• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDAHULUAN Latar Belakang"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

Ekonomi dunia semakin lama semakin terintegrasi seperti adanya libelarisasi di dalam pasar keuangan, yang berupa hilangnya penghalang bagi perpindahan modal dan investasi. Leverage keuangan semacam ini sangat berkembang, sehingga membuat perekonomian suatu negara ataupun kawasan sangatlah rentan terhadap krisis (Yoshendy, 2012). Pertengahan tahun 2008 merupakan awal terjadinya perubahan ekonomi di seluruh dunia. Krisis ini terjadi pada saat terjadinya subprime mortgage di Amerika Serikat yang merupakan awal terjadinya krisis keuangan dunia atau Global

Crisis Financial (GFC). Beberapa negara di dunia termasuk Indonesia terkena dampak

dari situasi ini, keuangan yang terintegrasi memicu percepatan terjadinya dampak terhadap krisis ini.

Pemerintah Amerika Serikat turun tangan untuk mengantisipasi kerusakan di pasar keuangan yang jika dibiarkan akan kian parah dan bergulir pada sektor riil. Berbagai perusahaan ataupun bank dianggap terlalu besar untuk gagal. Dampak rentetannya adalah meningkatnya pengangguran dan kemiskinan, berbagai masalah sosial, mengganggu pembangunan nasional yang pada ujungnya mengancam kedaulatan negara. Implikasi yang menonjol adalah terjadinya ketetatan likuiditas yang disebabkan oleh kepercayaan yang anjlok dan sistem kredit yang macet. Dana ditarik dari Emerging

market ke pusat-pusat keuangan di Amerika Serikat dan negara-negara lain yang

menyebabkan Foreign Domestic Investment (FDI) turun. Ketetatan likuiditas merambat hingga menyebabkan negara-negara maju mengalami resesi yang berimplikasi pada pertumbuhan dan ekspor negara-negara berkembang karena depresiasi Rupiah yang tidak dapat mendorong ekspor (Siregar, 2009).

Krisis bukanlah hal yang baru yang terjadi pada sebuah negara. Ekonomi pada zona Euro yakni terdapat 27 negara yang tergabung dalam Uni Eropa sudah mulai menunjukkan gelagah akan mengalami sebuah krisis. Krisis tersebut semakin parah pada tahun 2011, yang bahkan jika digambarkan kondisinya semakin buruk dan dapat mengancam kelangsungan sistem mata uang tunggal Euro (Tambunan, 2011). Krisis global menghadapi tekanan yang berat dari krisis keuangan Eropa setelah krisis keuangan Amerika Serikat pada pertengahan tahun 2008. Krisis keuangan berawal dari defisit anggaran pemerintah yang semakin besar di negara kawasan Eropa terutama negara-negara lapisan pertama yaitu Yunani, Irlandia, dan Portugal. Sementara itu lebarnya defisit anggaran pemerintah dibarengi dengan rasio hutang per PDB yang menyebabkan kemampuan memperoleh pembiayaan defisit terbatas. Tidak berfungsinya kebijakan moneter dalam kawasan Euro, terbatasnya ruang gerak fiskal, tidak terlihatnya upaya pemulihan, mendorong perlambatan bahkan penurunan perekonomian pada beberapa negara kawasan Eropa.

Surendro (2010) mencatat bahwa pada tahun 2010 perkembangan beberapa variabel/indikator ekonomi makro zona Euro sudah mengindikasikan kearah krisis. Diantara indikator-indikator tersebut adalah indeks kepercayaan konsumen (IKK) yang

(2)

cenderung bergerak mendatar, bahkan sempat mengalami penurunan yang cukup tajam sekitar bulan Mei 2011.

Kedalaman krisis keuangan Eropa yang menjadi krisis global dikhawatirkan akan memberi dampak negatif yang besar terhadap perekonomian Indonesia. Hingga saat ini, perekonomian Indonesia masih terjaga meskipun mengalami sedikit gejolak pada sektor finasial. Kedalaman krisis pada jangka waktu pendek diperkirakan mendorong aliran modal keluar besar-besaran terkait dengan ketidakpercayaan pada sistem finansial dunia.

