• Tidak ada hasil yang ditemukan

BINA SWADAYA KONSULTAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BINA SWADAYA KONSULTAN"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

ABSTRAK

STUDI KEBUTUHAN PENDIDIKAN 12 TAHUN, Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyediakan bahan pertimbangan kebutuhan Wajar 12 Tahun baik dalam perspektif yuridis, sosiologis kultural, pendidikan dan ekonomi (anggaran). Kedua,

dalam jangka panjang (outcome) yaitu terselenggaranya Wajar 12 Tahun dengan

memberikan dorongan kepada pemerintah. Penelitian jenis deskriptif kualitatif ini dilaksanakan di Jakarta. Data dikumpulkan melalui multimetode seperti wawancara mendalam, kajian literatur, dan Focus Group Discussion (FGD). Analisis dan interpretasi data menggunakan model Miles dan Huberman menunjukkan bahwa: 1) pendidikan 12 tahun sebagai program wajib belajar

memerlukan dasar hukum yang dapat dilakukan dengan cara judicial review dan

amandemen. 2) pendidikan 12 tahun sebagai program wajib belajar secara sosial kultural diperlukan untuk mengatasi tinggi angka putus sekolah anak, menekan pertumbuhan pekerja anak, membantu siswa miskin, dan mengembangkan sumberdaya manusia yang berkualitas. 3) pendidikan 12 tahun sebagai program wajib belajar dari pertimbangan mutu pendidikan diperlukan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia Indonesia yang kompetitif. 4) pendidikan 12 tahun sebagai program wajib belajar dari pertimbangan anggaran tercukupi dari anggaran yang tersedia. Rekomendasi disampaikan kepada NEW berupa diusulkan untuk menempuh langkah judicial review terhadap pasal 34 ayat 2 UU Sisdiknas yang bertentangan dengan hak anak untuk memperoleh jaminan pembiayaan pendidikan sesuai batas usia anak. Rekomendasi kepada pemerintah, diusulkan agar dilakukan pembenahan perundangan-undangan sistem pendidikan untuk memberikan jaminan pelaksanaan pendidikan 12 tahun secara gratis, peningkatan anggaran pendidikan sebesar 6% dari PDB, dan agar alokasi dana pendidikan dapat digunakan untuk mendanai seluruh pendidikan anak hingga pendidikan menengah.

(3)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan rasa syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas segala rahmat dan limpahan nikmat dan karunia-Nya, akhirnya tim peneliti dapat menyelesaikan penelitian mengenai “Studi Kebutuhan Pendidikan

12 Tahun Di Indoneisa. Penelitian ini bertujuan memberikan naskah akademik

untuk mendorong pemerintah menyelenggarakan program pendidikan 12 tahun melalui program wajib belajar bagi warga negara secara gratis dan bermutu.

Kami menyadari bahwa penelitian ini dapat diselesaikan berkat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis berterima kasih kepada semua pihak yang secara langsung dan tidak langsung memberikan kontribusi dalam penyelesaikan penelitian ini. Ucapan terimakasih juga kami khususkan kepada:

1. Segenap anggota jaringan Network Edication Watch (NEW) Indonesia. 2. Segenap pengurus Network Edication Watch (NEW) Indonesia.

3. Segenap para narasumber yang telah kami wawancarai.

Penelitian yang kami susun ini, semoga dapat memberikan nilai tambah bagi perbaikan dan pengembangan pendidikan nasional di Indonesia. Kami menyadari bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, kami berharap ketulusan semua pihak untuk memberikan masukan, saran, serta kritik sebagai upaya perbaikan dan penyempurnaan di masa akan datang. Harapan kami, kekurangan yang ada dapat menjadi bahan perbaikan untuk keperluan kegiatan penelitian selanjutnya.

Terima kasih dan semoga bermanfaat.

Jakarta, 3 April 2014 TIM PENELITI

(4)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... v BAB I PENDAHULUAN ... 1 A. Latar Belakang ... 1 B. Identifikasi Masalah ... 4 C. Fokus Permasalahan ... 4 D. Perumusan Masalah ... 4 E. Batasan Masalah ... 5 F. Tujuan Penelitian ... 5 G. Kegunaan Penelitian ... 5

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 6

A. Landasan Konstituisonal Hak Berpendidikan ... 6

B. Landasan Konstitusional Wajib Belajar ... 8

C. Landasan Konstitusional Pendidikan Dasar dan Menengah ... 9

D. Landasan Konstitusional Hak Anak Memperoleh Pendidikan ... 11

E. Landasan Konseptual Anggaran Pendidikan ... 13

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 16

A. Sumber Data Penelitian ... 16

B. Waktu Penelitian ... 16

C. Jenis Penelitian ... 16

D. Metode Pengambilan Data ... 16

E. Instrumen Pengambilan Data ... 16

F. Analisis Data ... 17

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 18

A. Pertimbangan Konstitusional Kebutuhan Pendidikan 12 Tahun ... 18

B. Pertimbangan Sosiologis Kultural Kebutuhan Pendidikan 12 Tahun ... 21

C. Pertimbangan Mutu Pendidikan Kebutuhan Pendidikan 12 Tahun 25

D. Pertimbangan Anggaran Pendidikan Kebutuhan Pendidikan 12 Tahun ... 27

(5)

BAB V PENUTUP ... 30

A. Kesimpulan ... 30

B. Rekomendasi ... 30

(6)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Perbandingan Isi Pasal dan Usulan Perubahan Isi Pasal ... 20

Tabel 2 : Angka Putus Sekolah SD-SM Tahun 2011 (versi kompas.com)

Dan Tahun 2013 (versi BPS) ... 23

Tabel 3 : Trend Jumlah Pekerja Anak di Indonesia Tahun 2010-2013 ... 23

Tabel 4 : Kondisi Mutu Pendidikan Indonesia dalam Perspektif Global ... 26

Tabel 5 : Perhitungan Biaya Satuan Pendidikan Berdasarkan

(7)
(8)

B A B - I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hak memperoleh pendidikan merupakan hak konstitusional warga negara. UUD 1945 secara tegas menjamin hak warga negara untuk memperoleh pendidikan sebagaimana tercantum pada pasal 28C ayat 1 dan pasal 31 ayat 1. Dalam pasal 28C ayat 1 dinyatakan, “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan manusia. Selanjutnya, pasal 31 ayat (1) disebutkan, “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.”

Dalam pernyataan sedunia HAM PBB tahun 1948 disebutkan setiap orang berhak atas pendidikan. Menurut salah satu artikel piagam tersebut dikatakan, “Everyone has the right to education. Education shall be free, at least in the elementary and fundamental stages. Elementary education shall be compulsory. Technical and professional education shall be made generally available and higher education shall be equally accessible to all on the basis of merit.”1 PBB mengelompokan 3 jenjang pendidikan yaitu pendidikan dasar, teknikal dan profesional, serta pendidikan tinggi. Pendidikan dasar menurut deklarasi tersebut

seharusnya bebas biaya dan menjadi kewajiban (compulsory). Sebab itu, menjadi

kewajiban negara untuk menyediakan pendidikan dasar yang diperlukan seluruh warga negara secara gratis baik di lingkungan sekolah negeri maupun swasta.

Konstitusi/UUD 1945 di samping memberikan jaminan warga negara untuk memperoleh pendidikan, mewajibkan pula setiap warga negara untuk mengikuti pendidikan dasar. Untuk melaksanakan kewajiban tersebut, konstitusi membebankan kepada pemerintah untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan dasar. Pasal 31 ayat (2) menyebutkan bahwa “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.” Kewajiban mengikuti pendidikan dasar merupakan kewajiban yang dibebankan kepada warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun atau

usia SD sampai SMP.2

Kewajiban mengikuti jenjang pendidikan dasar adalah program wajib belajar (wajar) minimal yang harus diikuti setiap warga negara. Pasal 34 ayat (2)

UU No. 20 tahun 2003 menyatakan, “Pemerintah dan pemerintah daerah

menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”. Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang

1 United Nations Universal Declaration of Human Right 1948, artikel 26 ayat 1. 2 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, pasal 6 ayat 1.

(9)

diselenggarakan oleh lembaga pendidikan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat (ayat 3).

Penyelenggaraan pendidikan dasar dalam piagam deklarasi HAM PBB,

mengandung dua aspek pokok yakni free dan compulsory (gratis dan wajib).

Pemerintah Indonesia dalam memenuhi hak pendidikan dasar bagi warga negara

menganut tiga aspek yakni konsep free, compulsory dan universal.3 Untuk

menjamin hak-hak pendidikan warga negara dan terselenggaranya pendidikan dasar, konstitusi menetapkan prioritas besaran anggaran pendidikan sebesar

20% dari APBN/APBD.4

Program wajar di Indonesia secara historis telah diselenggarakan selama dua kali periode yaitu program wajar sekolah dasar (SD) dan program wajib belajar pendidikan dasar. Program wajar SD sebagai program wajib belajar 6 tahun, dicanangkan pada 2 Mei 1984. Pemerintah memperluas wajar 6 tahun menjadi wajar 9 tahun, yakni program wajib belajar pendidikan dasar (SD dan SMP). Pada tahun 2009, secara nasional program wajar 9 tahun oleh pemerintah dicanangkan telah tuntas. Ketuntasan program wajar 9 tahun didasarkan indikator pencapaian APM SD/setara dan APK SMP/setara sudah melampaui angka di atas 95 persen.

