Proceeding Seminar Tugas Akhir Jurusan Teknik Elektro FTI-ITS 1/6
PENINGKATAN KINERJA SISTEM LMDS DENGAN METODE ADAPTIVE
CODED MODULATION MENGGUNAKAN RELAY DECODE AND FORWARD DI
BAWAH PENGARUH REDAMAN HUJAN TROPIS
Laurentius Aditya K.N. – 2206 100 178
Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 60111
Email : [email protected]
Abstrak
LMDS (Local Multipoint Distribution Service) merupakan sistem komunikasi nirkabel yang memiliki frekuensi kerja antara 28-40 GHz sehingga dapat menyediakan layanan
broadband berkecepatan tinggi. Namun sistem komunikasi
dengan frekuensi kerja yang tinggi sangat rentan terhadap redaman propagasi, terutama redaman hujan. Selain itu masalah interferensi dari base station lain juga mempengaruhi kinerja sistem LMDS. Untuk memperbaiki kinerja sistem LMDS pada kondisi tersebut akan dilakukan penggunaan teknik modulasi adaptif yaitu Adaptive Coded Modulation yang dikombinasikan dengan relay Decode and Forward (DF). Dengan penggunaan teknik ACM pada sistem LMDS membuat sistem ini memiliki nilai link availability senilai 99.98% dan efisiensi
bandwidth sebesar 2.74 bps/Hz pada kondisi TS sejauh 2 km dari base station. Akan tetapi teknik ini masih belum mampu
menyediakan sistem komunikasi dengan link availability yang diharapkan pada kondisi TS yang jauh dari base station. Untuk mengatasinya dilakukan penambahan relay DF ke sistem LMDS yang menggunakan teknik ACM. Dengan sistem ini terjadi peningkatan nilai link availability yang mencapai 99.98% untuk jarak TS sejauh 4 km dari base station. Pada kondisi yang sama nilai efisiensi bandwidth sistem mencapai 2.75 bps/Hz. Secara keseluruhan dapat disimpulkan penggunaan teknik ACM dikombinasikan dengan relay DF dapat meningkatkan unjuk kerja sistem LMDS dengan kanal yang terpengaruh redaman hujan dan interferensi dari base station lain.
Kata Kunci : Sistem LMDS, Redaman Hujan, Adaptive Coded Modulation, Relay Decode and Forward
I. PENDAHULUAN
Seiring dengan perkembangan era informasi yang terjadi saat ini, kebutuhan pelanggan akan layanan komunikasi pun semakin meningkat, terutama pada layanan komunikasi data seperti akses internet kecepatan tinggi (high speed internet),layanan TV digital, video conference, edukasi via internet (tele-education) dan layanan lainnya. Layanan komunikasi data ini tentu saja membutuhkan alokasi kanal komunikasi yang lebar (broadband communication). Kebutuhan layanan pita lebar ini bukan hanya terjadi pada jaringan komunikasi berkabel tetapi juga teknologi komunikasi nirkabel.
Pada sistem komunikasi nirkabel telah dikembangkan suatu teknologi komunikasi pita lebar yang disebut sebagai LMDS (Local Multipoint Distribution Service). LMDS merupakan sistem komunikasi wireless yang menawarkan layanan broadband dengan frekuensi operasi antara 28 – 40 GHz [1]. Dengan frekuensi kerja yang tinggi ini membuat sistem LMDS memiliki kelebihan pada kemampuannya dalam mentransmisikan informasi suara,
video dan data berkecepatan tinggi dalam kapasitas yang besar. Meskipun demikian, sistem LMDS sangat mudah menimbulkan rugi-rugi propagasi, terutama redaman hujan. Dimana nilai redaman hujan ini berbanding lurus dengan nilai curah hujan rata-rata. Hal ini menyebabkan penerapan sistem LMDS di Indonesia menjadi permasalahan yang rumit dikarenakan tingginya intensitas curah hujan di Indonesia. Selain itu, co-channel interference dari base station lain juga akan menurunkan performansi kerja sistem LMDS.
