• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONEKTIFITAS PEMIKIRAN NABIA ABBOTT DAN IGNAZ GOLDZIHER DALAM KRITIK HADITS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONEKTIFITAS PEMIKIRAN NABIA ABBOTT DAN IGNAZ GOLDZIHER DALAM KRITIK HADITS"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 16, Nomor 2, Desember 2016

93

KONEKTIFITAS PEMIKIRAN NABIA ABBOTT

DAN IGNAZ GOLDZIHER DALAM KRITIK HADITS

Fithrotin1

asti.fithroh@gmail.com

ABSTRAK

Studi pemikiran orientalis terhadap hadits selalu menarik untuk dikaji. Pemikiran mereka membuat kajian ilmu hadits menjadi lebih menarik dan berwarna. Salah satunya adalah ketika mengkaji dua tokoh orientalis yang memilki alur pemikiran yang berbeda, seperti Ignaz Goldziher dan Nabia Abbott. Ignaz Goldziher selalu memberikan kritikan tajam terhadap bangunan keilmuan hadits. Pemikirannya terhadap hadits selalu bertentangan dengan ulama’ hadits. Dia menuduh bahwa keberadaan hadits selama ini sudah tidak orisinil lagi. Sebaliknya, pemikiran Nabia terhadap hadits cendrung lebih lunak dan tidak kaku. Secara garis besar pemikiran Nabia menguatkan pemikiran ulama’ hadits selama ini. Bahkan Nabia mengakui bahwa kegiatan penulisan hadits sudah ada semenjak Nabi masih hidup. Yang menjadi menarik untuk dikaji, Ignaz dan Nabia sama-sama orientalis yang selalu menggunakan paradigma Barat dalam mengkaji hadits. Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana relasi dan konektivitas antara kedua orientalis tersebut, serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kesamaan pemikiran di antara keduanya. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa terdapat beberapa kesamaan pemikiran antara Nabia Abbott dan Ignaz Goldziher dalam kritik hadits. Kesamaan pemikiran tersebut sebagian besar dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti faktor agama, kajian keilmuan, imperialisme, skeptisme, world view dan geografis.

Kata Kunci: Goldziher, Nabia, dan konektifitas

(2)

Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 16, Nomor 2, Desember 2016

94 A. PENDAHULUAN

Problematika dalam hadits terasa semakin kompleks ketika hadits yang berperan sebagai sumber hukum dalam Islam diriwayatkan secara dzanni al wurud, tidak seperti al Qur’an yang diriwayatkan secara qat’i al wurud. Apalagi rentang waktu kodifikasi hadits yang terpaut sangat jauh dengan kemunculan hadits, yaitu hampir seabad lamanya. Dua faktor inilah yang cenderung mendominasi alasan dan sikap para orientalis melakukan pengkajian secara intens terhadap hadits.

Berbagai kalangan secara intens mengkaji hadits, temasuk para orientalis yang kebanyakan memulai penelitiannya dari sikap skeptis. Kajian-kajian yang dilakukan orientalis terhadap Islam tidak diragukan lagi menimbulkan sikap pro dan kontra di kalangan internal muslim, ada yang

memandang positif dan negative.2

Namun para orientalis tidak pernah melakukan kajian secara teliti dan detail terhadap aliran agama selain Islam. Mereka tidak menunjukkan sikap

2 Erwin Hafid, Mustafa Azami dan

Kritik Pemikiran Hadits Orientalis, (Majalah al

Fikr vol: 14, no: 2, 2010), 232.

skeptis ketika mempelajari agama Budha, Kong Hu Cu, dan filsafat-filsafat karya manusia. Mereka mau bersikap jujur ketika mengkaji obyek-obyek tersebut, mereka bersikap menutupi dan skeptis ketika mengkaji Islam. Pemikiran dan mental mereka tidak lagi berjalan lurus. Islam tidak lagi dikaji dengan norma-norma ilmiah, tetapi dianggap sebagai pesakitan yang harus diadili. Sebagian dari orientalis mengajukan berbagai tuduhan kejahatan yang dilakukan oleh Islam, termasuk pula merekayasa cerita-cerita yang penuh dengan kebohongan untuk

menguatkan tuduhannya.3

Adalah Ignaz Goldziher, yang disebut-sebut oleh Mustafa al A’dzami sebagai orientalis pertama yang melakukan kajian hadits melalui

karyanya yang berjudul Muhamedanische Studien pada tahun

1980.4 Dari kajiannya tersebut,

Goldziher telah menanamkan sikap keragu-raguannya terhadap otentisitas hadits yang dilengkapi dengan

3 Sa’aduddin al Sayyid Shalih, Jaringan

Konspirasi Menentang Islam terj. Muhammad Thalib, (Yogyakarta: Wihdah Press, 1999), 124.

