• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. berkembang di tengah-tengah masyarakat. Etnis Melayu mempunyai banyak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. berkembang di tengah-tengah masyarakat. Etnis Melayu mempunyai banyak"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bangsa Indonesia adalah yang memiliki banyak etnis, salah satunya adalah etnis Melayu. Etnis Melayu merupakan bagian dari kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Etnis Melayu mempunyai banyak warisan leluhur yang masih tersimpan dan belum digali sampai sekarang sehingga dikhawatirkan warisan budaya tersebut akan menurun kualitas atau mutunya disebabkan oleh perkembangan peradaban yang terjadi pada masyarakat Melayu tersebut.

Karya sastra merupakan hasil pemikiran dan cermin dari sebuah budaya kelompok masyarakat yang memiliki kebudayaan (Nurgiyantoro, 2001:89). Karya sastra merupakan hasil renungan atau pikiran serta daya imajinasi yang terpadu karya sastra itulah yang membedakan dengan buku-buku sastra dan karangan lainnya. Melalui karya sastra segala kemungkinan-kemungkinan diungkapkan oleh pengarang baik kehidupan jasmani maupun rohani, secara universal.

Sastra lisan merupakan bagian dari kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat lalu diwariskan turun-menurun secara lisan sebagai milik bersama. Ragam sastra yang demikian tidak hanya berfungsi sebagai alat hiburan, pengisi waktu senggang, serta penyalur perasaan dan pendengaran, tetapi juga sebagai pencerminan sikap, pandangan, angan-angan

(2)

kelompok, alat pendidikan anak-anak, alat pengesahan pranata dan lembaga kebudayaan serta pemeliharaan norma masyarakat, (Fachruddin, 1981:1).

Sesuai dengan keadaan masyarakat Melayu yang sedang membangun saat ini, berbagai bentuk kebudayaan lama termasuk sastra lisan, bukan mustahil akan terabaikan di tengah-tengah kesibukan pembangunan dan pembaharuan yang sedang meningkat. Sehingga dikhawatirkan kualitas sastra lisan menurun dan tak akan tumbuh serta berkembang pada diri generasi saat ini. Salah satu genre prosa rakyat dari kesusastraan Melayu adalah cerita rakyat yang lahir dari etnik masyarakat Melayu Serdang.

Sastra memiliki nilai budaya yang tercermin dalam pemberian arti aspek pada berbagai jenis perilaku atau tindakan antar individu maupun golongan secara utuh, khususnya pada sastra etnik Melayu Serdang merupakan bagian dari kebudayaan yang tumbuhdan perkembangan pada masyarakatnya. Pada prinsipnya nilai budaya suatu etnis yang ada pada Melayu Serdang tidak akan pernah hilang dari perilaku pendukungnya, hal ini dapat kita lihat dari kebudayaan etnik yang memiliki ciri khas tertentu. Nilai budaya etnik itu dapat diketahui melalui prosa rakyat sebagai bahagian khasanah kesusastraan Melayu Serdang.

Prosa rakyat sebagai bentuk genre dari karya sastra bila dibaca dan dinikmati dapat menghibur diri untuk memperoleh kepuasan batin. Welleck & Waren (2001:212) menyatakan betapa pun saratnya pengalaman dan permasalahan kehidupan yang ditawarkan, sebuah karya prosa haruslah tetap merupakan cerita yang menarik, tetap merupakan bangunan struktur yang koheren, dan tetap mempunyai tujuan tertentu.

(3)

Memahami pandangan dan penjabaran di atas dapat dijelaskan bahwa melalui karya sastra segala kemungkinan-kemungkinan diungkapkan oleh pengarang, baik kehidupan jasmani maupun rohani. Sastra memiliki nilai budaya yang tercermin dalam pemberian arti aspek psikologis pada berbagai jenis perilaku atau tindakan antar individu maupun golongan secara utuh, khususnya pada sastra etnik Melayu merupakan bagian dari kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat.

Salah satu bentuk dari kesusatraan Melayu, khususnya prosa Melayu adalah cerita rakyat. Cerita rakyat adalah salah satu karya sastra yang menggambarkan tentang kehidupan masyarakat khususnya kehidupan masyarakat Melayu Serdang. Dalam karya sastra bentuk prosa Melayu tersebut terdapat berbagai unsur pendukung seperti tema, alur atau plot, latar, tokoh. Dan unsur ekstrinsik seperti dimana tempat terjadinya karya sastra itu muncul, pandangan hidup atau cara berpikir masyarakat pada karya sastra tersebut, keadaan masyarakat pada waktu tertentu sehingga perlu direkam dalam karya sastra, kondisi baru yang muncul sesudah keadaan masyarakat sebelumnya, adat-istiadat masyarakat yang terdapat dalam karya sastra, pandangan pembaca terhadap karya sastra dan kedudukan karya sastra dalam sejarah saatra atau dalam satu jangka waktu tertentu berdasarkan ciri-ciri umum suatu zaman/periodesastra. Serta nilai-nilai psikologis yang terkandung dalam suatu cerita rakyat.

