• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kata kunci: Berpikir relasional, siswa SD, membuat perencanaan, penyelesaian masalah matematika, kemampuan matematika rendah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kata kunci: Berpikir relasional, siswa SD, membuat perencanaan, penyelesaian masalah matematika, kemampuan matematika rendah"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

310

ANALISIS PROSES BERPIKIR RELASIONAL SISWA SEKOLAH

DASAR MEMBUAT PERENCANAAN PENYELESAIAN

MASALAH MATEMATIKA

(KASUS SISWA BERKEMAMPUAN MATEMATIKA RENDAH)

Baiduri, I Ketut Budayasa, Agung Lukito, dan Akbar Sutawijaya

Mahasiswa S3 Pendidikan Matematika Unesa, Dosen Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Malang, Dosen Pendidikan Matematika Pasca Sarjana

Unesa, Dosen Pendidikan Matematika Pasca Sarjana Universitas Negeri Malang E-mail: baiduriumm@gmail.com

ABSTRAK: Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menganalisis berpikir relasional siswa sekolah dasar kelas lima dengan kemampuan matematika rendah membuat perencanaan penyelesaian masalah. Dua siswa dipilih menjadi subjek, masing-masing satu laki-laki dan satu perempuan. Instrumen yang digunakan terdiri dari instrumen utama, yaitu peneliti sendiri dan instrumen pedukung terdiri dari soal kemampuan matematika yang digunakan untuk mengkategorikan kemampuan matematika siswa, soal tugas penyelesaian masalah dan pedoman wawancara yang digunakan untuk memperoleh data proses berpikir relasional siswa sekolah dasar membuat perenacanaan penyelesaian masalah. Tugas penyelesaian masalah yang digunakan adalah soal matematika tipe menemukan dalam bentuk cerita yang terkait dengan aritmetika di sekolah dasar. Semua data tentang proses berpikir siswa direkam dengan menggunakan video recorder. Untuk memperoleh data yang kredibel dilakukan dengan melakukan pengamatan terus menerus/konsisten dan pantang menyerah (meningkatkan ketekunan), triangulasi waktu dan member check. Data yang diperoleh tersebut dianalisis dengan model alir yang terdiri tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan yaitu: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan yaitu proses berpikir relasional siswa sekolah dasar dengan tingkat kemampuan matematika rendah membuat perencanaan penyelesaian masalah matematika. Adanya kesamaan proses berpikir relasional antara siswa perempuan dan laki-laki dalam membuat perencanaan penyelesaian masalah matematika, yaitu dengan membangun relasi di dalam dan diantara pemahaman terhadap masalah dan pengetahuan yang sudah dimiliki. Relasi yang dibangun oleh siswa perempuan dalam memahami masalah lebih kaya dari pada yang dibangun oleh siswa laki-laki. Siswa perempuan merelasikannya dengan apa yang diketahui, yaitu bilangan-bilangan dan petunjuk untuk menjawab. Sedangan siswa laki-laki merelasikannya dengan apa yang diketahui, yaitu bilangan-bilangan yang ada di soal. Pengetahuan yang sudah dimiliki berkaitan dengan pemilihan operasi hitung dan relasi yang akan digunakan. Selanjutnya ada relasi yang terjadi antara bilangan-bilangan yang digunakan dan petunjuk dengan pemilihan operasi hitung dan relasi. Pada pemilihan operasi pembagian direlasikan dengan inversnya, yaitu perkalian

.

Ketika pembuatan rencana siswa laki-laki dan perempuan menyebutkan informasi yang digunakan, alasan dan tujuan melakukan operasi hitung, meskipun alasan melakukan operasi pembagian untuk menjawab pertanyaan nomor dua kurang tepat. Ini berarti disamping membangun relasi mereka juga memberikan rasionalitas dalam memilih informasi dan operasi hitung yang digunakan dalam pembuatan rencana penyelesaian masalah.

Kata kunci: Berpikir relasional, siswa SD, membuat perencanaan, penyelesaian masalah matematika, kemampuan matematika rendah

(2)

Kemampuan berpikir secara mate-matika dan menggunakannya dalam penyelesaian masalah merupakan tujuan penting dari sekolah. Berpikir secara matematika ini akan mendukung sain, teknologi, kehidupan ekonomi dan pengembangan ekonomi. Berpikir secara matematika dalam konteks yang luas merupakan hal penting, karena sama dengan membekali siswa kecakapan menggunakan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sesuai dengan semangat Permendiknas No 22 Tahun 2006 (Depdiknas, 2006) yang menyatakan bahwa pelajaran matematika di sekolah bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan yang diantaranya adalah:

a) Menyelesaikan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menye-lesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh.

b) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari mate-matika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam penyelesaian masalah.

Formulasi tujuan pelajaran mate-matika di atas menunjukkan pentingnya para siswa difasilitasi dan dikembangkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah selama proses pembelajaran matematika di kelas dan belajar untuk memahami, tidak hanya terampil dalam hal komputasi. Pentingnya penyelesaian masalah selain dinyatakan dalam kurikulum pelajaran matematika tahun 2006, juga diungkapkan oleh NCTM (National Council of Teachers of Mathematics) dalam Principles and Standards for School Mathematics (NCTM, 2000): ”Solving problems is not only a goal of learning mathematics but also a major of doing so ... . By learning problem solving in mathmatics, students

should acquire ways of thinking, habits of persistence and curiosity and confidence in unfamiliar situations ....” Hal ini berarti penyelesaian masalah bukan hanya tujuan pembelajaran matematika, akan tetapi dengan penyelesaian masalah siswa mem-peroleh cara perpikir, kebiasaan-kebiasaan untuk tekun, keingintahuan yang besar dan percaya diri dalam situasi apapun.

