• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. meliputi perbedaan dalam aspek biologis, psikologis, intelegensi, bakat, dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. meliputi perbedaan dalam aspek biologis, psikologis, intelegensi, bakat, dan"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Siswa merupakan subjek pendidikan dengan karakteristik yang berbeda meliputi perbedaan dalam aspek biologis, psikologis, intelegensi, bakat, dan perbedaan lainnya yang dapat berpengaruh terhadap keberhasilannya dalam proses pembelajaran (Khodijah, 2011). Perbedaan karakteristik siswa menjadi hal unik yang perlu diperhatikan untuk mewujudkan keberhasilan dalam belajar. Keberhasilan siswa dalam proses belajar ditandai dengan hasil belajar yang baik dan meningkatnya penguasaan konsep materi yang telah diajarkan. Siswa yang berhasil dalam proses belajarnya diharapkan memiliki perubahan dalam berbagai hal termasuk ilmu pengetahuan yang dipelajari, penguasaan konsep yang mendalam, keterampilan, nilai dan sikap.

Keterikatan siswa pada sekolah merupakan salah satu faktor untuk mencapai keberhasilan siswa (McClenney, Marti, Nathan & Adkins, 2007). Cara siswa menyikapi sekolah dapat mempengaruhi keterikatan siswa pada sekolah (Sharkey, 2008). Sikap siswa tentang sekolah akan menghasilkan kecenderungan tindakan yang akan memberi arah kepada perbuatan atau tindakan siswa. Sikap siswa tentang sekolah salahsatunya ditunjukkan melalui emosi siswa saat berada disekolah yaitu emosi positif atau negatif. Contoh emosi positif yang ditunjukkan siswa adalah senang, bahagia, gembira, semangat, dan penuh harapan, sedangkan emosi negatif yang dirasakan siswa misalnya adalah bosan, kesal, benci, dan sedih. Peneliti melakukan FGD (Focus Group

(2)

yaitu siswa yang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler dan siswa yang tidak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler.

Salah satu siswa yang tidak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler mengartikan sekolah sebagai tempat “kumpul-kumpul atau nongkrong” dan beberapa siswa cenderung merasakan bosan jika berlama-lama di sekolah. Sedangkan salahsatu siswa yang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler mengartikan sekolah sebagai tempat untuk mencari ilmu dan beberapa siswa merasa senang untuk berlama-lama di sekolah. Menurut Fursman (2011) pada siswa yang memiliki emosi positif di sekolah akan memiliki keterikatan pada sekolah dan memberikan dampak positif terhadap kegiatan belajarnya sedangkan pada siswa yang memiliki emosi negatif di sekolah dapat dilihat dari merosotnya minat yang menimbulkan kebosanan dan prestasi yang menurun.

Keterikatan siswa pada sekolah didefinisikan pada seberapa terikatnya siswa dengan proses belajar dan seberapa terhubung siswa dengan kelas, institusi dan satu sama lain (Strean, 2011). Keterikatan siswa pada sekolah yang tinggi ditandai denga siswa yang masuk sekolah teratur dan tidak pernah bolos, berkonsentrasi pada saat belajar, menegakkan disiplin dan mematuhi peraturan sekolah serta menghindari perilaku buruk, perilaku demikian secara umum memiliki peringkat dan performansi yang lebih baik pada ujian (Linnenbrink & Pintrich, 2003). Rata-rata siswa yang terikat dengan sekolah mempunyai nilai akhir yang lebih baik, nilai ujian yang lebih tinggi, dan nilai matrikulasi yang lebih tinggi guna menempuh pendidikan selanjutnya dibandingkan siswa yang tidak terikat dengan sekolah (Lawson & Lawson, 2013). Siswa yang tidak terikat dengan sekolah kemungkinan besar akan mengalami kegagalan secara

(3)

akademik, keluar dari sekolah dan bahkan sampai mengalami gangguan kesehatan (Patton & Glover, 2000).

