• Tidak ada hasil yang ditemukan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

SEJARAH KARYA F. VAN LITH S.J.

DI JAWA 1896-1926

MAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana

Pendidikan Program Studi Pendidikan Sejarah

Oleh:

BERNADUS BRURRY NUGROHO

101314001

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

i

SEJARAH KARYA F. VAN LITH S.J.

DI JAWA 1896-1926

MAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Sejarah

Oleh:

BERNADUS BRURRY NUGROHO

101314001

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

iv

PERSEMBAHAN

Makalah ini saya persembahkan kepada:

Kedua orang tuaku Bapak A.P. Marsin Nugroho dan Ibu Martha Tuminem yang

telah membesarkanku, kedua adikku Bernadetha Sundari Nugroho dan Theodora

Tiris Wigati serta tidak lupa yang tersayang Theresia Jabut yang selalu

mendewasakanku dan menguji kesabaranku dengan segala kelebihan dan

(6)

v

MOTTO

“Ketuklah maka kamu akan dibukakan pintu, mintalah maka kamu akan diberi, berusahalah maka kamu akan meraih apa yang kamu dambakan”

(Bernadus)

“Jadilah garam yang bukan hanya mengasinkan lautan saja” (Brurry)

„„Jangan berjalan di depanku karena aku tak mau mengikutimu, jangan berjalan di belakangku karena aku tak ingin memimpinmu, berjalanlah di sampingku dan

jadilah temanku” (Albert Camus)

(7)
(8)
(9)

viii

ABSTRAK

SEJARAH KARYA F. VAN LITH S.J. DI JAWA 1896-1926

Bernadus Brurry Nugroho Universitas Sanata Dharma

2015

Makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan tiga permasalahan pokok, yaitu:1. Latar belakang kehidupan dari F. van Lith S.J. 2. Karya misioner F. van Lith S.J. dalam bidang pendidikan. 3. Dampak dari pendidikan yang diberikan F. van Lith S.J. bagi orang-orang Jawa.

Melalui studi pustaka yang ditulis secara deskriptik analitis diperoleh hasil sebagai berikut: 1. F. van Lith lahir pada 17 Mei 1863 di Oirschot, Belanda, bercita-cita menjadi imam Jesuit, ditahbis menjadi imam pada tanggal 8 September 1894, kemudian dikirim ke Belgia untuk menjalani masa tersiat. 2. F. van Lith S.J. dikirim ke Jawa untuk berkarya di Hindia Belanda dengan membangun: Kweekschool-A, Kweekschool-B, Kolese Xaverius, dan seminari di Muntilan. 3. Dampak dari karyanya berupa munculnya para pemimpin dan kader-kader penerus yang berperan pada karya misioner dan perjuangan Bangsa Indonesia dalam mencapai kemerdekaan.

(10)

ix

ABSTRACT

THE WORK HISTORY OF F. VAN LITH S.J. IN JAVA 1896-1926

Bernadus Brurry Nugroho Sanata Dharma University

2015

This paper aims to describe three basic problems, namely: 1. The background of the life of F. van Lith S.J. 2. The missionary work of F. van Lith S.J. in the field of education. 3. The impact of education provided F. van Lith SJ for the people of Java.

By means of library study, the research results are as follows: 1. F. van Lith was born on May 17, 1863 in Oirschot, Netherlands, aspires to be a Jesuit priest, was ordained to the priesthood on September 8, 1894, then sent to Belgium for a period tertianship. 2. F. van Lith S.J. sent to Java to work in the Dutch East Indies to build: Kweekschool-A, Kweekschool-B, Xavier College and seminary in Muntilan. 3. The impact of his works include the emergence of leaders and cadres successor whose role in missionary work and struggle of the Indonesian nation to achieve independence.

(11)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa berkat

rahmat dan restu-Nya sehingga makalah yang berjudul “Sejarah Karya F. van

Lith S.J. di Jawa 1896-1926” pada akhirnya bisa terselesaikan dengan baik.

Makalah ini di susun untuk memenuhi salah satu syarat untuk meraih gelar

Sarjana Pendidikan di Universitas Sanata Dharma, Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan, Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial, Program Studi Pendidikan Sejarah.

Penulisan karya ini tentunya tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya

dukungan dari banyak pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada

kesempatan ini, penulis secara khusus mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta.

2. Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk

menyelesaikan makalah ini.

3. Bapak Drs. B. Musidi M.Pd. selaku dosen pembimbing yang telah

memberikan pengarahan, dampingan, dan dukungan dalam pelaksanaan

penulisan makalah ini.

4. Seluruh dosen dan pihak sekretariat Program Studi Pendidikan Sejarah

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah memberikan motivasi,

(12)
(13)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... . i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... . ii

HALAMAN PENGESAHAN ... . iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... . iv

HALAMAN MOTTO ... . v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... . vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... . vii

ABSTRAK ... . viii

ABSTRACT ... . ix

KATA PENGANTAR ... . x

DAFTAR ISI ... . xii

DAFTAR LAMPIRAN ... . xiv

BAB I PENDAHULUAN ... . 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah... 6

C. Tujuan Penulisan... 6

D. Manfaat Penulisan... 7

E. Sistematika Penulisan... 7

BAB II Latar Belakang Kehidupan F.van Lith S.J... 9

A.Kehidupan Masa Kecil F. Van Lith S.J. Hingga Menjadi Seorang Imam Jesuit... 9

B. Penunjukan F. van Lith S.J. ke Tanah Misi di Jawa... 11

C.Keadaan Misi di Jawa... 11

BAB III Karya F. van Lith S.J. di Jawa ... 16

A. Mengawali Karya Dengan Membongkar Kebobrokan Para Katekis... 16

(14)

xiii

B. Pertentangan Antara Hovenaars S.J. Dengan F. van Lith

S.J... 22

1. Masalah Metode... 23

2. Masalah Doa Bapa Kami... 27

3. Masalah Jumlah Baptisan... 30

C. F. van Lith S.J. Pendidik Kaum Pribumi... 37

BAB IV Dampak Karya F.van Lith S.J. Dalam Bidang Pendidikan Bagi Masyarakat Jawa... 44

A. Bertambah Banyaknya Jumlah Pengikut Ajaran Katolik ... 44

B. Munculnya Pemimpin Asli Jawa... 46

BAB V KESIMPULAN... 54

DAFTAR PUSTAKA... 58

(15)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1: Silabus ... 59

(16)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Mulai tahun 1808 banyak imam dari Negeri Belanda datang ke Indonesia

untuk memulai karya misionernya. Pada tahun tersebut tanah misi di Indonesia

berada di bawah tanggung jawab Gereja Katolik di Belanda. Pada babak awal

karya misionernya mereka mengalami kegagalan. Kegagalan yang dialami oleh

para misionaris antara lain karena pembatasan-pembatasan yang dilakukan

pemerintah Belanda. Misionaris yang dikirim ke Indonesia lebih besar kaitannya

dengan kepentingan pemerintahan dibandingkan dengan kepentingan misi.

Perubahan yang signifikan terjadi ketika Paus menetapkan berdirinya

Vikariat Apostolik Batavia pada tanggal 20 September 1842. Mgr. Jacobus Groff

S.J. ditetapkan sebagai Vikaris Apostolik (Uskup)-nya yang pertama. Kebijakan

pendirian Vikariat Apostolik Batavia oleh Paus tidak lain adalah untuk

memajukan karya misi di Jawa khususnya dan Indonesia pada umumnya.

Kebijakan tersebut muncul karena Paus melihat bahwa banyak penduduk Eropa

yang ada di tanah Jawa serta jumlah populasi penduduk Jawa lebih banyak dari

daerah lain sehingga akan memungkinkan terwujudnya keberhasilan karya misi di

sana. Pada waktu itu karya misionaris dikatakan berhasil apabila banyak orang

pribumi khususnya yang memeluk Agama Katolik dan turut serta dalam karya

para misionaris.1

1 G. Moedjanto, dkk, Garis-Garis Besar Sejarah Gereja Katolik Keuskupan Agung Semarang, Semarang, K.A.S, 1991, hlm. 15.

(17)

Pada bagian awal karya misioner di Hindia Belanda mengalami kegagalan.

Jumlah orang Jawa yang sudah beragama Katolik masih sedikit. Sebagian besar

pemeluk Agama Katolik adalah orang-orang Eropa. Selain itu, misionaris yang

ada di Kepulauan Indonesia waktu itu sebatas untuk bekerja pada pemerintah

kolonial dan jumlah merekapun sangat sedikit. Para misionaris didatangkan dan

dipekerjakan di wilayah jajahan dan sekaligus tanah misi untuk melayani

kebutuhan orang-orang Eropa dan keturunannya yang ada di daerah kekuasaan

pemerintah kolonial.2

Jumlah misionaris yang sedikit merupakan akibat dari adanya aturan yang

menyatakan bahwa pengiriman para misionaris ke wilayah Hindia Belanda jika

ada permintaan dari Gubernur Jenderal yang berkuasa di sana saja.

Pembatasan-pembatasan ini dilakukan untuk menjaga kekuasaan dari pemerintah kolonial

dengan orang pribumi atau bahkan penguasa lokal tetap berjalan dengan baik.