Krisis keuangan global yang berdampak terhadap kondisi perekonomian global semula diperkirakan tidak terlalu berpengaruh terhadap kondisi perekonomian indonesia. Namun, pada awal triwulan IV-2008 dampa krisis mulai dirasakan oleh dunia usaha dengan ditandai melemahnya permintaan akan produk-produk ekspor, menurunnya beberapa harga komoditas internasional, ditambah dengan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap USD.

Prasmuko dan Anugrah (2010) menyatakan bahwa dampak krisis keuangan global terhadap perekonomian Indonesia terjadi melalui perdagangan internasional yang ternyata telah mengurangi output nasional. Nilai tukar langsung dipengaruhi oleh krisis keuangan global, melalui studi sebelumnya nilai tukar mempengaruhi baik ekspor dan impor namun tidak mempengaruhi investasi. Hal ini mungkin karena nilai tukar lebih stabil, dan yang memiliki pengaruh ekspor dan impor untuk menggambarkan kekuatan tren positif GFC tersebut. Dalam menghadapi krisis keuangan ini, pemerintah-pemerintah di Eropa memberikan pasokan fiskal untuk merangsang ekonomi dan mengatasi bank-bank yang ambruk. Walaupun demikian, hingga saat ini krisis keuangan di Eropa masih belum bisa diatasi justru semakin memburuk. Penyebabnya terutama karena mengalami kesulitan koordinasi di antara anggotanya. Di satu sisi, Eropa telah mengadopsi satu mata uang bersama, tetapi dilain pihak setiap anggota memiliki kepentingan dan tidak mengelola keuangan dengan semangat kebersamaan (Tambunan et al, 2011).

Dampak krisis ekonomi Eropa terhadap ekonomi Indonesia mulai terasa. Untuk pertama kalinya sejak tahun 2010, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit sebesar 641 juta dollar AS. Nilai ekspor Indonesia pada April 2012 hanya 15,981 miliar dollar AS, tetapi impor mencapai 16,621 miliar dollar AS. Pada periode Januari-April 2012, nilai ekspor nonmigas Indonesia ke Uni Eropa hanya 6,06 miliar dollar AS atau menurun 9 persen dibandingkan dengan nilai ekspor periode Januari-April 2011. Uni Eropa selama ini dikenal sebagai tujuan ekspor komoditas pertanian Indonesia, khususnya minyak kelapa sawit, kopi, kakao, lada, karet, ikan, udang, dan sebagainya. Kelesuan ekonomi global tersebut menentukan komposisi permintaan-penawaran komoditas strategis yang kemudian berdampak terhadap anjloknya harga komoditas ekspor Indonesia. Akibat yang paling buruk bagi Indonesia adalah penerimaan ekspor dan ekonomi rumah tangga petani dan nelayan di dalam negeri juga menurun. Persepsi awam bahwa pengalaman krisis ekonomi global yang memberikan rezeki nomplok (windfall profit) bagi komoditas ekspor dan pertanian Indonesia ternyata salah. Karakter krisis ekonomi pada tahun 1998, yang dimulai dari krisis moneter negara-negara Asia, tentu amat berbeda dengan krisis ekonomi saat ini yang dipicu lesunya perekonomian Eropa.

(3)

Harga rata-rata komoditas pertanian di tingkat global turun 1,7 persen sepanjang Mei 2012, itu pun karena harga beras, bungkil kedelai, kopi, dan teh mulai naik. Harga karet terjun bebas 73 persen dalam satu tahun terakhir, dan mencapai rekor buruk 3,72 dollar AS per ton pada Mei 2012, walau tidak seburuk Januari 2009 yang menyentuh 1,2 dollar AS per ton. Harga minyak kelapa sawit (CPO) dan minyak kedelai turun 7-8 persen. Harga minyak kelapa (CCO), dan minyak biji sawit (PKO), bahkan turun sampai 14 persen. Harga kopi Arabika turun 3,6 persen karena produksi kopi Arabika Brasil meningkat. Sebaliknya, harga kopi Robusta naik 5 persen karena Vietnam sebagai produsen Robusta terbesar sedang menahan stok kopinya dan tidak melemparnya ke pasar global.

