap kehidupan sosial sehingga melenyapkan konflik berarti melenyapkan kehidupan sosial itu sendiri.20

Konflik sosial tidak dapat dimusnahkan melainkan dapat diatur (conflict

configuration), sehingga setiap konflik tidak berlangsung dalam bentuk

kekerasan. Dalam mekanisme ini, Ralf Dahrendorf melihat proses konflik dari segi intensitas dan sarana yang digunakan dalam konflik itu sendiri. Intensitas diartikan sebagai tingkat keterlibatan kontestan konflik yang di dalamnya terdapat waktu, tenaga, dana, dan pikiran. Adapun kekerasan (violence) diartikan sebagai sarana yang digunakan oleh pihak-pihak yang terlibat konflik (kontestan konflik)

20

(21)

dalam memperjuangkan kepentingannya. Berangkat dari asumsi ini, maka dapat dikatakan bahwa konflik tidak dapat diselesaikan, artinya konflik akan menjadi pertentangan antara tesis dan antithesis yang akan menghasilkan sintesis. Namun pada gilirannya, sintesis ini akan menjadi tesis kembali yang menghadapi antitesis sehingga melalui mekanisme pengaturan konflik yang berupa konsoliasi akan muncul sintesis baru, begitu seterusnya.21

Sementara itu menurut Rahim Meta ada yang disebut dengan resolusi konflik yang melibatkan perjuangan, penghapusan atau penghentian segala bentuk dan jenis konflik. Ketika orang berbicara tentang resolusi konflik mereka cenderung menggunakan istilah-istilah seperti negosiasi, tawar-menawar, mediasi dan arbitrase.22

Konsoliasi adalah pengaturan konflik melalui lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan proses pengambilan keputusan di antara pihak-pihak yang terlibat dalam perselisihan tentang persoalan –persoalan yang dipertentangkan. Pengaturan konflik konsoliasi akan berjalan efektif jika memenuhi empat faktor, yaitu:23

1. Lembaga-lembaga tersebut harus bersifat otonom yang berkewenangan membuat keputusan tanpa campur tangan dari pihak luar. Tidak boleh ada intervensi dari pihak manapun dalam memengaruhi keputusan peradilan.

21

Ibid, hal 386 22

Rahim, M.A. 2002, Op.cit hal 206 23

Ralf Dahrendorf. 1986. Konflik dan Konflik dalam Masyarakat Industri: Sebuah Analisis Kritik. Jakarta: Rajawali Press. Hal, 228

(22)

2. Kedudukan lembaga tersebut harus bersifat monopolistik, artinya lembaga itulah yang berfungsi mengatur konflik.

3. Peranan lembaga-lembaga tersebut harus memiliki kekuatan mengikat, sehingga pihak-pihak yang sedang bersengketa merasa terikat kepada keputusan lembaga tersebut.

4. Lembaga tersebut harus bersifat demokratis, artinya aspirasi dari pihak-pihak yang bertikai harus didengarkan dan diberikan kesempatan yang sama untuk menyatakan pendapatnya.

Pengaturan konflik akan efektif jika memenuhi tiga hal, yaitu: 24

1. Kedua belah pihak menyadari akan adanya situasi konflik di antara mereka dan menyadari pula perlunya melaksanakan prinsip-prinsip keadilan, kejujuran antar pihak yang bertikai.

2. Yang terlibat konflik adalah organisasi kelompok kepentingan, artinya konflik sosial tersebut terorganisasi secara jelas, maka pengaturannya akan efektif, dan jika konflik sosial tersebut tak terorganisasi maka pengaturannya tidak akan efektif.

3. Adanya suatu aturan permainan (rule of the game) yang disepakati dan ditaati bersama, sebab aturan permainan itu akan menjamim kelangsungan hidup kelompok-kelompok yang berkonflik.

