• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONDISI KENYAMANAN THERMAL BANGUNAN GEREJA BLENDUK SEMARANG. Dwi Suci Sri Lestari. Abstrak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONDISI KENYAMANAN THERMAL BANGUNAN GEREJA BLENDUK SEMARANG. Dwi Suci Sri Lestari. Abstrak"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

KONDISI KENYAMANAN THERMAL BANGUNAN GEREJA BLENDUK SEMARANG

Dwi Suci Sri Lestari Abstrak

Dalam perancangan arsitektur, pengaruh iklim merupakan salah satu faktor pertimbangan. Antara lain meliputi pengaruh-pengaruh: sinar matahari, angin, hujan, radiasi dan kelembaban. Implementasinya dalam desain bangunan meliputi: orientasi, bentuk atap, dinding, struktur, ataupun pemilihan bahan bangunan. Terkait hal itu, mengkaji karya arsitek bangsa asing: Belanda di bumi tropis Indonesia seperti halnya Gereja Blenduk Semarang dari aspek kenyamanan thermalnya, yang dipengaruhi oleh angin, suhu, radiasi panas dan kelembaban, sangatlah menarik. Hasil kajiannya, juga dapat untuk mengingatkan kepada setiap arsitek, bahwa keberhasilan perancangan bukan semata-mata dari pandangan arsiteknya sendiri, melainkan juga penilaian pengguna, antara lain melalui pengalamannya merasakan kenyamanan thermal bangunannya. Kajian dilakukan dengan alat ukur anemometer, psychometer dan thermometer, serta analisis kondisi interiornya. Ternyata hasil kondisi kenyaman thermal interiornya: kurang nyaman, disebabkan suhu Corected Effective Temperature (CET) interior: 29º C - 30,2º C adalah di atas persyaratan kenyamanan thermalnya: 22º C - 27º C.

Kata kunci : kenyamanan thermal, bangunan Gereja Blenduk Semarang.

1. PENDAHULUAN

Indonesia yang terletak di daerah katulistiwa, beriklim tropis lembab berpotensi besar untuk dimanfatkan dalam perancangan bangunan dalam aspek penghematan penggunaan energi di dalam bangunan. Hal itu antara lain dilakukan melalui langkah-langkah serentak untuk pemanfaatan potensi iklim yang baik dan menguntungkan ke dalam bangunan serta pencegahan pengaruh buruk dari iklim.

Faktor iklim yang perlu

dipertimbangkan antara lain

pengaruh-pengaruh: sinar matahari, angin, hujan, radiasi dan kelembaban.

Setiap bangunan yang akan

memanfaatkan iklim, seharusnya mempertimbangkan faktor di atas. Dengan demikian implementasinya ke

dalam unsur-unsur maupun elemen bangunan: orientasi, bentuk atap, dinding, struktur, ataupun pemilihan bahan bangunan, dapat dirancang dengan cermat.

Sesuai dengan maksud kajian ini adalah untuk melakukan kajian kondisi thermal pada Bangunan Gereja Blenduk Semarang, perlu digambarkan kondisi-kondisi yang terkait dalam perancangannya. Dalam hal ini, bangunan ini menggunakan penerangan dan ventilasi alami; hal yang rasional dilakukan untuk perancangan arsitektur di wilayah iklim tropis, termasuk juga iklim tropis

lembab seperti di Indonesia

seumumnya. Tentang estetika desain

bangunannya, meskipun dalam

(2)

dikatakan menarik dan menonjol

dibandingkan lingkungan

seorangrnya, sehingga sudah lama bangunan ini menjadi tetenger

(landmark) lingkungan kota lama (kolonial Belanda) di Semarang. Perpaduan dua aspek di atas, membuat bangunan ini menarik untuk dikaji kondisi thermalnya.

1. TINJAUAN DATA DAN PUSTAKA

1.1. Kota Semarang

Kota Semarang di pantai utara Jawa, selain merupakan sebuah kota besar di antara keseluruhan 12 besar kota di Indonesia, juga merupakan ibukota daerah Provinsi

Jawa tengah. Terkait untuk

mendapatkan gambaran faktor-faktor

iklim yang berpengaruh,

dikemukakan data geografisnya sebagai berikut.

