SEJARAH KARYA F. VAN LITH S.J.
DI JAWA 1896-1926
MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana
Pendidikan Program Studi Pendidikan Sejarah
Oleh:
BERNADUS BRURRY NUGROHO
101314001
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
i
SEJARAH KARYA F. VAN LITH S.J.
DI JAWA 1896-1926
MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Sejarah
Oleh:
BERNADUS BRURRY NUGROHO
101314001
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
PERSEMBAHAN
Makalah ini saya persembahkan kepada:
Kedua orang tuaku Bapak A.P. Marsin Nugroho dan Ibu Martha Tuminem yang
telah membesarkanku, kedua adikku Bernadetha Sundari Nugroho dan Theodora
Tiris Wigati serta tidak lupa yang tersayang Theresia Jabut yang selalu
mendewasakanku dan menguji kesabaranku dengan segala kelebihan dan
v
MOTTO
“Ketuklah maka kamu akan dibukakan pintu, mintalah maka kamu akan diberi, berusahalah maka kamu akan meraih apa yang kamu dambakan”
(Bernadus)
“Jadilah garam yang bukan hanya mengasinkan lautan saja” (Brurry)
„„Jangan berjalan di depanku karena aku tak mau mengikutimu, jangan berjalan di belakangku karena aku tak ingin memimpinmu, berjalanlah di sampingku dan
jadilah temanku” (Albert Camus)
viii
ABSTRAK
SEJARAH KARYA F. VAN LITH S.J. DI JAWA 1896-1926
Bernadus Brurry Nugroho Universitas Sanata Dharma
2015
Makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan tiga permasalahan pokok, yaitu:1. Latar belakang kehidupan dari F. van Lith S.J. 2. Karya misioner F. van Lith S.J. dalam bidang pendidikan. 3. Dampak dari pendidikan yang diberikan F. van Lith S.J. bagi orang-orang Jawa.
Melalui studi pustaka yang ditulis secara deskriptik analitis diperoleh hasil sebagai berikut: 1. F. van Lith lahir pada 17 Mei 1863 di Oirschot, Belanda, bercita-cita menjadi imam Jesuit, ditahbis menjadi imam pada tanggal 8 September 1894, kemudian dikirim ke Belgia untuk menjalani masa tersiat. 2. F. van Lith S.J. dikirim ke Jawa untuk berkarya di Hindia Belanda dengan membangun: Kweekschool-A, Kweekschool-B, Kolese Xaverius, dan seminari di Muntilan. 3. Dampak dari karyanya berupa munculnya para pemimpin dan kader-kader penerus yang berperan pada karya misioner dan perjuangan Bangsa Indonesia dalam mencapai kemerdekaan.
ix
ABSTRACT
THE WORK HISTORY OF F. VAN LITH S.J. IN JAVA 1896-1926
Bernadus Brurry Nugroho Sanata Dharma University
2015
This paper aims to describe three basic problems, namely: 1. The background of the life of F. van Lith S.J. 2. The missionary work of F. van Lith S.J. in the field of education. 3. The impact of education provided F. van Lith SJ for the people of Java.
By means of library study, the research results are as follows: 1. F. van Lith was born on May 17, 1863 in Oirschot, Netherlands, aspires to be a Jesuit priest, was ordained to the priesthood on September 8, 1894, then sent to Belgium for a period tertianship. 2. F. van Lith S.J. sent to Java to work in the Dutch East Indies to build: Kweekschool-A, Kweekschool-B, Xavier College and seminary in Muntilan. 3. The impact of his works include the emergence of leaders and cadres successor whose role in missionary work and struggle of the Indonesian nation to achieve independence.
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa berkat
rahmat dan restu-Nya sehingga makalah yang berjudul “Sejarah Karya F. van
Lith S.J. di Jawa 1896-1926” pada akhirnya bisa terselesaikan dengan baik.
Makalah ini di susun untuk memenuhi salah satu syarat untuk meraih gelar
Sarjana Pendidikan di Universitas Sanata Dharma, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial, Program Studi Pendidikan Sejarah.
Penulisan karya ini tentunya tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya
dukungan dari banyak pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada
kesempatan ini, penulis secara khusus mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta.
2. Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
menyelesaikan makalah ini.
3. Bapak Drs. B. Musidi M.Pd. selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan pengarahan, dampingan, dan dukungan dalam pelaksanaan
penulisan makalah ini.
4. Seluruh dosen dan pihak sekretariat Program Studi Pendidikan Sejarah
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah memberikan motivasi,
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... . i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... . ii
HALAMAN PENGESAHAN ... . iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... . iv
HALAMAN MOTTO ... . v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... . vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... . vii
ABSTRAK ... . viii
ABSTRACT ... . ix
KATA PENGANTAR ... . x
DAFTAR ISI ... . xii
DAFTAR LAMPIRAN ... . xiv
BAB I PENDAHULUAN ... . 1
A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Rumusan Masalah... 6
C. Tujuan Penulisan... 6
D. Manfaat Penulisan... 7
E. Sistematika Penulisan... 7
BAB II Latar Belakang Kehidupan F.van Lith S.J... 9
A.Kehidupan Masa Kecil F. Van Lith S.J. Hingga Menjadi Seorang Imam Jesuit... 9
B. Penunjukan F. van Lith S.J. ke Tanah Misi di Jawa... 11
C.Keadaan Misi di Jawa... 11
BAB III Karya F. van Lith S.J. di Jawa ... 16
A. Mengawali Karya Dengan Membongkar Kebobrokan Para Katekis... 16
xiii
B. Pertentangan Antara Hovenaars S.J. Dengan F. van Lith
S.J... 22
1. Masalah Metode... 23
2. Masalah Doa Bapa Kami... 27
3. Masalah Jumlah Baptisan... 30
C. F. van Lith S.J. Pendidik Kaum Pribumi... 37
BAB IV Dampak Karya F.van Lith S.J. Dalam Bidang Pendidikan Bagi Masyarakat Jawa... 44
A. Bertambah Banyaknya Jumlah Pengikut Ajaran Katolik ... 44
B. Munculnya Pemimpin Asli Jawa... 46
BAB V KESIMPULAN... 54
DAFTAR PUSTAKA... 58
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1: Silabus ... 59
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Mulai tahun 1808 banyak imam dari Negeri Belanda datang ke Indonesia
untuk memulai karya misionernya. Pada tahun tersebut tanah misi di Indonesia
berada di bawah tanggung jawab Gereja Katolik di Belanda. Pada babak awal
karya misionernya mereka mengalami kegagalan. Kegagalan yang dialami oleh
para misionaris antara lain karena pembatasan-pembatasan yang dilakukan
pemerintah Belanda. Misionaris yang dikirim ke Indonesia lebih besar kaitannya
dengan kepentingan pemerintahan dibandingkan dengan kepentingan misi.
Perubahan yang signifikan terjadi ketika Paus menetapkan berdirinya
Vikariat Apostolik Batavia pada tanggal 20 September 1842. Mgr. Jacobus Groff
S.J. ditetapkan sebagai Vikaris Apostolik (Uskup)-nya yang pertama. Kebijakan
pendirian Vikariat Apostolik Batavia oleh Paus tidak lain adalah untuk
memajukan karya misi di Jawa khususnya dan Indonesia pada umumnya.
Kebijakan tersebut muncul karena Paus melihat bahwa banyak penduduk Eropa
yang ada di tanah Jawa serta jumlah populasi penduduk Jawa lebih banyak dari
daerah lain sehingga akan memungkinkan terwujudnya keberhasilan karya misi di
sana. Pada waktu itu karya misionaris dikatakan berhasil apabila banyak orang
pribumi khususnya yang memeluk Agama Katolik dan turut serta dalam karya
para misionaris.1
1 G. Moedjanto, dkk, Garis-Garis Besar Sejarah Gereja Katolik Keuskupan Agung Semarang, Semarang, K.A.S, 1991, hlm. 15.
Pada bagian awal karya misioner di Hindia Belanda mengalami kegagalan.
Jumlah orang Jawa yang sudah beragama Katolik masih sedikit. Sebagian besar
pemeluk Agama Katolik adalah orang-orang Eropa. Selain itu, misionaris yang
ada di Kepulauan Indonesia waktu itu sebatas untuk bekerja pada pemerintah
kolonial dan jumlah merekapun sangat sedikit. Para misionaris didatangkan dan
dipekerjakan di wilayah jajahan dan sekaligus tanah misi untuk melayani
kebutuhan orang-orang Eropa dan keturunannya yang ada di daerah kekuasaan
pemerintah kolonial.2
Jumlah misionaris yang sedikit merupakan akibat dari adanya aturan yang
menyatakan bahwa pengiriman para misionaris ke wilayah Hindia Belanda jika
ada permintaan dari Gubernur Jenderal yang berkuasa di sana saja.
Pembatasan-pembatasan ini dilakukan untuk menjaga kekuasaan dari pemerintah kolonial
dengan orang pribumi atau bahkan penguasa lokal tetap berjalan dengan baik.