Secara umum terdapat berbagai cara yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kinerja sistem komunikasi nirkabel. Antara lain penerapan teknik Adaptive Coded Modulation (ACM) yang memberikan variasi nilai laju data dan besar daya. Penggunaan teknik ini pada kanal yang terpengaruh Rayleigh fading terbukti memiliki spectral efficiencies yang lebih baik dibandingkan sistem non-adaptif [2]. Selain itu penerapan relay juga dapat memperbaiki kinerja sistem komunikasi nirkabel. Secara sederhana teknik relaying dibagi menjadi dua macam yaitu non-regenerative relaying (menggunakan relay Amplify and Forward) dan regenerative-relaying (menggunakan relay Decode and Forward). Pada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya terbukti bahwa penggunaan teknik regenerative-relaying menghasilkan kinerja yang lebih baik dibandingkan teknik non-regenerative-relaying. Kinerja yang lebih baik ini ditandai pada nilai SNR yang sama sistem dengan relay DF memiliki nilei BER yang lebih baik dibandingkan sistem dengan relay AF [3].
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan tersebut, maka pada penelitian ini akan dilakukan analisis terhadap peningkatan kinerja sistem LMDS dengan penerapan teknik ACM dikombinasikan dengan relay Decode and Forward.
II. METODE PENELITIAN
A. Model Sistem
Penelitian ini menggunakan metode transmisi adaptif yang menerapkan teknik modulasi dan pengkodean rangkap dengan level modulasi dan laju pengkodean yang disesuaikan dengan kondisi kanal. Secara grafis model sistem yang digunakan dapat dilihat pada gambar 1. Data masukan pada
transmitter yang berupa bit-bit informasi terlebih dahulu akan diproses pada encoder dan modulator dengan menggunakan teknik Adaptive Coded Modulation. Adapun teknik koding rangkap yang terdiri atas Reed-Solomon Code sebagai outer code dan Convolutional Code sebagai inner code, sedangkan teknik modulasi yang digunakan adalah teknik modulasi M-QAM. Sinyal hasil modulasi ini kemudian akan dilewatkan kanal tidak stabil yang dipengaruhi redaman hujan A[k], noise
Proceeding Seminar Tugas Akhir Jurusan Teknik Elektro FTI-ITS 2/6
A
1
A
1
Gambar 1 Model Sistem
Untuk pengguna yang terletak cukup jauh dari BS, maka transmitted signal ini akan diterima dengan perantaraan relay Decode and Forward yang akan menjaga level BER tetap pada kondisi threshold. Kemudian sinyal informasi yang telah melalui kanal ini akan diproses sebagai dasar estimasi kondisi kanal yang berguna untuk menentukan state kondisi kanal sehingga transmitter dapat menentukan laju pengkodean dan level modulasi pada proses pengiriman sinyal berikutnya. Proses estimasi kanal ini bersifat ideal dengan delay feedback
sangat kecil sehingga dapat diabaikan.
B. Konfigurasi Sistem LMDS
Sistem LMDS merupakan sistem komunikasi yang menggunakan teknik seluler, oleh karena itu penelitian ini akan menggunakan konfigurais sel LMDS seperti tercantum pada gambar 2. Pada gambar 2, TS berada pada posisi kiri bawah pada sektor suatu sel yang menerima sinyal tujuan dari BS1 yang ditunjukkan dengan anak panah berwarna putih. Selain sinyal dari BS1, terdapat sinyal lain dari BS2, BS3, BS4, BS5, BS6, BS7 dan BS8 yang memiliki frekuensi, polarisasi dan sektorisasi yang sama satu dengan yang lain sehingga menyebabkan adanya interferensi pada sinyal utama dari BS1.
C. Perhitungan Redaman Hujan dengan Synthetic Storm
Technique
Perhitungan nilai redaman hujan pada penelitian ini menggunakan pendekatan Synthetic Storm Technique. Pada teknik ini redaman hujan diperoleh dengan memanfaatkan nilai intensitas curah hujan dan data arah serta kecepatan angin. Data arah dan kecepatan angin ini diperlukan karena metode SST memodelkan redaman hujan sebagai fungsi dari segmen lintasan yang akan berubah-ubah tergantung nilai kecepatan angin [4].
Gambar 2 Konfigurasi Sel Sistem LMDS
Perubahan segmen lintasan ini dikarenakan hujan yang terjadi akan bergerak sepanjang lintasan oleh karena adanya pergerakan dari angin dengan kecepatan tertentu. Dari informasi arah dan kecepatan angin maka diperoleh kecepatan angin dalam lintasan (vr). Setelah mengetahui nilai vr
selanjutnya akan didapatkan nilai segmen lintasan (ΔL) dengan persamaan sebagai berikut:
T
v
L
r.