Dengan alasan di atas, penulis mengangkat cerita rakyat masyarakat Melayu Serdang dengan judul “Tinjauan Psikologi Cerita Rakyat Sri Putih Cermin pada masyarakat serdang”.

(4)

Cerita ”Sri Putih Cermin” ini adalah satu cerita dari masyarakat Melayu Serdang yang telah dibukukan. Apabila dilihat dari isinya, ”Sri Putih Cermin”

menceritakan keajaiban alam, yakni terjadinya suatu pantai bernama Pantai Putri. Cerita ini mengisahkan hubungan adat istiadat dan asal usul terjadinya Pantai Putri, Sungai Ular, dan Ikan Baung. Yang mana cerita ini banyak mengandung nilai-nilai psikologis yang dapat dijadikan sebagai alat pendidikan moral masyarakat Melayu Serdang khususnya, dan masyarakat pembaca umumnya, selain itu juga sebagai kebanggaan daerah, bangsa dan negara tercinta.

1.2 Batasan Masalah

Adapun batasan masalah dalam penelitian cerita rakyat Sri Putih Cermin

ini, meliputi:

a. Bagaimana struktur cerita rakyat Sri Putih Cermin?

b. Nilai-nilai psikologis apa saja yang terkandung dalam cerita rakyat Sri Putih Cermin?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah: a. Mengetahui struktur cerita rakyat Sri Putih Cermin.

b. Mengetahui nilai-nilai psikologis yang terkandung dalam cerita rakyat Sri Putih Cermin.

1.4 Manfaat Penelitian

(5)

a. Menambah khasanah kajian sastra masyarakat Melayu Serdang khususnya cerita rakyat Sri Putih Cermin.

b. Sebagai sumber bacaan bagi peneliti sastra agar cerita rakyat terus menerus digali dan dikembangkan.

c. Mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra Melayu.

d. Memelihara karya sastra lisan agar terhindar dari kemusnahan dan dapat diwariskan pada generasi yang akan datang.

e. Untuk memenuhi salah satu syarat menempuh Sarjana Sastra di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

1.5 Tinjauan Pustaka

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan dengan judul skripsi ini. Untuk mempertanggungjawabkan suatu karya ilmiah bukanlah pekerjaan mudah, karena itulah disertakan data-data yang kuat yang ada hubungannya dengan objek yang diteliti.

Ada beberapa buku yang dipakai penulis dalam penelitian ini seperti buku karangan Zam Nuldyn, yang berjudul Sri Putih Cermin diterbitkan oleh Firma “Hasmar” Medan-Jakarta-Ujung Pandang. Dan buku Jayawati, yang berjudul

Analisa Struktur dan Nilai Budaya Cerita Rakyat Sumatera Utara diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan kebudayaan.

(6)

1.6 Landasan Teori 1.6.1 Teori Struktural

Untuk mengetahui struktur dalam sebuah karya sastra, haruslah dilakukan analisis unsur instrinsik karya sastra tersebut. Dalam unsur instrinsik digunakan empat struktur karya sastra prosa fiksi yang harus dianalisis yaitu: alur (plot), penokohan/perwatakan, latar,dan tema (Tinambunan. et.al., 1996:7-14)

a. Alur

Alur prosa fiksi (cerita fiksi) adalah rentetan peristiwa yang biasanya bersebab akibat atau berkaitan secara kronologis, sedangkan alur prosa nonfiksi adalah rentetan pikiran atau paparan sebagaimana dalam sajak dan drama (Natawidjaja, 1980:80). Alur yang baik dalam prosa fiksi adalah alur yang di dalamnya terdapat keingintahuan pembaca akan peristiwa berikutnya (Akhadiyah M.K.dkk., (1992:184).

Secara sederhana alur itu terbagi dalam tiga tahap, yaitu tahap perkenalan, tahap pertikaian, dan tahap akhir (Surana, 1980:84). Pada tahap perkenalan pada awal cerita diperkenalkan/dilukiskan tempat, waktu, dan tokoh-tokohnya pada tempat dan saat tertentu. Pada tahap pertikaian dilukiskan munculnya pertikaian yang berkembang menuju puncak atau klimaks. Pertikaian dapat berupa konflik bathin dalam diri sendiri, antar tokoh dalam suatu keluarga atau masyarakat. Pada tahap akhir dilukiskan cerita telah berakhir atau penyelesaian konflik atau masalah yang dihadapi.

(7)

Rentetan peristiwa itu dapat disusun dari awal, tengah, dan akhir (progresif) cerita dan dapat juga dari akhir cerita, lalu kembali ke pangkalnya (regresif atau flashback). Di samping itu, kedua alur itu dapat dipakai bersama-sama atau digabungkan, yaitu mula-mula diceritakan peristiwa masa lalu, kemudian, beralih ke perstiwa sesudah masa kini.