Larangan tersebut juga berlaku di Pulau Jawa. Pemerintah Hindia Belanda tidak
ingin merusak hubungan yang sudah terjalin baik dengan penguasa lokal di Pulau
Jawa menjadi buruk seperti ketika terjadi perlawanan yang dilakukan oleh
Pangeran Diponegoro dan sekutunya. Pertentangan antara Pangeran Diponegoro
dengan pemerintah Hindia Belanda tersebut mengakibatkan melemahnya
perekonomian dan pemerintah Hindia Belanda terbelit hutang. Pemerintah Hindia
Belanda juga tidak menginginkan pemimpin lokal melakukan pemberontakan
seperti yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro dan komplotannya. Alasannya
2
adalah orang Jawa masih memegang kepercayaan bahwa pemimpin masyarakat
pada waktu itu juga menjabat sebagai pemimpin agama.3
Selain jumlah misionaris yang kurang mencukupi untuk wilayah
kepulauan Indonesia, para misionaris juga lebih banyak yang bekerja kepada
pemerintah Belanda yang ada di Indonesia karena motif ekonomi saja dan bukan
untuk mengabdikan diri sepenuhnya pada masyarakat pribumi. Demikian juga
yang terjadi di Jawa, para misionaris juga berkarya di antara orang Eropa di Jawa
dan hanya untuk mengejar upah meskipun sebenarnya hasil atau gaji yang
diterima digunakan lagi untuk memperlancar misinya. Selain itu, banyak kalangan
misionaris tidak mau berpindah tempat ke daerah misi yang baru dan
meninggalkan daerah sebelumnya karena mereka sudah nyaman dan pesimis
dengan keadaan di Pulau Jawa.
Ketika J. Keijer S.J. mengawali misinya di Pulau Jawa pada tahun 1894,
beliau juga menjabat sebagai pemimpin para misionaris yang ada di Pulau Jawa.
Waktu itu wilayah misi Jesuit Belanda masih meliputi seluruh Kepulauan
Indonesia. Dalam menjalankan karya misionernya J. Keijer S.J. dibantu oleh dua
katekis yang bernama M. Taffer dan J. Vreede yang telah menguasai Bahasa
Jawa. Kedua katekis ini baru saja masuk Agama Katolik dan sebelumnya mereka
memeluk Agama Kristen. Perkembangan mulai terlihat dalam kurun waktu
1894-1895 ada 340 orang Jawa diterima sebagai warga Katolik. Pada tahun 1896, di
Mlaten dan Nglamper (Semarang) dibuka dua sekolah kecil. Sebuah kursus guru
3 Fl. Hasto Rosarianto, Van Lith Pembuka Pendidikan Guru di Jawa Sejarah 150 tahun Serikat Jesus di Jawa, Yogyakarta, Universitas Sanata Dharma, 2009, hlm. 93.
katekis juga dibuka di Gedangan pada tahun 1897.4 Berawal dari keberhasilan
inilah yang mendorong munculnya usulan yang ditujukan kepada pemerintah
Hindia Belanda dan pusat misi di Belanda supaya menambah misionaris yang ada
di Pulau Jawa. Pada akhirnya dikirimlah empat orang misionaris dari Belanda
untuk wilayah Hindia Belanda. Tiga orang romo untuk meluaskan karya misi di
Jawa yaitu E. Engbers S.J., P. Hovenaars S.J., F. van Lith S.J. yang nantinya
menjalani misi di Mendut dan Muntilan, serta P. Frencken S.J. satu-satunya
misionaris yang dikirim ke daerah Larantuka.5
Kota Muntilan merupakan kota yang dianggap sebagai tonggak awal
keberhasilan karya misionaris di Pulau Jawa. Muntilan merupakan salah satu
Paroki di bawah Vikariat Apostolik Batavia. Di kota Muntilan inilah didirikan
Kolose Xaverius Muntilan. Pendiri Kolese Xaverius Muntilan adalah seorang
misionaris Jesuit yang bernama F. van Lith S.J. Sekolah yang didirikan di
Muntilan ini merupakan wujud dari keinginan F. van Lith S.J. yang ingin
membela masyarakat pibumi dari penindasan dan kesengsaraan pada masa
pendudukan Belanda di Hindia Belanda.
F. van Lith S.J. ingin mengubah keadaan karya misi di Pulau Jawa dan
Indonesia pada umumnya. Waktu masih muda, F. van Lith S.J. sudah menjadi
seorang yang bijaksana seperti ketika beliau menolak bekerja sebagai penarik
pajak. Beliau menginginkan perubahan bentuk karya misioner yang ada di
Indonesia pada waktu itu, supaya tidak hanya sebatas melayani orang-orang
Belanda dan mengkatolikkan orang pribumi tetapi juga memperjuangkan hak-hak
4 G. Moedjanto, dkk, op. cit., hlm.16-18. 5
orang pribumi untuk maju dan mendapat pengakuan dari perintah Hindia Belanda.
F. van Lith S.J. yakin bahwa tidak akan ada keberhasilan karya misioner di
Indonesia dan Jawa khususnya jika para misionaris tidak mampu memberikan
kemakmuran bagi masyarakat pribumi.6
Hak mendapatkan pendidikan bagi kaum pribumi merupakan salah satu
tujuan yang sedang diupayakan oleh F. van Lith S.J. Beliau ingin memperbaiki
taraf hidup masyarakat pribumi dengan pendidikan yang berorientasi pada lulusan
sekolahnya yang nantinya bisa menjadi seorang guru dan calon pemimpin bagi
masyarakat Jawa. Selain itu, beliau juga mengajak para misionaris supaya lebih
menghargai dan belajar tradisi yang ada dalam masyarakat Jawa sehingga
mempermudah jalan menuju keberhasilan misinya. Tradisi Jawa bisa dijadikan
sarana penyebaran misi agama. Menyatu dengan masyarakat pribumi menjadi
jalan menjalin relasi yang sangat kokoh dengan masyarakat pribumi. Hidup
sebagai seorang guru yang berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain
menjadi ciri khas F. van Lith S.J.
Perdebatan dan pertentangan mengenai cara beliau dalam melayani
masyarakat Jawa sering kali muncul. Rekan kerjanya P. Hovenars S.J. dan para
katekis adalah tantangan pertama yang harus dihadapi ketika F. van Lith S.J.
mengawali karya misionernya. Akan tetapi, beliau mampu membuktikan bahwa
apa yang dilakukannya benar dan membuahkan hasil banyak benih yang tumbuh
dalam masyarakat pribumi dari apa yang telah beliau rintis. Mereka kelak akan
menjadi para pemimpin dan kader penerus yang mampu membawa perbaikan
6 Hubertus Josephus Willbrordus Maria Boelaars, Indonesianisasi , Yogyakarta, Kanisius, 2005, hlm. 109-110.
kehidupan masyarakat pribumi juga. Seluruh perjuangan beliau tidak sia-sia dan
bahkan membawa angin segar bagi perkembangan misi di Pulau Jawa selanjutnya.
Oleh sebab itu, sudah layak dan sepantasnya apa yang telah dikaryakan oleh F.
van Lith S.J. ini di kaji kembali.
Kehadiran F. van Lith S.J. di Pulau Jawa memberikan sumbangsih yang
begitu besar bagi kemajuan kehidupan manusia di Jawa. Banyak karya
misionernya yang banyak berpengeruh positif bagi perkembangan masyarakat
Jawa. Dalam karya tulis ini penulis lebih menyoroti bagaimana karya F. van Lith
S.J. ketika sampai di Indonesia hingga wafat yakni tahun 1896-1926. Dikarenakan
F. van Lith S.J. merupakan salah satu pendiri pendidikan bagi kaum pribumi yang
beragama Katolik dan non Katolik baik laki-laki maupun perempuan di Jawa,
maka penulis mengangkat karya tulis yang berjudul “Sejarah Karya F. van Lith
S.J. di Jawa 1896-1926”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka dapat diambil rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana latar belakang kehidupan F. van Lith S.J.?
2. Bagaimana karya dari F. van Lith S.J. dalam hal pendidikan bagi
masyarakat di Jawa?
3. Apa saja dampak dari karya F. van Lith S.J. dalam bidang pendidikan bagi
C. Tujuan Penulisan
1. Mendeskripsikan bagaimana latar belakang kehidupan F. van Lith S.J.
sebelum datang ke Indonesia.
2. Mendeskripsikan bentuk usaha dan karya dalam bidang pendidikan F. van
Lith S.J. bagi para penduduk Jawa serta kemajuan karya misionarisnya.
3. Mendesripsikan dampak dari usaha F. van Lith S.J. dalam
mengembangkan pendidikan di antara orang pribumi.
D. Manfaat Penulisan
1. Bagi perkembangan ilmu pengetahuan, karya ilmiah ini akan membuka
khasanah tentang sejarah karya dari F. van Lith S.J. di Jawa.
2. Bagi lembaga pendidikan, diharapkan penulisan karya ilmiah ini
menyumbang informasi baru bagi dunia pendidikan.