Dampak krisis ekonomi Eropa saat ini benar-benar memukul petani Indonesia karena struktur pasar komoditas ekspor di tingkat domestik yang masih amat tidak sehat. Petani, pekebun, dan nelayan sangat bergantung secara ekonomi-sosial-psikologis pada tengkulak yang terkadang beroperasi melampaui batas kewajaran. Komoditas ekspor pertanian Indonesia menghadapi asimetri pasar dan asimetri informasi yang sangat tidak berimbang.

Kenaikan harga komoditas di tingkat global amat lambat untuk tertransmisi ke tingkat petani, sementara penurunan harga di tingkat global nyaris seketika harus ditanggung petani. Pemerintah dan para elite politik sebenarnya telah paham mengenai fenomena di atas, tetapi seakan tidak berdaya untuk merumuskan kebijakan intervensi dan langkah-langkah pemihakan yang kredibel.

Krisis ekonomi sekarang berbeda dengan krisis ekonomi global 2008 yang dipicu oleh melambungnya harga minyak bumi dunia dan harga-harga komoditas pangan strategis. Fenomena perubahan iklim, bahan bakar nabati, dan spekulasi investasi pada bursa komoditas pertanian di tingkat global juga memperburuk dampak krisis pada ekonomi pangan di beberapa negara berkembang.

Pada waktu itu Indonesia mampu meredam dampak krisis pangan di dalam negeri karena produksi pangan cukup baik sehingga harga-harga pangan tidak bergerak terlalu liar. Akan tetapi, saat ini pemerintah tampak tidak siap untuk mengantisipasi dan melakukan langkah-langkah kebijakan untuk meredam atau mengurangi dampak buruk krisis Eropa terhadap komoditas ekspor dan ekonomi pertanian umumnya. Dampak krisis Eropa itu seakan datang terlalu cepat karena karakter krisis ekonomi pada era modern memang cepat menyebar seiring dengan tingkat keterhubungan sistem informasi dan teknologi multimedia yang semakin maju. Otoritas Uni Eropa sebenarnya telah berusaha keras menahan dan menanggulangi krisis tersebut. Penurunan daya beli tidak hanya dirasakan di Yunani, sebagai episentrum awal, tetapi mulai menular ke Portugal dan Spanyol. Kini, dampak krisis telah mulai terasa di Belanda, Belgia, Jerman, dan negara Eropa lain yang menjadi tujuan ekspor komoditas pertanian Indonesia.

Upaya pencarian pasar-pasar baru (nontradisional) dari komoditas ekspor strategis ke negara-negara Blok Eropa Timur, Asia Tengah, Afrika, dan Amerika Latin kini seakan terhenti. Pernah ada satu-dua misi dagang, ekspo, dan pameran produk ekspor Indonesia yang digagas sejak 2009. Namun, hanya sedikit sekali yang mampu direalisasikan menjadi kontrak dagang jangka panjang dan alternatif pasar ekspor komoditas pertanian strategis Indonesia.

Dunia usaha dan asosiasi komoditas ekspor pernah cukup semangat untuk menggarap pasar-pasar baru potensial, tepatnya ketika harga CPO, kopi, dan kakao anjlok pada semester pertama 2009. Akan tetapi, setelah harga komoditas di tingkat

(4)

global kembali ”normal” pada awal 2010, rintisan upaya untuk mengembangkan pasar ekspor alternatif itu seakan terlupakan. Birokrasi pemerintah pun demikian, semua kembali terlena dengan rutinitas kerja dan target-target politis yang belum tentu tercapai.