Appelton (2008) mengatakan bahwa para peneliti mengkonsepkan aspek keterikatan terdiri dari perilaku (behavioral), emosi (emotion) dan kognitif

(cognitive). Hasil FGD (Focus Group Discussion) tanggal 7 Januari 2016, siswa

A dari kelompok siswa yang tidak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler mengaku jarang mengerjakan PR, mencontek dan pernah membolos tidak mengikuti pelajaran. Siswa A saat di rumah juga sering menghabiskan waktu untuk menonton TV dan bermain daripada belajar. Hal ini mengindentifikasikan bahwa siswa A kurang memiliki usaha dalam belajar dan tidak hadir dalam kegiatan belajar di kelas yang menunjukkan aspek keterikatan perilaku (behavioral

engagement). Keterikatan perilaku, ditandai dengan melakukan pekerjaan

sekolah dan mengikuti peraturan sekolah, meliputi: (a) perilaku yang positif, yaitu perilaku yang mengilustrasikan usaha, ketekunan, konsentrasi, perhatian, mengajukan pertanyaan, menyumbang pada diskusi kelas, mengikuti aturan, belajar, menyelesaikan pekerjaan rumah, berpartisipasi dalam aktivitas sekolah yang terkait. (b) Absenya perilaku yang mengganggu, seperti tidak mangkir sekolah dan tidak membuat kekacauan di kelas (Dharmayana, Kumara, & Wirawan, 2012).

Emosi negatif siswa yang lebih banyak muncul saat dikelas berdasarkan hasil FGD (Focus Group Discussion) adalah bosan dan mengantuk. Untuk mengatasi perasaan bosan saat di kelas, siswa melakukan beberapa hal seperti mengobrol dengan teman, bermain gadget, dandan di kelas atau hanya sekedar melamun dan coret-coret di kertas (FGD tanggal 6 Januari 2016). Hal ini mengidentifikasikan bahwa siswa memiliki reaksi emosional negatif dimana

(4)

siswa merasa bosan, mengantuk, dan jenuh yang menunjukkan keterikatan emosi (emotional engagement). Keterikatan emosi (emotional engagement) merupakan salah satu aspek dalam keterikatan siswa (student engagement) yang merujuk pada kualitas reaksi emosional selama penyelesaian suatu kegiatan, yang ditunjukkan dengan adanya antusiasme, kenikmatan, kesenangan, dan kepuasan (Skinner & Pitzer, 2012).

Siswa B merupakan siswa yang tidak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, pada saat FGD (Focus Group Discussion) mengaku mengerjakan tugas tanpa adanya unsur paksaan dan atas kesadaran diri sendiri. Siswa tersebut juga mengaku tidak ingin bernasib sama dengan orang tuanya yang hanya lulusan SD (Sekolah Dasar) sehingga ia serius untuk belajar. Perilaku yang ditunjukkan mengidentifikasi siswa memiliki keterikatan kognitif (cognitive engagement). Keterikatan kognitif (cognitive engagement) yakni motivasi, usaha keras dan penggunaan strategi. Keterikatan kognitif mencakup investasi psikologis dalam belajar, usaha keras dalam belajar, keseriusan bersekolah, keinginan bekerja melebihi yang dipersyaratkan, pilihan yang menantang, disiplin, perencanaan dan strategi belajar, keluwesan dalam memecahkan masalah, dan memilih bekerja keras (Dharmayana et al., 2012).

Beberapa penelitian menemukan hubungan antara keterikatan siswa dengan lingkungan kelas yang demokratis (Ahmad, Said, Syed, Mokhtar, & Hassan, 2014), prestasi belajar (Dharmayana et al., 2012), dan persepsi siswa dengan lingkungannya (Wikansari, 2013). Kelas merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keterikatan siswa pada sekolah (Fredricks, Blumenfeld, & Paris, 2004). Berdasarkan studi pendahuluan permasalah yang ditemui berkaitan dengan keterikatan siswa pada sekolah dapat digambarkan melalui bentuk emosi