Urutan peristiwa dalam alur dapat berupa urutan klimaks atau antiklimaks dan dapat pula berupa urutan kronologis atau regresif (alur mundur atau alur sorot balik). Urutan klimaks peristiwa dimulai dari peristiwa biasa dan diteruskan oleh peristiwa berkembang, serta diakhiri dengan peristiwa memuncak. Dalam urutan antiklimaks, peristiwa dimulai dari peristiwa yang paling tegang atau paling mengerikan (memuncak), kemudian diakhiri dengan peristiwa biasa. Dalam urutan kronologis, peristiwa maju secara wajar menurut waktu. Dalam alur sorot balik, peristiwa dimulai dari peristiwa akhir (tahap akhir), lalu kembali ke permulaan peristiwa (tahap konflik) atau peristiwa dimulai dari peristiwa yang berkonflik (tahap konflik), lalu kembali pada permulaan cerita (tahap perkenalan), dan diteruskan dengan peristiwa akhir dari cerita (tahap akhir), (Surana, 1980:83-86).

b. Penokohan

Tokoh ialah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau perlakuan di dalam berbagai peristiwa cerita sedangkan watak adalah menggambarkan bagaimana sifat para tokoh pada cerita itu. Tokoh dan watak dinyatakan setelah alur cerita dinyatakan secara jelas. Biasanya alur cerita berpusat pada tokoh utama, ditemukan juga tokoh bawahan. Watak tokoh cerita ada yang baik

(8)

(penyabar, suka mengampuni dan sebagainya), yang dapat dicontohkan oleh pembaca dan ada juga yang kurang baik (pemarah, pendendam, dan sebagainya) yang harus dihindari ditanggapi secara positif oleh pembaca.

Ada enam cara yang dipakai dalam mendeskripsikan penokohan dalam karya sastra, yaitu:

(1) penulisan bentuk lahir,

(2) pelukiskan jalan pikiran dan perasaan, (3) pelukisan reaksi tokoh lain,

(4) pelukisan keadaan sekeliling, (5) pengungkapan ucapan, (6) dan pelukisan kebiasaan.

Pelukisan bentuk lahir atau tingkah laku dalam mengukapan watak seseorang atau tokoh cerita dapat dilakukan secara analitik dan dramatik. Pelukisan reaksi tokoh lain terhadap tokoh utama atau tokoh bawahan. Misalnya, pada waktu tokoh mendapat suatu musibah, banyak tetangga dan kenalan datang menjenguk untuk memberikan hiburan dan pertolongan. Dalam hal ini, tampak bahwa tokoh utama berwatak baik: rela menolong, suka mengampuni, dan sebagainya.

Pelukisan keadaan sekeliling tokoh utama atau tokoh bawahan cerita, misalnya keadaan rumah, kamar, dan halaman dapat mengukapkan watak pelaku, misalnya rajin atau malas, saleh atau munafik.

(9)

Pengungkapan ucapan dapat juga menyatakan watak pelaku. Ucapan positif menunjukan watak negatif. Kebiasaan positif menyatakan watak yang baik dan kebiasaan negatif menyatakan watak yang tidak baik/kurang baik.

Penggambaran watak pada fiksi kontemporer tidak lagi dapat dilakukan menurut waktu, tetapi menurut tanggapan sesaat, kesadaran zaman lampau, kini dan besok bercampur-baur (perwatakan absur yang tidak logis).

Perwatakan tokoh cerita fiksi merupakan perbauran, minat, keinginan,

emosi, dan moral yang membentuk sosok individual tokoh itu (Semi, 1988:39).

Karena itu, watak tokoh cerita dapat dinyatakan menurut sifat tersebut, antara lain: bersifat positif, berkeinginan positif, emosi positif, dan moral positif (baik hati) atau sebaliknya. Perkembangan tokoh dan perwatakan harus wajar. Perwatakan tokoh cerita itu akan menimbulkan kesan tertentu (benci atau senang/simpati) kepada pembaca, kritikus, atau peminat.

b. Latar

Latar atau setting yang disebut juga landas tumpu, menyaran kepada

pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Nurgiyantoro, 201:218). Latar

memberikan pijakan cerita secara konkrit dan jelas, hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca dengan demikian merasa diperlukan untuk mengoperasikan daya imajinasinya di samping

memungkinkan untuk berperan serta secara kritis sehubungan dengan tentang latar. Pembaca dapat merasakan menilai kebenaran, ketepatan, dan aktualisasi latar yang diceritakan sehingga merasa lebih akrab. Pembaca seolah-olah

(10)

merasa menemukan dalam cerita itu sesuatu yang sebenarnya menjadi bagian dirinya, hal ini akan terjadi jika latar mampu mengangkat suasana setempat, warna lokal, lengkap dengan perwatakan dalam cerita.