3. Penulisan ini menjadi ajakan bagi generasi muda untuk semakin mengerti
dan memprioritaskan pendidikan bagi dirinya, orang lain, alam dan negara.
4. Bagi penulis menjadi sebuah tuntunan supaya tetap mendedikasikan
hidupnya bagi dunia pendidikan, selalu taat akan sebuah aturan dan selalu
pantang menyerah dalam melakukan sebuah usaha untuk hidupnya, orang
lain serta bangsa dan negara.
E. Sistematika penulisan
Makalah yang berjudul “SEJARAH KARYA F. VAN LITH S.J. DI
BAB I : Pendahuluan yang berisi tentang latar belakang penulisan karya
ilmiah, rumusan masalah, tujuan, manfaat, dan sistematika
penulisan.
BAB II : Perjalanan hidup F. van Lith S.J. sebelum menjadi seorang imam
Jesuit.
BAB III : Karya F. van Lith S.J. dalam pendidikan di Jawa.
BAB IV : Dampak dari karya F. van Lith S.J. dalam bidang pendidikan bagi
masyarakat Jawa.
9
BAB II
LATAR BELAKANG KEHIDUPAN F. VAN LITH S.J.
A. Kehidupan Masa Kecil F. van Lith S.J. Hingga Menjadi Seorang Jesuit
F. van Lith lahir pada tanggal 17 Mei 1863 di Oirschot, sebuah kota kecil
di antara kota Tilburg dan Endhoven, di Propinsi Brabant, Belanda Selatan. Pada
saat dia berumur 4 tahun keluarganya pindah ke Kota Eindoven. Ayahnya bekerja
sebagai seorang juru sita di kota tersebut. Pekerjaan itu merupakan pekerjaan yang
diwariskan oleh ayahnya. Seperti halnya sebuah tradisi, kelak F. van Lith juga
akan diwarisi pekerjaan tersebut. Akan tetapi, F. van Lith ingin menjadi guru
sekolah atau bahkan menjadi seorang imam.7
Kota Eindhoven merupakan pusat kebudayaan dan perdagangan pada
waktu F. van Lith muda atau sekitar tahun 1870. Selain itu, Kota Eindhoven
merupakan kota terbesar di Nort Brabanth. Dahulunya kota Brabath adalah kota
yang cukup besar dengan ribuan penduduknya serta menjadi kota dagang dan
pusat kebudayaan. Akan tetapi, pada saat itu kota Brabanth menjadi medan perang
antar agama (Katolik melawan Kristen Protestan). Tidak hanya itu, kekuasaan
asing dan taufan juga silih berganti menggempur arca-arca gereja di sana.
Meskipun Kota Brabanth sudah hancur lebur, semangat dan keberanian
masyarakat di sana tak kunjung padam. Suatu ketika kemenangan bagi penduduk
Brabanth muncul, yaitu ketika kebebasan untuk memeluk Agama Katolik hadir.
7
Meskipun pada akhirnya mereka terbelakang dalam hal materi, akan tetapi mereka
kaya akan jiwa Katolik mereka.
Watak welas asih, bijaksana, murah hati dan pekerja keras menjadi modal
awal semangatnya untuk menjadi seorang Jesuit yang baik di antara orang Jawa
nantinya. Dia menolak keinginan orang tuanya untuk meneruskan tradisi sebagai
juru sita. F. van Lith tidak ingin menjadi “duri dalam daging” bagi sesamanya.
Jika dia menjadi seorang juru sita, pasti akan gemar menyakiti orang serta
mengusir orang seenaknya saja dan hal itu adalah sesuatu yang amat tidak
diinginkannya.
Karena ingin mengejar cita-citanya menjadi seorang guru, akhirnya F. van
Lith memutuskan untuk masuk sekolah Latin yang dipimpin oleh tuan Gemert. F.
van Lith muda kemudian mengikuti kursus di sana dan belajar dengan tekun.
Dalam dua tahun, dia mampu menyelesaikan kursus yang seharusnya empat tahun
ditempuhnya. F. van Lith sangat gemar membaca buku. Kebanyakan dari
bacaannya adalah mengenai keagamaan, khususnya tentang Agama Katolik.
Dalam benaknya muncul keinginan supaya Agama Katolik dapat berkembang
dengan pesat. Ketika F. van Lith membaca mengenai bagaimana perlawanan para
Jesuit menentang kritik yang ditujukan kepada mereka, terbesit dalam hatinya
untuk menjadi seorang Jesuit.8
Setelah menyelesaikan kursusnya di tempat tuan Gamert, F. van Lith
melanjutkan belajar di novisiat milik imam-imam Jesuit di Marindal dekat Grave.
8 Panitia Kerja Pembangunan Monumen Romo van Lith S.J., Manunggal Dengan Rakyat Dasar mengrasul Romo Van Lith S.J. Pendiri Misi Jawa Tengah 1863-1926, Yogyakarta, Panitia Kerja Pembangunan Monumen Romo van Lith S.J, 1979, hlm. 5-6.
Di sana F. van Lith terkenal sebagai pribadi yang penyendiri dan pemalu. F. van
Lith menyadari bahwa sifatnya itu tidak baik bagi kariernya kelak jika menjadi
seorang imam. Dia berusaha menghilangkan kebiasaan buruk tersebut dengan
berlatih seni berpidato. Lambat laun kebiasaan buruknya itu hilang dengan
sendirinya.
Setelah menyelesaikan proses belajarnya bersama dengan para Jesuit di
Marindal, F. van Lith melanjutkan studi filsafat di Inggris. Dia menjalani studi di
Stonyhurst, Inggris selama 3 tahun. Sepulangnya dari Inggris F. van Lith.
menjalani Orientasi Kerasulan sebagai seorang guru matematika dan Bahasa
Inggris di Kolese Katwick. Selama mengajar di Kolese Katwich F. van Lith
dikenal sebagai pribadi yang sederhana, murah hati, jujur, adil, dan tegas oleh
murid dan sesama guru. Setelah menyelesaikan tugasnya di Kolese Katwich, F.
van Lith melanjutkan studi Teologi di Maastricht. Barulah setelah tiga tahun F.
van Lith dapat menyelesaikan studi Teologinya. F. van Lith ditahbis menjadi
imam pada tanggal 8 September 1894. Satu tahun sesudah ditahbis menjadi
seorang imam, F. van Lith S.J. dikirim ke Drongen, Belgia, untuk memulai tersiat.
Hal yang tidak terduga harus dijalani seorang Jesuit baru ini. F. van Lith S.J
dikirim ke Jawa untuk menjalankan misinya sebagai seorang misionaris. Karena
beliau seorang yang taat kepada perintah pemimpin misi dan aturan sebagai
seorang misionaris, akhirnya beliau menjalankan perintah untuk berkarya di
Hindia Belanda. 9
9 Ibid., hlm. 6-7.
B.Penunjukan F. van Lith S.J. ke Tanah Misi di Jawa
F. van Lith S.J. sudah mengetahui kemungkinan besar jika dia akan
dikirim ke tanah misi. Kemungkinan tersebut sudah tergambar dalam benak F. van
Lith S.J. sejak dia masih berada di Maastricht (1891-1894). Sering kali saat
sedang makan para misionaris dibacakan surat yang berasal dari Jawa. Isi dari
surat tersebut mengenai tantangan, perkembangan dan keberhasilan misi di Jawa.
Pada akhirnya benarlah apa yang ada dalam pikiran F. van Lith S.J. bahwa
akhirnya dia ditunjuk sebagai calon misionaris yang dikirim ke Jawa bersama
dengan dua Misionaris lainnya pada bulan Agustus 1896. F. van Lith S.J.
menerima sebuah pesan singkat dari Provinsialnya yang bernama H. van den
Boogaard S.J. pada tanggal 18 Agustus 1896, dan waktu itu beliau sedang berada
di Nijmegen. Dalam surat tersebut menyatakan bahwa dia harus segera berangkat
ke Indonesia. Dia akan berangkat dengan kapal dari Maseilles pada tanggal 28
Agustus.10
F. van Lith S.J. mengalami kebimbangan setelah menerima surat
penunjukan dirinya untuk berkarya di tanah misi yaitu di Jawa. Beliau merasa
sangat berat jika harus meninggalkan negeri asalnya Belanda yang saat itu sebagai
tanah kelahiran dan pusat misi. Ada beberapa alasan kenapa beliau bimbang
dengan keputusan dari pemimpin misinya. Pertama, F. van Lith S.J. memikirkan
bagaimana dengan nasib kedua orang tuanya yang akan ditinggalkan jika dia
berangkat ke tanah Jawa. Beliau merasa kurang tepat jika harus meninggalkan
mereka. Terlebih lagi beliau adalah satu-satunya anak laki-laki dan memiliki
10 Fl. Hasto Rosarianto, op. cit., hlm. 13.
kewajiban merawat dan mencukupi kebutuhan kedua orang tuanya. Beliau sangat
sadar bahwa orang tuanya sangat membutuhkan perhatian darinya. Kedua, F. van
Lith S.J. merasa bahwa yang sebenarnya harus dibangun terlebih dahulu adalah
pusat-pusat misi yang ada di Eropa dan bukan di Indonesia. Pusat Misi di Eropa
haruslah kuat karena dijadikan pondasi perkembangan misi di luar Eropa. Gereja
Katolik di Eropa harus bisa bersatu supaya mampu mengembangkan misi di
tempat lain.11
C.Keadaan Misi di Jawa
Pada waktu kedatangan F. van Lith S.J. ke Indonesia tahun 1896 hanya
ada sekitar empat puluh Jesuit yang berkarya di Indonesia. Pada tahun 1893 mulai
terlihat perubahan yang signifikan dari karya para misionaris. Para misionaris
lebih banyak yang mengkaryakan dirinya bagi masyarakat pribumi dibandingkan
dengan komunitas Eropa. Tahun-tahun terakhir menjelang abad 20 inilah misi di
antara para penduduk pribumi Jawa dimulai.