(5)

siswa saat di kelas. Beberapa siswa di SMK N Z Yogyakarta mengaku senang saat berinteraksi dengan guru-guru di kelas namun beberapa siswa masih merasa canggung dengan menunjukkan emosi negatifnya saat berada dikelas, menurut siswa beberapa diakibatkan perilaku guru yang membeda-bedakan antara siswa yang pintar dan kurang pintar, frekuensi marah saat di kelas, dan komentar guru yang menurunkan semangat siswa (FGD 7 Januari 2016). Sudah selayaknya guru memiliki kemampuan menciptakan suasana kelas yang menyenangkan, sehingga siswa merasa nyaman berada di sekolah (Budiman, 2012). Prasetya (2011) mendefinisikan perilaku guru yang baik saat mengajar ditunjukkan dengan roman muka, ketenangannya dan kesabarannya, berdiri dikelas saat pembelajaran, pandangan mata meluas, suara sedang atau berirama, dan kewibawaan dalam mengajar. Dengan demikian diharapkan siswa dapat merasa nyaman dan terikat dengan sekolahnya.

Fredricks et al. (2004) menjelaskan bahwa keterikatan diasosiasikan pada hubungan siswa guru dengan guru dan teman sebaya yang mendukung, tugas-tugas yang menantang dan otentik, kesempatan untuk memilih minat dan struktur pembelajaran yang tepat. Guru merupakan pihak yang dapat mendorong anak-anak dalam berpartisipasi di dalam kelas. Relasi antara guru dengan siswa merupakan salah satu faktor dari keterikatan emosi siswa (Gaydos, 2009). Meningkatkan hubungan siswa dengan guru merupakan hal penting, positif, dan berimplikasi jangka panjang untuk perkembangan akademik dan sosial siswa (Kaufman & Sandilos, 2016).

Wubbels dan Brekelmans (2005), Kyriakides (2005), Uden, Ritzen, dan Pieters (2014) mengkonsepkan hubungan antara guru dan murid sebagai perilaku interpersonal guru. Perilaku interpersonal guru berlandaskan pada teori

(6)

komunikasi sistem Watziawick, Beavin & Jackson dan model perilaku interpersonal Leary. Model perilaku interpersonal guru merupakan adaptasi dari model perilaku interpersonal Leary yang digunakan dalam konteks pendidikan. Wubbels, Brok, Tartwijk, dan Levy (2012) mengemukakan bahwa terdapat delapan aspek perilaku guru pada model perilaku interpersonal, yaitu: kepemimpinan (leadership), membantu atau bersahabat (helping/friendly), memahami (understanding), tanggung jawab atau kebebasan siswa (student

responsibility/freedom), ragu-ragu (uncertain), tidak puas (dissatisfied),

menjengkelkan (admonishing) dan ketat (strict). Perilaku interpersonal guru sangat berpengaruh pada hasil kognitif dan afektif siswa (Kyriakides, 2005), prestasi siswa (Wubbels et al., 2012), gaya belajar (Uden et al., 2014), motivasi siswa (Maulana, Opdenakker, Stroet, & Bosker, 2013), dan keterikatan siswa (Wubbels & Brekelmas, 2005). Perilaku interpersonal guru mempengaruhi makna informasi yang disampaikan. Sebagai contoh, penolakan guru terhadap pertanyaan siswa karena guru tidak mendengar dapat menimbulkan interpretasi siswa bahwa guru sibuk atau siswa menilai pertanyaan tersebut tidak sesuai (Wubbels & Brekelmans, 2005).

Penjelasan tentang ciri-ciri guru yang baik telah banyak dikemukakan oleh para ahli, tetapi satu hal yang kurang diungkapkan adalah pandangan anak-anak dan remaja tentang gurunya (Isjoni, 2012). Pandangan siswa tentang gurunya sangat penting untuk diungkapkan, karena siswa melakukan interaksi langsung dengan guru dalam kegiatan belajar mengajar. Siswa juga merupakan pihak yang menerima dampak secara langsung dari perilaku guru. Menurut Wubbels dan Brekelmans (2005), persepsi siswa dapat memenuhi kebutuhan siswa saat belajar di sekolah sehingga siswa memiliki rasa keterikatan pada

(7)

sekolahnya. Penelitian ini menjelaskan persepsi siswa tentang perilaku interpersonal guru.

