• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS MINGGUAN. MESKIPUN media massa memberitakan begitu banyak penanganan. SAAT Hutomo Mandala Putra (Tommy. Pemberantasan Korupsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS MINGGUAN. MESKIPUN media massa memberitakan begitu banyak penanganan. SAAT Hutomo Mandala Putra (Tommy. Pemberantasan Korupsi"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS MINGGUAN

PERHIMPUNAN PENDIDIKAN DEMOKRASI

Vol.1 No.1 - 2007

M

ESKIPUN media massa memberitakan begitu banyak

pe-nanganan kasus korupsi, tetapi sesungguhnya

pemberan-tasan korupsi yang dilakukan sekarang adalah “bekerja sekadar

untuk dikatakan telah bekerja.” Betapa tidak, kasus korupsi yang

ditangani cenderung berkutat pada permasalahan tender.

Se-mentara kasus-kasus korupsi dalam bentuk, tempus, maupun

locus yang lainnya cenderung belum tertangani. Hal ini

menun-jukkan bahwa hukum pemberantasan korupsi belum bekerja

sebagaimana mestinya.

Dilihat dari instrumen hukumnya, ada sejumlah peraturan

perundangan-undangan untuk memberantas korupsi, di

antara-nya: UU No.31/999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Ko-rupsi

1

— yang kemudian diubah dengan UU No.20/2001,

2

UU No

30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, kemudian

di-bentuk pula Keppres No.80/2003 tentang Pengadaan Barang/Jasa

Pemerintah untuk mencegah penyelewengan keuangan negara. Di

antara sejumlah peraturan tersebut, dapat dikatakan bahwa UU

No.31/1999 jo UU No.20/2001 menjadi instrumen utama dalam

pemberantasan korupsi. Dalam aturan-aturan tersebut disebutkan

berbagai macam perbuatan yang digolongkan sebagai korupsi

(lihat tabel di halaman 2).

Dari kesemua macam tindak pidana tersebut, sebenarnya yang

utama adalah rumusan Pasal 2 UU No.31/1999 yang menyatakan

bahwa, “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan

perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu

kor-porasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian

negara, dipidana …” Dibandingkan dengan rumusan delik pada

undang-undang sebelumnya (KUHP dan UU No.3/1971 tentang

S

AAT Hutomo Mandala Putra (Tommy

Soeharto) menjalani pidana di LP

Nusakambangan sebagai ganjaran

keterli-batannya dalam pembunuhan Hakim

Agung Syafiuddin Kartasasmita, ia

me-minta bantuan kepada orang-orang

terde-katnya untuk mengurus pencairan dana

Motorbike Corporation, perusahaan

mi-liknya yang berkedudukan hukum di

Bahama. Dana perusahaan itu ditampung

dalam rekening di Banque Nationale de

Paris and Paribas (BNP Paribas) cabang

London, Inggris. Namun, upaya pencairan

dana itu rupanya mendapat rintangan

ka-rena pihak Bank menolak dengan alasan

berdasarkan informasi dari Financial

Intelligence Services yang menyatakan

bahwa dana Tommy Soeharto itu dicurigai

terkait dengan hasil korupsi penguasa

Orde Baru yaitu Soeharto. Untuk

meng-atasi masalah pencairan dana itu, pihak

Tommy Soeharto kemudian menyewa jasa

para pengacara dari firma hukum Ihza &

Ihza yang didirikan oleh kakak beradik

Yusril Ihza Mahendra (saat ini menjabat

Menteri Sekretaris Negara) dan Yusron

Ihza Mahendra.

Pemberantasan Korupsi

Tebang dari

Lingkar Terdalam!

Kurang Kehendak Politik!

1 UU ini mencabut UU No.3/1971 tentang Tindak Pidana Korupsi

2 UU No.20/2001 di antaranya: mengubah penjelasan Pasal 2 ayat (2); bunyi Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12.