Menurut Nurgiyantoro ( 2001:227) unsur latar dapat dibedakan kedalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, sosial. Ketiga unsur itu walau masing- masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Ketiga unsur latar tersebut secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Latar tempat, latar ini menyarankan pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya sastra. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin lokasi tertentu tanpa jelas. Tempat- tempat yang bernama adalah tempat yang dijumpai dalam dunia nyata misalnya pantai hutan, desa, kota, kamar, ruangan, dan lain-lain.

2) Latar waktu , latar ini berhubungan dengan masalah “kapan “ terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya sastra masalah, “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitanya dengan peristiwa sejarah. Pengetahuan tentang persepsi pembaca terhadap waktu sejarah itu kemudian dipergunakan untuk mencoba masuk kedalam suasana cerita. Pembaca berusaha memahami dan

(11)

menikmati cerita berdasarkan acuan waktu yang

diketahuinya berasal dari luar cerita yang bersangkutan. Adanya persamaan perkembangan dan kesejalanan dan waktu tersebut juga dimanfaatkan untuk mengesani pembaca seolah-olah cerita itu sebagai sungguh-sungguh ada dan terjadi.

3) Latar sosial, latar ini menyarankan pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial

masyarakat disuatu tempat yang diceritakan dalam karya sastra. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Dia dapat berupa kebiasaan hidup, adapt-istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara bepikir dan bersikap, dan lain-lain.

. Tema dan Amanat

Tema adalah gagasan, ide, atau pikiran utama yang mendasari satu karya sastra. Adanya tema membuat karya lebih penting daripada sekedar bacaan hiburan (Sudjiman, 1992:50), sedangkan amanat adalah pemecahan tema; pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca (Gaffar, 1990:4).

Sedangkan struktur yang harus dianalisis dalam unsur ekstrinsik karya sastra mencakup latar belakang karya sastra. Latar belakang karya sastra mengacu pada:

(12)

a) tempat dan masa tertentu dengan fakta-faktanya, yaitu tempat dan yang memungkiri karya sastra itu muncul.

b) pandangan hidup masyarakat pada saat itu sehingga muncul pandangan hidup atau cara berpikir masyarakat pada karya sastra.

c) keadaan masyarakat pada saat tertentu sehingga perlu direkam dalam karya sastra.

d) Kondisi baru yang muncul sesudah keadaan masyarakat sebelumnya, e) adat-istiadat masyarakat yang terdapat dalam karya sastra,

f) keadaan penulis karya sastra, seperti pertumbuhan pribadinya, cara penemuannya atas ilham yang tertuang dalam karya sastra,

g) pandangan pembaca terhadap karya sastra, dan

h) kedudukan karya sastra dalam sejarah sastra atau dalam satu jangka waktu tertentu berdasarkan ciri-ciri umum suatu zaman/periode sastra.

1.6.2 karya sastra dan psikologis

Menurut suatu definisi tidak mudah sebab definisi selalu berusaha memberikan pengertian yang tepat dan sedekat mungkin terhadap sesuatu dalam kalimat yang relatif singkat dan padat. Demikian juga dengan definisi sastra, tetapi bukan berarti sastra itu tidak dapat didefinisikan.

Secara Etimologi dapat ditinjau bahwa kata sastra yang dalam kehidupan sehari-hari disebut juga kesusastraan berasal dari bahasa sansekerta. Kata dasar kesusastraan ialah sastra yang berarti tulisan, karangan. Sastra mendapat awalan sehingga maknanya menjadi tulisan atau karangan yang indah. Dalam bahasa

(13)

indonesia sastra mendapat konfiks ke-an hingga kesusastraan yang berarti kumpulan tulisan atau karangan yang indah.

Kata sastra dapat ditemukan dalam berbagai konteks pernyataan yang berbeda satu sama lain. Kenyataan ini mengisyaratkan bahwa sastra itu bukan hanya sekedar istilah untuk menyebutkan fenomena yang sederhana. Sastra merupakan istilah yang memiliki arti luas, meliputi sejumlah kegiatan yang berbeda-beda.

Kita dapat membicarakan sastra secara umum misalnya berdasarkan aktivitas manusia tanpa mempertimbangakan budaya, suku, maupun bangsa. Karya sastra dipandang sebagai suatu yang dihasilkan dan dinikmati. Orang-orang tertentu pada masyarakat dapat menghasilkan karya sastra, sedangkan orang lain dalam jumlah yang besar dapat menikmati karya sastra itu dengan cara mendengarkan atau membacanya. Karena karya sastra dapat disajikan dalam berbagai cara seperti, langsung diucapkan atau lisan, lewat radio, majalah, buku, dan sebagainya.

Bahasa, baik lisan maupun tulisan, merupakan bahan pokok karya sastra. Dengan perkataan lain, karya sastra mengandung kumpulan dari bentuk bahasa yang digunakan dalam berbagai pola yang objeknya adalah manusia dan kehidupanya menggunakan bahasa sebagai mediumnya.