G. Metode Penelitian

24

(23)

Metode penelitian merupakan suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan yang terdapat dalam suatu penelitian. Metodologi penelitian merupakan epistemologi penelitian, yaitu menyangkut bagaimana kita mengadakan penelitian .25

Penelitian ini berjenis penelitian kualitatif deskriptif. Jenis penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan secara cermat karakteristik dari fakta-fakta (individu, kelompok atau keadaan) dan untuk menentukan frekuensi sesuatu yang terjadi. Penelitian jenis ini dimaksudkan untuk memberikan deskripsi seteliti mungkin tentang manusia atau suatu keadaan.

metode dalam penelitian ini adalah :

G.1 Jenis Penelitian

26

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Aek Nabara Barumun Kabupaten Padang Lawas dan di kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Padang Lawas yang terletak di Sibuhuan. Pertimbangan mengenai pemilihan daerah konflik yang menjadi objek penelitian adalah karena penulis berasal dari daerah Padang Lawas dan sudah mengenal daerah konflik tersebut.

Jenis penelitian ini dipilih oleh penulis karena penulis ingin menggambarkan mengenai peran anggota DPRD Padang Lawas dalam penyelesaian konflik antara PT SRL dan PT SSL dengan masyarakat adat Kecamatan Aek Nabara Barumun Kabupaten Padang Lawas dan kemudian disajikan secara lengkap.

G.2 Lokasi Penelitian

25

Prof. Dr. Husaini Usman, M.Pd., M.T dan Purnomo Setiady Akbar, M.Pd. 2009. Metodologi Penelitian Sosial, Jakarta: Bumi Aksara. Hal. 41

26

(24)

G.3 Jenis dan Sumber Data

Jenis dan sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Jenis data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini yang bersifat kualitatif. Adapun yang dimaksud dengan data kualitatif adalah data yang tidak berbentuk angka-angka, melainkan dalam bentuk deskripsi berupa berbagai keterangan menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan materi penelitian ini seperti penyajian data dalam kerangka teori dan data-data yang berkaitan dengan peran legislatif dalam penyelesaian konflik dan sebagainya.

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang langsung diperoleh dari sumber data pertama dari lokasi penelitian berupa hasil daftar pertanyaan berupa wawancara mendalam dengan pihak-pihak terkait dengan pembahasan pada penelitian ini. Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh bukan dari sumber langsung melainkan data yang telah dikumpulkan oleh orang lain ataupun instansi lain. Data ini dapat berupa data yang berasal dari buku, dokumen, jurnal, berita dan sebagainya.

(25)

Untuk memperoleh data yang relevan, akurat dan mampu menjawab permasalahan secara objektif, maka digunakan beberapa teknik yang sesuai dengan sifat dan jenis data yang ada. Penelitian ini dilakukan melalui penelitian lapangan (field research) dan penelitian pustaka (library research).

Pada penelitian lapangan, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara. Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara bebas terpimpin. Wawancara bebas terpimpin adalah wawancara yang menggunakan pedoman wawancara (daftar pertanyaan) berupa kalimat-kalimat yang tidak permanen atau mengikat.27

a. Pihak dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Padang Lawas Wawancara dilakukan dengan beberapa informan dengan metode penetapan Purpossive sampling yaitu merupakan metode penetapan sampel (informan) dengan berdasarkan kriteria-kriteria tertentu yang disesuaikan dengan informasi yang dibutuhkan. Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini di antaranya adalah sebagai berikut :

b. Pihak dari Camat Aek Nabaara Barumun

c. Beberapa orang masyarakat Kecamatan Aek Nabara Barumun yang

bersengketa

Sedangkan penelitian kepustakaan yang dilakukan adalah dengan melakukan pencarian dari berbagai sumber kepustakaan yang ada seperti buku, jurnal,

27

Iin Tri Rahayu dan Tristiadi Ardi Ardani. 2004. Observasi dan Wawancara. Malang: Bayu media publishing, hal 79

(26)

dokumen, peraturan-peraturan, laporan-laporan dan lain sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini.