Tentang batas-batas fisik wilayah administrasinya; sebelah utara: Laut Jawa, sebalah selatan: wilayah Kabupaten Demak, sebelah barat: wilayah Kabupaten Kendal,

dan sebelah timur: wilayah

Kabupaten Semarang.

Tentang batas-batas fisik geografisnya sebagai berikut. Wilayah fisik utara: 6º 50' garis Lintang Selatan (LS); wilayah fisik selatan: 7º 50' garis Lintang Selatan (LS), wilayah fisik barat: 109º 45' garis bujur timur (BT), dan wilayah fisik timur: 110º 30' garis bujur timur (BT).

Untuk kondisi geografisnya, secara garis besar kota Semarang, sebagian merupakan bukit-bukit – disebut Zona Kota Atas-, sebagian lainnya merupakan dataran rendah –

disebut Zona Kota Bawah-, serta daerah pantai yang disebut Zona Pantai.

2.2. Bangunan Gereja Blenduk

Bangunan kuno Gereja

Blenduk, berlokasi di jalan Letjend Suprapto no. 32, Semarang, kawasan kota lama (kolonial) Semarang. Bangunan gereja ini, merupakan

tetenger (landmark) kawasan yang sudah sangat dikenal dan merupakan salah satu peninggalan Belanda ini, yang dibangun pada abad XVIII.

Kawasan kota lama

Semarang, awalnya adalah daerah permukiman terawal bagi orang-orang Belanda di kota Semarang, Indonesia. Dalam perkembangannya, lingkungan ini merupakan asal mula

pembentukan kota (modern)

Semarang, yang pada bagian

selatannya ’menindih’/overlap

dengan halaman kabupaten Bupati Semarang, yang kemudian menjadi tapak bangunan-bangunan kolonial lain: Kantor Pos, Kantor Telepon dan Pasar Johar..

Sejak dibangun, gereja ini merupakan tempat peribadahan umat Kristen Protestan, hal ini berkaitan dengan mayoritas bangsa Belanda

yang datang ke Indonesia

(Nusantara) pada awalnya –tak terkecuali anggota Persekutuan Dagang Hindia Belanda/Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC)- ketika itu, adalah pemeluk agama Kristen Protestan. Hingga kini, gereja ini masih berfungsi sebagai

tempat ibadah bagi umatnya.

Visualisasi tata letak dalam lokasinya, disajikan dalam gambar 2.1. berikut

(3)

Gambar 2.1.

situasi Gereja Blenduk Semarang

Bangunan dua lantai

berpenataan close plan ini, lantai satu/dasarnya diperuntukkan bagi Ruang Jemaat, sedangkan lantai

dua/atas berupa balkon. Visualisasinya disajikan dalam gambar-gambar berikut ini.

Gambar 2.2. Denah lantai satu/dasar

Gambar 2.3. Denah lantai dua/balkon

Bangunan Gereja Blenduk Jalan Letjend Suprapto Kawasan Kota Lama Semarang

(4)

Gambar 2.4. Tampak depan bangunan Gereja Blenduk Semarang 2.3. Kenyamanan Thermal Bangunan 2.3.1. Pengertian kenyaman thermal

Manusia secara fisik hanya tahan untuk hidup pada rentang suhu yang kecil. Di luar rentang dimaksud, kegiatan manusia sangat terganggu baik oleh panas maupun dingin.

Sehubungan dengan hal itu,

kemudian manusia mengembangkan api, pakaian, dan rumah untuk menyesuaikan diri dengan kondisi iklim setempat.

Manusia melepaskan panas pada lingkungannya, sebaliknya dia juga menyerap panas dari lingkungan dan ke duanya harus seimbang. Agar tetap nyaman, tubuh melepas panas melalui penguapan. Pada suhu panas lembab, penguapan ini sulit dan terlihat dalam bentuk keringat. Pergerakan udara melalui permukaan kulit membantu proses penguapan dan dengan demikian menyejukkan tubuh.

Manusia selalu berusaha agar keseimbangan panas pada tubuhnya

tetap terjaga. Jika badan mereka dingin, dia akan memakai baju tebal atau duduk meringkuk, atau justru meningkatkan kegiatan agar badan menjadi panas. Sebaliknya jika udara panas, orang akan berkeringat atau akan mengipasi dirinya agar lebih sejuk, atau akan memakai baju yang lebih tipis.