Masa depan misi di Jawa bergantung pada para misionaris yang baru
datang, yaitu F. van Lith S.J. dan P. Hovenars S.J. Sebelum terjun langsung ke
dalam misi di Jawa, F. van Lith S.J. belajar bahasa dan kebudayaan Jawa terlebih
dahulu. Mereka harus paham mengenai seluk beluk masyarakat Jawa. Masyarakat
Jawa sangatlah menjunjung tinggi nilai-nilai, norma-norma, serta adat istiadat
yang berlaku dalam masyarakat. Satu-satunya jalan supaya bisa masuk ke dalam
masyarakat Jawa adalah dengan menyatu atau membaur dengan mereka.
11 Ibid., hlm. 112-115.
Masyarakat Jawa adalah masyarakat yang ramah dan sebenarnya tidak senang
dengan konflik atau peperangan. Oleh sebab itu, F. van Lith S.J. sangat paham apa
yang harus dilakukan dan dikerjakan.
Misi pada waktu itu lebih banyak dilakukan oleh para katekis hasil karya
J. Keyjer S.J. di Gedangan, Semarang lewat sekolah katekisnya. Sebenarnya
kurang bijak jika memberikan tugas sebagai seorang katekis kepada katekis baru
tersebut, karena latar belakang mereka kebanyakan dari Kristen Protestan dan
banyak dari mereka memiliki catatan buruk sebelum masuk Katolik. Kebanyakan
dari mereka terlibat penggelapan uang. Selain itu, terkesan bahwa orang Katolik
baru ini masuk kedalam komunitas Katolik hanya sekedar untuk berlindung saja
dan bukan merupakan sebuah pertobatan yang murni.
G. Hellings S.J. waktu itu cukup berhasil berkarya di antara masyarakat
pribumi di Semarang mencoba inovasi baru demi kemajuan misinya. Di sana
beliau mengumpulkan ratusan orang Jawa-Katolik di wilayahnya. Kemudian
mereka dibagi menjadi beberapa kelompok yang nantinya akan menjadi guru
agama dan katekis di daerah Yogyakarta, Kedu, Ambarawa, dan Semarang.
Mereka diberi wewenang yang cukup besar dari G. Hellings S.J. Tidak hanya itu
saja, G. Hellings S.J. juga megusulkan kepada Vikaris Apostolik supaya misi
menggaji mereka supaya dapat memanfaatkan mereka secara total. G. Hellings
S.J. menganggap para katekis baru tersebut layak mendapatkan wewenang yang
lebih dari para misionaris. Bahkan, G. Hellings S.J. menyebut mereka sebagai
Penolakan atas usulan G. Hellings S.J. muncul dari I. Vogel S.J. dan para
imam Jesuit di sekitar Magelang. Surat dari I. Vogel S.J. kepada Vikaris Batavia
sudah menjelaskan bahwa latar belakang dari para katekis ini sudah tidak baik.
Beberapa katekis yang dahulunya penganut Kristen merupakan para koruptor
yang kemudian beralih masuk ke Katolik. Mereka dikucilkan setelah melakukan
tindakan korupsi. Selain itu, beliau berpendapat bahwa penunjukan dan pemberian
wewenang yang besar kepada para katekis yang sebagian mantan penganut
Kristen tersebut merupakan sebuah ungkapan keputusasaan dari G. Hellings S.J. I.
Vogel S.J. meyebut para katekis tersebut sebagai “maling, koruptor, pencuri,
lalim, peminum opium”.12
Keputusan besar ini akan berimbas buruk bagi karya F. van Lith S.J.
nantinya. Para Katekis tidak lagi mementingkan karya misionaris, tetapi lebih
mementingkan materi saja. Kebobrokan para katekis ini akan terbongkar saat F.
van Lith S.J. memulai karyanya. Tindakan korupsi dan keburukan lainnya dari
pera katekis baru ini terbongkar dan menjadikan karya misioner di Hindia
tercoreng. Perubahan besar demi kemajuan sebuah misi Jawa akan dilakukannya.
Keberhasilan misi di Jawa sangat erat kaitannya dengan karya-karya yang
dilakukannya.
12 Ibid,. hlm. 116-117.
16
BAB III
KARYA F. VAN LITH S.J. DI JAWA
A. Mengawali Karya dengan Membongkar Kebobrokan Para Katekis
Pada tahun 1897, F. van Lith S.J. ditunjuk untuk menggantikan C.
Stipouth di Muntilan. Selain Muntilan dan Magelang, daerah lain disekitarnya
seperti stasi Bedono dan Ambarawa dipercayakan kepadanya. Beliau tinggal di
sebelah Sungai Lamat yang nantinya dijadikannya pusat misi. Di sebelah Utara
menjulang tinggi Gunung Merapi dan Merbabu. Candi Borobudur dan Candi
Mendut menambah daya tarik Jawa bagi F. van Lith S.J. supaya tetap tinggal di
Muntilan. Suasana yang sedemikian nyamannya membawa F. van Lith S.J. jatuh
cinta pada tanah Jawa beserta rakyatnya.
Pada waktu itu belum banyak yang bisa dilakukan oleh F. van Lith S.J.
Beliau mengawali karya dengan melakukan observasi dengan mengunjungi
wilayah yang dikaryakan kepadanya. Beliau mencoba menyatu dengan
masyarakat Jawa dan memulai karyanya dengan perbaikan kecil tapi berimbas
besar bagi perkembangan misi seterusnya. F. van Lith S.J. percaya bahwa
keberhasilan karya misionarisnya di tanah Jawa sangat bergantung pada
penguasaan Bahasa Jawa. F. van Lith S.J. sangat mengagumi Bahasa Jawa yang
sangat kaya akan keindahan. Menurut pendapat beliau, orang Jawa merupakan
salah satu suku bangsa yang senang bersemedi, memiliki perjalanan sejarah yang
gemilang, kaya akan sastrawan dan penyair, suku yang banyak memiliki
tangguh dalam perang. Gending dan gamelan Jawa juga memiliki daya tarik
tersendiri baginya. Tidak ada waktu terbuang untuk tidak belajar. Dari makan pagi
sampai makan malam digunakannya untuk belajar. Sesekali beliau meluangkan
waktu untuk berjalan-jalan di sekitar Muntilan untuk membaur dengan masyarakat
sekitar.13
Saat kedatangan F. van Lith S.J. di Muntilan, karya misi dikelola oleh
seorang katekis bernama Josaphat Martodirejo setelah mendapat kepercayaan dari
pimpinan misi yaitu G. Helling S.J. F. Voogel S.J. yang sebelum F. van Lith S.J.
bertugas melayani di daerah Magelang berpendapat lain. Josaphat Martodirejo
merupakan seorang yang korup, malas, senang berhutang dan yang ada dalam
pikirannya bukan agama, melainkan hanya uang menurut pendapat beliau.
Pendapat F. Vogel S.J. ini akhirnya dibenarkan oleh F. van Lith S.J. ketika beliau
mulai membaur dengan masyarakat sekitar untuk melihat perkembangan misi di
Muntilan dan belajar bahasa, kebudayaan, kebuasaan hidup orang Jawa dengan
Josaphat Martodirejo.
Saat belajar Bahasa Jawa dengan Josaphat Martodirejo, kebusukan dan
kecurangan yang dilakukan oleh katekis ini terbongkar semua. Sebenarnya
Josaphat Mertodirejo sudah menerima uang sebanyak ƒ. 15 dari C. Stiphout S.J.
untuk membeli sebidang tanah yang akan digunakan sebagai pemakaman umum
umat Katolik di Muntilan. Akan tetapi, ternyata uang tersebut tidak digunakannya
untuk membayar tanah tersebut. Uang tersebut ia gunakan untuk memenuhi
kebutuhan pribadinya saja. Kebusukan dan kecurangan ini terungkap pada bulan
13
Oktober 1897.14 Selain itu, atas perintah F. van Lith S.J. juga sebenarnya
Martodirejo sudah diberikan uang sebanyak ƒ. 70 untuk menebus sawah yang
terlebih dahulu digadaikan oleh orang-orang Katolik. F. van Lith S.J. berpendapat
bahwa ketika sawah yang digadaikan oleh rakyat ditebus maka penghasilan
mereka meningkat. Selain itu, sebagai timbal baliknya pastoran memperoleh
pemasukan sedikit dari sistem bagi hasil dari apa yang dihasilkan oleh sawah yang
ditebus. Pada tahun 1898 terungkap bahwa uang yang seharusnya untuk
membayar tanah tersebut digunakan oleh Josaphat Martodirejo untuk membeli
opium karena dia sudah kecanduan.