4 Idri, Studi Hadits, (Jakarta: Prenada

(3)

Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 16, Nomor 2, Desember 2016

95 studi ilmiah yang dilakukannya sehingga karyanya dianggap sebagai kitab suci oleh para orientalis

setelahnya5 Semenjak itu, karya

Goldziher menjadi rujukan bagi orientalis-orientalis setelahnya ketika mengkaji hadits.

Diantara beberapa pandangannya terhadap hadits adalah

kritik hadits dinilainya tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kritik hadits sebenarnya telah dilakukan sejak dahulu, namun kritik-kritik tersebut masih perlu dikaji ulang karena metode yang digunakan lemah. Para ulama terdahulu lebih banyak menggunakan kritik sanad dan mengabaikan kritik matan, dan kritik semacam ini, menurut Goldziher hanya mampu mengeluarkan sebagian hadits palsu saja.6

Menurutnya hadits sudah tidak orisinil berasal dari Muhammad karena hadits telah banyak dipalsukan dengan berbagai motif dan tujuan. Goldziher beranggapan bahwa keberadaan hadits telah banyak dipalsukan oleh generasi

5 Ali Mustafa Ya’kub, Kritik hadits,

(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), 8.

6 Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A.

Juynboll: Melacak Akar Kesejarahan Hadits,

(Yogyakarta: LKiS, 2007), 116.

setelah Muhammad. Setelah Muhammad wafat, para sahabat banyak menambahkan ucapan-ucapan yang dianggap bermanfaat agar diikuti oleh generasi berikutnya. Ucapan tersebut kemudian disandarkan kepada Muhammad agar terlihat lebih

menguatkan dan meyakinkan.7

Beberapa sahabat yang dianggap oleh Goldziher sebagai pemalsu hadits adalah Mu’awiyah bin Abi Sufyan, al Mughirah bin Shu’bah, ‘Abdullah bin Mas’ud dan Abu Hurairah.8

Bagi Goldziher, hadits yang selama ini kita ketahui melalui periwayatan generasi Islam terdahulu mengandung sebuah pesan dari materi kuno, materi yang kemungkinan tidak murni berasal dari Muhammad, melainkan dari generasi setelahnya yang memiliki otoritas, kemudian mereka membuat hadits. Terdapat hubungan yang renggang dan jarak yang bertempo dari kemunculan hadits itu sendiri. Hubungan yang renggang dan jarak yang bertempo tersebut tentunya memberikan kesempatan bagi

7 Ignaz Goldziher, Introduction to

Islamic Theology and Law, (New Jersey:

Princeton: Princeton University Press), 173.

(4)

Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 16, Nomor 2, Desember 2016

96 generasi Islam selanjutnya untuk membuat hadits palsu berikut rangkaian periwayat dengan melibatkan orang-orang yang dianggap memiliki otoritas yang unggul sampai kemudian mencapai otoritas tertinggi, yaitu

Muhammad serta menggunakan

mereka untuk membuktikan kebenaran pesan dan doktrin. Hal demikian menunjukkan lemahnya sebuah hadits atau bahkan keseluruhan hadits.9

Selanjutnya adalah Nabia Abbott. Dalam memahami hadits, Nabia Abbott terkesan luwes dan lunak, tidak sekaku pendapat Goldziher. Beberapa pandangannya terhadap hadits sejalan dengan pandangan para ulama’ hadits, meskipun tidak menafikan beberapa pandangannya yang diduga memiliki konektifitas dan sejalan dengan pandangan Goldziher. Diakui oleh Nabia, Muhamad adalah figur sentral yang telah berhasil menjadi teladan bagi generasi setelahnya, membangun masyarakat yang komunitasnya heterogen menjadi satu kesatuan masyarakat utuh yang tunduk pada satu peraturan yang sama. Ditambah

9 Ibid., 38-39.

lagi dengan kehadiran hadits dan sunnah, Muhammad menjadi teladan idaman tersendiri dalam memberikan motivasi kepada para pengikutnya untuk selalu memperhatikan larangan dan mengikuti petunjuknya, baik dalam urusan kemasyarakatan maupun dalam lingkup pribadi.10