(km) (1)dimana T adalah waktu sampling pengambilan data curah hujan. Pada penelitian ini untuk mendapatkan intensitas curah hujan digunakan disdrometer optik dengan waktu sampling sebesar 10 detik.
Sedangkan nilai redaman hujan pada link komunikasi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:
Lj
aR
A
n j b j m m
.
1 0 (2)dimana Am = redaman hujan untuk m=1,2,...n; ΔL =
panjang segmen; R = intensitas hujan (mm/h); a,b = koefisien ITU-R P.838-3. Untuk frekuensi 30 GHz dengan polarisasi horizontal bernilai a= 0.2403 dan b = 0.9485 sedangkan untuk frekuensi 29 GHz bernilai a= 0.2224 dan b = 0.9580 [5].
Dari persamaan ini akan dapat dihitung nilai redaman hujan yang terjadi untuk masing-masing link, baik link utama maupun link penginterferensi.
D. Perhitungan Level Sinyal di Penerima
Level sinyal yang diterima TS dapat diketahui dengan memperhatikan besaran SINRk atau Signal to
Interference Noise Ratio. Nilai SINRk ini dapat diperoleh dengan menghitung nilai SNRcs, dan SNRk. Besarnya SNRcs atau Signal to Noise Ratioclear sky dapat diperoleh dengan melakukan perhitungan link budget sesuai dengan parameter-parameter sistem LMDS yang telah disajikan pada tabel 1. Sedangkan nilai SNRk didapatkan dengan menggunakan persamaan berikut:
]
[
k
A
SNR
SNR
k
cs
(3)Nilai SINRk dapat diperoleh dengan persamaan:
total k k SIR SNR SINR 1 1 1 1 (4) SIRtotal menyatakan perbandingan antara daya sinyal yang diterima oleh Terminal Station dari Base station
utama (BS1) dengan daya sinyal penginterferensi, dari masing-masing Base station penginterferensi.
Proceeding Seminar Tugas Akhir Jurusan Teknik Elektro FTI-ITS 3/6
Tabel 1 Parameter sistem LMDS Jarak 1 km
(k=1,38.10-23 dan T0=298 K) [6]
E. Kinerja Sistem Adaptive Coded Modulation
Teknik ACM yang digunakan pada tugas akhir ini merupakan kombinasi dari modulasi M-ary QAM dan pengkodean rangkap. Pada penelitian ini akan digunakan jenis pengkodean rangkap seperti yang digunakan pada sistem transmisi televisi digital, yaitu penggabungan kode konvolusional sebagai inner code dan kode Reed Solomon sebagai outer code. Menurut standar DVB-T coding rate yang digunakan pada penelitian ini untuk masing-masing teknik
coding adalah RS (204,188) dan CC(1/2).
Pada penelitian ini, parameter penting yang akan dianalisis adalah peluang kesalahan (error probablility) teknik ACM. Nilai ini diperoleh menggunakan persamaan [7]:
M P P j j P e j e m j m t j m B CC CC m 2 1 2 1 2 1 log 1 . 1 1 2 1 2 1
(5)dimana m, M dan Pecc secara berturut-turut adalah
banyaknya bit dalam satu simbol, orde modulasi dan probabilitas simbol salah koding konvolusional.
Tujuan pokok dari penggunaan sistem transmisi adaptif adalah untuk menjaga agar sistem masih dapat bekerja pada kondisi kanal yang relatif buruk, dan ketika kondisi kanal baik, maka sistem akan melakukan transmisi dengan level modulasi dan laju pengkodean yang tinggi. Oleh karena itu diperlukan suatu batasan numerik untuk mengklasifikasi-kan mana kondisi mengklasifikasi-kanal yang buruk dan mana kondisi mengklasifikasi-kanal yang baik. Batasan ini berupa level SNR di sisi penerima yang digunakan sebagai dasar estimasi kondisi kanal. Dari simulasi yang telah dilakukan, didapatkan nilai batasan-batasan SNR untuk masing-masing skenario pasangan level modulasi dan laju pengkodean seperti pada tabel 2 dan 3.
