12 2.1 Landasan Teori
2.1.1 Akuntabilitas
2.1.1.1 Pengertian Akuntabilitas
Dalam dunia birokrasi, akuntabilitas suatu instansi pemerintah itu merupakan perwujudan kewajiban instansi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi instansi bersangkutan. Asas akuntabilitas menetapkan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam suatu negara. Ada beberapa definisi tentang akuntabilitas di antaranya adalah:
Menurut Mardiasmo (2009:20), akuntabilitas publik adalah kewajiban pihak pemegang amanah untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggungjawabnya kepada pihak pemberi amanah (principal) yang memiliki hak dan kewenangan untuk menerima pertanggungjawaban tersebut.
Menurut Pedoman Penguatan Pengamanan Program Pembangunan Daerah Bappenas & Depdagri (2002:19) Akuntabilitas publik adalah “Prinsip yang menjamin bahwa setiap kegiatan penyelenggaraan pemerintahan dapat dipertanggung jawabkan secara terbuka oleh pelaku kepada pihak-pihak yang terkena dampak penerapan kebijakan”.
Menurut Mahmudi (2011:18), “akuntabilitas publik adalah kewajiban pemegang amanah (agent) untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggungjawabnya kepada pihak pemberi amanah (principal) yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban tersebut.” Dari pengertian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa akuntabilitas publik adalah suatu pertanggungjawaban kepada masyarakat atau lembaga-lembaga yang bersangkutan dalam menjalankan aktifitasnya atau tanggung jawabnya.
2.1.1.2 Sifat Akuntabilitas
Laporan keuangan pemerintah harus menyediakan informasi yang dapat dipakai oleh pengguna laporan keuangan untuk menilai akuntabilitas pemerintahan dalam membuat keputusan ekonomi, sosial dan politik. Akuntabilitas diartikan sebagai hubungan antara pihak yang memegang kendali dan mengatur entitas dengan pihak yang memiliki kekuatan formal atas pihak pengendali tersebut. Dalam hal ini dibutuhkan juga pihak ketiga yang accountable untuk memberikan penjelasan atau alasan yang masuk akal terhadap seluruh kegiatan yang dilakukan dan hasil usaha yang diperoleh sehubungan dengan pelaksanaan suatu tugas dan pencapaian suatu tujuan tertentu.
Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan, akuntabilitas pemerintah tidak dapat diketahui tanpa pemerintah memberitahukan kepada rakyat tentang informasi sehubungan dengan pengumpulan sumber daya dan sumber dana masyarakat beserta penggunaannya. Akuntabilitas dapat dipandang dari berbagai perspektif. Dari perspektif akuntansi, American Accounting Association
menyatakan bahwa akuntabilitas suatu entitas pemerintahan dapat dibagi dalam empat kelompok, yaitu akuntabilitas terhadap:
1. Sumber daya financial
2. Kepatuhan terhadap aturan hukum dan kebijaksanaan administrative 3. Efisiensi dan ekonomisnya suatu kegiatan
4. Hasil program dan kegiatan pemerintah yang tercermin dalam pencapaian tujuan, manfaat dan efektivitas.
Sedangkan dari perspektif fungsional, akuntabilitas dilihat sebagai suatu tingkatan dengan lima tahap yang berbeda yang diawali dari tahap yang lebih banyak membutuhkan ukuran-ukuran obyektif (legal compliance) ke tahap yang membutuhkan lebih banyak ukuran-ukuran subyektif . Tahap-tahap tersebut adalah:
1. Probity and legality accountability Hal ini menyangkut pertanggungjawaban penggunaan dana sesuai dengan anggaran yang telah disetujui dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (compliance).
2. Process accountability Dalam hal ini digunakan proses, prosedur, atau ukuran-ukuran dalam melaksanakan kegiatan yang ditentukan (planning,allocating and managing).
3. Performance accountability Pada level ini dilihat apakah kegiatan yang dilakukan sudah efisien (efficient and economy).
4. Program accountability Di sini akan disoroti penetapan dan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan tersebut (outcomes and effectiveness).
5. Policy accountability Dalam tahap ini dilakukan pemilihan berbagai kebijakan yang akan diterapkan atau tidak (value).
Akuntabilitas pemerintahan di negara yang menganut paham demokrasi sebenarnya tidak lepas dari prinsip dasar demokrasi yaitu kedaulatan adalah di tangan rakyat. Pemerintahan demokrasi menjalankan dan mengatur kehidupan rakyat dalam bernegara dengan mengeluarkan sejumlah aturan serta mengambil dan menggunakan sumber dana masyarakat. Pemerintah wajib memberikan pertanggungjawabannya atas semua aktivitasnya kepada masyarakat. Seiring dengan meningkatnya aktivitas pemerintah dalam pengaturan perdagangan dan industri, perlindungan hak asasi dan menciptakan system pertanggungjawaban pemerintah yang lebih komprehensif. Sistem tersebut antara lain meliputi sistem anggaran pendapatan dan belanja, organisasi pelayanan pemerintah, manajemen wilayah yang profesional serta pengembangan praktik akuntansi dan pelaporan keuangan.
Ternyata dalam pelaksanaannya, keingintahuan masyarakat tentang akuntabilitas pemerintahan tidak dapat dipenuhi hanya dengan informasi keuangan saja. Masyarakat ingin tahu lebih jauh apakah pemerintah yang dipilihnya telah beroperasi dengan ekonomis, efisien dan efektif. Beberapa teknik yang dikembangkan untuk memperkuat sistem akuntabilitas sangat dipengaruhi oleh metode yang banyak dipakai dalam akuntansi, manajemen dan riset seperti
management by objectives, anggaran kinerja, riset operasi, audit kepatuhan dan kinerja, akuntansi biaya, analisis keuangan dan survey yang dilakukan terhadap masyarakat sendiri. Teknik-teknik tersebut tentunya juga dipakai oleh pemerintah sendiri untuk meningkatkan kinerjanya.
2.1.1.3 Ciri-Ciri Pemerintahan Yang akuntabel
Finner dalam Widodo (2011) menjelaskan akuntabilitas sebagai konsep yang berkenaan dengan standar eksternal yang menentukan kebenaran suatu tindakan borokrasi. Pengendalian dari luar (external control) menjadi sumber akuntabilitas yang memotivasi dan mendorong aparat untuk bekerja keras. Masyarakat luas sebagai penilai objektif yang akan menentukan accountable atau tidaknya sebuah birokrasi.
Terdapat beberapa ciri pemerintahan yang accountable di antaranya sebagai berikut :
1. Mampu menyajikan informasi penyelenggaraan pemerintah secara terbuka, cepat, dan tepat kepada masyarakat.
2. Mampu memberikan pelayanan yang memuaskan bagi publik.
3. Mampu menjelaskan dan mempertanggungjawabkan setiap kebijakan publik secara proposional.
4. Mampu memberikan ruang bagi masyarakat untuk terlibat dalam proses pembangunan dan pemerintahan.
5. Adanya sasaran bagi public untuk menilai kinerja (performance) pemerintah. Dengan pertanggungjawaban publik, masyarakat dapat menilai derajat pencapaian pelaksanaan program/kegiatan pemerintah.
2.1.1.4 Macam Akuntabilitas
Dalam Akuntabilitas publik ada dua macam akuntabilitas diantaranya Akuntabilitas Vertikal (vertical accountability) dan Akuntabilitas Horizontal (horizontal accountability) yang mempunyai definisi sebagai berikut:
1. Akuntabilitas Vertikal (vertical accountability)
Pertanggungjawaban vertikal (vertical accountability) adalah pertanggungjawaban atas pengelolaan dana kepada otoritas yang lebih tinggi, misalnya pertanggungjawaban unit – unit kerja (dinas) kepada pemerintah daerah, pertanggungjawaban pemerintah daerah kepada pemerintah pusat, dan pemerintah pusat kepada MPR.