Analisis Mingguan ini diterbitkan

oleh Perhimpunan Pendidikan

Demokrasi (P2D)

Redaksi

Abdul Qodir Agil, Daniel

Hutaga-lung, Elisabet R. Kuswijayanti,

Fajrimei A. Gofar, Isfahani, Robby

Kurniawan, Robertus Robet

Jl. Sawo No. 11 Menteng

Jakarta Pusat 10310

Tel/Fax: (021) 31925734

www.p2d.org

E-mail: analisis@p2d.org

(2)

Tindak Pidana Korupsi),

rumu-san dalam UU No.31/1999 jauh

berbeda ketika menjadikan

ko-rupsi sebagai delik formiil,

da-lam artian, tanpa harus

dibuk-tikan ada tidaknya kerugian

negara, maka suatu perbuatan

yang dimaksud telah dapat

dikatakan korupsi dengan

ter-penuhinya salah satu unsur

dalam rumusan tersebut.

Jika diperhatikan,

pasal-pasal di atas memang luas dan

detail secara deskriptif. Namun segi substantif

dari korupsi sebagai bentuk penyalahgunaan

ja-batan demi kepentingan pribadi terasa kabur dan

kurang kuat.

Dilihat dari struktur hukumnya,

pemberantas-an korupsi mengpemberantas-andalkpemberantas-an mekpemberantas-anisme hukum

pi-dana dari penyelidikan hingga putusan hakim.

Mengingat bahwa sistem pidana hukum pidana

di-indikasi sangat korup dan tidak imun terhadap

suap, maka dibentuklah KPK sebagai penyelidik

dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Namun

demikian, belakangan ini muncul

gerakan-gerakan yang mencoba

mendelegitimasi kerja-kerja KPK.

Lembaga yang masih lemah tapi

merupakan satu-satunya harapan

yang ada ini terancam dirusakkan

oleh konspirasi diam-diam para

politisi.

Dilihat dari kerjanya, struktur

hukum pemberantasan korupsi

terlihat hanya mengandalkan

Kep-pres No 80/2003 sebagai senjata

utama untuk melakukan

kerja-kerja mereka. Akibatnya, kasus-kasus yang

dita-ngani terbatas pada tender-tender. Lihat saja kasus

Widjanarko, kasus Saukani Husin, kasus alat sidik

jari yang diduga melibatkan Yusril, dan

kasus-kasus lainnya yang diliput media massa. Sementara

itu kasus-kasus korupsi dalam bentuk yang lainnya

belum tersentuh secara maksimal. Misalnya kasus

percaloan di DPR-RI, kasus pencairan uang

Tommy, dan lain sebagainya. Penanganan praktik

suap masih mengandalkan laporan atau

pengadu-an ypengadu-ang masuk, padahal sebenarnya

praktik-prak-No

1

2

3

4

5

6

7

Jenis Tindak Pidana Korupsi

Kerugian Keuangan Negara

Suap-Menyuap

Penggelapan Dalam Jabatan

Pemerasan

Perbuatan Curang

Benturan Kepentingan dalam

Pengadaan

Gratifikasi

UU No.39/1999 jo UU No.20/2001

Pasal 2; Pasal 3

Pasal 5 (1) (a); Pasal 5 (1) (b); Pasal 13; Pasal 5 (2); Pasal 12

Huruf (a); Pasal 12 Huruf (b); Pasal 11; Pasal 6 (1) Huruf (a); Pasal

6 (1) Huruf (b); Pasal 6 (2); Pasal 12 Huruf (c); Pasal 12 Huruf (d)

Pasal 8; Pasal 9; Pasal 10 Huruf (a); Pasal 10 Huruf (b); Pasal 10

Huruf (c)

Pasal 12 Huruf (e); Pasal 12 Huruf (g); Pasal 12 Huruf (h)

Pasal 7 (1) Huruf (a); Pasal 7 (1) Huruf (b); Pasal 7 (1) Huruf (c);

Pasal 7 (1) Huruf (d); Pasal 7 (2); Pasal 12 Huruf (h)

Pasal 12 Huruf (i)

Pasal 12 (b) jo Pasal 12 (c)

Sumber: Memahami Untuk Membasmi: Buku Panduan Untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi, Agustus 2006.