Tabel 2 Skenario ACM BER maksimal 10-6
Jenis Modulasi Interval SINR
No Transmisi SNR < 5.242 4-QAM + RS(204,188) & CC(1/2) 5.242 < SNR <11.872 16-QAM + RS(204,188) & CC(1/2) 11.872 < SNR < 17.606 64-QAM + RS(204,188) & CC(1/2) SNR > 17.606
Tabel 3 Skenario ACM BER maksimal 10-11
Jenis Modulasi Interval SINR
No Transmisi SNR < 6.0642 4-QAM + RS(204,188) & CC(1/2) 6.0642 < SNR < 12.765 16-QAM + RS(204,188) & CC(1/2) 12.765 < SNR < 18.601 64-QAM + RS(204,188) & CC(1/2) SNR > 18.601
Dengan mengetahui batasan SNR ini akan dapat diperoleh nilai outage probability (Pout) yaitu peluang
terjadinya SNR yang diterima TS kurang dari SNR threshold. Nilai outage probability ini akan dimanfaatkan untuk mendapatkan nilai link availability sistem dengan menggunakan persamaan:
Link Availability = 100 – Pout (%) (6)
Nilai link availability adalah salah satu parameter unjuk kerja sistem komunikasi nirkabel. Selain parameter tersebut, nilai efisiensi bandwidth juga mempengaruhi kualitas kerja sistem komunikasi. Untuk sistem ACM, nilai efisiensi bandwidth dapat diperoleh dengan persamaan:
RS RS cc cc i i N i n k n k M P M B R . ). ( ) ( log 0 2
(7) dimana, B R = efisiensi bandwidth (bps/Hz), N = jumlah data, Mi = level modulasi, P(Mi) = probabilitas kemungkinan masing-masing modulasi, kcc dan ncc = laju pengkodean kode konvolusional, kRS dan nRS = laju pengkodean kode Reed Solomon.F. Kinerja Sistem LMDS dengan Relay Decode and Forward
Pada sistem dengan relay DF, sinyal yang diterima oleh relay pada hop pertama (hop BS-relay) akan didekodekan ulang dan kemudian dikirimkan kembali ke hop kedua (hop relay-TS) [8]. Sama seperti sebelumnya, parameter yang perlu diperhatikan adalah nilai outage probability dari sistem
regenerative relaying. Nilai ini dapat dianalisis dengan menggunakan persamaan berikut
r r th
out
P
SNR
SNR
SNR
P
min(
1,,
2,)
(8)Parameter Units Formula Value
Transmit Power into
Antenna dBW Ptx : transmit power per carrier 0
Transmit Antenna Gain dBi Gt : Gant 20.15
Frequency GHz f : Transmit frequency 30
Path Length Km d : Hub to Subscriber Station Range 1
Field Margin dB Lfm : Antenna Misalignment -1
Free Space Loss dB FSL = -92.45-20*log(f)-20*log(d) -121.9924
Total Path Loss dB Ltot = FSL + Lfm -122.9924
Receiver Antenna Gain dBi Gr = Gant 34.96
Effective Bandwidth MHz BRF = Receiver Noise Bandwidth 40
Receiver Noise Figure dB NF : Effective Noise Figure 5
Thermal Noise dBw/MHz 10*log(k*To*B) -143. 8590
Sistems Loss dB Lsys = Gt+Ltot+Gr -67.8824
Received Signal Level dBW RSL = Ptx+Lsys -67.8824
Thermal Noise Power
Spectral Density dBW/MHz No = 10*log(k*To*B)+NF -138.8590
Proceeding Seminar Tugas Akhir Jurusan Teknik Elektro FTI-ITS 4/6 dimana SNR1,r adalah level SNR pada hop pertama,
SNR2,r adalah level SNR pada hop kedua, dan SNRth adalah batasan threshold terendah level SNR ketika sistem masih dapat melayani dengan nilai BER tertentu.
III. ANALISIS HASIL SIMULASI
A. Analisis Redaman Hujan
Untuk mengetahui seberapa tinggi pengaruh redaman hujan terhadap sistem LMDS, perlu diketahui variasi intensitas curah hujan. Oleh karena itu telah dilakukan pengukuran curah hujan yang telah dilakukan di lingkungan kampus ITS Surabaya dengan menggunakan disdrometer optik pada bulan Januari-Maret 2007 dan November 2007-Februari 2008 yang hasilnya terpapar pada gambar 3. Berdasarkan kurva tersebut dapat dilihat bahwa intensitas curah hujan di Surabaya berkisar antara 0 mm/h hingga 436,5 mm/h dan pada pengamatan ketika probailitas 0,01% curah hujan yang terjadi sebesar 140,7 mm/h.