2. Akuntabilitas Horizontal (horizontal accountability)
Pertanggungjawaban horizontal (horizontal accountability) adalah pertanggung jawaban pada masyarakat luas.
2.1.1.5 Dimensi Akuntabilitas
Dimensi akuntabilitas yang harus dipenuhi oleh lembaga-lembaga publik tersebut antara lain (Hopwood dan Tomkins, 1984, Elwood, 1993 dalam Mahmudi (2011:19)):
1. Akuntabilitas hukum dan kejujuran
Akuntabilitas hukum dan kejujuran adalah akuntabilitas lembaga-lembaga publik untuk berprilaku jujur dalam bekerja dan menaati ketentuan hukum yang berlaku. Penggunaan dana publik harus dilakukan secara benar dan telah mendapatkan otorisasi. Akuntabilitas hukum berkaitan dengan kepatuhan terhadap hukum dan peraturan lain yang
disyaraktan dalam menjalankan organisasi, sedangkan akuntabilitas kejujuran berkaitan dengan penghindaran penyalahgunaan jabatan (abuse of power), korupsi dan kolusi. Akuntabilitas hukum menuntut penegakan hukum (law enforcement), sedangkan akuntabilitas kejujuran menuntut adanya praktik organisasi yang sehat tidak terjadi malpraktek dan maladministrasi.
2. Akuntabilitas Proses (process accountability)
Akuntabilitas proses terkait dengan prosedur yang digunakan dalam melaksanakan tugas sudah cukup baik dalam hal kecukupan sistem informasi akuntansi, system informasi manajemen, dan prosedur administrasi. Akuntabilitas proses termanifestasikan melalui pemberian pelayanan publik yang cepat responsif, dan biaya yang murah.
3. Akuntabilitas program (program accountability)
Akuntabilitas program berkaitan dengan pertimbangan apakah tujuan yang ditetapkan dapat dicapai atau tidak, dan apakah organisasi telah mempertimbangkan alternatif program yang memberikan hasil yang optimal dengan biaya yang minimal. Lembaga-lembaga publik harus mempertanggungjawabkan program yang telah dibuat sampai pada pelaksanaan program. Dengan kata lain akuntabilitas program berarti bahwa program-program organisasi hendaknya merupakan program yang bermutu yang mendukung strategi dan pencapaian misi, visi, dan tujuan organisasi.
4. Akuntabilitas kebijakan (policy accountability)
Akuntabilitas kebijakan terkait dengan pertanggungjawaban lembaga publik atas kebijakan-kebijakan yang diambil. Lembaga-lembaga publik hendaknya dapat mempertanggungjawabkan kebijakan yang telah ditetapkan dengan mempertimbangkan dampak dimasa depan. Dalam membuat kebijakan harus mempertimbangkan apa tujuan kebijakan tersebut, mengapa kebijakan itu diambil, siapa sasarannya, pemangku kepentingan (stakeholder) mana yang akan terpengaruh dan memperoleh manfaat dan dampak (negatif) atas kebijakan tersebut.
2.1.1.6 Indikator Akuntabilitas
Dari dimensi akuntabilitas yang telah di jelaskan dan disebutkan di atas yang bersumber dari Hopwood dan Tomkins, 1984, Elwood, 1993 dalam Mahmudi (2011:19) dimensi tersebut dapat di turunkan menjadi indikator akuntabilitas adalah sebagai berikut:
1. Akuntabilitas Hukum dan Kejujuran a. Kepatuhan terhadap hukum. b. Penghindaran korupsi dan kolusi. 2. Akuntabilitas Proses
a. Adanya Kepatuhan terhadap Prosedur. b. Adanya pelayanan publik yang responsif. c. Adanya pelayanan publik yang cermat.
3. Akuntabilitas program:
a. Alternatif program yang memberikan hasil yang optimal. b. Mempertanggungjawabkan yang telah dibuat.
4. Akuntabilitas Kebijakan
a. Mempertanggungjawabkan kebijakan yang telah diambil. b. Mempertimbangkan dampak di masa depan
2.1.2 Transparansi
Transparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga, dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau. Ada beberapa pengertian tentang transparansi publik yaitu :
Transparansi adalah memberikan informasi yang terbuka dan jujur kepada masyarakat berdasarkan pertimbangan bahwa masyarakat memiliki hak untuk mengetahui secara terbuka dan menyeluruh atas pertanggungjawaban pemerintah dalam pengelolaan sumber daya yang dipercayakan kepadanya dan ketaatannya pada peraturan perundang- undangan (KK, SAP,2005).
Transparansi adalah bahwa prosedur atau tata cara, penyelengaraan pemerintahan dan hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan umum wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta. (Ratminto dan Atik Septi Winarsih;2009)
Transparansi menurut Marisi Purba (2012:24) adalah keterbukaan informasi baik dalam pengambilan keputusan maupun pengungkapan informasi yang material dan yang relevan dengan perusahaan. Selain itu Transparansi menurut Mahmudi (2011:17) yaitu keterbukaan organisasi dalam memberikan informasi yang terkait dengan aktivitas pengelolaan sumber daya publik kepada pihak-pihak yang menjadi pemangku kepentingan.
Transparansi adalah prinsip yang menjamin akses atau kebebasan setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan, proses pembuatan dan pelaksanaannya, serta hasil-hasil yang dicapai (Buku Pedoman Penguatan Pengamanan Program Pembangunan Daerah, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional & Departemen Dalam Negeri, 2002:18)
Menurut Andrianto (2007:20) Transparansi adalah “Keterbukaan secara sungguh-sungguh, menyeluruh, dan memberi tempat bagi partisipasi aktif dari seluruh lapisan masyarakat dalam proses pengelolaan sumber daya publik.”
Menurut Hafiz (2000:40) Transparansi adalah “Keterbukaan dan kejujuran kepada masyarakat berdasarkan pertimbangan bahwa masyarakat memiliki hak untuk mengetahui secara terbuka dan menyeluruh atas pertanggung jawaban pemerintahan dalam sumber daya yang di percayakan kepadanya dan ketaatannya pada peraturan perundang-undangan .”
Sedangkan menurut Mardiasmo (2002:6), “transparansi yaitu keterbukaan pemerintah dalam membuat kebijakan-kebijakan keuangan daerah sehingga dapat diketahui dan diawasi oleh DPRD dan masyarakat”.
Dari definisi di atas penulis dapat menarik kesimpulan bahwa Transparansi merupakan keterbukaan pemerintah kepada masyarakat untuk mengakses informasi berdasarkan pertimbangan bahwa masyarakat memiliki hak untuk mengetahui secara terbuka dan menyeluruh atas pertanggung jawaban pemerintah tersebut.
2.1.2.1 Indikator Transparansi
Prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi mengenai kebijakan, proses pembuatan, pelaksanaan, dan hasil yang dicapai. Prinsip ini menekankan kepada 2 aspek:
a. Komunikasi publik oleh pemerintah. b. Hak masyarakat terhadap akses informasi.