Dalam proses penciptaan suatu karya sastra, pengarang tidak hanya mengekspresikan apa yang ada pada jiwa mereka ke dalam suatu karya sastra, tetapi diperlukan kemampuan pendidikan yang mapan dan kejelian dalam menganalisis serta memasukkan ilmu lainnya, seperti psikologi, filsafat,

(14)

antropologi, sosiologi, dan lain-lain. Dengan pendidikan yang mapan dan kejelian menganalisis serta memasukan pengetahuan lainnya ke dalam suatu hasil karya sastra, karya sastra tersebut terasa bermanfaat di samping mempunyai unsur kenikmatan.

Hubungan sastra dengan psikologi, sosiologi, dan antropologi sangat dekat. Hal ini karena sastra dengan cabang-cabang ilmu pengetahuan tersebut mempunyai objek yang sama yaitu manusia yang mencakup lingkungan dan kehidupannya. Darma (1983 : 52) mengemukakan bahwa, ”sastra sebenarnya pengungkapan masalah hidup, kejiwaaan, dan filsafat melalui sastra”.

Dari kutipan di atas dapat dilihat bagaimana eratnya hubungan jiwa pengarang dalam melukiskan karya sastra sebagai dorongan dari jiwanya. Dapat ditarik kesimpulan bahwa karya sastra diperkaya atau berisikan nilai-nilai kehidupan serta pengalaman manusia.

Bahasa sebagai Media Karya Sastra

Setiap karya seni mempunyai fungsi sosial, tetapi setiap karya seni itu tidak sama nilai fungsinya sosialnya. Di antara beberapa hasil karya seni, karya sastralah yang mempunyai fungsi ssosial yang lebih banyak dan lebih leluasa mengungkapan atau mengekpresikan nilai-nilai yang bermanfaat bagi penyempurnaan kehidupan manusia.

Bahasa dalam kesustraan seperti juga dalam bidang yang lain adalah media berhubungan antara sesama anggota masyarakat dalam kegiatan sosial dan kebudayaan, pengunaan bahasa dalam sastra sendiri pun mempunyai perbedaan. Oleh karena itu, sastra tidaknya sebuah hasil tulisan sangat tergantung pada

(15)

kemampuan pengarang menggunakan bahasa, tetapi bukan berarti isi dan pesan tidak diperhatikan.

Bahasa yang baik dan mampu membangun karya sastra adalah bahasa yang matang, dan mempunyai makna. Kelenturan bahasa dieksploitasi oleh pengarang sedemikian rupa dan seluas mungkin, seperti memilih kalimat, diksi, dan ungkapan yang khusus, pemakaian bahasa kias seperti tamsil, metafora, dan lain-lain untuk mencapai suatu kesan sensitif dan kehalusan rasa.

Dasar pengunaan bahasa dalam karya sastra bukan sekedar kata itu mengusik dan meninggalkan kesan kepada pembaca. Nilai konotasi yang lebih luas dari pengertian denotasi sangat penting. Setiap karya yang dipilih boleh diasosiasikan kepada berbagai dearah. Oleh sebab itulah, dalam karya sastra tidak ada pengertian yang sama bila ditinjau dari sudut kesan sensivitas, dari sudut bunyi, lambang. Setiap pilihan kata mempunyai pengertian tersendiri, misalnya kata cantik, molek, bagus, baik, anggun, indah, dari sudut denotasi mungkin artinya sama, tetapi kesan kata-kata ini berbeda.

Sebagaimana telah dikemukakan diatas, cerita hikayat Sri Puith Cermin berasal dari daerah Sumatera Utara yang kemudian di translit oleh Zam Nuldyn ke dalam bahasa Indonesia. Secara umum keseluruhan hikayat ini dapat dipahami isinya karena bahasa yang dipergunakan adalah bahasa indonesia.

Pengertian Psikologi

Psikologi berasal dari bahasa latin, yaitu psyche berarti jiwa dan logos artinya ilmu. Dengan demikian psikologi dapat diterjemahakan ke dalam bahasa Indonesia menjadi ilmu jiwa.

(16)

Jiwa sebagai objek dari psikologi tidak dapat dilihat, diraba, atau disentuh. Jiwa adalah sesuatu yang abstraks, hanya dapat diobservasi melalui hasil yang ditimbulkannya. Hal ini dapat dilihat dari tingkah laku dan aktivitas lainnya sebab tingkah laku mempunyai arti yang lebih nyata daripada jiwa karena itu lebih mudah untuk dipelajari. Melalui tingkah laku, pribadi seseorang dapat terungkap dengan mudah, cara makan, berjalan, berbicara, menangis, dan sebagainya merupakan suatu perbuatan terbuka sedangkan perbuatan tertutup dapat dilihat dari tingkah lakunya seperti berpikir, takut, dan lain-lain.