G.5 Teknik Analisis Data

Teknik yang digunakan dalam menganalisis data pada penelitian ini adalah teknik analisis data kualitatif. Metode kualitatif dapat didefenisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang berupa ucapan, tulisan dan perilaku yang diamati. Teknik analisis data dalam penelitian ini dimulai dari proses pengumpulan data kemudian data tersebut dianalisis dengan variabel-variabel yang terdapat dalam kerangka teori. Dari hasil analisis data tersebut, dihasilkan suatu kesimpulan dari jawaban permasalahan yang ada dalam penelitian ini.

H. Sistematika Penulisan BAB I: PENDAHULUAN

Bab pertama berisi uraian dan penjelasan yang terdapat dalam delapan bagian, yaitu latar belakang masalah, perumusan masalah, pembatasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II: DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN DAN GAMBARAN SENGKETA PERTANAHAN ANTARA PT SRL DAN PT SSL DENGAN MASYARAKAT ADAT KECAMATAN AEK NABARA BARUMUN

(27)

Bab ini penulis akan menjabarkan mengenai profil dari pihak-pihak yang bersengketa, sejarah singkat sengketa lahan tersebut, termasuk upaya-upaya apa saja yang sudah dilakukan untuk menyelesaikan sengketa lahan tersebut. Selain itu, penulis juga akan memberikan penjabaran mengenai gambaran umum kondisi terkini dari sengketa lahan antara pihak yang bersengketa

BAB III: PERAN ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PADANG LAWAS DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERTANAHAN ANTARA PT SUMATERA RIANG LESTARI DAN PT SUMATERA SILVA LESTARI DENGAN MASYARAKAT ADAT KECAMATAN AEK NABARA BARUMUN KABUPATEN PADANG LAWAS

Bab ketiga ini penulis akan membagi pembahasan ke dalam dua bagian, yang pertama yaitu menggambarkan mengenai peran anggota DPRD Padang Lawas dalam penyelesaian sengketa pertanahan antara PT Sumatera Riang Lestari (SRL) dan PT Sumatera Silva Lestari (SSL) dengan masyarakat adat Kecamatan Aek Nabara Barumun. Bagian kedua adalah kendala-kendala yang dihadapi oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Padang Lawas dalam penyelesaian sengketa pertanahan antara PT Sumatera Riang Lestari (SRL) dan PT Sumatera Silva Lestari (SSL) dengan masyarakat adat Kecamatan Aek Nabara Barumun.

BAB IV: PENUTUP

Bab keempat ini berisi kesimpulan, saran, dan implikasi teoritis dari hasil analisis data dan hasil dari penelitian yang telah dilakukan.

Referensi

Dokumen terkait

Sementara itu, untuk PPKT yang masuk ke dalam kelompok ranking prioritas pengembangan ke-1 sampai dengan ke-3 memiliki potensi yang relatif besar sebagai objek kunjungan

Hasil penelitian tersebut dapat ditransferkan atau diterapkan ke situasi sosial (tempat lain) lain, apabila situasi sosial lain tersebut memiliki kemiripan atau kesamaan

Dalam suatu penelitian implikasi dapat digunakan untuk membandingkan suatu penelitian yang lalu dengan penelitian yang terbaru. Pada skripsi ini implikasi yang dimaksud

Semen Baturaja (Persero) Tbk Palembang dan data dianalisis menggunakan teknik regresi sederhana.Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya hubungan yang sangat signifikan

Kursus penguasaan kemahiran asas ini bertujuan untuk memperkenalkan pelajar kepada asas-asas komunikasi menggunakan pendekatan bersepadu berdasarkan empat kemahiran

Pokja Katalog Buku Kurikulum 2013 Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) akan melaksanakan Pelelangan Umum Itemized untuk Katalog Cetak Buku Kurikulum 2013

Perlu dibuat aplikasi yang dapat membantu dalam penghitungan gaji karyawan yang terstruktur serta meliputi data presensi karyawan, pajak, asuransi, tunjangan, komisi dan