Menurut Krina (2003:17) Indikator-indikator dari Transparansi adalah sebagai berikut :
1. Penyediaan informasi yang jelas tentang tanggung jawab. 2. Kemudahan akses informasi.
3. Menyusun suatu mekanisme pengaduan jika ada peraturan yang dilanggar atau permintaan untuk membayar uang suap.
4. Meningkatkan arus informasi melalui kerjasama dengan media massa dan lembaga non pemerintah
Tabel 2.1. Indikator & Alat Ukur Prinsip : Transparansi DEFINISI (Konseptual &
Operasional)
INDIKATOR ALAT UKUR
1. Holders of public office should be as open as possible about all the decisions and actions that they take. They should give reasons for their decisions and restrict information only when the wider public interest clearly demands (Martin Minogue, artikel “The management of public change: from „old public administration‟ to „new public management‟ dalam “Law &
Governance” Issue I, British Council Briefing.
Informasi dan keterbukaan ini mencakup: a. memberikan fakta dan analisis
tentang keputusan-keputusan kebijakan
b. menjelaskan alasan-alasan dari keputusan-keputusan
administratif
c. membuka informasi “guidelines internal” tentang cara-cara bagian tersebut berhubungan dengan publik
d. menyediakan informasi tentang biaya, target dan performansi dari pelayanan publik, dan prosedur-prosedur untuk mengeluh dan mengadu
e. memenuhi permintaan informasi khusus
2. Transparansi didapat melalui “setting Unambiguous rules on what is expected of public employees in order to resolve this conflicting situation.”
Put stated standards into practice by : a. socialization : communication
training and counseling
b. enforcement : disclosure systems detecting and punishing those who do not comply with the stated standards
(Evelyn Levy, Forum on Ensuring Accountability and Transparency in the Public Sector, Brasilia, 2001)
1. Penyediaan informasi yang jelas tentang prosedur-prosedur, biaya-biaya, dan tanggung jawab 2. Kemudahan akses informasi 3. Menyusun suatu mekanisme pengaduan jika ada peraturan yang dilanggar atau
permintaan untuk membayar uang suap 4. Meningkatkan arus informasi melalui kerjasama dengan media massa dan lembaga non pemerintahan
Publikasi kebijakan publik melalui alat-alat komunikasi: - annual reports - brosur - leaflet - pusat informasi - telepon bebas pulsa - liputan media
- iklan layanan masyarakat - website
- papan pengumuman - Koran lokal
Informasi yang disajikan : - acuan pelayanan
- perawatan data
- laporan kegiatan publik - prosedur keluhan Penanganan keluhan : - berita-berita kota di media massa dan local
- notice of response - personil
- limit waktu respon - opinion pools & survey tentang isu-isu kebijakan public
- komentar & catatan untuk draft kebijakan & peraturan - service users surveys Institusi dan organisasi daerah: - Bawasda - Kantor PMD/BPM - kantor Humas - Dinas Kominfo - Forum Lintas Pelaku pertemuan masyarakat mimbar rakyat
DEFINISI (Konseptual & Operasional)
INDIKATOR ALAT UKUR
3.Transparansi merujuk pada
ketersediaan informasi pada masyarakat umum dan kejelasan (clarity) tentang peraturan, undang-undang, dan keputusan pemerintah
Indikatornya :
a. akses pada informasi yang akurat dan tepat waktu (accurate & timely) tentang kebijakan ekonomi dan pemerintahan yang sangat penting bagi pengambilan keputusan ekonomi oleh para pelaku swasta. Data tersebut harus bebas didapat dan siap tersedia (freely & readily available)
b. Aturan dan prosedur yang “simple, straightforward and easy to apply” untuk mengurangi perbedaan dalam interpretasi (Asian Development Bank, “Governance: Sound Development Management, 1999 : hal 7 -13)
4. Menurut Transparency International, undang-undang Freedom of Information (FOI) bukan hanya mengatur tentang hak public untuk mengakses informasi tetapi juga menekankan pada obligasi pemerintah untuk memfasilitasi akses tersebut. Undang-undang ini memuat aturan bahwa sebuah kantor
pemerintahan harus mempublikasikan informasi yang berhubungan dengan :
a. struktur, fungsi dan operasi b. kinerja yang dihasilkan oleh
organisasi tersebut c. rancangan akses
d. prosedur internal yang digunakan oleh kantor tersebut dalam melakukan pelayanan 5. Openness about policy intentions,
formulations and implementations. (Organization for Economic C0 operation and Development) 6. Access to information is the ability
DEFINISI (Konseptual & Operasional)
INDIKATOR ALAT UKUR
citizens to obtain information about the past, present, and future activities of the state. The phrase “freedom of information” is also widely used when referring to the ability of individuals to gain access to information in the possession of the state. Access to information is fundamentally about the quality of information available from the state, not the quantity. It has been argued that access to information is an essential element of democratic government. That is, for democracy to flourish, citizens must be adequately informed about the operations and policies of their government. (Nikhil Dey, dikutip oleh Dr. Gopakumar Krishnan, Public Affairs Centre Bangalore, dalam paper “Increasing Information Access to Improve Political Accountability & Participation: Mapping Future Actions in Asia Pacific, disajikan dalam Asia Pasific Regional Workshop,10-th IACC, Prague, 10 Oktober 2001)
7. Keterbukaan informasi yang berkenaan dengan perencanaan, penganggaran, dan monitoring serta evaluasi program, yang mudah diakses oleh masyarakat pada umumnya dan kalangan marjinal dan perempuan pada khususnya. (Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia).
8. Transparansi adalah prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan proses pembuatan dan pelaksanaannya serta hasil-hasil yang dicapai (Buku Pedoman Penguatan Pengamanan Program Pembangunan Daerah, Bappenas dan Depdagri 2002, hal 18)
2.1.3 Peran Inspektorat
Salah satu unit yang melakukan audit/pemeriksaan terhadap pemerintah daerah adalah inspektorat daerah. Inspektorat daerah mempunyai tugas menyelenggarakan kegiatan pengawasan umum pemerintah daerah dan tugas lain yang diberikan kepada daerah, sehingga dalam tugasnya inspektorat sama dengan auditor internal.
Peran dan Fungsi Inspektorat provinsi, kota/kabupaten secara umum diatur dalam pasal 4 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 64 tahun 2007. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas pengawasan urusan pemerintah, inspektorat provinsi, kota/kabupaten mempunyai fungsi sebagai berikut:
1. Perencanaan program pengawasan
2. Perumusan kebijakan dan fasilitas pengawasan
3. Pemeriksaan, pengusutan, pengujian dan penilaian tugas pengawasan. Pengawasan intern pemerintah merupakan fungsi manajemen yang penting dalam penyelenggaraan pemerintahan. Melalui pengawasan intern dapat diketahui apakah suatu instansi pemerintah telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan tugas dan fungsinya secara efektif dan efisien, serta sesuai dengan rencana, kebijakan yang telah ditetapkan, dan ketentuan. Selain itu, pengawasan intern atas penyelenggaraan pemerintahan diperlukan untuk mendorong terwujudnya good governance dan clean government dan mendukung penyelenggaraan pemerintahan yang efektif, efisien, transparan, akuntabel serta bersih dan bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (PERMENPAN No 5 tahun 2008).
Pasal 47 Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah menyatakan bahwa untuk memperkuat dan menunjang efektivitas Sistem Pengendalian Intern dilakukan pengawasan intern atas penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah termasuk akuntantabilitas keuangan Negara. Selanjutnya PP 60/2008 tersebut menyatakan bahwa pengawasan intern tersebut dilakukan oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) yang mempunyai tugas pokok dan fungsi melakukan pengawasan, dan terdiri atas:
1. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang bertanggung jawab kepada Presiden
2. Inspektorat Jenderal (Itjen)/Inspektorat Utama (Ittama)/Inspektorat yang bertanggung jawab kepada Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND)
3. Inspektorat Pemerintah Provinsi yang bertanggung jawab kepada Gubernur 4. Inspektorat Pemerintah Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab kepada
Bupati/Walikota.