Rezim penanganan korupsi

yang terjadi sekarang ini

telah disalahartikan

sebagai ancaman bagi

ka-rier politik. Sehingga

upaya-upaya untuk

meng-hantam dengan bargaining

politik terus dilakukan.

(3)

tik suaplah yang menghancurkan

negeri ini. Karena suap tersebut

tidak saja terjadi di pengadilan,

bahkan melalui suap, muncul

kebijakan-kebijakan yang sangat

merugikan keuangan negara.

Mengandalkan Keppres

No.80/2003 sebagai senjata

uta-ma mengakibatkan kerja-kerja

struktur tersebut berkutat pada

penanganan korupsi pasca

ber-lakunya Keppres, sementara

kasus-kasus yang terjadi di

masa-masa sebelumnya juga tak

terta-ngani dengan baik. Sebagai

con-toh misalnya BLBI, kasus

keluar-ga Cendana, dan kasus-kasus

lainnya. Tampaknya, kesulitan

pembuktian menjadi alasan mengapa kasus lain

tak tertangani. Tetapi, alasan kesulitan

membuk-tikan bukan menjadi pembenar bagi

pengabaian-pengabaian kasus-kasus korupsi lainnya. Jika

pem-buktian yang sulit menjadi alasan utama, maka

seharusnya yang perlu dipikirkan adalah

bagai-mana menciptakan sistem agar pembuktian

per-buatan-perbuatan semacam itu menjadi mudah.

Bukan sebaliknya menciptakan rumusan hukum

yang multi-interpretasi yang pada akhirnya dapat

disalahgunakan.

Di tengah karut-marut itu, keberadaan

struk-tur hukum ini juga dihantam permainan politik

ketika kewenangan KPK dipertanyakan dalam

Mahkamah Konstitusi. Begitu pula keberadaan

Pengadilan Tipikor belum mendapat dukungan

yang layak, baik itu secara institusional maupun

pembiayaan. Malah sebaliknya, keberadaan

peng-adilan tersebut dicoba untuk ditiadakan ketika

muncul wacana untuk menghapusnya melalui

Draft RUU revisi UU Anti Korupsi. Wacana

peng-hapusan —yang dihembuskan ketua tim perumus

RUU dan didukung oleh Komisi III DPR-RI,

akademisi dan hakim agung

tersebut—menun-jukkan bahwa ada upaya-upaya untuk

menghan-curkan struktur hukum pemberantasan korupsi

yang memang masih sangat rapuh.

Rezim penanganan korupsi yang terjadi

se-karang ini telah disalahartikan

sebagai ancaman bagi karier

po-litik. Sehingga upaya-upaya

un-tuk menghantam dengan

bar-gaining politik terus dilakukan.

Kesadaran hukum bahwa

ko-rupsi sebagai suatu kejahatan

masih “jauh panggang dari api.”

Sebagaimana diberitakan,

per-sepsi masyarakat terhadap

ko-rupsi masih sangat lemah dan

akibatnya mempengaruhi

pem-berantasan korupsi.

Tidak bekerjanya sistem

hu-kum sebagaimana diuraikan di

atas, ditambah pula dengan

ku-rangnya determinasi politik

da-lam pemberantasan korupsi

belum bisa menyentuh kasus dan orang-orang yang

mempunyai bargaining politik yang kuat.

Bargain-ing politik yang dimiliki koruptor telah menjadikan

mereka sebagai orang yang untouchable. Itulah

mengapa kasus yang ditengarai melibatkan Yusril

Ihza Mahendra dalam pengadaan alat sidik jari

te-lah “diselesaikan secara adat”. Begitu pula kasus

ditengarai melibatkan Hamid Awaluddin, sampai

sekarang kasus tersebut belum ada tanda-tandanya

untuk diusut, baik dalam kasus KPU maupun kasus

pencairan uang Tommy Soeharto.