Sekalipun program wajar 9 tahun telah dinyatakan tuntas, angka putus sekolah masih tergolong tinggi. Pada tahun 2010, UNESCO melaporkan ada 160.000 anak Indonesia yang putus sekolah. Angka putus sekolah meningkat

pada tahun 2011 menjadi 260.000 anak.5 Harian Terbit memberitakan angka

putus sekolah SD-SMA pada tahun 2010 mencapai 1,08 juta anak.6 Pada tahun

2013, berdasarkan data BPS, rata-rata nasional angka putus sekolah usia 7–12 tahun mencapai 0,67 persen; usia 13–15 tahun sebanyak 2,21 persen; dan usia

16–18 tahun semakin tinggi hingga 3,14 persen.7

Zuhdan menyebutkan bahwa

tercatat ada 1,3 juta anak usia 7-15 tahun di Indonesia terancam putus sekolah.8

Sekjen Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, menyebutkan kasus putus sekolah yang paling menonjol pada tahun 2013 terjadi di tingkat SMP, yaitu 48 persen. Adapun di tingkat SD tercatat 23 persen. Sedangkan prosentase jumlah putus sekolah di tingkat SMA adalah 29 persen. Kalau digabungkan kelompok usia pubertas, yaitu anak SMP dan SMA, jumlahnya mencapai 77 persen. Dengan kata lain, jumlah anak usia remaja yang putus sekolah tahun ini

tak kurang dari 8 juta orang.9

Tingginya angka putus sekolah berdampak pada timbulnya masalah-masalah sosial seperti maraknya anak jalanan, tingginya anak yang bekerja. Berdasarkan data dari Dinas Sosial DKI Jakarta, jumlah anak jalanan tahun 2010

3 Hasil wawancara dengan Ace Suryadi pada 3 Maret 2014 di UPI Bandung. 4 UUD 1945, pasal 31 ayat 4.

5 Kompas.com. 21/10/2013. 6 Harianterbit.com.02/08/2012. 7 Kompas.com.16/10/ 2013 8 Kompas.com. 21/10/2013.

(10)

sebanyak 5.650 orang, dan pada tahun 2011 meningkat menjadi 7.315 orang.10 Pada sisi lain, jumlah anak Indonesia yang bekerja cukup tinggi. Muhaimin, menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi menyebutkan jumlah pekerja anak pada

tahun 2013 sekitar 2 sampai 4 juta.11 Sementara itu, Sekretaris Jenderal Komnas

PA, Samsul Ridwan, mengatakan jumlah pekerja anak mencapai 4,7 juta jiwa.12

Konsep pendidikan gratis (free) sebagaimana yang diamanatkan UUD

1945 belum sepenuhnya terpenuhi. Sebagian anak-anak Indonesia yang berhak memperoleh pendidikan dan wajib belajar mengalami putus sekolah. Di samping, tingginya angka pekerja anak di Indonesia menunjukkan hak anak untuk memperoleh pendidikan tidak dipenuhi negara. Besarnya angka putus sekolah sehingga berdampak pada bertambahnya pekerja anak, di antaranya karena orang tua siswa tidak mampu membayar biaya sekolah karena miskin. Di Kabupaten Banyumas misalnya, menurut Kepala Dinas Pendidikan Santoso Edy Prabowo, dari total lulusan SD sebanyak 25.810 anak, hanya 24.344 yang mampu melanjutkan sekolah. Sementara, dari 24.000 lulusan SMP, hanya

16.000 siswa yang mampu melanjutkan ke jenjang SMA.13

Trend meningkatnya angka putus sekolah, maraknya anak-anak jalanan yang di kota-kota besar, serta jumlah pekerja anak di bawah umur yang besar menunjukkan bahwa sebagian warga negara (anak-anak) Indonesia tidak dapat menikmati hak-hak dasar atas pendidikan. Hal itu disebabkan di antaranya oleh faktor kemiskinan anak (orang tua anak). Ketidakmampuan ekonomi orang tua membatasi hak anak untuk memperoleh pelayanan pendidikan seluas-luasnya. Akses mendapatkan pendidikan yang seharusnya difasitiasi negara, sebagian warga negara atau anak-anak yang miskin masih sulit untuk memperolehnya.

Dengan demikian, negara berkewajiban untuk menyediakan pendidikan (sekolah) yang dapat diakses oleh setiap warga negara secara mudah. Alokasi dana pendidikan minimal 20 persen dari APBN/APBD dimaksudkan untuk memfasilitasi setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan. Program pendidikan (sekolah) gratis di tingkat pendidikan dasar/menengah merupakan kebijakan yang dapat memberikan jaminan bagi setiap warga negara memperoleh hak-hak dasar pendidikan.

Program Pendidikan Menengah Universal (PMU) yang dicanangkan pada tahun 2013 sebagai program rintisan wajib belajar 12 tahun, belum memberikan dasar imperatif bagi pemerintah pusat/daerah untuk memberikan jaminan pendidikan menengah gratis. Program PMU, menurut Suryadi tidak

menggunakan konsep free dan compulsory, namun terbatas pada universal.14

Konsep universal dalam program PMU bertujuan untuk memberikan akses seluas-luasnya bagi warga negara untuk memperoleh pendidikan yang lebih

10 Kompas.com.21/10/2013. 11 Republika.Co.id. 05/06/2013. 12 Tempo.Co. 18/07/2013. 13 Tempo.Co.12/10/2011

(11)

tinggi setingkat SMA/SMK. Dengan demikian, pemerintah tidak dibebankan untuk menyediakan pendidikan menengah gratis dan memberikan kewajiban bagi warga negara untuk mengikuti pendidikan menengah.

Pemberian jaminan hak warga negara untuk memperoleh pendidikan perlu terus didorong agar selaras dengan amanat UUD 1945 termasuk Pernyataan Sedunia Hak Asasi Manusia PBB tahun 1948. Wajib belajar 9 tahun yang telah berlangsung selama 20 tahun perlu ada penyesuaian dengan kebutuhan dan tantangan bangsa Indonesia sekarang ini dan masa akan datang melalui perluasan program wajar 9 tahun menjadi 12 tahun. Program wajar 12 tahun untuk meningkatkan standar minimal pendidikan warga negara Indonesia. Pemerintah perlu didorong dalam meningkatkan pendidikan dasar warga negara hingga pada bentuk sekolah menengah (SM) baik SMA maupun SMK sebagai pendidikan minimal yang harus diikuti setiap warga negara.

Penelitian terhadap kebutuhan pendidikan 12 tahun dilakukan dalam menyiapkan naskah akademik yang komprehenshif dari berbagai perspektif baik konstitusional, sosial kultural, mutu pendidikan, dan anggaran pendidikan untuk mendorong pemerintah menyelenggarakan program pendidikan 12 tahun secara gratis dan bermutu.

B. Identifikasi Masalah

Sejumlah persoalan yang dapat diidentifikasi dari uraian di atas antara lain: Ada tidaknya dasar konstitusional pendidikan 12 tahun? Dasar alasan kebutuhan pendidikan 12 tahun? Perlu tidaknya pendidikan 12 tahun bersifat

compulsory? Bagaimana pembiayaan pendidikan 12 tahun? Besar biaya yang diperlukan dalam merealisasikan pendidikan 12 tahun?

C. Fokus Pemasalahan

Fokus penelitian ini yakni kebutuhan pendidikan dua belas (12) tahun. Sub fokus penelitian mencakup:

1. Kebutuhan pendidikan dua belas (12) tahun dalam tinjauan konstitusional. 2. Kebutuhan pendidikan dua belas (12) tahun dalam tinjauan sosiologis kultural. 3. Kebutuhan pendidikan dua belas (12) tahun dalam tinjauan mutu pendidikan. 4. Kebutuhan pendidikan dua belas (12) tahun dalam tinjauan anggaran

pendidikan.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan deskripsi latar belakang di atas, sejumlah rumusan masalah yang menjadi perhatian penelitian adalah:

1. Bagaimana pertimbangan konstitusional untuk memenuhi kebutuhan pendidikan 12 tahun?

(12)

2. Bagaimana pertimbangan sosiologis kultural untuk memenuhi kebutuhan pendidikan 12 tahun?

3. Bagaimana pertimbangan mutu pendidikan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan 12 tahun?

4. Bagaimana pertimbangan anggaran untuk memenuhi kebutuhan pendidikan 12 tahun?

E. Batasan Masalah

1. Konstitusional yakni peraturan perundangan nasional berupa pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945, UU serta peraturan lain yang menjadi landasan hukum penyelenggaraan pendidikan dasar, wajib belajar. Di samping itu, mencakup pula sumber-sumber hukum internasional yang menjamin hak berpendidikan yang mendasari kebutuhan pendidikan 12 tahun.