Pimta dkk (2009) menyatakan bahwa penyelesaian masalah merupakan jantung pembelajaran matematika karena keterampilan penyelesaian masalah tidak hanya dalam mempelajari materi matematika, akan tetapi juga merupakan metode pengembangan keterampilan berpikir yang baik. Ini berarti keterampilan dan kemampuan penyelesaian masalah matematika perlu diajarkan kepada siswa mulai tingkat dasar. Melalui penyelesaian masalah matematika siswa dapat menga-plikasikan pengetahuan dan keterampilan penyelesaian masalah dalam kehidupan sehari-hari yang lebih umum. Oleh karenanya kemampuan dan keterampilan penyelesaian masalah matematika selalu menjadi perhatian guru matematika di sekolah mulai dari tingkat dasar. Lebih jauh lagi, salah satu aspek penting yang harus diketahui oleh guru dalam pembelajaran matematika, khususnya penyelesaian masalah matematika adalah disamping guru memperhatikan kondisi kelas, sebaiknya juga mengetahui proses berpikir siswa pada saat melakukan penyelesaian masalah. Dengan mengetahui proses berpikir siswa, guru akan mengetahui penyebab kesalahan yang dilakukan oleh siswa, kesulitan siswa dan bagian-bagian yang belum dipahami, sehingga guru dapat memberi bimbingan sesuai dengan permasalahan yang dihadapi oleh siswa.

Polya (1973) dan Posamentier, Jaye dan Krulik (2007) mengatakan bahwa penyelesaian masalah dalam matematika

(3)

terdiri atas empat langkah pokok, yaitu (1) memahami/membaca masalah (understand the problem /read the problem); (2) menyusun rencana atau memilih strategi (devise a plan/ select a strategy); (3) melaksanakan rencana/menyelesaikan masalah (carry out a plan/solve the problem); dan (4) memeriksa kembali (look back). Ini berarti memahami atau membaca masalah merupakan langkah pertama dalam penyelesaian masalah matematika dan hal yang krusial. Pemahaman terhadap masalah dapat dilihat ketika membuat rencana penyelesaian. Pada pembuatan rencana juga terdeskripsi apa yang akan dilakukan dalam menyelesaikan masalah. Dengan demikian perencanaan rencana menggambarkan langkah sebelumnya (memahami masalah) dan langkah sesudahnya (melaksanakan rencana). Penyelesaian masalah bukan aktivitas yang seragam dan menoton. Permasalahan juga tidak selalu sama, tergantung konten, bentuk atau prosesnya. Ini mengisyaratkan bahwa kecakapan menyelesaikan masalah tergantung dari banyak faktor, diantaranya variasi masalah, cara menyajikan masalah ke penyelesai masalah dan perbedaan individu.

Hejný, Jirotková & Kratochvilová (2006) menyatakan pendekatan dalam menyelesaikan masalah dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu meta-strategi prosedural (procedural meta-strategy) dan meta-strategi konseptual (conceptual meta-strategy). Lebih jauh mereka menyatakan perbedaan utama antara kedua jenis strategi adalah bahwa metastrategi prosedural didasarkan pada siswa mengaktifkan beberapa prosedur dalam pikirannya setelah mengidentifikasi daerah di mana masalah berada, sedangkan meta-strategi konseptual, siswa menciptakan sebuah gambaran masalah dalam pikirannya secara keseluruhan, mengana-lisis untuk menemukan struktur inti, dan

mencari beberapa elemen penting atau hubungan untuk membangun sebuah strategi penyelesaian. Sementara proses meta-strategi prosedural menyebabkan siswa menjadi lebih terampil dalam masalah dari jenis yang diberikan, meta- strategi konseptual membawa mereka ke tingkat yang lebih tinggi dalam memahami permasalahan.

Siswa menyelesaikan masalah menggunakan pendekatan meta-strategi konseptual dikatakan menggunakan berpi-kir relasional yaitu berpikir yang memanfaatkan hubungan antara unsur-unsur dalam kalimat dan hubungan struktur aritmetika (Molina, Castro dan Mason, 2008; Stephens, 2006) atau menganalisisekspresi (Molina dan Ambrose, 2008) atau berpikir struktural atau berpikir secara aljabar (Stephens, 2004). Carlo dkk (2010) dan Stephens (2006) menyatakan berpikir relasional merupakan lawan berpikir prosedural. Lebih jauh Carlo dkk (2010) mengatakan berpikir relasional hampir sama seperti apa yang dikatakan Skemp (1976) tentang pemahaman relasional, yaitu mengetahui apa yang dikerjakan dan mengapa hal itu dilakukan.

Dalam aritmetika, berpikir relasional tergantung dari pada siswa dapat melihat dan menggunakan berbagai kemungkinan variasi diantara bilangan dalam sebuah kalimat bilangan atau permasalahan yang diberikan (Stephens, 2006). Ini berarti siswa dikatakan berpikir relasional ketika mereka melakukan pendekatan pada kalimat-kalimat bilangan dengan fokus pada hubungan aritmetik menggantikan kom-putasi.

Berpikir relasional merupakan hal yang penting dalam matematik karena banyak ide-ide dasar matematika memuat relasi antara representasi yang berbeda dari bilangan dan operasi diantara bilangan, dan antara objek matematika yang lain (Molina, Castro dan Ambrose, 2005) serta sebuah

(4)

fondasi yang baik untuk mempelajari aljabar formal (Molina dan Ambrose, 2008). Oleh karenanya sangat penting mengembangkan berpikir relasional pada siswa sedini mungkin, yakni siswa pendidikan dasar. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, yang dimaksud berpikir relasional dalam tulisan ini adalah berpikir membangun hubungan dengan meman-faatkan unsur-unsur informasi yang diberikan/konteks, pengetahuan yang dimiliki sebelumnya maupun pengetahuan tentang sifat-sifat/struktur matematika untuk membuat perencanaan penyelesaian masalah matematika. Masalah matematika adalah masalah tipe menemukan yang berupa soal cerita yang terkait dengan aritmetika dalam kehidupan sehari-hari di sekolah dasar yang harus diselesaikan.

Penelitian-penelitian yang telah dilakukan (Molina, Castro dan Mason, 2008; Stephens dan Wang, 2008; Stephens, 2008; Stephens, 2006; Molina, Castro dan Ambrose, 2005; Carpenter, Franke, Madison, Levi, & Zeringue, 2005) melihat berpikir relasional pada saat siswa mengerjakan penyelesaiannya, tahap ke tiga dari empat tahapan penyelesaian masalah yang diusulkan oleh Polya (1973) dan Posamentier dkk (2007), belum pada tahapan yang lain dan tidak memperhatikan kemampuan matematika. Selain itu gaya berpikir siswa sangat dipengaruhi oleh kemampuan yang dia miliki (Albaili, 1997). Sedangkan kemampuan matematika siswa laki-laki dan perempuan berbeda (Jensen, 2008; Beaton dkk, 1999).Berdasarkan kenyataan ini, tulisan ini menganalisis proses berpikir relasional siswa sekolah dasar berke-mampuan matematika rendah dalam membuat perencanaan penyelesaian masalah matematika.