Melihat apa yang sudah terjadi di Muntilan, F. van Lith S.J. mengarahkan
perhatian ke daerah lain seperti Amabarawa dan Bedono. Beliau khawatir apabila
kejadian buruk seperti di Muntilan juga terjadi di tempat-tempat tersebut. Beliau
menilai bahwa kebanyakan dari para katekis yang ada di Ambarawa dan Bedono
juga melakukan hal demikian. Pada awal penyelidikannya, beliau memeriksa
inventaris misi di sana. Beliau menanyakan soal tanah yang dibeli oleh katekis
yang bernama Martinus. Katekis ini diberikan kepercayaan supaya mengelola
tanah yang dibeli oleh misi yang kemudian digunakan oleh orang-orang Katolik
untuk mencukupi kebutuhan mereka. Tarnyata tanah yang dibeli oleh katekis
Martinus tidak ada dan orang-orang Katolik di sana kebanyakan memeluk Agama
Katolik karena godaan uang yang dibagikan oleh katekis Martinus. Sebagai
contoh, sejumlah besar orang yang telah dibabtis hanyalah untuk megelabuhi para
misionaris. Banyak orang memang telah dibabtis untuk menunjukan betapa besar
14 MAWI, Sejarah Gereja Katolik Indonesia, Jakarta, Bagian Dokumentasi Penerangan Kantor Wali Gereja Indonesia, 1974, hlm. 849.
dan kerja keras usaha para katekis dalam melebarkan kerajaan Allah sehingga
pantaslah jika mereka mendapatkan gaji. Kenyataannya mereka dibabtis dan
menjadi Katolik tanpa pengajaran agama yang tepat serta hanya karena sogokan
dari para katekis.15
Tidak hanya berhenti pada katekis Martinus, F. van Lith S.J. mulai
mengarahkan penyelidikannya pada Y. Vrede. Menurut berita dari misi pusat, Y.
Vrede telah diberikan uang sebesar $ 1.500 untuk membangun Gereja di Bedono
dan untuk membeli kuda. Akan tetapi, ketika F. van Lith S.J. datang ke sana
Gereja dan kudanya tidak ada. Setelah mengakui segala kesalahannya Y. Vrede
meninggalkan Bedono dan F. van Lith S.J.16
Sebenarnya bagi F. van Lith S.J. uang yang telah diselewengkan oleh para
katekis tidaklah terlalu penting. Yang terpenting bagi beliau adalah bagaimana
menyikapi pemahaman masyarakat soal Agama Katolik yang sangat dangkal.
Beliau melihat bahwa ternyata pengajaran agama yang menggunakan Bahasa
Belanda kurang efektif. Masyarakat Jawa hanya sebatas tau itu sebuah doa yang
diajarkan oleh katekis tetapi belum sampai pada tahapan memahami dan meresapi
makna di balik sebuah doa yang diajarkan. Seperti halnya ketika beliau
mengunjungi Bedono, dalam catatan hariannya:
“Bangunan gereja masih sangat sederhana. Stasi Bedono memang masih sangat muda. Umat dari stasi ini juga masih sangat sederhana. Tempat pengakuan dosa terdiri dari satu kursi dan satu bangku doa; sungguh memprihatinkan lagi adalah mereka yang datang kepadaku. Aku duduk di kursi, dan satu demi satu mereka datang mengaku dosa. Mereka berlutut di bangku doa dan mengucapkan kata yang sama Pater Noster lalu pergi. Ketika aku mengajukan pertanyaan: ”apa kamu bohong?”, lalu mereka menjawab “tidak”, tapi kebanyakan dari mereka mengulangi menjawab perkataan tadi, Pater Noster”.17
15 Fl. Hasto Rosarianto, op. cit., hlm. 119.
16 Panitia Kerja Pembangunan Monumen Romo van Lith S.J. op. cit., hlm. 12-13. 17
Hal ini menunjukan bahwa sangat penting bagi para misioner untuk lebih
menyelami budaya masyarakat Jawa. Doa dan nyanyian yang menggunakan
Bahasa Belanda harusnya diubah ke dalam Bahasa Jawa. Selain itu, harus
disesuaikan pula dengan tata cara penulisannya. Mengucapkan sebuah doa tidak
hanya sekedar mengucapkan tetapi haruslah dengan menghayatinya. Jika
masyarakat Jawa masih menggunakan doa dengan Bahasa Belanda mereka tidak
akan bisa memahami makna dari doa tersebut. Hal ini diperparah dengan tidak
banyak orang pribumi yang mengerti dan dapat berbahasa Belanda.
Pada saat yang sama, P. Hovenaars S.J. ditugaskan menjalankan misi di
antara orang Jawa di Yogyakarta melanjutkan karya P. Palinckx S.J. Di
Yogyakarta sudah ada sekitar 100 orang yang telah dibaptis oleh G. Hellings S.J.
dan L. Hebrans S.J. Meskipun baru satu bulan mengawali karyanya di
Yogyakarta, P. Hovenaars S.J. sudah mampu mempermandikan 62 orang yang
sudah menjalani pengajaran Agama Katolik. Akan tetapi, seperti sudah
diramalkan oleh J. Palinckx S.J. bahwa kelak P. Hovenaars S.J. akan mengalami
kendala. Suatu ketika P. Hovenaars S.J. dipanggil oleh Residen J.A. Ement yang
berada di Yogyakarta. Residen J.A. Ement mengatakan Sri Sultan Hamengku
Buwono VII menolak segala kegiatan misi di Yogyakarta. Saat itu sudah jelas
bahwa memang kesultanan Yogyakarta adalah kerajaan bercorak Islam. Namun,
apa yang diutarakan oleh Resident J.A. Ement tidaklah benar. Sebenarnya yang
tidak suka dengan keberadaan misi di Yogyakarta adalah Residen J.A. Ement
sendiri. Menurut Patih, Sri Sultan Hamengku Buwono VII sudah menasehati
tidak didengarkan dan sebagai imbasnya adalah P. Hovenaars S.J. harus
dipindahkan ke Semarang dan berkarya di daerah Barankaring dekat Kudus.18
Setelah kepergian P. Hovenaars S.J., memang terungkap bahwa
sebenarnya orang-orang yang bersedia dibaptis di Yogyakarta hanya mencari
keuntungan materiil saja. Meskipun P. Hovenaars S.J. tidak lama berkarya di
Yogyakarta, namun beliau juga bisa bergaul dengan orang-orang yang baik yang
nantinya membukakan jalan bagi misi di Yogyakarta. Salah satu orang baik yang
beliau temui adalah Pengeran Ario Sasraningrat, putera dari Paku Alam III.
Beberapa putera dan abdi Pangeran Sasraningrat akan menjadi Katolik dan
memainkan peran penting bagi perkembangan umat Katolik di Yogyakarta.19
Melihat kebobrokan katekis yang secara tidak langsung telah mencoreng
wajah misi di Indonesia, beberapa yang masih menginginkan mukjizat akan
keberhasilan misi di Jawa berkumpul di Magelang. Pada tanggal 20 Desember
1988 F. van Lith S.J., P. Hovenaars S.J., dan E. Engbers S.J. duduk bersama untuk
membahas bagaimana baiknya menyikapi kejadian yang buruk tersebut. Dalam
perundingan tersebut mereka berpendapat bahwa jika pusat misi masih berada di
Semarang, perkembangan akan kurang baik karena terlalu jauh dengan daerah
misi yang banyak mengalami perkembangan. Mereka berpendapat bahwa daerah
Kedu terutama yang berdekatan dengan Muntilan akan didirikan sebuah daerah
misi baru. Pemilihan tempat haruslah tepat mengingat harus dekat dengan
Yogyakarta, Muntilan, Semarang, serta daerah tersebut harus memiliki prospek
yang baik untuk perkembangan misi. Hal tersebut perlu dipertimbangkan
18 Karel Steenbrik, Orang-Orang Katolik Di Indonesia 1808-1942, Maumere, Lederado, 2006, hlm. 367-370.
19
mengingat kegiatan misi masih saling berkaitan dan daerah satu dengan daerah
lain harus memiliki koordinasi dan kerjasama yang baik demi kelancaran misi.
Pada bulan Mei 1899 dibelilah sebuah pabrik minyak kacang yang
bangkrut di daerah Mendut sekitar 3 km dari Borobudur dan 10 km dari Muntilan.
