• Tidak ada hasil yang ditemukan

SAMBUTAN KETUA PANITIA SEMINAR NASIONAL RETII KE-9 TAHUN 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SAMBUTAN KETUA PANITIA SEMINAR NASIONAL RETII KE-9 TAHUN 2014"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

SAMBUTAN

KETUA PANITIA SEMINAR NASIONAL RETII KE-9 TAHUN 2014

Assalamu’alaikum wr.wb.

Salam sejahtera bagi kita semua

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga Seminar

Nasional ReTII ke-9 Tahun 2014 dapat terlaksana. Seminar tahun ini mengusung tema

“Eco-Technology”: Paradigma Pembangunan Masa Depan untuk Mendukung Masterplan

Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).

Seminar Nasional ReTII ke-9 tahun ini diikuti oleh 102 pemakalah dengan rincian dari

STTNAS sebanyak 27 pemakalah dan dari perguruan tinggi lainnya sebanyak 75 pemakalah.

Adapun sebaran institusi perguruan tinggi yang telah berpartisipasi antara lain: Universitas

Gadjah Mada Yogyakarta, Universitas Diponegoro Semarang, ITS Surabaya, Universitas

Sebelas Maret Surakarta, UII Yogyakarta, UPN Veteran Yogyakarta, Universitas Atma Jaya

Yogyakarta, Universitas Atma Jaya Jakarta, Universitas Trisakti Jakarta, UNISSULA

Semarang, Universitar Kristen Petra Surabaya, Politeknik Negeri Jakarta, Politeknik Negeri

Semarang, Politeknik Negeri Lhokseumawe, Universitas Islam Malang, Pusat Kajian Sistem

Energi Nuklir BATAN dan beberapa perguruan tinggi lainnya.

Panitia mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada

Keynote-speech

, para

pemakalah, hadirin dan semua pihak yang telah ikut serta mendukung terselenggaranya

kegiatan seminar tahunan ini.

Panitia telah bekerja semaksimal mungkin agar acara seminar tahunan berlangsung dengan

baik dan lancar. Namun apabila masih ada didapati adanya beberapa kekurangan dari panitia,

kami dari panitia memohon maaf yang sebesar-besarnya. Kritik dan saran yang konstruktif

dari para peserta sangat kami harapkan demi perbaikan acara seminar dimasa mendatang.

Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Esa meridhoi acara seminar ini dan bermanfaat bagi

kita semua khususnya untuk mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

dalam pembangunan Indonesia. Amin.

Wassalamu’alaikum wr.wb.

Yogyakarta, 13 Desember 2014

Hormat

Kami,

(4)

Pembukaan Seminar Nasional

Rekayasa Teknologi dan Informasi (ReTII) ke-9

Yogyakarta, 13 Desember 2014

Assalamu’alaikum wr.wb

Salam sejahtera bagi kita semua

Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT karena hanya dengan

ridhoNya kita dapat berkumpul di sini dalam rangka Seminar ReTII ke-9 dalam keadaan sehat

wal’afiat. Mudah-mudahan Allah SWT juga memberi kemudahan kepada panitia dalam

menyelenggarakan seminar ini. Demikian juga kepada para peserta dalam mengikuti acara

seminar ini.

Seminar ReTII kali ini merupakan yang ke-9 dan merupakan agenda tahunan STTNAS yang

dimaksudkan agar dapat menjadi ajang temu para pakar untuk saling tukar pengalaman,

informasi, berdiskusi, memperluas wawasan dan untuk merespon perkembangan teknologi

yang demikian pesat. Selain itu diharapkan adanya kerja sama dari para pakar yang hadir

sehingga menghasilkan penelitian bersama yang lebih berkualitas dan bersama-sama pula ikut

memecahkan persoalan-persoalan teknologi untuk kemandirian bangsa.

Semoga seminar ini dapat terselenggara dengan baik dan memenuhi harapan kita semua.

Akhirnya saya ucapkan terima kasih kepada panitia dan semua pihak yang membantu

sehingga acara Seminar ReTII ke-9 ini dapat terselenggara dengan baik. Jika ada yang kurang

dalam penyelenggaraan seminar ini, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Wassalamu’alaikum wr.wb.

Yogyakarta, 13 Desember 2014

Ketua

STTNAS

(5)

Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

DAFTAR ISI

Halaman

SUSUNAN PANITIA ...

i

SAMBUTAN KETUA PANITIA ...

ii

SAMBUTAN KETUA STTNAS ...

iii

DAFTAR ISI ...

v

BUKU III

SMART CITIES DAN PEMBANGUNAN EKONOMI WILAYAH

1. Model Pengelolaan Kawasan Waduk dengan Konsep Minapolitan Berbasis Air Tawar(Studi Kasus : Kawasan Waduk Gajah Mungkur, Kec. Wuryantoro, kab. Wonogiri) Eppy Yuliani1, Al’Aswad2 ... 469

2. Klasifikasi Provinsi Indonesia Menggunakan Fuzzy Adaptive Clustering untuk Mengetahui Pengaruh Faktor Lingkungan Hidup Terhadap Tingkat KeluhanKesehatan Ani Apriani ... 477

3. Peran Perangkat Insentif dan Disinsentif dalam Pengendalian Pemanfaatan RuangKawasan Konurbasi Perkotaan di Indonesia : Perspektif Implementasi MP3EI Dana Adisukma1, Solikhah Retno Hidayati2, Septiana Fathurrohmah3 ... 481

4. Pengurangan Resiko Bencana Banjir Lahar Dingin : Tinjauan Program Pasca ErupsiMerapi 2010 di Sungai Code Kota Yogyakarta Eva Silfana1, Novi Maulida Ni’mah2, Achmad Wismoro3 ... 489

5. Analisa Kualitas Permukiman Penduduk di Kecamatan Gondokusuman denganPendekatan Ekologis M. Resa Syahroni K1, Fahril Fanani2, Achmad Wismoro3 ... 497

6. ArahanPenataan Ruang Berbasis Mitigasi Bencana Tsunami di Pantai ParangtritisKabupatan Bantul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Van Thani Dafikri1, Yusliana2, Achmad Wismoro3 ... 503

7. IdentifikasiPerubahan Penggunaan Lahan di Kecamatan Temon Kabupaten KulonProgo Adite Suryono1, Achmad Wismoro2, Septiana Fathurrohmah3 ... 511

8. Kajian Peremajaan Lingkungan Permukiman Perkotaan di Kelurahan Kotabaru Kecamatan Gondokusuman Kota Yogyakarta Studi Kasus : Permukiman Kumuh Bantaran kali Code Hendra Cristanto Subanu1, Fahril Fanani2 ... 517

9. Kajian Alternatif Pengelolaan Infrastruktur Air Bersih Di Kawasan Perkotaan Yogyakarta Ronaldus Budiman Laoth1, Fahril Fanani2 ... 523

(6)

2. Pemanfaatan Limbah Serutan Baja Laboratorium Teknologi Mekanika Teknik MesinSTTNAS Yogyakarta Sebagai Campuran Beton Terhadap Peningkatan Daktilitas Material Beton

Lilis Zulaicha1, Marwanto2 ... 539 3. Kaca Sebagai Elemen PassiveCooling System

Andi Prasetiyo Wibowo ... 545 4. Aplikasi Metode Hidrograf Satuan Collins dalam Analisis Hidrograf Banjir Sungai

Code

Andrea Sumarah Asih1, Supatno2 ... 553 5. Penggunaan Regresi Linear Sederhana untuk Memprediksi Daya Dukung Tanah

Lempung(Studi Kasus di Dusun Degan 2, Banjararum, kalibawang, Kulon Progo, Yogyakarta)

Ridayati1, Ismanto2 ... 561 6. Beton Ramah Lingkungan Studi Mikrostruktur Beton Geopolimer

Ridho Bayuaji ... 567 7. Pemanfaatan Air Embung Waerita, Kecamatan Waegete, kabupaten Sikka,

ProvinsiNTT

Sujendro1, Triwuryanto2 ... 571 8. Studi Identifikasi Potensi Bangunan Penampung Air Kayangan, Kulon Progo

(7)

Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

MODEL PENGELOLAAN KAWASAN WADUK DENGAN

KONSEP MINAPOLITAN BERBASIS AIR TAWAR

(Studi Kasus : Kawasan Waduk Gajahmungkur, Kec. Wuryantoro,

Kab. Wonogiri)

Eppy Yuliani 1,Al’Aswad 2

Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah & Kota, Fakultas Teknik UNISSULA 1,2

epp.yul@gmail.com 1

Abstrak

Kecamatan Wuryantoro, Kabupaten Wonogiri merupakan pusat desa yang memiliki tingkat pertumbuhan tinggi. Tingkat produktivitas yang tinggi di sektor pertanian khususnya sub sektor perikanan membuka kesempatan masyarakat untuk melakukan pembukaan lahan baru menjadi lahan budidaya yang bisa menempati area konservasi (garis sempadan sungai, bendungan, pantai dan sebagainya). Pemanfaatan kawasan waduk Gajahmungkur menjadi peluang yang besar dalam pengembangan perikanan produktiv bagi masyarakat Wuryantoro. Dalam rangka meningkatkan produktivitas di sekitar kawasan waduk, perlu adanya pengembangan dalam bentuk konsep Minapolitan berbasis air tawar. Tujuan dilaksanakan penelitian ini adalah : Menemukan model pengelolaan Kawasan Waduk Melalui Konsep Minapolitan air tawar. Metode pendekatan yang digunakan adalah kualitatif rasionalistik dengan teknik analisis deskriptif empiris. Kesimpulan dari penelitian ini :1) karakteristik aktivitas lahan di sekitar waduk meliputi perikanan, pertanian, pemasaran hasil perikanan. model pengelolaan dalam pemanfaatan ruang kawasan Waduk Gajahmungkur, meliputi :Bidang Kelestarian Sumber Hayati Perikanan; Bidang budidaya perikanan; Bidang pemasaran; Bidang kelembagaan; Bidang pengolahan pasca panen; Bidang pendidikan dan penyuluhan;Bidang penelitian; Bidang pengendalian dan pengawasan. 2) model pengelolaan minapolitan berbasis air tawar dengan tipologi budidaya Keramba Jaring Apung dan perikana tangkap dapat dikembangkan di Kawasan Waduk Gajah Mungkur, dengan didukung infrastruktur yang baik. Dengan level 1 dibawah pengelolaan Perum Jasa Tirta pemanfaatan kawasan waduk ; level 2 dibawah pengelolaan Dinas Perikanan dan Kelautan; level 3 dibawah pengelolaan kelompok Nelayan binaan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Wonogiri.