Larangan tersebut juga berlaku di Pulau Jawa. Pemerintah Hindia Belanda tidak

ingin merusak hubungan yang sudah terjalin baik dengan penguasa lokal di Pulau

Jawa menjadi buruk seperti ketika terjadi perlawanan yang dilakukan oleh

Pangeran Diponegoro dan sekutunya. Pertentangan antara Pangeran Diponegoro

dengan pemerintah Hindia Belanda tersebut mengakibatkan melemahnya

perekonomian dan pemerintah Hindia Belanda terbelit hutang. Pemerintah Hindia

Belanda juga tidak menginginkan pemimpin lokal melakukan pemberontakan

seperti yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro dan komplotannya. Alasannya

2

(18)

adalah orang Jawa masih memegang kepercayaan bahwa pemimpin masyarakat

pada waktu itu juga menjabat sebagai pemimpin agama.3

Selain jumlah misionaris yang kurang mencukupi untuk wilayah

kepulauan Indonesia, para misionaris juga lebih banyak yang bekerja kepada

pemerintah Belanda yang ada di Indonesia karena motif ekonomi saja dan bukan

untuk mengabdikan diri sepenuhnya pada masyarakat pribumi. Demikian juga

yang terjadi di Jawa, para misionaris juga berkarya di antara orang Eropa di Jawa

dan hanya untuk mengejar upah meskipun sebenarnya hasil atau gaji yang

diterima digunakan lagi untuk memperlancar misinya. Selain itu, banyak kalangan

misionaris tidak mau berpindah tempat ke daerah misi yang baru dan

meninggalkan daerah sebelumnya karena mereka sudah nyaman dan pesimis

dengan keadaan di Pulau Jawa.

Ketika J. Keijer S.J. mengawali misinya di Pulau Jawa pada tahun 1894,

beliau juga menjabat sebagai pemimpin para misionaris yang ada di Pulau Jawa.

Waktu itu wilayah misi Jesuit Belanda masih meliputi seluruh Kepulauan

Indonesia. Dalam menjalankan karya misionernya J. Keijer S.J. dibantu oleh dua

katekis yang bernama M. Taffer dan J. Vreede yang telah menguasai Bahasa

Jawa. Kedua katekis ini baru saja masuk Agama Katolik dan sebelumnya mereka

memeluk Agama Kristen. Perkembangan mulai terlihat dalam kurun waktu

1894-1895 ada 340 orang Jawa diterima sebagai warga Katolik. Pada tahun 1896, di

Mlaten dan Nglamper (Semarang) dibuka dua sekolah kecil. Sebuah kursus guru

3 Fl. Hasto Rosarianto, Van Lith Pembuka Pendidikan Guru di Jawa Sejarah 150 tahun Serikat Jesus di Jawa, Yogyakarta, Universitas Sanata Dharma, 2009, hlm. 93.

(19)

katekis juga dibuka di Gedangan pada tahun 1897.4 Berawal dari keberhasilan

inilah yang mendorong munculnya usulan yang ditujukan kepada pemerintah

Hindia Belanda dan pusat misi di Belanda supaya menambah misionaris yang ada

di Pulau Jawa. Pada akhirnya dikirimlah empat orang misionaris dari Belanda

untuk wilayah Hindia Belanda. Tiga orang romo untuk meluaskan karya misi di

Jawa yaitu E. Engbers S.J., P. Hovenaars S.J., F. van Lith S.J. yang nantinya

menjalani misi di Mendut dan Muntilan, serta P. Frencken S.J. satu-satunya

misionaris yang dikirim ke daerah Larantuka.5

Kota Muntilan merupakan kota yang dianggap sebagai tonggak awal

keberhasilan karya misionaris di Pulau Jawa. Muntilan merupakan salah satu

Paroki di bawah Vikariat Apostolik Batavia. Di kota Muntilan inilah didirikan

Kolose Xaverius Muntilan. Pendiri Kolese Xaverius Muntilan adalah seorang

misionaris Jesuit yang bernama F. van Lith S.J. Sekolah yang didirikan di

Muntilan ini merupakan wujud dari keinginan F. van Lith S.J. yang ingin

membela masyarakat pibumi dari penindasan dan kesengsaraan pada masa

pendudukan Belanda di Hindia Belanda.

F. van Lith S.J. ingin mengubah keadaan karya misi di Pulau Jawa dan

Indonesia pada umumnya. Waktu masih muda, F. van Lith S.J. sudah menjadi

seorang yang bijaksana seperti ketika beliau menolak bekerja sebagai penarik

pajak. Beliau menginginkan perubahan bentuk karya misioner yang ada di

Indonesia pada waktu itu, supaya tidak hanya sebatas melayani orang-orang

Belanda dan mengkatolikkan orang pribumi tetapi juga memperjuangkan hak-hak

4 G. Moedjanto, dkk, op. cit., hlm.16-18. 5

(20)

orang pribumi untuk maju dan mendapat pengakuan dari perintah Hindia Belanda.

F. van Lith S.J. yakin bahwa tidak akan ada keberhasilan karya misioner di

Indonesia dan Jawa khususnya jika para misionaris tidak mampu memberikan

kemakmuran bagi masyarakat pribumi.6

Hak mendapatkan pendidikan bagi kaum pribumi merupakan salah satu

tujuan yang sedang diupayakan oleh F. van Lith S.J. Beliau ingin memperbaiki

taraf hidup masyarakat pribumi dengan pendidikan yang berorientasi pada lulusan

sekolahnya yang nantinya bisa menjadi seorang guru dan calon pemimpin bagi

masyarakat Jawa. Selain itu, beliau juga mengajak para misionaris supaya lebih

menghargai dan belajar tradisi yang ada dalam masyarakat Jawa sehingga

mempermudah jalan menuju keberhasilan misinya. Tradisi Jawa bisa dijadikan

sarana penyebaran misi agama. Menyatu dengan masyarakat pribumi menjadi

jalan menjalin relasi yang sangat kokoh dengan masyarakat pribumi. Hidup

sebagai seorang guru yang berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain

menjadi ciri khas F. van Lith S.J.

Perdebatan dan pertentangan mengenai cara beliau dalam melayani

masyarakat Jawa sering kali muncul. Rekan kerjanya P. Hovenars S.J. dan para

katekis adalah tantangan pertama yang harus dihadapi ketika F. van Lith S.J.

mengawali karya misionernya. Akan tetapi, beliau mampu membuktikan bahwa

apa yang dilakukannya benar dan membuahkan hasil banyak benih yang tumbuh

dalam masyarakat pribumi dari apa yang telah beliau rintis. Mereka kelak akan

menjadi para pemimpin dan kader penerus yang mampu membawa perbaikan

6 Hubertus Josephus Willbrordus Maria Boelaars, Indonesianisasi , Yogyakarta, Kanisius, 2005, hlm. 109-110.

(21)

kehidupan masyarakat pribumi juga. Seluruh perjuangan beliau tidak sia-sia dan

bahkan membawa angin segar bagi perkembangan misi di Pulau Jawa selanjutnya.

Oleh sebab itu, sudah layak dan sepantasnya apa yang telah dikaryakan oleh F.

van Lith S.J. ini di kaji kembali.

Kehadiran F. van Lith S.J. di Pulau Jawa memberikan sumbangsih yang

begitu besar bagi kemajuan kehidupan manusia di Jawa. Banyak karya

misionernya yang banyak berpengeruh positif bagi perkembangan masyarakat

Jawa. Dalam karya tulis ini penulis lebih menyoroti bagaimana karya F. van Lith

S.J. ketika sampai di Indonesia hingga wafat yakni tahun 1896-1926. Dikarenakan

F. van Lith S.J. merupakan salah satu pendiri pendidikan bagi kaum pribumi yang

beragama Katolik dan non Katolik baik laki-laki maupun perempuan di Jawa,

maka penulis mengangkat karya tulis yang berjudul “Sejarah Karya F. van Lith

S.J. di Jawa 1896-1926”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka dapat diambil rumusan masalah sebagai

berikut:

1. Bagaimana latar belakang kehidupan F. van Lith S.J.?

2. Bagaimana karya dari F. van Lith S.J. dalam hal pendidikan bagi

masyarakat di Jawa?

3. Apa saja dampak dari karya F. van Lith S.J. dalam bidang pendidikan bagi

(22)

C. Tujuan Penulisan

1. Mendeskripsikan bagaimana latar belakang kehidupan F. van Lith S.J.

sebelum datang ke Indonesia.

2. Mendeskripsikan bentuk usaha dan karya dalam bidang pendidikan F. van

Lith S.J. bagi para penduduk Jawa serta kemajuan karya misionarisnya.

3. Mendesripsikan dampak dari usaha F. van Lith S.J. dalam

mengembangkan pendidikan di antara orang pribumi.

D. Manfaat Penulisan

1. Bagi perkembangan ilmu pengetahuan, karya ilmiah ini akan membuka

khasanah tentang sejarah karya dari F. van Lith S.J. di Jawa.

2. Bagi lembaga pendidikan, diharapkan penulisan karya ilmiah ini

menyumbang informasi baru bagi dunia pendidikan.

3. Penulisan ini menjadi ajakan bagi generasi muda untuk semakin mengerti

dan memprioritaskan pendidikan bagi dirinya, orang lain, alam dan negara.