Dalam sejarah, pemberantasan korupsi selalu

mensyaratkan tindakan dan kemauan yang bersifat

patriotik dari pemimpin politik. Banyak pemimpin

yang jatuh akibat korupsi, tapi tidak sedikit juga

pemimpin yang terus dikenang dan dikagumi

kare-na keberaniannya memberantas korupsi. Saat ini

Indonesia masih menunggu munculnya pemimpin

sejati

„

Pengadilan Tipikor

belum mendapat dukungan

yang layak, baik itu secara

institusional maupun

pem-biayaan. Malah sebaliknya,

keberadaan pengadilan

tersebut dicoba untuk

ditiadakan ketika muncul

wacana untuk

menghapus-nya melalui Draft RUU

revisi UU Anti Korupsi.

(4)

Pemilihan dan penunjukan firma

hukum Ihza & Ihza sebagai kuasa

hu-kum pihak Tommy Soeharto tentu

saja bukan tanpa pertimbangan. Salah

satu yang mungkin dijadikan alasan

kuat bagi pihak Tommy untuk

meng-gunakan jasa firma tersebut adalah

kewenangan besar yang dimiliki

pen-dirinya, Yusril Ihza Mahendra, yang

saat itu menjabat sebagai Menteri

Ke-hakiman dan Hak Asasi Manusia

(Menkeh HAM). Dari alasan tersebut,

dapat diduga adanya niat dari pihak

Tommy untuk memanfaatkan

kewe-nangan pejabat negara untuk

melan-carkan urusan-urusan bisnisnya.

Dalam proses awal pengurusan

di London, mereka menemui jalan

buntu karena BNP Paribas

membe-rikan prasyarat yang cukup berat,

yaitu bahwa pencairan baru bisa

di-lakukan apabila telah mendapatkan

verifikasi dari Pemerintah Indonesia

yang menyatakan bahwa pemilik

da-na tidak terlibat dalam tindak pidada-na

pencucian uang (money laundering).

Untuk mendapatkan verifikasi

peme-rintah sebagaimana dipersyaratkan

oleh BNP Paribas, Ihza & Ihza

meng-upayakannya lewat Departemen

Ke-hakiman dan Hak Asasi Manusia.

Belum selesai persoalan dugaan

korupsi pengadaan alat sidik jari di

Departemen Hukum dan HAM

se-masa Yusril menjabat menteri, datang

lagi persoalan baru ini. Dalam soal

Tommy Soeharto ini, seharusnya

Yusril —yang saat itu menjabat

seba-gai Menkeh HAM—memahami

con-flict of interests dan problem etis yang

dihadapinya ketika harus menangani

permintaan verifikasi dari pihak

Tommy melalui kuasa hukumnya Ihza

& Ihza. Yusril mestinya juga paham

bahwa Tommy Soeharto adalah

war-ga newar-gara bermasalah yang tersangkut

dengan bermacam-macam urusan

hu-kum. PT. Timor Putra Nasional,

per-usahaan yang dipimpin Tommy, saat

itu bahkan sedang menjadi sorotan

publik yang terkait dengan dugaan

Pasal-Pasal Tentang Tindakan Korupsi

UU Nomor 31 Tahun 1999 Pasal 2

(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonornian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Pasal 3

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan kouangan negara atau perekono-mian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 dua puluh) tahun dan atau denda paling sedi-kit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 4

Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak mengha-puskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.

Pasal 13

Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap, melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

UU Nomor 20 tahun 2001 Pasal 5

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) se-tiap orang yang:

a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyeleng-gara nepenyeleng-gara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelengpenyeleng-gara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau

b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 6

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:

a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau

b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentu-an peraturketentu-an perundketentu-ang-undketentu-angketentu-an ditentukketentu-an menjadi advokat untuk meng-hadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

(2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 7

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7

(5)

korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)

serta kejahatan pajak. Namun, Yusril

justru mengerahkan segala

kewenang-an dkewenang-an sumber daya ykewenang-ang dimilikinya

untuk melancarkan urusan Tommy.