Kata kunci : model, pengelolaan, waduk, minapolitan, air tawar.

1. Pendahuluan

Menghadapi pembangunan yang terjadi di Kabupaten Wonogiri yang terus berkembang dari waktu ke waktu mengakibatkan munculnya berbagai pusat pusat pertumbuhan (growth pole) baru, yang harus segera ditanggapi dengan positif dan seksama. Perkembangan suatu desa dipengaruhi oleh berbagai faktor perubahan antara lain faktor sosial, ekonomi, kultural dan politis. Manifestasi dari perubahan yang terjadi diatas adalah adanya perubahan struktur fisik desa. Selain daripada itu penduduk dan peningkatan aktifitas kegiatan penduduk akan meningkatkan tuntutan akan pelayanan kebutuhan perumahan, pusat perbelanjaan, pusat

dapat memacu pertumbuhan perekonomian desa tersebut.

Kecamatan Wuryantoro, Kabupaten Wonogiri merupakan pusat desa yang memiliki tingkat pertumbuhan tinggi. Tingkat produktivitas yang tinggi di sektor pertanian khususnya sub sektor perikanan membuka kesempatan masyarakat untuk melakukan pembukaan lahan baru menjadi lahan budidaya yang bisa menempati area konservasi (garis sempadan sungai, bendungan, pantai dan sebagainya). Pemanfaatan kawasan waduk Gajahmungkur menjadi peluang yang besar dalam pengembangan perikanan produktiv bagi masyarakat Wuryantoro. Dalam rangka meningkatkan produktivitas di sekitar kawasan waduk, perlu adanya pengembangan dalam bentuk konsep

(8)

2. Metodologi Penelitian

Secara umum penelitian ini bersifat analisis deskriptif dengan menggunakan

pendekatan Kualitatif Rasionalistik yang

berfokus pada pendekatan lingkungan (behaviour approach) dan pendekatan ekonomi keruangan (spatial economic approach). Pendekatan ini dilakukan untuk melihat perubahan bentuk dan fungsi pemanfaatan ruang lahan yang ada di kawasan studi berkaitan dengan perkembangan aktivitas pemanfaatan lahan yang ada di sekitar kawasan waduk. Pendekatan ini juga untuk menemukenali faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan model pengelolaan kawasan waduk dengan konsep minapoplitan air tawar (dalam hal ini akan dikaji konsep penentuan pengembangan kawasan waduk dalam dikembangkan menjadi kawasan minapolitan air tawar).

Pada studi ini digunakan beberapa analisis yang merupakan dari pendekatan yang diambil

dengan didukung oleh metode analisis deskriptif

empiris.

3. Hasil dan Pembahasan

3.1 Karakteristik Aktivitas Pemanfaatan Lahan

Sekitar Waduk Gajahmungkur Di Kecamatan Wuryantoro Kabupaten Wonogiri

Kecamatan Wuryantoro memiliki luas wilayah sebesar 7260,77 Ha, dimanfaatkan untuk menampung fungsi sawah, tegalan, permukiman, belukar dan fungsi lainnya. Berdasarkan distribusi jenis fungsi tersebut, diketahui bahwa bagian terbesar lahan dimanfaatkan untuk fungsi tegalan yaitu sebesar 33 % (pada sumber data, kelompok fungsi lainnya tersebut tidak diperinci lebih lanjut) dan diikuti oleh fungsi kebun (17 %), dan permukiman (17 %). Sementara itu, jenis fungsi yang menggunakan lahan terkecil adalah fungsi rumput, dan belukar, yaitu masing-masing sebesar 1 % dan 0 %. Secara rinci, luas penggunaan lahan untuk masing-masing fungsi dapat ditampilkan pada tabel berikut :

Tabel 1

Penggunaan Lahan Di Kecamatan Wuryantoro Tahun 2011

No Jenis Penggunaan Lahan Luas (Ha) Persentase %

1 Air Tawar 49,237 1 2 Belukar 90,822 1 3 Kebun 1244,054 17 4 Permukiman 1262,039 17 5 Rumput 8,514 -6 Sawah Irigasi 1127,716 16

7 Sawah Tadah Hujan 626,094 9

8 Tegalan 2383,787 33

9 Lainnya 468,507 6

Jumlah 7260,770 100

Sumber : Kecamatan Wuryantoro dalam angka tahun 2012

(9)

Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

Masyarakat yang terdapat di kawasan waduk Gajahmungkur terutama di kecamatan Wuryantoro adalah penduduk asli. Selain itu, di Kecamatan Wuryantoro juga terdapat penduduk pendatang dari luar daerah seperti dari daerah Gunung Kidul, Manyaran dan beberapa daerah disekitar Kecamatan Wuryantoro dan Kabupaten Wonogiri. Dari hasil pengamatan di lapangan bahwa penduduk asli kawasan sekitar waduk Gajahmungkur di Kecamatan Wuryantoro sebesar 93% dan untuk penduduk pendatang sebesar 7%.

Aktivitas masyarakat di Kecamatan Wuryantoro khususnya pada kawasan sekitar waduk Gajahmungkur adalah aktivitas menangkap ikan pada saat musim penghujan, sedangkan pada

saat musim kemarau aktivitas masyarakat yang terjadi pada kawasan sekitar waduk Gajahmungkur adalah aktivitas pertanian. Fenomena perubahan aktivitas yang terjadi pada saat musim kemarau dan penghujan ini mulai terjadi sekitar ± 4 tahun terakhir. Masyarakat di kawasan sekitar waduk Gajahmungkur memiliki alasan yang berbeda-beda untuk memanfaatkan lahan sempadan waduk Gajahmungkur ini. Dari hasil survei kuesioner dengan jumlah responden 60 orang, alasan yang paling banyak dipilih oleh masyarakat adalah jarak yang dekat dari rumah untuk berkegiatan dengan memanfaatkan lahan sempadan waduk sebanyak 26 orang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dan diagram berikut ini :

Tabel 2

Alasan Masyarakat Memilih Berkegiatan Pada Kawasan Sempadan Waduk Gajahmungkur

Alasan Jumlah Persen (%)

Lokasi yang strategis, tersedia angkutan umum 8 13

Jarak yang dekat dari rumah 26 43

Dekat dengan pekerjaan di Kawasan Waduk 24 40

Lainnya 2 10

Sumber : Hasil kuesioner, 2013

Selain itu masyarakat di Kecamatan

Wuryantoro juga memiliki pekerjaan sampingan lainnya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dan gambar diagram berikut ini :

Tabel 3

Jenis Mata Pencaharian Masyarakat Sekitar Waduk Gajahmungkur Di Kecamatan Wuryantoro

Jumlah Persen Jumlah Persen

JenisPekerjaan Pekerjaan Pekerjaan

(%) (%) Utama Sampingan Petani 22 37 31 52 Pedagang 4 7 3 5 Wiraswasta/Pengusahakecil 2 3 3 5

Buruh (tani, industri, bangunan) 0 0 4 7

Nelayan 26 43 15 25

Penyedia jasa 0 0 2 3

Lainnya 6 10 2 3

Sumber :Hasil kuesioner, 2013

Tabel

Luas Pemanfaatan Lahan Pada Kawasan Sempadan Waduk di Kecamatan Wuryantoro

(10)

3.2 Bentuk Pengelolaan Pemanfaatan Ruang Bidang Perikanan Kawasan Waduk gajahmungkur

Bentuk pengelolaan dari kegiatan budidaya perikanan pada kawasan Waduk Gajahmungkur adalah sebagai berikut :

1. Bidang Kelestarian Sumber Hayati Perikanan

Sampai dengan tahun 2013 ditebarkan benih ikan secara swadaya kelompok petani ikan/nelayan dan PT. Aquafarm Nusantara di perairan Waduk Gajahmungkur sejumlah 1.046.000 ekor jenis ikan tawes, nila, karper dan jambal (Pangasius).

2. Bidang Penangkapan

Hingga akhir tahun 2013 telah terbentuk kelompok petani ikan / nelayan sekitar Waduk Gajahmungkur sejumlah 56 kelompok dengan jumlah anggota sekitar 1.496 orang. Produksi ikan hasil tangkapan di perairan waduk tahun 2013 adalah 1.784,2 ton dengan komoditas patin, nila tawes, baung, betutu, lukas, karper, udang tawar dan ikan asli waduk lainnya.

3. Bidang Budidaya

Budidaya perikanan yang dikembangkan di perairan Waduk Gajahmungkur adalah sebagai berikut :

Karamba jaring apung (KJA) milik petani

Karamba jaring apung (KJA) pola kemitraan antara petani dan PT. Aquafarm Nusantara

PT. Aquafarm Nusantara Swadaya masyarakat 4. Bidang Pemasaran

Langkah-langkah yang ditempuh untuk memasarkan hasil dari budidaya perikanan yang dikembangkan di perairan Waduk Gajahmungkur adalah sebagai berikut : Membuka jaringan pemasaran di seluruh wilayah Wonogiri. Dan di luar wilayah Kabupaten Wonogiri. Pemasaran baik berupa ikan segar maupun yang sudah diolah. 5. Bidang Pengolahan / Pasca Panen :

Dengan Pembentukan sentra Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan di desa Sendang Kecamatan Wonogiri.

6. Bidang Kelembagaan

Mendirikan Balai Pertemuan Nelayan.

Membentuk Kelompok Petani Ikan dan Nelayan di sekitar perairan waduk.

Membentuk Kelompok Petani Pembudidaya Ikan KJA.

Membentuk Kelompok Pengolah dan Pemasaran Hasil Perikanan.

7. Bidang Pendidikan dan Penyuluhan

Kursus / pelatihan / magang dan studi banding petani pembudidaya ikan dan nelayan.

Pertemuan Koordinasi Usaha Perikanan di perairan waduk Serba Guna Gajah Mungkur Wonogiri secara rutin 3 bulan sekali yang melibatkan kelompok petani ikan / nelayan, kelompok bakul / pengepul ikan, petugas Dinas Nakperla kecamatan terkait.