4. Bagi penulis menjadi sebuah tuntunan supaya tetap mendedikasikan

hidupnya bagi dunia pendidikan, selalu taat akan sebuah aturan dan selalu

pantang menyerah dalam melakukan sebuah usaha untuk hidupnya, orang

lain serta bangsa dan negara.

E. Sistematika penulisan

Makalah yang berjudul “SEJARAH KARYA F. VAN LITH S.J. DI

(23)

BAB I : Pendahuluan yang berisi tentang latar belakang penulisan karya

ilmiah, rumusan masalah, tujuan, manfaat, dan sistematika

penulisan.

BAB II : Perjalanan hidup F. van Lith S.J. sebelum menjadi seorang imam

Jesuit.

BAB III : Karya F. van Lith S.J. dalam pendidikan di Jawa.

BAB IV : Dampak dari karya F. van Lith S.J. dalam bidang pendidikan bagi

masyarakat Jawa.

(24)

9

BAB II

LATAR BELAKANG KEHIDUPAN F. VAN LITH S.J.

A. Kehidupan Masa Kecil F. van Lith S.J. Hingga Menjadi Seorang Jesuit

F. van Lith lahir pada tanggal 17 Mei 1863 di Oirschot, sebuah kota kecil

di antara kota Tilburg dan Endhoven, di Propinsi Brabant, Belanda Selatan. Pada

saat dia berumur 4 tahun keluarganya pindah ke Kota Eindoven. Ayahnya bekerja

sebagai seorang juru sita di kota tersebut. Pekerjaan itu merupakan pekerjaan yang

diwariskan oleh ayahnya. Seperti halnya sebuah tradisi, kelak F. van Lith juga

akan diwarisi pekerjaan tersebut. Akan tetapi, F. van Lith ingin menjadi guru

sekolah atau bahkan menjadi seorang imam.7

Kota Eindhoven merupakan pusat kebudayaan dan perdagangan pada

waktu F. van Lith muda atau sekitar tahun 1870. Selain itu, Kota Eindhoven

merupakan kota terbesar di Nort Brabanth. Dahulunya kota Brabath adalah kota

yang cukup besar dengan ribuan penduduknya serta menjadi kota dagang dan

pusat kebudayaan. Akan tetapi, pada saat itu kota Brabanth menjadi medan perang

antar agama (Katolik melawan Kristen Protestan). Tidak hanya itu, kekuasaan

asing dan taufan juga silih berganti menggempur arca-arca gereja di sana.

Meskipun Kota Brabanth sudah hancur lebur, semangat dan keberanian

masyarakat di sana tak kunjung padam. Suatu ketika kemenangan bagi penduduk

Brabanth muncul, yaitu ketika kebebasan untuk memeluk Agama Katolik hadir.

7

(25)

Meskipun pada akhirnya mereka terbelakang dalam hal materi, akan tetapi mereka

kaya akan jiwa Katolik mereka.

Watak welas asih, bijaksana, murah hati dan pekerja keras menjadi modal

awal semangatnya untuk menjadi seorang Jesuit yang baik di antara orang Jawa

nantinya. Dia menolak keinginan orang tuanya untuk meneruskan tradisi sebagai

juru sita. F. van Lith tidak ingin menjadi “duri dalam daging” bagi sesamanya.

Jika dia menjadi seorang juru sita, pasti akan gemar menyakiti orang serta

mengusir orang seenaknya saja dan hal itu adalah sesuatu yang amat tidak

diinginkannya.

Karena ingin mengejar cita-citanya menjadi seorang guru, akhirnya F. van

Lith memutuskan untuk masuk sekolah Latin yang dipimpin oleh tuan Gemert. F.

van Lith muda kemudian mengikuti kursus di sana dan belajar dengan tekun.

Dalam dua tahun, dia mampu menyelesaikan kursus yang seharusnya empat tahun

ditempuhnya. F. van Lith sangat gemar membaca buku. Kebanyakan dari

bacaannya adalah mengenai keagamaan, khususnya tentang Agama Katolik.

Dalam benaknya muncul keinginan supaya Agama Katolik dapat berkembang

dengan pesat. Ketika F. van Lith membaca mengenai bagaimana perlawanan para

Jesuit menentang kritik yang ditujukan kepada mereka, terbesit dalam hatinya

untuk menjadi seorang Jesuit.8

Setelah menyelesaikan kursusnya di tempat tuan Gamert, F. van Lith

melanjutkan belajar di novisiat milik imam-imam Jesuit di Marindal dekat Grave.

8 Panitia Kerja Pembangunan Monumen Romo van Lith S.J., Manunggal Dengan Rakyat Dasar mengrasul Romo Van Lith S.J. Pendiri Misi Jawa Tengah 1863-1926, Yogyakarta, Panitia Kerja Pembangunan Monumen Romo van Lith S.J, 1979, hlm. 5-6.

(26)

Di sana F. van Lith terkenal sebagai pribadi yang penyendiri dan pemalu. F. van

Lith menyadari bahwa sifatnya itu tidak baik bagi kariernya kelak jika menjadi

seorang imam. Dia berusaha menghilangkan kebiasaan buruk tersebut dengan

berlatih seni berpidato. Lambat laun kebiasaan buruknya itu hilang dengan

sendirinya.

Setelah menyelesaikan proses belajarnya bersama dengan para Jesuit di

Marindal, F. van Lith melanjutkan studi filsafat di Inggris. Dia menjalani studi di

Stonyhurst, Inggris selama 3 tahun. Sepulangnya dari Inggris F. van Lith.

menjalani Orientasi Kerasulan sebagai seorang guru matematika dan Bahasa

Inggris di Kolese Katwick. Selama mengajar di Kolese Katwich F. van Lith

dikenal sebagai pribadi yang sederhana, murah hati, jujur, adil, dan tegas oleh

murid dan sesama guru. Setelah menyelesaikan tugasnya di Kolese Katwich, F.

van Lith melanjutkan studi Teologi di Maastricht. Barulah setelah tiga tahun F.

van Lith dapat menyelesaikan studi Teologinya. F. van Lith ditahbis menjadi

imam pada tanggal 8 September 1894. Satu tahun sesudah ditahbis menjadi

seorang imam, F. van Lith S.J. dikirim ke Drongen, Belgia, untuk memulai tersiat.

Hal yang tidak terduga harus dijalani seorang Jesuit baru ini. F. van Lith S.J

dikirim ke Jawa untuk menjalankan misinya sebagai seorang misionaris. Karena

beliau seorang yang taat kepada perintah pemimpin misi dan aturan sebagai

seorang misionaris, akhirnya beliau menjalankan perintah untuk berkarya di

Hindia Belanda. 9

9 Ibid., hlm. 6-7.

(27)

B.Penunjukan F. van Lith S.J. ke Tanah Misi di Jawa

F. van Lith S.J. sudah mengetahui kemungkinan besar jika dia akan

dikirim ke tanah misi. Kemungkinan tersebut sudah tergambar dalam benak F. van

Lith S.J. sejak dia masih berada di Maastricht (1891-1894). Sering kali saat

sedang makan para misionaris dibacakan surat yang berasal dari Jawa. Isi dari

surat tersebut mengenai tantangan, perkembangan dan keberhasilan misi di Jawa.

Pada akhirnya benarlah apa yang ada dalam pikiran F. van Lith S.J. bahwa

akhirnya dia ditunjuk sebagai calon misionaris yang dikirim ke Jawa bersama

dengan dua Misionaris lainnya pada bulan Agustus 1896. F. van Lith S.J.

menerima sebuah pesan singkat dari Provinsialnya yang bernama H. van den

Boogaard S.J. pada tanggal 18 Agustus 1896, dan waktu itu beliau sedang berada

di Nijmegen. Dalam surat tersebut menyatakan bahwa dia harus segera berangkat

ke Indonesia. Dia akan berangkat dengan kapal dari Maseilles pada tanggal 28

Agustus.10

F. van Lith S.J. mengalami kebimbangan setelah menerima surat

penunjukan dirinya untuk berkarya di tanah misi yaitu di Jawa. Beliau merasa

sangat berat jika harus meninggalkan negeri asalnya Belanda yang saat itu sebagai

tanah kelahiran dan pusat misi. Ada beberapa alasan kenapa beliau bimbang

dengan keputusan dari pemimpin misinya. Pertama, F. van Lith S.J. memikirkan

bagaimana dengan nasib kedua orang tuanya yang akan ditinggalkan jika dia

berangkat ke tanah Jawa. Beliau merasa kurang tepat jika harus meninggalkan

mereka. Terlebih lagi beliau adalah satu-satunya anak laki-laki dan memiliki

10 Fl. Hasto Rosarianto, op. cit., hlm. 13.

(28)

kewajiban merawat dan mencukupi kebutuhan kedua orang tuanya. Beliau sangat

sadar bahwa orang tuanya sangat membutuhkan perhatian darinya. Kedua, F. van

Lith S.J. merasa bahwa yang sebenarnya harus dibangun terlebih dahulu adalah

pusat-pusat misi yang ada di Eropa dan bukan di Indonesia. Pusat Misi di Eropa

haruslah kuat karena dijadikan pondasi perkembangan misi di luar Eropa. Gereja

Katolik di Eropa harus bisa bersatu supaya mampu mengembangkan misi di

tempat lain.11

C.Keadaan Misi di Jawa

Pada waktu kedatangan F. van Lith S.J. ke Indonesia tahun 1896 hanya

ada sekitar empat puluh Jesuit yang berkarya di Indonesia. Pada tahun 1893 mulai

terlihat perubahan yang signifikan dari karya para misionaris. Para misionaris

lebih banyak yang mengkaryakan dirinya bagi masyarakat pribumi dibandingkan

dengan komunitas Eropa. Tahun-tahun terakhir menjelang abad 20 inilah misi di

antara para penduduk pribumi Jawa dimulai.