Fungsi pemeriksaan intern merupakan suatu fungsi penilaian yang independen dalam suatu organisasi untuk menguji dan mengevaluasi kegiatan organisasi yang dilakukan (Boynton, 2006). Untuk meningkatkan kinerja instansi pemerintah, Audit Kinerja merupakan pengujian sistematis, terorganisasi, dan objektif atas suatu entitas untuk menilai pemanfaatan sumber daya dalam
memberikan pelayanan publik secara efisien dan efektif dalam memenuhi harapan stakeholder dan memberikan rekomendasi (Ulum, Ihyaul; 2009).
Menurut Tugiman (2006:11) Internal Auditing atau pemeriksaan internal adalah suatu fungsi penilaian yang independen dalam suatu organisasi untuk menguji dan mengevaluasi kegiatan organisasi yang dilaksanakan. Tujuan pemeriksaan internal adalah membantu para anggota organisasi agar dapat melaksanakan tanggung jawabnya secara efektif.
Salah satu faktor utama yang dapat menunjang keberhasilan pelaksanaan pengendalian adalah efektivitas peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP). Untuk itu, APIP harus terus melakukan perubahan dalam menjalankan proses bisnis guna memberi nilai tambah bagi kementerian negara/lembaga dan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hal ini sejalan dengan peran pengawasan intern untuk mendorong peningkatan efektivitas manajemen risiko (risk management), pengendalian (control) dan tata kelola (governance) organisasi. APIP juga mempunyai tugas untuk melakukan pembinaan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah.
Pengawasan Intern adalah seluruh proses kegiatan audit, review, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi dalam rangka memberikan keyakinan yang memadai bahwa kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tolok ukur yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien untuk kepentingan pimpinan dalam mewujudkan tata
kepemerintahan yang baik (Peraturan Pemerintah Dalam Negeri 29 September 2010).
Selain itu, Asosiasi Auditor Intern Pemerintah Indonesia atau disingkat AAIPI (2013) menambahkan 3 (tiga) referensi baru dalam penyusunan Standar Audit Intern ini, yaitu:
1. International Professional Practices Framework (IPPF), the Institute of Internal Auditors 2011.
2. Standar Kompetensi Auditor (Peraturan Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Nomor PER-211/K/JF/2010 tanggal 13 April 2010).
3. Standar Audit Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/05/M.PAN/03/2008 tanggal 31 Maret 2008).
Tujuan Standar Audit APIP adalah untuk:
1. Menetapkan prinsip-prinsip dasar yang merepresentasikan praktik-praktik audit yang seharusnya
2. Menyediakan kerangka kerja pelaksanaan dan peningkatan kegiatan audit intern yang memiliki nilai tambah
3. Menetapkan dasar-dasar pengukuran kinerja audit
4. Mempercepat perbaikan kegiatan operasi dan proses organisasi
5. Menilai, mengarahkan dan mendorong auditor untuk mencapai tujuan audit
7. Menjadi dasar penilaian keberhasilan pekerjaan audit
Menurut Tugiman (2006:53), tahapan-tahapan dalam pelaksanaan kegiatan audit internal adalah sebagai berikut:
a) Tahap perencanaan audit
b) Tahap pengujian dan pengevaluasian informasi c) Tahap penyampaian hasil audit
d) Tahap tindak lanjut (follow up) hasil audit
2.1.4 Kinerja Instansi Pemerintah
2.1.4.1 Pengertian Kinerja Instansi Pemerintah
Menurut Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, pengukuran kinerja digunakan sebagai dasar untuk menilai keberhasilan/kegagalan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan dalam rangka mewujudkan visi dan misi instansi pemerintah. Pengukuran dimaksud merupakan hasil dari suatu penilaian (assessment) yang sistematik dan didasarkan pada kelompok indikator kinerja kegiatan yang berupa indikator-indikator masukan, keluaran, hasil, manfaat, dan dampak. Pengukuran kinerja merupakan suatu alat manajemen yang digunakan untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas. Selanjutnya, dikatakan bahwa pengukuran kinerja juga digunakan untuk menilai pencapaian tujuan dan sasaran (goals and objectives) dengan elemen kunci sebagai berikut:
b. Pengembangan ukuran yang relevan. c. Pelaporan formal atas hasil.
d. Penggunaan informasi.
Pengukuran kinerja dalam organisasi pemerintahan bukanlah suatu aktivitas yang baru. Tiap departemen, satuan kerja, dan unit pelaksana tugas telah diprogram untuk mengumpulkan informasi berupa laporan berkala (triwulan/semester/tahunan) atas pelaksanaan tugas pokok dan fungsi. Namun sayangnya, pelaporan ini lebih memfokuskan pada input (masukan) seperti jumlah tenaga, dana, dan lain-lain.
Kadang kala ada juga instansi yang melaporkan output (keluaran) dari program yang dilaksanakan, misalnya jumlah kilometer jalan maupun unit jembatan yang dibangun, jumlah transmigran yang berhasil dipindahkan, dan lain-lain. Informasi atas input dan output dari pelaporan tersebut bukannya tidak penting, namun melalui pengukuran kinerja fokus pelaporan bergeser dari besarnya jumlah sumber daya yang dialokasikan ke hasil yang dicapai dari penggunaan sumber daya tersebut.
Ada beberapa definisi tentang kinerja diantaranya adalah :
Kinerja Instansi Pemerintah merupakan gambaran mengenai pencapaian sasaran ataupun tujuan instansi pemerintah sebagai penjabaran dari visi, misi dan strategi instansi yang mengindikasikan tingkat keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kegiatan-kegiatan sesuai dengan program dan kebijakan yang ditetapkan. (Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK) Depkeu, 2014 )
Pengertian kinerja sendiri yaitu gambaran mengenai pencapaian, prestasi atau unjuk kerja dari instansi pemerintah (Ulum, Ihyaul;2009). Menurut Haryanto (2009), kinerja dapat dijelaskan sebagai suatu kajian tentang kemampuan suatu organisasi dalam pencapaian tujuan. Penilaian kinerja dapat dipakai untuk mengukur kegiatan-kegiatan organisasi dalam pencapaian tujuan dan juga sebagai bahan untuk perbaikan di masa yang akan datang.
Menurut Mahsun, dalam bukunya Pengukuran Kinerja Sektor Publik (2006:25) menjelaskan bahwa kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan atau program atau kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam strategicplanning suatu organisasi.
Menurut LAN dan BPKP tahun 2003 (Modul 3:Pengukuran kinerja instansi pemerintah) Kinerja Instansi Pemerintah adalah “Pengukuran kinerja merupakan suatu metode untuk menilai kemajuan yang telah dicapai dibandingkan dengan tujuan yang telah ditetapkan. Pengukuran kinerja tidak dimasukkan untuk berperan sebagai mekanisme untuk memberikan penghargaan/hukuman (reward/punishment), akan tetapi pengukuran kinerja berperan sebagai alat komunikasi dan alat manajemen untuk memperbaiki kinerja organisasi”.
Menurut (LAN:2003) Kinerja Instansi Pemerintah adalah “gambaran mengenai tingkat pencapaian sasaran ataupun tujuan instansi pemerintah sebagai penjabaran dari visi, misi dan strategi instansi pemerintah yang mengindikasikan
tingkat keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kegiatan-kegiatan sesuai dengan program dan kebijakan yang ditetapkan”.
Dengan beberapa definisi di atas penulis dapat menyimpulkan tentang kinerja yaitu tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam pencapaian dari visi dan misi yang sudah di tetapkan.
