• Tidak ada hasil yang ditemukan

INTER-RELASI KELUARAN MODEL NWP UNTUK POTENSI PRAKIRAAN CUACA JANGKA PENDEK TIGA WILAYAH TIPE HUJAN DI INDONESIA DEVITA RISTANTI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "INTER-RELASI KELUARAN MODEL NWP UNTUK POTENSI PRAKIRAAN CUACA JANGKA PENDEK TIGA WILAYAH TIPE HUJAN DI INDONESIA DEVITA RISTANTI"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

INTER-RELASI KELUARAN MODEL NWP UNTUK POTENSI

PRAKIRAAN CUACA JANGKA PENDEK TIGA WILAYAH TIPE

HUJAN DI INDONESIA

DEVITA RISTANTI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

ABSTRAK

DEVITA RISTANTI. Inter – Relasi Keluaran Model NWP untuk Potensi Prakiraan Cuaca Jangka

Pendek Tiga Wilayah Tipe Hujan di Indonesia. Dibimbing oleh AHMAD BEY dan KUKUH

RIBUDIYANTO.

Prakiraan cuaca jangka pendek di Indonesia saat ini memanfaatkan keluaran model NWP.

Model NWP merupakan prediksi cuaca harian yang rutin dengan komputer menggunakan

persamaan matematik.

Banyak orang mengakui bahwa sistem cuaca skala meso belum

disimulasikan secara memuaskan oleh model NWP.

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mempelajari dan memahami teknik prediksi cuaca

jangka pendek dan membuat suatu analisis statistik sebagai upaya pemanfaatan data output model

NWP untuk prediksi cuaca. Parameter cuaca yang akan dibahas dan diprediksi dalam penelitian ini

yaitu CH, T max, T min, RH max dan RH min dengan daerah kajian adalah tiga wilayah tipe hujan

di Indonesia yaitu Padang, Jak arta dan Ambon.

Kota Ambon merupakan kota yang paling baik untuk pemaanfaatan model NWP dalam

penelitian ini dilihat dari plot nilai output model dengan hasil observasi lapangan yang berpola

sama. Nilai output model NWP (prediksi) dengan nilai observasi lapangan tidak sama atau

terdapat error antara keduanya, untuk itu dicari faktor koreksi untuk meminimalisasi nilai error

tersebut. Untuk model hujan, nilai RMSE berkurang hingga 8.9 % sementara nilai MAE berkurang

hingga 25 % karena menggunakan faktor koreksi. Untuk model suhu nilai RMSE berkurang

hingga 80 % sementara nilai MAE berkurang hingga 84 % setelah menggunakan faktor koreksi.

Sedangkan untuk model RH nilai RMSE berkurang hingga 81% sementara nilai MAE berkurang

hingga 85% setelah menggunakan faktor koreksi. Hasil ini menunjukkan bahwa penggunaan

faktor koreksi lebih berpengaruh nyata pada model regresi suhu (Tmax dan Tmin) dan RH

(RHmax dan RH min) daripada model regresi CH.

Kata kunci: Numerical Weather Prediction (NWP), prakiraan cuaca jangka pendek, pola curah

hujan, faktor koreksi

(3)

ABSTRACT

D EVITA RISTANTI. Numerical Weather Prediction (NWP) Output Model Potentials for

Short-range Weather Forecasting in three different rainfall patterns in Indonesia. Supervised by

AHMAD BEY and KUKUH RIBUDIYANTO.

Most of the present day short-range weather forecasting centers all over the world,

including Indonesia, utilize various NWP products. NWP prediction is performed by solving

mathematical equations which describe the behavior of the atmosphere. Current available NWP

model is not yet satisfactorily capable of simulating mesoscale weather systems.

The main objective of this research is to comprehend the process and technique of

preparing short-range weather forecasts using NWP products; this is followed by incorporating

statistical analysis to possibly reveal any useful relationship between NWP model output and

observational data to enhance forecasting accuracy. Weather parameters to be focused in this

research include rainfall, maximum and minimum temperature, maximum and minimum relative

humidity in the three different rain type areas of Indonesia, namely, Padang, Jakarta, and Ambon.

This study clearly reveals that using NWP model output is highly prospective for

shot-range weather prediction in Ambon; the plot of prediction output shows similar pattern with

observational data. The output values of NWP model (prediction) and the values of field

observation are not precisely the same due to systematic errors. A simple linear correction factor

is attempted to reduced the errors. For rainfall, the correction factor causes the RMSE value to

decrease by 8.9% while MAE value decreases by 25%. For temperature, RMSE value decreases by

80%, while MAE value decreases by 84%; while for relative humidity, RMSE value decreases by

81%, while MAE value decreases by 85%. This results show that using of correction factor for

temperature regression model (Max Temp and Min Temp) and relative humidity (Max RH and

Min RH) is more effective than rainfall regression model.

Key words: Numerical Weather Prediction (NWP), Short-range Weather Prediction, Rainfall

patterns, Correction Fact or

(4)

INTER-RELASI KELUARAN MODEL NWP UNTUK POTENSI

PRAKIRAAN CUACA JANGKA PENDEK TIGA WILAYAH TIPE

HUJAN DI INDONESIA

DEVITA RISTANTI

G24052601

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(5)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala

nikmat dan rahmat - Nya sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan baik. Penelitian ini berjudul

“Inter-relasi Keluaran Model NWP untuk Potensi Prakiraan Cuaca Jangka Pendek Tiga

Wilayah Tipe Hujan di Indonesia” yang bertempat di Laboratorium Meteorologi dan

Pencemaran Atmosfer, Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB serta di Badan Meteorologi,

Kimatologi dan Geofisika Pusat Jakarta Bagian Informasi Meteorologi Publik.

Penulis tidak lupa menyampaikan ucapan ter ima kasih yang sebesar - besarnya kepada :

1. Kedua orang tua serta adik (Gesti Prabandini) atas segala doa, kasih sayang, semangat dan

dukungannya selama ini.

2. Prof. Dr. Ir. Ahmad Bey dan Kukuh Ribudiyanto, S.Si sebagai pembimbing skripsi, yang

banyak memberikan arahan dan bimbingan serta semangat selama kegiatan penelitian.

3. Ir. Henny Soeharsono, MS selaku dosen penguji atas segala saran dan kritiknya yang

membangun.

4. Ir. Bregas Budiyanto, Ass, dpl. selaku pembimbing akademik atas nasehat dan arahannya

selama p enulis menyelesaikan studi.

5. Dosen dan staf pengajar Departemen Geofisika dan Meteorologi atas ilmu yang telah diberikan

kepada penulis.

6. Seluruh staf/pegawai Departemen Geofisika dan Meteorologi (Mas Aziz, Mbak Wanti, Pak

Pono, Pak Udin, Mbak Icha, Pak Badrudin, Pak Khoirun, Bu Inda, Pak Jun) atas bantuannya

selama ini.

7. Yudi Triawan Septiadhi atas hati, waktu, pundak,dukungan dan semangatnya.

8. Yohanes Ariyanto, Raden Tigin Purna Lugina dan Widya Ningsih atas bantuannya terhadap

penulis selama menyelesaikan penelitin ini.

9. Teman – teman GFM angkatan 42 (Indah, Dewy, Anis, Lisa, Epi, Mbak Ium, Veza, Tanjung,

Rifa, Ciciw, Nancy, Wita, Ivan, Dori, Gito, Victor, Anton, Indra, Franz, Apit, Budi, Ghulam,

Hardie, Hengky, Nizar, Zahir, Galih, Heri, Wahyu, Aan, Dani, Obet, Tumpal, Irvan, Singgih)

atas persahabatan dan keceriaan tak terlupakan yang telah kalian berikan selama 3 tahun ini.

Semoga cerita kita menjadi “sebuah kisah klasik untuk masa depan” yang selalu indah untuk

dikenang.

10. Kakak dan adik kelas di GFM atas persahabatan dan kebersamaannya.

11. Kawan seperjuangan Achie, Farida, Murti dan Yunita atas kebersamaan, persahabatan serta

semangatnya selama ini.

12. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan studi yang tidak dapat

disebutkan satu persatu.

Akhir kata, penulis hanya bisa menyampaikan bahwa tanpa pribadi – pribadi di atas, tugas

akhir ini tidak akan selesai dengan baik. Penulis menyadari bahwa tulisan dalam tugas akhir ini

masih jauh dari sempurna, namun penulis berharap semoga penelitian ini dapat memberikan

manfaat bagi pihak – pihak yang memerlukan.