Dipilihnya siswa berkemampuan rendah dimaksudkan untuk membantu mereka dalam membuat perencanaan

penyelesaian masalah matematika pada khususnya dan penyelesaian masalah pada umumnya. Kondisi siswa seperti ini sering kita temui dalam kelas di sekolah. Sedangkan dipilihnya pada tahapan membuat rencana, karena dalam membuat rencana tergambarkan pemahaman terhadap masalah dan kegiatan yang akan dilakukan dalam melaksanakan rencana (menyelesaikan masalah) (Polya, 1973 dan Posamentier dkk, 2007).

KAJIAN TEORI

a) Masalah Matematika dan Penyelesaiannya

Posamentier dan Krulik (1998) menyatakan bahwa ”a problem is a situation that confronts a person, that requires resolution, and for which the path to the solution is not immediately known”. Ini berarti masalah adalah situasi yang dihadapi seseorang (termasuk siswa), yang membutuhkan resolusi, dan jalan menuju solusi ini tidak segera diketahui. Hal ini senada dengan Polya (1973). Ini berarti masalah terjadi karena adanya kesenjangan antara keadaan saat ini dengan tujuan yang diinginkan. Suatu kesenjangan akan meru-pakan masalah hanya jika seseorang tidak mempunyai aturan tertentu yang segera dapat dipergunakan untuk mengatasi kesenjangan tersebut. Jika seseorang sudah menemukan aturan tertentu untuk mengatasi kesenjangan yang dihadapinya, maka orang tersebut dikatakan sudah dapat menye-lesaikan masalah, atau sudah mendapatkan penyelesaian masalah. Dengan demikian masalah memang sangat bergantung kepada individu tertentu dan waktu tertentu. Artinya, suatu kesenjangan merupakan suatu masalah bagi seseorang, tetapi bukan merupakan suatu masalah bagi orang yang lain. Bagi orang tertentu, kesenjangan pada saat ini merupakan masalah, tapi di saat lain, sudah bukan masalah lagi, karena orang

(5)

tersebut sudah segera dapat mengatasinya dengan belajar dari pengalaman yang lalu.

Pada pendidikan matematika, sebagian besar ahli pendidikan matematika menyatakan bahwa masalah merupakan pertanyaan atau soal matematika yang harus dijawab atau direspon. Namun, dinyatakan juga bahwa tidak semua pertanyaan matematika otomatis akan menjadi masalah. Suatu pertanyaan akan menjadi masalah hanya jika pertanyaan itu menunjukkan adanya suatu tantangan (challenge) yang tidak dapat dipecahkan oleh suatu prosedur rutin yang sudah diketahui si pelaku. Suatu pertanyaan akan merupakan suatu masalah apabila tidak terdapat aturan/hukum tertentu yang segera dapat digunakan untuk menjawab atau menyelesaikannya. Hal ini berarti bahwa suatu soal matematika akan menjadi masalah apabila tidak segera ditemukan petunjuk penyelesaian masalah berdasar-kan data yang terdapat dalam soal. Selanjutnya Polya (1973) mengemukakan bahwa terdapat dua macam masalah dalam matematika sebagai berikut.

a) Masalah mencari/menemukan (problem to find), yaitu mencari, menentukan, atau mendapatkan nilai atau objek tertentu yang tidak diketahui dalam soal dan memenuhi kondisi atau syarat yang sesuai dengan soal, dapat berupa masalah teoritis atau praktis, abstrak atau kongkrit, termasuk teka-teki. Bagian utama masalah ini adalah: 1) apa yang dicari? 2) apa data diketahui?, 3) bagaimana syaratnya? Ketiga bagian utama tersebut merupakan landasan untuk dapat menyelesaikan masalah jenis pertama tersebut.

b) Masalah membuktikan (problem to prove), yaitu prosedur untuk menen-tukan apakah suatu pernyataan benar atau tidak benar. Soal membuktikan terdiri atas bagian hipotesis dan kesimpulan. Pembuktian dilakukan

dengan membuat atau memproses pernyataan yang logis dari hipotesis menuju kesimpulan, sedangkan untuk membuktikan bahwa suatu pernyataan tidak benar, cukup diberikan contoh penyangkalnya sehingga pernyataan tersebut menjadi tidak benar.

Masalah menemukan merupakan jenis masalah yang perlu diberikan kepada siswa untuk melatih pemikiran mereka tentang proses bagaimana suatu konsep atau prinsip ditemukan. Selanjutnya Polya (1973) mengatakan bahwa masalah menemukan lebih penting dalam matematika elementer, sedangkan masalah membuktikan lebih penting dalam matematika lanjut. Masalah dalam matematika biasanya berupa soal. Akan tetapi tidak semua soal merupakan masalah. Soal matematika merupakan masalah jika soalnya bukan soal rutin (Hudoyo, 2005) atau soal tidak standar (McNeil dkk, 2006).

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, yang dimaksud masalah matematika dalam tulisan ini adalah masalah tipe menemukan yang berupa soal cerita yang terkait dengan aritmetika di sekolah dasar dalam kehidupan sehari-hari yang harus diselesaikan.

Penyelesaian masalah matematika adalah suatu proses penemuan suatu respon yang tepat terhadap suatu situasi yang benar-benar unik dan baru bagi siswa. Hudoyo (2003) mengemukakan bahwa penyelesaian masalah sebagai proses penerimaan masalah dan berusaha menyelesaikan masalah itu. Sedangkan langkah-langkah yang mesti dilakukan sesorang untuk menyelesaikan masalah adalah: 1) memahami apa yang hendak dicari, 2) mengestimasi jawab, 3) mencari semua hal yang diketahui sebagai bahan untuk rencana penyelesaian, 4) memilih metode, rumus-rumus dan hubungan berdasarkan rencana, 5) memanipulasi

(6)

simbol-simbol dengan teknik-teknik matematika, 6) menemukan jawab, menge-neralisasi, dan 7) mengaplikasikan genera-lisasi yang diperoleh ke situasi baru.