Krisis ekonomi Eropa seakan bergerak amat liar sehingga banyak negara produsen komoditas pertanian melakukan tindakan trade shock yang hanya mementingkan diri sendiri, seperti yang dilakukan Vietnam. Malaysia dan Thailand tampak cukup peduli terhadap kejatuhan harga karet dan kelapa sawit terhadap keberlanjutan dan daya saing komoditas ekspor mereka. Sekian macam respons kebijakan telah diberikan oleh pemerintah negara-negara tetangga sesama ASEAN itu untuk memperkuat posisi tawar petani mereka dalam menghadapi fenomena global, sementara di Indonesia, respons kebijakan pemerintah tampak amat lambat dan seakan tidak berdaya. Upaya untuk sekadar melindungi petani hortikultura dari serbuan impor pun terkesan maju-mundur dengan 1.001 alasan.

Oleh karena itu, pemerintah harus lebih konsisten untuk melindungi petani, pekebun, dan nelayan di dalam negeri dengan menyelesaikan target-target kebijakan yang memadai. Strategi pengembangan komoditas ekspor pertanian wajib mengacu pada falsafah keberlanjutan dan daya saing dalam jangka panjang. Keberlanjutan meliputi pelestarian dan konservasi sumber daya alam, sertifikasi, keterlacakan daerah asal, dan pemberdayaan petani dan koperasi pedesaan. Daya saing meliputi inovasi produksi, peningkatan produktivitas dan pengembangan kluster ekonomi di tingkat hulu dan kemampuan diplomasi di kancah global, termasuk pengembangan pasar-pasar baru nontradisional. Pemerintah dan dunia usaha wajib bahu-membahu mewujudkan strategi keberlanjutan dan peningkatan daya saing ekspor tersebut. Pemerintah dan parlemen

wajib segera menyelesaikan Rancangan Undang-Undang Perlindungan dan

Pemberdayaan Petani. Pembahasan yang berkembang selama ini terlalu bertele-tele dan terjebak pada urusan administratif yang tidak substantif. Muatan strategis yang lebih esensial harus menjadi acuan pembahasan. Singkatnya, negara wajib berperan besar dalam perbaikan kesejahteraan petani dan perekonomian Indonesia umumnya.

Dalam jangka waktu yang lebih panjang, krisis global diperkirakan akan memberikan dampak yang besar pada sektor riil terutama perdagangan terkait perlambatan perekonomian dunia terutama pada negara-negara maju. Permintaan eksternal yang masih melambat akibat ketidakpastian perekonomian global mempengaruhi kinerja ekspor barang baik secara triwulan maupun tahunan. Dibandingkan dengan triwulan sebelumnya ekspor ke China, Amerika Serikat, Taiwan, Uni Eropa, dan India menurun. Sementara ekspor tujuan Thailand, Malaysia, Korea Selatan, Singapura, dan Jepang masih tumbuh positif. Padahal bila dilihat dari kontribusinya, nilai ekspor non-migas Indonesia memiliki kontribusi yang cukup besar selama empat tahun terakhir yang diperlihatkan pada Tabel 1.

(5)

Tabel 1 Persen PDB terhadap nilai ekspor Uraian 2008 2009 2010 2011 2012 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 PDB total ( persen) 6,10 4,50 6,10 6,50 6,50 6,50 6,50 6,30

Menurut Migas dan Non Migas a. Migas ( persen) 0,20 -0,70 -0,40 -0,30 -1,30 0,28 2,26 -0,28 b. Non Migas ( persen) 6,50 4,90 6,60 6,90 7,00 6,95 7,10 6,73

Sumber : Kementrian Perindustrian, 2012

Kontribusi ekspor non migas membentuk pasar yang telah sempurna pada negara-negara maju di dunia, salah satunya adalah Benua Eropa. Selama beberapa tahun belakang sebelum terjadinya krisis, Eropa merupakan Benua dengan pangsa pasar yang terus mengalami pertumbuhan nilai ekspor. Namun terjadinya krisis pada saat ini menyebabkan pertumbuhan nilai ekspor tersebut semakin melambat yang mengakibatkan perlambatan ekonomi Benua Eropa.