Kenyamanan thermal akan tercapai, jika terdapat keseimbangan panas tubuh manusia. Jika dikaitkan antara proses penyerapan dan pengeluaran panas pada tubuh manusia dengan faktor-faktor iklim

lingkungannya, maka dapat

dikatakan bahwa bahwa kenyamanan thermal tercapai jika terdapat keseimbangan antara: suhu, aliran udara, kelembaban, dan radiasi matahari sesuai dengan kebutuhan

manusia dalam melakukan

kegiatannya.

Tentang faktor-faktor

pelepasan panas dan faktor-faktor kenyaman thermal pada manusia, dapat dilihat pada gambar 2.5.berikut ini.

(5)

Gambar 2.5.

Faktor-faktor pelepasan panas

dan faktor kenyamanan thermal pada manusia

(Sumber: Egan, M.D.,1975:xiii)

Dalam upayanya menjaga

keseimbangan panas, manusia mulai membangun rumahnya agar tidak kehujanan dan kepanasan, agar tidak silau dan merasakan nyamannya keteduhan. Dengan demikian, rumah merupakan bagian dari keseluruhan sistem yang membantu manusia mencapai kenyamanan thermal.

2.3.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kenyaman thermal

Iklim mempengaruhi tubuh manusia melalui empat variable yang saling bekaitan, yaitu: suhu udara, kelembaban, radiasi dan aliran udara.

Suhu yang digunakan adalah suhu bola kering (Dry Bulb Temperature /DBT), yang diambil dari termometer. Rentang suhu DBT yang masih nyaman adalah 16 - 28º C. Dalam suhu lebih rendah dari 16ºC

orang akan membutuhkan baju

tambahan, sedangkan di atas suhu 30ºC diperlukan lebih banyak pergerakan udara dan pengeluaran keringat (Evan, 1980:19).

Kelembaban merupakan faktor lain yang penting, kelembaban diukur

dengan alat hygrograph yang

mencacat langsung kelembaban nisbi di lokasi. Kelembaban nisbi adalah prosentasi jumlah air yang menguap di udara dibanding dengan jumlah uap air yang dapat ditampung pada udara dengan suhu tertentu. Kelembaban kurang dari 20% menimbulkan ketidak nyamanan karena udara terlalu kering, yang dapat menyebabkan bibir pecah, mata pedih dan tenggorokan kering. Kelembaban lebih dari 90% terasa tidak enak, karena timbul kepengapan dan lengket karena keringat (Evan, 1980:20).

Radiasi merupakan faktor penentu kenyamanan yang ke tiga, dan cara pengukurannya dengan alat solarimeter. Di dalam bangunan, yang

penting adalah mengukur

keseimbangan nisbi antara radiasi dari semua bidang, dari satu titik pengukuran. Pengukuran dilakukan dengan Globe Thermometer, juga

diukur Mean Radiant

(6)

sekeliling globe dimaksud. Kenyamanan tercapai jika suhu pada Globe Temperature berkisar antara 16º -28º C, dan perbedaan antara MRT dan DBT lebih kecil dari 5ºC.

Faktor penentu

ke-nyamanan terakhir, adalah aliran udara. Pengukuran aliran udara

dilakukan dengan alat

anemometer. Dalam keadaan kecepatan angin kurang dari 0,1

m/detik menimbulkan rasa

pengap. Kecepatan angin sampai 1 m/detik di dalam ruangan, cukup nyaman. Tetapi lebih besar dari 1 m/detik mulai timbul

ketidak nyamanan (Evan,

1980:20).

Aliran udara berkaitan dengan suhu dan kelembaban. Suhu yang tinggi sampai batas tertentu dapat dikurangi melalui aliran udara. Pada suhu rendah,

orang akan lebih merasakan

ketidak nyamanan angin yang bertiup.

Ketidak nyamanan akibat naiknya suhu, dapat dikurangi

dengan meningkatkan aliran

udara dan mengurangi suhu

radiasi serta kelembaban.

Sebaliknya suhu yang rendah

dapat dicegah dengan cara

mengurangi aliran udara atau oleh peningkatan suhu radiasi.

