• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Trikomoniasis dan Kandidiasis Vulvovaginal serta Faktor-Faktor yang Berhubungan pada Pekerja Seks Komersial di Kuningan, Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hubungan Trikomoniasis dan Kandidiasis Vulvovaginal serta Faktor-Faktor yang Berhubungan pada Pekerja Seks Komersial di Kuningan, Jawa Barat"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Hubungan Trikomoniasis dan Kandidiasis Vulvovaginal serta

Faktor-Faktor yang Berhubungan pada Pekerja Seks Komersial

di Kuningan, Jawa Barat

Theresia Rini Krisniati, Widiastuti

Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jalan Salemba Raya 6, Jakarta, 10430, Indonesia

E-mail: theresiarini.k@gmail.com

Abstrak

Trikomoniasis dan kandidiasis vulvovaginal keduanya memiliki prevalensi yang cukup tinggi. Sebanyak 75% populasi wanita pernah mengalami kandidiasis vulvovaginal setidaknya sekali seumur hidupnya. Kondisi tersebut disebabkan oleh gangguan flora normal pada vagina yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Di lain pihak, trikomoniasis merupakan Infeksi Menular Seksual (IMS) ketiga terbanyak dengan prevalensinya pada Pekerja Seks Komersial (PSK) di Indonesia cukup tinggi yaitu sebanyak 15,1%. Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan antara trikomoniasis dan kandidiasis vulvovaginal, serta hubungan keduanya dengan usia, kontrasepsi dan tingkat pendidikan pada PSK di Kuningan, Jawa Barat. Penelitian ini menggunakan desain

cross sectional dengan menggunakan data sekunder yang dikumpulkan di Puskesmas Kuningan, Jawa Barat. Berdasarkan uji chi-square didapatkan hubungan bermakna antara infeksi trikomoniasis dan kandidiasis vulvovaginal (p=0,009). Faktor usia ditemukan memiliki hubungan yang bermakna dengan trikomoniasis (p=0,000) tapi tidak memiliki hubungan dengan kandidiasis vulvovaginal (p=0.056). Faktor kontrasepsi berupa kondom tidak memiliki hubungan bermakna dengan trikomoniasis(p=0,18) dan kandidiasis vulvovaginal (p=0,173), begitu juga dengan (Intra Uterine Device) IUD tidak memiliki hubungan bemakna dengan trikomoniasis (p=0,3) dan kandidiasis vulvovaginal(p=0,537). Di lain pihak kontrasepsi hormonal memiliki hubungan bermakna dengan kandidiasis vulvovaginal (p=0,017), namun tidak dengan trikomoniasis (p=0,264). Tingkat pendidikan tidak memiliki hubungan bermakna dengan trikomoniasis(p=0,3) maupun kandidiasis vaginalis(p=0,3).

Association between Trichomoniasis and Vulvovaginal Candidiasis also Factors Related among Female Sex Workers in Kuningan, Jawa Barat

Abstract

Vulvovaginal candidiasis and Trichomonas vaginalis infection have a high prevalent among women. Nearly 75% women at least had experienced candidiasis once in their lifetime. As well as trichomoniasis which is globally ranked 3rd among all Sexual Transmitted Diseases. In FWS in Indonesia, the prevalent of STDs is about 64%, which 15,1% of it trichomoniasis . In the other hand, vulvovaginalc andidiasis is endogen infection caused by imbalance in normal vaginal flora. This study aimed to understand the association between trichomoniasis and vulvovaginal candidiasis in FSW also its association with age, education, and contraception method. This study used cross-sectional design with secondary entry about STD among FSW collected in Puskesmas Kuningan, Jawa Barat. The   chi-­‐square   test   showed   that   there   was   a   significant   association   between  trichomoniasis  and  vulvovaginal  candidiasis  (p=0,009).  Age  factor  also  had  significant  association   with   trichomoniasis   (p=0,000)   but   not   with   vulvovaginal   candidiasis.   Contraceptions   such   as   condoms   shows  no  significant  association  with  vulvovaginal  candidiasis  (p=0,173) nor  trichomoniasis(p=0,18),  also   Intra   Uterine   Device   (IUD)   shows   no   significant   association   with  vulvovaginal candidiasis (p=0,537) nor trichomoniasis (p=0,3). Hormonal contraception shows a significant association with vulvovaginal candidiasis (p=0,017) but not with trichomoniasis (p=0,264).  Education  level  doesn’t    have  significant  association  with    

vulvovaginal  candidiasis  (p=0,3)  and  trichomoniasis  (p=0,3).