P. Hovenaars S.J. dan P. Hebrans S.J. menetap di sana dengan murid-murid
sekolah guru dari Semarang. Gereja dan sekolah di Lamper dibongkar dan dibawa
ke Muntilan. Andreas Manasse yang sebelumnya mengajar di sana pada akhirnya
juga dipindah ke sana. Tidak lama setelah bersama di Mendut, kini tinggallah
sendiri P. Hovenaars S.J. karena rekannya dipindah ke Semarang dan ada juga
yang dipulangkan ke negeri Belanda karena alasan kesehatan. Saat ini tinggal 2
orang yang masing-masing memiliki karakteristik serta cara yang berbeda namun
berdekatan letaknya yang mengemban misi yang berat serta memiliki tanggung
jawab besar terhadap keberhasilan misi.
B. Pertentangan Antara P. Hovenaars S.J. Dengan F. van Lith S.J.
Penugasan P. Hovenaars S.J. dan F. van Lith S.J. untuk berkarya di Jawa
menumbuhkan harapan besar bagi misi yang baru saja dimulai. Setelah beberapa
lama belajar di Semarang mengenai seluk beluk masyarakat Jawa mereka kini
mencoba berhadapan langsung untuk menjalankan misi melayani dan melebarkan
jalan menuju Allah. Meskipun mereka selalu bersama pada awal kedatangannya di
Jawa, namun mereka ketika berhadapan langsung dengan masyarakat Jawa terus
saja mengalami perbedaan-perbedaan yang mengarah pada pertentangan yang bisa
mencoreng karya misi mulai dari metode, jumlah babtisan, terjemahan doa Bapa
1. Masalah Metode
F. van Lith S.J. merupakan seorang yang istimewa. Beliau memiliki
penglihatan yang tajam dan tahan uji terhadap apa yang yang sedang beliau
hadapi. Masyarakat Jawa beruntung memiliki seorang misionaris seperti F. van
Lith S.J. karena beliau mampu mencetak orang-orang yang meresapi dan
menghayati dirinya. Orang yang beliau didik juga memiliki watak, kinerja dan
semangat seperti dirinya. Memang situasi di Jawa berbeda dengan masyarakat
Indonesia lainnya, sehingga dalam menjalankan misi seorang misionaris seperti
F. van Lith S.J. masih menerapkan metode yang bersifat eksperimental.20
Metode yang beliau terapkan pada awalnya adalah melakukan pengenalan
awal yang mendalam terhadap masyarakat setempat. Pengenalan mengenai
bahasa, cara hidup, kebutuhan pokok dan lain sebagainya sangat menentukan
pengambilan keputusan langkah apa yang nantinya akan ditempuh untuk
mensukseskan misi di Jawa. Sikap hati-hati dalam mendekati masyarakat Jawa
adalah cara yang paling baik dalam mensukseskanmisi di Jawa. Menyatu dengan
masyarakat Jawa adalah metode pendekatan yang paling cocok untuk
mensukseskan karya misionernya di Jawa. Hal inilah yang membedakan F. van
Lith S.J. dengan para misionaris sebelumnya dalam pelaksanaan misinya.
Tidak hanya membaur dengan masyarakat, F. van Lith S.J. juga
memikirkan bagaimana cara supaya orang Jawa dengan sendirinya menjadi orang
Katolik. Perbaikan ekonomi masyarakat Jawa adalah solusinya. Beliau berpikir
bahwa ketika segala macam kebutuhan pokok seperti pangan dan sandang
20
orang Jawa terpenuhi maka mereka akan mampu berfikir secara baik. Mereka
akan mampu menilai seperti apa ajaran Agama Katolik dan seperti apa sebenarnya
inti ajarannya. Masyarakat Jawa juga bisa melihat bahwa cinta kasih para
misionaris di Muntilan ibarat kasih seorang ayah terhadap anak-anaknya. Dengan
semacam sistem sewa tanah, klinik kesehatan gratis bagi masyarakat dan usaha
produksi anyam-anyaman bambu yang berwarna-warni, F. van Lith S.J. yakin bisa
memberikan peluang bagi masyarakat Jawa untuk lebih maju.
Pendidikan masyarakat pribumi menjadi cara yang efektif bagi
perkembangan misi. Sebenarnya pendidikan masyarakat pribumi sudah ada sejak
adanya karya misi di Jawa. Akan tetapi, yang membedakan dari misi sebelumnya
adalah F. van Lith S.J. tidak memanfaatkan langsung sekolah yang beliau dirikan
untuk sarana mentaubatkan dan membaptis murid-muridnya. Beliau lebih ingin
menunjukan bahwa karya misi adalah untuk mensejahterakan masyarakat pribumi.
Beliau berpendapat bahwa dengan adanya pendidikan terutama pendidikan guru
bantu yang beliau rintis masyarakat Jawa dan karya misi akan maju beberapa
tahap. Beliau mengupayakan semacam pabrik tikar dan semacam sistem sewa
tanah bagi petani di sekitar Muntilan. Selain itu, beliau juga ingin mendirikan
sekolah guru bantu di Muntilan. Dengan adanya sekolah guru bantu akan
mempermudah kegiatan misi dari guru-guru bantu yang telah diluluskan.
Setidaknya setelah muncul benih-benih guru di Jawa mereka akan punya inisiatif
sendiri untuk membangun pendidikan bagi kaum pribumi.
F. van Lith S.J. tidak puas dengan hanya pertobatan di berbagai tempat dan
mendidik calon pemimpin-pemimpin orang Jawa. Mereka yang lulus dari sekolah
yang beliau dirikan kelak akan menjadi kader-kader penerus perjuangannya.
Beliau mencanangkan dua prinsip yaitu pembentukan watak dan mental yang
diwujudkan bersama dengan pencetakan pemimpin-pemimpin. Untuk
merealisasikan hal tersebut F. van Lith S.J. menggunakan sekolah pribumi yaitu
Kweekschool dengan asrama yang dikelola oleh misionaris yang selanjutnya
berkembang dengan didirikannya sekolah bagi imam-imam pribumi.21
P. Hovenaars S.J. memiliki metode yang berbeda dengan metode yang
diterapkan oleh F. van Lith S.J. ketika berkarya diantara masyarakat Jawa. P.
Hovenaars S.J. tidak melakukan usaha untuk lebih mengenal masyaraka Jawa.
Beliau terlalu fokus pada upayanya untuk membaptis orang pribumi
sebanyak-banyaknya. Hal inilah yang menjadi alasan mendasar kenapa kelak karya P.
Hovenaars S.J. gagal. P. Hovenaars S.J. tidak paham mengenai bagaimana
karakter, kebiasaan, kebutuhan, dan tatacara hidup masyarakat Jawa.
P. Hovenaars S.J. sebenarnya juga memikirkan bagaimana cara supaya
masyarakat Jawa terlepas dari kemiskinan. Beliau mengupayakan adanya sebuah
kredit union yang diperuntukan bagi petani. Kredit union tersebut akan diberi
nama dengan Retnoguno. Selain itu, beliau juga memiliki cita-cita yang cukup
besar yaitu membangun sebuah pabrik tapioka, penggilingan padi dan pabrik
kacang. Untuk kemajuan dalam bidang kesehatan dan pendidikan beliau
menginginkan adanya sebuah rumah sakit dan sekolah kejuruan. Untuk
memajukan perkembangan misi beliau juga ingin membuat sekolah katekis di
21
Mendut supaya kelak para katekis yang telah lulus membantunya dalam
menjalankan misi di Jawa.
Di Mendut, P. Hovenaars S.J. juga mendirikan sekolah bagi kaum pribumi.
Akan tetapi, tujuan utama dari sekolah ini adalah supaya dia bisa membaptis
banyak anak dari sekolahnya. Beliau tidak memikirkan jauh kedepan bagaimana
kelak cara memajukan misinya di Mendut. Beliau tidak berusaha mencetak
calon-calon kader penerusnya yang berasal dari masyarakat pribumi. Sekolah yang
beliau kelola dipandang hanya sebatas umpan supaya masyarakat pribumi mau
masuk Agama Katolik.
Yang membedakan F. van Lith S.J. dengan P. Hovenaars S.J. adalah P.
Hovenaars S.J. tidak memikirkan segala macam tentang karakteristik orang-orang
Jawa waktu itu. Beliau hanya sebatas kenal dan tidak mendalami pola pikir dan
keinginan masyarakat Jawa waktu itu. Sebagai imbasnya adalah nantinya banyak
kejadian yang justru merugikan karyanya dan karya misi di Jawa. Sebagai contoh
adalah dimana banyak orang Katolik yang dibaptisnya hanya sekedar ingin
mendapatkan uang saja. Selain itu, P. Hovenaars S.J. juga tidak pernah berusaha
percaya pada orang lain. Beliau selalu ingin memperlihatkan kepada para
misionaris bahwa beliau mampu menjalankan karyanya seorang diri. Sebagai
contoh ketika beliau membuka sebuah klinik kesehatan, beliau mengurusinya
sendiri dengan mengesampingkan kegiatan lain dan sebagai akibatnya kegiatan
misi menjadi kacau dan banyak pekerjaan terbengkalai. Hal seperti inilah yang
ketulusan dalam berkarya, serta kerja keras akan menentukan keberhasilan dan
berkembangnya misi di Jawa.