Untuk dapat mencapai

kenyamanan thermal, interaksi di antara ke empat faktor (suhu

udara, kelembaban, kecepatan

aliran udara, dan radiasi panas ) adalah sangat penting, satu sama lain mempunyai hubungan yang erat.

2.3.3. Mengukur kenyamanan thermal

Untuk merancang bangunan

yang memberikan kenyamanan

thermal, harus dapat diatur ke empat faktor penentu iklim (suhu

udara, kelembaban, kecepatan

aliran udara dan radiasi panas) yang mempengaruhi kenyamanan thermal secara bersama-sama.

Dengan demikian diperlukan

suatu ukuran yang

menggabungkan efek dari ke empat faktor dimaksud secara serentak. Ukuran dimaksud sering disebut sebagai ’indek thermal’

atau ‘ skala kenyamanan’.

Berbagai percobaan telah

dilakukan orang untuk

mengetahui gabungan dari ke empat faktor yang menimbulkan rasa nyaman, rasa terlalu panas atau sejuk.

Cara pengukuran

ke-nyamanan di antaranya dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut.

a. Temperatur efektif (Effective Temperature/ET)

Skala ini digambarkan pada peta pcychometric yang menghasilkan ‘garis kenyamanan yang setara'. Skala ini dinamakan

temperatur efektif dan

didefinisikan sebagai suhu udara

tenang yang jenuh dengan

kelembaban nisbi 100 %, tanpa terkena radiasi. Jadi, temperatur

efektif menggabungkan tiga

variabel, yaitu suhu, kelembaban dan aliran udara. Untuk lebih jelasnya, diilustrasikan dalam gambar 2.6. berikut ini.

(7)

Gambar 2.6. Diagram Psychometric

Gambar 2.7.

Nomogram Temperatur Efektif (Effective Temperature) b. Temperatur efektif yang

diperbaiki (Corected Effective Temperature/CET)

1) Perbaikan skala Effective Temperature (ET)

CET mengintegrasikan ke empat variabel kenyamanan thermal, yaitu suhu, kelembaban, aliran udara dan radiasi. Skala CET merupakan perbaikan dari skala ET. Suhu pada ET diukur berdasarkan DBT (Dry Bulb Temperature). Ini ternyata agak mengabaikan pentingnya aliran udara sedang pada suhu tinggi, pada saat yang sama menganggap

kelembaban tinggi sangat

merugikan. Pada CET, suhu diukur berdasarkan DBT (Dry Bulb Temperature) dan WBT (Wet Bulb Temperature) dan dibuat nomogram, yang sesuai untuk orang yang memakai baju normal, ringan dan di dalam rumah. Skala ini masih belum memperlihatkan pertukaran panas akibat radiasi dari tubuh dengan lingkungannya. Jika

dalam nomogram ini dipergunakan

globe thermometer sebagai pengganti DBT, maka reaksi subyektif terhadap pertukaran panas akibat radiasi ikut tercatat. Nilai yang dicapai inilah yang disebut CET (Corected Effective Temperature). Lihat gambar di atas.

2) Cara mengukur Corected Effective Temperature (CET)

Untuk mengukur CET,

dilakukan sebagai berikut.

a) Ukur suhu berdasarkan Globe Thermometer.

b) Ukur Wet Bulb Temperature

(WBT).

c) Ukur kecepatan angin dengan

anemometer, atau jika kecepatan rendah digunakan

thermometer kata.

d) Tentukan Globe Thermometer

(GT) pada skala vertikal sebelah kiri nomogram.

(8)

e) Tentukan Wet Bulb Temperature (WBT) pada skala vertikal sebelah kanan. f) Hubungkan ke dua titik

dengan garis.

g) Pilih kurve yang sesuai dengan kecepatan angin, skala terdapat pada sisi paling kiri.

h) Tentukan titik potong antara

kurve kecepatan angin

dengan garis lurus yang tadi digambar.

i) Baca nilai pada garis pendek yang menghubungkan ke dua titik tadi, inilah nilai CET.

c. Zona Nyaman pada CET (Corected Effective

Temperature)

Jika 80% orang merasa nyaman, maka dapat dikatakan bahwa zona kenyamanan sudah tercapai. Untuk Singapura zona ini berkisar antara 22º - 27º C. Batas ET dapat dilihat pada gambar 2.7. di atas, zona kenyamanan juga dibatasi kecepatan angin. Di bawah 0,15 m/detik, meskipun kondisi nyaman, orang akan merasa pengap. Di atas 1,5 m/detik aliran angin dapat menimbulkan efek sampingan yang

kurang enak, seperti kertas

beterbangan.