2. Sosiologis kultural yakni kecenderungan perkembangan sosial budaya nasional dan global yang berpengaruh terhadap kebutuhan pendidikan dan pengembangan sumberdaya manusia Indonesia bersifat kekinian yang mendasari kebutuhan pendidikan 12 tahun.

3. Mutu Pendidikan yakni aspek kualitas sumberdaya manusia Indonesia sebagai hasil proses pendidikan yang mendasari kebutuhan pendidikan 12 tahun.

4. Anggaran pendidikan yakni model dan varian penganggaran pendidikan yang diperlukan untuk pendidikan 12 tahun.

F. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian mencakup dimensi ouput (jangka pendek) dan outcome

(jangka panjang) penelitian. Adapun tujuan penelitian yang dimaksud yaitu:

1. Output penelitian yaitu tersedianya bahan pertimbangan kebutuhan Wajar 12 Tahun baik dalam perspektif yuridis, sosiologis kultural, pendidikan dan ekonomi (anggaran).

2. Outcome penelitian yaitu terselenggaranya Wajar 12 Tahun dengan memberikan dorongan kepada pemerintah.

G. Kegunaan Penelitian

Hasil temuan penelitian diharapkan memberikan manfaat bagi:

1. Pemerintah untuk merealisasikan program Wajib Belajar 12 tahun melalui langkah-langkah konstitusional.

2. Masyarakat mendapatkan perluasan hak memperoleh pendidikan minimal yang lebih tinggi yaitu pendidikan menengah secara gratis dan bermutu.

(13)

B A B - I I

KAJIAN PUSTAKA

A. Landasan Konstitusional Hak Berpendidikan

Hak asasi adalah hak kodrati yang diberikan Tuhan kepada seluruh manusia, tanpa kecuali. Hak asasi merupakan hak dasar atau pokok seperti hak hidup dan perlindungan. Hak asasi manusia adalah hak yang dilindungi secara

internasional dalam piagam deklarasi PBB yaitu Declaration of Human Right.15

Piagam deklarasi PBB tersebut memuat 37 artikel yang menjamin hak-hak asasi manusia.

Piagam deklarasi HAM PBB, dimaksudkan sebagai standar minimum yang diharapkan dalam penegakkan HAM bangsa-bangsa di dunia. Pernyataan tersebut secara yuridis bersifat tidak mengikat. Namun, piagam tersebut melambangkan komitmen secara moral dunia internasional pada norma-norma

hak asasi manusia.16 Negara-negara di dunia, termasuk Indonesia berupaya

memberikan jaminan terhadap hak-hak asasi sebagaimana dirumuskan dalam piagam deklarasi HAM PBB. Dalam sejumlah pasal UUD 1945, konstitusi negara Indonesia telah memasukkan hak-hak asasi manusia yang terdapat pada piagam deklarasi HAM melalui proses amandemen UUD. Pasal-pasal UUD 1945 hasil amandemen tentang hak asasi manusia dituangkan seperti pada pasal 28A sampai 28J.

Hak memperoleh pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia. Hak kodrati yang dijamin oleh hukum baik secara nasional maupun internasional. Dinyatakan pada Artikel 26, sebagai berikut:

1. Everyone has the right to education. Education shall be free, at least in the elementary and fundamental stages. Elementary education shall be compulsory. Technical and professional education shall be made generally available and higher education shall be equally accessible to all on the basis of merit.

2. Education shall be directed to the full development of the human personality and to the strengthening of respect for human rights and fundamental freedoms. It shall promote understanding, tolerance and friendship among all nations, racial or religious groups, and shall further the activities of the United Nations for the maintenance of peace.

3. Parents have a prior right to choose the kind of education that shall be given to their children.17

15 KBBI Pusat Bahasa (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008).

16 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Politik (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1997), h.124. 17 United Nations Universal Declaration of Human Right 1948 artikel 26 ayat 1-3.

(14)

Bagi bangsa Indonesia, hak memperoleh pendidikan adalah hak konstitusional warga negara. UUD 1945 secara tegas menjamin hak warga negara untuk memperoleh pendidikan sebagaimana tercantum pada pasal 28C ayat 1 dan pasal 31 ayat 1. Dalam pasal 28C ayat 1 dinyatakan, “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan manusia.” Selanjutnya, pasal 31 ayat (1) disebutkan, “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.”

Pendidikan merupakan hak asasi yang fundamental. Konferensi

pendidikan untuk semua, “World Conference on Education for All” di Thailand,

1990, merumuskan: that education is a fundamental right for all people, women

and men, of all ages, throughout our world.18 Pendidikan adalah suatu hak yang fundamental bagi semua orang, wanita dan laki-laki, semua umur, dan seluruh dunia. Disebutkan dalam pertemuan Dakkar, Senegal pada tahun 2000, bahwa pendidikan menjadi kunci bagi keberlangsungan pembangunan, perdamaian, dan stabilitas antarnegara, juga penting bagi partisipasi yang efektif dalam masyarakat, ekonomi pada abad dua puluh satu.

Pertemuan Dakkar menegaskan komitmen negara peserta untuk mencapai tujuan dan target pendidikan untuk semua (EFA) bagi setiap warga

negara dan masyarakat. Dengan demikian negara bertanggung jawab dalam

memberikan jaminan hak berpendidikan bagi warga negara secara adil, tanpa diskriminasi. Warga negara dijamin memperoleh pendidikan seluas-luasnya untuk mengembangkan diri sehingga dapat hidup secara beradab dan bermartabat. Bentuk jaminan yang diberikan negara di antaranya seperti penyediaan akses memperoleh pendidikan secara mudah bagi setiap warga negara, peningkatan pemerataan memperoleh pendidikan yang bermutu.

UUD 1945 dalam memberikan jaminan hak pendidikan sekaligus memberikan tanggung jawab terhadap warga negara untuk berpendidikan atas

dasar prinsip equalitiy and responsibility. Tanggung jawab warga negara dalam

pendidikan yaitu kewajiban warga negara minimal berpendidikan dasar (pasal 31, ayat 2). Kewajiban mengikuti pendidikan dasar yang dibebankan kepada warga negara merupakan rekayasa sosial pemerintah (negara) dalam menciptakan

tatanan sosial kebangsaan yang bermartabat melalui instrumen hukum.19

Rekayasa sosial melalui instrumen hukum, dapat dikembangkan sesuai dengan tiga pertimbangan yaitu: tinjauan filosofis hukum, sosiologis hukum, dan historis hukum.

18 World Declaration on Education For All, 1990.

(15)

B. Landasan Konstitusional Wajib Belajar

Wajib bermakna tidak bisa diabaikan, ditinggalkan. Sesuatu yang wajib menuntut untuk dilaksanakan. Kewajiban sebagai sesuatu yang harus dilaksanakan. Jika hal itu tidak dilaksanakan ada konsekuensi atau akibat yang ditanggung bagi pelanggar.

Wajib belajar (wajar) sebagai suatu kewajiban untuk belajar. Menurut UU No. 20 Tahun 2003 wajar adalah kewajiban yang dibebankan kepada warga negara Indonesia berusia 7-12 tahun. Dalam istilah pembangunan pendidikan di Indonesia, wajar merupakan program wajib belajar seperti program wajar 6 tahun yaitu wajib bersekolah dasar dan wajar 9 tahun yaitu wajib belajar pada tingkat sekolah dasar (SD) dan SMP. Istilah wajib belajar merujuk pada konsep

compulsory yang terdapat pada Piagam Deklarasi HAM PBB sedunia artikel 26. Ada dua konsep yang mendasari hak asasi memperoleh pendidikan dasar yaitu

free dan compulsory. Pendidikan dasar (elementary education) dilaksanakan

secara gratis dan diwajibkan.

Di dalam UUD 1945, setiap warga negara diwajibkan untuk mengikuti pendidikan dasar. Di samping itu, mewajibkan pula kepada pemerintah untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan dasar. Pasal 31 ayat (2) menyebutkan bahwa “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.” Kewajiban mengikuti pendidikan dasar merupakan kewajiban yang dibebankan kepada warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun atau usia SD sampai SMP.

Kewajiban mengikuti jenjang pendidikan dasar menurut pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas adalah program wajib belajar minimal yang harus diikuti setiap warga negara. Pasal 34 ayat (2) menyatakan, “Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”. Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat (ayat 3).