Persepsi siswa tentang perilaku interpersonal guru yang sabar saat di kelas diungkapkan oleh beberapa siswa pada saat FGD. Perilaku yang ditunjukkan oleh guru dipersepsi siswa dalam model perilaku interpersonal

understanding yaitu guru menunjukkan kesabaran, perhatian, kepedulian dan

sikap terbuka pada siswa (Wubbels & Brekelmans, 2005). Pada saat FGD perilaku interpersonal guru yang membantu (helping/friendly) dipersepsi kurang baik oleh salah satu siswa, dia mengaku terdapat guru yang enggan menerangkan kembali materi yang dirasa masih belum difahami oleh siswa. Dalam berinteraksi dengan guru, siswa mempersepsi perilaku interpersonal guru yang merupakan penilaian siswa tentang sifat dan karakteristik guru berdasarkan pengamatan siswa tentang perilaku interpersonal guru di kelas. Perilaku interpersonal guru saat berinteraksi dengan siswa di sekolah merupakan suatu kekuatan yang dapat mempengaruhi keterikatan kognitif siswa (Wubbels & Levy, 1993).

Pentingnya persepsi siswa tentang perilaku interpersonal guru tampak pula pada dinamika perilaku bermasalah. Beberapa perilaku siswa bermasalah berawal dari persepsi terhadap guru yang buruk (Thorson, Plank, Macdill, Partland, & Jordan dalam Gaydos, 2009). Banyaknya situasi negatif yang dapat terjadi pada siswa seperti keluar dari sekolah belum waktunya (dropping out), kenakalan remaja (delinquency), tingkat absensi tinggi, dan kegagalan proses belajar dapat diatasi melalui sekolah berbasis kegiatan ekstrakurikuler (Hirschfield & Gasper, 2011). Remaja merasa mendapat berbagai manfaat dari kegiatan ekstrakurikuler yang tersedia meskipun tingkat efek yang dirasakan

(8)

kembali pada konteks atau kondisi karakteristik masing-masing individu (Moilanen, Markstrom, & Jones, 2014). Moilanen et al. (2014) juga mengatakan bahwa kegiatan ekstrakurikuler merupakan salah satu bentuk intervensi untuk mengatasi penggunaan obat-obatan terlarang dan minuman keras pada siswa. Dengan demikian sudah seharusnya sekolah mengadakan kegiatan ekstrakurikuler.

Sekolah merupakan salah satu faktor keterikatan siswa pada sekolah. Fredricks et al. (2004) menjelaskan bahwa kegiatan-kegiatan di sekolah yang dianggap dapat meningkatkan keterikatan siswa di sekolah adalah partisipasi siswa dalam kebijakan sekolah. Salah satu bentuk kebijakan yang dilakukan sekolah yaitu dengan memberi kebebasan siswa untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler sesuai dengan bakat dan minat siswa. Kegiatan ekstrakurikuler merupakan kegiatan yang dilakukan di luar kegiatan pembelajaran di kelas dan di luar jam pelajaran, sehingga diperlukan tenaga serta fikiran yang ekstra untuk mampu menjalankannya agar kegiatan ekstrakulikuler mampu mendukung dalam pencapaian tujuan pendidikan, serta mampu membantu siswa agar terhindar dari kegiatan yang beresiko (Kao & Salerno, 2014). Melalui partisipasinya dalam kegiatan ekstrakurikuler peserta didik dapat belajar dan mengembangkan kemampuan berkomunikasi, bekerja sama dengan orang lain, serta menemukan dan mengembangkan potensinya. Maka kegiatan non akademik tidak kalah penting untuk dikaji dalam mewujudkan keterikatan siswa pada sekolah.