2.1.4.2 Indikator Kinerja
Pengukuran kinerja pegawai menurut Lembaga Administrasi Negara (2002:12) dalam “Modul Pengukuran Kinerja Instansi Pemerintah”, dapat dilihat dari pengukuran dengan pertimbangan hal-hal sebagai berikut:
1. Indikator Masukan
Adalah segala sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan dapat berjalan sehingga menghasilkan pengeluaran. Indikator ini mengukur jumlah sumber dana, sumber daya manusia, informasi, kebijaksanaan peraturan perundang-undangan, dan sebagainya yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan.
2. Indikator Proses
Adalah segala besaran yang menunjukan upaya yang dilakukan dalam rangka mengolah masukan menjadi keluaran. Indikator proses ini menggambarkan perkembangan atau aktivitas yang terjadi atau dilakukan selama pelaksanaan kegiatan berlangsung, khusus dalam proses mengolah masukan menjadi keluaran.
3. Indikator Keluaran
Adalah sesuatu yang diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan yang dapat berupa fisik dan atau non fisik. Indikator ini digunakan untuk mengukur keluaran yang dihasilkan dari suatu kegiatan. 4. Indikator Hasil
adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan pada jangka menengah (efek langsung). Indikator ini menggambarkan hasil nyata dari keluaran suatu kegiatan. Konsep outcome lebih sulit dibandingkan input dan output. Outcome mengukur apa yang telah di capai. Dengan kata lain outcome adalah hasil yang di capai dalam suatu program atau aktifitas dibandingkan dengan hasil yang diharapkan. Hasil yang diharapkan bisa berupa target kinerja yang di harapkan, sedangkan outcome adalah hasil nyata yang dicapai.
5. Indikator Manfaat
Adalah sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir dari pelaksanaan kegiatan. Indikator ini menggambarkan manfaat yang diperoleh dari indikator hasil serta menunjukan hal-hal yang diharapkan untuk dicapai bila keluaran dapat diselesaikan dan berfungsi dengan optimal.
6. Indikator Dampak
Adalah pengaruh yang ditimbulkan baik positif maupun negatif pada setiap tingkatan indikator berdasarkan asumsi yang telah ditetapkan. Berpijak pada konsep diatas, maka indikator kinerja organisasi publik dapat dilihat dari aspek-aspek:
1. Efektivitas
Efektivitas bercapaian dengan pencapaian tujuan, efektivitas berarti menyediakan jasa-jasa yang benar sehingga memungkinkan pihak yang berwenang untuk mengimplementasikan kebijakan dan tujuannya. Efektivitas model tujuan menekankan pada analisis biaya program dikaitkan dengan hasil program. Menurut Widodo (2001), organisasi yang efektif adalah organisasi yang mengorganisir serangkaian tujuan, menentukan kegiatan yang diperlukan untuk mencapai tujuan tadi, dan mengalokasikan sumber daya untuk kegiatan-kegiatan dalam rangka mencapai tujuan.
2. Efisiensi
Mengukur efisiensi organisasi merupakan fokus kritis dari pengukuran kinerja. Untuk melakukan pengukuran ini perlu mengkaitkan dengan penggunaan sumber daya yang digunakan untuk memproduksi output. Efisiensi diukur dengan rasio antara output dengan input. Karena output dan input (biaya) diukur dalam unit yang berbeda maka efisiensi dapat terwujud ketika dengan sumber daya yang ada dapat dicapai output yang maksimal atau output dapat dicapai dengan sumber daya yang sekecil-kecilnya.
3. Kualitas dan Standar Pelayanan
Indikator yang paling sulit diukur, karena menyangkut pertimbangan yang sifatnya subjektif. Penggunaan indikator kualitas dan
standar pelayanan harus dilakukan secara hati-hati karena terlalu menekankan indikator ini justru dapat menyebabkan kontra produktif. 4. Kepuasan pelanggan
Pelayanan publik diartikan sebagai pemberian layanan (melayani keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan). Biasanya dikur melalui metode jajak pendapat secara langsung, bagi pemerintah daerah metode penjaringan aspirasi masyarakat dapat juga digunakan untuk menetapkan indikator kepuasan. Pembuatan indikator kinerja tersebut memerlukan kerja sama antar unit kerja.
Menurut Dwiyanto (2006) mengukur kinerja birokrasi publik berdasarkan dimensi yang secara lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut:
a. Produktivitas
Konsep produktivitas tidak hanya mengukur tingkat efisiensi, tetapi juga efektivitas pelayanan. Produktivitas pada umumnya dipahami sebagai rasio antara input dengan output. Konsep produktifitas dirasa terlalu sempit dan kemudian General Accounting Office (GAO) mencoba mengembangkan satu ukuran produktivitas yang lebih luas dengan memasukkan seberapa besar pelayanan publik itu memiliki hasil yang diharapkan sebagai salah satu indikator kinerja yang penting.
b. Kualitas Pelayanan
Isu mengenai kualitas layanan cenderung semakin menjadi penting dalam menjelaskan kinerja organisasi pelayanan publik. Banyak
pandangan negatif yang terbentuk mengenai organisasi publik muncul karena ketidakpuasan masyarakat terhadap kualitas layanan yang diterima dari organisasi publik.
c. Responsivitas
Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyrakat. Secara singkat responsivitas disini menunjuk pada keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsivitas dimasukkan sebagai salah satu dimensi kinerja karena responsivitas secara langsung menggambarkan kemampuan organisasi publik dalam menjalankan misi dan tujuannya, terutama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Responsivitas yang rendah ditunjukkan dengan ketidakselarasan antara pelayanan dengan kebutuhan masyarakat. Hal tersebut jelas menunjukkan kegagalan organisasi dalam mewujudkan misi dan tujuan organisasi publik. Organisasi yang memiliki responsivitas rendah dengan sendirinya memiliki kinerja yang jelek pula.
d. Responsibilitas
Responsibilitas menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan organisasi publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar atau sesuai dengan kebijakan organisasi, baik yang eksplisit
maupun implisit. Oleh karena itu, responsibilitas bisa saja pada suatu ketika berbenturan dengan responsivitas.
e. Akuntabilitas
Akuntabilitas publik menunjuk pada seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik tunduk pada para pejabat publik yang dipilih oleh rakyat. Asumsinya adalah bahwa para pejabat politik tersebut karena dipilih oleh rakyat, dengan sendirinya akan selalu merepresentasikan kepentingan rakyat. Dalam konteks ini, konsep dasar akuntabilitas publik dapat digunakan untuk melihat seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik itu konsisten dengan kehendak masyarakat banyak. Kinerja organisasi publik tidak hanya bisa dilihat dari ukuran internal yang dikembangkan oleh organisasi publik atau pemerintah, seperti pencapaian target. Kinerja sebaiknya harus dinilai dari ukuran eksternal, seperti nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Suatu kegiatan organisasi publik memiliki akuntabilitas yang tinggi kalau kegiatan itu dianggap besar dan sesuai dengan nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat.
Dimensi pengukuran kinerja yang dikemukakan oleh Dwiyanto (2006:49) meliputi lima dimensi, yaitu produktivitas, kualitas pelayanan, responsivitas, responsibilitas, dan akuntabilitas. Mengenai akuntabilitas, Dwiyanto (2006) mengemukakan bahwa akuntabilitas dalam penyelenggaraan pelayanan publik sebagai suatu ukuran yang menunjukkan seberapa besar tingkat kesesuaian penyelenggaraan pelayanan dengan ukuran nilai-nilai dan norma eksternal yang
ada di masyarakat atau yang dimiliki oleh para stakeholders. Acuan pelayanan yang digunakan oleh organisasi publik juga dapat menunjukkan tingkat akuntabilitas pemberian pelayanan publik. Acuan pelayanan yang dianggap paling penting oleh suatu organisasi publik adalah dapat merefleksikan pola pelayanan yang dipergunakan yaitu pola pelayanan yang akuntabel yang mengacu pada kepuasan publik sebagai pengguna jasa.