Program wajib belajar dalam sejarah pembangunan pendidikan di Indonesia telah dilaksanakan dalam dua kali periode, yaitu program wajib belajar 6 tahun dan program wajib belajar 9 tahun. Program wajar 6 tahun yaitu program wajib belajar 6 tahun bagi anak Indonesia usia sekolah dasar (7-12 tahun) yang sudah harus bisa membaca, menulis, dan berhitung. Program wajar 6 tahun telah mendorong pemerintah untuk mempercepat pembangunan sekolah dasar yang lebih dikenal dengan SD Inpres. Pembangunan SD Inpres terbesar terjadi pada tahun 1982/1983 sebanyak 22.600 gedung baru. Hingga tahun 1993/1994 hampir 150.000 unit SD Inpres dibangun. Program Wajar 6 tahun dinilai berhasil dalam mempercepat pembangunan pendidikan dan bangsa pada umumnya. Fokus utama wajar 6 tahun yakni memberikan pemerataan pendidikan dasar ke seluruh pelosok Indonesia.

(16)

Pencanangan program wajar 9 tahun berdasarkan Instruksi Presiden No. 1 tahun 1994, sebagai gerakan nasional. Menurut Pedoman Pelaksanaan Wajar Dikdas, wajib belajar pendidikan dasar diselenggarakan dalam rangka memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada warga negara Indonesia untuk memperoleh pendidikan dasar.

Program wajar 9 tahun merupakan program perluasan wajar 6 tahun yang telah dilaksanakan sejak 2 Mei 1984. Perluasan Wajar 6 tahun menjadi 9 tahun dengan pertimbangan, antara lain: 1) adanya tuntutan dan tantangan yang terus meningkat, dan 2) menguatnya kecenderungan globalisasi yang berdampak dalam persaingan global. Kecenderungan tersebut mengharuskan adanya peningkatkan kualitas manusia Indonesia agar dapat bertahan dan hidup bermartabat.

Memasuki tahun 2013, pemerintah mencanangkan program Pendidikan Menengah Universal (PMU). Program PMU digulirkan untuk memperluas akses masyarakat memperoleh pendidikan menengah (SMA/SMK). Perluasan akses diperlukan karena rendahnya angka partisipasi kasar APK pendidikan tingkat menengah (SMA/SMK). Sasaran PMU tercapai APK pendidikan menengah sekurang-kurangnya mencapai 97% adalah pada tahun 2020.

Program PMU sebagai program rintisan wajib belajar 12 tahun. Penggunaan konsep PMU dikarenakan program wajib belajar 12 tahun tidak memiliki dasar hukum dalam UU Sisdiknas. Program wajar 12 tahun, jika ditinjau dari RPJPN merupakan implementasi prioritas kedua pembangunan nasional pendidikan yaitu Peningkatan akses, kualitas, dan relevansi pendidikan menengah. Dalam konteks pentahapan pembangunan pendidikan program wajar 12 tahun merupakan strategi pembangunan pendidikan untuk peningkatan daya saing regional, pada periode 2014-2019.

C. Landasan Konstitusional Pendidikan Dasar dan Menengah

Pendidikan adalah proses pemanusiaan dan pembudayaan. Ki Hajar Dewantara berpandangan bahwa pendidikan adalah upaya memanusiakan

manusia secara manusiawi.20 Kegiatan pendidikan sebagai proses pemanusiaan

berarti pendidikan mengembangkan dan memberdayakan potensi-potensi yang dimiliki peserta didik secara integral. Sedangkan sebagai proses pembudayaan, pendidikan menanamkan nilai-nilai kehidupan. Nilai merupakan esensi dari kebudayaan. Kebudayaan umumnya menunjuk pada perilaku manusia yang

merujukan pada sistem nilai yang ada di masyarakat.21 Dengan demikian,

pendidikan dalam konteks pembudayaan berarti pengembangan peserta didik menjadi manusia berbudaya.

Kegiatan pendidikan sebagian teori menyebutkan sebagai proses alami yang terjadi dari dalam diri manusia dan sebagian menilai pendidikan sebagai

20 Giat Wahyudi, Sketsa Pemikiran Ki Hajar Dewantara (Jakarta: Sanggar Filsafat Indonesia Muda, 2007), h. 34. 21 Giat Wahyudi, Sketsa Pemikiran...h. 112.

(17)

proses pembentukan dari luar diri manusia melalui tekanan eksternal.22 Pengembangan potensi kemanusiaan dan nilai-nilai budaya dengan demikian dapat berkembang secara alamiah dalam diri peserta didik maupun dapat berkembang melalui pembiasaan dari lingkungan eksternal.

Pendidikan menurut UU Sisdiknas adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta

keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.23

Kegiatan pendidikan menjadi medium yang memfasilitasi tersedianya kondisi dan suasana bagi proses belajar dan pembelajaran. Pendidikan sebagai proses kegiatan yang berbeda dengan proses belajar.

Belajar adalah proses psikologis perolehan pengetahuan, nilai-nilai, dan keterampilan baik melalui serangkaian kegiatan terstruktur maupun tidak. Karl Popper berpandangan bahwa belajar sebagai hasil usaha aktif memecahkan

persoalan melalui trial and error (coba-coba). Pengalaman menurut Dewey

merupakan faktor terciptanya pendidikan. Walaupun demikian tidak seluruh

pengalaman manusia bersifat edukatif.24 Belajar terstruktur berlangsung melalui

serangkaian proses akademik yang terlembagakan dalam bentuk sekolah-sekolah. Sedangkan belajar tidak terstruktur adalah proses pengalaman hidup manusia secara luas melalui interaksi sosial maupun dengan alam sekitar.

Sekolah merupakan sistem kelembagaan sosial yang menjalankan proses pendidikan yang terstruktur. Di era sekarang, eksistensi sekolah sangat penting sebagai instrumen sosial dalam proses pendidikan dan pengembangan sumberdaya manusia. Sekolah memegang peran dominan dalam transformasi pengetahuan, nilai-nilai, dan keterampilan hidup. Sekolah menurut Reimer yakni lembaga yang menghendaki kehadiran penuh kelompok-kelompok umur tertentu dalam ruang-ruang kelas yang dipimpin oleh guru untuk mempelajari

kurikulum-kurikulum yang bertingkat.25 Kelompok umur sekolah antara lain, 0-5 tahun (usia

PAUD), 6-12 tahun (usia anak SD), 13-15 tahun (usia anak SMP), 16-18 tahun (usia anak sekolah menengah (SMA). Selebihnya usia mengikuti pendidikan tinggi.

Pendidikan dasar (elementary education) diadopsi dari terminologi

Declaration of Human Right artikel ke 26 tentang hak memperoleh pendidikan. Pendidikan dasar merupakan tahap pendidikan yang penting dan fundamental. Jenis pendidikan lainnya yaitu pendidikan tekhnikal dan profesional sebagai

pendidikan setingkat diploma (politeknik), dan pendidikan tinggi (higher

education). Pendidikan dasar menurut Declaration of Human Right

diselenggarakan secara gratis dan wajib, pendidikan tekhnikal dan profesional

22 John Dewey, Pengalaman dan Pendidikan (Yogyakarta: Kepel Press, 2002), h. 1. 23 UU No. 20 Tahun 2003, pasal 1 ayat 1.

24 John Dewey, Pengalaman dan..., h. 12.

(18)

dilakukan secara terbuka untuk umum, dan pendidikan tinggi dapat diakses secara adil berdasarkan kemampuan.

Pendidikan dasar di sejumlah negara seperti Amerika Serikat dan

negara-negara Eropa mencakup pendidikan di tingkat sekolah dasar (primary school)

hingga sekolah menengah (senior high school). Di Amerika Serikat, pendidikan

dasar berlangsung selama 14 tahun, sejak usia PAUD sampai semenengah. Sedangkan di negara-negara Eropa penyelenggaraan pendidikan dasar berlangsung selama 12 tahun.

Pasal 31 ayat 2 UUD 1945 menyebutkan bahwa pendidikan dasar harus diikuti warga negara Indonesia. Dalam UU No. 20 Tahun 2003 pasal 17 ayat (1) disebutkan bahwa pendidikan dasar merupakan pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah. Bentuk pendidikan dasar disebutkan dalam pasal 17 ayat (2) yaitu berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.

Adapun yang dimaksud pendidikan menengah pada pasal 18 merupakan kelanjutan pendidikan dasar (ayat 1). Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan (ayat 2). Bentuk pendidikan menengah yaitu sekolah menengah atas (SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.

Konsep pendidikan dasar yang dianut UU Sisdiknas tidak mencakup pendidikan menengah (SMA/SMK). Bentuk pendidikan dasar hanya pada tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Penyelenggaraan pendidikan dasar berlangsung selama 9 tahun. Kewajiban mengikuti pendidikan dasar (pendidikan 9 tahun) menjadi wajib belajar bagi warga negara yang berusia 7-15 tahun. Kewajiban belajar di Indonesia tidak mencapai tingkat pendidikan menengah (SMA/SMK) seperti di sejumlah negara, melainkan hanya sampai SMP.