Bogor, Oktober 2009

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara yang dilahirkan di Jakarta pada

tanggal 26 Januari 1987 dari pasangan Bapak Purwanto dan Ibu Gemi Rahayu. Penulis memulai

pendidikan formalnya di TK Miniatur tahun 1991-1993, kemudian penulis melanjutkan

pendidikannya di SDN Kartika Sejahteradan lulus pada tahun 1999. Tahun 1999-2002, penulis

melanjutkan studi ke SLTPN 1 Bojonggede dan tahun 2002-2005 ke SMU Negeri 5 Bogor. Pada

tahun 2005, penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

(SPMB) dan setahun kemudian diterima pada program studi Meteorologi Terapan, Departemen

Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

Selama menjadi mahasiswa di Institut Pertanian Bogor, penulis pernah menjadi anggota

Himpunan Profesi HIMAGRETO Departemen Kesekretariatan masa jabatan 2007/2008 dan

Departemen Keilmuan dan Profesi masa jabatan 2008/2009. Selama menjalankan studi, penulis

menerima beasiswa PPA (Peningkatan Prestasi Akademik) tahun 2005 – 2009. Penulis juga pernah

melakukan kegiatan magang di Stasiun Klimatologi Kelas I Dramaga selama satu bulan dan

menjadi asisten dosen mata kuliah Meteorologi Dinamik selama satu semester.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 1

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tipe – tipe Prediksi Cuaca ... 1

2.2. Proses Prediksi Cuaca Numerik ... 2

2.3. Model Numerical Weather Prediction (NWP) ... 2

2.3.1 Sejarah Model NWP ... 2

2.3.2 Klasifikasi Model NWP ... 3

2.3.3 Persamaan Model NWP ... 3

2.4. Koreksi Prediksi Cuaca ... 4

2.5. Pola Curah Hujan di Indonesia ... 4

2.6. Karakteristik Lokasi pengamatan ... 5

III. BAHAN DAN METODE

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 7

3.2. Data dan Peralatan ... 7

3.3. Metode Penelitian

3.3.1. Karakteristik Output Model NWP ... 7

3.3.2. Post Processing Output Model NWP ... 7

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Numerical Weather Prediction (NWP) ... 8

4.2. Potensi Pemanfaatan Output Model NWP Studi Kasus Kota Padang, Jakarta dan

Ambon ... 15

V.

PENUTUP

5.1 Kesimpulan ... 25

5.2 Saran ... 26

DAFTAR PUSTAKA ... 26

LAMPIRAN ... 27

(8)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Variabel NWP dalam beberapa level tekanan ... 8

2. Operasional Penting dari KI ... 11

3. Parameter model NWP yang mempunyai korelasi nyata dan lebih besar dari 0.5

dengan CH ... 15

4. Nilai R

2

dari Persamaan Regresi Berganda Model CH ... 16

5. Faktor Koreksi Model Hujan kota Ambon untuk masing-masing Bulan ... 19

6. Persamaan Regresi M odel Suhu dan RH kota Ambon ... 20

7. Faktor Koreksi Model suhu kota Ambon untuk masing-masing Bulan ... 24

(9)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Peta sebaran pola curah hujan Indonesia ... 4

2. Geometri pergerakan bumi terhadap matahari ... 5

3. Peta Sumatera Barat ... 5

4. Peta Kota Jakarta ... 6

5. Peta Kepulauan Maluku ... 7

6. Ilustrasi perbedaan antara dunia nyata (a) dengan representasinya dalam model

NWP (b) ... 9

7. Grid Cell ... 9

8. Grid Cell dua dimensi dalam Model NWP ... 10

9. Dipole Mode Index ... 11

10. Suhu dan Pressure Velocity ... 13

11. K – Index ... 13

12. Lifted – Index ... 13

13. Showalter – Index ... 14

14. MSLP ... 14

15. Moisture Flux dan Konvergensi ... 14

16. Plot Nilai CH Obs dan CH untuk kota Padang (a) , Jakarta (b) dan Ambon (c) ... 17

17. Plot nilai CH Obs dan CH^ kota Ambon bulan DJF (a) , MAM (b), JJA (c) dan

SON (d) ... 18

18. Plot nilai CH Obs dan CH* kota Ambon bulan DJF (a), MAM (b), JJA (c) dan

SON (d) ... 18

19. Plot nilai Tmax obs dan Tmax^ kota Ambon bulan DJF (a), MAM (b), JJA (c) dan

SON (d) ... 20

20. Plot nilai Tmin obs dan Tmin^ kota Ambon bulan DJF (a), MAM (b), JJA (c) dan

SON (d) ... 21

21. Plot nilai Tmax obs dan Tmax* kota Ambon bulan DJF (a), MAM (b), JJA (c) dan

SON (d) ... 21

22. Plot nilai Tmin obs dan Tmin* kota Ambon bulan DJF (a), MAM (a) , JJA (c) dan

SON (d) ... 22

23. Plot nilai RHmax obs dan RHmax^ kota Ambon bulan DJF (a), MAM (b), JJA (c)

dan SON (d) ... 22

24. Plot nilai RHmin obs dan RHmin^ kota Ambon bulan DJF (a), MAM (b), JJA (c)

dan SON (d) ... 23

25. Plot nilai RHmax obs dan RHmax* kota Ambon bulan DJF (a) , MAM (b), JJA (c)

dan SON (d) ... 23

26. Plot nilai RHmin obs dan RHmin* kota Ambon bulan DJF (a), MAM (b), JJA (c)

dan SON (d) ... 24

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Hasil Intepretasi Peta Cuaca Output Model NWP dari KMA ... 28

2. Plot Pola Angin Zonal Permukaan (u0) kota Ambon Tahun 2008 ... 28

3. Plot Pola Angin Meridional Permukaan (v0) kota Ambon Tahun 2008 ... 28

4. Nilai Koefisien Korelasi antar Variabel NWP kota Padang bulan DJF 2008... 29

5. Nilai Koefisien Korelasi antar Variabel NW P kota Padang bulan MAM 2008 ... 31

6. Nilai Koefisien Korelasi antar Variabel NW P kota Padang bulan JJA 2008 ... 33

7. Nilai Koefisien Korelasi antar Variabel NW P kota Padang bulan SON 2008 ... 35

8. Nilai Koefisien Korelasi antar Variabel NWP kota Jakarta bulan DJF 2008 ... 37

9. Nilai Koefisien Korelasi antar Variabel NWP kota Jakarta bulan MAM 2008 ... 39

10. Nilai Koefisien Korelasi antar Variabel NWP kota Jakarta bulan JJA 2008 ... 41

11. Nilai Koefisien Korelasi antar Variabel NWP kota Jakarta bulan SON 2008... 43

12. Nilai Koefisien Korelasi antar Variabel NWP kota Ambon bulan DJF 2008 ... 45

13. Nilai Koefisien Korelasi antar Variabel NWP kota Ambon bulan MAM 2008... 47

14. Nilai Koefisien Korelasi antar Variabel NWP kota Ambon bulan JJA 2008 ... 49

15. Nilai Koefisien Korelasi antar Variabel NW P kota Ambon bulan SON 2008 ... 51

16. Principal Component Analysis dan analisis regresi model CH kota

Padang bulan DJF 2008 ... 53

17. Principal Component Analysis dan analisis regresi model CH kota

Padang bulan JJA 2008 ... 53

18. Principal Component Analysis dan analisis regresi model CH kota

Padang bulan SON 2008 ... 54

19. Principal Component Analysis dan analisis regresi model CH kota

Jakarta bulan DJF 2008 ... 55

20. Principal Component Analysis dan analisis regresi model CH kota

Jakarta bulan MAM 2008 ... 56

21. Principal Component Analysis dan analisis regresi model CH kota

Jakarta bulan JJA 2008... 56

22. Principal Component Analysis dan analisis regresi model CH kota

Jakarta bulan SON 2008 ... 57

23. Principal Component Analysis dan analisis regresi model CH kota

Ambon bulan DJF 2008 ... 58

24. Principal Component Analysis dan analisis regresi model CH kota

Ambon bulan MAM 2008 ... 59

25. Principal Component Analysis dan analisis regresi model CH kota

Ambon bulan JJA 2008 ... 60

26. Principal Component Analysis dan analisis regresi model CH kota

Ambon bulan SON 2008... 60

27. Principal Component Analysis dan analisis regresi model T max kota

Ambon bulan DJF 2008 ... 61

28. Principal Component Analysis dan analisis regresi model T max kota

Ambon bulan MAM 2008 ... 62

29. Principal Component Analysis dan analisis regresi model T max kota

Ambon bulan JJA 2008 ... 62

30. Principal Component Analysis dan analisis regresi model T max kota

Ambon bulan SON 2008... 63

31. Principal Component Analysis dan analisis regresi model T min kota

Ambon bulan DJF 2008 ... 64

(11)

Halaman

32. Principal Component Analysis dan analisis regresi model T min kota

Ambon bulan MAM 2008 ... 65

33. Principal Component Analysis dan analisis regresi model T min kota

Ambon bulan JJA 2008 ... 65

34. Principal Component Analysis dan analisis regresi model T min kota

Ambon bulan SON 2008... 66

35. Principal Component Analysis dan analisis regresi model RH max kota

Ambon bulan DJF 2008 ... 67

36. Principal Component Analysis dan analisis regresi model RH max kota

Ambon bulan MAM 2008 ... 67

37. Princip al Component Analysis dan analisis regresi model RH max kota

Ambon bulan JJA 2008 ... 68

38. Principal Component Analysis dan analisis regresi model RH max kota

Ambon bulan SON 2008... 69

39. Principal Component Analysis dan analisis regresi model RH min kota

Ambon bulan DJF 2008 ... 70

40. Principal Component Analysis dan analisis regresi model RH min kota

Ambon bulan MAM 2008 ... 70

41. Principal Component Analysis dan analisis regresi model RH min kota

Ambon bulan JJA 2008 ... 71

42. Principal Component Analysis dan analisis regresi m odel RH min kota

(12)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Cuaca dan iklim merupakan bagian yang tak

terpisahkan bagi kehidupan makhluk hidup di

bumi. Pada pertengahan tahun 1950an,

seluruh peta dan diagram cuaca diplotkan

secara manual dan dianalisis oleh individual.

Para meteorologist memprediksi cuaca dengan

menggunakan aturan baku yang berhubungan

dengan sistem cuaca tertentu yang dikaji

(Ahrens 2007). Pengalaman merupakan hal

yang paling penting dalam membuat prediksi

cuaca sehingga prediksi cuaca saat itu masih

bersifat sangat subjektif. Pada beberapa

kasus, hasil prediksi dengan menggunakan

metode tersebut sangat akurat, tapi dengan

adanya komputer super canggih yang modern

dan diikuti dengan teknik observasi yang baru,

saat ini prediksi cuaca menjadi lebih baik.

Super komputer modern dapat menganalisis

data dalam jumlah besar dengan sangat cepat.

Komputer tidak hanya memplotkan dan

menganalisis data, tapi juga memprediksi

cuaca. Prediksi cuaca harian yang rutin

dengan komputer menggunakan persamaan

matematik dikenal dengan sebutan Numerical

Weather Predictio n (NWP). Walaupun model

NWP menjadi semakin kompleks dan

superkomputer saat ini lebih berguna banyak

orang mengakui bahwa sistem cuaca skala

meso belum disimulasikan secara memuaskan

(Crook 1996 dalam Tong 2006).

Indonesia merupakan negara kepulauan

beriklim monsun yang memiliki dinamika

cuaca dan atmosfer yang kompleks dan unik.

Atmosfer di atas Indonesia memiliki peranan

yang sangat dominan dalam sistem cuaca dan

iklim global (Tjasyono et al. 2008). Saat ini,

Indonesia menggunakan metode analogi yaitu

metode dengan membandingkan atau

memperhatikan pola cuaca yang sudah terjadi

dengan kondisi cuaca yang sedang terjadi.

Dasar pertimbangan untuk memprakirakan

cuaca adalah dengan memanfaatkan model

TLAPS (Tropical Limited Area Prediction

System), Arhpege (prancis) yang diadopsi dari

Australia dan Prancis, disamping itu

membandingkan model meteorologi yang

diambil dari Eropa, Amerika, Singapore,

Jepang, dsb (Zakir 2008).

Hasil prediksi model NWP biasanya kurang

tepat untuk kondisi Indonesia yang memiliki

dinamika cuaca dan atmosfer yang kompleks

dan unik serta terkadang lebih dipengaruhi

oleh kondisi lokal. Hal ini membuat hasil

prakiraan cuaca di Indonesia banyak meleset.

Untuk itu diperlukan suatu analisis statistik

untuk memvalidasi data output NWP yang

digunakan agar lebih mendekati nilai

observasi di lapangan.

1.2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mempelajari dan memahami teknik

prediksi cuaca jangka pendek.

2. Membuat suatu analisis statistik sebagai

upaya pemanfaatan data output model

NWP untuk prediksi cuaca.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Prediksi cuaca dibuat untuk menyelamatkan

kehidupan, properti dan tanaman serta untuk

memberitahu kita apa yang sedang terjadi di

dalam lingkungan atmosfer. Mengetahui

keadaan cuaca di masa yang akan datang

sangat penting bagi aktivitas manusia di bumi.

Oleh karena itu, proses peramalan cuaca

sangat dibutuhkan oleh manusia.

2.1 Tipe – tipe Prediksi Cuaca

Prediksi cuaca dilakukan untuk berbagai

jangka waktu, yaitu (Ahrens 2007):

Very Short – range forecast (nowcast)

yaitu prediksi cuaca untuk beberapa jam

ke depan (biasanya tidak lebih dari 6

jam). Teknik yang digunakan untuk

membuat prediksi jangka ini biasanya

adalah dengan menggunakan interpretasi

subjektif dari observasi permukaan, citra

satelit, dan informasi radar. Kadang kala

pengalaman forecaster sangat dibutuhkan

pada prediksi ini.

Short – range forecast (prediksi jangka

pendek) yaitu prediksi cuaca untuk

jangka waktu 6 jam hingga beberapa hari

ke depan (biasanya 2,5 hari atau 60 jam).

Forecaster menggunakan variasi teknik

untuk membuat prediksi jangka pendek

ini, seperti citra satelit, radar, peta cuaca

permukaan, angin udara atas, dan pola

trend cuaca sebelumnya. Untuk prediksi

di atas kira – kira 12 jam, forecaster

mulai mempertimbangkan penggunaan

ramalan dengan komputer yang lebih

rumit dan informasi statistik seperti

Model Output Statistics (MOS).

Medium – range forecast (prediksi

jangka menengah) yaitu prediksi cuaca

untuk jangka waktu 3 sampai 8,5 hari

(200 jam) ke depan. Prediksi jangka

menengah hampir seluruhnya

menggunakan produk dari komputer

(13)

seperti NWP dan MOS. Prediksi di atas

3 hari biasanya disebut juga dengan

extended forecast.

Long – range forecast (prediksi jangka

panjang) yaitu prediksi cuaca untuk

jangka waktu lebih dari 8,5 hari (200

jam). Biasanya ramalan komputer tidak

akurat untuk memprediksi lebih dari 16

hari terutama untuk prediksi temperatur

dan presipitasi.

2.2 Proses Prediksi Cuaca Numerik

Prediksi cuaca merupakan suatu initial value

problem. Kondisi awal atmosfer (pada waktu t

dan t -

t) harus diketahui dengan benar untuk

memprediksi suhu di waktu setelahnya (t +

t). Jadi, untuk membuat prediksi dari cuaca

riil, harus dimulai dulu dengan observasi dari

cuaca riil tersebut.

Berikut ini merupakan tiga tahap proses

prediksi cuaca (Stull 2000) :

1. Pre – processing, dimana observasi

cuaca dari berbagai lokasi dan waktu di

seluruh dunia ditransf ormasi menjadi

sebuah grid beraturan dari kondisi awal.

2. Prediksi cuaca secara terkomputerisasi,

dimana pendekatan finite – difference

persamaan pergerakan atmosfer

diselesaikan.

3.

Post – processing dilakukan untuk

mengoreksi hasil prediksi dan untuk

memproduksi produk tambahan lainnya.

2.3 Model Numerical Weather Prediction

(NWP)

Model NWP adalah sekumpulan kode

komputer yang mempresentasikan secara

numerik persamaan-persamaan atmosfir,

digunakan untuk memprediksi kondisi atau

status atmosfir yang akan datang dengan

menggunakan kemampuan komputer yang

tinggi. Prediksi/ramalan cuaca dirumuskan

dengan menyelesaikan persamaan pergerakan

atmosfir. Persamaan–persamaan tersebut

meliputi persamaan non-linier time-dependent

differential parsial angin, temperatur ,

kelembaban dan tekanan.

2.3.1 Sejarah Model NWP (BMG 2007)

Tahun 1904, Vilheim Bjerknes (Norwegia)

didalam papernya” Weather Forecasting as a

Problem in Mechanic and Physics”

mengusulkan bahwa kemungkinan untuk

memprediksi atmosfir dengan sekumpulan

persamaan angin, temperatur, tekanan dan

kelembaban. Pada tahun 1922, Lewis Fry

Richardson (Inggris) dalam bukunya

“Weather Prediction by N umerical P rocess”

mendiskusikan tentang bagaimana persamaan

– persamaan atmosfir dapat diselesaikan

dengan kalkulator mekanik. Dia menduga

bahwa sekitar 64000 orang dibutuhkan untuk

bekerjasama dalam menghasilkan ramalan

numerik. Dia juga mencoba untuk menghitung

prediksi numerik perubahan tekanan di stasiun

dengan menggunakan persamaan kontinyu.

Untuk menghitung prediksi ramalan 6 jam

dibutuhkan 6 minggu. Sayangnya, ramalan

tekanan permukaan tidak sesuai besarnya

dibandingkan dengan cuaca sesungguhnya

(perubahan tekanan sebesar 145 hPa dalam 6

jam).

John von Neumann, penemu komputer

modern dan Vladimir Zworykin, penemu

utama televisi (1945) mengusulkan untuk

mengembangkan model NWP dengan

menggunakan komputer elektronik. Keinginan

utama Zworykin adalah modifikasi iklim dan

membutuhkan metode yang handal untuk

menghitung sirkulasi umum seluruh atmosfir.

Von Neumann bekerja bersama-sama dengan

ahli meteorologi meliputi Carl-Gustav Rossby

dan Jule Charney.

Melalui pengembangan penyederhanaan

persamaan (disebut persamaan barotropik

vorticity) oleh Charney dan Von Neumann,

ahli komputer elektronik (ENIAC: Electrical

Numerical Integrator and Calculator) yang

didirikan 1950 untuk menghitung ramalan tiga

numerik di Amerika Utara. Pada waktu yang

sama, Rossby kembali ke Swedia untuk

memulai program NWP. Komputer elektronik

di Swedia dinamakan BESK, yang merupakan

komputer tercanggih pada saat itu, didirikan

dan dioperasionalkan pada 1953. Akhir 1954,

Meteorologi Swedia mampu menghasilkan

ramalan rutin 3 harian 500 hPa dengan model

barotropik.

Melalui penemuan komputer yang canggih

diawal 1960-an, operasional model multilayer

atmosfir dapat dilakukan. Beberapa pusat

operasional memulai untuk menjalankan

model numerik global, regional untuk

menyediakan ramalan beberapa hari hingga

mingguan. Saat ini, banyak pusat meteorologi

menggunakan model NWP dan super

komputer untuk menghitung ramalan cuaca

dalam 10 hari atau lebih ke depan.

2.3.2 Klasifikasi Model NWP

M odel NWP dapat diklasifikasikan ke dalam

empat kategori erdasarkan skala sistem

atmosfir yang dihitung,, yaitu (BMG 2007):

(14)

1.

Model Klimatologi

Model ini disebut juga General C irculation

Models (GCM). Model ini menggambarkan

kondisi umum dari lapisan troposfir dan

stratosfir dalam periode panjang. Dalam

formulasi model, tidak banyak perbedaan

dengan model skala sinoptik untuk perkiraan

jangka menengah. Namun demikian, proses

fisik seperti interaksi udara dan laut, sirkulasi

benua, kandungan laut es dan proses stratosfir

dibahas dengan teliti untuk menyediakan

prakiraan jangka panjang.

2.

Model Skala Sinoptik

Model ini banyak digunakan oleh banyak

pusat operasional di dunia untuk menghitung

pra kiraan cuaca jangka menengah. Model ini

dapat melingkupi domain global dan regional,

tergantung pada aplikasi dan kemampuan

komputasi di pusat meteorologi. Seringkali,

model ini digunakan untuk memprediksi dan

mengevaluasi sistem sinoptik seperti daerah

tekanan tinggi, tekanan rendah (palung),

sistem frontal dan siklon tropik.

3.

Model Skala Meso

Model ini digunakan untuk memprediksi

perubahan cuaca lokal dan sistem cuaca skala

meso seperti sistem konvektif pada daerah

rendah monsun dan sirkulasi land-sea breeze.

4.

Model Khusus

Model ini digunakan untuk tujuan khusus

seperti penyelidikan proses skala mikro dalam

awan (cloud-resolving model) dan arah

turbulensi di atas gunung.

M odel NWP juga dapat diklasifikasikan

berdasarkan pada metode numerik yang

digunakan menjadi sebagai berikut:

1. Model Grid (Finite differential method )

M odel grid membagi atmosfir dalam kubus

atau parcel udara. Semua nilai kontinyu

temperatur, angin, uap lembab dsb

digambarkan dengan sekumpulan nilai diskrit

atau disebut nilai grid – point. Akibat gerakan

udara dalam kubus, kemudian diprediksi

berdasarkan kekuatan keaktifannya. Spasial

kontinyu dan perubahan temporal disajikan

pada pebedaan terbatas dalam pendekatan ini.

Ukuran grid kotak atau jarak antara dua kotak

menentukan resolusi model. Akurasi perkiraan

model NWP pada prinsipnya akan meningkat

jika resolusi model ditingkatkan.

2. Model Spectral

Atmosfir digambarkan dengan basis fungsi

series periodik. Model spectral disebut juga

harmonik sperical dalam aplikasi model

global. F ungsi sinus dan cosinus digunakan

pada lokasi batas lateral

dalam model

regional,. Secara teori, pengembangan bidang

fisik tertentu menggunakan harmonik atau

deret fourier seharusnya menggunakan jumlah

suku takterbatas (infinite). Pada kegiatan

operasional, hanya jumlah gelombang yang

terbatas yang digunakan karena keterbatasan

komputasi. Gelombang terkecil menentukan

resolusi efektif model.

3. Model Elemen Terbatas (Finite)

Model Elemen Terbatas digunakan dalam

model komputasi dinamika fluida secara luas.

M etode elemen terbatas secara fisik

digambarkan menggunakan sekumpulan basis

fungsi

seperti halnya metode spectral ,

umumnya adalah polinomial order rendah.

Area model dibagi ke dalam banyak elemen

atau volume.

2.3.3 Persamaan Model NWP

Persamaan yang digunakan dalam model

NWP ada lima, yaitu (BMG 2007) :

Konservasi Momentum :

Konservasi Energi :

Konservasi Massa (Persamaan Kontinu) :

Persamaan Status :

Konservasi Kelembaban :

Peramalan dengan menggunakan model NWP

merupakan sebuah problem mengenai nilai

kondisi inisial atmosfer, maksudnya adalah

hasil peramalan yang baik tergantung pada

kualitas kondisi inisial atmosfer, sementara itu

kondisi atmosfer merupakan suatu hal yang

sangat kom pleks dan dinamis. Asimilasi data

adalah sebuah proses untuk membuat kondisi

inisial atmosfer menjadi lebih sederhana, o leh

karena itu, asimilasi data merupakan hal yang

penting untuk meningkatkan mutu peramalan

cuaca hasil model NWP dan kemudian

(15)

menjadi faktor terpenting dalam peramalan

model NWP belakangan ini (KMA 2002).

Kebanyakan teknik asimilasi berpengaruh

besar dalam kecenderungan model untuk

membuat kondisi status atmosfer seimbang

selama proses prediksi. Status yang seimbang

dari peramalan sebelum nya dapat digunakan

sebagai ‘terkaan pertama’ dari kondisi awal

untuk prediksi yang baru. Jika observasi cuaca

yang baru disatukan dengan ‘terkaan

pertama’, hasilnya disebut dengan analisis

cuaca. Walaupun analisis cuaca

merepresentasikan keadaan cuaca saat ini atau

lampau (bukan sebuah prediksi), hasil analisa

tersebut biasanya tidak tepat sama dengan

data observasi mentah karena hasil analisis

sudah melewati tahap

smoothing

dan

seimbang secara parsial (Stull 2000).

2.4 Koreksi Prediksi Cuaca

Sejumlah teknik statistik dapat diaplikasikan

sebagai proses akhir untuk mengarahkan

output model untuk lebih mendekati cuaca

lokal. Dua metode statistik klasik yang sering

digunakan yaitu Perfect Prog Method (PPM)

dan Model Output Statistics (MOS). Kedua

metode tersebut menggunakan regresi statistik

untuk menghubungkan input (prediktor)

dengan output berbeda (prediktan). Contoh

dari prediktan adalah surface visibility,

sementara itu prediktornya meliputi

kelembaban relatif, kecepatan angin, dan

presipitasi. Metode PPM menggunakan

observasi sebagai prediktor untuk

menjelaskan koefisien regresi sementara MOS

menggunakan suatu model forecast. Jika

koefisien regresi sudah diketahui, kedua

model tersebut menggunakan model forecast

sebagai prediktor. Regresi terbaik ditemukan

dengan menggunakan data prediktor dan

prediktan dalam banyak tahun.

Metode PPM memiliki kelebihan yaitu

metode ini tidak tergantung pada model

prediksi khusus dan dapat digunakan segera

setelah merubah model prediksi. Metode PPM

menghasilkan nilai prediktan terbaik hanya

ketika model menghasilkan prediktor yang

sempurna yang sangat jarang terjadi.

Keuntungan atau kelebihan dari metode MOS

adalah jika ada kesalahan model sistematik

bisa dikompensasi dengan regresi statistik.

Kekurangan dari MOS adalah data output

model yang dikumpulkan harus dalam banyak

tahun dan sesuai secara statistik sebelum

menghasilkan regresi yang dapat digunakan

untuk prediksi selanjutnya. Baik MOS

maupun PPM mempunyai kekurangan yaitu

parameter statistik harus ditetapkan atau

konstan.

2.5 Pola Curah Hujan di Indonesia

Sirkulasi monsoon mempengaruhi jumlah

curah hujan musiman secara tegas yang

menghasilkan periode hujan jika angin

berhembus menuju ke pantai pada waktu

musim panas dan periode kering jika angin

berhembus menuju ke lepas pantai pada waktu

musim dingin. Ragam curah hujan musiman

akibat monsoon sangat jelas di daerah Asia

Tenggara seperti di Indonesia.

(16)

Ada tiga pola curah hujan di Indonesia, yaitu

(Tjasyono 2004) :

a. Pola curah hujan jenis monsoon

Karakteristik dari jenis ini adalah distribusi

curah hujan bulanan berbentuk “V” dengan

jumlah curah hujan minimum pada bulan Juni,

Juli atau Agustus. Saat monsoon barat jumlah

curah hujan berlimpah, sebaliknya saat

monsoon timur jumlah hujan sangat sedikit.

Daerah yang mempunyai curah hujan jenis

monsoon sangat luas terdapat di Indonesia.

b. Pola curah hujan jenis ekuator

Distribusi curah hujan bulanan memiliki dua

maksimum. Jumlah curah hujan maksimum

terdapat setelah ekuinoks. Tempat di daerah

ekuator seperti Pontianak dan Padang

mempunyai pola curah hujan jenis ekuator.

Pengaruh monsoon di daerah ekuator kurang

tegas dibandingkan pengaruh insolasi pada

waktu ekuinoks. Ekuinoks adalah kedudukan

matahari tepat di atas ekuator terjadi pada

tanggal 21 Maret dan 23 September.

Gambar 2 Geometri pergerakan bumi

terhadap matahari (Linacre &

Greets 2003)

c. Pola curah hujan jenis lokal

Distribusi curah hujan bulanannya kebalikan

dari jenis monsoon. Pola curah hujan jenis

lokal lebih banyak dipengaruhi oleh sifat

lokal. Daerah yang mempunyai jenis lokal

sangat sedikit, misalnya daerah Ambon.

2.6 Karakteristik Lokasi pengamatan

Lokasi pengamatan adalah tiga wilayah tipe

hujan Indonesia (Tjasyono 2004). Daerah tipe

hujan monsunal diwakili oleh Kota Jakarta,

daerah tipe hujan equatorial diwakili oleh kota

Padang, sedangkan daerah tipe hujan lokal

diwakili oleh kota Ambon.

a. Kota Padang

Kota Padang merupakan ibukota Propinsi

Sumatera Barat yang berlokasi di pesisir barat

Pulau Sumatera. Berdasarkan PP No. 17

Tahun 1980, luas Kota Padang adalah 69.494

ha dengan jumlah penduduk berjumlah

765.456 jiwa, yang tersebar di 11 kecamatan

atau 103 kelurahan. 52,52% dari daerah Kota

Padang adalah hutan lindung, 9,01% -nya

bangunan dan pekarangan rumah, sedangkan

7,2%-nya atau sekitar 52,25 km

2

adalah

perairan (Badan Pusat Statistik Padang, 2003).

Kota Padang terletak pada dataran rendah di

pantai barat Pulau Sumatera. Seca ra geografis

Kota Padang terletak pada 0

0

54’ – 1

0

Lintang

Selatan (LS) dan 100

0

17’ – 100

0

34 ’ Bujur

Timur (BT), dengan panjang pantai sepanjang

84 km. Kota Padang berada di sebelah Barat

Bukit Barisan dan dengan garis pantai

sepanjang 68,126 km. Sebagai kota pantai,

Kota Padang terdiri atas dataran rendah yang

terletak pada ketinggian 0 – 10 m di atas

permukaan laut. Secara umum, Kota Padang

terletak pada ketinggian yang berkisar antara

0-1.853 m di atas permukaan laut. Daerah

tertinggi adalah Kecamatan Lubuk Kilangan,

sedangkan daerah lainnya terletak pada

dataran tinggi, yaitu sebelah selatan dan timur.

Gambar 3

Peta Sumatera Barat

(bulekbasandiang 2009)

Kota Padang memiliki beberapa aliran sungai,

baik yang besar maupun yang kecil

(anak-anak sungai) yang semuanya mengalir ke arah

barat menuju Samudera Indonesia. Saat ini

terdapat 21 aliran sungai, yang terdiri atas 5

sungai besar dan 16 sungai kecil. Kota Padang

termasuk daerah beriklim tropis yang

memiliki temperatur 23

0

C –32

0

C di siang hari

dan 22

0

C–28

0

C di malam hari. Berlokasi

(17)

pada lembah di antara Bukit Barisan dan

Samudera Indonesia, Kota Padang sangat

dipengaruhi oleh angin musim dan angin laut

yang menyebabkan curah hujan yang tinggi,

yaitu 405,88 mm/bulan. Luas wilayah Kota

Padang yang telah terbangun adalah 10% dari

luas total Kota Padang, bagian yang tidak

terbangun digunakan untuk kegiatan

pertanian, kehutanan, perkebunan serta tanah

yang tidak diusahakan.

b. Kota Jakarta

Jakarta terdiri dari dataran rendah dengan

ketinggian rata-rata 7 meter di atas permukaan

laut, terletak pada posisi 6°12’ Lintang

Selatan dan 106°48’ Bujur Timur.

Berdasarkan Keputusan Gubernur Nomor

1227 Tahun 1989, luas wilayah Provinsi DKI

Jakarta adalah 7.659,02 km

2

, terdiri dari

daratan seluas 661,52 km

2

, termasuk 110

pulau di Kepulauan Seribu, dan lautan seluas

6.997,50 km

2

. Provinsi DKI Jakarta terbagi

menjadi 5 wilayah kotamadya dan satu

kabupaten administratif, yakni: Kotamadya

Jakarta Pusat dengan luas 47,90 km

2

, Jakarta

Utara dengan luas 142,20 km

2

, Jakarta Barat

dengan luas 126,15 km

2

, Jakarta Selatan

dengan luas 145,73 km

2

, dan Kotamadya

Jakarta Timur dengan luas 187,73 km

2

, serta

Kabupaten Administratif Kepulau an Seribu

dengan luas 11,81 km

2

.

Di sebelah utara membentang pantai

sepanjang 35 km, yang menjadi tempat

bermuaranya 13 buah sungai dan 2 buah

kanal. Di sebelah selatan dan timur berbatasan

dengan Kota Depok, Kabupaten Bogor, Kota

Bekasi dan Kabupaten Bekasi, sebelah barat

dengan Kota Tangerang dan Kabupaten

Tangerang, serta di sebelah utara dengan Laut

Jawa. Secara geologis, seluruh dataran terdiri

dari endapan pleistocene yang terdapat pada

±50 m di bawah permukaan tanah. Bagian

selatan terdiri atas lapisan alluvial, sedang

dataran rendah pantai merentang ke bagian

pedalaman sekitar 10 km. Di bawahnya

terdapat lapisan endapan yang lebih tua yang

tidak tampak pada permukaan tanah karena

tertimbun seluruhnya oleh endapan alluvium .

Di wilayah bagian utara bar u terdapat pada

kedalaman 10-25 m, makin ke selatan

permukaan keras semakin dangkal 8-15 m.

Pada bagian tertentu juga terdapat lapisan

permukaan tanah yang keras dengan

kedalaman 40 m.

Keadaan Kota Jakarta umumnya beriklim

panas dengan suhu udara maksimum berkisar

32,7 °C – 34 °C pada siang hari, dan suhu

udara minimum berkisar 23,8 °C -25,4 °C

pada malam hari. Rata-rata curah hujan

sepanjang tahun 237,96 mm, selama periode

2002-2006 curah hujan terendah sebesar 122,0

mm terjadi pada tahun 2002 dan tertinggi

sebesar 267,4 mm terjadi pada tahun 2005,

dengan tingkat kelembaban udara mencapai

73,0 - 78,0 persen dan kecepatan angin

rata-rata mencapai 2,2 m/detik - 2,5 m/detik

(http://www.jakarta.go.id).

Gambar 4. Peta Kota Jakarta (Dimas 2009)

c. Kota ambon

Letak Kota Ambon berada sebagian besar

dalam wilayah pulau Ambon, dan secara

geografis terletak pada posisi: 3

o

– 4

o

Lintang

Selatan dan 128

o

– 129

o

Bujur Timur.

Rata-rata kondisi topografi wilayah Kota Ambon

agak datar mulai dari pesisir pantai sampai

dengan wilayah pemukiman. Morfologi

daratan Kota Ambon bervariasi dari datar,

berombak, bergelombang dan berbukit serta

bergunung dengan lereng dominan agak

landai sampai curam. Daerah datar memiliki

kemiringan lereng 0–3%, daerah berombak

kemiringan lereng 3–8%, daerah

bergelombang 8–15 %, daerah berbukit 15–

30% dan daerah bergunung kemiringan

lerengnya lebih besar dari 30%.

Iklim di Kota Ambon adalah iklim laut tropis

dan iklim musim, karena letak pulau Ambon

di kelilinggi oleh laut. Oleh karena itu iklim di

sini sangat dipengaruhi oleh lautan dan

berlangsung bersamaan dengan iklim musim,

yaitu musim Barat atau Utara dan musim

Timur atau Tenggara. Pergantian musim

selalu diselingi oleh musim Pancaroba yang

merupakan transisi dari kedua musim terseb ut.

Musim Barat umumnya berlangsung dari

(18)

bulan Desember sampai dengan bulan Maret,

sedangkan pada bulan April merupakan masa

transisi ke musim Timur dan musim Timur

berlangsung dari bulan Mei sampai dengan

bulan Oktober disusul oleh masa pancaroba

pada bulan Nopember yang merupakan

transisi ke musim Barat

(Pemkot Ambon

2009)

.

Gambar 5

Peta Kepulauan Maluku

(BPMD 2007)

III. METODOLOGI

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan

Februari sampai dengan Juni 2009 bertempat

di Laboratorium Meteorologi dan Pencemaran

Atmosfer Departemen Geofisika dan

Meteorologi IPB serta di Badan Meteorologi,

Klimatologi dan Geofisika Pusat Jakarta

Bagian Informasi Meteorologi Publik.

3.2. Data dan Peralatan

Data yang digunakan dalam penelitian ini

yaitu :

a.

Data observasi harian curah hujan (CH

obs), T max, T min, RH max dan RH

min kota Ambon, Jakarta dan Padang

tahun 2008.

b. Data output NWP produk The National

Weather Service's National Centers for

Environmental Prediction (NCEP) tahun

2008 untuk kota Ambon, Jakarta dan

Padang yang masing-masing diwakili

oleh Stamet penerbangan Pattimura (128

0

BT, 3.70

0

LS), stamet penerbangan

Tabing (100.35

0

BT, 0.88

0

LS) dan

stamet Kemayoran (106.50

0

BT, 6.11

0

LS) yang diambil dari situs

http://www.arl.noaa.gov/READYamet.ht

ml.

Parameter-parameter NWP yang digunakan

dalam penelitian ini merujuk pada tulisan

Tereza Cavazos dan Bruce Hewitson (2002)

yang berjudul ”Relative Performance of

Empirical Predictors of Daily Precipitation”

dan dimuat dalam Tabel 1. Analisis data

dalam studi ini menggunakan software

MINITAB 13 dan Microsoft Office 2007.

3.3. Metode Penelitian

3.3.1. Karakteristik Output Model NWP

1. Melakukan analisis korelasi (r) antara

data parameter output NWP.

? ?

? s ? ? ? s ? s ?

? ? s ?

?

? ?s ? ?

?

? ? s ?

?

? ?s ? ?

?

2. Mencari nilai ragam dan rataan tiap

parameter NWP.

? ??

s ?

?

? ? ?

s ?? ? ? ??

? ? ?

?

3. Analisis fungsi sebaran

4. Persistensi angin

Hitung vektor angin resultan

???

??? ? ? ? ? ??? ? ? ??? ??

????? ? ??????? ?????? ???

Kecepatan angin rata-rata :

??????

Persistensi :

?????? ???????

3.3.2. Post Processing Output Model NWP

1. Menentukan waktu pengamatan (jam)

untuk parameter NWP disesuaikan

dengan peubah respon (prediktor). Untuk

prediktan Tmax dan RH max pada hari

ke-t digunakan waktu pengamatan pada

jam 06 UTC. Untuk prediktan Tmin dan

RH max digunakan waktu pengamatan

pada jam 18 UTC.

2. Mencari parameter-parameter output

model NWP yang berk orelasi tinggi dan

nyata dengan curah hujan, Tmax, Tmin,

RH max dan RH min.

3. Melakukan analisis komponen utama

(Principal Compenent Analysis / PCA)

untuk menghilangkan masalah

multikolinieritas jika ada.

4. Membangun regresi linear berganda dari

komponen utama

yang terbentuk.

Regresi linear berganda yang dibentuk

adalah sebagai berikut :

(19)

? ? ?

?

? ? ?

? ? ?? ?

? ?

??

? ?

??

j = 1, 2, 3, ..., n

dimana,

ß

0

adalah konstanta regresi, ß

i

koefisien regresi peubah prediktor PC ke-i, k

adalah banyaknya peubah prediktor, dan n

adalah banyaknya pengamatan.

5. Plot nilai y dan

?? serta hitung nilai

RMSE dan MAE.

Root Mean Square Error (RMSE)

RMSE =

?

s ???? ?? ??

? ?

?? ?

?

?

? adalah nilai dugaan (ramalan) ke-i, yi

?

merupakan nilai observasi ke-i, dan n

banyaknya observasi.

Mean Absolut Error (MAE)

MAE =

?

?

s

??? ?

??

?

? ??

?

?

6. Cari faktor koreksi untuk mendekatkan

nilai ramalan dengan nilai observasi.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Numerical Weather Prediction (NWP)

Banyak sekali model NWP yang tersedia dan

dapat digunakan saat ini. M odel yang satu

dengan lainnya tidak menghasilkan output

yang persis sama, hal ini dikarenakan oleh :

(1). Metode numerik yang digunakan untuk

mencari solusi dari persamaan non linear

pergerakan atmosfer berbeda-beda antara satu

model dengan lainnya; (2). Asumsi yang

digunakan berbeda-beda pada tiap model

NWP.

Model NWP yang digunakan dalam

penelitian ini merupakan model GDAS1

(Global Data Assimilation System) buatan

The National Weather Service's National

Centers for Environmental Prediction (NCEP)

milik USA. GDAS1 dijalankan 4 kali dalam

sehari yaitu pada 00, 06, 12 dan 18 UTC.

Output dari model ini yaitu untuk waktu

analisis dan forecast 3, 6 dan 9 jam. GDAS1

merupakan model skala global dengan waktu

peramalan 3 jam-an dan ukuran grid 1 derajat

lintang-bujur (1 derajat ˜ 1 10 km).

Suatu intepretasi ulang perlu dilakukan

terhadap output NWP sebelum

menggunakannya dalam peramalan cuaca.

Tabel 1 Variabel NWP dalam beberapa level tekanan

Sirkulasi Kelembaban Ketebalan

Permukaan:

Tekanan Permukaan Laut (slp)

Komponen angin zonal dan meridional (u0, v0) Suhu (T0)

Suhu Titik Embun (DP0)

RH (rh0) 500 – 1000 hPa (th1)

850-hPa:

Ketinggian Geopotensial (z8)

Komponen angin zonal dan meridional (u0, v0) Komponen angin vertikal (vv8)

RH (rh8) 500 – 850 hPa (th8)

700-hPa:

Ketinggian Geopotensial (z7)

Komponen angin zonal dan meridional (u7, v7) Komponen angin vertikal (vv7)

RH (rh7)

500-hPa:

Ketinggian Geopotensial (z5)

Komponen angin zonal dan meridional (u5, v5) Komponen angin vertikal (vv5)

RH (rh5)

200-hPa:

Ketinggian Geopotensial (z2) Komponen angin vertikal (vv2)

(20)

Gambar 6

Ilustrasi perbedaan antara dunia nyata (a) dengan representasinya dalam model

NWP (b). (Linacre dan Greets, 2003).

Berikut ini merupakan tiga alasan mengapa

intepretasi ulang terhadap output NWP sangat

penting bagi praktik peramalan cuaca (Wilks

2006):

Terdapat perbedaan penting antara

keadaan bumi sebenarnya dengan

representasinya dalam model NWP

seperti terlihat dalam Gambar 6. Model

NWP menyederhanakan dan

menghomogenkan kondisi permukaan

dengan merepresentasikan dunia sebagai

sebuah array dari suatu gridpoint. Seperti

terlihat dalam Gambar 6, efek penting

dalam skala kecil (seperti topografi dan

badan air kecil) untuk cuaca lokal

mungkin tidak tercakup dalam model

NWP. Begitu juga lokasi dan

variabel-variabel untuk peramalan cuaca tertentu

yang dibutuhkan, mungkin saja tidak

direpresentasikan dengan baik oleh

model NWP.

Model NWP bukanlah merupakan

penyajian yang lengkap dan benar dari

keadaan atmosfer dan peramalannya

tidak terlepas dari kesalahan. Tapi

biasanya kesalahannya sistematik,

peramalan statistik yang berlandaskan

informasi NWP dapat mengganti dan

mengoreksi penyimpangan peramalan

yang terjadi.

NWP merupakan model deterministik,

maksudnya walaupun keadaan atmosfer

merupakan satu kesatuan yang tidak

pasti, suatu integrasi tunggal NWP dapat

memproduksi hanya satu peramalan

untuk suatu unsur meteorologi tertentu.

Prediksi cuaca secara numerik pada tiap titik

di atmosfer membutuhkan kemampuan

komputer yang sangat besar. Hal tersebut

tentu saja tidak mungkin dilakukan. Sebagai

gantinya, digunakan prediksi numerik untuk

lokasi dengan jumlah terbatas yang ukurannya

sama satu dengan lainnya yang disebut

dengan grid point (Gambar 7).

NWP didasarkan pada persamaan yang

memprediksi perubahan temperatur,

kelembaban, velocity, dsb pada tiap titik (grid

point) dari sebuah kotak -kotak imajiner tiga

dimensi. Kemudian satu set persamaan yang

disederhanakan yang disebut primitive

equation digunakan untuk mendeskripsikan

hukum dasar pergerakan fluida dan

menghitung perubahan kondisi atmosfer

dalam kotak-kotak tersebut. Kondisi atmosfer

disumsikan sama di sekitar masing-masing

grid point dalam NWP.

(21)

Tiap masing – masing grid point berisi nilai

rata – rata untuk volume udara yang

melingkupinya yang biasa disebut grid cell

atau grid volume. Ukuran dari grid cell dalam

koordinat Cartesian adalah

x,

y, dan

z

(Gambar 7). Nilai yang biasa digunakan

adalah

x =

y = puluhan hingga ratusan km,

sedangkan

z = puluhan hingga ratusan meter.

Salah satu pengaturan yang umum digunakan

adalah untuk merepresentasikan variabel

termodinamik seperti suhu potensial (

θ

),

kelembaban spesifik (q), keawanan, dsb, di

tengah grid cell. Vertical velocity berada di

atas dan bawah grid cell untuk

mengindikasikan aliran vertikal (w) yang

melintasi pembatas sel tersebut. Demikian

pula u dan v pada sisi lainnya untuk

mengindikasikan aliran yang menyeberangi

lapisan pembatas sel lainnya (Gambar 7).

Gambar 8 menunjukkan contoh dua dimensi

dari grid cell.

Gambar 8 Grid Cell dua dimensi dalam

Model NWP (Stull 2000).

Salah satu contoh persamaan fisik dari

adveksi suhu adalah :

? ?

? ?

? ? ?

? ?

? ?

?

? ?

? ?

?

????

? ?

? ?

??

??

? ?

? ?

? ?

?

?

??

? ?

?

? ? ? ? ?

? ?

? ?

??

? ?

? ?

? ?

? ?

?

?

? ?

? ?

?

? ? ? ? ??

?

?

?

??

? ?

?

?

? ?

? ?

? ?

? ?

?

? ?

? ?

?

?

? ?

? ?

? ?

? ?

??

?

? ?

? ?

?

????? ?

?

?

? G? ?

??

??

??

? ?

? ?

? ?

?

? ?

? ?

??

? ?

? ?

??

??

? ?

? ?

?

? ?? ? ? ?? ? ? ?? ? ? ??

? G? ?

?

? ?

?? ? ? ?? ? ?

? ?

?? ? ? ?? ?

? ?

??

? ??

? ?

? ??

? ?

? ?

? ?

? ? ?

? ?

? ??

? ?

? ?

? ?

??

?

Contoh kasus :

Saat t=0,

?

? ?

=25

0

C. Saat t=15 menit,

?

? ?

=26

0

C,

?

? ?

= 25.1

0

C,

?

??

= 24

0

C,

?

? ?

=

?

? ?

= 5

m/s. Buat prediksi numerik suhu potensial

?

??

saat t=30 menit, jika jarak

? ? = 50 km.

Solusi :

Diketahui :

? ? = 15 menit, ? ? = 50 km,

U = 5 m/s = 0.3 km/menit

Ditanyakan :

?

??

= ?

0

C saat t = 30 menit

?

? ?

?? ? ? ?? ? ? ?

?

? ?

?? ? ????

? ? ? ?

??? G?

? ????

? ?

? ??? ? ? ? ?G? ?

? ??? G? ? ? ??

?

? ?

?

? ?

?? ? ? ?? ? ? ?

?

? ? ?G? ?

?

? ? ? ? G??

?

?

Prediksi cuaca yang biasa dilakukan adalah

untuk menentukan apakah suatu daerah akan

hujan atau tidak. Langkah pertama adalah

dengan membuka beberapa link untuk melihat

produk NWP dari beberapa Negara. Produk

NWP yang dapat digunakan misalnya dari

Australia (Bureau of Meteorology), Korea

(KMA), Perancis (Meteo France), USA

(NCEP), dan Jepang (JMA). Produk NWP

yang paling s ering digunakan di Indonesia

adalah produk dari Australia karena letaknya

dekat dengan Indonesia sehingga model NWP

produk Australia diharapkan lebih cocok

untuk wilayah Indonesia. Terkadang

digunakan pula produk model NWP dari

Korea atau Jepang sebagai pembanding.

Forecaster juga perlu memperhatikan faktor –

faktor regional di sekitar daerah prediksi

misalnya apakah ada monsoon, siklon, badai

tropis, eddy ataukah MJO di sekitar wilayah

Indonesia yang dapat mempengaruhi

dinamika cuaca. Faktor regional lain yang

biasa dilihat adalah Surge Index. Surge Index

merupakan perbedaaan tekanan permukaan

laut antara Hongkong dengan Gushi (Cina).

Jika surge index bernilai lebih dari 10, maka

diramalkan bahwa dalam waktu sekitar 1

hingga 2 hari lagi, massa udara dari daerah

Cina akan masuk ke wilayah Indonesia.

Faktor regional lain yang biasanya dilihat

walaupun jarang digunakan adalah Dipole

Mode Index (DMI). DMI merupakan

perbedaan suhu permukaan antara Samudera

Hindia sebelah barat dengan Samudera Hindia

sebelah timur (suhu permukaan di sebelah

x

x

x

x

x

x

x

x

x

x

x

x

x

x

x

x

o

o

o

o

o

o

o

o

o

o

o

o

o

o

o

1

2

3

4

3

2

1

(22)

barat dikurang suhu permukaan di sebelah

timur). Apabila DMI bernilai positif berarti

daerah Indonesia bersuhu lebih dingin yang

berarti kering (kemungkinan tidak hujan),

sedangkan sebaliknya apabila bernilai negatif

berarti Indonesia bersuhu lebih panas

(kemungkinan terjadi hujan) (Gambar 9).

Gambar 9 Dipole Mode Index.

Dalam melihat faktor regional tersebut harus

diperhatikan komponen regional lain yang

lebih kuat. Pada saat musim transisi, pengaruh

regionalnya sedang lem ah sehingga kondisi

lokal lebih mempengaruhi terbentuknya hujan.

Kondisi lokal yang diperhatikan misalnya jika

pagi hari cerah, RH tinggi, perubahan suhu

antara jam 7 dan 10 pagi ± sebesar 4

0

C maka

ada kemungkinan terbentuk awan Cb yang

dapat mengakibatkan terjadinya hujan lokal

yang deras dan berpotensi petir.

Kondisi lokal yang perlu diperhatikan yaitu:

Vertical Vorticity

Vortisitas dilihat untuk mengetahui apakah

ada gaya angkat ke atas atau tidak. Untuk di

belahan bumi selatan (BBS), jika vortisitasnya

bernilai negatif (-) maka di daerah tersebut

terdapat gaya angkat ke atas. Sedangkan untuk

di belahan bumi utara (BBS) jika vortisitasnya

bernilai positif (+) maka di daerah tersebut

terdapat gaya angkat ke atas dan berpeluang

hujan.

Up motion

Jika Up motion bernilai positif (+) maka

pergerakan udara ke atas baik. Parameter ini

dilihat pada tiga ketinggian yang berbeda

yait u 700 mb, 500 mb dan 200 mb. Ketiga

ketinggian tersebut masing – masing mewakili

lapisan atmosfer rendah, sedang dan tinggi.

Apabila di ketiga lapisan tersebut terdapat up

motion, berarti terdapat pergerakan massa

udara ke atas hingga mencapai lapisan

atmosfer tinggi.