Masa depan misi di Jawa bergantung pada para misionaris yang baru

datang, yaitu F. van Lith S.J. dan P. Hovenars S.J. Sebelum terjun langsung ke

dalam misi di Jawa, F. van Lith S.J. belajar bahasa dan kebudayaan Jawa terlebih

dahulu. Mereka harus paham mengenai seluk beluk masyarakat Jawa. Masyarakat

Jawa sangatlah menjunjung tinggi nilai-nilai, norma-norma, serta adat istiadat

yang berlaku dalam masyarakat. Satu-satunya jalan supaya bisa masuk ke dalam

masyarakat Jawa adalah dengan menyatu atau membaur dengan mereka.

11 Ibid., hlm. 112-115.

(29)

Masyarakat Jawa adalah masyarakat yang ramah dan sebenarnya tidak senang

dengan konflik atau peperangan. Oleh sebab itu, F. van Lith S.J. sangat paham apa

yang harus dilakukan dan dikerjakan.

Misi pada waktu itu lebih banyak dilakukan oleh para katekis hasil karya

J. Keyjer S.J. di Gedangan, Semarang lewat sekolah katekisnya. Sebenarnya

kurang bijak jika memberikan tugas sebagai seorang katekis kepada katekis baru

tersebut, karena latar belakang mereka kebanyakan dari Kristen Protestan dan

banyak dari mereka memiliki catatan buruk sebelum masuk Katolik. Kebanyakan

dari mereka terlibat penggelapan uang. Selain itu, terkesan bahwa orang Katolik

baru ini masuk kedalam komunitas Katolik hanya sekedar untuk berlindung saja

dan bukan merupakan sebuah pertobatan yang murni.

G. Hellings S.J. waktu itu cukup berhasil berkarya di antara masyarakat

pribumi di Semarang mencoba inovasi baru demi kemajuan misinya. Di sana

beliau mengumpulkan ratusan orang Jawa-Katolik di wilayahnya. Kemudian

mereka dibagi menjadi beberapa kelompok yang nantinya akan menjadi guru

agama dan katekis di daerah Yogyakarta, Kedu, Ambarawa, dan Semarang.

Mereka diberi wewenang yang cukup besar dari G. Hellings S.J. Tidak hanya itu

saja, G. Hellings S.J. juga megusulkan kepada Vikaris Apostolik supaya misi

menggaji mereka supaya dapat memanfaatkan mereka secara total. G. Hellings

S.J. menganggap para katekis baru tersebut layak mendapatkan wewenang yang

lebih dari para misionaris. Bahkan, G. Hellings S.J. menyebut mereka sebagai

(30)

Penolakan atas usulan G. Hellings S.J. muncul dari I. Vogel S.J. dan para

imam Jesuit di sekitar Magelang. Surat dari I. Vogel S.J. kepada Vikaris Batavia

sudah menjelaskan bahwa latar belakang dari para katekis ini sudah tidak baik.

Beberapa katekis yang dahulunya penganut Kristen merupakan para koruptor

yang kemudian beralih masuk ke Katolik. Mereka dikucilkan setelah melakukan

tindakan korupsi. Selain itu, beliau berpendapat bahwa penunjukan dan pemberian

wewenang yang besar kepada para katekis yang sebagian mantan penganut

Kristen tersebut merupakan sebuah ungkapan keputusasaan dari G. Hellings S.J. I.

Vogel S.J. meyebut para katekis tersebut sebagai “maling, koruptor, pencuri,

lalim, peminum opium”.12

Keputusan besar ini akan berimbas buruk bagi karya F. van Lith S.J.

nantinya. Para Katekis tidak lagi mementingkan karya misionaris, tetapi lebih

mementingkan materi saja. Kebobrokan para katekis ini akan terbongkar saat F.

van Lith S.J. memulai karyanya. Tindakan korupsi dan keburukan lainnya dari

pera katekis baru ini terbongkar dan menjadikan karya misioner di Hindia

tercoreng. Perubahan besar demi kemajuan sebuah misi Jawa akan dilakukannya.

Keberhasilan misi di Jawa sangat erat kaitannya dengan karya-karya yang

dilakukannya.

12 Ibid,. hlm. 116-117.

(31)

16

BAB III

KARYA F. VAN LITH S.J. DI JAWA

A. Mengawali Karya dengan Membongkar Kebobrokan Para Katekis

Pada tahun 1897, F. van Lith S.J. ditunjuk untuk menggantikan C.

Stipouth di Muntilan. Selain Muntilan dan Magelang, daerah lain disekitarnya

seperti stasi Bedono dan Ambarawa dipercayakan kepadanya. Beliau tinggal di

sebelah Sungai Lamat yang nantinya dijadikannya pusat misi. Di sebelah Utara

menjulang tinggi Gunung Merapi dan Merbabu. Candi Borobudur dan Candi

Mendut menambah daya tarik Jawa bagi F. van Lith S.J. supaya tetap tinggal di

Muntilan. Suasana yang sedemikian nyamannya membawa F. van Lith S.J. jatuh

cinta pada tanah Jawa beserta rakyatnya.

Pada waktu itu belum banyak yang bisa dilakukan oleh F. van Lith S.J.

Beliau mengawali karya dengan melakukan observasi dengan mengunjungi

wilayah yang dikaryakan kepadanya. Beliau mencoba menyatu dengan

masyarakat Jawa dan memulai karyanya dengan perbaikan kecil tapi berimbas

besar bagi perkembangan misi seterusnya. F. van Lith S.J. percaya bahwa

keberhasilan karya misionarisnya di tanah Jawa sangat bergantung pada

penguasaan Bahasa Jawa. F. van Lith S.J. sangat mengagumi Bahasa Jawa yang

sangat kaya akan keindahan. Menurut pendapat beliau, orang Jawa merupakan

salah satu suku bangsa yang senang bersemedi, memiliki perjalanan sejarah yang

gemilang, kaya akan sastrawan dan penyair, suku yang banyak memiliki

(32)

tangguh dalam perang. Gending dan gamelan Jawa juga memiliki daya tarik

tersendiri baginya. Tidak ada waktu terbuang untuk tidak belajar. Dari makan pagi

sampai makan malam digunakannya untuk belajar. Sesekali beliau meluangkan

waktu untuk berjalan-jalan di sekitar Muntilan untuk membaur dengan masyarakat

sekitar.13

Saat kedatangan F. van Lith S.J. di Muntilan, karya misi dikelola oleh

seorang katekis bernama Josaphat Martodirejo setelah mendapat kepercayaan dari

pimpinan misi yaitu G. Helling S.J. F. Voogel S.J. yang sebelum F. van Lith S.J.

bertugas melayani di daerah Magelang berpendapat lain. Josaphat Martodirejo

merupakan seorang yang korup, malas, senang berhutang dan yang ada dalam

pikirannya bukan agama, melainkan hanya uang menurut pendapat beliau.

Pendapat F. Vogel S.J. ini akhirnya dibenarkan oleh F. van Lith S.J. ketika beliau

mulai membaur dengan masyarakat sekitar untuk melihat perkembangan misi di

Muntilan dan belajar bahasa, kebudayaan, kebuasaan hidup orang Jawa dengan

Josaphat Martodirejo.

Saat belajar Bahasa Jawa dengan Josaphat Martodirejo, kebusukan dan

kecurangan yang dilakukan oleh katekis ini terbongkar semua. Sebenarnya

Josaphat Mertodirejo sudah menerima uang sebanyak ƒ. 15 dari C. Stiphout S.J.

untuk membeli sebidang tanah yang akan digunakan sebagai pemakaman umum

umat Katolik di Muntilan. Akan tetapi, ternyata uang tersebut tidak digunakannya

untuk membayar tanah tersebut. Uang tersebut ia gunakan untuk memenuhi

kebutuhan pribadinya saja. Kebusukan dan kecurangan ini terungkap pada bulan

13

(33)

Oktober 1897.14 Selain itu, atas perintah F. van Lith S.J. juga sebenarnya

Martodirejo sudah diberikan uang sebanyak ƒ. 70 untuk menebus sawah yang

terlebih dahulu digadaikan oleh orang-orang Katolik. F. van Lith S.J. berpendapat

bahwa ketika sawah yang digadaikan oleh rakyat ditebus maka penghasilan

mereka meningkat. Selain itu, sebagai timbal baliknya pastoran memperoleh

pemasukan sedikit dari sistem bagi hasil dari apa yang dihasilkan oleh sawah yang

ditebus. Pada tahun 1898 terungkap bahwa uang yang seharusnya untuk

membayar tanah tersebut digunakan oleh Josaphat Martodirejo untuk membeli

opium karena dia sudah kecanduan.