D. Landasan Konstitusional Hak Anak Memperoleh Pendidikan

Hak memperoleh pendidikan adalah hak dasar bagi setiap warga negara yang dinyatakan pada pasal 28C dan 31 ayat 1 UUD 1945, termasuk hak bagi anak-anak. Dalam UU Sisdiknas secara eksplisit setiap warga negara yang berusia 7-15 tahun dalam wajib mengikuti pendidikan dasar. Batasan usia yang disebutkan pada UU Sisdiknas yaitu termasuk usia anak-anak. Karena itu, setiap anak Indonesia yang berusia 7-15 tahun diwajibkan mengikuti program belajar dengan bersekolah pada tingkat SD sampai SMP. UU Sisdiknas juga menyebutkan bahwa anak berusia 6 tahun dapat diikutsertakan dalam program wajar 9 tahun.

Batasan usia anak bila merujuk pada sejumlah sumber berbeda-beda.

(19)

tahun dan pada usia 18-22 memasuki masa remaja akhir (late adolescence).26 Masa anak-anak dari perspektif sosiologis adalah masa sosialisasi. Anak di masa itu belajar untuk memahami nilai dan norma yang ada di lingkungan sekitar. Montessori mengelompokkan anak usia di bawah 18 tahun (12-18 tahun)

merupakan periode penemuan diri dan kepekaan sosial.27 Dalam Konvensi

Hak-Hak Anak PBB, dinyatakan bahwa anak adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak

ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal.28 International Labour

Organization (ILO) menyebutkan kelompok kategori pekerja anak pada usia 5-17 tahun. Anak menurut UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang

masih dalam kandungan.29 Berdasarkan batasan-batasan tersebut, yang

dimaksud anak yaitu setiap orang, warga negara yang belum mencapai usia 18 tahun.

Pasal 28 Konvensi Hak-Hak Anak PBB menyatakan: Negara-negara peserta mengakui hak anak atas pendidikan. Untuk mencapai hak tersebut, negara peserta konvensi akan:

a. Membuat pendidikan dasar wajib dan tersedia cuma-cuma untuk semua anak;

b. Mendorong pengembangan bentuk-bentuk yang berbeda dari pendidikan menengah, termasuk pendidikan umum dan kejuruan;

c. Membuatnya tersedia dan bisa diperoleh oleh setiap anak, dan akan mengambil langkah-langkah yang layak, seperti penerapan pendidikan cuma-cuma dan menawarkan bantuan keuangan apabila diperlukan;

d. Membuat pendidikan tinggi wajib untuk semua anak yang didasarkan pada kemampuan dari setiap sarana yang layak; membuat informasi pendidikan dan kejuruan dan bimbingan tersedia dan dapat dicapai oleh semua anak; e. Mengambil langkah-langkah untuk mendorong kehadiran anak secara teratur

di sekolah dan penurunan tingkat putus sekolah.

Negara dalam UU Perlindungan Anak, menjamin hak-hak berpendidikan

setiap anak. Dinyatakan, “Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan

pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya

sesuai minat dan bakatnya.”30

Untuk memenuhi hak anak, maka:

1) Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan

kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental.31

26 John W. Santrock, Remaja (Jakarta: Erlangga, 2007), h. 20-21.

27 Desmita, Psikologi Perkembangan Peserta Didik (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), h. 22. 28 Pasal 1 Konvensi Hak-Hak Anak PBB tahun 1989.

29 Pasal 1 ayat 1 UU No. 23 Tahun 2002. 30 UU No. 23 Tahun 2002, pasal 9 ayat 1. 31 UU No. 23 Tahun 2002, pasal 21.

(20)

2) Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan

anak.32

3) Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempatan

yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan.33

Dalam hal pembiayaan pendidikan anak, pemerintah bertangung jawab untuk membiayai. “Pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan biaya pendidikan dan/atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan khusus bagi anak dari keluarga kurang mampu, anak terlantar, dan anak yang bertempat tinggal di

daerah terpencil.”34

Dalam UU Perlindungan Anak tersebut, pemerintah bertangung jawab membiayai pendidikan anak hingga usia di bawah 18 tahun atau pendidikan menengah. Pemerintah di samping itu bertanggung jawab menjamin anak dari keluarga miskin, terlantar, terpencil untuk memperoleh akses pendidikan seluas-luasnya.

E. Landasan Konseptual Anggaran Pendidikan

Pembiayaan pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam

pembangunan pendidikan secara keseluruhan. Biaya (cost) mencakup semua

jenis pengeluaran yang berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan, baik

dalam bentuk uang maupun barang dan tenaga.35 Biaya pendidikan dapat

dibedakan antara biaya langsung (direct cost) dan biaya tidak langsung (indirect

cost). Biaya langsung adalah segala pengeluaran yang secara langsung

menunjang penyelenggaraan pendidikan. Sedangkan, biaya tidak langsung yakni pengeluaran yang tidak secara langsung menunjang proses pendidikan tetapi memungkinkan proses pendidikan tersebut terjadi di sekolah, seperti biaya hidup siswa, biaya transportasi ke sekolah, biaya jalan, biaya kesehatan, dan harga

kesempatan.36 Biaya tidak langsung ada yang menyebutnya berupa keuntungan

yang hilang (earning forgone) dalam bentuk kesempatan yang hilang (opportunity

cost).37

Pembiayaan pendidikan dalam PP No. 19 tahun 2005 dibagi ke dalam tiga

jenis yaitu: biaya investasi, biaya operasi, dan personal.38 Biaya investasi adalah

biaya penyelenggaraan pendidikan yang sifatnya lebih permanen dan dapat dimanfaatkan jangka waktu relatif lama, lebih dari satu tahun. Biaya investasi terdiri dari biaya investasi lahan dan biaya investasi selain lahan. Biaya investasi menghasilkan aset dalam bentuk fisik dan non fisik, berupa kapasitas atau kompetensi sumber daya manusia. Dengan demikian, kegiatan pengembangan

32 UU No. 23 Tahun 2002, pasal 22. 33 UU No. 23 Tahun 2002, pasal 49. 34 UU No. 23 Tahun 2002, pasal 53.

35 Dedi Supriadi, Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), h. 3. 36Ibid., h. 4.

37 Nanang Fatah, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), h. 23. 38 PP No. 19 Tahun 2005, pasal 62 ayat 1.

(21)

profesi guru termasuk ke dalam investasi yang perlu mendapat dukungan dana yang memadai.

Biaya operasi adalah biaya yang diperlukan sekolah untuk menunjang

proses pendidikan. Biaya operasi terdiri dari biaya personalia dan biaya

nonpersonalia. Biaya personalia mencakup: gaji dan tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan struktural, tunjangan fungsional, tunjangan profesi, dan tunjangan-tunjangan lain yang melekat dalam jabatannya. Biaya non personalia, antara lain biaya untuk: Alat Tulis Sekolah (ATS), Bahan dan Alat Habis Pakai, yang habis dipakai dalam waktu satu tahun atau kurang, pemeliharaan dan perbaikan ringan, daya dan jasa transportasi/perjalanan dinas, konsumsi, asuransi, pembinaan siswa/ekstra kurikuler.

Biaya personal pribadi termasuk biaya-biaya seperti untuk buku dan alat tulis sekolah, pakaian dan perlengkapan sekolah, akomodasi, transportasi, konsumsi, kesehatan, karyawisata, uang saku, kursus tambahan, iuran sekolah,

forgone eraning.39

Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah (pemerintah pusat maupun pemerintah daerah) dan masyarakat (penyelenggara satuan pendidikan, peserta didik, orang tua/wali, dan pihak lain yang peduli terhadap pendidikan). Pemerintah bertanggung jawab atas pendanaan pendidikan dengan mengalokasikan anggaran pendidikan pada APBN maupun APBD. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 49, merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-VI I 2008, mengamanatkan bahwa dana pendidikan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Sistem pembiayaan pendidikan merupakan proses dimana pendapatan

dan sumber daya tersedia digunakan untuk memformulasikan dan

mengoperasionalkan sekolah. Sistem pembiayaan pendidikan sangat bervariasi tergantung dari kondisi masing-masing negara seperti kondisi geografis, tingkat pendidikan, kondisi politik pendidikan, hukum pendidikan, ekonomi pendidikan, program pembiayaan pemerintah dan administrasi sekolah. Sementara itu terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan untuk mengetahui sesuai tidaknya sistem dengan kondisi negara. Untuk mengetahui apakah sistem tersebut memuaskan, dapat dilakukan dengan cara: i) menghitung berbagai proporsi dari kelompok usia, jenis kelamin, tingkat buta huruf; ii) distribusi alokasi sumber daya pendidikan secara efisien dan adil sebagai kewajiban pemerintah pusat mensubsidi sektor pendidikan dibandingkan dengan sektor lainnya.

39 Abbas Ghozali, “Strategi Pembiayaan dan Pendanaan Pendidikan di Indonesia,” bahan ini disampaikan dalam Semiloka

Sektor Review tentang “Standar Biaya Minimum Pendidikan Siswa: Kebijakan, Anggaran, dan Mutu Pendidikan” yang diselenggarakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (di Bogor, 14 dan 15 Desember 2011), h. 4.