Key words:

(2)

Pendahuluan

Menurut data WHO, trikomoniasis merupakan salah satu penyakit infeksi menular seksual yang paling umum ditemukan. Namun demikian trikomoniasis kerap kali tidak terdiagnosis. Menurut data CDC, prevalensi penderita trikomoniasis pada wanita usia 14-49 tahun di Amerika serikat sebesar 3,1 %, dimana 85 % nya tidak menunjukkan adanya gejala.2

Perilaku seks bebas menjadi faktor risiko utama penularan penyakit seksual. Menurut Tanudadya (2005), prevalensi trikomoniasis pada Pekerja Seks Komersial (PSK) yang tersebar di 9 Provinsi di Indonesia adalah sebesar 15,1 %. 3 Trikomoniasis yang tidak ditangani dapat meningkatkan angka transmisi HIV, karena pada kejadian trikomoniasis epitel vagina menjadi tidak intak oleh adanya erosi epitel akibat parasit.4 Trikomoniasis juga dapat menimbulkan berbagai komplikasi seperti adneksitis, piosalpingitis, endrometritis dan infertilitas.4

Candida sp merupakan flora normal pada vagina. Lebih dari 75% wanita pernah mengalami kandidiasis minimal satu kali seumur hidupnya.2 Perubahan pada Candida sp

sehingga menimbulkan manifestasi kandidiasis vulvovaginal terutama dipengaruhi gangguan pada flora normal. Ketidakseimbangan flora normal yang menjadi predisposisi kandidiasis vulvovaginal antara lain dapat disebabkan oleh keadaan: kehamilan, penggunaan antibiotik, penggunaan steroid, immunocompromised, misalnya pada orang terinfeksi HIV.5 Angka kejadian kandidiasis vulvovaginal seringkali tidak dilaporkan.5

Pada PSK trikomoniasis dan kandidiasis vulvovaginal seringkali ditemukan bersamaan. Trikomoniasis merupakan infeksi menular seksual sedangkan kandidiasis vulvovaginal merupakan infeksi akibat perubahan pada flora normal vagina. Penelitian kali ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi trikomoniasis dan kandidiasis vulvovaginal, serta hubungan antara trikomoniasis dengan kandidiasis vulvovaginal pada PSK yang merupakan kelompok risiko tinggi untuk mengalami infeksi menular seksual. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui hubungan antara faktor usia, jenis kontrasepsi dan tingkat pendidikan dan trikomoniasis dan kandidiasis vulvovaginal pada PSK di Kuningan, Jawa Barat.

Tinjauan Teoritis

Berganti-ganti pasangan seksual meningkatkan kemungkinan infeksi menular seksual. Pada penelitian oleh Tanudyaya, (2005), pada PSK di berbagai provinsi di Indonesia didapatkan prevalensi IMS sebesar 64%. Diantara IMS tersebut infeksi Chlamydia sp, gonore

(3)

dan trikomoniasis adalah yang paling banyak ditemukan. Berbagai faktor risiko pada PSK yang diketahui memiliki hubungan bermakna dengan prevalensi IMS antara lain penggunaan kondom yang tidak konsisten dan usia muda. 3

Trikomoniasis merupakan IMS yang sering ditemukan, walaupun seringkali tidak terdiagnosis. Padahal, trikomoniasis yang tidak ditangani dapat meningkatkan angka transmisi HIV, karena pada kejadian trikomoniasis epitel vagina menjadi tidak intak oleh adanya erosi epitel akibat parasit.4 Trikomoniasis juga dapat menimbulkan berbagai komplikasi seperti adneksitis, piosalpingitis, endrometritis dan infertilitas.4

Pada perempuan, trikomoniasis memiliki gejala yang bervariasi, dari yang bersifat asimptomatik hingga timbul gejala akut.4 Sekitar 20 % perempuan yang menderita

trikomoniasis tidak menunjukkan gejala klinis yang berarti, 50% akan mengalami gejala klinis setelah 6 bulan. Fluor albus, terutama yang berbentuk frothy leukorrhea, merupakan keluhan utama yang sering ditemukan.4 Gambaran berupa colpitis makularis (stawberry cervix) dan eritema pada vagina dan vulva ditemukan pada 2-3% penderita dan merupakan tanda khas pada infeksi T. vaginalis.2,4

Diagnosis pasti dapat ditegakkan melalui pemeriksaan spesimen dan mikroskopik pada sekret atau duh vagina maupun uretra. Spesimen sebaiknya diperiksa dalam satu tetes larutan normal salin untuk melihat gerakan khas trikomonas. Pewarnaan dapat dilakukan pada apusan kering, menggunakan pewarna giemsa atau pewarnaan lain.5

Selain infeksi menular seksual, PSK juga berisiko mengalami infeksi endogen, misalnya kandidiasis vulvovaginal. Menurut data CDC, sebesar 75% populasi wanita pernah mengalami kandidiasis vulvovaginal.2 Berbagai faktor risiko maupun predisposisi untuk kandidiasis terutama mencakup dua hal, yaitu peningkatan karbohidrat, termasuk penigkatan glikogen pada vagina, maupun penurunan pH. Hal tersebut erat hubungannya dengan lingkungan yang hangat dan lembab, pakaian dalam yang ketat, pemakaian kontrasepsi hormonal, kotrasepsi spiral, antibiotika spektrum luas, kortikosteroid, penyakit sistemik seperti diabetes melitus, maupun kondisi immunocompromised. 6,7 Faktor lain seperti kontak seksual yang terlalu sering diduga menjadi faktor risiko kandidiasis vulvovaginal yang rekuren, hal tersebut diduga terjadi melalui mekanisme abrasi pada vagina dan alergi terhadap semen pria.7