Setelah mengetahui data curah hujan dan data kecepatan serta arah angin, selanjutnya dilakukan perhitungan terhadap redaman hujan sepanjang lintasan. Data nilai redaman hujan untuk tiap event tersebut akan digunakan untuk pembuatan kurva Complementary Cumulative Distribution Function (CCDF) redaman hujan. Gambar 4 menyajikan kurva CCDF redaman hujan untuk panjang link BS1-TS senilai 4 km. Berdasarkan gambar 4 dapat dilihat bahwa variasi redaman hujan di Surabaya sangatlah tinggi, yaitu berkisar antara 0 dB hingga 877,5 dB.
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 10-4 10-3 10-2 10-1 100 101 Redaman (dB) P ro b .[ R e d a m a n > a b s is ]%
Gambar 3 Kurva CCDF Curah Hujan di Surabaya
0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 10-4 10-3 10-2 10-1 100 101 Redaman (dB) P ro b .[ R e d a m a n > = a b s is ] (% ) Link 1 Link 2 Link 3 Link 4 Link 5 Link 6 Link 7 Link 8 Link 9
Gambar 4 CCDF Redaman Hujan Multilink dengan Jarak
BS1-TS = 4 km
B. SNRk Sistem LMDS
Nilai SNRk sistem LMDS dapat dihitung dengan menggunakan persamaan 3. Adapun kurva Cumulative Distribution Function (CDF) SNRk sistem ditunjukkan pada gambar 5. Dari grafik tersebut dapat terlihat bahwa nilai SNRk sistem yang paling baik adalah SNRk untuk link dari BS1 dan BS3. Hal ini dikarenakan link dari BS1 dan BS3 adalah link yang sejajar dengan arah beamwidth antena penerima, sehingga level sinyal yang diterima oleh TS dari kedua BS itu akan dikuatkan dengan gain antena penerima maksimal. Sedangkan link dari BS5 adalah link dengan nilai SNRk terburuk, hal ini dikarenakan link dari BS5 terletak membelakangi arah sektorisasi antena penerima.
Selain faktor arah datangnya sinyal besarnya nilai SNRk sistem juga dipengaruhi oleh panjang link. Terbukti untuk arah sektorisasi yang sama, SNRk dari BS3 lebih buruk daripada SNRk dari BS1. hal ini dikarenakan jarak BS3-TS lebih jauh daripada BS1-TS.
C. SINRk Sistem LMDS
Nilai SINRk sistem multilink dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan 4. Nilai ini kemudian akan digunakan untuk pembuatan kurva CDF SINRk. Gambar 6 menunjukkan perbandingan antara kurva CDF SNRk dan SINRk sistem dengan panjang link utama BS1-TS sejauh 4 km. Dari gambar tersebut dapat dilihat pada kondisi hujan, nilai SNRk dan SINRk sistem akan bernilai sama. Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa pengaruh interferensi dari BS lain menjadi kurang signifikan pada saat kondisi hujan, karena nilai interferensi ini akan diredam oleh redaman hujan.
-16000 -14000 -12000 -10000 -8000 -6000 -4000 -2000 0 10-4 10-3 10-2 10-1 100 101 SNRk (dB) P ro b .[ S N R k < a b s is ]% link BS1 link BS2 link BS3 link BS4 link BS5 link BS6 link BS7 link BS8 link BS9
Gambar 5 CDF SNRk untuk Link BS1-TS sejauh 4 km
-120 -100 -80 -60 -40 -20 0 20 40 10-4 10-3 10-2 10-1 100 101 SNRk & SINRk (dB) P ro b .[ S IN R k & S N R k < a b s is ] (% ) SNRk (tanpa interferensi) SINRk (dengan interferensi)
Gambar 6 CDF SNRk dan SINRk
untuk Link BS1-TS = 4 km 140,7 mm/h
Proceeding Seminar Tugas Akhir Jurusan Teknik Elektro FTI-ITS 5/6
Tabel
4 Nilai Link Availability (%) Sistem untuk BER ≤ 10-6 dan untuk BER ≤ 10-11Tabel 5
Nilai Efisiensi Bandwidth (bps/Hz) Sistem untuk BER ≤ 10-6 dan untuk BER ≤ 10-11D. Kinerja Sistem Adaptive Coded Modulation
Untuk mendapatkan nilai unjuk kerja sistem LMDS dengan menggunakan teknik ACM pada BER maksimum 10-6 dan 10-11 adalah dengan melakukan klasifikasi SINRk sistem sesuai dengan interval threshold yang telah didapatkan sebelumnya, kemudian dilakukan perhitungan Pout dan P(Mi) untuk menghitung link availability dan efisiensi bandwidth
sistem. Nilai link availability dan efisiensi bandwidth sistem ini dapat dilihat pada tabel 4 dan tabel 5.