Melihat apa yang sudah terjadi di Muntilan, F. van Lith S.J. mengarahkan

perhatian ke daerah lain seperti Amabarawa dan Bedono. Beliau khawatir apabila

kejadian buruk seperti di Muntilan juga terjadi di tempat-tempat tersebut. Beliau

menilai bahwa kebanyakan dari para katekis yang ada di Ambarawa dan Bedono

juga melakukan hal demikian. Pada awal penyelidikannya, beliau memeriksa

inventaris misi di sana. Beliau menanyakan soal tanah yang dibeli oleh katekis

yang bernama Martinus. Katekis ini diberikan kepercayaan supaya mengelola

tanah yang dibeli oleh misi yang kemudian digunakan oleh orang-orang Katolik

untuk mencukupi kebutuhan mereka. Tarnyata tanah yang dibeli oleh katekis

Martinus tidak ada dan orang-orang Katolik di sana kebanyakan memeluk Agama

Katolik karena godaan uang yang dibagikan oleh katekis Martinus. Sebagai

contoh, sejumlah besar orang yang telah dibabtis hanyalah untuk megelabuhi para

misionaris. Banyak orang memang telah dibabtis untuk menunjukan betapa besar

14 MAWI, Sejarah Gereja Katolik Indonesia, Jakarta, Bagian Dokumentasi Penerangan Kantor Wali Gereja Indonesia, 1974, hlm. 849.

(34)

dan kerja keras usaha para katekis dalam melebarkan kerajaan Allah sehingga

pantaslah jika mereka mendapatkan gaji. Kenyataannya mereka dibabtis dan

menjadi Katolik tanpa pengajaran agama yang tepat serta hanya karena sogokan

dari para katekis.15

Tidak hanya berhenti pada katekis Martinus, F. van Lith S.J. mulai

mengarahkan penyelidikannya pada Y. Vrede. Menurut berita dari misi pusat, Y.

Vrede telah diberikan uang sebesar $ 1.500 untuk membangun Gereja di Bedono

dan untuk membeli kuda. Akan tetapi, ketika F. van Lith S.J. datang ke sana

Gereja dan kudanya tidak ada. Setelah mengakui segala kesalahannya Y. Vrede

meninggalkan Bedono dan F. van Lith S.J.16

Sebenarnya bagi F. van Lith S.J. uang yang telah diselewengkan oleh para

katekis tidaklah terlalu penting. Yang terpenting bagi beliau adalah bagaimana

menyikapi pemahaman masyarakat soal Agama Katolik yang sangat dangkal.

Beliau melihat bahwa ternyata pengajaran agama yang menggunakan Bahasa

Belanda kurang efektif. Masyarakat Jawa hanya sebatas tau itu sebuah doa yang

diajarkan oleh katekis tetapi belum sampai pada tahapan memahami dan meresapi

makna di balik sebuah doa yang diajarkan. Seperti halnya ketika beliau

mengunjungi Bedono, dalam catatan hariannya:

“Bangunan gereja masih sangat sederhana. Stasi Bedono memang masih sangat muda. Umat dari stasi ini juga masih sangat sederhana. Tempat pengakuan dosa terdiri dari satu kursi dan satu bangku doa; sungguh memprihatinkan lagi adalah mereka yang datang kepadaku. Aku duduk di kursi, dan satu demi satu mereka datang mengaku dosa. Mereka berlutut di bangku doa dan mengucapkan kata yang sama Pater Noster lalu pergi. Ketika aku mengajukan pertanyaan: ”apa kamu bohong?”, lalu mereka menjawab “tidak”, tapi kebanyakan dari mereka mengulangi menjawab perkataan tadi, Pater Noster”.17

15 Fl. Hasto Rosarianto, op. cit., hlm. 119.

16 Panitia Kerja Pembangunan Monumen Romo van Lith S.J. op. cit., hlm. 12-13. 17

(35)

Hal ini menunjukan bahwa sangat penting bagi para misioner untuk lebih

menyelami budaya masyarakat Jawa. Doa dan nyanyian yang menggunakan

Bahasa Belanda harusnya diubah ke dalam Bahasa Jawa. Selain itu, harus

disesuaikan pula dengan tata cara penulisannya. Mengucapkan sebuah doa tidak

hanya sekedar mengucapkan tetapi haruslah dengan menghayatinya. Jika

masyarakat Jawa masih menggunakan doa dengan Bahasa Belanda mereka tidak

akan bisa memahami makna dari doa tersebut. Hal ini diperparah dengan tidak

banyak orang pribumi yang mengerti dan dapat berbahasa Belanda.

Pada saat yang sama, P. Hovenaars S.J. ditugaskan menjalankan misi di

antara orang Jawa di Yogyakarta melanjutkan karya P. Palinckx S.J. Di

Yogyakarta sudah ada sekitar 100 orang yang telah dibaptis oleh G. Hellings S.J.

dan L. Hebrans S.J. Meskipun baru satu bulan mengawali karyanya di

Yogyakarta, P. Hovenaars S.J. sudah mampu mempermandikan 62 orang yang

sudah menjalani pengajaran Agama Katolik. Akan tetapi, seperti sudah

diramalkan oleh J. Palinckx S.J. bahwa kelak P. Hovenaars S.J. akan mengalami

kendala. Suatu ketika P. Hovenaars S.J. dipanggil oleh Residen J.A. Ement yang

berada di Yogyakarta. Residen J.A. Ement mengatakan Sri Sultan Hamengku

Buwono VII menolak segala kegiatan misi di Yogyakarta. Saat itu sudah jelas

bahwa memang kesultanan Yogyakarta adalah kerajaan bercorak Islam. Namun,

apa yang diutarakan oleh Resident J.A. Ement tidaklah benar. Sebenarnya yang

tidak suka dengan keberadaan misi di Yogyakarta adalah Residen J.A. Ement

sendiri. Menurut Patih, Sri Sultan Hamengku Buwono VII sudah menasehati

(36)

tidak didengarkan dan sebagai imbasnya adalah P. Hovenaars S.J. harus

dipindahkan ke Semarang dan berkarya di daerah Barankaring dekat Kudus.18

Setelah kepergian P. Hovenaars S.J., memang terungkap bahwa

sebenarnya orang-orang yang bersedia dibaptis di Yogyakarta hanya mencari

keuntungan materiil saja. Meskipun P. Hovenaars S.J. tidak lama berkarya di

Yogyakarta, namun beliau juga bisa bergaul dengan orang-orang yang baik yang

nantinya membukakan jalan bagi misi di Yogyakarta. Salah satu orang baik yang

beliau temui adalah Pengeran Ario Sasraningrat, putera dari Paku Alam III.

Beberapa putera dan abdi Pangeran Sasraningrat akan menjadi Katolik dan

memainkan peran penting bagi perkembangan umat Katolik di Yogyakarta.19

Melihat kebobrokan katekis yang secara tidak langsung telah mencoreng

wajah misi di Indonesia, beberapa yang masih menginginkan mukjizat akan

keberhasilan misi di Jawa berkumpul di Magelang. Pada tanggal 20 Desember

1988 F. van Lith S.J., P. Hovenaars S.J., dan E. Engbers S.J. duduk bersama untuk

membahas bagaimana baiknya menyikapi kejadian yang buruk tersebut. Dalam

perundingan tersebut mereka berpendapat bahwa jika pusat misi masih berada di

Semarang, perkembangan akan kurang baik karena terlalu jauh dengan daerah

misi yang banyak mengalami perkembangan. Mereka berpendapat bahwa daerah

Kedu terutama yang berdekatan dengan Muntilan akan didirikan sebuah daerah

misi baru. Pemilihan tempat haruslah tepat mengingat harus dekat dengan

Yogyakarta, Muntilan, Semarang, serta daerah tersebut harus memiliki prospek

yang baik untuk perkembangan misi. Hal tersebut perlu dipertimbangkan

18 Karel Steenbrik, Orang-Orang Katolik Di Indonesia 1808-1942, Maumere, Lederado, 2006, hlm. 367-370.

19

(37)

mengingat kegiatan misi masih saling berkaitan dan daerah satu dengan daerah

lain harus memiliki koordinasi dan kerjasama yang baik demi kelancaran misi.

Pada bulan Mei 1899 dibelilah sebuah pabrik minyak kacang yang

bangkrut di daerah Mendut sekitar 3 km dari Borobudur dan 10 km dari Muntilan.

P. Hovenaars S.J. dan P. Hebrans S.J. menetap di sana dengan murid-murid

sekolah guru dari Semarang. Gereja dan sekolah di Lamper dibongkar dan dibawa

ke Muntilan. Andreas Manasse yang sebelumnya mengajar di sana pada akhirnya

juga dipindah ke sana. Tidak lama setelah bersama di Mendut, kini tinggallah

sendiri P. Hovenaars S.J. karena rekannya dipindah ke Semarang dan ada juga

yang dipulangkan ke negeri Belanda karena alasan kesehatan. Saat ini tinggal 2

orang yang masing-masing memiliki karakteristik serta cara yang berbeda namun

berdekatan letaknya yang mengemban misi yang berat serta memiliki tanggung

jawab besar terhadap keberhasilan misi.