(22)

Setiap keputusan dalam masalah pembiayaan sekolah akan mempengaruhi bagaimana sumber daya diperoleh dan dialokasikan. Oleh karena itu perlu dilihat siapa yang akan dididik dan seberapa banyak jasa pendidikan dapat disediakan, bagaimana mereka akan dididik, siapa yang akan membayar biaya pendidikan. Demikian pula sistem pemerintahan seperti apa yang paling sesuai untuk mendukung sistem pembiayaan pendidikan. Tanggungjawab pemerintah dalam pembiayaan pendidikan termasuk untuk pendidikan kejuruan dan bantuan terhadap murid. Hal itu perlu dilihat dari faktor kebutuhan dan ketersediaan pendidikan, tanggungjawab orang tua dalam menyekolahkan

versus social benefit secara luas, pengaruh faktor politik dan ekonomi terhadap

sektor pendidikan.

Setiap kebijakan dalam pembiayaan sekolah akan mempengaruhi bagaimana sumber daya diperoleh dan dialokasikan. Dengan mengkaji berbagai peraturan dan kebijakan yang berbeda-beda di sektor pendidikan, kita bisa melihat konsekuensinya terhadap pembiayaan pendidikan, yakni:

 Keputusan tentang siapa yang akan dididik dan seberapa banyak jasa

pendidikan dapat disediakan.

 Keputusan tentang bagaimana mereka akan dididik.

 Keputusan tentang siapa yang akan membayar biaya pendidikan.

 Keputusan tentang sistem pemerintahan seperti apa yang paling sesuai untuk

mendukung pembiayaan sekolah.

 Untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas, ada dua hal pokok yang harus

dapat dijawab, yakni: i) bagaimana sumber daya akan diperoleh, ii) bagaimana sumber daya akan dialokasikan pada berbagai jenis dan jenjang pendidikan/tipe sekolah/kondisi daerah yang berbeda. Terdapat dua kriteria untuk menganalisis setiap hal tersebut, yakni, i) efisiensi yang terkait dengan keberadaan sumber daya yang dapat memaksimalkan kesejahteraan masyarakat dan ii) keadilan yang terkait dengan benefits dan costs yang seimbang.

Pembiayaan program wajib belajar menjadi tanggung jawab pemerintah. Dalam pasal 34 ayat (2) menyatakan, “Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”. Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat (ayat 3).

(23)

B A B - I I I

METODOLOGI PENELITIAN

A. Sumber Data Penelitian

Sumber data pada penelitian ini meliputi: subyek primer penelitian yakni: 1) para narasumber dalam wawancara mendalam, 2) para peserta FGD, 3) peserta dalam konsultasi ahli.

Kedua, sumber sekunder yang berasal dari dokumen, catatan resmi sekolah, foto-foto liputan sekolah, artikel Koran, majalah, serta liputan lain yang relevan.

B. Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan selama 3 bulan, kurun waktu bulan Januari sampai awal April 2014, dengan rincian jadwal kegiatan sebagai berikut:

C. Jenis Penelitian

Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif deskriptif-naratif. D. Metode Pengambilan Data

Metode atau teknik/cara pengambilan data penelitian dilakukan melalui tiga cara yaitu studi dokumentasi, wawancara mendalam, dan focus group discussion (FGD).

1. Studi Dokumentasi dilakukan untuk mengkaji berbagai sumber seperti: UU, buku, jurnal/majalah ilmiah, media massa, laporan resmi pemerintah, LSM, lembaga internasional

2. Wawancara mendalam dilakukan kepada para ahli hukum, sosiolog, politisi, pendidikan, pengganggaran, praktisi dan pengamat pendidikan dengan jumlah narasumber 15 orang.

3. Focus Group Discussion, dilakukan dengan peserta 20 orang, termasuk 1 orang peserta ahli dan 1 orang fasilitator. Durasi pelaksanaan FGD 1,5 jam sd 2 jam.

4. Konsultasi Ahli, dilakukan untuk memverifikasi hasil laporan sementara penelitian. Diikuti oleh satu orang ahli yang bertindak sebagai konsultan, dan peserta lain untuk memberikan tanggapan. Durasi pelaksanaan FGD 1,5 jam sd 2 jam.

E. Instrumen Pengambilan Data

Instrumen diperlukan untuk mengambil data baik dengan cara studi dokumentasi, wawancara mendalam, FGD, dan konsultasi ahli. Instrumen penelitian yang digunakan yaitu:

(24)

1. Catatan lapangan yang dipakai pada pengambilan data melalui studi dokumen. Berisi kategorisasi temuan dan deskripsi temuan.

2. Pedoman wawancara dipakai pada saat wawancara mendalam. Pedoman wawancara secara spesifik dibuat sesuai keahlian narasumber yang terdiri dari bidang hukum, politisi, sosiologi, pendidikan, penganggaran.

3. Pedoman FGD dipakai untuk melaksanakan kegiatan FGD, berisi teknik operasional FGD dan substansi masalah FGD.

4. Pedoman Konsultasi Ahli dipakai untuk melaksanakan kegiatan konsultasi, berisi teknik operasional konsultasi dan substansi temuan penelitian.

F. Analisis Data

Proses analisis data dilakukan model Miles dan Huberman melalui tahap kegiatan kategorisasi, triangulasi data, analisis induktif deskriptif.

(25)

B A B - I V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pertimbangan Konstitusional Kebutuhan Pendidikan 12 tahun

Pendidikan menengah (SMA/SMK) menurut UU Sisdiknas tidak termasuk bentuk pendidikan yang diwajibkan dalam program wajib belajar 9 tahun.

Program wajib belajar diselenggarakan minimal pada pendidikan dasar.40 Dalam

UUD 1945, pendidikan dasar merupakan tingkat pendidikan yang wajib diikuti oleh setiap warga negara. Pasal 31 ayat (2) berbunyi “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.”

Bentuk pendidikan dasar mencakup pendidikan sekolah dasar (primary

school) dan sekolah menengah pertama (junior high school). Bentuk pendidikan dasar yaitu berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan

madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.41 Dengan

demikian, pendidikan menengah (SMA/SMK) menurut UU Sisdiknas tidak termasuk pendidikan dasar dan tidak termasuk tingkat pendidikan yang diwajibkan dalam program wajib belajar. Penyelenggaraan wajib belajar di sejumlah negara berlangsung beragam. Di Amerika Serikat wajib belajar diselenggarakan selama 14 tahun pada tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sampai sekolah menengah atas (Senior High School). Sementara itu di negara-negara Eropa, pendidikan dasar diselenggarakan selama 12 tahun atau

hingga sekolah menengah.42

Berdasarkan Pasal 31 ayat 2 UUD 1945, program wajar pendidikan dasar menjadi tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan biaya pendidikan. Program pendidikan dasar 9 tahun (SD-SMP) yang diatur pasal 34 ayat 2 UU Sisdiknas diselenggarakan secara gratis atau cuma-cuma. Sedangkan, biaya penyelenggaraan pendidikan menengah (SMA/SMK) di luar tanggung jawab pemerintah. Warga negara berusia 16-17 tahun (usia pendidikan menengah) memperoleh pendidikan tidak secara cuma-cuma.

Jaminan pembiayaan program pendidikan dasar 9 tahun yang diatur dalam UU Sisdiknas pasal 34 ayat 2 membatasi hak untuk memperoleh pendidikan seluas-luasnya. Dalam UU Perlindungan Anak pasal 53, pemerintah bertanggung memberikan biaya pendidikan anak. Usia anak yang dimaksud dalam UU Perlindungan Anak yakni sampai usia di bawah 18 tahun atau usia sekolah menengah. Sebab itu, anak usia pendidikan menengah berhak memperoleh pembiayaan pendidikan dari pemerintah atau negara.

40 UU No. 20 Tahun 2003, pasal 34 ayat 2. 41 UU No. 20 Tahun 2003, pasal 17 ayat 2. 42 Hasil wawancara dengan Ace Suryadi.

(26)

Pendidikan 12 tahun sebagai program wajib belajar hingga pendidikan

menengah (SMA/SMK) berdasarkan perspektif perundangan-undangan

(Sisdiknas) tidak memiliki landasan hukum. Sejumlah pasal UU Sisdiknas tidak akomodatif untuk memenuhi kebutuhan pendidikan 12 tahun sebagai wajib belajar. Sejumlah pasal UU Sisdiknas tersebut, yaitu:

1. Pasal 6 : Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.

2. Pasal 34 ayat 2 : Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.

Untuk memenuhi kebutuhan pendidikan 12 tahun sebagai program wajib belajar, ada dua cara pertimbangan konstitusional dapat dilakukan yaitu sebagian

menyebutkan perlunya langkah judicial review dan sebagian menempuh langkah

amandemen sejumlah pasal UU Sisdiknas.