Kegiatan ekstrakurikuler berperan dalam mengembangkan watak, perilaku sosial siswa dan kepribadian siswa (Kamrin, 2015). Dengan mengikuti kegiatan ekstrakurikuler PMR (Palang Merah Remaja), siswa C mengaku dapat

(9)

mengaplikasikan ilmu PMRnya dengan terjun langsung membantu masyarakat yang membutuhkan bantuan kesehatan. Partisipasi siswa pada kegiatan ekstrakurikuler mampu memberikan kesempatan bagi remaja untuk mengalami tingkat keterikatan tinggi, tantangan, kesenangan, motivasi intrinsik, dan inisiatif (Shernoff, 2010). Hal ini senada dengan hasil FGD (Focus Grup Discusion)yang dilakukan di SMK N Z Yogyakarta tentang manfaat yang didapatkan siswa saat mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Siswa merasa senang ketika mendapatkan bantuan dari teman yang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler yang sama dengan dirinya dalam mengerjakan tugas, dan memiliki rasa percaya diri setelah berpartisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler di sekolahnya. Begitu juga yang dijelaskan oleh Vermaas (2009) bahwa siswa yang memiliki minat dan partisipasi dalam ekstrakurikuler akan mendapatkan pengetahuan dan keterampilan dari teman-teman sekelilingnya. Siswa juga merasa nyaman saat berpartisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler dikarenakan kegiatan ekstrakurikuler mampu menghilangkan rasa bosan. Siswa yang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler terbukti lebih merasa nyaman berada di sekolah dibandingkan siswa yang tidak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Dengan perasaan nyaman saat berada di sekolah siswa akan lebih menunjukkan emosi positif terhadap sekolah dan lingkungannya (Knifsend & Graham, 2012).

Di Indonesia kegiatan ekstrakurikuler merupakan salah satu fasilitas yang diberikan oleh sekolah guna mengembangkan bakat dan minat yang dimiliki siswa di luar kegiatan akademik. Sekolah di Indonesia menyediakan berbagai kegiatan ekstrakurikuler dimana siswa dianjurkan untuk memilih salah satu kegiatan. Perkembangan terbaru menurut kurikulum 2013 menjelaskan bahwa pramuka merupakan ekstrakurikuler wajib yang harus diikuti oleh siswa, seperti

(10)

yang dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2010 yang menetapkan Gerakan Pramuka sebagai ekstrakurikuler wajib untuk siswa sekolah dasar sampai menengah di Indonesia. Jumlah jam yang semula 26 jam dalam seminggu menjadi 30 jam setelah ditetapkannya ekstrakurikuler pramuka menjadi ekstrakurikuler wajib untuk seluruh sekolah di Indonesia (Undang-Undang tentang Gerakan Pramuka, 2010). Tuntutan yang demikian dapat memunculkan sikap dan pandangan negatif siswa terhadap sekolah karena secara tidak langsung beberapa siswa mengikuti kegiatan ekstrakurikuler secara terpaksa. Termasuk pula di SMK N Z Yogyakarta yang telah mewajibkan kegiatan ekstrakurikuler pramuka bagi siswa kelas X.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan melalui FGD (Focus Group

Discussion) dan penelitian-penelitian terdahulu serta pemaparan teori,

didapatkan beberapa fenomena yang terjadi di lingkungan sekolah tentang keterikatan siswa pada sekolah. Beberapa penelitian terdahulu juga menunjukkan pentingnya keterikatan siswa untuk diteliti dengan memperhatikan variabel-variabel lain, maka penelitian ini dilakukan dengan menggunakan subjek dan latar belakang yang berbeda dengan penelitian-penelitian yang sudah ada.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah, rumusan masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah:

Apakah keterikatan siswa pada sekolah dapat diprediksi berdasarkan persepsi siswa tentang perilaku interpersonal guru dan partisipasi kegiatan ekstrakurikuler?

(11)

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui apakah persepsi siswa tentang perilaku interpersonal guru dan partisipasi kegiatan ekstrakurikuler secara bersama-sama dapat menjadi prediktor keterikatan siswa pada sekolah.

2. Untuk mengetahui kontribusi dari persepsi siswa tentang perilaku interpersonal dan partisipasi kegiatan ekstrakurikuler terhadap keterikatan siswa pada sekolah.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis.

Hasil yang didapat dari pengujian empiris variabel-variabel dalam penelitian ini dapat digunakan untuk mengkaji teori terkait atau hasil dari penelitian yang sudah ada.