Polya (1973) mendefinisikan penyelesaian masalah sebagai usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan, mencapai suatu tujuan yang tidak dengan segera dapat dipahami ( "... finding a way out of difficulty, a way around an obstacle, attaining an aim that was not immediately understandable”). Lebih lanjut Polya menjelaskan bahwa penyelesaian masalah merupakan suatu proses psikologis yang melibatkan tidak hanya sekedar aplikasi dalil-dalil atau teorema-teorema yang dipelajari. Menurut Polya (1973) penyelesaian masalah dalam matematika terdiri atas empat langkah pokok, yaitu (1) memahami masalah (understand the problem); (2) menyusun/memikirkan rencana (devise a plan); (3) melaksanakan rencana (carry out a plan); dan (4) memeriksa kembali (look back). Senada dengan Polya, Posamentier, Jaye dan Krulik (2007) menggunakan empat langkah dalam penyelesaian masalah, yaitu (1) membaca masalah (read the problem), (2) memilih startegi (select a strategy), (3) menyelesaikan masalah (solve the problem), dan (4) memeriksa kembali (look back).

Berdasarkan beberapa langkah-langkah penyelesaian masalah matematika yang dikemukakan di atas, dalam tulisan ini pembuatan rencana penyelesaian masalah adalah tahap kedua penyelesaian masalah matematika Polya (1973) dan Posamentier dkk (2007).

b) Berpikir Relasional

Berpikir relasional memiliki peran sentral dalam kognisi manusia. Berpikir relasional adalah suatu sistem berpikir yang berpusat pada hubungan yang mengelilingi objek dan objek berikutnya.

Berpikir relasional mempertimbangkan segala sesuatu dalam hal interaksi objek-objek dengan hal-hal lain. Sebagai contoh, pemikir relasional akan "melihat" bentuk kepala ketika melihat sepasang kacamata, dan mereka akan "melihat" bentuk arus udara ketika melihat burung terbang. Berpikir relasional berkaitan dengan affordances (semua kemungkinan tindakan laten di lingkungan) karena metode berpikir yang memungkinkan seseorang menjadi sadar untuk melakukan suatu tindakan (Doumas dan Hummel, 2005). Berpikir relasional termasuk kemampuan kita untuk memahami analogi antara objek atau peristiwa yang tampaknya berbeda dan menerapkan aturan abstrak dalam situasi baru (Doumas dan Hummel, 2005). Berpikir relasional mempertimbangkan informasi tambahan secara simultan, dan mencari pola identifikasi koneksi berikutnya. Hal ini sering dikaitkan dengan intuisi dan karakteristik matematika terapan, pemrograman berorientasi objek, dan bidang interdisipliner. Dengan demikian berpikir relasional merupakan berpikir dengan membangun hubungan berbagai objek/konteks sehingga saling terkait.

Untuk memahami berpikir relasional pada matematika, para peneliti melakukan pendekatan dengan memberikan soal matematika. Ketika mengerjakan kalimat benar/salah tentang bilangan seperti 257 – 34 = 257 – 30 – 4 atau 27 + 48 – 48 = 25 yang didesain berdasarkan pada sifat-sifat aritmetik, secara umum ada dua pendekatan yang digunakan; 1) melakukan komputasi pada kedua ruas dan membandingkan kedua hasil tersebut, 2) melihat ke seluruh kalimat, memaknai strukturnya, dan memanfaatkan hubungan antara unsur-unsurnya maupun pengetahuan tentang struktur aritmetika untuk menyelesaikan masalah tersebut (Carpenter, Franke, & Levi. 2003).

(7)

Begitu juga ketika menyelesaikan persamaan

x

x

x

1

4

1

= 5 +

1

4

1

x

x

, siswa dapat melanjutkan dengan operasi pada variabel dan bilangan-bilangan pada setiap sisi serta mengelompokan variabel atau mereka mungkin memperhatikan struktur dan menyatakan bahwa persamaan ini ekuivalen x = - 5 dengan memperhatikan bahwa ungkapan

1

4

1

x

x

diulang pada kedua ruas (Hoch & Dreyfus, 2004). Pendekatan pertama disebut meta-strategi prosedural (procedural meta-strategy) dan pendekatan kedua disebut meta-strategi konseptual (conceptual meta-strategy) (Hejnyá dkk., 2006).

Perbedaan utama antara kedua jenis strategi adalah bahwa meta-strategi prosedural didasarkan pada siswa mengaktifkan beberapa prosedur dalam pikirannya setelah mengidentifikasi daerah di mana masalah berada, sedangkan meta-strategi konseptual, siswa menciptakan sebuah gambaran masalah dalam pikirannya secara keseluruhan, mengana-lisis untuk menemukan struktur inti, dan mencari beberapa elemen penting atau hubungan untuk membangun sebuah strategi penyelesaian. Sementara proses meta strategi prosedural menyebabkan siswa menjadi lebih terampil dalam masalah dari jenis yang diberikan, meta strategi konseptual membawa mereka ke tingkat yang lebih tinggi dalam memahami permasalahan (Hejnyá dkk., 2006).

Ketika siswa menyelesaikan masalah dengan menggunakan meta-strategi konseptual, maka mereka dikatakan menggunakan berpikir relasi-onal yaitu berpikir yang memanfaatkan hubungan antara unsur-unsur dalam kalimat dan hubungan struktur aritmetika

(Molina, Castro dan Mason, 2008; Stephens, 2006) atau menganalisis ekspresi (Molina dan Ambrose, 2008) atau berpikir struktural atau berpikir secara aljabar (Stephens, 2004). Carlo dkk (2010) dan Stephens (2006) menyatakan berpikir relasional merupakan lawan berpikir prosedural. Lebih jauh Carlo dkk (2010) mengatakan berpikir relasional hampir sama seperti apa yang dikatakan Skemp (1976) tentang pemahaman relasional, yaitu mengetahui apa yang dikerjakan dan mengapa.