Dalam rangka verifikasi, bawahan

Yusril, Dirjen Administrasi Hukum

Zulkarnain Yunus mengirim surat

kepada kepala Pusat Pelaporan dan

Analisa Transaksi Keuangan (PPATK)

yang berisi permintaan informasi

ten-tang keterlibatan pemilik Motorbike

Corp dengan kejahatan pencucian

uang. Setelah mendapat surat balasan

dari kepala PPATK, Dirjen

Admi-nistrasi Hukum Umum kemudian

membuat legal opinion (opini hukum)

dan mengirimkannya ke Ihza & Ihza

dan BNP Paribas. Ada permasalahan

terkait legal opinion tersebut,

teruta-ma yang menganggap bahwa surat

ba-lasan kepala PPATK sebagai bukti

ve-rifikasi. Padahal, kepala PPATK,

Yu-nus Husein menyatakan bahwa surat

balasannya hanya berisi keterangan

berdasarkan pengecekan data

admi-nistrasi. Surat balasan PPATK jelas

bukan merupakan suatu surat

pernya-taan bebas money laundering yang

dapat digunakan selayaknya surat

ve-rifikasi resmi. Hingga akhir masa

ja-batan Yusril sebagai Menteri

Keha-kiman dan Hak Asasi Manusia, BNP

Paribas masih belum juga mencairkan

dana Motorbike Corp.

Pihak Tommy terus

mengupaya-kan pencairan dana dan

menyandar-kan harapan pada pengganti Yusril,

yaitu Menteri Hukum dan Hak Asasi

Manusia (Menkum HAM) yang baru,

Hamid Awaludin. Ketika BNP Paribas

London mengirim surat pada

Depar-temen Hukum dan Hak Asasi

Ma-nusia yang menindaklanjuti surat

me-nyurat sebelumnya, Dirjen

Adminis-trasi Hukum Umum meminta

konfir-masi ulang dari PPATK. Setelah

men-dapat balasan dari PPATK yang

me-nyatakan bahwa pengurus dan

pe-megang saham Motorbike Corp bebas

dari transaksi mencurigakan, Kantor

Kementerian Departemen Hukum dan

Hak Asasi Manusia mengirim surat

(tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah): a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau

pen-jual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang;

b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a;

c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia

melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau

d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c. (2) Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang

meneri-ma penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 8

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau mem-biarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.

Pasal 9

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.

Pasal 10

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja:

a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuk-tikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau b. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau

mem-buat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut; atau

c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.

Pasal 11

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewe-nangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.

Pasal 12

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):

a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan-nya, yang bertentangan dengan kewajibannya;

(6)

dike-kepada BNP Paribas London yang di

dalam isi surat tersebut juga memuat

mengenai keterangan PPATK yang

menyatakan bahwa para pengurus

dan pemegang saham Motorbike

Corp tidak terlibat dalam kejahatan

money laundering. Surat balasan

De-partemen Hukum dan Hak Asasi

Ma-nusia kepada BNP Paribas

berma-salah karena informasi PPATK hanya

pemberitahuan bahwa rekening dari

perusahaan Tommy tidak pernah

dila-porkan sebab Motorbike adalah

perusahaan asing yang berkedudukan

hukum di Bahama. Selain semestinya

tidak diteruskan kepada pihak BNP

Paribas karena status kerahasian dari

surat PPATK tersebut, Departemen

Hukum dan Hak Asasi Manusia

ter-nyata juga telah mendistorsi informasi

dari PPATK. Tindakan ini patut

diduga melanggar Pasal 3 UU

No.31/1999 juncto UU No.20/2001

tentang Pemberantasan Tindak

Pida-na Korupsi yang mengatur larangan

melakukan tindakan sengaja

mengun-tungkan diri sendiri atau orang lain

atau suatu korporasi,

menyalahgu-nakan kewenangan, kesempatan atau

sarana yang ada padanya karena

jabatan atau kedudukan yang dapat

merugikan keuangan negara atau

per-ekonomian negara.

Kelancangan Departemen

Hu-kum dan Hak Asasi Manusia pada

akhirnya mempermudah proses

pen-cairan dana Motorbike. Proses

peng-alihan dana juga berjalan lancar atas

dukungan penuh Menteri Hamid.

Permintaan BNP Paribas untuk

me-ngirim dana Motorbike ke rekening

milik pemerintah disanggupinya.

Menteri Hamid mengirim surat

pem-beritahuan ke Gubernur Bank

Indo-nesia terkait hal itu. Selanjutnya ia

meminta BNP Paribas untuk

mengi-rimkan dana Motorbike ke rekening

baru Dirjen Administrasi Hukum

Umum yang dibuat di Bank BNI

ca-bang Tebet, untuk keperluan khusus

menampung dana Motorbike.

Satu lagi permasalahan muncul

dari upaya Hamid untuk melancarkan

urusan Tommy Soeharto. Pembukaan

rekening baru yang dipakai secara

khusus untuk menampung dana

Motorbike telah melanggar ketentuan

perundang-undangan. UU

Perbenda-haraan Negara memang

memung-kinkan menteri/pimpinan lembaga

untuk membuka rekening untuk

ke-perluan pelaksanaan penerimaan dan

pengeluaran di lingkungan

kemen-terian negara/lembaga tersebut, atas

persetujuan Bendahara Umum

Nega-ra (Pasal 29 Ayat (1) dan Pasal 31

Ayat (1) UU No.1 Tahun 2004

Ten-tang Perbendaharaan Negara).

Na-mun demikian, pasal-pasal tersebut

tidak dapat digunakan sebagai dasar

hukum yang membenarkan

pembu-kaan rekening baru sebagaimana

di-lakukan di lingkungan Departemen

Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Penitipan sementara dana pribadi/

swasta hanya dapat dilakukan lewat

rekening penampungan Bank

Indone-sia. Ini merupakan suatu bentuk

pe-langgaran hukum. Lebih jauh, harus

dilakukan penyelidikan untuk

mela-cak motif sesungguhnya dari segala

tindak kelancangan dan

penyalahgu-naan wewenang yang terjadi di

ling-kungan Departemen Hukum dan Hak

Asasi Manusia.

Dana Motorbike di BNP Paribas

London kurang lebih senilai

sembilan-puluh miliar rupiah akhirnya berhasil

dikuasai oleh pengurus-pengurusnya.

Para pengacara firma hukum Ihza &

Ihza juga telah mendapatkan

honora-rium dan success fee yang nilainya

sa-ngat besar. Lalu, apa yang akan

terja-di pada Menteri Yusril dan Menteri

Hamid? Apakah kita dapat

memper-cayai begitu saja ketika kedua menteri

menjelaskan ke publik mengenai

mo-tif mereka yang non-vested interest?

Ataukah pembelaan keduanya itu

se-mata pembelaan bagi penyelewengan

kewenangan demi melancarkan

urus-an Tommy Soeharto?

Tidak sedikit yang langsung

mengendus “bau” kasus ini. Sungguh

beralasan apabila kemudian banyak

pihak yang menduga kuat adanya

pe-nyelewengan kewenangan. Namun

de-mikian, pernyataan Wapres Jusuf Kalla

mengenai kasus ini justru bertentangan

dengan logika publik. Dugaan kuat

adanya penyelewengan kewenangan

dan korupsi tidak ditanggapi secara

se-rius oleh Wapres. Ia justru mendukung

tindakan kedua menteri yang

diang-gapnya telah berjasa mengembalikan

dana yang tersangkut di luar negeri.

Pendapat Wapres yang mengaitkan

kembalinya dana pada Tommy

Soehar-to dengan perbaikan investasi adalah

pendapat yang sama sekali tidak

ber-dasar. Lagipula, dari mana ia bisa

ya-kin bahwa Tommy akan menggunakan

dana tersebut untuk melakukan

inves-tasi di dalam negeri?

Bagaimana Seharusnya Sikap dan

Tindakan Pemerintah?

Masa pemerintahan SBY,

pemberan-tasan tindak pidana korupsi

menda-Pendapat Wapres yang mengaitkan kembalinya dana

pada Tommy Soeharto dengan perbaikan investasi

(7)

patkan tantangan serius, ketika upaya

pemberantasan korupsi sudah mulai

menjangkau lingkungan terdekat

pre-siden. Hingga kini publik terus

me-mantau perkembangan penyelidikan

kasus pencairan dana Hutomo

Mandala Putra atau yang lebih

dike-nal sebagai Tommy Soeharto dan

pe-manfaatan rekening negara untuk

ke-perluan itu, yang melibatkan dua

pembantu presiden, yaitu Menteri

Sekertaris Negara Yusril Ihza

Mahen-dra dan Menteri Hukum dan Hak

Asasi Manusia Hamid Awaludin.

Selain mengenai kedudukan dan

ke-dekatan dua orang menteri tersebut

dengan lingkar terdalam kekuasaan,

kekhawatiran lain yang muncul dari

kasus ini adalah masih kuatnya

pe-ngaruh rezim Orde Baru dalam

meng-intervensi birokrasi dan kebijakan.

Dari dimensi etis, keterlibatan

kantor penasehat hukum Ihza & Ihza

melakukan pelanggaran etis, di mana

relasi kekerabatan keluarga antara

Yusril dan kantor Ihza & Ihza, dalam

konteks Yusril sebagai pejabat publik

yang mengeluarkan kebijakan untuk

kepentingan kantor Ihza & Ihza dapat

didasari oleh ikatan kekerabatan, dan

bukan atas dasar kepentingan publik,

karena sulit untuk mengukur satu

de-ngan lainnya. Dalam hal ini, dimensi

etis merupakan dimensi yang sulit

di-ukur dengan di-ukuran-di-ukuran

norma-tif, sehingga pengukuran yang paling

mudah dilakukan adalah Yusril

me-nolak untuk mengurus proses yang

melibatkan kantor Ihza & Ihza.

Dimensi etika memang kelihatannya

melihat suatu hal secara hitam-putih,

tapi memang di situ pentingnya

prin-sip etis, karena ukurannya adalah

pada boleh atau tidak boleh, dan baik

atau tidak baik, atas dasar argumen

etis. Argumen etis suatu

tata-pemerin-tahan yang baik adalah

profesional-isme, di mana unsur kepentingan

(interests), baik kepentingan pribadi

maupun kekeluargaan, harus

ditang-galkan, dan semua yang mengandung

potensi ke arah itu harus ditolak

sedari awal

„

tahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau dise-babkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;

c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang dis-erahkan kepadanya untuk diadili;

d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mem-pengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;

e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan ke-kuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri; f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas,

meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang; g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas,

meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah pakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan meru-pakan utang;

h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan per-aturan perundang-undangan; atau

i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.

Pasal 12 A

(1) Ketentuan mengenai pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12 tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).

(2) Bagi pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Pasal 12 B

(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:

a. yang nilainya Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;

b. yang nilainya kurang dari Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.

(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 12 C

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.

(3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.

(4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini mengolah 1860 data yang berasal dari 155 perusahaan yang memnuhi kriteria. Hasil penelitian menunjukkan bahwa revaluasi aset tetap tidak memiliki pengaruh

Balai Perbibitan Ternak Unggul (BPTU) sapi Bali Pulukan selama ini mendapatkan pasokan sapi Bali calon bibit dari wilayah Instalasi Populasi Dasar (IPD), oleh

Sistem pakar adalah cabang dari kecerdasan buatan (Artificial Intelligence), yaitu dengan menyimpan kepakaran dari pakar manusia ke dalam komputer dan meyimpan basis pengetahuan

Muhidin Ruko Graha Cakra Kencana Blok G Gudang Hitam (Dekat Bank BRI Sungai Liat) 0717-93765.. 117 Pangkalpinang-JNE

Melihat algoritma umum yang diberikan dari sumber tersebut dan membandingkannya dengan penjelasan sebelumnya, dapat dikatakan algoritma tersebut menggunakan

Bedanya dengan gerhana bulan penumbral adalah bahwa saat bodi bulan masuk dalam bayangan semu bumi (penumbra) piringan bulan terlihat dari muka bumi utuh dan bulat, hanya saja

Hasil analisis dengan korelasi didapatkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan ibu hamil primigravida dengan tingkat kecemasan dalam menghadapi

I am happy to see this great work as part of collaborations among Universitas Ahmad Dahlan and Universitas Gadjah Mada, Universitas Diponegoro, Universitas