2. Manfaat Praktis.

Hasil dari penelitian ini dapat memberikan informasi kepada sekolah, guru dan siswa dalam upaya meningkatkan keterikatan siswa pada sekolah.

E. Keaslian Penelitian

1. Penelitian yang dilakukan oleh Wikansari (2013) meneliti tentang keterikatan siswa pada sekolah sebagai mediator hubungan persepsi siswa pada lingkungan sekolah dengan kesuksesan akademiknya. Penelitian ini dilakukan dengan subjek penelitian sebanyak 344 siswa SMA di Yogyakarta. Hasil dari penelitian ini pun memperlihatkan bahwa keterikatan siswa pada sekolah dapat menjadi mediator hubungan antara persepsi siswa dengan lingkungannya dan kompetensi sosial siswa dengan model partial mediation.

(12)

2. Penelitian oleh Hughes, Luo, Kwok, dan Loyd, (2008) yang mengambil topik relasi antara guru dengan siswa dan relasi orang tua dengan guru terhadap keterikatan siswa secara perilaku dan prestasi belajar siswa pada pelajaran membaca. Hasilnya menjelaskan bahwa relasi antara guru dengan siswa memberi kontribusi pada keterikatan perilaku dan prestasi belajar.

3. Penelitian oleh Jembarwati (2013) tentang Peran Harapan Keberhasilan Studi Dan Persepsi Siswa Terhadap Perilaku Interpersonal Guru. Penelitian dilakukan di SMU X Semarang. Hasil penelitian menjelaskan bahwa persepsi siswa terhadap perilaku interpersonal guru berkorelasi dengan kesejahteraan emosi dan keterikatan siswa, sedangkan persepsi siswa terhadap perilaku interpersonal guru cenderung admonishing dan strict.

Perbedaan penelitian ini terletak pada variabel dan subjek yang digunakan. Peneliti menggunakan variabel keterikatan siswa pada sekolah sebagai variabel terikat serta menggunakan variabel persepsi siswa tentang perilaku interpersonal guru dan partisipasi kegiatan ekstrakurikuler sebagai variabel bebas. Selanjutnya menurut hasil penelusuran penulis, diketahui bahwa belum ditemukan peneliti lain yang meneliti keterikatan siswa di sekolah dengan menggunakan variabel persepsi siswa tentang perilaku interpersonal guru dan partisipasi kegiatan ekstrakulikuler pada siswa di jenjang SMK di Kota Yogyakarta. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa penelitian meliputi tiga variabel tersebut secara bersamaan dapat digunakan dalam sebah penelitian sehingga keasliannya bisa dipertanggung jawabkan.

Referensi

Dokumen terkait

Gejala dan keluhan somatik adalah cukup serius untuk menyebabkan penderitaan emosional yang bermakna pada pasien atau gangguan pada kemampuan pasien untuk berfungsi

Tujuan akhir model indeks tunggal adalah sama halnya dengan analisis Markowitz, melacak batas efisien (efficient frontier) dari set portofolio yang dimana investor akanmemilik

Bagaimana kelayakan dan kegunaan (kepraktisan) modul digital dengan representasi beragam dan bermuatan masalah kontekstual pada materi skalar dan vektor untuk siswa

From Incidental News Exposure to News Engagement: How Perceptions of the News Post and News Usage Patterns Influence Engagement with News Articles Encountered on

Berkaitan dengan pengilhaman, Cornelius Van Til mengatakan bahwa jika sebagai orang berdosa manusia tidak memiliki Alkitab yang terilhamkan secara mutlak, maka manusia

Dengan menggunakan metode latihan dengan media pembelajaran benda konkrit, siswa dapat memahami dan mempelajari materi yang diajarkan guru, serta melatih siswa

1.4.2 Bagi guru hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pedoman dan bahan pertimbangan dalam mencari model pembelajaran untuk menciptakan suasana kelas yang kondusif

Seperti juga halnya yang terjadi di SMA Negeri 4 Medan, berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu guru BK ( Komunikasi Personal, 20 Desember 2012), sekolah ini telah