Pembinaan / penyuluhan kelompok petani pembudidaya ikan KJA dan nelayan.. Pelatihan pengolahan ikan patin oleh Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan Jakarta. 8. Bidang Pengawasan dan Pengendalian

Telah dibentuk POKMASWAS (Kelompok Masyarakat Pengawas) pada tahun 2009 dengan personil antara lain anggota kelompok nelayan sekitar WSG Gajah Mungkur Wonogiri,

Setiap tahun dilaksanakan pengawasan perairan WSG Gajah Mungkur Wonogiri dengan cara operasi langsung di kawasan perairan waduk oleh tim yang terdiri dari unsur Disnakperla, Satpol PP dan Kepolisian baik dari Sumber Dana APBD Kab. Wonogiri maupun APBD Prov. Jawa Tengah.

Diagram bentuk pengelolaan dapat dilihat sebagai berikut:

(11)

Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

Gambar 2. Bidang Pengelola Pemanfaatan Ruang Aspek Komoditas Perikanan Di Sekitar Waduk Gajahmungkur Di Kecamatan Wuryantoro

Badan pengelola ini dapat dibentuk berdasarkan dari kepentingan pemangku kebijakan di Kabupaten Wonogiri guna dapat mengoptimalkan sumber daya produktifitas dan pengendalian laju kegiatan budidaya di sekitar kawasan waduk Gajahmungkur

3.3 Konsep Pengembangan Kawasan

Waduk Gajahmungkur Berdasarkan Karakteristik dan Tipologi

Saat ini perairan Waduk Gajhmungkur telah digunakan untuk usaha atau budidaya perikanan air tawar dengan Keramba Jaring Apung (KJA) dan penebaran ikan tangkap. Setiap tahun rata-rata dihasilkan 900 ton ikan hasil budidaya dari 1.000 ton ikan hasil tangkap. Budidaya perikanan Keramba Jaring Apung (KJA) tersebar di enam Kecamatan di sekitar waduk yaitu Kecamatan Wonogiri, Ngadirejo, Nguntoronadi, Eromoko, Baturetno, dan Wuryantoro. Budidaya perikanan Keramba

Jaring Apung (KJA) tidak hanya dilakukan oleh masyarakat sekitar waduk saja, terdapat satu perusahaan yang juga melakukan budidaya perikanan KJA yaitu PT Aquafarm.

Jumlah KJA di perairan Waduk Gajahmungkur berdasarkan data penelitian Balai Riset Perikanan Perairan Umum (BRPPU) pada tahun 2009 adalah 1054petak yang terdiri dari :

a. KJA milik masyarakat sebanya 574 petak. b. KJA milik PT Aquafarm sebanyak 480 petak.

Kepemilikan masyarakat bervariasi antara 6 – 60 petak. Ukuran keramba jaring apung antara 4 m x 4 m, 5 m x 5 m, dan 6 m x 6 m. Bahan pembuatan keramba terdiri dari waring dengan kerangka pipa besi. Jenis ikan yang dibudidayakan adalah ikan nila, ikan patin, dan ikan tawes.

Berikut ini adalah produksi dari perikanan tangkap dan perikanan budidaya di Waduk Gajahmungkur :

Tabel 7

(12)

Kecamatan Wuryantoro memiliki banyak sumberdaya lokal yang dapat dimanfaatkan dan diolah oleh masyarakatnya sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Daya dukung dari sumberdaya yang ada seperti lahan dan adanya Waduk Gajahmungkur menjadikan Kecamatan Wuryantoro menjadi salah satu kecamatan yang memiliki potensi sumberdaya lokal cukup banyak. Lokasi Kecamatan Wuryantoro yang berbatasan langsung dengan Waduk Gajahmungkur memberikan keuntungan tersendiri bagi masyarakat di Kecamatan Wuryantoro. Dibangunnya Waduk Gajahmungkur memberikan dampak positif bagi masyarakat karena masyarakat dapat memanfaatkan sumberdaya air dan sumberdaya lahan yang ada di kawasan

Waduk Gajahmungkur untuk meningkatkan kesejahteraan hidup mereka. Waduk Gajahmungkur untuk kedepannya dapat terus terjaga kelestarian lingkungannya dan tidak terjadi eksploitasi sumberdaya yang berlebihan.

3.4 Model Pengelolaan Kawasan Waduk

Gajah Mungkur dengan Konsep Minapolitan Berbasis Air Tawar

Dengan adanya strategi pengembangan kawasan Minapolitan dapat memacu percepatan pertumbuhan dan pengembangan sektor perikanan di masa yang akan datang. Secara konseptual, Minapolitan adalah konsep pembangunan ekonomi berbasis perikanan dengan pendekatan dan sistem manajemen kawasan berdasarkan prinsip-prinsip integrasi, efisiensi, kualitas, dan akselerasi tinggi.

Dengan memperhatikan potensi perikanan

di Kabupaten Wonogiri khususnya di Kawasan Waduk Gajah Mungkur, dan beberapa wilayah hinterlandnya memberikan komoditas unggulan perikanan sebagai berikut :

Tipologi budidaya berikanan kawasan waduk Gajah Mungkur tergolong dalam Perikanan Air Tawar, dengan model budidaya Keramba Jaring Apung dan Perikanan Tangkap.

Dengan dukungan infrastruktur :

1. Dukungan infrasruktur meliputi jaringan jalan dengan akses distribusi pemasaran

yang baik; sarana irigasi/pengairan;jaringan listrik; saluran

drainase; Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI)

2. Dukungan keberadaan Pos Penyuluhan Perikanan di Kawasan Waduk Gajah Mungkur.

3. Partisipasi Masyarakat Tani dan Nelayan dalam wadah Kelembagaan Kelompok Tani Nelayan di Kecamatan Wuryantoro, dan sekitarnya.

Berikut adalah elemen dasar sistem Pasar Minapolitan yang dapat diimplementasikan di Kawasan Waduk Gajah Mungkur Kabupaten Wonogiri.

(13)

Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

Dengan memperhatikan elemen tersebut, maka dalam mendukung pengembangan Minapolitan di Kawasan Waduk Gajah Mungkur

dapat dikembangkan sektor-sektor strategis seperti diagram berikut.

Gambar 4 Sektor-sektor Strategis Yang Dikembangkan Di Kawasan Minapolitan

Model pengelolaan waduk Gajahmungkur yang dapat diterapkan dalam kegiatan penelitian ini adalah dengan model mitra 3 sektor, dimana sektor level 1 adalah pengelolaan ini dibawah kewenangan pengelola waduk Gajahmungkur dan pemerintah provinsi Jawa Tengah, kemudian sektor level 2 adalah Pemerintah Kabupaten Wonogiri yang merupakan pengelolaan untuk kelompok-kelompok tani dan nelayan yang ada, dan sektor level 3 merupakan level akhir adalah pengelolaan dalam internal lokal kelompok nelayan dan tani yang ada, dengan kewenangannya pada sampai memproduksi dan membudidaya komoditas yang ada. Adapun gambaran model pengelolaannya dapat dilihat pada gambar berikut.

ruang bidang perikanan kawasan Waduk Gajahmungkur, meliputi :

Bidang Kelestarian Sumber Hayati Perikanan

Bidang penangkapan ikan Bidang budidaya

Bidang pemasaran Bidang kelembagaan

Bidang pengolahan pasca panen Bidang pendidikan dan penyuluhan Bidang penelitian

Bidang pengendalian dan pengawasan 2. Pengelolaan Kawasan Waduk Gajah

Mungkur dapat dilakukan dengan pengembangan Minapolitan berbasis air tawar, dengan budidaya Keramba Jaring Apung dan perikanan tangkap.

Dukungan infrastruktur dan kelembagaan kelompok tani nelayan dapat mempercepat pengembangan wilayah baik sebagai Kota Tani ( Kecamatan Wuryantoro, Kecamatan Eromoko) dan sekitarnya , maupun sebagai Kota Tani Utama Kecamatan Kota Wonogiri. Disana terdapat beberapa kelompok nelayan dengan jenis ikan yang dibudidayakan adalah ikan nila, ikan patin, ikan tawes. Pemasaran hasil budidaya perikanan untuk budidaya KJA dapat dieksport hingga keluar negeri dan

(14)

pengelolaan ini dibawah kewenangan pengelola waduk Gajahmungkur dan pemerintah provinsi Jawa Tengah, kemudian sektor level 2 adalah Pemerintah Kabupaten Wonogiri yang merupakan pengelolaan untuk kelompok-kelompok tani dan nelayan

Berdasarkan kesimpulan tersebut diatas direkomendasikan :

1. Adanya pembatasan pemanfaatan lahan di kawasan waduk agar tidak terjadi penyimpangan pemanfaatan ruang oleh masyarakat. Sehingga fungsi waduk dapat optimal sebagai sumberdaya perairan. 2. Bentuk pengelolaan bidang perikanan dalam

pengembangannya sebagai Minapolitan perlu dukungan oleh pemerintah daerah, masyarakat tani nelayan dan pihak swasta. Ucapan terima kasih isampaikan kepada : 1. DP2M DIKTI yang telah memberikanan

sumber dana pelaksanaan penelitian.

2. Dinas perikanan dan Kelautan Kab.Wonogiri.

3. PT Jasa Tirta sebagai pengelola Waduk Gajah Mungkur.

Daftar Pustaka

Adisasmita, Rahardjo. 2014. Pertumbuhan Wilayah dan Wilayah Pertumbuhan. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Aswad, Al; 2009, “Identifikasi Tata Ruang Kawasan Agropolitan Kota Tani Utama (KTU) Kecamatan Wuryantoro Kabupaten Wonogiri ”, Penelitian Pribadi, Semarang Boothroyd, P. 1991. Developing Communty

Planning Skills : Aplication of Seven-Step Model. UBC Centre for Human Settlements. Vancouver.

Choy,D.L. 1997. Perencanaan Ekowisata. Belajar dari Pengalaman di South East Queesland. Proceedings on The Planning and Workshop of Planning Sustainable Tourism. Penerbit

ITB, Bandung.

Damanik, J. dan Weber, H.F. 2006. Perencanaan Ekowisata – Dari Teori ke Aplikasi. Penerbit Andi. Yogyakarta.

Dirawan, G. D. 2003. Analisis Sosio-Ekonomi dalam Pengembangan Ekotourisme pada Kawasan Suaka Marga Satwa Mampie Lampoko. IPB. Bogor.

Dwi Sofiati, Nurdin Harahap, Pudji Purwanti. 2011. Nilai Ekonomi Pemanfaatan Waduk Gajah Mungkur, Kabupaten Wonogiri. sepk.ub.ac.id/berita444.

Faulkner, B. 1997. Tourism Development in Indonesia. In Big Prespective. Proceeding 25 on the Training and Workshop of Planning Sustainable Tourism. Penerbit ITB. Bandung.

Hadi, S. P. 2005. Motodologi Penelitian Kualitiatif : Kuantitatif, Kualitatif dan Kaji Tindak. Bahan Kuliah. MIL Undip. Semarang.

Hadi, S. P. 2007. Pariwisata Berkelanjutan (Sustainable Tourism). Makalah Seminar Sosialisasi Sadar Wisata ”Edukasi Sadar Wisata bagi Masyarakat di Semarang. Krismono,

1995. Penataan Ruang Perairan Umum

untuk Mendukung Agribisnis dan Agroindustri. Prosiding Simposium Perikanan Indonesia I Tanggal 25-27 Agustus 1995. Jakarta.

Mitchell, B., Setiawan, B dan Rahmi, D. H. 2000. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Nugroho, I. 2004. Ecotourism. Universitas Widya

Gama. Malang.

Pedoman Umum Pengembangan Kawasan Minapolitan, Direktorat Prasarana dan Sarana Budidaya, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2009.

Ramly, N. 2007. Pariwisata Berwawasan Lingkungan. Grafindo Khazanah Ilmu. Jakarta.

Rangkuti, F. 1997. Analisis SWOT : Tehnik Membedah Kasus Bisnis. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Suripin. 2002. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air

(15)

Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

 

Klasifikasi Provinsi Indonesia Menggunakan Fuzzy Adaptive

Clustering untuk Mengetahui Pengaruh Faktor Lingkungan

Hidup Terhadap Tingkat Keluhan Kesehatan

Ani Apriani

Dosen Matematika pada Jurusan Teknik Geologi STTNAS Yogyakarta Ani03015@gmail.com

Abstrak

Kesehatan merupakan suatu hal yang sangat berharga bagi diri seseorang. Seiring dengan perkembangan kehidupan semakin beragam keluhan kesehatan. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pengaruh faktor lingkungan hidup terhadap tingkat keluhan kesehatan. Data yang digaunakan adalah data sekunder yang diambil dari data BPS tahun 2010. Metode analisis data dengan metode klasifikasi yaitu pengklasteran dengan menggunakan Fuzzy Adaptive Clustering (FAC). Dalam hal ini, jumlah klaster di tentukan yaitu 3 klaster. Faktor-faktor lingkungan dengan nilai persentase rata-rata terbesar pada klaster 1 yaitu kepemilikan resapan taman atau tanah dan perilaku memilah sampah, dan faktor lingkungan dengan persentase terkecil pada klaster 1 adalah lubang resapan berpori, keberadaan tanaman keras, dan kebiasaan menggunakan air bekas untuk keperluan lain. Faktor-faktor lingkungan dengan persentase rata-rata terbesar pada klaster 2 yaitu keberadaan tanaman keras, dan lubang resapan berpori dan faktor lingkungan dengan persentase terkecil pada klaster 2 adalah kepemilikan kendaraan bermotor, resapan taman/tanah dan perlakuan memilah sampah. Sedangkan Faktor lingkungan dengan persentase rata-rata terbesar pada klaster 3 yaitu Sumur resapan, kebiasaan memanfaatkan air bekas untuk keperluan lain dan kepemilikan kendaraan bermotor.

Kata Kunci: Fuzzy Adaptive Clustering, keluhan Kesehatan, Lingkungan Hidup

1. Pendahuluan

Kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi semua manusia. Sehat menjunjung manusia untuk dapat mampu melakukan berbagai aktivitas yang produktif sehingga diharapkan memperoleh hasil yang positif. Hasil yang positif ini akan mampu mendorong manusia menuju kehidupan sejahtera. Menurut Badan Pusat Statistik derajat kesehatan penduduk merupakan cerminan kualitas sumber daya manusia suatu bangsa untuk menciptakan kesejahteraan bersama (Komisi Nasional Lanjut Usia, 2010).

Keluhan kesehatan adalah gangguan terhadap kondisi fisik maupun jiwa, termasuk karena kecelakaan, atau hal lain yang menyebabkan terganggunya kegiatan sehari-hari. Pada umumnya keluhan kesehatan utama yang banyak dialami oleh penduduk adalah panas, sakit kepala, batuk, pilek, diare, asma/sesak nafas, sakit gigi. Orang yang menderita penyakit kronis dianggap mempunyai keluhan kesehatan walaupun pada waktu survei

Pengetahuan mengenai derajat kesehatan suatu masyarakat dapat menjadi pertimbangan dalam pembangunan bidang kesehatan, yang bertujuan agar semua lapisan masyarakat memperoleh pelayanan kesehatan secara mudah, murah dan merata. Melalui upaya tersebut, diharapkan akan tercapai derajat kesehatan masyarakat yang lebih baik. Selain pelayanan yang ditingkatkan, upaya pencegahan dengan upaya promotif dan preventif perlu dilakukan supaya jumlah yang sakit atau rakyat dengan keluhan kesehatan semakin sedikit. Lingkungan hidup merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat keluhan kesehatan masyarakat.

2. Metode

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif non eksperimental yaitu penelitian dengan menggunakan penilaian angka tanpa adanya perlakuan (Sugiyono, 2009). Adapun teknis analisis kuantitatif menyajikan perhitungan dengan

(16)

2.2Metode Analisis Data

Metode klasifikasi yang digunakan adalah metode pengklasteran dengan menggunakan FAC untuk mengetahui kesamaan kondisi lingkungan provinsi di Indonesia. Dalam hal ini, jumlah klaster di tentukan yaitu 3 klaster. Setelah diperoleh ketiga klaster, kemudian di lihat nilai rata-rata persentase tingkat keluhan berdasarkan ketiga klaster tersebut, dengan melihat nilai rata-rata persentase setiap faktor lingkungan dengan dengan tingkat keluhan diperoleh kondisi lingkungan yang membuat tingkat keluhan kesehatan tinggi atau rendah.

3. Landasan Teori

3.1 Logika Fuzzy

Logika fuzzy adalah suatu cara yang tepat untuk memetakan suatu ruang input kedalam suatu ruang output. Titik awal dari konsep modern mengenai ketidakpastian adalah paper yang dibuat oleh Lofti A Zadeh (1965). Logika fuzzy adalah peningkatan dari logika Boolean yang berhadapan dengan konsep kebenaran sebagian. Logika fuzzy memungkinkan nilai keanggotaan antara 0 dan 1. Proposisi dalam logika fuzzy memiliki derajat kebenaran , dan keanggotaan dalam fuzzy set dapat sepenuhnya inklusif , sepenuhnya eksklusif , atau beberapa derajat [J. C. Bezdek,1973]. Derajat keanggotaan dapat di definisikan sebagai berikut dimana

: nilai keanggotaan fuzzy : himpunan fuzzy

: domain

3.2 Fuzzyclustering

Integrasi logika fuzzy dengan teknik data mining menjadi salah satu unsure penting dalam perkembangan soft computing dalam penanganan permasalahan yang ditimbulkan dalam suatu data yang besar [sankar,2002]. Ide utama dari fuzzy clustering adalah membagi atau mempartisi data dalam kumpulan klas. Setiap data ditandai dengan nilai keanggotaan untuk masing-masing klas [G. Raju,2008]. Nilai maksimum dari nilai keanggotaan menunjukan di klas mana data akan ditempatkan, seperti ditunjukan dalam gambar berikut

Titik tengah klas memiliki nilai keangotaan maskimum dan keanggotaan secara bertahap menurun ketika data bergerak menjauh dari pusat klas. Maka fuzzy clutering merupakan metode yang fleksibel dan kuat untuk menangani data dengan ketidakpastian dan ketidakjelasan. Dalam fuzzy clustering, setiap data akan dikaitkan dengan derajat keanggotaan di setiap klas. Nilai derajat keanggotaan berada pada rentang 0 dan 1 dan menunjukan kekuatan hubungan data dalam klas tersebut.

3.3 Fuzzy C-Means Clustering

Fuzzy c mean clustering (FCM) [Bezdek et all, 1984] memiliki dua proses perhitungan yaitu menghitung pusat klaster dan menghitung jarak setiap titik terhadap pusat klaster tersebut dengan jarak euklid . Proses ini diulang sehingga pusat klaster stabil atau nilai minimal jarak setiap data dengan pusat klaster diperoleh. Fungsi tujuan dari FCM adalah sebagai berikut:

 

dengan kendala

dimana,

: Parameter fuzzy dengan nilai > 1. : Derajat keanggotaan data dalam

klater : Dataset : pusat klaster.

Partisi FCM dilakukan secara iterative sehingga fungsi tujuan minimal dengan update derajat keanggotaan dan pusat klaster sebagai berikut :

 

dan

 

3.4 Fuzzy Adaptive Clustering

Fuzzy adaptive clustering (FAC) merupakan modifikasi dari FCM dan dikemukakan oleh [Krisnapuram, 1999 ]. Dalam FAC,, nilai keanggotaan dalam metode ini dihitung dengan menggunakan

(17)

Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

 

 

FAC lebih efisien dalam menangani data dengan outlier. Dibandingkan dengan FCM, FAC memberikan nilai keanggotaan yang sangat rendah untuk data outlier [e cox, 2005]. Karena jumlah dari jarak setiap titik terhadap klaster melibatkan perhitungan keanggotaannya, metode ini cenderung menghasilkan nilai keanggotaan yang rendah ketika jumlah klaster dan titik meningkat, dan ini merupakan batasan dalam FAD.