Dari tabel 4 didapatkan nilai link availability sistem ACM untuk TS berjarak 1 km dari BS1 adalah sebesar 99,992%. Nilai ini berarti bahwa dalam satu tahun, yang berjumlah 31.557.600 detik, sistem ini akan mengalami kegagalan dalam transmisi data hanya selama 230 detik/tahun. Dari tabel 4 juga dapat disimpulkan bahwa link availability sistem ACM lebih baik dibandingkan sistem non-adaptif 16-QAM dan 64-QAM untuk jarak BS1-TS yang sama. Hal ini dikarenakan untuk mendapatkan nilai BER tertentu, semakin besar level modulasi, maka akan dituntut nilai SINRk yang lebih baik sehingga nilai outage sistem akan semakin besar seiring dengan penambahan level modulasi. Selain itu dapat dilihat dengan meningkatnya nilai jarak link utama BS1-TS, maka nilai link availability sistem akan semakin buruk. Hal ini dikarenakan semakin rendahnya level SINRk sistem ketika jarak link utama BS1-TS semakin jauh.
Nilai efisiensi bandwidth sistem juga memiliki pola penurunan yang sama dengan nilai link availability, yaitu nilai efisiensi bandwidth akan semakin rendah untuk semua mode transmisi seiring dengan penambahan jarak BS1-TS. Hal ini terjadi karena semakin rendahnya level SINRk sistem untuk jarak link utama BS1-TS yang semakin jauh sehingga peluang digunakannya sistem modulasi itu [P(Mi)] menjadi lebih kecil. Dari kedua variabel ini, dapat dilakukan estimasi seberapa besar data yang dapat diunduh oleh seorang pengguna selama setahun penuh. Untuk kondisi pengguna dengan jarak dari BS1 sejauh 1 km maka besarnya data yang dapat diunduh adalah sebesar 43,6x104 GB/tahun dengan menggunakan teknik ACM, pada kondisi yang sama, pengguna yang menggunakan teknik fixed 16-QAM+RS(204,188)7CC(1/2) hanya dapat mengunduh data sebesar 29,1 x104 GB/tahun. Dari nilai ini dapat kita simpulkan bahwa penggunaan teknik ACM sangat efektif dalam meningkatkan unjuk kerja sistem LMDS. Akan tetapi untuk pengguna dengan jarak yang relatif jauh dari BS1, unjuk kerja sistem ACM masih kurang memuaskan. Hal
ini terbukti dari besarnya data yang dapat diunduh pengguna yang terletak pada jarak 4 km dari BS1 yang jauh lebih kecil dibandingkan pengguna yang berjarak 1 km dari BS1, yaitu sebesar 33 GB/tahun.
E. Kinerja Sistem Adaptive Coded Modulation dan Relay Decode and Forward
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, untuk pengguna dengan jarak BS1-TS yang relatif jauh, nilai unjuk kerja sistem LMDS akan menjadi relatif buruk. Untuk memperbaiki kondisi ini maka akan ditambahkan suatu perangkat yang akan memperbaiki kualitas kerja sistem berupa relay Decode and Forward. Relay ini diasumsikan memiliki parameter kerja yang mirip dengan parameter BS dan TS sistem LMDS seperti yang tercantum pada tabel 1. Perbedaannya terletak pada frekuensi kerja relay yang diatur berbeda, yaitu sebesar 29 GHz. Hal ini dilakukan untuk menghindari interferensi dari base station utama saat transmisi relay-TS terjadi. Relay DF ini diletakkan sejajar dengan link BS1-TS sejauh 2 km dari BS1, jarak ini dipilih karena pada jarak 2 km dari BS1 nilai link availability dan efisiensi bandwidth sistem masih cukup baik.
Peningkatan kinerja sistem LMDS dengan teknik ACM menggunakan relay Decode and Forward dapat diamati dengan memperhatikan nilai link availability dan efisiensi
bandwidth sistem. Untuk mendapatkan peningkatan kinerja ini, terlebih dahulu dilakukan evaluasi level SINRk untuk hop BS-Relay dan level SNRk untuk hop Relay-TS. Oleh karena frekuensi kerja relay DF yang berbeda dibandingkan frekuensi kerja BS, maka pada link komunikasi relay-TS tidak akan terjadi interferensi.