Akuntabilitas dalam penggunaan anggaran merupakan bentuk pertanggungjawaban instansi pemerintah Kota Bandung atas pnyelenggaraan pelayanan publik, kemudian publik memiliki hak dan kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung.
2.1.4.3 Ukuran Kinerja
Terdapat tiga macam ukuran yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja secara kuantitatif yaitu :
1. Ukuran kriteria tunggal (Single criterium).
Yaitu ukuran kinerja yang hanya menggunakan satu ukuran untuk menilai kinerja manajernya. Jika kriteria tunggal digunakan untuk mengukur kinerjanya, orang akan cenderung memusatkan usahanya kepada criteria tersebut sebagai akibat diabaikannya kriteria yang lain yang kemungkinan sama pentingnya dalam menentukan sukses atau tidaknya perusahaan atau bagiannya. Sebagai contoh manajer produksi diukur kinerjanya dari tercapainya target kuantitas produk yang dihasilkan dalam jangka waktu tertentu kemungkinan akan mengabaikan pertimbangan penting lainnya mengenai mutu, biaya, pemeliharaan equipment dan sumber daya manusia.
2. Ukuran kriteria beragam (Multiple criterium).
Yaitu ukuran kinerja yang menggunakan berbagai macam ukuran dalam menilai kinerja manajernya. Kriteria ini merupakan cara untuk mengatasi kelemahan kriteria tunggal dalam pengukuran kinerja. Berbagai aspek kinerja manajer dicari ukuran kriterianya sehingga seorang manajer diukur kinerjanya dengan berbagai kriteria.
Tujuan penggunaan kriteria ini adalah agar manajer yang diukur kinerjanya mengerahkan usahanya kepada berbagai kinerja. Contohnya manajer divisi suatu perusahaan diukur kinerjanya dengan berbagai kriteria antara lain profitabilitas, pangsa pasar, produktifitas, pengembangan karyawan, tanggung jawab masyarakat, keseimbangan antara sasaran jangka pendek dan sasaran jangka panjang. Karena dalam ukuran kriteria beragam tidak ditentukan bobot tiap-tiap kinerja untuk menentukan kinerja keseluruhan manajer yang diukur kinerjanya, maka manajer akan cenderung mengarahkan usahanya, perhatian, dan sumber daya perusahaannya kepada kegiatan yang menurut persepsinya menjanjikan perbaikan yang terbesar kinerjanya secara keseluruhan.
Tanpa ada penentuan bobot resmi tiap aspek kinerja yang dinilai didalam menilai kinerja menyeluruh manajer, akan mendorong manajer yang diukur kinerjanya menggunakan pertimbangan dan persepsinya masing-masing didalam memberikan bobot terhadap beragan kriteria yang digunakan untuk menilai kinerjanya.
Yaitu ukuran kinerja yang menggunakan berbagai macam ukuran memperhitungkan bobot masing-masing ukuran dan menghitung rata-ratanya sebagai ukuran menyeluruh kinerja manajernya. Karena disadari bahwa beberapa tujuan lebih penting bagi perusahaan secara keseluruhan dibandingkan dengan tujuan yang lain, beberapa perusahaan memberikan bobot angka tertentu kepada beragam kriteria kinerja untuk mendapatkan ukuran tunggal kinerja manajer, setelah memperhitungkan bobot beragam kriteria kinerja masing-masing.
2.2 Penelitian Terdahulu
Dari penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh para peneliti terdahulu menghasilkan kesimpulan mengenai pengaruh Akuntabilitas, Transparansi, dan Peran inspektorat pemerintah kota terhadap Kinerja Instansi Pemerintah yang terdapat pada tabel 2.2
Tabel 2.2.
Review Peneliti Terdahulu
No Penulis Judul Kesimpulan/Hasil Persamaan Perbedaan
1 Nadia Garini (2011) Pengaruh Transparansi Dan Akuntabilitas Terhadap Kinerja Instansi Pemerintah
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Secara simultan transparansi dan akuntabilitas berpengaruh terhadap kinerja Dinas di Kota Bandung. Transparansi dan akuntabilitas secara simultan memberikan kontribusi atau pengaruh sebesar 67,2% terhadap kinerja Dinas di Kota Bandung.
-2Variabel penelitian independen X1 dan X2 sama yaitu akuntabilitas dan transparansi -Variabel Y nya sama yaitu Kinerja Instansi Pemerintah -Terdapat penambahan 1 variabel independen yaitu peran inspektorat pemerintah kota (x3) 2 Ratih Muji Astuti (2013) Pengaruh Akuntabilitas, Transparansi Dan Fungsi Pemeriksaan Intern Terhadap Kinerja
Hasil penelitian diperoleh transparansi dan akuntabilitas tidak berpengaruh terhadap kinerja pemerintah daerah. Sedangkan Fungsi
pemeriksaan intern
berpengaruh terhadap kinerja
-2Variabel penelitian independen X1 dan X2 sama yaitu akuntabilitas dan transparansi -istilah yang Unit analisisnya berbeda yaitu penelitian sebelumnya meneliti di Dinas Pendapatan Pengelolaan
No Penulis Judul Kesimpulan/Hasil Persamaan Perbedaan Pemerintah
Daerah
pemerintah daerah, dengan nilai sig 0,002 yang lebih kecil
digunakan pada X3 serupa -Variabel Y nya sama yaitu Kinerja Instansi Pemerintah
Keuangan dan Aset Daerah Kab Grobongan sedangkan penulis di Dinas Kota Bandung. 3 Made Budi Sastra Wiguna,dkk (2015) Pengaruh Pengawasan Keuangan Daerah, Akuntabilitas Dan Transparansi Pengelolaan Keuangan Daerah Terhadap Kinerja Pemerintah Daerah Kabupaten Buleleng
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) Pengawasan Keuangan Daerah berpengaruh signifikan
terhadap kinerja Pemerintah Daerah Kabupaten Buleleng, (2) akuntabilitas pengelolaan keuangan berpengaruh signifikan terhadap kinerja Pemerintah Daerah Kabupaten Buleleng, (3) transparansi pengelolaan keuangan berpengaruh signifikan terhadap kinerja Pemerintah Daerah Kabupaten Buleleng, (4) pengawasan keuangan daerah, akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan berpengaruh signifikan terhadap kinerja Pemerintah Daerah Kabupaten Buleleng -2Variabel penelitian independen X1 dan X2 sama yaitu akuntabilitas dan transparansi -Variabel Y nya sama yaitu Kinerja Instansi Pemerintah
-Salah Satu Dari Variabel Independennya Berbeda yaitu pengawasan keuangan daerah (x1) sedangkan penulis adalah peran inspektorat pemerintah kota (x3) -unit analisisnya berbeda yaitu kabupaten Buleleng sedangkan penulis adalah Dinas Kota Bandung 4 Widya Martha (2014) Pengaruh Transparansi dan Akuntabilitas terhadap kinerja instansi pemerintah
Hasil pengujian hipotesis menunjukkan secara parsial dan simultan bahwa
transparansi dan akuntabilitas berpengaruh signifikan terhadap kinerja instansi pemerintah. Besar pengaruh transparansi dalam
memberikan kontribusi pengaruh terhadap kinerja instansi pemerintah sebesar 18,5%, sedangkan
akuntabilitas dalam memberikan kontribusi pengaruh terhadap kinerja
-2Variabel penelitian independen X1 dan X2 sama yaitu akuntabilitas dan transparansi -Variabel Y nya sama yaitu Kinerja Instansi Pemerintah -Terdapat penambahan 1 variabel independen yaitu peran inspektorat pemerintah kota (x3)
No Penulis Judul Kesimpulan/Hasil Persamaan Perbedaan instansi pemerintah sebesar
16,3%. Jadi besar pengaruh transparansi dan akuntabilitas dalam mempengaruhi kinerja instansi pemerintah sebesar 34,8%. 5 R.Ait Novatiani dan Nurmalita Lestari (2013) Pengaruh Akuntabilitas Publik, Partisipasi Masyarakat Dan Transparasi Kebijakan Publik Terhadap Pengawasan Keuangan Daerah (APBD) Di DPRD Kota Bandung
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa akuntabilitas publik, partisipasi masyarakat dan transparansi kebijakan publik berpengaruh yang signifikan terhadap pengawasan keuangan daerah (APBD) kota Bandung yang dilihat dari F hitung sebesar 66,714 lebih besar dari F tabel sebesar 2,807, yang berarti Ho ditolak dan Ha diterima
2 variabel independennya sama yaitu Akuntabilitas dan Transparansi -variabel dependennya berbeda yaitu Pengawasan Keuangan Daerah sedangkan penulis adalah kinerja instansi pemerintah 2.3. Kerangka Pemikiran
Good governance menurut Mardiasmo (2002:34) adalah suatu konsep dalam penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab sejalan dengan demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dan investasi yang langka dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administrative, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas kewiraswastaan.