Dalam aritmetika, berpikir relasional tergantung dari pada siswa dapat melihat dan menggunakan berbagai kemungkinan variasi diantara bilangan dalam sebuah kalimat bilangan atau permasalahan yang diberikan (Stephens, 2006). Ini berarti siswa dikatakan berpikir relasional ketika mereka melakukan pendekatan pada kalimat-kalimat bilangan dengan fokus pada hubungan aritmetik menggantikan komputasi. Hal senada juga disampaikan oleh Carpenter dkk (2005)

relational thinking involve using fundamental properties of number and operations to transform mathematical expresions rather than simply calculating an answer following a prescribed sequence of prosedure”.

Berpikir relasional melibatkan penggunaan sifat-sifat dasar bilangan dan operasi untuk mengubah ekspresi matematika dari pada menghitung jawaban yang mengikuti barisan prosedur. Pernyataan serupa oleh Koehler (2004) (dalam Molina, 2008) yang menyatakan bahwa berpikir relasional dikaitkan dengan banyak hubungan yang berbeda yang dilakukan anak dalam mengenali dan membangun antara dan di dalam bilangan, ekspresi dan operasi. Ini berarti berpikir relasional melibatkan penggunaan sifat dasar operasi dan kesamaan untuk

(8)

menganalisis masalah dalam konteks struktur tujuan dan kemudian menyeder-hanakan masalah menuju tujuan tersebut. Penggunaan sifat dasar untuk mengha-silkan struktur tujuan dan mengubah ekspresi dapat eksplisit atau implisit dalam logika penalaran siswa. Sebagai contoh 47 + 73 = (40 + 7) + (70 + 3) = (40 + 70) + (7 + 3) = 110 + 10 = 120.

Carpenter dkk ( 2003) dan Stephens, AC (2006) menyatakan bahwa siswa dikatakan berpikir relasional jika: 1) Siswa melihat tanda sama dengan sebagai simbol relasi. 2) Siswa dapat fokus pada struktur ekspresi dan 3) Siswa dapat memberikan rasionalitas penggunaan strategi untuk menyelesaikan masalah kalimat bilangan yang melibatkan operasi. Ini berarti siswa yang menyelesaikan permasalahan dengan menggunakan pemi-kiran relasional memanfaatkan pemaha-man bilangan mereka untuk mempertimbangkan ekspresi aritmetika dari perspektif struktural bukan sekadar prosedural. Bila menggunakan berpikir relasional, kalimat-kalimat yang ada dianggap sebagai keseluruhan, bukan sebagai proses untuk mengerjakan langkah demi langkah (prosedural).

Pengertian tentang berpikir relasional dalam matematika yang telah dikemukakan di atas selalu dikaitkan dengan melaksanakan rencana, tahap ketiga penyelesaian masalah menurut Polya (1973). Menurut Kinard & Kozulin (2008) berpikir relasional berada pada level tertinggi, level 3 (berpikir relasional abstrak) pada fungsi kognitif berpikir matematis rigor. Hal ini dikarenakan berpikir relasional mempertimbangkan proposisi matematika yang menyajikan hubungan antara dua objek matematika, A dan B, dengan proposisi matematika kedua yang menyajikan hubungan antara konsep A dan C dan kemudian menyimpulkan hubungan antara B dan C. Hejnyá dkk

(2006) memberikan karateristik prosedur penyelesaian masalah pada berpikir relasional sebagai berikut: 1) Membuat gambaran dalam pikiran tentang masalah secara keseluruhan. 2) Menganalisis untuk menemukan struktur inti masalah. 3) Mencari elemen kunci atau hubungan dalam masalah, hal ini menyangkut wawasan hubungan antara unsur-unsur yang diberikan dan yang tidak diketahui. 4) Setelah elemen kunci atau hubungan kunci ditemukan, mengkonstruksi strategi penyelesaian dan 5) Proses di atas mengarah penyelesai masalah menuju tingkat yang lebih tinggi dalam memahami masalah tersebut. Molina dkk (2005) mengatakan bahwa seseorang berpikir relasional atau menggunakan pemikiran relasional ketika ia memeriksa dua atau lebih ide-ide matematika atau benda, ia mencari alternatif hubungan antara idea tau benda tersebut dan menganalisis atau menggunakan hubungan tersebut dalam rangka menyelesaikan masalah, membuat keputusan, atau mempelajari lebih lanjut tentang situasi atau konsep yang digunakan.

Berdasarkan dari beberapa penje-lasan di atas, dalam penelitian ini berpikir relasional adalah berpikir membangun hubungan dengan memanfaatkan unsur-unsur informasi yang diberikan (konteks) maupun pengetahuan tentang sifat-sifat/struktur matematika untuk membuat perencanaan penyelesaikan masalah matematika.

METODE

a) Subjek Penelitian

Subjek yang dipilih adalah siswa SD kelas V dengan usia berkisar antara 11 tahun sampai 12 tahun. Selanjutnya subjek diminta menyelesaikan soal tes kemam-puan matematika (TKM) yang sudah divalidasi. Hasil tes dinilai dengan menggunakan skor dari 0 sampai dengan

(9)

100 dikelompokan menjadi tiga kategori. Skor tes (x) kurang dari 55 dikategorikan berkemampuan rendah, skor tes 55 ≤ x < 80 dikategorikan berkemampuan sedang dan skor tes, x ≥ 80 dikategorikan berkemampuan tinggi. Hasil tes memperlihatkan siswa dengan kategori berkemampuan rendah yang sangat dominan, yaitu sebanyak 16 siswa (51,61%), dengan 5 siswa laki-laki dan 11 perempuan dari 31 siswa. Selanjutnya dipilih sebanyak dua siswa, satu laki-laki (SLB) dan satu perempuan (SPB) yang skornya sama, yaitu 40 yang akan dijadikan subjek penelitian.