Tabel 2 Beberapa negara tujuan ekspor Indonesia

Negara

Triwulan 1-2012**

Nilai (Jutaan USD) Pangsa ( % ) Pertumbuhan ( % ) q.t.q y.o.y Jepang 7.734 16,0 1,9 0,4 China 5.249 10,9 -28,3 29,2 Uni Eropa 4.494 9,3 -6,0 -7,2 Korea Selatan 3.976 8,2 3,2 9,8 Singapura 3.737 7,7 2,5 -4,6 Amerika Serikat 3.733 7,7 -11,1 -11,2 India 3.068 6,4 -1,9 15,7 Malaysia 2.942 6,1 12,2 -0,7 Thailand 1.668 3,5 57,9 -9,9 Taiwan 1.565 3,2 -9,9 17,1 Lainnya 10.058 20,9 -6,0 15,0 Total 48.223 100,0 -4,8 5,1 ** Angka Sementara

Sumber : Bank Indonesia, 2012

Penurunan pertumbuhan tersebut sebagai akibat dari adanya perlambatan perekonomian di negara Eropa yang notabenenya menjadi urutan ketiga pangsa pasar ekspor Indonesia yang diperlihatkan pada Tabel 2. Walaupun demikian ekonomi Indonesia mengalami ekspansi pada triwulan 1-2012 sebesar 1,4 persen (q.t.q). Ekspansi tersebut didorong oleh sektor pertanian yang tumbuh paling tinggi dibandingkan sektor lainnya (Menkoekuin,2012).

(6)

*data triwulan

Gambar 1 Grafik nilai ekspor Indonesia-Eropa 2005-2012*

(Bank Indonesia, 2012)

Walaupun ekspansi pada sektor pertanian meningkat, namun terjadi penurunan nilai ekspor seperti yang diperlihatkan pada Gambar 1 terjadi penurunan pada nilai ekspor pada kuartal 2 tahun 2011 dan kuartal 2 tahun 2012 ke Benua Eropa. Hal ini mengakibatkan adanya indikasi perlambatan perekonomian pada negara-negara di Benua Eropa. Indonesia yang memiliki berbagai sektor dalam bidang agribisnis yang mengekspor hasil produksinya ke Eropa pun mengalami penurunan seperti yang diperlihatkan pada Tabel 3.

Tabel 3 Nilai ekspor non migas menurut sektornya (juta USD)

Ekspor 2009 2010 2011 2011 2012 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Total nilai Ekspor Non-Migas 99.030 129.416 162.720 37.092 42.307 42.169 41.153 39.419 Biji Coklat 1.077 1.187 617 207 147 124 139 113 Udang 784 851 1.064 239 260 269 296 282 Biji Kopi 823 812 1.030 281 286 247 216 173 Ikan lain-lain 642 804 971 191 230 220 330 272 Rempah-rempah 239 409 430 106 119 220 110 115 The 144 150 136 35 33 95 33 31 Buah-Buahan 105 131 173 33 44 35 50 58 Tembakau 102 77 61 10 21 46 12 11 Karet 12 36 31 13 7 7 5 6

Sumber: Bank Indonesia, 2012

Ikan merupakan salah satu komoditas perdagangan yang mengalami perkembangan perdagangan cukup pesat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dunia khususnya benua Eropa. Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk ini akan mempengaruhi jumlah konsumsi ikan di dunia baik ikan segar ataupun ikan olahan. Kedua ikan ini tidak hanya dikonsumsi oleh manusia, tetpai juga digunakan untuk bahan baku pajan ternak. Perkembangan perdagangan ikan yang cukup pesat ini

(7)

juga didorong oleh semakin meluasnya penggunaan lemari pendingin dan pengembangan alat transportasi yang mampu menjaga kualitas ikan segar. Sebagai komoditas yang diperdagangkan, ikan memiliki potensi pasar yang cukup besar dimana sepertiga dari produksi ikan dunia diperdagangkan secara internasional. Berdasarkan data FAO (2010), produksi perikanan dunia selama beberapa tahun terkahir telah mengalami peningkatan. Ikan dikonsumsi oleh manusia karena memiliki kandungan protein dan nutrisi yang cukup baik. Dibanyak negara konsumsi ikan dipergunakan sebgai pasokan bagi orang-orang yang melakukan diet. Dalam laporan FAO disebutkan bahwa sekitar 81 persen dari total produksi perikanan dunia (115,1 juta ton) digunakan sebagai bahan konsumsi langsung manusia sedangakn sisanya 19 persen atau 27,2 juta ton digunakan sebagai prosuk non pangan, utamanya untuk fishmeal dan fish oil.