B. Pertentangan Antara P. Hovenaars S.J. Dengan F. van Lith S.J.

Penugasan P. Hovenaars S.J. dan F. van Lith S.J. untuk berkarya di Jawa

menumbuhkan harapan besar bagi misi yang baru saja dimulai. Setelah beberapa

lama belajar di Semarang mengenai seluk beluk masyarakat Jawa mereka kini

mencoba berhadapan langsung untuk menjalankan misi melayani dan melebarkan

jalan menuju Allah. Meskipun mereka selalu bersama pada awal kedatangannya di

Jawa, namun mereka ketika berhadapan langsung dengan masyarakat Jawa terus

saja mengalami perbedaan-perbedaan yang mengarah pada pertentangan yang bisa

mencoreng karya misi mulai dari metode, jumlah babtisan, terjemahan doa Bapa

(38)

1. Masalah Metode

F. van Lith S.J. merupakan seorang yang istimewa. Beliau memiliki

penglihatan yang tajam dan tahan uji terhadap apa yang yang sedang beliau

hadapi. Masyarakat Jawa beruntung memiliki seorang misionaris seperti F. van

Lith S.J. karena beliau mampu mencetak orang-orang yang meresapi dan

menghayati dirinya. Orang yang beliau didik juga memiliki watak, kinerja dan

semangat seperti dirinya. Memang situasi di Jawa berbeda dengan masyarakat

Indonesia lainnya, sehingga dalam menjalankan misi seorang misionaris seperti

F. van Lith S.J. masih menerapkan metode yang bersifat eksperimental.20

Metode yang beliau terapkan pada awalnya adalah melakukan pengenalan

awal yang mendalam terhadap masyarakat setempat. Pengenalan mengenai

bahasa, cara hidup, kebutuhan pokok dan lain sebagainya sangat menentukan

pengambilan keputusan langkah apa yang nantinya akan ditempuh untuk

mensukseskan misi di Jawa. Sikap hati-hati dalam mendekati masyarakat Jawa

adalah cara yang paling baik dalam mensukseskanmisi di Jawa. Menyatu dengan

masyarakat Jawa adalah metode pendekatan yang paling cocok untuk

mensukseskan karya misionernya di Jawa. Hal inilah yang membedakan F. van

Lith S.J. dengan para misionaris sebelumnya dalam pelaksanaan misinya.

Tidak hanya membaur dengan masyarakat, F. van Lith S.J. juga

memikirkan bagaimana cara supaya orang Jawa dengan sendirinya menjadi orang

Katolik. Perbaikan ekonomi masyarakat Jawa adalah solusinya. Beliau berpikir

bahwa ketika segala macam kebutuhan pokok seperti pangan dan sandang

20

(39)

orang Jawa terpenuhi maka mereka akan mampu berfikir secara baik. Mereka

akan mampu menilai seperti apa ajaran Agama Katolik dan seperti apa sebenarnya

inti ajarannya. Masyarakat Jawa juga bisa melihat bahwa cinta kasih para

misionaris di Muntilan ibarat kasih seorang ayah terhadap anak-anaknya. Dengan

semacam sistem sewa tanah, klinik kesehatan gratis bagi masyarakat dan usaha

produksi anyam-anyaman bambu yang berwarna-warni, F. van Lith S.J. yakin bisa

memberikan peluang bagi masyarakat Jawa untuk lebih maju.

Pendidikan masyarakat pribumi menjadi cara yang efektif bagi

perkembangan misi. Sebenarnya pendidikan masyarakat pribumi sudah ada sejak

adanya karya misi di Jawa. Akan tetapi, yang membedakan dari misi sebelumnya

adalah F. van Lith S.J. tidak memanfaatkan langsung sekolah yang beliau dirikan

untuk sarana mentaubatkan dan membaptis murid-muridnya. Beliau lebih ingin

menunjukan bahwa karya misi adalah untuk mensejahterakan masyarakat pribumi.

Beliau berpendapat bahwa dengan adanya pendidikan terutama pendidikan guru

bantu yang beliau rintis masyarakat Jawa dan karya misi akan maju beberapa

tahap. Beliau mengupayakan semacam pabrik tikar dan semacam sistem sewa

tanah bagi petani di sekitar Muntilan. Selain itu, beliau juga ingin mendirikan

sekolah guru bantu di Muntilan. Dengan adanya sekolah guru bantu akan

mempermudah kegiatan misi dari guru-guru bantu yang telah diluluskan.

Setidaknya setelah muncul benih-benih guru di Jawa mereka akan punya inisiatif

sendiri untuk membangun pendidikan bagi kaum pribumi.

F. van Lith S.J. tidak puas dengan hanya pertobatan di berbagai tempat dan

(40)

mendidik calon pemimpin-pemimpin orang Jawa. Mereka yang lulus dari sekolah

yang beliau dirikan kelak akan menjadi kader-kader penerus perjuangannya.

Beliau mencanangkan dua prinsip yaitu pembentukan watak dan mental yang

diwujudkan bersama dengan pencetakan pemimpin-pemimpin. Untuk

merealisasikan hal tersebut F. van Lith S.J. menggunakan sekolah pribumi yaitu

Kweekschool dengan asrama yang dikelola oleh misionaris yang selanjutnya

berkembang dengan didirikannya sekolah bagi imam-imam pribumi.21

P. Hovenaars S.J. memiliki metode yang berbeda dengan metode yang

diterapkan oleh F. van Lith S.J. ketika berkarya diantara masyarakat Jawa. P.

Hovenaars S.J. tidak melakukan usaha untuk lebih mengenal masyaraka Jawa.

Beliau terlalu fokus pada upayanya untuk membaptis orang pribumi

sebanyak-banyaknya. Hal inilah yang menjadi alasan mendasar kenapa kelak karya P.

Hovenaars S.J. gagal. P. Hovenaars S.J. tidak paham mengenai bagaimana

karakter, kebiasaan, kebutuhan, dan tatacara hidup masyarakat Jawa.

P. Hovenaars S.J. sebenarnya juga memikirkan bagaimana cara supaya

masyarakat Jawa terlepas dari kemiskinan. Beliau mengupayakan adanya sebuah

kredit union yang diperuntukan bagi petani. Kredit union tersebut akan diberi

nama dengan Retnoguno. Selain itu, beliau juga memiliki cita-cita yang cukup

besar yaitu membangun sebuah pabrik tapioka, penggilingan padi dan pabrik

kacang. Untuk kemajuan dalam bidang kesehatan dan pendidikan beliau

menginginkan adanya sebuah rumah sakit dan sekolah kejuruan. Untuk

memajukan perkembangan misi beliau juga ingin membuat sekolah katekis di

21

(41)

Mendut supaya kelak para katekis yang telah lulus membantunya dalam

menjalankan misi di Jawa.

Di Mendut, P. Hovenaars S.J. juga mendirikan sekolah bagi kaum pribumi.

Akan tetapi, tujuan utama dari sekolah ini adalah supaya dia bisa membaptis

banyak anak dari sekolahnya. Beliau tidak memikirkan jauh kedepan bagaimana

kelak cara memajukan misinya di Mendut. Beliau tidak berusaha mencetak

calon-calon kader penerusnya yang berasal dari masyarakat pribumi. Sekolah yang

beliau kelola dipandang hanya sebatas umpan supaya masyarakat pribumi mau

masuk Agama Katolik.

Yang membedakan F. van Lith S.J. dengan P. Hovenaars S.J. adalah P.

Hovenaars S.J. tidak memikirkan segala macam tentang karakteristik orang-orang

Jawa waktu itu. Beliau hanya sebatas kenal dan tidak mendalami pola pikir dan

keinginan masyarakat Jawa waktu itu. Sebagai imbasnya adalah nantinya banyak

kejadian yang justru merugikan karyanya dan karya misi di Jawa. Sebagai contoh

adalah dimana banyak orang Katolik yang dibaptisnya hanya sekedar ingin

mendapatkan uang saja. Selain itu, P. Hovenaars S.J. juga tidak pernah berusaha

percaya pada orang lain. Beliau selalu ingin memperlihatkan kepada para

misionaris bahwa beliau mampu menjalankan karyanya seorang diri. Sebagai

contoh ketika beliau membuka sebuah klinik kesehatan, beliau mengurusinya

sendiri dengan mengesampingkan kegiatan lain dan sebagai akibatnya kegiatan

misi menjadi kacau dan banyak pekerjaan terbengkalai. Hal seperti inilah yang

(42)

ketulusan dalam berkarya, serta kerja keras akan menentukan keberhasilan dan

berkembangnya misi di Jawa.

2. Masalah Doa Bapa Kami

Pertentangan yang terjadi antara F. van Lith S.J. dengan P. Hovenaars S.J.

tidak hanya sebatas pada pertentangan mengenai metode saja. Keduanya juga

memperdebatkan mengenai siapa yang paling benar dalam menterjemahkan doa

Bapa Kami ke dalam Bahasa Jawa. Doa Bapa Kami dalam Bahasa Jawa

sebenarnya sudah ada sejak Gereja Kristen mulai berkembang di Indonesia.

Dalam hal ini P. Hovenaars S.J. maupun F. van Lith S.J. sependapat bahwa doa

Bapa Kami yang sudah ada tersebut sudah tidak layak lagi untuk dipakai pada

kegiatan misi mereka.