Dengan demikian, zona

nyaman adalah CET sebesar 22º C-27º C dengan kecepatan angin antara 0,15 m/detik–1,5 m/detik pada daerah beriklim tropis.

3. ANALISIS KONDISI KENYAMAN THERMAL

BANGUNAN GEREJA BLENDHUK

Dari pembahasan yang telah

dilakukan, terlihat bahwa

kenyamanan thermal dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut.

a. Suhu udara

b. Kelembaban udara c. Kecepatan angin d. Radiasi panas

Faktor-faktor di atas saling

terkait satu sama lainnya.

Selanjutnya untuk mengetahui

kondisi thermal di dalam ruang bangunan Gereja Blenduk akan dilakukan pengukuran seperti dijelaskan berikut ini.

3.1. Pengukuran Kondisi Ruang

Pengukuran kenyamanan thermal pada bangunan Gereja Blenduk dilakukan dengan cara sebagai berikut.

a. Alat ukur yang digunakan

Alat ukur yang yang

digunakan, sebagaimana diuraikan di bawah.

1) Anemometer: alat untuk mengukur kecepatan aliran udara.

2) Psychometer: alat mengukur

Dry Bulb Temperature (DBT),

Wet Bulb Temperature (WBT), dan Relative Humidity (RH).

3) Termometer: alat untuk

mengukur suhu udara.

Visualisasi alat-alat ukur dimaksud di atas, disajikan dalam gambar-gambar 3.1. dan 3.2. berikut ini.

(9)

Gambar 3.1.

Anemometer (pengukur kecepatan angin)

Gambar 3.2.

Psychometer (pengukur DBT,WBT, dan RH)

b. Hasil Pengukuran

Pengukuran dilakukan pada jam 09.00 WIB., 12.00 WIB., dan jam 15.00 WIB., ilustrasinya disajikan

dalam gambar-gambar 3.3., 3.4. dan 3.5. Hasil pengukuran kondisi ruang dalam bangunan Gereja Blenduk itu juga disajikan dalam table 3.1. berikut.

Gambar 3.3.

Hasil pengukuran kecepatan angin pada pagi hari jam 09.00 WIB

Gambar 3.4.

Hasil pengukuran kecepatan angin pada siang hari jam 12.00 WIB

(10)

Gambar 3.5.

Hasil pengukuran kecepatan angin pada sore hari jam 15.00 WIB.

Tabel 3.1.

Hasil pengukuran kondisi ruang dalam Bangunan Gereja Blenduk

Ruang Macam Jam pengukuran (WIB.)

09.00 12.00 15.00

Ruang Utama

Temperatur Bola Kering/ DBT (ºC) 31,4 32,5 31,6

Temperatur Bola Basah / WBT (ºC) 29,2 29,7 29,4

Kelembaban/ RH (%) 83 80 83

Kecepatan Angin / V ( m/s) 0,1 – 0,5 0,1 – 0,5 0,1- 0,5

3.2. Kondisi Kenyamanan Thermal

Untuk mengetahui kondisi

kenyamanan thermal, hasil

pengukuran di atas

diterapkan pada nomogram

temperatur efektif (effective temperature) sebagai berikut.

a. Kondisi kenyaman thermal pada pada jam 09.00 WIB.

Ilustrasi penerapan hasil pengukuran kondisi kenyamanan thermal pada jam 9.00 WIB

pada nomogram temperatur

efektif, di dalam gambar 3.6. berikut.

(11)

Keterangan:

1. Temperatur Bola Kering/DBT hasil pengukuran sebesar 31,4ºC ditempatkan pada skala vertikal sebelah kiri, yaitu pada titik A.

2. Temperatur Bola Basah/WBT hasil pengukuran sebesar 29,2ºC ditempatkan pada skala vertical sebelah kanan, yaitu pada titik B.

3. Titik A dan titik B dihubungkan, menjadi garis A-B.

4. Garis A-B memotong garis lengkung aliran udara dengan kecepatan 0,1 m/detik pada titik C, menunjukkan sebesar 29,5 ºC.