2. Masalah Doa Bapa Kami
Pertentangan yang terjadi antara F. van Lith S.J. dengan P. Hovenaars S.J.
tidak hanya sebatas pada pertentangan mengenai metode saja. Keduanya juga
memperdebatkan mengenai siapa yang paling benar dalam menterjemahkan doa
Bapa Kami ke dalam Bahasa Jawa. Doa Bapa Kami dalam Bahasa Jawa
sebenarnya sudah ada sejak Gereja Kristen mulai berkembang di Indonesia.
Dalam hal ini P. Hovenaars S.J. maupun F. van Lith S.J. sependapat bahwa doa
Bapa Kami yang sudah ada tersebut sudah tidak layak lagi untuk dipakai pada
kegiatan misi mereka.
Dengan alasan tersebut, F. van Lith S.J. dan P. Hovenaars S.J.
masing-masing mencoba menterjemahkan kembali doa Bapa Kami ke dalam Bahasa
Jawa. Kedua misionaris tersebut menganggap bahwa terjemahan merekalah yang
paling benar. Pertentangan kemudian muncul antara Muntilan dan Mendut karena
perbedaan terjemahan doa Bapa Kami. Superior misi segera mengetahui akan
berita pertentangan tersebut. Superior misi tidak menginginkan adanya dua versi
doa Bapa Kami di Mendut dan Muntilan. Menurut pendapat Superior Misi,
perbedaan ajaran yang terjadi di Muntilan dan Mendut akan menimbulkan
kebingungan bagi para pengikutnya. Untuk itu, karya misi haruslah dimulai
dengan persatuan dan hal tersebut harus diawali di antara para misionaris itu
Perbedaan versi itu langsung tampak dalam pilihan kata tetapi pada sudut
pandang yang berbeda tentang penterjemahan itu sendiri. Tidak banyak
manfaatnya banyak menganalisa teks karena keduanya berpendapat bahwa
terjemahan mereka belum definitif dan baku. Di dalam alasan-alasan itulah
tercermin visi kedua belah pihak mengenai karya misi mereka. Visi karya misi
inilah yang paling penting untuk dibahas dan dipahami. Melalui visi dan misi
yang dipaparkan oleh P. Hovenaars S.J. maupun F. van Lith S.J. akan terlihat
bahwa F. van Lith S.J. lebih mengenal dan lebih memperjuangkan hak-hak kaum
pribumi.
Dalam menterjemahkan doa Bapa Kami dan doa-doa lain, F. van Lith S.J.
mempelajari berbagai kamus, paramasastra, terjemahan Kitab Suci, buku ngelmu
dan sebagainya. Beliau juga selalu belajar dengan orang-orang biasa maupun
pamong praja. Lebih dari 30 kali beliau pergi ke Solo dan Yogyakarta untuk
bertemu dengan beberapa pangeran untuk memperdalam pemahamannya tentang
tata cara orang Jawa dalam berkomunikasi dengan Yang Maha Kuasa. Dalam hal
ini P. Hovenaars S.J. berpendapat lain mengenai penggunaan Bahasa krama inggil
dalam doa Bapa Kami. Beliau berpendapat bahwa menggunakan kata-kata krama
dalam doa adalah semangat budak-belian. F. van Lith S.J. mencapai kesimpulan
bahwa penulisan dalam Bahasa Jawa krama inggil sama sekali tidak mentiadakan
hubungan cinta kasih dan kepercayaan di antara ayah dan anak. Menurutnya doa
Bapa Kami yang diterjemahkannya telah dicocokkan atau didasarkan pada konsep
tersebut tidak sebatas hanya di mulut saja tetapi haruslah sampai merasuk ke
dalam perasaannya.
Terjemahan “Bapa Kami” yang dibuat F. van Lith S.J. dengan ejaan jaman itu dan sesuai dengan konsep ungkapan perasaan orang Jawa tersebut berbunyi
sebagai berikut:
“Kandjeng Rama ing swargo. Soemonggo angloehoraken asmo dalem. Soemonggo andjomenengaken kraton dalem. Soemonggo sakarso dalem kaleksana ing donja kados ing swarga. Abdi dalem njadong paring dalem redjeki kangge sapoenika. Sakatahing dosa kawoela njowoen pangaksama dalem. Dene abdi dalem sampoen angapoenten lepatipoen sesami. Abdi dalem soepados lepat saking panggoda. Saha mardika saking pihawon. Amin.”22
Sementara itu, argumentasi P. Hovenaars S.J. mengenai terjemahan doa
Bapa Kami dan doa lainnya berpatokan pada praktek paling biasa di dalam Gereja
Katolik, yaitu selalu menterjemahkan doa-doa secara harafiah. Menterjemahkan
doa secara harafiah juga layak dilakukan oleh Gereja Protestan. Setia pada tradisi
tersebut P. Hovenaars S.J. juga menterjemahkan secara harafiah doa Bapa Kami
dari Bahasa Belanda. Beliau tetap berpedoman kepada tradisi tersebut. Perbedaan
pendapat ini secara langsung menghancurkan kerjasama antara P. Hovenaars S.J.
dengan F. van Lith S.J.23
Masalah mengenai perbedaan pendapat ini juga nantinya akan
terselesaikan dan pendapat F. van Lith S.J. dibenarkan oleh Provinsial dan
Superior misi. Dalam hal ini pemimpin misi melihat dari sudut pandang lain yaitu
lewat argumentasi-argumentasi yang dikirimkan oleh kedua misionaris yang
berselisih paham. P. Hovenaars S.J. selalu menyudutkan dan ingin menunjukan
kebenaran atas apa yang telah beliau lakukan. Superior misi terkadang
22 TIM K.A.S, Garis-Garis Besar Sejarah Gereja Katolik Keuskupan Agung Semarang, Semarang, Keuskupan Agung Semarang, 1991, hlm. 24-25.
23
menganggap bahwa apa yang diungkap oleh P. Hovenaars S.J. merupakan sikap
kasar yang sudah di luar batas kewajaran.
Dalam menyikapi masalah ini F. van Lith S.J. selalu bersikap legowo,
kesatria dan sabar untuk menanggapi kritik yang tidak berdasar dari sesama rekan
kerjanya. F. van Lith S.J. tidak pernah membalas dengan menjelek-jelekan P.
Hovenaars S.J. akan tetapi beliau lebih banyak menjelaskan bagaimana penerapan
metodenya. Secara tidak langsung sikap kasar yang diperlihatkan oleh P.
Hovenaars S.J. tersebut justru semakin menjauhkan kepercayaaan pemimpin misi
kepadanya. Justru dengan sikap kesatria yang ditunjukan oleh F. van Lith S.J.
akan membawanya pada rasa hormat dan penghargaan dari sesama misionaris dan
para pemimpin misi. Keberhasilan karya misionernya di Jawa juga menjadi buah
manis atas usaha dan kerja kerasnya.24
Metode semacam ini ditentang oleh P. Hovenaars S.J. karena tidak
mungkin mendirikan sebuah sekolah di Muntilan. Alasan kenapa beliau
berpendapat bahwa di Muntilan tidak cocok adalah karena di sana sudah ada
sekolah negeri dan di sana berdekatan dengan pesantren. Beliau khawatir jika
dengan adanya sekolah Katolik di Muntilan justru akan menghambat
perkembangan misi karena bersinggungan dengan masyarakat pribumi yang
berkeyakinan lain. Ketakutan akan terulang kembalinya kejadian seperti ketika
Pangeran Diponegoro menentang kekuasaan Belanda. Selain itu, beliau juga
meyakini bahwa sekolah dengan asrama terkesan semacam pemborosan anggaran
untuk kegiatan misi dan hanya menghabiskan dana untuk karya misi karena harus
24
digunakan untuk membangun gedung sekolah dan asrama serta kebutuhan
pengajaran lainya.
3. Masalah Jumlah Baptisan
Setelah mengalami kontak langsung dengan masyarakat Jawa, baik F. van
Lith S.J. maupun P. Hovenaars S.J. mulai menyadari bahwa hampir seluruh
masyarakat Jawa hidupnya hanya bergantung pada apa yang dihasilkan dari sawah
atau ladang mereka. Tidak mengherankan jika kedua misionaris tersebut
mngawali karya mereka dengan berpangkal pada apa yang menjadi kebutuhan
pokok para penduduk Jawa. Meskipun mereka sadar bahwa apa yang mereka
lakukan intinya sama untuk memajukan para penduduk Jawa, tetapi terkadang
malah menjurus pada persaingan yang tidak sehat, kesalahpahaman, dan rasa
cemburu yang berlebihan terutama dari P. Hovenaars S.J.
Pada akhir tahun 1898, dalam surat F. van Lith S.J. kepada Provinsial
beliau melukiskan keprihatinannya mengenai keadaan masyarakat Jawa dan
melukiskan program yang ada di benaknya. Beliau ingin memperbaiki taraf hidup
masyarakat Jawa dengan mengajak membuat semacam tikar warna-warni. Beliau
berpendapat bahwa yang harus didahulukan adalah memperbaiki taraf hidup
masyarakat Jawa. Hasil yang didapat dari penjualan tikar tersebut digunakan
untuk mencukupi kebutuhan mereka.