Dengan alasan tersebut, F. van Lith S.J. dan P. Hovenaars S.J.

masing-masing mencoba menterjemahkan kembali doa Bapa Kami ke dalam Bahasa

Jawa. Kedua misionaris tersebut menganggap bahwa terjemahan merekalah yang

paling benar. Pertentangan kemudian muncul antara Muntilan dan Mendut karena

perbedaan terjemahan doa Bapa Kami. Superior misi segera mengetahui akan

berita pertentangan tersebut. Superior misi tidak menginginkan adanya dua versi

doa Bapa Kami di Mendut dan Muntilan. Menurut pendapat Superior Misi,

perbedaan ajaran yang terjadi di Muntilan dan Mendut akan menimbulkan

kebingungan bagi para pengikutnya. Untuk itu, karya misi haruslah dimulai

dengan persatuan dan hal tersebut harus diawali di antara para misionaris itu

(43)

Perbedaan versi itu langsung tampak dalam pilihan kata tetapi pada sudut

pandang yang berbeda tentang penterjemahan itu sendiri. Tidak banyak

manfaatnya banyak menganalisa teks karena keduanya berpendapat bahwa

terjemahan mereka belum definitif dan baku. Di dalam alasan-alasan itulah

tercermin visi kedua belah pihak mengenai karya misi mereka. Visi karya misi

inilah yang paling penting untuk dibahas dan dipahami. Melalui visi dan misi

yang dipaparkan oleh P. Hovenaars S.J. maupun F. van Lith S.J. akan terlihat

bahwa F. van Lith S.J. lebih mengenal dan lebih memperjuangkan hak-hak kaum

pribumi.

Dalam menterjemahkan doa Bapa Kami dan doa-doa lain, F. van Lith S.J.

mempelajari berbagai kamus, paramasastra, terjemahan Kitab Suci, buku ngelmu

dan sebagainya. Beliau juga selalu belajar dengan orang-orang biasa maupun

pamong praja. Lebih dari 30 kali beliau pergi ke Solo dan Yogyakarta untuk

bertemu dengan beberapa pangeran untuk memperdalam pemahamannya tentang

tata cara orang Jawa dalam berkomunikasi dengan Yang Maha Kuasa. Dalam hal

ini P. Hovenaars S.J. berpendapat lain mengenai penggunaan Bahasa krama inggil

dalam doa Bapa Kami. Beliau berpendapat bahwa menggunakan kata-kata krama

dalam doa adalah semangat budak-belian. F. van Lith S.J. mencapai kesimpulan

bahwa penulisan dalam Bahasa Jawa krama inggil sama sekali tidak mentiadakan

hubungan cinta kasih dan kepercayaan di antara ayah dan anak. Menurutnya doa

Bapa Kami yang diterjemahkannya telah dicocokkan atau didasarkan pada konsep

(44)

tersebut tidak sebatas hanya di mulut saja tetapi haruslah sampai merasuk ke

dalam perasaannya.

Terjemahan “Bapa Kami” yang dibuat F. van Lith S.J. dengan ejaan jaman itu dan sesuai dengan konsep ungkapan perasaan orang Jawa tersebut berbunyi

sebagai berikut:

“Kandjeng Rama ing swargo. Soemonggo angloehoraken asmo dalem. Soemonggo andjomenengaken kraton dalem. Soemonggo sakarso dalem kaleksana ing donja kados ing swarga. Abdi dalem njadong paring dalem redjeki kangge sapoenika. Sakatahing dosa kawoela njowoen pangaksama dalem. Dene abdi dalem sampoen angapoenten lepatipoen sesami. Abdi dalem soepados lepat saking panggoda. Saha mardika saking pihawon. Amin.”22

Sementara itu, argumentasi P. Hovenaars S.J. mengenai terjemahan doa

Bapa Kami dan doa lainnya berpatokan pada praktek paling biasa di dalam Gereja

Katolik, yaitu selalu menterjemahkan doa-doa secara harafiah. Menterjemahkan

doa secara harafiah juga layak dilakukan oleh Gereja Protestan. Setia pada tradisi

tersebut P. Hovenaars S.J. juga menterjemahkan secara harafiah doa Bapa Kami

dari Bahasa Belanda. Beliau tetap berpedoman kepada tradisi tersebut. Perbedaan

pendapat ini secara langsung menghancurkan kerjasama antara P. Hovenaars S.J.

dengan F. van Lith S.J.23

Masalah mengenai perbedaan pendapat ini juga nantinya akan

terselesaikan dan pendapat F. van Lith S.J. dibenarkan oleh Provinsial dan

Superior misi. Dalam hal ini pemimpin misi melihat dari sudut pandang lain yaitu

lewat argumentasi-argumentasi yang dikirimkan oleh kedua misionaris yang

berselisih paham. P. Hovenaars S.J. selalu menyudutkan dan ingin menunjukan

kebenaran atas apa yang telah beliau lakukan. Superior misi terkadang

22 TIM K.A.S, Garis-Garis Besar Sejarah Gereja Katolik Keuskupan Agung Semarang, Semarang, Keuskupan Agung Semarang, 1991, hlm. 24-25.

23

(45)

menganggap bahwa apa yang diungkap oleh P. Hovenaars S.J. merupakan sikap

kasar yang sudah di luar batas kewajaran.

Dalam menyikapi masalah ini F. van Lith S.J. selalu bersikap legowo,

kesatria dan sabar untuk menanggapi kritik yang tidak berdasar dari sesama rekan

kerjanya. F. van Lith S.J. tidak pernah membalas dengan menjelek-jelekan P.

Hovenaars S.J. akan tetapi beliau lebih banyak menjelaskan bagaimana penerapan

metodenya. Secara tidak langsung sikap kasar yang diperlihatkan oleh P.

Hovenaars S.J. tersebut justru semakin menjauhkan kepercayaaan pemimpin misi

kepadanya. Justru dengan sikap kesatria yang ditunjukan oleh F. van Lith S.J.

akan membawanya pada rasa hormat dan penghargaan dari sesama misionaris dan

para pemimpin misi. Keberhasilan karya misionernya di Jawa juga menjadi buah

manis atas usaha dan kerja kerasnya.24

Metode semacam ini ditentang oleh P. Hovenaars S.J. karena tidak

mungkin mendirikan sebuah sekolah di Muntilan. Alasan kenapa beliau

berpendapat bahwa di Muntilan tidak cocok adalah karena di sana sudah ada

sekolah negeri dan di sana berdekatan dengan pesantren. Beliau khawatir jika

dengan adanya sekolah Katolik di Muntilan justru akan menghambat

perkembangan misi karena bersinggungan dengan masyarakat pribumi yang

berkeyakinan lain. Ketakutan akan terulang kembalinya kejadian seperti ketika

Pangeran Diponegoro menentang kekuasaan Belanda. Selain itu, beliau juga

meyakini bahwa sekolah dengan asrama terkesan semacam pemborosan anggaran

untuk kegiatan misi dan hanya menghabiskan dana untuk karya misi karena harus

24

(46)

digunakan untuk membangun gedung sekolah dan asrama serta kebutuhan

pengajaran lainya.

3. Masalah Jumlah Baptisan

Setelah mengalami kontak langsung dengan masyarakat Jawa, baik F. van

Lith S.J. maupun P. Hovenaars S.J. mulai menyadari bahwa hampir seluruh

masyarakat Jawa hidupnya hanya bergantung pada apa yang dihasilkan dari sawah

atau ladang mereka. Tidak mengherankan jika kedua misionaris tersebut

mngawali karya mereka dengan berpangkal pada apa yang menjadi kebutuhan

pokok para penduduk Jawa. Meskipun mereka sadar bahwa apa yang mereka

lakukan intinya sama untuk memajukan para penduduk Jawa, tetapi terkadang

malah menjurus pada persaingan yang tidak sehat, kesalahpahaman, dan rasa

cemburu yang berlebihan terutama dari P. Hovenaars S.J.

Pada akhir tahun 1898, dalam surat F. van Lith S.J. kepada Provinsial

beliau melukiskan keprihatinannya mengenai keadaan masyarakat Jawa dan

melukiskan program yang ada di benaknya. Beliau ingin memperbaiki taraf hidup

masyarakat Jawa dengan mengajak membuat semacam tikar warna-warni. Beliau

berpendapat bahwa yang harus didahulukan adalah memperbaiki taraf hidup

masyarakat Jawa. Hasil yang didapat dari penjualan tikar tersebut digunakan

untuk mencukupi kebutuhan mereka.

Isi surat P. Hovenaars S.J. sedikit berbeda dengan apa yang diutarakan

oleh F. van Lith S.J. Beliau mengisahkan bagaimana perkembangan karyanya

yang tidak hanya sebatas di Mendut tetapi juga hingga menjangkau daerah Baran

(47)

depan misi Jawa akan berpusat di kedua daerah tersebut karena melihat dari

perkembangan jumlah baptisan yang semakin bertambah banyak. P. Hovenaars

S.J. mengungkapkan bahwa beliau sudah mengunjungi Baran Kiringan sebanyak

empat kali. Setiap kali beliau datang selalu membaptis dan memberkati

perkawinan masyarakat di sana. Pada akhir kunjungan tepatnya pada tanggal 1

November 1989, beliau sudah membaptis sepuluh orang dan memberkati tiga

perkawinan. Kemudian, ada sekitar 60 orang menunggu untuk dibaptis oleh P.