5. Garis A-B memotong garis lengkung aliran udara dengan kecepatan 0,5 m/detik pada titik D, menunjukkan sebesar 29 ºC.

Gambar 3.6.

Kondisi kenyamanan thermal pada jam 09.00 WIB.

Berdasarkan pembahasan teoritis, zona nyaman CET adalah sebesar 22º C - 27º C, sedangkan hasil yang didapat sebesar 29 º- 29,5ºC. Ini berarti kondisi kenyamanan thermal pada jam 09.00 adalah kurang nyaman. Sebab suhunya masih di atas 27ºC.

b. Kondisi kenyamanan thermal pada jam 12.00 WIB

Ilustrasi penerapan hasil pengukuran kondisi kenyamanan thermal pada

jam 12.00 WIB pada nomogram temperatur efektif, di dalam gambar 3.7. berikut.

(12)

Keterangan:

1. Temperatur Bola Kering/ DBT hasil pengukuran sebesar 32,5ºC ditempatkan pada skala vertikal sebelah kiri, yaitu pada titik A.

2. Temperatur Bola Basah / WBT hasil pengukuran sebesar 29,7ºC ditempatkan pada skala vertical sebelah kanan, yaitu pada titik B.

3. Titik A dan titik B dihubungkan, menjadi garis A-B.

4. Garis A-B memotong garis lengkung aliran udara dengan kecepatan 0,1 m/detik pada titik C, menunjukkan sebesar 30,2 ºC.

5. Garis A-B memotong garis lengkung aliran udara dengan kecepatan 0,5 m/detik pada titik D, menunjukkan sebesar 29,8 ºC.

Gambar 3.7.

Kondisi kenyamanan thermal pada jam 12.00 WIB.

Berdasarkan pembahasan teoritis, zona nyaman CET adalah sebesar 22º C - 27º C, sedangkan hasil yang didapat sebesar 29,8 º- 30,2ºC. Ini berarti kondisi kenyamanan thermal pada jam 12.00 adalah kurang nyaman. Sebab suhunya masih di atas 27ºC.

c. Kondisi kenyamanan thermal pada jam 15.00 WIB.

Ilustrasi penerapan hasil pengukuran kondisi kenyamanan thermal pada jam 15.00 WIB pada nomogram temperatur efektif, di dalam gambar 3.8. berikut.

(13)

Keterangan.

1. Temperatur Bola Kering/DBT hasil pengukuran sebesar 31,6º C ditempatkan pada skala vertikal sebelah kiri, yaitu pada titik A.

2. Temperatur Bola Basah/WBT hasil pengukuran sebesar 29,4º C ditempatkan pada skala

vertical sebelah kanan, yaitu pada titik B.

3. Titik A dan titik B dihubungkan, menjadi garis A-B.

4. Garis A-B memotong garis lengkung aliran udara dengan kecepatan 0,1 m/detik pada titik C, menunjukkan sebesar 30 ºC.

5. Garis A-B memotong garis lengkung aliran udara dengan kecepatan 0,5 m/detik pada titik D, menunjukkan sebesar 29,2 ºC.

Gambar 3.8.

Kondisi kenyamanan thermal pada jam 15.00 WIB. Berdasarkan pembahasan teoritis di atas,

zona nyaman CET adalah sebesar 22º C - 27º C, sedangkan hasil yang didapat sebesar 29,2 º- 30ºC. Ini berarti kondisi kenyamanan thermal pada jam 15.00 adalah kurang nyaman. Sebab suhunya masih di atas 27ºC.

4. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1.Kesimpulan

Dari analisis yang telah dilakukan tentang kondisi kenyamanan thermal bangunan Gereja Blenduk Semarang, disimpulkan sebagai berikut.

a. Kondisi kenyamanan thermal pada jam 09.00 WIB adalah kurang nyaman.

b. Kondisi kenyamanan thermal pada jam 12.00 WIB adalah kurang nyaman.

c. Kondisi kenyamanan thermal pada jam 15.00 WIB adalah kurang nyaman.

d. Hal ini berarti dari pagi sampai dengan sore hari, kondisi kenyamanan thermal bangunan Gereja Blenduk dalam kualitas kurang nyaman.