Untuk sektor perikanan, Indonesia masih mengandalkan ekspor ikan dan udang, khususnya ke Taiwan, Jepang, Korea dan sedikit Amerika Serikat. Produksi ikan secara kumulatif pada 2008 diperkirakan 8,1 juta ton, suatu peningkatan yang sangat signifikan (32 persen per tahun) dari angka produksi 6,1 juta ton pada 2004. Berhubung begitu kuatnya keterkaitan sektor perikanan tekanan ekonomi global, masyarakat sangat khawatir akan dampak krisis keuangan global saat ini, khususnya terhadap kesejahteraan nelayan, terutama nelayan skala kecil dan menengah. Sebelum krisis keuangan global, produksi perikanan di tingkat global diperkirakan 7,5 juta ton, termasuk 3,8 juta berasal dari budidaya udang. Maksudnya, produksi udang budidaya telah melebihi produksi perikanan konvensional, karena semakin intensifnya usaha budidaya udang. Angka ini lebih banyak didorong oleh tingginya produksi udang budidaya selama lima tahun terakhir dengan tingkat pertumbuhan 21 persen per tahun. Laju pertumbuhan udang budidaya diperkirakan melambat pada 5-6 tahun mendatang, dengan laju pertumbuhan 6 persen atau kurang.

Beberapa analisis telah menyimpulkan bahwa dampak langsung dari krisis keuangan global adalah menurunnya permintaan, terutama dari Amerika Serikat dan Uni Eropa. Akibat berikutnya dari kontraksi pasar ini adalah penurunan harga produk perikanan dan bahkan kekhawatiran gagal bayar karena persoalan finansial pada perusahaan skala besar. Disamping itu, kekhawatiran negara-negara besar importir produk perikanan terhadap dampak ekonomi global adalah kemungkinan penggunaan teknik budidaya perikanan yang tidak ramah lingkungan, karena nelayan mencoba untuk mengurangi biaya produksi. Apa pun yang terjadi, sektor perikanan di Indonesia perlu juga melakukan eksplorasi pasar-pasar ekspor baru, yang mungkin tidak terlalu ketat menerapkan persyaratan, seperti bidang lingkungan hidup dan sebagainya. Langkah-langkah pengembangan baru memerlukan kemampuan intelijen pasar yang tangguh, peraturan yang dapat merugikan dan tentu saja kemampuan analisis selera konsumen, dan sebagainya.

Tabel 3 menunjukkan penurunan nilai ekspor terjadi pada komoditas biji coklat, biji kopi, teh dan sebagainya. Namun dalam hal komoditas udang dan ikan dalam sektor perikanan mengalami kenaikan. Realisasi ekspor udang pada tahun 2011 mencapi nilai ekspor sebesar US$2,8 milliar. Menurut data Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) potensi ikan tuna (2012) adalah sekitar 350.000 ton/tahun, sementara volume produksi ikan tuna saat ini adalah sekitar 150.000 ton/tahun. Data tersebut menunjukkan masih adanya potensi yang belum dimanfaatkan secara optimal sehingga dapat dipastikan bahan baku kegiatan ekspor tuna masih tersedia bagi para pelaku bisnis ekspor yang hendak bergerak di bidang ekspor ikan tuna.