Hovenaars S.J.25

Semakin lama tinggal di tengah-tengah masyarakat Jawa semakin

menguatkan keinginan F. van Lith S.J. untuk menolong mereka. Akan tetapi, F.

van Lith S.J. sangat menyadari bahwa beliau perlu meyakinkan Mgr. E. Luypen

S.J. dan Superior Misi alasan mengapa tidak cukup banyak baptisan di stasi

Muntilan. Sejauh itu F. van Lith S.J. hanya sebatas membaptis anak-anak yang

sudah dalam kondisi hahaya maut. Dalam suratnya kepada Vikaris di Batavia,

beliau menulis bahwa membaptis orang dewasa tidak dapat dilakukan

tergesa-gesa dan membutuhkan waktu bertahun-tahun:

“Masyarakat pedesaan memerlukan dua hal yaitu makanan dan pakaian. Setelah kedua kebutuhan tersebut terpenuhi barulah mereka bisa mulai berpikir dengan baik. Merupakan suatu hal yang mustahil jika kegiatan misi mengharuskan kita para misonaris memberikan makanan dan pakaian kepada mereka semua. Tetapi memang kita haruslah berbuat sesuatu sejauh kita mampu karena pewartaan kabar gembira tergantung pada hal tersebut. Soal pokok adalah bahwa di manapun seorang misionaris ditugaskan, sesudah satu tahun, diharapkan ia telah melakukan banyak pembaptisan orang pribumi. Saya sangat menyadari permasalahan tersebut. Tetapi, untuk misi di Jawa, membaptis sejumlah besar orang yang tidak sungguh-sungguh bertobat hanyalah sebuah petualangan. Membaptis banyak orang itu dapat diprogramkan. Cukuplah masuk ke wilayah dari beberapa desa yang ingin menjadi Kristen dan kemudian semangat Kristiani ditanamkan pelan-pelan. Meskipun demikian, semangat Kristiani lahir hanya dengan kesabaran dan dalam hitungan tahun.26

25 Ibid., hlm. 125.

26

(48)

Posisi dimana F. van Lith S.J. yang terkesan mempersulit dalam

membaptis masyarakat pribumi tidak hanya ditentang oleh P. Hovenaars S.J. saja

tetapi juga sebagian besar misionaris. Para misionaris berpendapat bahwa

keberhasilan misi ditentukan oleh banyaknya jumlah orang pribumi yang dibaptis.

Seperti apa yang telah diutarakan dalam suratnya kepada Vikaris, bahwa misi

haruslah tidak hanya sebatas mengkristenkan orang pribumi saja melainkan

mensejahterakan mereka. F. van Lith S.J. banyak berkeliling dari satu desa ke

desa lain untuk melihat, belajar, dan mencari tahu apa yang menjadi keprihatinan

serta apa yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat Jawa pada waktu itu. Dari apa

yang telah beliau temukan kemudian beliau menyimpulkan bahwa pendidikan

anak-anak pribumi adalah yang sangat dibutuhkan oleh mereka. P. Hebrans S.J.

mungkin satu-satunya yang sependapat dengan F. van Lith S.J. Dukungan

terhadap apa yang menjadi gagasan F. van Lith S.J. tersebut tertulis dalam

suratnya kepada Mgr. E. Luypen S.J. untuk membela F. van Lith S.J. dari

penilaian yang tidak adil dari misionaris lain. Beliau mengutarakan bahwa sudah

benar apa yang dilakukan oleh F. van Lith S.J. Langkah yang ditempuh oleh F.

van Lith S.J. sudah benar dengan tidak tergesa-gesa membaptis orang pribumi.

Hal yang ditakutkan adalah jika yang terjadi adalah orang pribumi hanya mau

dibaptis karena adanya motif uang dan kesejahteraan. Oleh karena itu dalam hal

jumlah baptisan F. van Lith S.J. kalah banyak dibandingkan dengan P. Hovenaars

(49)

dipaksa secara otomatis banyak dari kalangan pribumi akan meminta para untuk

membaptis mereka.27

Dukungan dari sesama misionaris kiranya juga belum cukup untuk

meyakinkan bahwa karya F. van Lith S.J. akan berhasil. Butuh bukti nyata dari

karya F. van Lith S.J. Untuk menjawab persoalan tersebut F. van Lith S.J. pada

tahun 1901 mengirimkan surat kepada Mgr. E. Luypen S.J. mengenai

perkembangan jumlah umat yang menerima pelajaran agama di sekitar Muntilan:

Sekarang saya ingin memberitahukan bahwa ada dua desa yang secara eksplisit meminta saya memberikan pelajaran agama. Yang satu berpenduduk sekitar 1.400, sedang satunya sekitar 700. Meskipun demikian saya masih harus tetap hati-hati dalam hal ini karena orang Jawa itu tidak dapat dipahami hanya pada tindakan-nya. Maka info ini sama sekali tidak mau mengatakan bahwa mereka ingin memeluk agama kita. Diperlukan jalan yang panjang dan persiapan yang lama untuk menjadi benar-benar seorang Katolik.28

Sekitar tahun 1903, Mgr. E. Luypen S.J. dan Superior Misi mengunjungi

Muntilan untuk melihat langsung perkembangan karya yang dilakukan oleh F. van

Lith S.J. Mgr. E. Luypen S.J. dan Superior Misi ragu akan kelanjutan karya misi

di Muntilan. Kedua pemimpin misi di Jawa tersebut menyatakan bahwa ada

kemungkinan misi di Muntilan akan ditutup. Hal tersebut memunculkan

kesedihan yang mendalam dalam diri F. van Lith S.J. Meskipun demikian, F. van

Lith S.J. tetap berusaha sekuat tenaga mempertahankan apa yang sudah beliau

bangun.

Pendapat dari kedua petinggi misionaris tersebut tidak bisa lepas dari

berkembang pesatnya misi di Mendut yang ditangani oleh P. Hovenaars S.J.

Jumlah baptisan yang banyak menjadikan penilaiaan terhadap misi di Mendut

lebih berhasil dibandingkan di Muntilan. Akan tetapi perlu dilihat bahwa nantinya

27 Ibid., hlm. 127.

28

(50)

misi di Mendut justru yang akan dibubarkan karena terkuaknya kesalahan fatal

yang dilakukan oleh P. Hovenaars S.J. terhadap wewenang yang sudah beliau

peroleh. Selain itu, di saat yang tepat muncul setitik harapan bagi kembalinya

kepercayaan terhadap F. van Lith S.J. setelah kedatangan para penduduk di sekitar

Kulon Progo yang memintanya untuk memberikan pengajaran agama.

Pada tahun 1904 katekis Jawa yang bernama Andreas Manase yang satu

angkatan dengan Katekis Vrede yang telah dipecat sebelumnya, dengan bersama

lima orang tetua dari Kulon Progo meminta F. van Lith S.J. memberikan

pengajaran Agama Katolik kepada mereka. Salah satu dari mereka adalah Daud

yang dulunya adalah seorang pengikut Sadrach dan misionaris Wilhelm.

Bersamaan dengan Daud ada empat orang pemimpin atau sering disebut dengan

istilah bekel datang ke Muntilan untuk menemui F. van Lith S.J. Peristiwa inilah

yang akan membuka pandangan para misionaris bahwa misi F. van Lith S.J.

menuju ke arah keberhasilan dan tentunya karya misi berkembang di Jawa.

Mereka secara umum disebut dengan orang-orang Kristen dari

Kalibawang seturut dengan nama distrik di mana mereka tinggal. Wilayah

tersebut berada di sisi Barat Sungai Progo. Salah satu dari antara mereka yang

terkenal dari keempat orang yang berada di bawah bimbingan Daud dan meminta

masuk Agama Kristen adalah Barnabas Sarikrama, yang berasal dari kampung

Semagung serta seorang yang bernama Abraham menjadi kepala kampung

tersebut. Semagung kelak akan menjadi pusat untuk orang-orang Katolik di

wilayah itu, karena di sana ada Gua Lourdes yang diresmikan pada tanggal 8

Gambar

Tabel data perkembangan umat berkat karya para lulusan sekolah misi di  sekitar Muntilan dan Mendut

Referensi

Dokumen terkait

Adapun skripsi ini berjudul “ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN DALAM TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA (Studi Kasus di Lembaga

Sebuah media form yang berfungsi untuk mencari apa yang kita butuhkan agar lebih mudah dalam mencari sesuatu yang kita butuhkan baik artikel maupun gambar, video, musik dll

Pada tahapan ini, dilakukan pengujian menggunakan data titik panas pada tahun 2015 yang akan digunakan sebagai data testing dan dataset Kalimantan tahun 2005

Walaupun persentase penghambatan dari perlakuan M1 dan M2 cukup tinggi, namun belum bisa dikatakan berhasil sebagai agens hayati antagonis terhadap tipe liarnya karena

Di dalam kotak yang berisi 7 bola merah dan 6 bola kuning akan diambil 2 bola berturut- turut tanpa pengembalian .Peluang terambil yang pertama bola merah dan yang kedua bola

adalah suatu sistem penyelenggaraan pendidikan dengan menggunakan satuan kredit semester (sks) untuk menyatakan beban studi mahasiswa, beban kerja dosen, pengalaman belajar, dan

Dirgantara Indonesia didasarkan oleh faktor egoisme kelompok atau ada faktor lain yang lebih seusai dengan etika dan norma bisnis..  Apakah tindakan perlawanan yang dilakukan oleh

Menurut pendapat Perry & Potter (2005), faktor yang perlu mendapatkan perhatian rumah sakit dalam memberikan pelayanan keperawatan yang dapat meningkatkan kepuasan