Nilai link availability sistem sebelum dan sesudah penambahan relay DF disajikan pada tabel 6. Dari tabel ini dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan nilai link availability
sistem, baik untuk TS yang terletak 3 km dari BS1, maupun untuk TS yang berjarak 4 km. Seperti halnya dengan nilai link availability, nilai efisiensi bandwidth sistem ACM dengan relay DF juga mengalami peningkatan, seperti yang tersaji pada tabel 7.
Dari kedua parameter ini, dapat diperoleh pula besarnya data yang dapat diunduh pengguna selam satu tahun. Untuk pengguna dengan jarak BS1-TS sejauh 4 km, besarnya data yang dapat diunduh adalah sebesar 43,3x104 GB/tahun, yang meningkat sebesar 31% dibandingkan dengan besar data yang dapat diunduh oleh pengguna pada sistem tanpa relay Mode Transmisi
Panjang Link Utama BS1-TS
1 km 2 km 3 km 4 km 10-6 10-11 10-6 10-11 10-6 10-11 10-6 10-11 ACM 99,9992 99,9992 99,9839 99,9824 99,9564 99,9548 99,9256 99,9236 4-QAM+RS(204,188)&CC(1/2) 99,9992 99,9992 99,9839 99,9824 99,9564 99,9548 99,9256 99,9236 16-QAM+RS(204,188)&CC(1/2) 99,9988 99,9987 99,9739 99,9724 99,9399 99,9379 99,9025 99,8964 64-QAM+RS(204,188)&CC(1/2) 99,9983 99,9982 99,9632 99,9606 98,2879 98,0418 97,8514 97,7319 Mode Transmisi
Panjang Link Utama BS1-TS
1 km 2 km 3 km 4 km 10-6 10-11 10-6 10-11 10-6 10-11 10-6 10-11 ACM 2,7637 2,7636 2,7431 2,7415 2,2678 2,1994 2,1297 2,0948 4-QAM+RS(204,188)&CC(1/2) 0,9214 0,9213 0,9172 0,9165 0,9096 0,9089 0,9012 0,9003 16-QAM+RS(204,188)&CC(1/2) 1,8425 1,8424 1,8289 1,8280 1,8102 1,8092 1,7898 1,7864 64-QAM+RS(204,188)&CC(1/2) 2,7633 2,7632 2,7345 2,7323 1,3589 1,1569 1,0009 0,9028
Proceeding Seminar Tugas Akhir Jurusan Teknik Elektro FTI-ITS 6/6
Tabel
6 Nilai Link Availability (%) Sistem LMDS Dengan dan Tanpa Relay DF untuk BER ≤ 10-6 dan untuk BER ≤ 10-11Tabel
7 Nilai Efisiensi Bandwidth (bps/Hz) Sistem LMDS Dengan dan Tanpa Relay DF untuk BER ≤ 10-6 dan untuk BER ≤ 10-11IV. KESIMPULAN
Dari hasil analisis yang telah dilakukan, didapatkan bahwa intensitas curah hujan Surabaya berkisar antara 0 mm/h hingga 436,5 mm/h. Dengan curah hujan yang tinggi ini menyebabkan nilai redaman hujan yang besar pula dengan variasi berkisar antara 0 dB hingga 877,5 dB pada sistem LMDS.
Penggunaan teknik Adaptive Coded Modulation pada sistem LMDS yang menggunakan kanal dengan pengaruh redaman hujan dan interferensi dari base station lain pada pengamatan BER maksimum 10-6 dan 10-11 menyebabkan nilai link availability dan efisiensi bandwidth sistem yang lebih baik dibanding sistem non-adaptif. Akan tetapi kedua parameter ini bernilai baik pada kondisi TS dekat dengan BS, sedangkan pada kondisi TS jauh dari BS, nilainya masih belum memuaskan.
Penggunaan teknik Adaptive Coded Modulation dan relay Decode and Forward dapat memperbaiki parameter unjuk kerja sistem LMDS pada kondisi TS jauh dari BS. Pada kondisi TS sejauh 4 km dari BS, nilai link availability sistem dengan relay DF mencapai 99,98%, sedangkan pada sistem tanpa relay hanya mencapai 99,92%. Pada kondisi yang sama, nilai efisiensi bandwidth sistem LMDS dengan relay yang senilai 2.75 bps/Hz juga lebih baik daripada sistem tanpa relay yang hanya senilai 2.1 bps/Hz.