Pada wanita kandidiasis vulvovaginal yang menimbulkan keputihan, rasa gatal dan disparenia. Keputihan karena infeksi kandidiasis biasnya tidak berbau dan bervariasi dari kental hingga encer. Kandidiasis vulvovaginal dapat didiagnosis dengan pemeriksaan swab pada lesi, untuk selanjutnya ditetesi dengan KOH 10% dan diamati dengan mikroskop. Selain

(4)

itu juga dapat dilakukan pewarnaan dengan gram maupun LPCB (lactophenol cotton blue).

Diagnosis ditegakkan apabila ditemukan pseudohifa dan/atau balstophora pada preparat, selain itu diagnosis juga dapat ditegakkan dengan isolasi pada biakan.4

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari pemeriksaan infeksi menular seksual pada PSK di daerah Kuningan, Jawa Barat oleh Departemen Parasitologi FKUI pada tanggal 27 Mei 2013. Populasi target penelitian adalah seluruh PSK, populasi terjangkau penelitian adalah seluruh PSK yang beroperasi di daerah Kuningan dan sekitarnya. Penelitian ini menggunakan total sampling dari seluruh sampel terjangkau, yaitu sebanyak 265 responden. Penelitian dilakukan dengan mendata setiap PSK di yang datang ke tempat pemeriksaan, selanjutnya pada PSK dilakukan pemeriksaan sediaan langsung dan pewarnaan giemsa untuk pemeriksaan trichomonas, dan larutan KOH serta pewarnaan LPCB untuk pemeriksaan kandida

Sedíaan langsung diperiksa di bawah mikroskop. Data kemudian di olah dengan SPSS. Data di olah secara deskriptif untuk menghitung frekuensi masing-masing variabel yang menunjukkan karakteristik responden, dan juga dianalisis secara bivariat dengan uji chi square antara variabel bebas dengan variabel terikat untuk mencari nilai p yang menunjukkan apakah terdapat hubungan bermakna antaravariabel-variabel tersebut.

Hasil Penelitian

Jumlah responden dalam penelitian ini sebanyak 265 PSK dimana tidak terdapat data yang mengalami kriteria dropout. Dari 265 PSK tersebut didapatkan karakteristik responden seperti yang tercantum pada tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik Responden berdasarkan Usia

  Variabel Kategori N % Usia <21 tahun >21 tahun 159 106 (60) (40)

Pada Tabel 1, dikatakan bahwa responden pada penelitian ini median usia 21 tahun. Responden pada rentang usia < 21 tahun sebanyak 159 responden atau sebanyak 60% dari total responden. Responden pada rentang usia > 21 tahun sebanyak 106 responden atau sebanyak 40% dari total responden.

(5)

Tabel 2. Karakteristik Responden berdasarkan Kontrasepsi Variabel Kategori N % Kontrasepsi Kondom IUD Suntik Pil KB Jamu Tidak ada 71 49 17 81 28 19 26,8 18,5 6,4 30,6 10,6 7,2

Tabel 2 menunjukkan sebaran karakteritik penggunaan kontrasepsi pada responden. Kontrasepsi yang digunakan sebagian besar PSK tersebut berupa IUD (18,5%), pil KB (30,6%), suntik (6.4%), jamu (10,8%) dan kondom (26,8%).

Tabel 3. Karakteristik Responden berdasarkan Tingkat Pendidikan

Variabel Kategori N %

Pendidikan SD 38 14,3

SMP 191 72,1

SMA 28 10,6

D3 8 3,0

Table 3 menunjukkan karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan. Sebagian besar dari responden merupakan lulusan SMP (72,1%), selain itu juga lulusan SD (14,3%), SMA (10,6%), dan (D3 4%).

Tabel 4. Hubungan Trikomoniasisdengan Kandidiasis Vulvovaginal

Variabel kandidiasis vulvovaginal Uji

Kemaknaan P Positif Negatif Trikomoniasis Positif 126 (47,6%) 41(15,4%) Chi-square 0,009 Negatif 59 (22,2%) 39(14,7%)

Tabel 4 memaparkan hubungan antara trikomoniasis vaginalis dengan dengan kandidiasis vaginalis yang diderita oleh responden. Nilai p yang diperoleh ternyata lebih kecil dari 0,05 yakni 0,009. Oleh karena itu, dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa, pada responden yang menderita trikomoniasis dapat menderita kandidiasis vulvovaginal pada PSK di daerah Kuningan, Jawa Barat.

Tabel 5. Hubungan Faktor Usia dengan Kandidiasis Vulvovaginal

Variabel kandidiasis vulvovaginal Uji P

Positif Negatif

Usia

< 21 tahun 118 (44,5%) 41 (15,5%) Chi-square 0,056 >21 tahun 67 (25,2%) 39 (14,6%)

(6)

Tabel 5 menunjukkan hubungan antara faktor usia PSK dengan kandidiasis vulvovaginal.Dari tabel tersebut diperoleh nilai p>0,05 yaitu sebesar 0,056, maka dari itu dikatakan tidak terdapat hubungan bermakna antara faktor usia dan kandidiasis vulvovaginal.

Tabel 6. Hubungan Faktor Usia dengan Trikomoniasis  

Variabel Trikomoniasis Uji P

Positif Negatif

Usia Chi-square 0,000

< 21 tahun 114 (43%) 45(17%)

>21 tahun 53(20%) 53(20%)

Tabel 6 menunjukkan hubungan antara faktor usia PSK dengan trikomoniasis. Dari tabel tersebut diperoleh nilai p 0,000 atau dengan kata lain terdapat hubungan bermakna antara faktor usia dan trikomoniasis.

Tabel 7. Hubungan Pemakaian Kondom dengan Kandidiasis vulvovaginal

Variabel Kandidiasis vulvovaginal Uji P

Positif Negatif Pemakaian kondom Chi-square 0,18 Ya Tidak 54 (20,3%) 131 (49,4%) 17 (6,4%) 63 (23,8%)

Tabel 7 memaparkan hubungan antara pemakaian kondom dengan infeksi kandidiasis vulvovaginal. Nilai p yang diperoleh sebesar 0,18. Nilai p tersebut menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna antara jenis kontrasepsi dengan kandidiasis vulvovaginal pada PSK di Kuningan Jawa barat.

Tabel 8. Hubungan Pemakaian Kondom dengan Trikomoniasis

Variabel Trikomoniasis Uji P

Positif Negatif Pemakaian Kondom Chi-square 0,173 Ya Tidak 40 (15,1%) 127 (47,9%) 31 (11,7%) 67(25,3%)

Tabel 8 memaparkan hubungan antara pemakaian kondom dengan trikomoniasis. Nilai p yang diperoleh sebesar 0,173. Nilai p tersebut menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna antara jenis kontrasepsi dengan trikomoniasis pada PSK di Kuningan Jawa barat.

(7)

Tabel 9. Hubungan Kontrasepsi Hormonal dengan Kandidiasis vulvovaginal  

Variabel Kandidiasis Vulvovaginal Uji P

Positif Negatif Kontrasepsi Hormonal Chi-square 0,017 Ya Tidak 77(29,1%) 108 (40,8%) 21 (7,9%) 59(22,3%)

Tabel 9 memaparkan hubungan antara penggunaan kontrasepsi hormonal dengan kandidiasis vaginalis, Kontrasepsi hormonal mecakup pil dan suntik. Nilai p yang diperoleh sebesar 0,017. Nilai p tersebut menunjukkan terdapat hubungan bermakna antara kontrasepsi hormonal dengan kandidiasis vaginalis pada PSK di Kuningan Jawa Barat

.

Tabel 10. Hubungan Kontrasepsi Hormonal dengan Trikomoniasis vaginalis

 

Variabel Trikomoniasis vaginalis Uji P

Positif Negatif Kontrasepsi Hormonal Chi-square 0,264 Ya Tidak 66(24,9 %) 101(38,1%) 32(12,0%) 66(24,9%)

Tabel 10 memaparkan hubungan antara penggunaan kontrasepsi hormonal dengan trikomoniasis. Nilai p yang diperoleh sebesar 0,264. Nilai p tersebut menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna antara kontrasepsi hormonal dengan trikomoniasis pada PSK di Kuningan Jawa Barat.

Tabel 11. Hubungan Kontrasepsi IUD dengan Kandidiasis vaginalis

 

Variabel Kandidiasis vulvovaginal Uji P

Positif Negatif Penggunaan IUD Chi-square 0,537 Ya Tidak 36 (13,6%) 149(56,2%) 13(4,9%) 67(25,3%)

Tabel 11 memaparkan hubungan antara jenis kontrasepsi dengan kandidiasis vulvovaginal. Nilai p yang diperoleh sebesar 0,537. Nilai p tersebut menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna antara penggunaan IUD dengan kandidiasis vulvovaginal pada PSK di Kuningan Jawa Barat.

(8)

Tabel 12. Hubungan Kontrasepsi IUD dengan Trikomoniasis

Variabel Trikomoniasis Uji P

Positif Negatif Penggunaan IUD Chi-square 0,3 Ya Tidak 34(12,8%) 133(50,2%) 15 (5,7%) 83(32,3%)

Tabel 12 memaparkan hubungan antara penggunaan IUD dengan trikomoniasis. Nilai p yang diperoleh sebesar 0,3. Nilai p tersebut menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna antara penggunaan IUD dengan trikomoniasis pada PSK di Kuningan Jawa Barat.

Tabel 13. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Kandidiasis Vulvovaginal

Variabel Kandidiasis vulvovaginal Uji P

Positif Negatif Tingkat Pendidikan Chi-square 0,3 SD SMP SMAa D3b 21 (7,9%) 141 (53,2%) 18 (6,7%) 5 (1,8%) 17 (6,4%) 50 (18,8%) 10 (3,7%) 3 (1,1%)

a,b digabung untuk keperluan statistika

Tabel 13 menjelaskan tentang hubungan antara tingkat pendidikan PSK dan kandidiasis vaginalis. Nilai p yang diperoleh sebesar 0,3 atau dengan kata lain tidak terdapat hubungan bermakna antara tingkat pendidikan PSK dan kandidiasis vaginalis.

Tabel 14. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Trikomoniasis

Variabel Trikomoniasis vaginalis Uji P

Positif Negatif Tingkat Pendidikan Chi-square 0,3 SD SMP SMAa D3b 20 (7,5%) 124 (46,8%) 19 (7,2%) 4 (1,5%) 18 (6,8%) 67 (25,2%) 9 (3,4%) 4(1,5%)

a,b digabung untuk keperluan statistika

Tabel 14 menjelaskan tentang hubungan antara tingkat pendidikan PSK dan trikomoniasis. Nilai p yang diperoleh sebesar 0,3 sehingga dapat disimpulkan tidak terdapat hubungan bermakna antara tingkat pendidikan PSK dan trikomoniasis.

(9)

Diskusi

a. Karakteristik subjek berdasarkan usia, tingkat pendidikan, dan jenis kontrasepsi

Semua responden yang dipergunakan dalam penelitian ini merupakan wanita pekerja seks komersial. Usia responden memiliki median 21 tahun, dimana sebagian besar responden berada dalam rentang usia < 21 tahun (60%), dan sebanyak 40% berada pada rentang usia > 21 tahun. Pada penelitian yang pernah dilakukan oleh Tanudyaya et al ( 2010) yang dilakukan pada populasi PSK yang tersebar berbagai provinsi di Indonesia didapatkan median usia 25 tahun. Lebih jauh lagi dalam penelitian tersebut didapatkan bahwa usia<25 tahun berkaitan dengan prevalensi IMS yang meningkat serta penggunaan kondom yang tidak konsisten.3

Pada data tentang penggunaan kontrasepsi didapatkan bahwa sebagian besar PSK (66%) menggunakan kontrasepsi non kondom berupa suntik, IUD, pil KB dan jamu. Hanya 26,8% dari PSK tersebut menggunakan kondom saat berhubungan seksual. Dapat dikatakan responden pada penelitian ini sebagian besar menggunakan kontrasepsi sebagai pencegah kehamilan dan bukan untuk alasan mencegah transmisi IMS. Pada penelitian Tanudyaya et al (2010) presentase PSK yang tidak menggunakan kondom pada hubungan seksual satu minggu terakhir didapatkan sebanyak 23,5%. Lebih lanjut dalam penelitian tersebut dikatakan bahwa penggunaan kondom yang rendah pada PSK merupakan salah satu faktor risiko untuk infeksi T. vaginalis, Gonorrhea, dan Clamydia (p<0,001).3

Pada data juga didapatkan sebaran tingkat pendidikan responden, dimana sebagian responden merupakan lulusan SMP. Hal tersebut berbeda dengan hasil penelitian oleh Tanudyaya et al (2010), dimana didapatkan sebagian besar PSK merupakan lulusan SD (45%).3

b. Hubungan antara Trikomoniasis dan Kandidiasis Vulvovaginal

Pada penelitian ini didapatkan sebanyak 167 dari 265 responden positif Trikomoniasis dan 126 responden positif trikomoniasis dan kandidiasis vulvovaginal. Pada uji chi-square didapatkan nilai P sebesar 0,009 yang menunjukkan adanya hubungan bermakna antara trikomoniasis dan kandidiasis vulvovaginal. Pada penelitian Reed et al (2000) didapatkan hasil yang berbeda bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara riwayat trikomoniasis dengan kandidiasis vulvovaginal.6

Pada penelitian Lopes-Monteon et al (2013) pada populasi dengan risiko rendah didapatkan persentase koinfeksi trikomoniasis dan kandidiasis vulvovaginal sebanyak 14,2%.8 Dikatakan bahwa perubahan lingkungan vagina seperti peningkatan produksi glikogen pada

(10)

kehamilan dan peningkatan level estrogen dan progesteron pada penggunaan kontrasepsi oral menyebabkan peningkatan adherens Candida sp pada dinding epitel vagina dan memfasilitasi perkembangan mikroorganisme tersebut. Perubahan pada level estrogen dan progesteron, serta peningkatan pH dan glikogen juga mendukung pertumbuhan dan virulensi T vaginalis.8

Pada penelitian kohort yang dilakukan Engberts et al (2007), didapatkan bahwa kandidiasis vaginalis tidak menjadi predisposisi untuk infeksi T. vaginalis, actynomyces dan Gardnerella

dibandingkan dengan kelompok kontrol.9

Kekurangan penelitian ini adalah bentuk penelitian berupa cross sectional dimana data hanya diambil pada satu waktu, sehingga tidak dapat menentukan apakah trikomoniasis merupakan predisposisi untuk kandidiasis vulvovaginal maupun sebaliknya, atau kedua infeksi tersebut terjadi berjalan masing-masing tanpa ada hubungan satu sama lain. Selain itu pada penelitian Reed et al dan Engberts et al responden merupakan wanita yang bukan PSK, sedangkan pada penelitian ini responden merupakan PSK yang memiliki resiko tinggi mengalami IMS, sehingga prevalensinya berbeda-beda. Kekurangan lain dari penelitian ini adalah bahwa data yang dipergunakan merupakan data sekunder, sehingga peneliti tidak secara langsung di lapangan memutuskan data yang bisa dipakai maupun tidak, serta jenis data yang ingin didapatkan.

c. Hubungan antara Faktor Usia dengan Kandidiasis Vulvovaginal dan Trikomoniasis

Pada penelitian ini didapatkan nilai p pada hubungan antara usia dengan kandidiasis vulvovaginal sebesar 0,056 menunjukkan tidak terdapat hubungan signifikan antara usia dan kandidiasis vaginalis. Oleh karena itu pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pada responden, kemungkinan untuk mengalami kandidiasis vaginalis ada kaitannya dengan usia responden.

Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Reed et al (2000) pada 248 responden dengan rentang usia 14 hingga 60 tahun mengenai analisis faktor risiko untuk kandida dan didapatkan bahwa usia tidak termasuk dalam faktor risiko yang signifikan untuk kandidiasis vulvovaginal.6

Penelitian Lopez-monteon et al (2013) pada 252 responden pada rentang usia 14 hingga 75 tahun juga menunjukkan hasil serupa, dimana dalam penelitian tersebut didapatkan nilai p sebesar 0,97, atau dengan kata lain tidak terdapat hubungan bermakna antara usia dan kandidiasis vulvovaginal.8

Pada penelitian ini, pada analisis hubungan antara usia dengan trikomoniasis didapatkan nilai p sebesar 0,000. Nilai p tersebut menunjukkan terdapat hubungan yang

(11)

bermakna antara faktor usia dengan prevalensi trikomoniasis pada PSK di daerah Kuningan Jawa Barat. Dapat disimpulkan dalam penelitian ini usia responden berkaitan dengan risiko trikomoniasis.

Pada penelitian oleh Tanudyadya et al (2010) mengenai IMS pada PSK yang tersebar di berbagai provinsi di Indonesia, didapatkan terdapat hubungan bermakna antara usia dengan prevalensi IMS (p<0,001). Dalam penelitian tersebut dikatakan bahwa PSK dengan usia < 25 tahun berkaitan dengan peningkatan aktivitas seksual serta penggunaan kondom yang tidak konsisten.3

d. Hubungan antara Jenis Kontrasepsi dengan Kandidiasis Vulvovaginal dan Trikomoniasis

Pada penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara penggunaan kondom dengan kandidiasis vulvovaginal serta trikomoniasis. Nilai p yang didapatkan yaitu sebesar 0,18 untuk kandidiasis vulvovaginal, sedangkan pada hubungan antara jenis kontrasepsi dan trikomoniasis didapatkan nilai p sebesar 0,173 atau dengan kata lain tidak terdapat hubungan bermakna antara penggunaan kondom dengan kandidiasis vulvovaginal dan trikomoniasis.

Kondom merupakan kontrasepsi barrier yang dapat mencegah penularan IMS. Hasil penelitian oleh Tanudyadya et al (2010), pada responden yang merupakan PSK, didapatkan bahwa penggunaan kondom tidak konsisten berkorelasi dengan peningkatan risiko IMS. Pada penelitian tersebut didapatkan nilai p antara hubungan penggunaan kondom dengan IMS sebesar 0,005.3

Pada penelitian ini berbeda dengan penelitian Tanudyaya, dari data sekunder yang didapatkan hanya diketahui mengenai penggunaan kontrasepsi jenis kondom pada PSK, namun tidak didapatkan informasi dari responden apakah penggunaan kondom tersebut konsisten atau tidak. Penggunaan kondom yang tidak konsisten tersebut dapat menyebabkan prevalensi IMS yang tidak jauh berbeda dari PSK dengan kontrasepsi jenis kondom dibandingkan dengan PSK yang tidak memakai kondom.

Pada analisis antara penggunaan kontrasepsi hormonal dengan kandidiasis vulvovaginal dan trikomoniasis didapatkan hubungan bermakna dengan kandidiasis vulvovaginal dengan nilai p sebesar 0,017, dan hubungan tidak bermakna dengan trikomoniasis dengan nilai p 0,264.

Penelitian sebelumnya mengenai hubungan antara kontrasepsi hormonal dan kandidiasis menunjukkan hasil yang bervariasi. Sampai saat ini kontrasepsi hormonal

(12)

merupakan faktor risiko masih kontroversi untuk kandidiasis. Kontrasepsi hormonal diduga meningkatkan kadar glikogen pada lingkungan vagina sehingga menyebabkan peningkatan faktor risiko untuk berkembangnya kandida.10

Penelitian mengenai kontrasepsi hormonal dan trikomoniasis oleh Baeten (2001) pada populasi PSK di Kenya menunjukkan bahwa kontrasepsi hormonal tidak memiliki hubungan yang bermakna secara klinis dengan trikomoniasis.11

Pada penelitian ini juga dianalisis mengenai hubungan antara penggunaan

intrauterine device (IUD) dengan kandidiasis dan trikomoniasis vaginalis dan didapatkan hubungan yang tidak bermakna dengan keduanya, dimana nilai p untuk masing-masing 0,537 dan 0,3.

IUD masih merupakan faktor risiko yang kontroversi baik untuk trikomoniasis maupun kandidiasis. Lapisan biofilm pada IUD diduga terlibat dalam memfasilitasi pertumbuhan kandida. Selain itu IUD diduga menurunkan populasi bakteri Lactobacillus sp.10

Sehingga meningkatkan risiko trikomoniasis. Penelitian mengenai penggunaan IUD dan kandidiasis sebelumnya dilakukan oleh Shobeiri et al (2014). Pada penelitian tersebut tidak didapatkan adanya hubungan yang bermakna antara penggunaan IUD dan kandidiasis. Pada penelitian tersebut juga didapatkan bahwa prevalensi trikomoniasis lebih banyak terdapat pada pengguna IUD dibanding pada peungguna kontrasepsi oral dan kelompok kontrol, namun tidak menunjukkan hubungan yang signifikan (p>0,5)12

e. Hubungan antara tingkat Pendidikan dengan Kandidiasis Vulvovaginal dan Trikomoniasis

Pada penelitian ini menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna antara tingkat pendidikan responden dengan kandidiasis vulvovaginal dan maupun trikomoniasis. Pada penelitian ini didapatkan nilai p untuk keduanya masing-masing sebesar 0,3.

Hasil tersebut sesuai dengan penelitian oleh Reed et al (2000) pada 248 responden menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna antara tingkat pendidikan dan kandidiasis vaginalis (nilai p=0,9).6

Pada penelitian Tanudyaya et al (2010) didapatkan tingkat pendidikan berhubungan signifikan terhadap kejadian IMS. Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi perilaku, sikap dan tingkat pengetahuan PSK terhadap risiko IMS. Namun demikian, latar belakang sosioekonomi diduga memiliki pengaruh lebih besar mendasari ketiga faktor tersebut. Menurut Sedyaningsih (2001) tuntutan sosioekonomi dapat mendasari PSK bersedia berhubungan seksual tanpa menggunakan kondom karena tuntutan klien mereka.8 Usaha PSK

(13)

untuk mencari pengobatan pun menjadi tidak ada artinya, karena pengobatan IMS pada PSK tidak disertai dengan penghentian kegiatan seksual PSK sehingga terjadi fenomena “bola pingpong”.

Kesimpulan

1. Prevalensi infeksi trikomoniasis vaginalis pada PSK di daerah Kuningan, Jawa Barat adalah 63%, sedangkan prevalensi infeksi kandidiasis vaginalis pada PSK di daerah Kuningan, Jawa Barat adalah 69,8%. PSK yang positif terinfeksi trikomoniasis vaginalis dan positif kandidiasis vaginalis adalah 47,5%.

2. Nilai p didapatkan sebesar 0,009 yang menunjukkan adanya hubungan bermakna antara infeksi T. vaginalis dan kandidiasis vaginalis pada PSK di daerah Kuningan Jawa Barat. 3. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara usia dan kandidiasis vaginalis (nilai

p=0,056), sedangkang pada hubungan antara usia dan infeksi Trichomonas vaginalis

didapatkan hubungan yang bermakna (nilai p=0,000)

4. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara penggunaan kondom dengan prevalensi kandidiasis vulvovaginal (nilai p=0,18) dan trikomoniasis (nilai p=0,173). Terdapat hubungan bermakna kontrasepsi hormonal dengan kandidiasis (p=0,017 ), dan tidak terdapat hubungan bermakna dengan trikomoniasis vaginalis (p=0,264). Tidak terdapat hubunan bermakna pada penggunaan IUD dengan kandidiasis (p=0,5) dan trikomoniasis vaginalis (p=0,3) pada PSK di daerah Kuningan, Jawa barat.

5. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan (nilai p=0,3) dengan prevalensi kandidiasis vaginalis dan infeksi T vaginalis (nilai p=0,3) pada PSK di daerah Kuningan Jawa Barat.

Saran

Saran yang dapat peneliti berikan terkait dengan penelitian ini adalah:

1. Penyuluhan kepada PSK sebagai subjek dengan risiko tinggi IMS dan pasangan usia subur di daerah Kuningan, Jawa Barat mengenai penyakit-penyakit IMS, penularannya, dan pencegahannya.

2. Menghimbau penggunaan kondom pada PSK secara konsisten untuk mengurangi transmisi IMS, serta mengurangi penggunaan kontrasepsi hormonal untuk mengurangi kejadian kandidiasis vulvovaginal

(14)

Daftar Pustaka

1 World Health Organization: Global prevalence and Incidence of selected curable Sexually

transmitted infections Overview and estimates. Diakses pada www.who.int/HIVAIDS pada 5 Juni 2013 waktu 14.35 WIB

2 Centers for Disease Control and Prevention. Sexually transmitted disease-trichomoniasis.

Diakses dari www.cdc.gov/std/trichomonas/stdfact-trichomoniasis.htm pada 5 Juni 2013 waktu 15.00 WIB

3 Tanudyadya FK, Rahardjo E, Bollen JM, Madjid N, Daili SF, Priohutomo S, et al.

Prevalence of sexually transmitted infections and sexual risk behavior among female sex workers in nine provinces in Indonesia, 2005. J Trop Med 2010; 41:463-73

4 Sutanto I, Ismid IS, Sjarifudin PK, Sungkar S. Buku ajar parasitologi kedokteran. Edisi

ke-4. Jakarta : balai penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2008

5 Brooks GF, Butel JS, Morse SA. Mikrobiologi kedokteran. Edisi ke-23. Jakarta: EGC,

2007

6 Reed BD,Gorenflo DW, Gillespie B, dkk. Sexual behaviors and other risk factors for

candida vulvovaginitis.J wome health 2000; 9:6

7 Daili SF, Makes WI, Zubler F. Infeksi menular seksual. Edisi ke-4. Jakarta: Balai

Pernerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2011. hlm 172-178

8 Lopez-Monteon A, Gomez-Figueros FS, Poceros G, Guzman Gomez D,

Ramos-Ligonio A. Codetection of trichomonas vaginalis and candida albicans by PCR in urine samples in a low-risk population attended in a clinic first level in Central Veracruz, Mexico. Biomed Res Int 2013; 1-7

9 Engberts MK, Verbrugens BSM, Boon ME, Hafeen M, Heintz APM. Candida and

colonization with Trichomonas vaginalis, Gardnerella vaginalis and Actinomyses: a cytological study. Domplein :Uttrecth University, 2007. p 76-87.

10 Ocak S, Cetin M, Hakverdi S, Dolacioglu K, Gungoren A, Hakverdi AU. Effect of

intrauterine device and oral contraceptive on vaginal flora and epitelium. Saudi Med J 2007; 28

11 Morrison CS, Turner AN, Jones LB. Highly effective contraception and acquisition of

HIV and other sexually transmitted infections. J.bpogbyn 2008; 23: p 263–284

12 Shobeiri F, Nazari M. Vaginitis in Intrauterine Contraceptive Device Users. J. Health

Gambar

Tabel 10. Hubungan  Kontrasepsi Hormonal dengan Trikomoniasis vaginalis  	
  
Tabel 13. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Kandidiasis Vulvovaginal

Referensi

Dokumen terkait

Sedekah bumi ( Nyadran ) merupakan salah satu jenis tradisi masyarakat yang merupakan hasil konvensi atau kesepakatan bersama masyarakat untuk dipersatukannya (akulturasi) budaya

disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan kemampuan fungsional lansia yang mengalami low back pain (nyeri punggung) sebelum dan sesudah penelitian di Desa Leyangan Kecamatan

Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah.&#34; 5 Kemudian Iblis membawa- Nya ke Kota Suci dan menempatkan Dia

Menyatakan bahwa Karya Seni Tugas Akhir saya tidak terdapat bagian yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi mana pun dan juga

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa rumput laut jenis Ulva fasciata , Halymenia durvillaei dan Laurencia obtusa dari perairan teluk Manado

Bila terdapat lebih dari satu pohon sintaks untuk sebuah grammar maka dikatakan grammar tersebut Ambiguous. Dua cara melakukan validitas sintaks dengan

Observasi dilakukan untuk mengetahui aktivitas siswa pada saat proses belajar mengajar melalui pembelajaran model pembelajaran mencari pasangan, hal-hal ini yang dipantau

Kedua, Ketentuan Murabahah kepada Nasabah: Nasabah dapat mengajukan permohonan dan janji pembelian akan suatu barang atau aset kepada bank; Jika bank menerima