Upaya hukum berupa judicial review kepada Mahkamah Konstitusi

berdasarkan pertimbangan bahwa pasal 34 ayat 2 UU Sisdiknas yang bertentangan/melanggar hak-hak anak untuk memperoleh pendidikan seluas-luasnya sebagaimana dinyatakan pasal 28C, pasal 31 ayat 1 UUD 1945. Jaminan pembiayaan pendidikan oleh negara/pemerintah seharusnya mencakup seluruh anak sebagai warga negara RI sebagaimana diatur pasal 53 UU No. 23 tahun 2002. Untuk memenuhi jaminan pembiayaan pendidikan, mengusulkan kepada pemerintah (presiden dan DPR) untuk memberikan landasan hukum yang kuat bagi pemenuhan hak-hak pendidikan anak sesuai batasan usia anak sesuai UU Perlindunga Anak dan Konvensi Hak-Hak Anak PBB 1989.

Pertimbangan kedua yaitu perlu adanya perubahan (amandemen).

Pemerintah, dalam menyikapi kekosongan landasan hukum untuk

menyelenggarakan program wajib belajar 12 tahun, berencana melakukan upaya

amandemen terhadap UU Sisdiknas.43 ”Ada rencana segera mengamandemen

UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, terutama yang berkaitan wajib belajar. Pemerintah akan meningkatkan wajib belajar 9 tahun jadi 12 tahun,”

menurut M. Nuh.44 Langkah amandemen menurut Yusuf Hidayat merupakan

langkah yang dapat diterima, sebab secara konstitusional pasal-pasal yang mengatur program wajib belajar 9 tahun tidak bertentangan dengan pasal 31

UUD 1945 ayat 1 dan 2.45

Usulan perubahan pasal 6 dan pasal 34 ayat 2 UU Sisdiknas sebagaimana terlihat pada tabel 1 berikut ini:

43 “Tiga Sasaran Utama Pendidikan Menengah Universal,” Bangkapos.com (Diakses pada 20 Desember 2013). 44 Kompas.com (Diakses pada 20 Desember 2013).

(27)

Tabel 1

Perbandingan Isi Pasal dan Usulan Perubahan Isi Pasal

Pasal UU

Sisdiknas Bunyi isi pasal Usulan isi bunyi pasal

Pasal 6 Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan

lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.

Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan

delapan belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar

dan menegah. Pasal 34 ayat 2 Pemerintah dan pemerintah

daerah menjamin

terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang

pendidikan dasar tanpa memungut biaya.

Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin

terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang

pendidikan menengah tanpa memungut biaya.

Amandemen terhadap kebutuhan wajib belajar dinilai Nusa Putra merupakan pembenahan bidang pendidikan secara parsial, tidak sistemik yaitu meninjau keseluruhan peraturan perundangan yang menjadi dasar sistem

pendidikan nasional.46 Menurut Nusa, peraturan perundangan secara

menyeluruh untuk membuat landasan hukum bagi pembangunan pendidikan nasional di masa akan datang. Perbaikan secara parsial tidak cukup untuk membenahi permasalahan pendidikan.

Pembenahan UU Sisdiknas, termasuk landasan hukum wajib belajar 12 tahun telah menjadi agenda DPR. Komisi X DPR untuk memfasilitasi wajib belajar 12 tahun telah membentuk Panja (Panitia Kerja) untuk membahas

program wajib belajar 12 tahun.47 Anggota komisi X DPR menurut Rohmani

berkepentingan untuk mengupayakan payung hukum terhadap program wajib belajar 12 tahun agar rakyat memperoleh pendidikan SMA secara gratis.

Pengadaan dasar hukum pemenuhan kebutuhan pendidikan 12 tahun melalui program wajib belajar dengan tiga pertimbangan yakni filosofis,

sosiologis, dan historis hukum. Pertama, pertimbangan filosofis hukum

pemenuhan kebutuhan pendidikan 12 tahun melalui program wajib belajar, dengan alasan:

1) Pendidikan 12 tahun dalam bentuk program wajib belajar memperluas akses warga negara untuk memperoleh hak pendidikan yang lebih tinggi dan bermutu.

2) Pendidikan 12 tahun dalam bentuk program wajib belajar mendorong pemerintah (negara) untuk memberikan jaminan pembiayaan pendidikan minimal sampai sekolah menengah atas/kejuruan.

46 Hasil wawancara dengan Nusa Putra di Bekasi pada 2 Februari 2014. 47 Hasil wawancara dengan Rohmani di Jakarta pada 11 Februari 2014.

(28)

3) Pendidikan 12 tahun dalam bentuk program wajib belajar sebagai upaya negara mewujudkan salah satu tujuan nasional, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.

Kedua, pertimbangan sosiologis hukum pemenuhan kebutuhan

pendidikan 12 tahun melalui program wajib belajar, dengan alasan antara lain: 1) Bangsa Indonesia membutuhkan sumberdaya manusia yang unggul, mampu

bersaing di dunia internasional.

2) Tingkat pendidikan yang rendah berdampak pada rendahnya nilai kompetitif tenaga kerja Indonesia, merusak harkat dan martabat sebagai bangsa.

Ketiga, pertimbangan historis hukum pemenuhan kebutuhan pendidikan 12 tahun melalui program wajib belajar, dengan alasan antara lain:

1) Program wajib belajar 9 tahun telah berlangsung selama 2 dasa warsa (20 tahun) dan pemerintah telah mencanangkan ketuntasan secara nasional program wajib belajar 9 tahun pada tahun 2009.

2) Program wajib belajar 9 tahun telah memberikan dampak positif dalam pemerataan akses memperoleh pendidikan dasar bagi warga negara. Untuk memenuhi kebutuhan dewasa ini dan akan datang, program wajib belajar 9 tahun perlu diperluas menjadi wajib belajar 12 tahun.

3) Pemerintah pada tahun 2013 telah menggulirkan program Pendidikan Menengah Umum (PMU) sebagai rintisan program wajib belajar 12 tahun.

Berdasarkan uraian dan temuan yang telah dipaparkan, kebutuhan pendidikan 12 tahun menurut pertimbangan konstitusional dapat disimpulkan sebagai berikut:

1) Penyelenggaraan wajib belajar minimal jenjang pendidikan dasar atau 9 tahun jenjang pendidikan SD hingga SMP (pasal 6) dengan jaminan pembiayaan pendidikan dari pemerintah dan pemerintah daerah (pasal 34 ayat 2) belum mencakup hak-hak anak untuk memperoleh pendidikan sesuai batasan usia anak sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak dan Konvensi Hak-Hak Anak PBB 1989.

2) Untuk memenuhi kebutuhan pendidikan 12 tahun sebagai program wajib belajar secara konstitusional diperlukan dasar hukum melalui dua cara yakni

upaya judicial review terhadap pasal 34 ayat 2 UU Sisdiknas ke MK sekaligus

memberikan usulan kepada pemerintah (presiden/legislatif) yang mengatur wajib belajar 12 tahun. Langkah kedua dengan upaya amandemen pasal 6 dan pasal 34 ayat 2 UU Sisdiknas. Perubahan terhadap UU Sisdiknas didasarkan pertimbangan filosofis, historis, dan sosiologis hukum.

B. Pertimbangan Sosiologis Kultural Kebutuhan Pendidikan 12 tahun

Realitas sosial kultural adalah landasan obyektif pentingnya pendidikan 12 tahun bagi bangsa Indonesia. Perkembangan dunia dewasa ini dengan kecenderungan globalisasi menurut Anies Baswedan, bangsa Indonesia

(29)

membutuhkan manusia yang berkualitas.48 Negara Indonesia didirikan dengan tujuan di antaranya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pembangunan manusia Indonesia melalui instrumen pendidikan harus dipahami secara utuh bukan berdasarkan perspektif industri. Dalam konteks industri manusia sebagai

sumberdaya seperti faktor produksi lainnya yaitu modal, mesin, dan tanah.49

SDM yang berkualitas diperlukan bangsa Indonesia.50 Pendidikan yang

lebih tinggi dibutuhkan untuk membangun masyarakat yang rasional dan kompetitif secara global. Pengembangan sumberdaya manusia melalui program wajib belajar 12 tahun menurut Suryadi dengan mengacu pada Kriteria Kompetensi Nasional Indonesia (KKNI). Lulusan pendidikan 12 tahun (sekolah

menengah atas) sudah harus mampu memenuhi kebutuhan hidup.51

Kemandirian, kreativitas, dan kecakapan merupakan faktor penting untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup secara layak dan bermartabat.