Tingkah laku dalam psikologi bukan hanya tetapi meliputi eksistensi yaitu perpanjangan tingkah laku nyata. Tanda-tanda akan tampak pada tubuh sebagai akibat terlalu sering tingkah laku atau kebiasaan tersebut dilakukan. Seperti halnya seorang periang dan sering tertawa akan meninggalkan tanda-tanda di wajahnya dan kita dapat langsung menilai orang tersebut. Efek-efek permanen memungkinkan seorang psikologi mampu mempelajari jiwa manusia melalui tingkah lakunya. Suatu prinsip yang bagaimanapun adalah mutlak dalam psikologi yaitu bahwa tingkah laku merupakan ekspresi mempunyai peranan yang penting dalam psikologi sekalipun patut diketahui bahwa tidak semua yang terdapat dalam tingkah laku.

Aminuddin (1990:49) menyatakan bahwa: ”...ilmu pengetahuan tentang tingkah laku dan perbuatan individu semua berbentuk dorongan dari (impulsum : dorongan, tolakan, rangsangan, rasa). Dalam diri manusia yang menyebabkan timbulnya macam-macam aktifitas fisik dan psikis dijelaskan oleh psikologis.

Secara umum psikologis mempengaruhi hampir seluruh aspek kehidupan. Dengan semakin kompleksnya masyarakat. Maka psikologis memegang peranan

(17)

yang penting dalam memecahkan masalah manusia. Para ahli psikologis menaruh perhatian terhadap segala masalah yang beraneka ragam. Namun yang jelas disiplin ilmu psikologis mempelajari tindak tanduk atau tingkah laku manusia dimana pun berada. Tingkah laku tersebut merupakan hasil perpadanan yang dipadatkan oleh tiap-tiap individu dengan lingkungan dan keinginannya. Artinya tingkah itu lahir berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang dialami dalam kehidupan, kemudian dicetuskan dalam sikap-sikap yang sesuai dengan norma atau adat istiadat di mana individu tersebut dilahirkan.

Psikologi pada pokoknya menyibukan diri dalam masalah aktifitas phisikis seperti membenci, mencintai, menanggapi, berbicara dan penampilan diri, emosi-emosi yang terdapat dalam bentuk tangis dan senyum. Misalnya jika seorang mencintai orang lain tentu saja rasa itu diungkapkan dalam bentuk kasih sayang dan penuh perhatian terhadap orang dicintai. Tetapi seseorang membenci orang lain hal tersebut juga dapat kelihatan dari tingkah lakunya apakah rasa bencinya itu disebabkan karena rasa iri, kurang senang, dan sebagai berikut.

Jadi psikologis menyelidiki kepribadian individu dalam bentuk tingkah laku dan penyesuaian dirinya dengan lingkungan, dan sekaligus hubungan timbal balik dengan sesamanya,dengan perincian:

1. Ilmu pengetahuan yaitu suatu kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematis dan metode-metode tertentu yang tersussun secara sistematis dan metode-metode tertentu yang bersifat ilmu. Sedangkan pssikologis di samping ilmu yang merupakan seni karena dalam penerapannya dalam kehidupan manusia diperlukan keterampilan dan kreatifitas tersendiri.

(18)

2. Tingkah laku dan kegiatan mempunyai arti konkrit yang dapat diamati dengan panca indra, sehingga tingkah laku mudah diikenal dan mudah dipelajari.

3. Lingkungan yaitu tempat manusia hidup, berinteraksi, menyesuaikan diri, dan mengembangkan dirinya. Individu menerima pengaruh dari lingkungan.

Pendapat Aminuddin diatas menunjukan bahwa mempelajari jiwa manusia harus dilihat dari tingkah laku dan perbuatan individu yang berdasarkan tingkah lakunya sehari-hari.

1.6.3 Pendekatan Psikologi

Pendekatan psikologis adalah pendekatan yang bertolak dari asumsi bahwa karya sastra selalu saja mambahas peristiwa perilaku yang beragam. Bila ingin melihat dan mengenal manusia dalam hal ini tokoh-tokoh cerita hikayat Sri Putih Cermin lebih dalam diperlukan psikologi.

Penjelasan ke dalam batin atau kejiwaan untuk mengetahui lebih lanjut tentang seluk-beluk manusia yang unik merupakan sesuatu yang merangsang dan sangat menarik. Banyak penulis dan peneliti sastra yang mendalami masalah psikologi untuk dapat memahami karya sastra dengan bantuan psikologi.

Para tokoh psikologi memberikan inspirasi untuk pemecahan misteri tingkah laku manusia melalui teori-teori psikologi. Di antaranya adalah teori

(19)

psikoanalisis yang dikembangkan oleh Freud, Freudlah yang secara langsung berbicara tentang proses penciptaan seni sebagai akibat tekanan dan timbunan masalah di alam bawah sadar yang kemudian disublimasikan ke dalam bentuk penciptaan karya seni.