b) Instrumen

Instrumen dalam penelitan ini terdiri dari instrumen utama, yaitu peneliti sendiri dan instrumen pendukung yang meliputi alat perekam audio visual, tes kemampuan matematika (TKM), tugas penyelesaian masalah matematika (TPM) dan pedoman wawancara. Tes Kemampuan Matematika (TKM) disusun dengan mengadopsi soal-soal UAN/UN atau ujian bersama SD yang berbentuk pilihan ganda menjadi soal uraian yang sesuai dengan standar isi kurikulum matematika tahun 2006 untuk kelas V, khususnya materi semester ganjil. Lembar soal yang sudah disusun divalidasi oleh guru matematika SD yang sudah memiliki sertifikat pendidik, ahli pendidikan matematika dan ahli evaluasi dalam hal konten soal dan bahasa yang digunakan. Berdasarkan hasil validasi tersebut, maka lembar soal siap digunakan. Sebagaimana penyusunan TKM, maka dalam penyusunan TPM juga didahului dengan mempelajari standar isi kurikulum matematika tahun 2006 untuk kelas V dan instrumen soal yang digunakan peneliti terdahulu dalam mengeksplorasi berpikir relasional siswa. Pada penelitian ini merujuk pada instrumen yang dikembangkan oleh Stephens (2008) serta Stephens dan Wang

(2008). Selanjutnya peneliti meminta izin kepada Stephens untuk menggunakan soal yang dia kembangkan, akan tetapi soalnya dalam bentuk cerita. Atas izin dan saran beliau soal bentuk tersebut dikembangkan lagi, baik yang berkaitan dengan data yang diberikan maupun pertanyaannya. Sehingga diperoleh TPM yang selanjutnya divalidasi oleh guru matematika SD yang sudah memiliki sertifikat pendidik, ahli pendidikan matematika dan ahli evaluasi yang berekaitan dengan konten soal dan bahasa yang digunakan. Berdasarkan hasil validasi tersebut, selanjutnya dilakukan keterbacaan soal secara informal kepada dua siswa SD kelas V; laki-laki dan perempuan. Hasilnya, kedua siswa tersebut dapat menyebutkan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan, yang merupakan dua hal penting pada soal bentuk menemukan (Polya, 1973). Pada penelitian ini dikembangkan dua jenis TPM yang setara, yang masing-masing disebut TPM I dan TPM II.

Tugas penyelesaian masalah (TPM) I Di warungnya, Ibu Dewi menjual permen yang diletakkan di dalam tiga toples yang berwarna merah, hijau dan biru. Tiap-tiap toples berisi permen dua rasa dengan bentuk dan ukuran yang sama. Toples merah berisi 81 permen rasa strawberi dan 47 rasa jeruk. Toples hijau berisi 23 permen rasa kopi dan sisanya rasa susu. Toples biru berisi 46 permen rasa nanas dan sisanya rasa melon. Banyak permen di dalam toples merah dua kali banyak permen di dalam toples hijau. Banyak permen di dalam toples biru tidak lebih dari banyak permen di dalam toples hijau. Berapa banyak permen rasa susu di dalam toples hijau? Berapa banyak permen rasa melon yang mungkin di dalam toples biru?

Tugas penyelesaian masalah (TPM) II Di warungnya, Ibu Dewi menjual permen yang diletakkan di dalam tiga toples

(10)

yang berwarna merah, hijau dan biru. Tiap-tiap toples berisi permen dua rasa dengan bentuk dan ukuran yang sama. Toples merah berisi 80 permen rasa strawberi dan 44 rasa jeruk. Toples hijau berisi 39 permen rasa kopi dan sisanya rasa susu. Toples biru berisi 56 permen rasa nanas dan sisanya rasa melon. Banyak permen di dalam toples merah dua kali banyak permen di dalam toples hijau. Banyak permen di dalam toples biru tidak lebih dari banyak permen di dalam toples hijau. Berapa banyak permen rasa susu di dalam toples hijau? Berapa banyak permen rasa melon yang mungkin di dalam toples biru?

Pengembangan pedoman wawancara dilakukan dalam upaya membantu menggali proses berpikir relasional subjek. Pedoman ini merujuk pada memahami masalah tahapan pertama penyelesaian masalah matematika oleh Polya. Pedoman wawancara divalidasi oleh guru mate-matika SD yang sudah memiliki sertifikat pendidik, ahli pendidikan matematika dan ahli evaluasi yang berkaitan dengan konten dan bahasa yang digunakan.

c) Data dan Kredibilitas Data

Mekanisme pengumpulan data, baik pada tugas pemecahan masalah I maupun II dimulai dengan meminta subjek membaca tugas penyelesaian masalah yang dilanjutkan dengan wawancara yang mendalam. Data-data tersebut direkam dengan menggunakan video recorder. Selanjutnya untuk menjamin kredibilitas data yang diperoleh peneliti dengan melakukan pengamatan terus menerus/ konsisten dan pantang menyerah (meningkatkan ketekunan), triangulasi waktu dan membercheck (Moleong, 2011; Sugiyono, 2011).

d) Analisis Data

Berdasarkan data yang sudah kredibel, selanjutnya dilakukan analisis dengan model alir yang terdiri tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan yaitu: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan (Miles & Huberman, 1992), yaitu proses berpikir relasional siswa sekolah dasar dengan tingkat kemampuan matematika rendah dalam memahami masalah matematika. HASIL DAN PEMBAHASAN

a) Hasil Penelitian

Proses berpikir relational siswa perempuan (SPB) dalam membuat perencanaan penyelesaian masalah matematika dengan membangun relasi di dalam dan diantara pemahaman terhadap masalah dan pengetahuan yang sudah dimiliki. Kedua unsur ini disebut sebagai unsur inti dalam membuat perencanaan. Perihal pemahaman terhadap masalah berkaitan dengan apa yang diketahui, yaitu bilangan-bilangan dan petunjuk untuk menjawab. Sedangkan pengetahuan yang sudah dimiliki berkaitan dengan pemilihan operasi hitung dan relasi yang akan digunakan. Selanjutnya ada relasi yang terjadi antara bilangan-bilangan yang digunakan dan petunjuk dengan pemilihan operasi hitung dan relasi. Pada pemilihan operasi pembagian direlasikan dengan inversnya, yaitu perkalian. Ketika pembuatan rencana SPB menyebutkan informasi yang digunakan, alasan dan tujuan melakukan operasi hitung, meskipun alasan melakukan operasi pembagian untuk menjawab pertanyaan nomor dua kurang tepat. Ini berarti disamping membangun relasi SPB juga memberikan rasionalitas dalam memilih informasi dan operasi hitung yang digunakan dalam pembuatan rencana penyelesaian masalah.