(14)

e. Kualitas kekurang nyamanan kondisi thermal yang dirasakan oleh pengguna, dapat menjadi pertimbangan bagi arsitek, untuk mengantisipasi aspek-aspek yang dapat mendukung peningkatan kualitas kenyamanan thermalnya secara alami, antara lain dalam aspek kondisi bangunan yang terkait untuk peningkatan kecepatan pergerakan udaranya (tambahan luas bukaan dinding).

4.2. Saran

Untuk meningkatkan

ke-nyamanan thermal di dalam ruang Gereja Blenduk Semarang, perlu dilakukan langkah-langkah alternatif sebagai berikut.

a. Menambah kecepatan udara,

dengan melakukan tambahan luas bukaan dinding/jendela.

b. Memasang alat pengkondisian udara (kipas, air conditioning/AC)

-untuk pendinginan udara

ruangan-, angin yang dihasilkan untuk membantu meningkatkan kecepatan aliran udara. Namun hal terakhir ini sudah bersifat artifisial/buatan.

5. DAFTAR PUSTAKA

Amirudin, Saleh. (1969) Iklim dan Arsitektur di Indonesia,

Lembaga Penyelidikan

Masalah Bangunan, Direktorat

Jenderal Cipta Karya

Departemen Pekerjaan Umum, Bandung.

Aronim, Jeffrey Ellis. (1953). Climate & Architecture, penerbit

Progressive Architecture Book,

Reinhold Publishing

Coorporation, USA, 1953. Egan, M. David.(1975). Concepts in

Thermal Comfort, penerbit Prentice Hall Inc, Englewood Cliffs, New Jersey.

Evans, Martin. (1980). Housing Climate and Comfort, penerbit The Architectural Press Ltd, London.

Fry, Maxwell and Jane Drew. (1956).

Tropical Architecture in The Humid Zone, penerbit B.T. Batsfort Ltd, London.

Kukreya, CP, Tropical Architecture, penerbit Mc. Graw Hill, New Delhi.

Lippsmeier, George. (1980).

Tropenbau Building in The Tropic, penerbit Callwey Verlay, Munchen,.

Biodata Penulis:

Dwi Suci Sri Lestari, alumnus S-1 Jurusan Teknik Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Diponegoro (FT. UNDIP) Semarang ( 1985), S-2 Teknik Arsitektur pada alur Sejarah dan Teori Arsitektur Program Pasca Sarjana Institut Teknologi Bandung (1994), dan pengajar Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas

Tunas Pembangunan (FT. UTP)

Gambar

Diagram Psychometric
Ilustrasi  penerapan  hasil  pengukuran kondisi kenyamanan  thermal  pada  jam  9.00  WIB  pada  nomogram  temperatur  efektif,  di  dalam  gambar  3.6

Referensi

Dokumen terkait

Tingkat Pengetahuan responden terhadap peran LKMD dalam rangka pengelolaan RTHIPertamanan, pada pengumpulan data lapangan yang dilakukan di Kecamatan Grogol Petamburan menunjukkan

Aku hagiazo diri-Ku (...sebab Yesus mengajar dengan memberikan teladan. Yesus mengetahui firman Bapa, gagasan-gagasan-Nya dan pola-pola serta cara-cara-Nya

Kualitas hidup pada kelompok yang biasa sarapan cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok yang tidak biasa sarapan, namun tidak terdapat perbedaan signifikan secara

Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan informasi daya hidup spermatozoa dalam pengencer tris sitrat kuning telur 5% yang mengandung antimotilitas sementara formalin

Kegiatan insidentil adalah kegiatan yang tidak sering dilakukan atau tidak rutin dikerjakan selama melaksanakan praktek kerja lapangan di Pusat Penelitian

Untuk menjamin semua kasus kesakitan dan kematian terlaporkan, diharapkan semua bidan di desa mengisi PWS KIA, formulir LB3 dan register kohort ibu serta kohort bayi secara

Inovasi lain yang dilakukan yakni upaya edukasi baik kepada pasien maupun masyarakat di wilayah puskesmas dengan berbagai metode yang dapat diterima oleh masyarakat.

Hubungan Antara Kadar Vitamin D Dengan Jumlah dan Fungsi Sel T Regulator pada Pasien Lupus Eritematosus Sistemik di Indonesia (Dian