Teori-teori mengenai psikologi sastra terus berkembang seiring dengan berjalannya waktu Reokhan dalam Aminuddin (1990:89) mengatakan bahwa, ”...psikologi sastra sebagai salah satu disiplin ilmu ditopang oleh tiga pendekatan studi, yaitu (1) pendekatan ekspresif, yang mengkaji aspek psikologis penulis dalam proses kreatif yang mengkaji terproyeksi lewat karya ciptaannya, (2) pendekatan tesktual, yang mengkaji aspek psikologis sang tokoh dalam karya sastra dan (3) pendekatan reseptif pragmatis yang mengkaji aspek psikologi pembaca yang terbentuk setelah melakukan dialog dengan karya sastra yang dinikmatinya serta proses rekreatif yang ditempuh dalam menghayati teks sastra tersebut”.

Dalam pembahasan ini penulis mengunakan pendekatan tekstual yaitu mengkaji aspek psikologis sang tokoh dalam karya sastra. Sebagai salah satu pendekatan dalam studi psikologi sastra pendekatan tekstual pada mulanya hanya bertumpu pada pendekatan psikologi dalam atau psikologi analisis yang dikembangkan Freud. Sekarang pendekatan tekstual tidak hanya bertumpu pada pendekatan psikologi analisis, tetapi juga pendekatan-pendekatan psikologi yang lain seperti pendekatan psikologi kognitif, behavioral dan pendekatan eksistensial.

Pendekatan psikologis kognitif berangapan kepribadian manusia dibentuk oleh faktor agen internal atau pembawaan. Pendekatan psikologis behavioral berpijak pada angapan bahwa kepribadian manusia adalah hasil bentukan dari lingkungan tempat ia berada. Pendekatan psikologi eksistensial menegaskan

(20)

bahwa manusia membentuk dirinya sendiri dalam pola jalan hidup yang dipilihnya sendiri.

Jadi, dari uraian di atas dapat diketahui begitu luasnya materi psikologis sastra. Dalam pembahasan penelitian ini mengunakan pendekatan tekstual dengan teori behavioral. Pendekatan behavioral. Mengabaikan faktor pembawaan lahir seperti, kecerdasan, bakat, insting dan lain-lain. Dengan kata lain manusia dianggap sebagai produk lingkungan. Manusia menjadi jahat, beriman, penurut, berpandangan luas atau kolot adalah hasil dari bentukan lingkungannya.

Berdasarkan hal ini, perilaku manusia disebut sebagai respon yang akan muncul kalau ada stimulus tertentu yang berasal dari lingkunganya. Perilaku manusia selalu dipandang dalam bentuk hubungan stimulus dan respon atau stimulus respon. Mengenal pendekatan behavioral lebih lanjut Roekhan dalam Aminuddin (1990:96) mengatakan bahwa :

”...Untuk menerapkan pendekatan behavioral dalam studi sastra, haruslah dilakukuan dengan mengikuti tahapan berikut :

(2) Mencari dan menentukan tokoh cerita yang akan dikaji

(3) Menelusuri perkembangan karakter sang tokoh yang dikaji. Penelusuran ini dapat dilakukuan terhadap

(a) lakukan sang tokoh (b) dialog sang tokoh (c) pemikiran sang tokoh.

(4) Mengidentifikasi perilaku sang tokoh dan mendeskripsikan serta mengklasifikasikanya. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui macam-macam perilaku yang telah ditujukan oleh sang tokoh sebagai landasan untuk mengidentifikasi lingkungan yang telah membentuk perilakunya.

(5) Menghubungkan perilaku yang muncul dengan lingkungan yang melatarinya.

(21)

1.6.4 Hubungan sastra dengan psikologis

Karya sastra merupakan produk dari suatu keadaan kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada dalam situasi setengah atau sub cooncius. Setelah mendapat bentuk yang jelas dituangkan ke dalam, bentuk tertentu secara sadar dalam bentuk penciptaan karya sastra terjadi dalam dua tahap, tahap pertama dalam bentuk meramu gagasan dalam situasi imajinatif dan abstrak kemudian dipindahkan ke dalam tahap kedua yaitu penulisan karya yang sifatnya mengongkritkan apa yang sebelumnya dalam bentuk abstrak.

Freud dengan teori psikoanalisisnya mengambarkan bahwa pengarang dalam menciptakan suatu karya sastra diserang oleh penyakit jiwa yang dinamakan neurosis. Bukan hanya itu saja, bahkan kadang-kadang sampai pada tahap psikosis seperti sakit saraf dan mental yang membutanya berada dalam kondisi sebagai tertekan (bukan berarti gila), berkeluh kesah akibat ide dan gagasan yang mengelora serta menghendaki agar disublimasikan atau disalurkan dalam bentuk penciptaan yaitu karya sastra. Oleh karena itu, karya sastra tidak dapat dilepaskan dari masalah penciptaan yang diikuti oleh berbagai macam masalah kejiwaan maka untuk mengunakan pendekatan psikologis ini harus melalui dukungan psikologi. Pengetahuan psikologi yang minim tentu saja akan mempersulit pemahaman ataupun pemakaian pendekatan psikologis.