(11)

Proses berpikir relational siswa laki-laki (SLB) dalam membuat perencanaan penyelesaian masalah matematika dengan membangun relasi di dalam dan diantara pemahaman terhadap masalah dan pengetahuan yang sudah dimiliki. Kedua unsur ini disebut sebagai unsur inti dalam membuat perencanaan. Perihal pema-haman terhadap masalah berkaitan dengan apa yang diketahui, yaitu bilangan-bilangan yang ada di soal. Sedangkan pengetahuan yang sudah dimiliki berkaitan dengan pemilihan operasi hitung dan relasi yang akan digunakan. Selanjutnya ada relasi yang terjadi antara bilangan-bilangan yang digunakan dan petunjuk dengan pemilihan operasi hitung dan relasi. Pada pemilihan operasi pembagian direlasikan dengan inversnya, yaitu perkalian. Ketika pembuatan rencana SPB menyebutkan informasi yang digunakan, alasan dan tujuan melakukan operasi hitung, meskipun alasan melakukan operasi pembagian untuk menjawab pertanyaan nomor dua kurang tepat. Ini berarti disamping membangun relasi SPB juga memberikan rasionalitas dalam memilih informasi dan operasi hitung yang digunakan dalam pembuatan rencana penyelesaian masalah.

b) Pembahasan

Proses berpikir relasional SPB dan SLB dalam membuat perencanaan penyelesaian masalah matematika dengan membangun relasi di dalam dan diantara pemahaman terhadap masalah dan pengetahuan yang sudah dimiliki. Ini berarti berpikir relasional antara siswa laki-laki dan perempuan dalam membuat rencana penyelesaian mengitegrasikan informasi yang diperoleh dari soal (memanfaatkan apa yang diketahui) dan pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya (memilih operasi hitung dan relasi). Pemahaman seperti ini dalam

perspektif pemahaman bacaan termasuk tingkat ketiga/tertinggi, yaitu model situasi (Kintsch, 1988 dalam Österholm, 2006; Van Dijk dan Kintsch, 1983).

Perihal pemahaman terhadap masa-lah siswa perempuan merelasikanya dengan apa yang diketahui, yaitu bilangan-bilangan dan petunjuk untuk menjawab. Sedangan siswa laki-laki merelasikannya dengan apa yang diketahui, yaitu bilangan-bilangan yang ada di soal. Ini berarti relasi yang dibangun oleh siswa perempuan dalam memahami masalah lebih kaya dari pada yang dibangun oleh siswa laki-laki. Hal ini sesuai dengan pendapat bahwa anak perempuan tampil relatif lebih baik daripada anak laki-laki dalam item soal uraian (Bolger & Kellaghan, 1990). Alasan adanya kemungkinan perbedaan an antara jenis kelamin adalah fakta bahwa item soal uraian membutuhkan kemampuan verbal (Murphy, 1982).

SPB dan SLB telah melakukan berbagai relasi membuat perencanaan penyelesaian masalah, akan tetapi jika dianalogikan dengan Stephens dan Wang (2008), maka berpikir relasional mereka termasuk pada tipe konsolidasi, yaitu dapat menyebutkan informasi yang digunakan, alasan dan tujuan melakukan operasi hitung berdasarkan informasi yang digunakan, akan tetapi masih ada alasan melakukan operasi kurang tepat yaitu alasan melakukan operasi pembagian untuk menjawab pertanyaan nomor dua. PENUTUP

Adanya kesamaan proses berpikir relasional antara siswa perempuan dan laki-laki dalam membuat perencanaan penyelesaian masalah matematika, yaitu dengan membangun relasi di dalam dan diantara pemahaman terhadap masalah dan pengetahuan yang sudah dimiliki, yang selanjutnya disebut sebagai unsur intinya.

(12)

Demikian juga relasi yang terjadi di dalam dan diantara unsur inti.

Membuat rencana penyelesaian merupakan tahap kedua dalam penye-lesaian masalah matematika (Polya, 1973 dan Posamentier dkk, 2007). Tahapan ini dapat digunakan untuk melihat apa yang dipahami terhadap soal dan aktivitas yang akan dilakukan tahapan berikutnya, melaksanakan rencana. Oleh karenanya penting bagi guru matematika untuk memfasilitasi siswa dalam membuat perencanaan penyelesaian masalah yang diantaranya mengembangkan proses

berpikir relasional. Penelitian ini terbatas pada pembuatan rencana penyelesaian masalah matematika dan terbatas pada siswa SD yang kemampuan matema-tikanya rendah atau kurang, oleh karenanya perlu dikaji juga proses berpikir relasional pada tahapan yang lain, memahami masalah, melaksanakan renca-na atau memeriksa kembali pada siswa SD yang berkemampuan tinggi atau sedang pada siswa ditingkat dasar atau pada tingkat menengah atau perguruan tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Albaili, M.A. 1997. “Differences in Thinking Styles among Low-, Average,and High-Achieving College Students”. Educational Psychology. 17(1) hal 171 – 177. Beaton, A.E., Mullis, I.V.S., Martin, M.O.,

Gonzalez, E.J., Kelly, D.L. & Smith, T.A. 1999. Mathematics achievement in the middle school years: IEA's Third International Mathematics and Science Study-Repeat (TIMSS-R). Boston College, USA.

Bolger, N. & Kellaghan, T. 1990. “Methods of measurement and gender differences in scholastic achievement”. Journal of Educati-onal Measurement, 31, 275-293. Carlo, M., Anne, C., Paul, P.W., Paola, V.

2010. “Equality Relation and Structural Properties”. Proceedings of CERME 6, January 28th-February 1st 2009, Lyon France www.map.fr/publication/edition- electronique/cerme6/wg4-16.mar-chini-et-al. pdf, diakses 27 Oktober 2010

Carpenter, T.P., Franke, M.L., & Levi, L. 2003. Thinking mathematically: Integrating arithmetic and algebra in elementary school, Posrtmouth: Heinemann

Carpenter, T.P., Franke, M.L., Madison, Levi, L., & Zeringue, J.K., 2005. Algebra in Elementary Schooll: Developing Relational Thinking, ZDM, Vol. 37(1), pp. 53 – 59. Depdiknas, 2006. Kurikulum Tingkat

Satuan Pendidikan. Kompetensi Dasar Pelajaran Matematika untuk Sekolah Dasar (SD)/Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsana-wiyah (MTs), Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliah (MA). Jakarta: Pusat Kurikulum, Balit-bangdiknas, Jakarta.