K – Index

K – Index ini digunakan untuk melihat gerak

konvektif massa udara. Berikut ini merupakan

klasifikasinya :

Tabel 2 Operasional Penting dari KI (Haby

2009)

K Index

15 - 25

Potensi konveksi kecil

26 - 39

Potensi konveksi sedang

40 +

Potensi konvektif tinggi

Lifted – Index

Lifted – Index merupakan perbedaan suhu

parsel udara yang bergerak naik secara

adiabatik dengan suhu lingkungannya yang

terjadi pada tekanan udara tertentu di

troposfer (lapisan atmosfer terendah dimana

berbagai gejala cuaca terjadi), biasanya pada

500 mb. Jika nilainya positif, maka atmosfer

berada dalam kondisi stabil (tidak ada gaya ke

atas), sebaliknya jika bernilai negatf maka

atmosfer sedang berada pada kondisi tidak

stabil (terdapat gaya angkat ke atas) yang

mempunyai peluang terbentuknya hujan.

ü LI > 6 : Kondisi sangat stabil

ü LI antara 1 dan 6 : kondisi stabil,

Thunderstorms tidak mungkin

ü LI antara 0 dan -2 : agak tidak

stabil, Thunderstorms mungkin,

terjadi mekanisme pengangkatan

ü LI antara -2 dan -6 : tidak stabil,

Thunderstorms sangat mungkin,

beberapa thunderstorm diikuti

dengan mekanisme pengangkatan

ü LI kurang dari -6: Sangat tidak

stabil, thunderstorms diikuti dengan

mekanisme pengangkatan

Showalter – Index

Nilai SI ini digunakan untuk melihat ada atau

tidaknya kejadian thunderstorm. Klasifikasi

nilai untuk SI adalah sebagai berikut :

ü SI > 3 : troposfir stabil, tidak ada

badai (Shower)

ü 1 < SI < 3 : kecil peluang terjadi

hujan badai, konveksi lemah, ada

hambatan, lapisan stabil

ü -3 < SI < 1

: hujan badai

meningkat, troposfir tidak stabil

lemah

ü -6 < SI < -3

: hujan badai hebat,

troposfir tidak stabil

ü SI < -6 : Hujan badai tornado,

troposfir sangat tidak stabil

CAPE (Convective Available Potential

Energy)

(23)

CAPE merupakan jumlah energi yang akan

dimiliki oleh sebuah parsel udara jika

diangkat secara vertikal pada jarak tertentu di

atmosfer. CAPE bisa menggambarkan

buoyancy positif dari sebuah parsel udara dan

dapat mengindikasikan ketidakstabilan

atmosfer.

Tekanan Udara

Perlu dilihat apakah daerah kajian berada pada

daerah tekanan tinggi atau rendah. Jika

tekanannya rendah, maka berpeluang

mengalami cuaca buruk sehingga peluang

terjadinya hujan juga lebih besar dan

sebaliknya.

Relative Humidity (RH)

Parameter ini dilihat untuk melihat peluang

terjadinya kondensasi yang mempengaruhi

terjadinya presipitasi. Kelembaban udara juga

dilihat pada tiga ketinggian yaitu 850 mb, 700

mb dan 500 mb, kelembaban udara hanya

dilihat sampai lapisan atmosfer sedang

(menengah) saja. Hal ini disebabkan oleh

pertumbuhan awan hujan yang biasanya hanya

terjadi pada layer bawah hingga menengah.

Jika kelembaban udara cukup tinggi hingga di

lapisan menengah, maka peluang terjadinya

hujan sangat besar. Di Indonesia terdapat

patokan atau kebiasaan bahwa hujan akan

terjadi jika pada lapisan 850 mb terdapat RH =

80 %, lapisan 700 mb terdapat RH = 60 % dan

lapisan 500 mb terdapat RH = 50 %.

Komponen angin

Komponen angin yang dilihat adalah

kecepatan dan arah angin. Parameter ini

biasanya dilihat pada lapisan 850 mb dan 500

mb. Misalnya pada daerah kajian terdapat

pertemuan angin dan kecepatan angin yang

berkurang, maka hal ini menandakan adanya

konvergensi yang memungkinkan terjadinya

hujan. Jika pada lapisan 850 mb dan 500 mb

terdapat perbedaan arah angin, maka berarti

ada gerakan udara ke atas. Jika pertumbuhan

awan banyak, namun kecepatan angin terlalu

kencang (tinggi), maka dipastikan hujan tidak

akan terjadi.

Prediksi cuaca dapat dilakukan dengan

mengintepretasi output model NWP. Sebagai

contoh, akan dilakukan prediksi cuaca kota

Jakarta untuk tanggal 21 Agustus 2009

dengan memanfaatkan produk forecast model

NWP dari KMA (Korea Meteorological

Administration). Prediksi cuaca dilakukan

dengan mengintepretasi Gambar 10 sampai

Gambar 15. Gambar 10, menunjukkan peta

sebaran pressure velocity (700 mb) dan suhu

(850 mb). Secara umum, nilai pressure

velocity tinggi pada daerah – daerah yang

bersuhu lebih hangat. Sementara itu, angin

cenderung bertiup dari arah timur ke barat. Di

kota Jakarta sendiri, pressure velocity bernilai

0.

Nilai K – Index secara umum lebih besar di

daerah utara equator daripada di daerah

selatan (Gambar 11). Hal ini disebabkan

karena pada bulan Agustus matahari sedang

berada di Belahan Bumi Utara (BBU). Kota

Jakarta memiliki nilai K – Index antara 20 –

25. Parameter selanjutnya yaitu Lifted Index

(Gambar 12). Nilai lifted Index bernilai

negatif di sekitar equator dan semakin

menjauhi equator nilainya semakin positif.

Lifted Index bernilai -1 hingga 0 di kota

Jakarta. Sementara itu nilai Showalter Index

berkisar antara 2 hingga 3 di kota Jakarta

(Gambar 13) .

MSLP (Mean Sea Level Pressure) kota

Jakarta bernilai antara 1012 sampai 1014 mb

sehingga termasuk daerah tekanan tinggi dan

presipitasinya bernilai 0. Secara umum,

Gambar 14 menunjukkan bahwa presipitasi

bernilai tinggi pada daerah – daerah pusat

tekanan rendah. Sementara itu, Gambar 15

menunjukkan pergerakan moisture flux yang

bergerak menuju daerah – daerah konvergensi

tinggi. Kota Jakarta memiliki nila konvergensi

sebesar -5 hingga 0. Hasil ini menunjukkan

bahwa di kota Jakarta memiliki kondisi

atmosfer agak tidak stabil, terdapat gaya

angkat ke atas (konveksi lemah), dan

termasuk daerah tekanan tinggi. Oleh karena

itu, prediksi cuaca untuk kota Jakarta untuk

tanggal 21 Agustus 2009 adalah cerah hingga

berawan .

(24)

Gambar 10 Suhu dan Pressure Velocity

Gambar 11 K – Index

(25)

Gambar 13 Showalter – Index

Gambar 14 MSLP

Gambar

Gambar 1. Peta sebaran pola curah hujan Indonesia (Kadarsah 2007)
Gambar 3  Peta Sumatera Barat   (bulekbasandiang 2009)   Kota Padang memiliki beberapa aliran sungai,  baik yang besar maupun yang kecil  (anak-anak sungai) yang semuanya mengalir ke arah  barat menuju Samudera Indonesia
Gambar 4. Peta Kota Jakarta (Dimas 2009)  c. Kota ambon
Gambar 5  Peta Kepulauan Maluku    (BPMD 2007)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tanjung Pandan Tanjung Pandan BKP Kelas II Pangkal Pinang 26.. Panjang Bandar Lampung BKP Kelas I Bandar

Menyediakan rencana pengelolaan (management plan) jangka panjang kurun waktu 10 tahun (2015-2024) untuk mengarahkan pelaksanaan pengelolaan kawasan hutan pada setiap blok

keperluan surnber air bersih oleh masarakat di daerah Jakarta Utara yang seluruhnya terkontaminasi air payau dan asin adalah sangat sediikit. Penggunaan air bersih yang

Dalam rangka penerapan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 dan penyediaan dan pelayanan informasi publik, PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi) BPKAD

Hasil karya fotografi kuliner sebanyak 8 lembar karya yang dikemas dalam pigura berukuran medium berwarna putih dan dimuat dalam katalog yang menjelaskan info grafis tentang

Alexander Graham Bell, adalah Penemu Telepon, Saat ini komunikasi Alexander Graham Bell, adalah Penemu Telepon, Saat ini komunikasi antar manusia makin mudah karena

Berdasarkan hasil penelitian alternatif pilihan prioritas strategi pada pengembangan usaha penangkaran satwa yang mengutamakan jasa lingkungan di bidang konservasi khususnya

Pada penilaian terhadap sifat organoleptik bakso terhadap parameter aroma dan rasa menunjukkan bahwa keberadaan formalin tidak memberikan pengaruh nyata, sedangkan untuk