(8)

Ekspor non-migas memiliki beberapa sektor seperti agribisnis, industri, pertambangan dan lain-lain. Dalam sektor agribisnis tersebut memiliki sub-sektor yang kurang diperhatikan yaitu sektor perikanan. Indonesia memiliki zona laut yang luas yang belum dioptimalkan untuk menambah nilai ekspor. Namun terdapat peluang dimana perikanan Indonesia dapat memaksimalkan kerjasama perdagangan dengan Eropa dengan melihat peluang bahwa pasar Eropa merupakan pasar yang potensial, karena Eropa sedang mengalami kekurangan bahan baku dalam bidang perikanan karena terjadinya eksploitasi besar-besaran terhadap perikanan di Eropa yang menyebabkan negara-negara di Benua Eropa harus mengimpor ikan dari Indonesia (KKP, 2012). Produk yang memiliki keunggulan ekspor di bidang perikanan adalah jenis udang dan ikan seperti yang diperlihatkan pada Tabel 4.

Tabel 4 Rincian nilai ekspor komoditas perikanan terbesar 2007-2011 (juta USD)

Jenis Ikan 2007 2008 2009 2010 2011

Shrimps and

prawns, frozen 792.385.971 822.922.169 693.881.868 790.572.834 997.506.693 Fish meat &

mince, except liver, roe & fillets, froze 126.019.731 181.990.768 184.410.238 41.277.994 51.795.068 Fish nes, frozen, whole 49.155.240 64.848.906 81.667.861 164.882.568 217.526.346 Fish fillets, frozen 12.968.044 12.055.273 12.337.358 204.228.972 238.879.757 Crabs, not frozen 72.332.860 91.139.446 54.281.371 78.048.881 95.651.646

Tuna nes, fresh or chilled, whole

52.083.533 62.091.755 64.347.594 72.413.084 52.938.236 Fish nes, fresh

or chilled, whole 44.011.650 50.237.116 58.011.516 65.998.964 67.702.101 Cuttle fish, squid, frozen, dried, salted or in brine 31.303.591 33.069.434 34.778.330 47.860.040 78.259.826 Crabs, frozen 38.778.231 42.094.176 34.213.193 47.559.596 46.074.717 Octopus, frozen, dried, salted or in brine 29.670.804 35.769.416 28.778.732 33.068.508 71.119.579 Sumber: UN Comtrade, 2012

Pasar Eropa saat ini masih menempati urutan ke tiga untuk pasar ekspor perikanan Indonesia setelah Amerika Serikat dan Jepang. Pencapaian ekspor produk perikanan ke Eropa mencapai US$3,52 milliar dengan nilai pangsa pasar 13 persen (KKP,2012). Saat ini kontribusi ekspor dari total ekspor produk perikanan sebesar 34 persen berasal dari udang, sedangkan tuna berkontribusi sebesar 18 persen. Pemerintah melalui KKP saat ini sedang menggalakkan ekspor produk perikanan ke Eropa setelah adanya kesepakatan Free Trade dan Penghapusan bea tarif masuk dan Indonesia memiliki peluang besar karena saat ini Eropa masih dalam masa kebijakan morotarium penangkapan yang mengakibatkan minimnya persediaan bahan baku ikan.

(9)

Komoditi udang dan ikan beku merupakan komoditi unggulan di sector perikanan yang telah diekspor oleh beberapa perusahaan ekspor di Indonesia dan tujuan utama ekspor udang dan ikan beku yang pertama adalah Negara Jepang lalu Amerika Serikat dan Uni Eropa. Sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa Benua Eropa sendiri memiliki potensi permintaan terhadap udang dan ikan beku yang semakin meningkat.

Namun seiring dengan krisis yang terjadi di Benua Eropa yang menyebabkan perlambatan perekonomian di Benua Eropa memungkinkan akan mengakibatkan beberapa eksportir Indonesia mengalami guncangan terhadap keuangan mereka karena permintaan akan komoditas udang ataupun ikan menurun. Oleh karena itu, krisis yang melanda di Eropa berkepanjangan dikhawatirkan dapat mempengaruhi permintaan terhadap udang dan ikan beku Indonesia sehingga dikhawatirkan akan mempengaruhi keadaan perekonomian di Indonesia. Dengan demikian, penelitian ini berfokus untuk menganalisis dampak yang terjadi pada pasar ekspor perikanan dengan komoditas udang dan ikan ke Eropa bila krisis berkepanjangan, mengetahui faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi nilai ekspor udang dan ikan beku sehingga dapat menyediakan informasi yang berguna untuk eksportir udang dan ikan beku Indonesia dalam meningkatkan ekspor.

Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah

1. Apakah krisis Eropa mempengaruhi ekspor udang dan ikan Indonesia ke beberapa negara di Eropa?

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi nilai ekspor udang dan ikan Indonesia ke beberapa negara di Eropa?

3. Apa implikasi dari informasi yang dihasilkan bagi eksportir?

Tujuan Penelitian

Tujuan pada penelitian ini adalah

1. Membandingkan ekspor udang dan ikan ke beberapa negara di Eropa sebelum dan sesudah krisis.

2. Mendeskripsikan faktor-faktor yang terkait dengan nilai ekspor udang dan ikan. 3. Merumuskan masukkan strategi eksportir dalam mengantisipasi krisis.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Penulis dapat memperoleh gambaran mengenai krisis yang terjadi di Eropa. 2. Penulis dapat mengetahui pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagai dampak

krisis Eropa.

3. Sebagai masukan berharga untuk penentu kebijakan dan produsen maupun calon produsen.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini akan difokuskan kepada nilai ekspor ke Eropa dari komoditas non-migas pada sektor perikanan dengan komoditi udang dan ikan yang menjadi tujuan ekspor Indonesia ke beberapa negara di Eropa dan beberapa perusahaan yang bergerak pada ekspor udang beku dan ikan beku. Penelitian ini dibatasi pada aliran perdagangan

(10)

(ekspor), kemudian mengkaji perkembangan pasar ekspor Indonesia ke beberapa negara Eropa yang konsisten, setelah itu menelaah faktor-faktor yang mempengaruhi aliran perdagangan Indonesia yang indikasinya terpengaruh terhadap krisis Eropa yang terjadi dan mengimplikasi pada kebijakan yang akan diterapkan secara umum. Kontribusi PDB perikanan terhadap PDB Nasional non-migas mencapai 3,35 persen (LAKIPKKP,2011). Pada penelitian ini udang yang digunakan adalah HS 030613 dan ikan dengan HS 0303.

(11)

Gambar

Tabel 1 Persen PDB terhadap nilai ekspor  Uraian  2008 2009  2010  2011  2012  Q1  Q2  Q3  Q4  Q1  PDB  total  (  persen)  6,10  4,50  6,10  6,50  6,50  6,50  6,50  6,30  Menurut Migas dan Non Migas
Gambar 1 Grafik nilai ekspor Indonesia-Eropa 2005-2012*
Tabel 4 Rincian nilai ekspor komoditas perikanan terbesar 2007-2011 (juta USD)

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil analisa waktu yang tidak produktif (NPT) serta analisa masalah pada operasi pemboran sumur NB-AAA di lapangan XY Total E&P Indonesie, dapat disimpulkan: 1.

Kertas industri merupakan kelompok jenis kertas yang berhubungan dengan proses produksi di berbagai industri, baik yang dipergunakan sebagai salah satu bahan baku

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah disampaikan pada bagian sebelumnya maka dapat diambil beberapa kesimpuan yakni ada pengaruh secara simultan

Puji dan syukur pertama saya selaku penulis ucapakan kepada Tuhan YME yang atas segala rahmat dan karunia-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis

Komposisi tari yang demikian biasanya apabila garapan cengkok kendangnya lemah, maka terinya dirasakan sangat lemah, (coba menarilah gambyong atau ngremo tanpa kendang

Sedangkan pada Gambar 2 tersaji hasil analisis kandungan radionuklida pemancar a dan B dalam sedimen yang berasal dari 5 iokasi pengambilan cuplikan yang'

Nilai koefisien regresi untuk variabel motivasi (MTV) sebesar 0,180 bernilai positif artinya apabila semakin tinggi motivasi pegawai maka semakin meningkatkan

Penerapan Metode Crank-Nicholson pada kasus adveksi-difusi 2D untuk proses sesaat dan kontinu dengan variasi nilai kecepatan dan koefisien difusi untuk waktu simulasi