Doumas. L. A. A. and Hummel. J.E. 2005. ”Approaches to Modeling Human Mental Representations: What Works, What Doesn’t, and Why”. In Holyoak. K.J. and Morrison. R.G (Ed). The Cambridge Handbook of Thinking and Reasoning. Cam-bridge. University press.

(13)

Hejný, M., Jirotková, D. & Kratochvilová, D. 2006. ”Early conceptual thinking”. In Novotná, J., Moraová, H., Krátká, M. & Stheliková, N. (Eds.), Proceedings 30th Conferences of the International Group for the Psychology of Mathematics Education, Vol. 3, pp. 289-296. Prague: PME.

Hudojo, Herman. 2005. Kapita Selekta Pembelajaran Matematika. Malang: Universitas Negeri Malang.

Jensen, Eric.2008. Brain- Based Learning: Pembelajaran Berbasis Kemampuan Otak Cara Baru Dalam Pengajaran dan Pelatihan.Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Jonassen, D.H. & Tessmer, M. (1996/1997). “An outcomes-based taxonomy for instructional systems design, evaluation, and research”. Training Research Journal, 2, 11-46.

McNeil,N.M., Grandau, L., Knuth, E.J., Alibali, M.W., Stephens, A.C. 2006. “Middle-School Students’ Under-standing of the Equal Sign: The Books They Read Can’t Help”. Cognition and Instruction, 24(3), 367 – 385.

Miles, M. B. & Huberman, A.M. 1992. Analaisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-metode Baru. Terjemahan oleh: Tjetjep Rohendi Rohedi. Jakarta: UI Press.

Moleong, Lexy. J. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). Bandung PT. Remaja Rosdakarya. Molina, M., Castro, E. Ambrose, R. 2005.

“Enriching Arithmetic Learning by Promoting Relational Thinking”. The International Journal of Learning, 12(5), 265 – 270.

Molina, M., Castro, E., & Mason, J. 2008. “Elementary school students’ approaches to solving true/false

number sentences”. PNA 2 (2), 75 – 86, http://www.pna.es/Numeros/ pdf/Molina2008Elementary.pdf, diakses, 15 Nopember 2009

Molina, M., & Ambrose, R. 2008. “From an operational to a relational conception of the equal sign: Thirds grades’ developing algebraic thinking”. Focus on Learning Problems in Mathematics, 30 (1), 61 – 80

Murphy, R.J.L. (1982). “Sex differences in objective test performance”. British Journal of Psychology, 52, 213-219. National Council of Teachers of

Mathematics, 2000, Principles and standards for school mathematics, Reston, VA: Author

Pimta, S., Tayruakham, S., Nuangchalerm, P. 2009. “Factor Influencing Mathematics Problem Solving Ability of Sixth Grade Students”. Journal of Social Sciences, 5 (4): 381-385.

Polya, G. 1973. How to Solve it. 2nd Ed. Princeton University Press, ISBN 0-691-08097-6

Posamentier, A.S., Krulik, S. 1998. Problem-solving strategies for efficient and elegant solutions: A Resource for the Mathematics Teacher. Corwin Press, Inc. California USA.

Posamentier, A.S., Jaye, D., Krulik, S. 2007. Exemplary Practices for Secaondary Math Teachers. Association for Supervision and Curiculum Development. Alexan-dria, Virgina USA.

Skemp, R.R. 1976. “Relational understanding and Instrumental understanding”. Mathematics Teaching.

Solso, Robert L. 1995. Cognitive Psychology. Boston. Allyn and Bacon.

(14)

Stephens, M. 2008. “Some key junctures in relational thinking”. In M. Goos, R. Brown and K. Makar (Eds.), Navigating current and charting directions (Proceedings of the 31th annual conference of the Mathematics Education Group of Australia, pp. 491 – 498). Brisbane: MERGA.

Stephens, M. and Wang, X., 2008. “Some key junctures in relational thinking”. Journal of Mathematics Education, Vol. 17 (5), hal. 36 – 40 .

Stephens, M. 2006. “Describing and exploring the power of relational thinking”. In P. Grootenboer, R. Zevenbergen, & M. Chinnappan (eds.), Identities, Cultures and Learning Spaces, Proceeding of the 29th annual conference of the Mathematics Education Research Group of Australasia, pp. 479-486.

Canberra: MERGA. http:// www.merga.net.au/documents/ RP552006.pdf, diakses 15 Nopem-ber 2009.

Stephens, M, 2004. Researching relational thinking, Japan: University of Tsu-kuba

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung : Alfabeta.

Van Dijk, T. A., & Kintsch, W. 1983. Strategies of discourse compre-hension. New York: Academic Press.

Österholm, M,. 2006. Charactherizing reading comprehension of mathe-matical texts, Educational Studies in Mathematics (63), 3, 325 – 346.

Referensi

Dokumen terkait

mengoreksi atau menghukum bawahan karena melanggar peraturan atau prosedur”.Menurut Sutrisno ( 2009 : 90 ), “Disiplin adalah sikap kesediaan dan kerelaan seseorang

Dari segi struktur, golongan flavonoid Artocarpus memiliki kekhasan yaitu adanya pola oksigenasi di cincin B pada kerangka flavon yang tidak mengikuti kelaziman pola

Tujuan dan Signifikansi Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui strategi yang dijalankan oleh caleg perempuan terpilih sebagai anggota DPRD Kabupaten/ Kota

Pasal 10 UUHT menjelaskan bahwa pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang

Pada perbandingan antara mean empirik dan mean hipotetik, diketahui bahwa mean empirik kepuasan berwirausaha lebih besar dari mean hipotetiknya (60.82 &gt; 40), yang

Adanya pemberian takaran pupuk organik rumput rawa yang mencukupi bagi tanaman akan memberikan pengaruh yang positif bagi pertumbuhan generatif tanaman jagung manis,

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kompensasi dan lingkungan kerja terhadap kinerja dengan motivasi kerja sebagai variabel intervening pada PT. Perkebunan

Kimia DWI KARTIKA SARI Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi