Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIX HFI Jateng & DIY, Yogyakarta 25 April 2015 ISSN : 0853-0823
Pemetaan Korosifitas Baja Karbon pada Kondisi Atmosferik
Kawasan
Waduk Cirata
Sri Suryaningsih
1,a, Tb. A. Benito
2,Sunardi
31Departemen Fisika FMIPA UNPAD
2Fakultas Peternakan UNPAD 3Departemen Biologi FMIPA UNPAD
Jl. Raya Bandung-Sumedang Km.21 Jatinangor 45363, Sumedang
a email: sri_56@ymail.com
Abstrak – Waduk Cirata merupakan bagian dari waduk kaskade yang dibangun untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik, kegiatan perikanan, penyediaan air pertanian dan pariwisata. Aktivitas ini mempengaruhi kualitas udara sekitar perairan waduk dan berdampak terutama pada peralatan pembangkit tenaga listrik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat korosi pada baja karbon SS400 di lingkungan atmosfer kawasan waduk. Pengukuran laju korosi baja karbon SS400 menggunakan metode kehilangan berat pada spesimen yang terpapar untuk jangka waktu 1 bulan selama 4 bulan. Laju korosi baja karbon yang telah dipapar di lingkungan atmosfer waduk berkisar antara 0,0181–0,6512 mm/tahun dengan rata-rata laju korosi berkisar antara 0,0356–0,5010 mm/tahun. Berdasarkan uji SEM–EDS, morfologi permukaan baja karbon mengalami kerusakan korosi yang merata terutama di lingkungan Tailrace PLTA.
Kata kunci:waduk, laju korosi, lingkungan atmosferik, baja karbon.
Abstract - Cirata is a part of a cascade reservoirs that built to meet the needs of electric power, fisheries, agricultural water supply and tourism. This activities affects the air quality around the waters of the reservoir and also have an impact to power plant equipment. This study aims to determine the corrosion rate of carbon steel SS400 in the atmospheric environment of the reservoir. The carbon steel SS400 corrosion rate measurement uses weight loss method on a specimen which is exposed in a period of 1 month for 4 months. The corrosion rate of carbon steel that exposed in the atmospheric reservoir is determined ranging from 0.0181 to 0.6512 mm/year, with an average corrosion rate is ranging from 0.0356 to 0.5010 mm/year. Based on the SEM-EDS test, the morphology of carbon steel shows that the surface is suffering an evenly distributed corrosion damage, especially in the Tailrace environment of the hydropower plants.
Keywords: reservoirs, corrosion rate, atmospheric environment, carbon steel.
I. PENDAHULUAN
Waduk Cirata merupakan salah satu waduk kaskade berada pada ketinggian 220 m, terbentuk dari genangan
air seluas 62 km2 yang membendung Sungai Citarum,
yang meliputi tiga Kabupaten, yaitu Cianjur, Purwakarta dan Bandung Barat. Fungsi utamanya ditujukan sebagai pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Selain itu, waduk juga mempunyai fungsi tambahan antara lain untuk budi daya ikan keramba jaring apung (KJA), lalu lintas air, penyedia air pertanian dan pariwisata.
Permasalahan yang timbul kemudian adalah meningkatnya sedimentasi di waduk sebagai akibat perubahan fungsi dan tataguna lahan. Dalam Pustaka [1], perkembangan usaha KJA juga mendatangkan masalah ekologis karena telah menimbulkan pencemaran bahan organik yang sangat tinggi. Permasalahan yang dihadapi yang dapat mempengaruhi efektifitas pemanfaatan waduk adalah kualitas udara, seperti tercium bau yang sangat menyengat pada saat melintasi kawasan waduk. Serta terjadi korosi yang signifikan di beberapa instalasi bangunan PLTA, seperti konstruksi bangunan atau peralatan logam yang berada di atas permukaan air. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat korosi pada baja karbon di lingkungan atmosfer kawasan Waduk Cirata.
II. LANDASAN TEORI
A. Waduk
Pembangunan waduk merupakan salah satu upaya dalam pengelolaan konservasi sumberdaya air. Air waduk dapat dipergunakan sebagai sumber energi pada pembangkit listrik (PLTA). Untuk keperluan ini, air waduk harus tersedia dalam jumlah tertentu agar turbin pada instalasi PLTA dapat tetap digerakkan. Energi yang dihasilkan oleh air ini lebih ramah lingkungan daripada energi yang dihasikan oleh diesel, batu bara, atau bahan bakar fosil lainnya, karena PLTA tidak menghasilkan polusi dalam memproduksi listrik tapi memberi dampak pada lingkungan dengan cara lain.
Waduk sebagai penampung air juga akan menampung sedimen. Erosi karena hilangnya tutupan hijau dan perubahan tata guna lahan pada daerah tangkapan air akan membawa sedimen ke perairan waduk. Begitu pula limbah domestik dan kegiatan keramba jaring apung (KJA) turut menyumbang penumpukan sedimen di dasar perairan waduk. Pembusukan zat-zat organik yang terkandung dalam sedimen akan menghasilkan zat-zat beracun dan korosif berupa gas terlarut seperti sulfur dioksida (H2S). Gas H2S ini akan terangkat ke permukaan mengisi lapisan hipolimnion, metalimnion dan epilimnion dan akhirnya terlepas ke udara. Gas terlarut H2S akan
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIX HFI Jateng & DIY, Yogyakarta 25 April 2015 ISSN : 0853-0823
merusak bangunan bendungan dan PLTA dengan dua cara, yaitu melalui aliran air bawah permukaan untuk penggerakkan turbin disebut korosi air, dan melalui pelepasan atau emisi gas H2S pada air permukaan berupa polutan udara yang disebut korosi udara.
B. Korosi
Korosi atau secara awam lebih dikenal dengan istilah perusakan atau penurunan kualitas bahan karena berinteraksi dengan lingkungannya.
Dilihat dari aspek elektrokimia, korosi merupakan proses terjadinya transfer elektron dari logam ke lingkungannya. Logam berlaku sebagai sel yang memberikan elektron (anoda) dan lingkungannya sebagai penerima elektron (katoda). Reaksi yang terjadi pada logam yang mengalami korosi adalah reaksi oksidasi, dimana atom-atom logam larut kelingkungannya menjadi ion-ion dengan melepaskan elektron pada logam tersebut. Sedangkan dari katoda terjadi reaksi, dimana ion-ion dari lingkungan mendekati logam dan menangkap elektron-elektron yang tertinggal pada logam.
Berdasarkan kondisi lingkungan, korosi dapat terjadi di udara terbuka yang disebut korosi atmosferik. Korosi atmosferik merupakan hasil interaksi logam dengan atmosfir ambien di sekitarnya, yang terjadi akibat kelembaban dan oksigen di udara, dan diperparah dengan adanya polutan seperti gas-gas atau garam-garam yang terkandung di udara.
Korosi atmosferik merupakan proses elektrokimia yang rumit terjadi dalam sel korosif yang terdiri dari logam, permukaan elektrolit dan udara [2]. Sel korosif harus memiliki komponen penting, yaitu adanya anoda, katoda, konduktor logam antara anoda dan katoda, dan larutan elektrolit pada permukaan logam [3].
Pustaka [4] menjelaskan bahwa persyaratan mendasar untuk bisa terjadinya proses elektrokimia korosi adanya lapisan elektrolit tipis atau lapisan tipis air, yang terbentuk pada permukaan logam di bawah kondisi paparan atmosfir tertentu, setelah tercapainya nilai kritis kelembaban relatif. Lapisan tipis air ini kemudian melarutkan partikel-partikel dan gas dari udara ambien, dan bertindak sebagai elektrolit tempat terjadinya reaksi korosi dan proses korosi terjadi bila tercapai keseimbangan antara reaksi anodik dan katodik. Fe(OH)2 yang terbentuk dari reaksi kesetimbangan tidaklah stabil dalam larutan yang mengandung oksigen terlarut, sehingga Fe(OH)2 teroksidasi menjadi Fe(OH)3 dengan persamaan reaksi seperti pada persamaan (1):
4Fe(OH)2 + O2 + 2H2O 4Fe(OH)3 (1)
Fe(OH)3 kemudian teroksidasi menjadi oksida besi
terhidrasi (hidrated ferric oxide). Terbentuknya produk ini ada pada jarak tertentu dari permukaan logam yang terkorosi, dan disebut sebagai karat oleh reaksi seperti persamaan (2) berikut:
4Fe(OH)3 + O2 2Fe2O3 . 2H2O + 2H2O (2)
Jika terdapat pencemar gas SO2 (sulfur diosida) di udara, dan adanya uap air maka laju korosi menjadi meningkat. SO2 yang dilepas ke atmosfir akan segera bereaksi dengan karat yang terbentuk pada permukaan logam. Persamaan (3) memperlihatkan reaksi kimianya:
SO2 + 2Fe2O3 FeSO4 + Fe3O4 (3)
Hidrogen sulfida (H2S) adalah senyawa gas yang tidak
berwarna, beracun, mudah terbakar dan memiliki bau yang menyengat serta larut dalam air. H2S dihasilkan dari penguraian limbah organik oleh bakteri pereduksi sulfur (SRB). Pada kondisi aerob, H2S dioksidasi oleh bakteri pengoksidasi sulfur (SOB). Gas H2S menyebabkan korosi pada logam dengan terlebih dahulu teroksidasi menjadi H2SO4 melalui Persamaan (4) berikut.
H2S + 2O2 2H2SO4 (4)
H2S juga dapat bereaksi langsung dengan Fe dan membentuk karat pada kondisi kering, seperti pada Persamaan (5) :
Fe + H2S FeS + 2H+ (5)
Bila kemudian terdapat lapisan air maka FeS akan bereaksi dengan oksigen, ditunjukkan pada Persamaan (6) berikut:
2FeS + 7/2 O2 Fe2O3 + 2 SO2 (6)
Sekali proses pengkaratan dimulai, korosi tidak dapat dihentikan.
C. Laju Korosi
Perhitungan laju korosi dengan menggunakan metode kehilangan berat. Untuk mendapatkan jumlah kehilangan berat dengan menggunakan persamaan (7) sesuai dengan standar ASTM [5], sebagai berikut :
(7) dengan:
CR = laju korosi - Corrosion Rate (mm/year)
K = 8.76 x 104
W = berat yang hilang (gr)
A = luas sampel (cm2)
t = waktu papar (jam)
D = massa jenis sampel (gr/cm3)
III. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di kawasan PLTA Cirata yang terletak di Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan perkiraan sumber dampak terhadap korosi logam diambil empat lokasi yaitu lokasi Pemukiman Tegal Datar (Lokasi A), Intake (Lokasi B), Tailrace (Lokasi C), dan halaman Kantor BPWC (Lokasi D), seperti ditunjukkan pada Gambar 1.
Penelitian ini dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu tahap pertama persiapan sampel uji korosi adalah lempeng logam baja karbon tipe SS400 sebanyak 32 buah dengan ukuran 40 mm x 60 mm dan tebal 1 mm. Tahap kedua, pengukuran parameter sampel udara yang diambil langsung di lapangan. Parameter yang diukur adalah temperatur dan kelembaban udara, sedangkan gas sulfur dioksida (SO2), dan gas hidrogen sulfida (H2S) diambil dengan menggunakan tabung penyerap Impingel, pompa, flow meter dan generator. Perhitungan laju korosi menggunakan metode kehilangan berat (weight loss) dari sampel logam yang telah dipapar (ekspos) di empat lokasi setiap bulannya selama empat bulan. Pengukuran temperatur dan kelembaban sampel udara dilakukan setiap jam selama empat bulan.
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIX HFI Jateng & DIY, Yogyakarta 25 April 2015 ISSN : 0853-0823
Gambar 1. Peta Titik Lokasi Penelitian
Jumlah sampel yang di papar pada setiap lokasi sebanyak
8 sampel. Pemaparan sampel di lingkungan atmosferik
dengan cara mengikatkan sampel pada tempat yang sudah ditentukan di lokasi penelitian. Tahap ketiga, uji kualitatif logam terkorosi dengan uji komposisi unsur dan morfologi permukaan baja karbon menggunakan Scanning Electron Microscopy - Energy Dispersive X-Ray Spectroscopy (SEM-EDS).
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengujian Laju Korosi
Hasil uji laju korosi baja karbon yang telah dipapar selang 1 bulan sekali selama 4 bulan bervariasi sesuai dengan lokasi tempat pemaparan. Pada Gambar 2 dapat dilihat grafik hasil perhitungan laju korosi untuk baja karbon di kawasan waduk. Laju korosi baja karbon berkisar antara 0,0181 – 0,6512 mm/tahun dengan rata-rata laju korosi berkisar antara 0,0356 – 0,5010 mm/tahun. Laju korosi maksimum sebesar 0,6512 mm/tahun terdapat pada lokasi Tailrace yang memiliki tingkat korosi yang sangat tinggi dibanding lokasi lainnya.
Hal ini disebabkan karena terdapat kandungan polutan
SO2 di udara sebesar 12,54 g/m3, ditunjukan pada
Gambar 3, yang mempengaruhi kecepatan terjadinya korosi. Polutan lain diduga dihasilkan dari aktivitas
pembangkit listrik tenaga air berupa gas H2S yang
diemisikan dari perairan waduk seperti ditunjukkan pada Gambar 4, dimana gas H2S di lokasi Tailrace memiliki
nilai tertinggi sebesar 153,63 g/m3. Laju korosi
minimum sebesar 0,0181 mm/tahun berada pada lokasi pemukiman penduduk.
Gambar 2. Grafik Laju Korosi Baja Karbon Tipe SS-400.
Gambar 3. Grafik Konsentrasi SO2 rata- rata di 4 lokasi
Waduk Cirata
Gambar 4. Grafik Konsentrasi rata-rata H2S di 4 lokasi
Waduk Cirata
Dilihat dari temperatur udara dan temperatur titik embun rata-rata (sebagai fungsi dari kelembaban), maka lokasi Tailrace (Lokasi C) memiliki selisih temperatur
(T) yang paling kecil diantara lokasi lainnya sebesar 7,3
oC, ditunjukan pada Gambar 5. Waktu dimana
tercapainya selisih temperatur (T) minimum adalah
waktu optimum bagi logam untuk mulai terjadinya pengembunan, sehingga logam akan lebih cepat melepaskan kalor, karena logam lebih lama berada dibawah temperatur titik embun. Dengan kata lain pengembunan pada logam akan menjadi lebih lama.
Secara umum Laju korosi logam baja karbon di kawasan waduk termasuk dalam katagori rendah (11 – 200 g/m².tahun) yang tercantum dalam ISO 9223. Sedangkan lokasi Tailrace menunjukan laju korosi tertinggi sebesar 312,97 g/m².bulan termasuk dalam katagori korosi sedang.
Gambar 5. Grafik Selisih Temperatur Udara dan Temperatur Titik Embun
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIX HFI Jateng & DIY, Yogyakarta 25 April 2015 ISSN : 0853-0823
B. Hasil Uji Komposisi Unsur Baja Karbon
Tabel 1 menunjukan hasil pengujian komposisi, massa unsur besi pada baja karbon sebelum di papar sebesar 73,58%. Sedangkan massa unsur besi pada baja karbon setelah di papar sebesar 66,72%. Berkurangnya massa unsur besi disebabkan oleh parameter lingkungan atmosferik sehingga menyebabkan korosi.
Tabel 1. Hasil Uji Komposisi Unsur Logam Baja Karbon
Unsur
Uji Komposisi Kimia (%)
Sebelum diberi perlakuan Setelah diberi perlakuan Setelah diberi perlakuan C 1,48 6,30 C 6,30 O 22,56 22,38 - - Al 0,12 0,81 Al2O3 1,53 Si 0,60 1,13 SiO2 2,43 P - - - - S 0,07 0,27 SO3 0,68 V - - - - Cr 0,03 - - - Mn - - - - Fe 73,58 66,72 FeO 85,83 Ni - 0,24 NiO 0,30 Cu 0,02 0,17 CuO 0,22 Zr 1,28 1,71 ZrO2 2,31 Mo 0,25 0,27 MoO3 0,41
Korosi ditunjukkan dengan adanya unsur pengotor pada permukaan logam antara lain terbentuk senyawa C (karbon), Al2O3 (aluminum oksida), SiO2 (silikon dioksida), SO3 (belerang trioksida), FeO (besi(II)oksida), ZrO2 (zirconium oksida). Komposisi terbesar sebagai pengotor adalah FeO sebesar 85,83 % karena Fe sebagai unsur utama pada baja karbon teroksidasi di lingkungan udara atmosfir.
C. Hasil Uji Morfologi Permukaan Baja Karbon
Hasil uji morfologi memperlihatkan perbedaan baja karbon sebelum dan sesudah dipapar di lingkungan atmosfir kawasan waduk. Permukaan baja karbon sebelum dipapar di lingkungan atmosfir kawasan waduk terlihat kasar yang disebabkan waktu pengamplasan yang kurang sempurna, sehingga permukaan terbentuk garis bekas pengamplasan seperti pada ditunjukan pada Gambar 6(a). Sedangkan permukaan baja karbon yang telah terpapar lebih kasar dibandingkan dengan permukaan baja karbon sebelum dipapar di lingkungan atmosfir kawasan waduk dan terlihat gumpalan-gumpalan pada permukaan baja karbon sepert terlihat pada Gambar 6(b). Jenis korosi ini korosi merata yang disebabkan adanya reaksi elektrokimia dengan penampakan produk korosi dan peronggaan skala besar dan merata. Dengan demikian, lingkungan atmosferik kawasan waduk mempengaruhi laju korosi pada baja karbon, maka perlu dilakukan penanganan korosi terhadap pipa-pipa dilingkungan pembangkit listrik tenaga air khususnya korosi atmosfir.
a) b)
Gambar 6. Pengamatan Mikrostruktur permukaan baja
karbon SS400 menggunakan SEM: (a) baja karbon sebelum dipapar, (b) baja karbon setelah dipapar.
V. KESIMPULAN
Telah dilakukan pemetaan tingkat korosi di lingkungan atmosferik Waduk Cirata. Laju korosi baja karbon yang dihasilkan berkisar antara 0,0181 – 0,6512 mm/tahun. Bentuk permukaan baja karbon mengalami kerusakan korosi merata terutama di lokasi Tailrace PLTA Cirata dengan katagori tingkat korosifitas atmosfir sedang.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih pada LPPM UNPAD dan PPSDAL UNPAD yang telah memberikan dana dan fasilitas selama penelitian.
PUSTAKA
[1] Adiwilaga, E.M. 1999. Pengelolaan Perikanan di Waduk Saguling dan Cirata: Suatu Tinjauan Ekologi, Prosiding Semiloka Nasional Pengelolaan dan Pemanfaatan Danau dan Waduk, PPLH-LP, IPB. Bogor.
[2] McCaferty, E. 2010. Introduction to Corrosion Science. Springer. New York. Hal. 15.
[3] Schweitzer, Philip A. 2010. Fundamentals of corrosion : mechanisms, causes, and preventative methods. CRC Press. New York. Hal. 99.
[4] Ahmad, Zaki. 2006. Principles of Corrosion Engineering and Corrosion Control, Elsevier Scientific Publishing Company. Amsterdam. Hal. 9-12.
[5] ASTM, 1991. Standard Test Methods for Corrosivity of Water in The Absence of Heat Transfer (Weight Loss Methods). American Society for Testing and Materials, Philadelphia: ASTM.
TANYA JAWAB Henry Andrianto, PENS
Apa yang menyebabkan Tdry dan Twet pada tailrace
nilai deltanya paling kecil?
Pipa yang ada di PLTA Cirata, tingkat korosinya
apakah juga sama untuk pipa lurus dan bending (elbow)?
Sri Suryaningsih
Perbedaan temperatur Tdry dan Twet menjadi data
utama untuk mengetahui waktu optimal terjadinya korosi (maksimum).
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIX HFI Jateng & DIY, Yogyakarta 25 April 2015 ISSN : 0853-0823
Adri D.W., PENS
Baja karbon yang ada di PLTA itu apa saja?
korosi yang terjadi apa mempengaruhi sisi dalam pipa
dan ada pengaruh korosi lain?
Pengujian apakah bahan uji sama dengan yang ada di
lapangan? bagaiamana proses pengujiannya?
Sri Suryaningsih
Umumnya pipa-pipa penyalur terbuat dari baja
campuran karbon dengan tingkatan rendah-sedang
Kedua sisi pipa akan terpengaruh terhadap
lingkungannya, sehingga korosi bisa terjadi
penelitian menggunakan nahan yang sama dengan
yang digunakan di PLTA
Dewita, BATAN
Dari data yang dipaparkan antara lokasi B (intake) dan C
(Tailrace) laju korosinya berbeda padahal lokasi cukup dekat dan sampel diletakkan di atmosfer, mengapa?
Sri Suryaningsih
Lokasi antara intake dan tailrace berjarak cukup jauh dan
dibatasi oleh bukit (power house), sehingga data yang
diamati berbeda-beda. Sampel diukur korosi di atmosfir sebagai tujuan dari penelitian ini.