Menurut Ibnu Rubiyanto (2001) dari segi aspek fungsi, Good governance dapat ditinjau dari apakah pemerintah telah berfungsi secara efektif dan efisien dalam upaya mencapai tujuan yang telah digariskan, atau sebaliknya. Good governance berlaku untuk keseluruhan lembaga negara dalam penyelenggaraan negara yang di mulai sejak rekrutmen, pendidikan, penempatan, pelaksanaan,
pembinaan, dan pengawasannya, pembentukan budaya institusinya (institutional culture), keseimbangan anatara hak dan kewajiban setiap penyelenggaraan negara (right and obligation), dan diikuti dengan penegakan hukum (law enforcement). Terdapat tiga prinsip dasar dalam setiap penyelenggaraan good governance. Ketiga prinsip dasar tersebut adalah transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas.
Akuntabilitas publik adalah kewajiban pemegang amanah (agent) untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggungjawabnya kepada pihak pemberi amanah (principal) yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban tersebut (Mahmudi (2011:18)), sedangkan transparansi adalah prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan, proses pembuatan dan pelaksanaannya, serta hasil-hasil yang dicapai. (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional & Departemen Dalam Negeri, 2002).
Agar terbentuk transparansi dan akuntabilitas di pemerintahan maka diperlukan pengukuran kinerja instansi pemerintah, Pengukuran kinerja digunakan sebagai dasar untuk menilai keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan dalam rangka mewujudkan visi dan misi instansi pemerintah. Pengukuran dimaksud merupakan hasil dari suatu penilaian yang sistematik dan didasarkan pada kelompok indikator kinerja kegiatan yang berupa indikator-indikator masukan, keluaran, hasil, manfaat dan dampak. Penilaian tersebut tidak terlepas dari proses yang
merupakan kegiatan mengolah masukan menjadi keluaran atau penilaian dalam proses penyusunan kebijakan/program/kegiatan yang dianggap penting dan berpengaruh terhadap pencapaian sasaran dan tujuan (Pedoman penyusunan pelaporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah, 2003).
Kinerja instansi pemerintah adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian sasaran ataupun tujuan instansi pemerintah sebagai penjabaran dari visi, misi, dan strategi instansi pemerintah yang mengindikasikan tingkat keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kegiatan-kegiatan sesuai dengan program dan kebijakan yang ditetapkan. Dan apabila transparansi dan akuntabilitas terbentuk dalam kinerja instansi pemerintah dan telah dilaksanakan dengan baik, maka dapat dikatakan sebagai pemerintahan yang baik atau good governance. (Pedoman penyusunan pelaporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah, 2003).
2.3.1 Hubungan Transparansi, Akuntabilitas, dan Peran Inspektorat Transparansi dan akuntabilitas adalah dua prinsip yang paling mendasar dalam pelaksanaan good governance, transparansi dan akuntabilitas secara konsep saling berhubungan, tanpa transparansi tidak akan ada akuntabilitas, tanpa akuntabilitas transparansi menjadi tidak berarti. Transparansi adalah syarat bagi terlaksananya prinsip akuntabilitas, meskipun secara normative prinsip ini berhubungan secara sejajar. Akuntabilitas publik menghendaki birokrasi publik dapat menjelaskan secara transparan (transparency) dan terbuka (openness) kepada publik mengenai tindakan apa yang telah dilakukan. Menurut Islamy Irfan (dalam Widodo,2011) transparansi dan keterbukaan tersebut bertujuan untuk menjelaskan bagaimana pertanggungjawaban hendak dilaksanakan, metode apa
yang dipakai untuk melaksanakan tugas, bagaimana realitas pelaksanaannya dan apa dampaknya. Melalui transparansi penyelenggaraan pemerintahan, masyarakat diberikan kesempatan untuk mengetahui kebijakan yang akan atau telah diambil oleh pemerintah sehingga dapat memberikan feedback atau outcomes terhadap kebijakan yang telah diambil oleh pemerintah. Dengan demikian, masyarakat secara pribadi dapat mengetahui secara jelas dan tanpa ada yang ditutup-tutupi tentang proses perumusan kebijakan publik dan implementasinya (Widodo,2011).
Dengan demikian, terlaksananya prinsip transparansi maka informasi mengenai penentuan kebijakan publik akan terbuka bagi para stakeholder, dengan demikian proses penentuan kebijakan publik tersebut akan dapat diawasi oleh para stakeholder maupun pihak luar. Pengawasan merupakan salah satu kriteria dalam akuntabilitas. Akuntabilitas bermakna pertanggungjawaban dengan menciptakan kondisi saling mengawasi antara seluruh stakeholders, pengawasan dapat tercipta jika transparansi terwujud sehingga semua stakeholders mempunyai informasi yang cukup dan akurat tentang kebijakan publik dan proses pembentukannya dengan harapan kebijakan publik yang muncul bisa memberikan hasil yang optimal bagi seluruh stakeholders. Efisiensi dan kemerataan dalam manajemen publik. Selain penciptaan peluang untuk pengawasan, transparansi juga menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai proses yang dilaksanakan sehingga keterbukaan ini diharapkan menjadi unpan balik untuk pelaksanaan manajemen publik yang lebih akuntabel.
Selain itu, pengawasan intern atas penyelenggaraan pemerintahan diperlukan untuk mendorong terwujudnya good governance dan clean
government dan mendukung penyelenggaraan pemerintahan yang efektif, efisien, transparan, akuntabel serta bersih dan bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (PERMENPAN No 5 tahun 2008).