V. DAFTAR PUSTAKA
[1] Glisic, Savo G. Advanced Wireless Networks :4G Technologies. West Sussex: John Wiley & Sons, Ltd. West Sussex. 2006
[2] Goldsmith, A.J. Chua, S.G. Variable-Rate Variable Power MQAM for fading Channels. IEEE transactions of communication. vol. 45. no. 10. Oktober 1997
[3] Yu, Meng. Li, Jing. Is Amplify-and-Forward Practically Better than Decode-and-Forward or Vice Versa?. IEEE International Conference on Acoustics, Speech, and Signal Processing Proceedings. vol. 3. 09 Mei 2005
[4] Mahmudah. Haniah, Mauludiyanto. Achmad, Hendrantoro. Gamantyo. Prediksi Redaman Hujan Menggnakan Synthetic Storm Technique (SST). Tesis, Jurusan Teknik Elektro, ITS, Surabaya; 2006
[5] ITU R P.838-3. Specific attenuation model for rain for use in prediction methods; 2005
[6] Chu, Chih Y. Chen, K. S. Effect of Rain Fading on Efficiency of Ka-Band LMDS System in The Taiwan Area. IEEE Trans. On Vehicular Technology, Vol. 54, Jan. 2005
[7] Sklar, B. Digital Communications. New Jersey: Prentice Hall; 1994
[8] Sakarellos,VK.Skraparlis,D.Panagopoulos,AD.Kanellop oulos, JD. Outage Performance Analysis of a Dual-Hop Radio Relay System Operating at Frequencies above 10
GHz, IEEE Transactions on Communication, Vol.
AP-34, No.5, Nov 2009.
RIWAYAT PENULIS
Laurentius Aditya K.N. , lahir di
Jember pada tanggal 13 Juli 1988. Merupakan anak kedua dari pasangan Ign. Y Wahyu N. dan MB. Ita Raswatie. Lulus dari SDK Maria Fatima II Jember tahun 2000 kemudian melanjutkan ke SLTPN 1 Jember. Pada tahun 2006 tercatat sebagai salah satu siswa lulusan SMAN 1 Jember yang diterima di Jurusan Teknik Elektro FTI-ITS melalui jalur SPMB. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan-HIMATEKTRO. Saat ini penulis sedang mengambil bidang studi Telekomunikasi Multimedia, aktif sebagai asisten praktikum dan anggota tim riset Milimeter Wave Propagation di laboratorium Propagasi dan Antena Jurusan T. Elektro FTI-ITS. Pada bulan Juni 2010 penulis mengikuti seminar dan ujian Tugas Akhir sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana S1.
Mode Transmisi
Panjang Link Utama BS1-TS
3 km 4 km 10-6 10-11 10-6 10-11 Tanpa Relay Dengan Relay Tanpa Relay Dengan Relay Tanpa Relay Dengan Relay Tanpa Relay Dengan Relay ACM 99,9564 99,9837 99,9548 99,9824 99,9256 99,9786 99,9236 99,9774 4-QAM+RS(204,188)&CC(1/2) 99,9564 99,9837 99,9548 99,9824 99,9256 99,9786 99,9236 99,9774 16-QAM+RS(204,188)&CC(1/2) 99,9399 99,9739 99,9379 99,9724 99,9025 99,9652 99,8964 99,9632 64-QAM+RS(204,188)&CC(1/2) 98,2879 99,9630 98,0418 99,9600 97,8514 99,9520 97,7319 99,9494 Mode Transmisi
Panjang Link Utama BS1-TS
3 km 4 km 10-6 10-11 10-6 10-11 Tanpa Relay Dengan Relay Tanpa Relay Dengan Relay Tanpa Relay Dengan Relay Tanpa Relay Dengan Relay ACM 2,2678 2,7639 2,1994 2,7638 2,1297 2,7505 2,0948 2,7493 4-QAM+RS(204,188)&CC(1/2) 0,9096 0,9214 0,9089 0,9214 0,9012 0,9186 0,9003 0,9182 16-QAM+RS(204,188)&CC(1/2) 1,8102 1,8425 1,8092 1,8425 1,7898 1,8341 1,7864 1,8333 64-QAM+RS(204,188)&CC(1/2) 1,3589 2,7636 1,1569 2,7636 1,0009 2,7445 0,9028 2,7431