Kebutuhan pendidikan 12 tahun secara sosiologis diperlukan bagi setiap warga negara agar kecakapan, keahlian, dan kompetensi profesional relevan dengan perkembangan sosial baik di tingkat nasional maupun global. Suryadi menyatakan bahwa keberhasilan pendidikan kompulsori/universal tidak diukur berdasarkan serapan lapangan kerja tetapi kemampuan belajar lulusan untuk belajar lebih lanjut. Sebab itu, pendidikan 12 tahun sebagai program wajib belajar

tidak memasukkan pendidikan kejuruan.52

Secara obyektif, Anies mencatat ada selisih sebesar 3,3 juta siswa antara siswa sekolah dasar yaitu 5,6 juta dengan jumlah lulusan sekolah menengah

sebanyak 2,3 juta.53 Hal itu menggambarkan besarnya angka putus lanjut/putus

sekolah selama ini. Perkembangan anak putus sekolah di Indonesia selama kurun waktu tiga tahun terakhir mengalami peningkatan. Pada tahun 2010 angka

anak putus sekolah mencapai 1,08 juta.54 Angka anak putus sekolah tahun 2011

dengan sebaran tingkat SD mencapai 1,5 persen dari sekitar 31 juta siswa, di SMP 1,8 persen dari 12,69 juta siswa, serta di SMA/SMK meningkat menjadi 4,27 persen dari 9,11 juta siswa. Jumlah siswa SD yang putus lanjut mencapai 9 persen, di tingkat SMP putus lanjut ke SMA/SMK sebesar 24 persen, dan sekitar

51 persen lulusan SMA/SMK tidak melanjutkan ke perguruan tinggi.55

BPS tahun 2013 melaporkan, rata-rata nasional angka putus sekolah usia 7–12 tahun mencapai 0,67 persen atau 182.773 anak; usia 13–15 tahun sebanyak 2,21 persen, atau 209.976 anak; dan usia 16–18 tahun semakin tinggi

48 Anies Baswedan, disampaikan dalam standing commitmen pada acara Konvensi Partai Demokrat di Bogor, 2 Maret

2014.

49 Hasil wawancara dengan Anies Baswedan di Jakarta, 3 Maret 2014. 50 Hasil wawancara dengan Suryadi di Bogor, 26 Januari 2014. 51 Hasil wawancara dengan Suryadi.

52 Hasil wawancara dengan Ace Suryadi. 53 Hasil wawancara dengan Anies Baswedan. 54 Harianterbit.com.02/08/2012.

(30)

hingga 3,14 persen atau 223.676 anak.56 Komnas Perlindungan Anak

menyebutkan angka putus sekolah SMP-SMA mencapai sekitar 8 juta.57

Tabel 2

Angka Putus Sekolah SD-SM

Tahun 2011 (versi kompas.com) dan Tahun 2013 (versi BPS)

No. Usia Anak (thn) 2011 2013

1. 7-12 (SD) 465.000 182.773

2. 13-15 (SMP) 228.420 209.976

3. 16-18 (SM) 388.997 223.676

Tingginya angka putus sekolah menimbulkan dampak sosial lanjutan seperti meningkatnya jumlah anak-anak jalanan di kota-kota besar, bertambahnya jumlah tenaga kerja anak di bawah umur, dan dampak sosial lainnya. Jumlah pekerja anak pada tahun 2013 menurut menteri tenaga kerja dan transmigrasi sekitar 2 sampai 4 juta. Sebelumya, hasil survey ILO dan BPS pada tahun 2010 diketahui dari jumlah keseluruhan anak berusia 5-17, yang berjumlah sekitar 58,8 juta, 4,05 juta atau 6,9 persen di antaranya termasuk dalam kategori

anak yang bekerja.58 Hasil pendataan Badan Pusat Statistik pada tahun 2011

menunjukkan bahwa 1,7 anak-anak adalah pekerja.59 Laporan Understanding

Children's Work (UCW), yang merupakan kemitraan antara ILO, UNICEF, dan Bank Dunia tahun 2012 menunjukkan sebanyak 2,3 juta anak berusia 7-14 tahun

merupakan pekerja anak di bawah umur.60

Tabel 3

Trend Jumlah Pekerja Anak di Indonesia Tahun 2010-2013

No. Tahun Jumlah Sumber

1. 2010 4,05 juta Hasil survey ILO dan BPS

2. 2011 1,7 juta Hasil pendataan BPS

3. 2012 2,3 juta Laporan UCW

4. 2013 4 juta Kementrian Tenaga Kerja/Trans

Data diolah dari berbagai sumber.

Penyebab tingginya angka putus sekolah dikarenakan berbagai alasan seperti kesulitan ekonomi, pernikahan dini, akses ke sekolah yang jauh, juga alasan membantu orang tua bekerja. Pada tahun 2011, jumlah siswa miskin

56 Kompas.com. 21/10/2013.

57 Austinsfoundation.wordpress.com.24/02/2013.

58 http://www.ilo.org/jakarta, diakses pada 29/03/2014 pukul 17.31. 59 Tempo.co.11/06/2011.

(31)

mencapai 50 juta. Jumlah tersebut terdiri dari 27,7 juta siswa SD, 10 juta siswa

SMP, 7 juta siswa SMA.61 Sementara itu, kasus-kasus di kota seperti Jakarta,

Surabaya, dan kota-kota lainnya, anak-anak putus sekolah menurut Nusa Putra, tidak dapat menamatkan SD atau melanjutkan ke SMP karena dipaksa orang

tuanya menjadi pengamen, pengemis, atau pemulung.62

Besarnya angka putus sekolah merupakan fakta sosial problem dalam pembangunan pendidikan nasional. Angka putus sekolah disebabkan oleh berbagai faktor, namun kesulitan ekonomi sangat signifikan mempengaruhi keberlangsungan anak dalam mengikuti pendidikan di sekolah. Kemiskinan juga menjadi alasan banyaknya anak yang bekerja di berbagai sektor. Anak yang semestinya berhak mengikuti pendidikan, terpaksa atau dipaksa meninggalkan bangku sekolah untuk meringankan kesulitan ekonomi keluarga. Mempekerjakan anak merupakan pelanggaran terhadap hak-hak anak, termasuk hak anak untuk memperoleh pendidikan.

Kebutuhan pendidikan 12 tahun berdasarkan perspektif sosial kultural diperlukan untuk memenuhi hak-hak pendidikan anak dan pengembangan sumberdaya manusia Indonesia. Berikut alasan-alasan yang dapat disimpulkan dari kondisi sosial kultural bangsa Indonesia yang mendasari perlunya pendidikan 12 tahun.

Pertama untuk menjamin anak-anak yang terancam putus sekolah memperoleh hak atas pendidikan. Ada 8 juta anak usia SMP-SMA yang terancam putus sekolah, karena kesulitan ekonomi. Sebab itu, penyelenggaraan pendidikan 12 tahun sebagai program wajib belajar dapat memfasilitasi anak-anak yang putus sekolah memperoleh pendidikan secara gratis.

Kedua, untuk memberikan kesempatan anak-anak yang bekerja dan tidak bersekolah untuk kembali ke sekolah. Mempekerjakan anak pekerja anak merupakan pelanggaran terhadap hak-hak anak. Pemerintah berkewajiban melindungi anak dari segala tindakan mempekerjakan, mengeksploitasi anak. Dalam masa perkembangannya, anak berhak memperoleh pendidikan hingga usia di bawah 18 tahun. Dengan demikian, pendidikan 12 tahun sebagai program wajib belajar penting untuk mengembalikan anak ke sekolah.

Ketiga, kondisi kemiskinan yang dialami sebagian keluarga/anak sekolah. Kesulitan ekonomi yang dialami keluarga memaksa anak untuk meninggalkan sekolah. Jumlah penduduk miskin menurut laporan BPS pada bulan Maret 2012 berjumlah 29,13 juta orang (11,96 persen). Siswa miskin pada tahun 2011 menurut Kemendikbud mencapai 50 juta siswa. Pendidikan 12 tahun sebagai program wajib belajar memberikan tanggung jawab kepada pemerintah untuk menyediakan dana yang diperlukan sehingga dapat menjamin hak-hak anak mendapatkan pendidikan secara gratis.

61 Nusa Putra, Peningkatan Mutu...h. 28. 62Ibid., hal. 27.

Referensi

Dokumen terkait

Secara simultan bunga bank, bagi hasil dan pengetahuan mengenai produk bank bank syariah memiliki pengaruh yang signifikan terhadap minat menggunakan produk bank

Variabel penelitian dan pengembangan pada penelitian ini dilambangkan dengan RnD dan merupakan variabel dummy, dimana jika perusahaan memiliki data mengenai biaya

Untuk mendukung dimensi-dimensi itu, maka keterampilan yang harus dimiliki tenaga pendidik pendidikan nonformal adalah: (a) terampil dan professional dalam mengelola

Fungsi kabur dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu fungsi tegas dengan kendala kabur, fungsi tegas yang menularkan kekaburan dari varia- bel bebas ke variabel tak

Persoalan tentang politik merupakan antara tajuk yang paling hangat dibicarakan oleh masyarakat kini. Pilihanraya Umum yang ke-13 merupakan kemucak pada persoalan politik

Dari nilai chroma yang diperoleh setelah hari ke-27 penyimpanan terlihat bahwa sari buah belimbing manis dengan penambahan ekstrak kayu secang 10% dan asam sitrat 0.1% yang

Apa Antibiotik Buat Sipilis Yang Manjur Di Apotik ~ Anda masih mencari obat untuk menyembuhkan penyakit sipilis yang anda derita saat ini?atau anda malu

Penelitian ini terdiri dua tahap, tahap pertama penghilangan rasa gatal, dan optimasi pembuatan tepung kimpul yang terdiri atas 2 faktor yaitu blanching dan perendaman