4. Hasil dan Pembahasan

Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data sekunder yang diambil dari data BPS tahun 2010. Metode FAC diimplementasikan dalam program MATLAB untuk menklasterkan provinsi-provinsi di Indonesia yang memiliki kondisi lingkungan hidup, kemudian membandingkan dengan kondisi keluhan kesehatan masayarakat di setiap provinsi. Diskripsi kondisi lingkungan hidup dan keluhan kesehatan di Indonesia dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Deskripsi statistik kondisi lingkungan hidup dan keluhan kesehatan Descriptive Statistics 33 .37 12.29 2.8548 2.11358 33 .07 4.66 1.5333 1.02792 33 8.09 66.30 32.1845 11.64901 33 2.27 17.17 8.4676 3.79905 33 14.23 34.95 22.5421 5.76207 33 15.88 74.24 55.8870 10.96813 33 5.88 48.68 13.7748 8.17921 33 26.68 44.95 33.5545 4.36660 33 Sumur resapan Lubang resapan biopori Taman/tanah berumput Kebiasaan

Memanfaatkan Air Bekas untuk Keperluan Lain Kepemilikan Kendaraan Bermotor Perlakuan Memilah Sampah Keberadaan Tanaman Keras/Tahunan Prosentase Keluhan kesehatan Valid N (listwise)

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

Sumber: data diolah; http://www.bps.go.id/ tentang lingkungan hidup dan keluhan kesehatan tahun 2010 Dengan menentukan jumlah klaster yaitu 3, maka metode FAC memberikan hasil sebagai berikut :

Gambar 1. Pusat klaster dengan menggunakan metode FAC

Pada gambar 1, menunjukan posisi pusat klaster untuk setiap masing-masing klaster, jarak terdekat setiap masing-masing data terhadap pusat klaster memiliki nilai keanggotaan yang lebih besar, sehingga data akan menjadi anggota pada klaster yang jaraknya terdekat dengan pusat klaster. Setelah diperoleh anggota – anggota pada ketiga klaster, kemudian dihitung nilai rata-rata setiap faktor pada setiap klater dan di bandingkan dengan tingkat keluhan kesehatannya. Nilai rata-rata ditampilkan dalam tabel 2.

Tabel 2. Nilai rata-rata lingkungan hidup berdasarkan hasil klaster FAC

Faktor Lingkungan hidup Klaster 1 Klaster 2 Klaster 3 Sumur resapan 2.0200 1.9978 3.8700 Lubang resapan biopori 1.3567 1.8878 1.4267 Resapan Taman/tanah 46.9756 22.1600 29.3247 Kebiasaan Memanfaatkan Air Bekas untuk Keperluan Lain 7.7578 8.1722 9.0707 Kepemilikan Kendaraan Bermotor 22.1167 20.1089 24.2573 Perlakuan Memilah Sampah 62.0400 42.2411 60.3827 Keberadaan Tanaman Keras/Tahunan 12.5967 14.4667 14.0667 Prosentase Keluhan kesehatan 35.8544 30.8022 33.8260 Jumlah anggota 9 9 15

Dari tabel 2. Dapat dilihat bahwa pada klaster 1 memiliki persentase rata-rata keluhan kesehatan terbesar yaitu 35.8544 pada 9 provinsi, sedangkan klaster 2 memiliki persentase rata-rata keluhan kesehatan terkecil yaitu 30.8022 dengan 9 provinsi. Faktor-faktor lingkungan dengan nilai persentase rata-rata terbesar pada klaster 1 yaitu kepemilikan resapan taman atau tanah dan perilaku memilah sampah, dan faktor lingkungan dengan persentase terkecil pada klaster 1 adalah lubang resapan berpori, keberadaan tanaman keras, dan kebiasaan menggunakan air bekas untuk keperluan lain. Sedangkan faktor-faktor lingkungan dengan persentase terbesar pada klaster 2 yaitu keberadaan tanaman keras, dan lubang resapan berpori dan

(18)

bermotor. Nampak juga perilaku memilah sampah cukup tinggi akan tetapi juga diimbangi dengan keberadaan tanaman keras yang juga tinggi.

5. Kesimpulan

Berdasarkan dari analisa di atas, dapat disimpulkan bahwa, faktor lingkungan dengan keluhan kesehatan terbesar adalah semakin banyak kepemilikan resapan taman/tanah tetapi keberadaan tanaman keras sedikit. Sedangkan faktor lingkungan dengan keluhan terkecil adalah semakin sedikit resapan tanah, semakin banyak lubang biopori, sedikit kepemilikan kendaraan dan semakin banyak tanaman keras.

Daftar Pustaka

Bezdek, J. C.,Ehrlich R. (1984). Full W. FCM: The Fuzzy C-Means Clustering Algorithm . Computers & Geosciences Vol. 10, No. 2-3, pp. 191-203.

E. Cox. (2005). Fuzzy Modeling And Genetic Algorithms For Data Mining And Exploration, Elsevier.

G. Raju, A. Singh, Th. Shanta Kumar, Binu Thomas. (2008). Integration of Fuzzy Logic in Data Mining: A comparative Case Study. Proc. Of International Conf. on Mathematics and Computer Science, Loyola College, Chennai, 128-136

J. C. Bezdek. (1973). Fuzzy Mathematics in Pattern Classification, Ph.D. thesis, Center for Applied Mathematics. Cornell University, Ithica, N.Y.

Komisi Nasional Lanjut Usia, 2010

Krishnapuram R and Kim J. (1999). A Note on the Gustafson–Kessel and Adaptive Fuzzy Clustering Algorithms. Ieee transactions on fuzzy systems, vol. 7, no. 4, august 1999.

Sankar K. Pal, P. Mitra .(2002). Data Mining in Soft Computing Framework: A Survey. IEEE transactions on neural networks, vol. 13, no. 1, January 2002

Sugiyono. 2009. Statistik Untuk Penelitian. Alfabeta. Bandung.

http://www.bps.go.id/menutab.php?tabel=1&kat=1 &id_subyek=152

(19)

Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

PERAN PERANGKAT INSENTIF DAN DISINSENTIF DALAM

PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG KAWASAN

KONURBASI PERKOTAAN DI INDONESIA:

Perspektif Implementasi MP3EI

Dana Adisukma 1, Solikhah Retno Hidayati 2, dan Septiana Fathurrohmah 3

Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota, Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS), Babarsari, Depok, Sleman, Yogyakarta

adisukmadana@gmail.com

Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota, Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS), Babarsari, Depok, Sleman, Yogyakarta 2

Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota, Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS), Babarsari, Depok, Sleman, Yogyakarta 3

Intisari

Pembangunan kawasan perkotaan di Indonesia telah berkembang dengan sangat cepat. Kondisi tersebut dipicu oleh beberapa faktor, yang meliputi infastruktur wilayah, struktur ruang, kondisi sosial ekonomi dan budaya, serta aktivitas pengelolaan sumberdaya yang mampu menghubungkan kawasan-kawasan perkotaan tersebut pada skala perencanaan mezzo dan mikro. Pada tingkat yang lebih makro, sekumpulan kawssan perkotaan tersebut dikolaborasikan dalam bentuk kawasan con-urban atau konurbasi yang berfungsi menyatukan kegiatan perkotaan yang memiliki keseragaman tertentu untuk pembangunan kota yang lebih terpadu. Pada kerangka kebijakan yang tertuang dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia atau sering disebut MP3EI. Kekuatan konektivitas dan linkage system yang dibangun pada kerangka kebijakan tersebut tertuang dalam kebijakan pembentukan kawasan konurbasi perkotaan. Pada proses pembangunan kawasan tersebut, perlu didukung dengan sebuah perangkat pengendalian pemanfaatan ruang kawasan yang mampu melindungi aset-aset penting lingkungan agar perkotaan tersebut dapat terbangun secara berkelanjutan. Salah satu perangkat tersebut, yaitu perangkat insentif dan disinsentif. Pada beberapa kawasan konurbasi perkotaan, antara lain kawasan Jabodektabekpunjur, Joglosemar, Kedungsepur, dan lain sebagainya, perangkat ini digunakan juga untuk melindungi aset-aset lingkungan fisik, sosial, budaya dan infrastruktur alami. Bentuk perangkat yang sering digunakan adalah pemberian nilai pajak yang beragam sebagai bentuk kompensasi dan reward kepada pemanfaat kawasan. Pada akhirnya, kaitan perangkat insentif dan disinsentif ini dalam kerangka kebijakan MP3EI ini, yaitu terletak pada pemenuhan prinsip keberhasilan implementasi pembangunan MP3EI adalah “Kampanye untuk Melaksanakan Pembangunan dengan Pertimbangan Prinsip-prinsip Pembangunan yang berkelanjutan”.

Kata Kunci: perangkat insentif-disinsentif, pengendalian pemanfaatan ruang, kawasan konurbasi perkotaan,

MP3EI

1. Pendahuluan

Pembangunan perkotaan pada prinsipnya sangat terkait dengan pembangunan infrastruktur dan keterkaitan antar wilayah perkotaan disekitarnya. Kedua komponen utama pembangunan wilayah perkotaan tersebut dianggap penting dalam pertimbangan pengambilan kebijakan (Kirmanto, 2005). Bertumbuhkembangnya wilayah perkotaan yang kecil akibat intensitas urbanisasi yang tinggi menyebabkan kebutuhan akan modal dan infrastruktur turut meningkat. Infrastruktur dan

sangat cepat sehingga membutuhkan ruang lebih luas sehingga lambat laun menimbulkan pusat-pusat aktivitas baru di berbagai wilayah di Indonesia. Wilayah yang saat ini disebut wilayah perkotaan ini telah berkembang tidak hanya di sekitar pusat kota saja, namun sudah berkembang hingga wilayah sub-urban atau kawasan pinggiran kota. (Handayani dan Iwan, 2012; Saputra, 2008; Suryo, 2004)

Mengkaji wilayah perkotaan di Indonesia merupakan kajian yang amat penting untuk dijadikan fokus utama dalam konteks pembangun

(20)

yang terbatas yang dimiliki oleh masing-masing wilayah perkotaan (Rulia, 2012). Fenomena urbanisasi di Indonesia sangat mendominasi dalam bertumbuhnya penduduk pada kawasan perkotaan khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang, Medan, Makasar, dan lain sebagainya. Dalam kajian urbanisasi sendiri permasalahan-permasalahan yang dihadapi juga sangat rumit, khususnya pada persebaran penduduk di Indonesia yang masih didominasi di Pulau Jawa. Dilain sisi, persebaran penduduk yang masih berkutat di Pulau Jawa ini juga memiliki faktor pembatas yang berupa lahan di Pulau Jawa yang sangat terbatas sekali untuk menampung sekitar 60% jumlah penduduk Indonesia. Magnet kota-kota besar di Pulau Jawa lebih menjanjikan daripada di kota-kota besar lainnya dalam hal pemenuhan kebutuhan penduduk (Prijadi, 2001)

Fenomena ini berpotensi menimbulkan masalah-masalah yang sangat rumit, bukan hanya permasalahan ruang yang terbatas untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat, namun juga permasalahan sosial-ekonomi. Ketiga faktor utama yang turut andil dalam timbulnya masalah di perkotaan membutuhkan suatu alternatif solusi agar permasalahan-permasalahan tersebut dapat dikendalikan dampaknya (Saputra, 2008). Terlebih fokus pada pengendalian dampak perkembangan perkotaan, beberapa pendekatan pengendalian pemanfaatan ruang perkotaan dapat menjadi acuan dalam upaya-upaya tersebut. Beberapa perangkat utama yang saat ini masih diupayakan dalam pengendalian pemanfaatan ruang perkotaan, meliputi perangkat rencana detail tata ruang, perangkat peraturan zonasi dan mekanisme insentif disinsentif (Kartika, 2011). Ketiga perangkat tersebut saat ini dirasa cukup efektif dalam pengendalian pemanfaatan ruang karena dirasa sesuai untuk mengurangi dampak ketidaksesuaian perkembangan kawasan perkotaan dengan rencana tata ruang yang sudah disusun. Terkhusus pada perangkat mekanisme insentif disinsentif, kebanyakan kawasan perkotaan masih menggunakan turunan dari kebijakan pusat seperti Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), dan lain sebagainya untuk mensinkronkan antar produk rencana tata ruang. Penggunakan mekanisme insentif disinsentif dalam pengendalian pemanfaatan ruang kawasan konurbasi perkotaan sudah menjadi agenda utama penyusunan produk rencana tata ruangnya, seperti kawasan megapolian Jabodetabek, Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan), kawasan BBK (Batam, Bintan, Karimun), kawasan perkotaan Mamminasata (Makasar, Maros, Sungguminasa,Takalar), kawasan perkotaan Mebidangro (Medan, Binjai, Deli Serdang, Karo) dan lain sebagainya (Anonim, 2011a, 2011b, 2011c, 2011d). Dalam upaya penerapan mekanisme tersebut, para pemangku kepentingan masih

mengalami berbagai kendala. Banyaknya kepentingan politik dalam pemerintahan daerah dan dinamika lingkungan sehingga penerapan mekanisme ini kurang maksimal. Selain itu, ego sektoral pemerintah daerah dan legalitas hukum atas produk rencana tata ruang juga menjadi kendala dalam mengendalikan pemanfaatan ruang kawasan perkotaan (Bakar, 2008; Kartika, 2011). Berdasarkan deskripsi tersebut diatas, tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji peranan mekanisme insentif disinsentif dalam pengendalian pemanfaatan ruang kawasan konurbasi perkotaan di Indonesia. Tujuan ini juga terkait dengan kendala-kendala yang dihadapi.

2. Tinjauan Literatur dan Konsep

2.1.Konsep dan tujuan pembentukan kawasan

konurbasi

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa kawasan konurbasi perkotaan dapat dikatakan juga sebagai kawasan yang terpadu dari sisi fisik perkotaan dan aktivitas penduduknya (Saputra, 2011). Pada termonologi lain juga menyebutkan bahwa kawasan konurbasi perkotaan juga mungkin muncul sebagai akibat pemekaran wilayah yang berada di sekitar wilayah yang memiliki kegiatan utama atau inti. Pemekaran wilayah ini lebih didominasi oleh kepentingan ekonomi wilayah inti yang membutuhkan lahan yang lebih luas untuk menampung sumberdaya manusia yang bekerja di wilayah inti. Saat ini konsep pemekaran wilayah khususnya di wilayah perkotaan dinilai relatif efektif daripada hanya berdiri pada pengembangan potensi internal perkotaan (Tarigan, 2010). Pembentukan kawasan perkotaan ini semata-mata bukan terbentuk karena perkembangan alamiah morfologi kota saja, namun juga pada beberapa kawasan perkotaan terbentuk secara disengaja oleh pemerintah daerah ataupun pemerintah pusat. Pembentukan kawasan perkotaan yang secara disengaja inilah yang disebut oleh kawasan konurbasi perkotaan. Pembentukan kawasan konurbasi perkotaan ini disebabkan oleh banyak argumentasi logis dan spasial. Pada kebanyakan kebijakan yang diambil pemerintah, kawasan ini terbentuk oleh adanya kepentingan ekonomi dan sosial yang saling membutuhkan (Suweda, 2011). Pada masing-masing kawasan konurbasi perkotaan tersebut memiliki tujuan pembentukan yang berbeda-beda, tergantung pada fungsi kawasan dan kondisi geografis yang ada. Beberapa tujuan pembentukan kawasan konurbasi perkotaan tersebut meliputi:

 Kawasan konurbasi dengan tujuan sebagai pembangunan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, seperti yang terdapat di kawasan Batam, Bintan dan Karimun (Anonim, 2011d). Kawasan ini diusulkan dengan tujuan untuk pengembangan kawasan perekonomian

(21)

Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

khusus berskala internasional dan sebagai kawasan pertahanan negara.

 Kawasan konurbasi dengan tujuan sebagai kawasan strategis nasional, seperti yang terdapat pada kawasan perkotaan Jabodetabekpunjur (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur). Kawasan ini diusulkan dengan alasan kota Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi skala nasional dan internasional (Anonim, 2008b)

 Kawasan konurbasi dengan tujuan sebagai kawasan konservasi tanah dan air, seperti yang terdapat pada kawasan Bogor, Puncak dan Cianjur (Anonim, 1999). Kawasan ini ditetapkan dengan fungsi tersebut dikarenakan lokasi kawasan ini berada di hulu sungai Ciliwung yang bermurara di Kota Jakarta. Pada kebijakan ini lebih ditekankan pada aspek lingkungan sehingga kebijakan ini juga mampu berfungsi sebagai instrumen mitigasi bencana di linkungan Daerah Aliran Sungai.

 Kawasan konurbasi dengan tujuan sebagai kawasan metropolitan internasional, seperti pada kawasan Mamminasata (Makasar, Maros, Sungguminasa, Takalar) (Anonim, 2011b). Kawasan ini terbentuk dengan tujuan sebagai pusat pertumbuhan berorentasi pelayanan berskala internasional di kawasan Timur Indonesia.

 Kawasan konurbasi dengan tujuan sebagai Kawasan Kawasan metropolitan yang juga kawasan konurbasi yang telah ditetapkan adalah kawasan Mebidangro (Medan, Binjai, Deli Serdang, dan Karo). Kawasan ini berpusat di kota inti, yaitu Kota Medan sebagai kawasan pengembangan ekonomi berskala nasional dan internasional khususnya kerjasama sub-regional dalam bidang ekonomi Segitiga Pertumbuhan Indonesia-Malaysia-Thailand (Anonim, 2011c)

 Kawasan konurbasi dengan tujuan sebagai kawasan metropolitan yang berbasi pada wisata skala nasional adalah kawasan perkotaan Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan). Kawasan ini berpusat di Kota Denpasar yang juga sebagai Ibukota Propinsi Bali (Anonim, 2011a)

2.2.Perangkat insentif dan disinsentif

Telah jelas bahwa proses perencanaan ruang dalam konteks penataan ruang wilayah dan kota

pemahaman logis tersebut, Sunarno (2004) mengungkapkan bahwa penyelenggaraan penataan ruang pada skala nasional dan daerah butuh untuk ditertibkan dan dilaksanakan secara sistematis dan realistis.

Bahkan dalam lingkup yang lebih rinci, Supsiloani (2009) mengungkapkan bahwa wilayah dalam prespektif pengendalian pemanfaatan ruang perlu untuk dikaji upaya pengawasan dan penertiban yang efektif, tegas dan konsekuen dalam pelaksanaan tata ruang. Begitu pula pada mekanisme insentif disinsentif dalam perspektif global, baik dalam kajian pengendalian pemanfaatan ruang bahkan dalam pengelolaan sumberdaya alam. Mekanisme ini dipandang oleh Pasya (2002) sebagai dua hal penting yang harus diperhatikan, yaitu:

 Pemberian insentif bagi masyarakat harus terjangkau dan tidak menyulitkan masyarakat dalam mengakses insentif tersebut

 Pemberian insentif harus tepat guna dan tepat sasaran agar tidak dipandang sebagai tindakan disinsentif

Mekanisme insentif disinsentif dalam perspektif pengendalian pemanfaatan ruang memiliki beberapa komponen utama yang disesuaikan dengan tujuan dari pengendalian pemanfaatan ruang tersebut. Komponen utama pada mekanisme insentif meliputi keringanan pajak, pemberian kompensasi, subsudi silang, sewa ruang, urun saham; pembangunan serta pengadaan infrastruktur; kemudahan prosedur perijinan; pemberian penghargaan. Komponen utama pada mekanisme disinsentif meliputi pengenaan pajak yang tinggi pada pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang ada serta pembatasan infrastruktur dan pengenaan kompensasi dan pinalti (Anonim, 2007).