Salah satu faktor utama yang dapat menunjang keberhasilan pelaksanaan pengendalian adalah efektivitas peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP). Untuk itu, APIP harus terus melakukan perubahan dalam menjalankan proses bisnis guna memberi nilai tambah bagi kementerian negara/lembaga dan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hal ini sejalan dengan peran pengawasan intern untuk mendorong peningkatan efektivitas manajemen risiko (risk management), pengendalian (control) dan tata kelola (governance) organisasi. 2.3.2 Pengaruh Akuntabilitas terhadap Kinerja Instansi Pemerintah
Akuntabilitas adalah persyaratan kunci dalam good governance, dimana tidak hanya berlaku bagi instansi pemerintah, tetapi juga sektor pribadi dan organisasi dari masyarakat sipil dituntut untuk akuntabel ke publik dan kepada ke stakeholder lainnya. Akuntabilitas sebagai bentuk pertanggungjawaban bervariasi tergantung pada apakah keputusan atau tindakan yang diambil bersifat internal atau eksternal organisasi atau institusi tersebut. Akuntabilitas publik diperlukan kerena aparatur pemerintah harus dapat mempertanggungjawabkan tindakan dan pekerjaannya kepada publik dan organisasi tempat kerjanya (Widodo, 2011)
Sesuai dengan teori yang dikemukakan Mahmudi (2011:18), akuntabilitas publik adalah kewajiban pemegang amanah (agent) untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggungjawabnya kepada pihak pemberi
amanah (principal) yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban tersebut. Sesuai juga dengan teori Mardiasmo (2009:20) yang menyatakan bahwa akuntabilitas dipahami sebagai kewajiban pihak pemegang amanah (agent) untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya kepada pemberi amanah (principal) yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban tersebut.
Dalam hasil penelitian Made Budi Sastra Wiguna dkk (2015) menunjukkan bahwa secara parsial Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Daerah berpengaruh terhadap Kinerja Pemerintah Daerah Kabupaten Buleleng sebesar 0,187 satuan. Hasil perhitungan SPSS juga menunjukkan bahwa variabel Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Daerah memiliki pengaruh yang paling dominan terhadap kinerja. Hal ini dibuktikan dengan koefisien determinasi sebesar 21,0% yang lebih besar dari variabel Pengawasan Keuangan Daerah dan hasil pengujian hipotesis dengan uji T-Test menunjukkan bahwa t-hitung > t-tabel (2,212 > 1,694) sehingga hipotesis diterima yakni Akuntabilitas pengelolaan Keuangan Daerah berpengaruh signifikan terhadap kinerja Pemerintah Daerah Kabupaten Buleleng.
Hal ini menunjukkan bahwa Akuntabilitas merupakan bentuk pertanggungjawaban Pemerintah Daerah kepada publik terkait pelaksanaan pengelolaan pemerintahan yang telah dilakukan, dimana Akuntabilitas sendiri merupakan amanat peraturan perundang-undangan yang harus dilaksanakan dalam pengelolaan keuangan pemerintahan, maka hal ini menjadi kewajiban bagi
pelaksana pemerintahan. Penilaian terhadap pertanggungjawaban tersebut akan dilakukan oleh publik dan institusi pengawasan yang mempunyai konsekuensi hukum, maka aparatur pelaksana pemerintahan akan berupaya menerapkan konsep akuntabilitas tersebut dalam pengelolaan pemerintahan termasuk pengelolaan keuangan. Penerapan akuntabilitas dengan berbagai indikatornya ini dalam pengelolaan keuangan secara langsung akan meningkatkan kinerja pemerintahan secara keseluruhan.
2.3.3 Pengaruh Transparansi terhadap Kinerja Instansi Pemerintah
Teori transparansi dalam Kerangka Konseptual Standar Akuntansi Pemerintahan (KK, SAP, 2005) yang menyatakan bahwa Transparansi memberikan informasi yang terbuka dan jujur kepada masyarakat berdasarkan pertimbangan bahwa masyarakat memiliki hak untuk mengetahui secara terbuka dan menyeluruh atas pertanggungjawaban pemerintah dalam pengelolaan sumber daya yang dipercayakan kepadanya dan ketaatannya pada peraturan perundang- undangan. Dalam penelitian (Nadia Garini, 2011) hasil penelitiannya menunjukkan bahwa secara simultan transparansi dan akuntabilitas berpengaruh terhadap kinerja Dinas di Kota Bandung. Transparansi dan akuntabilitas secara simultan memberikan kontribusi atau pengaruh sebesar 67,2% terhadap kinerja Dinas di Kota Bandung. Secara parsial transparansi berpengaruh signifikan terhadap kinerja Dinas di Kota Bandung, transparansi memberikan kontribusi atau pengaruh sebesar 34,2% terhadap kinerja Dinas di Kota Bandung.
2.3.4 Pengaruh Peran Inspektorat Pemerintah terhadap Kinerja Instansi Pemerintah
Peraturan Pemerintah Dalam Negeri 29 September 2010 menyatakan bahwa pengawasan intern adalah seluruh proses kegiatan audit, review, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi dalam rangka memberikan keyakinan yang memadai bahwa kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tolok ukur yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien untuk kepentingan pimpinan dalam mewujudkan tata kepemerintahan yang baik.
Pengawasan intern pemerintah merupakan fungsi manajemen yang penting dalam penyelenggaraan pemerintahan. Melalui pengawasan intern dapat diketahui apakah suatu instansi pemerintah telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan tugas dan fungsinya secara efektif dan efisien, serta sesuai dengan rencana, kebijakan yang telah ditetapkan, dan ketentuan. Selain itu, pengawasan intern atas penyelenggaraan pemerintahan diperlukan untuk mendorong terwujudnya good governance dan clean government dan mendukung penyelenggaraan pemerintahan yang efektif, efisien, transparan, akuntabel serta bersih dan bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (PERMENPAN No 5 tahun 2008).
Menurut penelitian Ratih Muji Astuti (2013) menunjukkan bahwa ada pengaruh fungsi pemeriksaan intern terhadap kinerja pemerintah daerah di DPPKAD Kabupaten Grobogan dengan nilai signifikan sebesar 0,002, karena berada dibawah nilai signifikansi yang dipersyaratkan yaitu 0,05. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa fungsi pemeriksaan intern yang baik dapat
meningkatkan kinerja pemerintah daerah pada satuan kerja perangkat daerah khususnya di DPPKAD Kabupaten Grobogan. Hal ini konsisten dengan penelitian Rohman (2007) dan Tausikal (2008) yang menunjukkan bahwa fungsi pemeriksaan intern berpengaruh terhadap kinerja pemerintah daerah. Fungsi pemeriksaan intern berpengaruh terhadap kinerja pemerintah daerah, dengan nilai signifikansi 0,266, yang berarti tidak signifikan karena berada diatas nilai signifikansi yang dipersyaratkan yaitu 0,05.
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Prinsip Good Governance Kinerja Instansi Pemerintah Peran Inspektorat Pemerintah Kota Good Governance HIPOTESIS Transparansi Akuntabilitas Pemerintah (Organisasi Sektor Publik)
H1 H2 H4 H3 Gambar 2.2 Paradigma Penelitian 2.4 Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, di mana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan. Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data. Menurut Sugiyono (2009;93) pengertian hipotesis adalah “Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, oleh karena itu rumusan masalah penelitian biasanya disusun dalam bentuk kalimat pertanyaan.”
Berdasarkan kerangka pemikiran maka penulis merumuskan hipotesis yang merupakan kesimpulan sementara dari penelitian sebagai berikut: “Akuntabilitas, Transparansi, dan Peran Inspektorat Pemerintah kota berpengaruh
X3 Peran Inspektorat X2 Transparansi Y Kinerja Instansi Pemerintah X1 Akuntabilitas
Terhadap Kinerja Instansi Pemerintah pada Dinas di Kota Bandung secara parsial dan simultan”.
H1: Akuntabilitas berpengaruh terhadap Kinerja Instansi Pemerintah H2: Transparansi berpengaruh terhadap Kinerja Instansi Pemerintah H3: Peran Inspektorat berpengaruh terhadap Kinerja Instansi Pemerintah H4: Akuntabilitas, Transparansi, dan Peran Inspektorat berpengaruh terhadap Kinerja Instansi Pemerintah