Isi surat P. Hovenaars S.J. sedikit berbeda dengan apa yang diutarakan
oleh F. van Lith S.J. Beliau mengisahkan bagaimana perkembangan karyanya
yang tidak hanya sebatas di Mendut tetapi juga hingga menjangkau daerah Baran
depan misi Jawa akan berpusat di kedua daerah tersebut karena melihat dari
perkembangan jumlah baptisan yang semakin bertambah banyak. P. Hovenaars
S.J. mengungkapkan bahwa beliau sudah mengunjungi Baran Kiringan sebanyak
empat kali. Setiap kali beliau datang selalu membaptis dan memberkati
perkawinan masyarakat di sana. Pada akhir kunjungan tepatnya pada tanggal 1
November 1989, beliau sudah membaptis sepuluh orang dan memberkati tiga
perkawinan. Kemudian, ada sekitar 60 orang menunggu untuk dibaptis oleh P.
Hovenaars S.J.25
Semakin lama tinggal di tengah-tengah masyarakat Jawa semakin
menguatkan keinginan F. van Lith S.J. untuk menolong mereka. Akan tetapi, F.
van Lith S.J. sangat menyadari bahwa beliau perlu meyakinkan Mgr. E. Luypen
S.J. dan Superior Misi alasan mengapa tidak cukup banyak baptisan di stasi
Muntilan. Sejauh itu F. van Lith S.J. hanya sebatas membaptis anak-anak yang
sudah dalam kondisi hahaya maut. Dalam suratnya kepada Vikaris di Batavia,
beliau menulis bahwa membaptis orang dewasa tidak dapat dilakukan
tergesa-gesa dan membutuhkan waktu bertahun-tahun:
“Masyarakat pedesaan memerlukan dua hal yaitu makanan dan pakaian. Setelah kedua kebutuhan tersebut terpenuhi barulah mereka bisa mulai berpikir dengan baik. Merupakan suatu hal yang mustahil jika kegiatan misi mengharuskan kita para misonaris memberikan makanan dan pakaian kepada mereka semua. Tetapi memang kita haruslah berbuat sesuatu sejauh kita mampu karena pewartaan kabar gembira tergantung pada hal tersebut. Soal pokok adalah bahwa di manapun seorang misionaris ditugaskan, sesudah satu tahun, diharapkan ia telah melakukan banyak pembaptisan orang pribumi. Saya sangat menyadari permasalahan tersebut. Tetapi, untuk misi di Jawa, membaptis sejumlah besar orang yang tidak sungguh-sungguh bertobat hanyalah sebuah petualangan. Membaptis banyak orang itu dapat diprogramkan. Cukuplah masuk ke wilayah dari beberapa desa yang ingin menjadi Kristen dan kemudian semangat Kristiani ditanamkan pelan-pelan. Meskipun demikian, semangat Kristiani lahir hanya dengan kesabaran dan dalam hitungan tahun.26
25 Ibid., hlm. 125.
26
Posisi dimana F. van Lith S.J. yang terkesan mempersulit dalam
membaptis masyarakat pribumi tidak hanya ditentang oleh P. Hovenaars S.J. saja
tetapi juga sebagian besar misionaris. Para misionaris berpendapat bahwa
keberhasilan misi ditentukan oleh banyaknya jumlah orang pribumi yang dibaptis.
Seperti apa yang telah diutarakan dalam suratnya kepada Vikaris, bahwa misi
haruslah tidak hanya sebatas mengkristenkan orang pribumi saja melainkan
mensejahterakan mereka. F. van Lith S.J. banyak berkeliling dari satu desa ke
desa lain untuk melihat, belajar, dan mencari tahu apa yang menjadi keprihatinan
serta apa yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat Jawa pada waktu itu. Dari apa
yang telah beliau temukan kemudian beliau menyimpulkan bahwa pendidikan
anak-anak pribumi adalah yang sangat dibutuhkan oleh mereka. P. Hebrans S.J.
mungkin satu-satunya yang sependapat dengan F. van Lith S.J. Dukungan
terhadap apa yang menjadi gagasan F. van Lith S.J. tersebut tertulis dalam
suratnya kepada Mgr. E. Luypen S.J. untuk membela F. van Lith S.J. dari
penilaian yang tidak adil dari misionaris lain. Beliau mengutarakan bahwa sudah
benar apa yang dilakukan oleh F. van Lith S.J. Langkah yang ditempuh oleh F.
van Lith S.J. sudah benar dengan tidak tergesa-gesa membaptis orang pribumi.
Hal yang ditakutkan adalah jika yang terjadi adalah orang pribumi hanya mau
dibaptis karena adanya motif uang dan kesejahteraan. Oleh karena itu dalam hal
jumlah baptisan F. van Lith S.J. kalah banyak dibandingkan dengan P. Hovenaars
dipaksa secara otomatis banyak dari kalangan pribumi akan meminta para untuk
membaptis mereka.27
Dukungan dari sesama misionaris kiranya juga belum cukup untuk
meyakinkan bahwa karya F. van Lith S.J. akan berhasil. Butuh bukti nyata dari
karya F. van Lith S.J. Untuk menjawab persoalan tersebut F. van Lith S.J. pada
tahun 1901 mengirimkan surat kepada Mgr. E. Luypen S.J. mengenai
perkembangan jumlah umat yang menerima pelajaran agama di sekitar Muntilan:
Sekarang saya ingin memberitahukan bahwa ada dua desa yang secara eksplisit meminta saya memberikan pelajaran agama. Yang satu berpenduduk sekitar 1.400, sedang satunya sekitar 700. Meskipun demikian saya masih harus tetap hati-hati dalam hal ini karena orang Jawa itu tidak dapat dipahami hanya pada tindakan-nya. Maka info ini sama sekali tidak mau mengatakan bahwa mereka ingin memeluk agama kita. Diperlukan jalan yang panjang dan persiapan yang lama untuk menjadi benar-benar seorang Katolik.28
Sekitar tahun 1903, Mgr. E. Luypen S.J. dan Superior Misi mengunjungi
Muntilan untuk melihat langsung perkembangan karya yang dilakukan oleh F. van
Lith S.J. Mgr. E. Luypen S.J. dan Superior Misi ragu akan kelanjutan karya misi
di Muntilan. Kedua pemimpin misi di Jawa tersebut menyatakan bahwa ada
kemungkinan misi di Muntilan akan ditutup. Hal tersebut memunculkan
kesedihan yang mendalam dalam diri F. van Lith S.J. Meskipun demikian, F. van
Lith S.J. tetap berusaha sekuat tenaga mempertahankan apa yang sudah beliau
bangun.
Pendapat dari kedua petinggi misionaris tersebut tidak bisa lepas dari
berkembang pesatnya misi di Mendut yang ditangani oleh P. Hovenaars S.J.
Jumlah baptisan yang banyak menjadikan penilaiaan terhadap misi di Mendut
lebih berhasil dibandingkan di Muntilan. Akan tetapi perlu dilihat bahwa nantinya
27 Ibid., hlm. 127.
28
misi di Mendut justru yang akan dibubarkan karena terkuaknya kesalahan fatal
yang dilakukan oleh P. Hovenaars S.J. terhadap wewenang yang sudah beliau
peroleh. Selain itu, di saat yang tepat muncul setitik harapan bagi kembalinya
kepercayaan terhadap F. van Lith S.J. setelah kedatangan para penduduk di sekitar
Kulon Progo yang memintanya untuk memberikan pengajaran agama.
Pada tahun 1904 katekis Jawa yang bernama Andreas Manase yang satu
angkatan dengan Katekis Vrede yang telah dipecat sebelumnya, dengan bersama
lima orang tetua dari Kulon Progo meminta F. van Lith S.J. memberikan
pengajaran Agama Katolik kepada mereka. Salah satu dari mereka adalah Daud
yang dulunya adalah seorang pengikut Sadrach dan misionaris Wilhelm.
Bersamaan dengan Daud ada empat orang pemimpin atau sering disebut dengan
istilah bekel datang ke Muntilan untuk menemui F. van Lith S.J. Peristiwa inilah
yang akan membuka pandangan para misionaris bahwa misi F. van Lith S.J.
menuju ke arah keberhasilan dan tentunya karya misi berkembang di Jawa.
Mereka secara umum disebut dengan orang-orang Kristen dari
Kalibawang seturut dengan nama distrik di mana mereka tinggal. Wilayah
tersebut berada di sisi Barat Sungai Progo. Salah satu dari antara mereka yang
terkenal dari keempat orang yang berada di bawah bimbingan Daud dan meminta
masuk Agama Kristen adalah Barnabas Sarikrama, yang berasal dari kampung
Semagung serta seorang yang bernama Abraham menjadi kepala kampung
tersebut. Semagung kelak akan menjadi pusat untuk orang-orang Katolik di
wilayah itu, karena di sana ada Gua Lourdes yang diresmikan pada tanggal 8