3. Metode

Penelitian ini pada dasarnya sangat mudah dipahami secara kontekstual dan prinsip. Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan beberapa studi literatur dan mencoba membandingkan beberapa kajian tentang pengendalian pemanfaatan ruang melalui metode komparatif. Literatur yang digunakan merupakan literatur yang terkait dengan penelitian yang dikaji, yaitu meliputi jurnal, buletin, majalah, laporan kegiatan dan penelitian, dan kebijakan pemerintah (peraturan menteri, peraturan presiden, undang-undang, dan lain sebagainya). Metode penelitian yang diambil hanya sebuah pengungkapan deskriptif sebuah pemahaman

(22)

3. Hasil dan Pembahasan

3.1.Dinamika pembentukan kawasan perkotaan

dan konurbasinya di Pulau Jawa dan Luar Jawa

Pemahaman tentang kawasan perkotaan memiliki banyak sudut pandang dalam berbagai kajian. Hal tersebut dikarenakan pembentukan morfologi kawasan perkotaan dibentuk berdasarkan beberapa faktor, yaitu ekonomi, pemerintahan dan politik, mobilitas tenaga kerja, kebutuhan akan ruang, aksesibilitas dan transportasi, pemekaran wilayah, pembangunan kawasan baru, aktivitas budaya, dan dinamika lingkungan (Anonim, 2008a; Darmawan, dkk, 2008; Adam, 2010; Aristanti dan Wiyono, 2008). Pemahaman tentang kawasan perkotaan ini dalam pengembangannya memunculkan suatu bentuk kawasan perkotaan yang terintegrasi dengan kawasan sekitarnya. Pembentukan ini kawasan ini juga dipicu oleh suatu bentuk kerjasama antar kawasan perkotaan sebagai akibat dari bentuk simbiosis mutualisme antar kawasan (Harmantyo, 2007). Kawasan terintegrasi tersebut seringkali disebut kawasan konurbasi perkotaan yang saat ini berkembang pesat di Indonesia. Penelitian oleh Panuju, dkk (2004) menyebutkan bahwa salah satu kawasan strategis nasional di Pulau Jawa yang juga menjadi kawasan perkotaan yang paling berkembang di Indonesia, yaitu Jabodetabek (Jabodetabek). Awal mulanya Kota Jakarta sebagai pusat pemerintahan nasional tumbuh dengan pesat hampir ke seluruh pelosok administratif kota. Pertumbuhan di kota ini ada sebagai akibat dari urbanisasi dan aktivitas ekonomi berskala internasional yang ada di sekitarnya. Konsekuensi yang harus dialami oleh Kota Jakarta adalah keterbatasan akan ruang terhadap penduduk yang melebihi ambang batas mengakibatkan kota ini berinisiatif menjalin kerjasama antar kawasan kota yang berada disekitarnya.

Bentuk kerjasama serupa juga terjadi di beberapa wilayah di Pulau Jawa khususnya di Propinsi Jawa Tengah. Bertumbuhkembangnya kawasan konurbasi lainnya, yaitu kawasan Barlingmascakeb (Bajarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, Kebumen). Kawasan konurbasi ini muncul sebagai akibat dari kesamaan aktivitas ekonomi regional dan pembangunannya serta didukung dengan kondisi geografis dan bentang alam yang relatif sama. Akibatnya penetapan akitivitas kawasan ini lebih diarahkan sebagai kawasan agroindustri berkelanjutan. Fenomena urbanisasi di kawasan konurbasi ini juga menjadi isu utama serta mempengaruhi pengembangan wilayah dan terjalinnya kerjasama antar wilayah tersebut. Menurut hasil penelitian yang telah dilakukan, Kabupaten aktivitas urbanisasi tertinggi terjadi di Kabupaten Banyumas sedangkan yang terendah terjadi di Kabupaten Banjarnegara. Fluktiatifnya pertumbuhan ekonomi di wilayah-wilayah ini serta

didukung dengan potensi sumberdaya alam berupa lahan pertanian yang luas sehingga menyebabkan pertumbuhan penduduk akibat urbanisasi terpusat di kawasan yang subur dan memiliki aksesibilitas yang baik (Aristanti dan Wiyono, 2008; Anonim, 2009).

Pada kasus-kasus perkembangan kawasan perkotaan menjadi kawasan konurbasi tersebut, masih didominasi di wilayah-wilayah di Pulau Jawa. Namun perkembangan kawasan perkotaan tersebut juga terjadi di beberapa wilayah di luar Pulau Jawa. Beberapa kawasan konurbasi perkotaan telah dibentuk dan ditetapkan dalam kebijakan peraturan presiden. Penetapan kawasan konurbasi perkotaan di Kota Makasar dan sekitarnya, contohnya. Kota Makasar sebagai kota metropolitan untuk wilayah Indonesia Timur menjadi pusat kegiatan nasional. Perkembangan kota ini telah menimbulkan suatu kebutuhan akan ruang bagi penduduk setempat dan pendatang. Kota Makasar yang memiliki potensi sebagai pusat pemerintahan skala provinsi membentuk kerjasama berbentuk konsorsium untuk mengembangkan kawasan perkotaan yang terpadu. Kawasan yang disebut dengan Kawasan Perkotaan Mamminasata (Makasar, Maros, Sungguminasa, Takalar) ini diarahkan untuk pengembangan kawasan pertanian dan industri sumberdaya mineral skala nasional. Kawasan dengan arah pengembangan tersebut tumbuh sebagai akibat melimpahnya sumberdaya alam dan mineral di kawasan ini. Kondisi topografis yang relatif landai hingga miring ini berpotensi untuk dikembangkan sebagai lumbung padi Indonesia khususnya untuk Wilayah Indonesia Timur. Lain halnya dengan kawasan perkotaan di Medan dan sekitarnya. Kawasan perkotaan yang bernama Mebidangro (Medang, Binjai, Deli Serdang, Karo) ini diarahkan untuk kegiatan perdagangan multi nasional (Indonesia, Malaysia, Thailand). Pertumbuhan kota di kawasan ini berpusat di Kota Medan yang juga sebagai ibukota propinsi Sumatera Utara. Menurut Ernawi (2010) bahwa pertumbuhan penduduk kota Medan sebagai salah satu mangnet urbanisasi telah bertumbuh kembang sebesar dua kali lipat pertumbuhan penduduk kota pada tiap tahunnya. Kondisi ini dapat diasumsikan kebutuhan penduduk akan ruang cenderung untuk menggunakan kawasan fringe area

sebagai lokasi bermukim dan secara tidak langsung menjadi cikal bakal bertumbuhnya kawasan perkotaan baru. Berbagai kawasan konurbasi perkotaan yang lain di Indonesia juga mengalami pertumbuhan yang sangat pesat dengan arahan pembangunan yang berbeda-beda sesuai dengan arahan nasional yang tertulis dalam Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Menurut Indra (2012), bahwa penggabungan kawasan perkotaan di Indonesia haruslah menyesuaikan dengan arahan masterplan tersebut agar pembangunannya konsisten dan bermanfaat baik secara spasial geografis, namun juga bagi elemen demografisnya.

(23)

Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

3.2.Kebijakan pengendalian pemanfaatan ruang

pada kawasan konurbasi perkotaan dan Implementasinya

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwasanya suatu ruang dalam kajian wilayah dan kota sudah seharusnya direncanakan, dimanfaatkan dan dikendalikan pemanfaatannya. Praktek perencanaan tata ruang di Indonesia telah memasuki suatu terobosan perencanaan yang berbasis pada isu strategis dan spasial. Lebih lanjut Soegijoko (1995) mengungkapkan bahwa dasar penataan ruang di Indonesia pada masa mendatang diharapkan telah mengakomodasi beberapa aspek baru yang dianggap penting, yaitu kepentingan peran serta masyarakat, pengendalian pemanfaatan ruang, supremasi hukum, dan pembangunan berkelanjutan yang berawasan lingkungan. Lebih khusus pada pengendalian pemanfaatan ruang pada kawasan konurbasi perkotaan, beberapa komponen pengendalian pemanfaatan ruang telah tertulis dalam kebijakan yang telah ditetapkan. Komponen yang meliputi instrumen penertiban dan pengawasan (pelaporan, pemantauan dan evaluasi). Kebijakan pengendalian pemanfaatan ruang juga melibatkan beberapa pemangku kepentingan baik pemerintah maupun swasta. Bakar (2008) menjelaskan bahwa kebijakan pengendalian pemanfaatan ruang saat ini dinilai sangat efektif untuk menjaga sebuah rencana tata ruang tetap dalam koridor tujuan yang akan dicapai. Dalam proses pelaksanaan kebijakan tersebut, elemen lembaga pelaksana kebijakan pada beberapa kasus mengalami ketidakpahaman sehingga menyebabkan rencana tata ruang tidak berjalan sesuai rencana. Isu tumpang tindih kepentingan dalam pengendalian pemanfaatan ruang dinilai sebagai penerapan kebijakan otonomi daerah. Kondisi seperti ini seringkali terjadi di kawasan perkotaan yang sudah berkembang pesat atau kawasan konurbasi perkotaan.

Pada beberapa kawasan konurbasi perkotaan seperti Jabodetabekpunjur, Mebidangro, dan Mamminasata, fenomena kegagalan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan konurbasi perkotaan seringkali terjadi. Kawasan perkotaan di Indonesia yang saat ini menjadi fokus dalam penataan ruangnya adalah kawasan konurbasi perkotaan Jabodetabekpunjur. Berbagai masalah telah dihadapi kawasan ini, baik dari hulu hingga hilir. Kondisi tersebut dipertegas oleh Surbakti (2012) yang menyatakan bahwa kawasan Puncak yang berada di Kabupate Bogor merupakan hulu dari DAS Ciliwung yang bermuara di Jakarta. Perubahan

juga pada fungsi ekologis DAS Ciliwung secara luas. Banyaknya pengalihfungsian kawasan lindung ini menyebabkan terjadinya banjir di Kota Jakarta sebagai kawasan hilir sungai. Pada permasalahan seperti ini seluruh instrumen pengendalian pemanfaatan ruang difungsikan untuk mengembalikan fungsi kawasan sesuai dengan rencana tata ruang yang berlaku. Meskipun beberapa kawasan konurbasi perkotaan yang baru bertumbuh kembang belum menjadi fokus utama pemerintah pusat, diharapkan agar kawasan-kawasan tersebut mempelajari banyak hal dari permasalahan dan konsekuensi logis dari kawasan konurbasi Jabodetabekpunjur.

3.3.Peran perangkat insentif dan disinsentif

dalam pengendalian pemanfaatan ruang kawasan konurbasi perkotaan di Indonesia dan faktor-faktor yang mempengaruhinya

Sebagai salah satu instrumen penting dalam pengendalian pemanfaatan ruang, mekanisme insentif dan disinsentif juga merupakan bagian penting dari fungsi penertiban dalam kasus kesalahan pemanfaatan ruang. Penerapan mekanisme ini dalam suatu pengendalian pemanfaatan ruang ruang dapat diartikan dalam berbagai sudut pandang. Sudut pandang penerapan mekanisme ini dalam perencanaan ruang telah diungkapkan oleh Bakar (2008) bahwa dalam proses pengembalian fungsi ruang yang berbeda dengan rencana tata ruang yang ada maka harus ada proses pemberian sistem sanksi bagi pihak yang melakukan pelanggaran dan memberikan penghargaan yang pantas bagi pihak yang mematuhi arahan perencanaan ruang di suatu wilayah. bentuk penghargaan dan sanksi yang mungkin diberikan dapat bersumber dari pajak, perijinan, fasilitasi infrastruktur, dan lain sebagainya. Namun menurut Pasya (2002) dan Mayona, dkk (2009) mengungkapkan bahwa mekanisme insentif dan disinsentif juga dapat diartikan sebagai insentif yang bersifat alamiah meskipun penerjemahan mekanisme ini juga tidak lepas dari sudut pandang kuantifikasi ekonomis.

Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa praktik penerapan instrumen mekanisme insentif dan disinsentif dalam pengendalian pemanfaatan ruang banyak menghadapi hambatan. Terfokus pada kawasan konurbasi perkotaan, Supsiloani (2009) dan Bakar (2008) mengungkan bahwa beberapa kendala pengendalian pemanfaatan ruang pada kawasan ini meliputi, (1) dominasi

(24)

ruang, dan (4) pemberian kompensasi sanksi dan penghargaan secara ekonomis yang kurang proporsional sebagai akibat kepentingan politik perkotaan untuk memenuhi kebutuhan pendapatan asli daerah. Beberapa faktor penghambat tersebut diduga telah menghambat pembangunan suatu kawasan perkotaan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Keempat hambatan tersebut dapat dihadapi dan diselesaikan oleh instrumen ini dengan dukungan penuh seluruh pemangku kepentingan untuk menerapkan instrumen insentif dan disinsentif dalam pengendalian pemanfaatan ruang dan menjunjung tinggi supremasi hukum serta kesiapan finansial kawasan konurbasi perkotaan.

4. Kesimpulan

Fenomena pemekaran wilayah di Indonesia telah memunculkan suatu bentuk kawasan baru yang bekerja sama dalam berbagai aspek pembangunan. Bentuk kawasan yang disebut sebagai kawasan konurbasi perkotaan ini memiliki beberapa aspek pembentuknya, yaitu aksesibilitas, mobilitas penduduk dan modal, keterbatasan ruang di kawasan perkotaan inti, urbanisasi, aktivitas ekonomi, dan aktivitas politik pemerintahan. Perkembangan beberapa kawasan konurbasi perkotaan di Indonesia membutuhkan suatu pegendalian pemanfaatan ruang beserta instrumen-instrumennya agar tidak menimbulkan dampak multidimensi. Mekanisme insentif dan disinsentif sebagai bagian penting dalam pengendalian pemanfaatan ruang mampu menghadirkan alternatif solusi dalam pengurangan risiko konflik multidimensi dalam perencanaan tata ruang. Meskipun sebagai alternatif solusi terhadap permasalahan yang dihadapi, namun berbagai kendala penerapan masih saja dihadapi mekanisme ini, yaitu dominasi kebijakan otonomi daerah, tumpang tindih penetapan fungsi kawasan, minimnya perang serta masyarakat, dan pemberian sanksi dan penghargaan yang kurang proporsional. Namun pada prinsipnya peran instrumen mekanisme insentif dan disinsentif dalam pengendalian pemanfaatan ruang sangat berperan penting dalam mengendalikan pemanfaatan ruang kawasan konurbasi perkotaan, terlebih lagi didukung dengan supremasi hukum terhadap produk pengendalian pemanfaatan ruang dan kesiapan finansial kawasan

konurbasi perkotaan dalam mengimplementasikannya.

Daftar Pustaka

Adam, Felicia P. 2010. Tren Urbanisasi di Indonesia. Program Studi Agrobisnis Fakultas Pertanian Universitas Pattimura

Anonim, 2014. Peraturan Presiden Nomor 48 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011 – 2025. Presiden Republik Indonesia.

Anonim, 2011a. Peraturan Presiden Nomor 32 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011 – 2025. Presiden Republik Indonesia.

Anonim. 2011a. Peraturan Presiden Nomor 45 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan. Presiden Republik Indonesia

Anonim. 2011b. Peraturan Presiden Nomor 55 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Makasar, Maros, Sungguminasa, Takalar. Presiden Republik Indonesia

Anonim. 2011c. Peraturan Presiden Nomor 62 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Medan, Binjai, Deli Serdang, Karo. Presiden Republik Indonesia

Anonim. 2011d. Peraturan Presiden Nomor 87 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Batam, Bintan, Karimun. Presiden Republik Indonesia Anonim. 2009. Skenario Kerjasama Antar Daerah

dalam Pengembangan UKM regional BARLINGMASCAKEB. Laporan Hasil Workshop. Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKM Kementerian Koperasi dan UKM Republik Indonesia. Purbalingga. Anonim. 2008a. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum

Nomor 1 tentang Pedoman Perencanaan Kawasan Perkotaan. Kementerian Pekerjaan Umum Republik Indonesia

Anonim. 2008b. Peraturan Presiden Nomor 54 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur. Presiden Republik Indonesia

Anonim. 2007. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Presiden Republik Indonesia

Anonim. 1999. Peraturan Presinden Nomor 114 tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor, Puncak dan Cianjur. Presiden Republik Indonesia

Aristanti, Felitha dan Vincent Hadi Wiyono. 2008. Variasi Tingkat Urbanisasi Pertumbuhan Ekonomi dan Penyerapan Tenaga Kerja di Wilayah Barlingmascakeb Tahun 1995-2005. Jurnal Perspektif Ekonomi. 1(2): 113-134 Bakar, Sjofjan. 2008. Kelembagaan Pengendalian

Pemanfaatan Ruang di Daerah. Direktorat Fasilitas Penataan Ruang dan Lingkungan Hidup. Departemen Dalam Negeri

Darmawan, Suahasil N., David J., Tauhid A., Deniey A.P. 2008. Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah 2001 – 2007. Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) bekerjasama dengan United Nations Development Programme (UNDP). Jakarta

Ernawi, Imam S. 2010. Morfologi – Transformasi dalam Ruang Perkotaan yang Berkelanjutan. Paparan disampaikan sebagai Keynote Speech dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan

(25)

Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi

oleh Program Pascasarajana Universitas Diponegoro, Semarang.

Handayani, Wiwandari dan Iwan Rudiarto. 2012. Dinamika Persebaran Penduduk Jawa Tengah: Perumusan Kebijakan Perwilayahan dengan Metode Kernel Density. Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Diponegoro, Semarang

Indra, Bastary Pandji. 2012. Peran MP3EI dalam mewujudkan RTRWN dan RTR Pulau. Artikel dalam Buletin Tata Ruang dan Pertanahan. Edisi I Tahun 2012: 9 – 23

Kartika, I Made. 2011. Pengendalian Pemanfaatan Ruang. Jurnal Ganec Swara. Vol 5(2): 123-130 Kementerian Koordinator Perekonomian, 2011.

Dokumen Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011 – 2025.

Kirmanto, Djoko. 2005. Pemantapan Infrastruktur dalam Pembentukan Struktur Ruang Wilayah Pulau Jawa-Bali dan Sumatera. Makalah disampaikan oleh Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia dalam Rapat Kerja Daerah Se-Pulau Jawa-Bali dan Sumatera. Semarang Mayona, E.L., Zulfadli Urufi, Ridwandoni. 2009.

Pengaturan Zonasi Penggunaan Lahan di Kawasan Tepian DAS Kahayan (Studi Kasus: Kelurahan Pahandut Kota Palangkaraya). Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional dengan tema Implikasi UU No. 26 Tahun 2007 Terhadap Konsep Pengembangan Kota Dan Wilayah Berwawasan Lingkungan. Universitas Brawijaya. Malang.

Pasya, Gamal. 2002. Jasa Lingkungan dan Mekanisme Insentif/Disinsentif Pengelolaan Sumberdaya Alam dalam Ekosistem DAS. Makalah Disampaikan dalam Seminar “Environmental Good Governance dalam Kebijakan Pemerintah Daerah yang Berkaitan dengan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Era Ekonomi”. Bappeda Provinsi Lampung.

Prijadi, Ruslan. 2001. Manajemen Perkotaan di Era Globalisasi-Desentralisasi. Majalah Usahawan No. 2 TH XXXI Bulan Februari. Lembaga Management Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia

Rulia, Anna. 2012. Prospek Penerapan Prinsip Sustainable Development dalam Perencanaan Kota di Indonesia. Jurnal Eksis. 8(1): 2162-2166

Saputra, Erlis. 2008. Isu Strategis dan Pembangunan

Daerah Kawasan Barat Indonesia. Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional. Kementerian Pekerjaan Umum. Pekanbaru

Surbakti, Arhita. 2012. Hutan Puncak Hilang, Jakarta Tenggelam? www.tempo.com tertanggal 13 Agustus 2012. (diakses tanggal 28 oktober 2012)

Supsiloani. 2009. Wilayah Dalam Aspek Perencanaan, Pemanfaatan dan Pengendalian. Jurnal Inovasi. 6(4): 268-271

Suryo, Djoko. 2004. Penduduk dan Perkembangan Kota Yogyakarta 1900-1990. Makalah Dipresentasikan dalam The 1st International Conference on Urban History. Surabaya Suweda, I Wayan. 2011. Penataan Ruang Perkotaan

yang Berkelanjutan Berdaya Saing dan Berotonomi. Jurnal Teknik Sipil. 15(2): 113-122

Tarigan, Antonius. 2010. Dampak Pemekaran Wilayah.Majalah Triwulan: Perencanaan Pembangunan. Edisi 01/Tahun XVI. Jakarta

(26)

Gambar

Gambar 2. Bidang Pengelola Pemanfaatan Ruang Aspek Komoditas Perikanan Di Sekitar Waduk Gajahmungkur Di Kecamatan Wuryantoro
Tabel 2. Nilai rata-rata lingkungan hidup berdasarkan  hasil klaster FAC
Gambar 3. Titik Lokasi Potensial Genangan Tinggi Banjir Lahar Dingin di Kelurahan Terban dan Kelurahan Kotabaru  (Silfana, 2013)
gambar 4. Hanya satu kegiatan yang tidak  terlaksana yaitu pengembangan inovasi pintu air
+7

Referensi

Dokumen terkait