Sastra sebagai gejala kejiwaan yang di dalamnya terkandung fenomena kejiwaan yang tampak lewat perilaku tokoh-tokohnya. Dengan demikian, karya sastra (teks sastra) dapat didekati dengan demikian mengunakan pendekatan

(22)

psikologis. Hal ini tentu dapat kita terima karena antara sastra dengan psikologi memiliki hubungan lintas yang bersifat tak langsung dan fungsional.

Secara tidak langsung artinya hubungan itu ada karena baik sastra maupun psikologi kebetulan memiliki tempat berangkat yang sama yaitu kejiwaan manusia secara mendalam. Hasil penangkapan itu setelah mengalami proses pengolahan diungkapkan dalam bentuk sebuah karya sastra. Perbedaannya adalah pengarang mengemukakannya dalam bentuk formulasi penelitian psikologi. Dengan demikian tidaklah mengada-ada kalau antara sastra dan psikologi dapat dilakukan kajian lintas disiplin ilmu.

Psikologi dan karya sastra memiliki hubungan fungsional, yakni sama-sama berguna untuk sarana mempelajari keadaan kejiwaan orang lain. Perbedaan gejala kejiwaan yang ada dalam karya sastra adalah gejala-gejala kejiwaan dari manusia imajiner sedangkan dalam psikologis manusia dalam dunia nyata. Sekalipun demikian keduanya dapat saling mengisi untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam terhadap kejiwaan manusia karena mungkin saja apa yang terungkap oleh pengarang tidak mampu diamati oleh psikologi atau bahkan sebaliknya.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa karya sastra sebenarnya tidak dapat dilepaskan oleh penganut paham-paham strukturalisme tradisional. Mereka menganggap bahwa karya sastra itu bersifat otonom lepas sama sekali dari penulisnya, padahal antara keduanya terdapat hubungan kausalitas atau sebab akibat yaitu karya sastra merupakan hasil kreatifitas pengarangnya tidak mungkin

(23)

lahir tanpa ada penulis sebagai penuturnya. Itulah sebabnya psikologis sastra, khususnya dalam kajian psikologis pengarang.

Dalam penelitian ini tidak menyinggung sedikit pun tentang apa dan siapa pengarang cerita hikayat Sri Putih Cermin karena setiap hasil karya sastra lama memang bersifat anonim maksudnya pengarang tidak mencantumkan namanya. Lagi pula analisis ini bukanlah mengenai analisis pengarang melainkan analisis psikologi terhadap tokoh. Jadi, yang dianalisis tentu saja para tokoh yang di dalam karya sastra tersebut.

Karya sastra yang bermutu menurut pandangan pendekatan psikologis adalah karya sastra yang mampu menggambarkan kekalutan dan kekacauan batin manusia karena hakekat kehidupan manusia itu adalah perjuangan menghadapi kekalutan batinnya sendiri. Perilaku yang tampak dalam kehidupan diri mereka masing-masing. Apa yang sesungguhnya terjadi dalam dirinya karena manusia sering berusaha menutupinya. Kejujuran, kecintaan, kemunafikan dan lain-lain berada dalam batin masing-masing yang terkadang terlihat gejalanya dari luar dan kadang-kadang tidak. Oleh sebab itu, kajian tentang dan tokoh harus ditekannya pada aspek kejiwaan dan tentu saja tidak lepas dari teori psikologi.

Referensi

Dokumen terkait

02 Jumlah Model Pengembangan Inovasi Teknologi Pertanian Bioindustri 79 model 03 Jumlah Teknologi yang Didiseminasikan ke Pengguna 164 teknologi 04 Jumlah Rekomendasi

Franco Modigliani, Michael G Ferry, 2003, Foundations of Financial Market and Institution, New Jersey, Printice Hall Inc, hlm 76.. 1998 tentang Perbankan, yang dimaksud dengan

Penelitian ini memiliki keter- batasan dalam mengaplikasikan seluruh hasil rekomendasi, dan oleh karena itu saran untuk penelitian selanjutnya adalah menguji hasil

Begitu pula dengan bertambahnya jumlah komponen frekuensi yang dihitung (nilai prop kecil dan data besar) serta sedikit slave/komputer yang terlibat mengakibatkan waktu

Pengertian atau definisi Doping Menurut IOC (International Olympic Committee) pada tahun 1990, doping adalah upaya meningkatkan prestasi dengan menggunakan zat atau

asosiasi berdasarkan kepemilikan dari unit tersebut (MUKISI, PERDHAKI, PELKESI). Sebagian besar BP dan klinik merupakan milik perorangan,dan tidak ber- himpun dalam

Konsentrasi etanol yang dihasilkan pada sakarifikasi dan fermentasi simultan menggunakan mikroba Zymomonas mobilis, biakan campuran Zymomonas mobilis dan Pichia

Seperti yang telah kita ketahui bersama, terpaan informasi yang bertubi-tubi menyebabkan anak- anak tersebut lebih mudah matang (memasuki usia pubertasnya)