Bagi Nabia, untuk mengatakan bahwa semua jalur isnad patut untuk dicurigai dan diragukan keotentikannya, adalah hal yang tidak mendasar dan tidak dapat dibenarkan. Karena keberadaan para ahli hadits yang meriwayatkan haditsnya melalui isnad family tidak bisa dipisahkan dari kenyataan bahwa mereka pun juga menuliskan dan membukukan hadits hingga berbentuk manuskrip hadits, dan hal ini menjadi penyokong dan bukti kuat bahwa kegiatan penulisan hadits sudah dimulai semenjak awal perkembangan Islam, bahkan ketika Muhammad masih hidup. Beberapa sahabat yang tercatat dalam sejarah sebagai orang-orang hebat yang

mendokumentasikan hadits,

10 Nabia Abbott, Studies in Arabic

Literary Papyri I: Historical Text, (Chicago: The

(5)

Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 16, Nomor 2, Desember 2016

97 diantaranya seperti Zaid ibn Thabit dan Ibn ‘Umar.11

Dari beberapa sisi di atas, pandangan Goldziher dan Nabia terhadap hadits bertentangan, salah satunya bisa kita lihat dari pendapat keduanya tentang orisinalitas dan kemunculan hadits. Jika Goldziher secara tegas meragukan keberadaan hadits, bahkan mengangggap hampir semua hadits yang telah beredar adalah dusta karena hadits sebenarnya muncul pada abad kedua dan ketiga Hijriyah. Berbeda dengan Nabia, orientalis ini meyakini orisinalitas hadits karena pada masa abad pertama Hijriyah hadits telah eksis, bahkan pada masa tersebut sudah ada kegiatan penulisan hadits yang dilakukan oleh para sahabat.

Penelitian ini menggunakan model penelitian kualitatif, yaitu jenis penelitian yang temuannya tidak diperoleh melelui prosedur kuantifikasi, perhitungan statistik, atau bentuk cara-cara lainnya yang menggunakan ukuran angka. Kualitatif juga dapat bermakna sesuatu yang berkaitan dengan aspek kualitas, nilai atau

11 Ibid., 36.

makna yang terdapat dibalik fakta. Kualitas hanya dapat diungkapkan dan dijelaskan melalui linguistic atau bahasa.12Penelitian ini mengharuskan untuk menggunakan content analysis (analisis isi) sebagai metodologi alam melakukan analisis data. Selanjutnya dilakukan telaah mendalam atas karya-karya yang memuat objek penelitian dengan menggunakan content analysis (analisis isi), yaitu suatu teknik sistematik untuk menganalisis isi pesan dan mengolahnya dengan tujuan menangkap pesan yang tersirat dari

satu atau beberapa pernyataan.13

Selain itu, analisis isi dapat juga berarti mengkaji bahan dengan tujuan spesifik yang ada dalam benak (peneliti). B. PEMIKIRAN NABIA ABBOTT

TENTANG HADITS 1. Biografi Nabia Abbott

Nabia Abbott, seorang wanita professional pada era kemerdekaan yang dilahirkan di Mardin, sebelah

12 Penelitian studi kasus, http/

Penelitianstudikasus. Blogspot. com / 2009 / 03/04/Pengertian-penelitian-kualitatif/

Pengertian penelitian kualitatif, (Selasa, 05 November 2015), 20.

13 Noeng Muhadjir, Metodologi

Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake

(6)

Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 16, Nomor 2, Desember 2016

98 barat daya Turki, pada bulan Januari 1897. Nabia bersama keluarganya sudah terbiasa hidup nomaden dengan berpindah-pindah tempat dari satu negara ke negara yang lain. Nabia dan keluarganya menempuh perjalanan jauh sampai ke daerah Mosul, berlayar dari Tigris ke Baghdad, kemudian melewati teluk Persia dan Laut Arab dan sampai di Bombay pada tahun 1907. Di Bombay, dia mengenyam pendidikan di sekolah Inggris yang berada di sana, kemudian melanjutkan pendidikannya di Universitas Cambridge pada tahun 1915. Selama perang dunia pertama berlangsung, Nabia kembali lagi ke India, kemudian melanjutkan perjalanannya ke arah selatan di perguruan tinggi Isabella Thorbom, Lucknow, yang kemudian menggabungkan diri dengan Universitas Allahabad-, dan lulus mendapatkan gelar B.A. nya dengan predikat kehormatan pada tahun 1919.14

14 Informasi seputar biografi Nabia

Abbott didapatkan dari Muhsin Mahdi, seorang professor Arab dan rektor Department of Near Eastern Languages and Civilizations di University of Chicago, Nabia Abbott (Chicago: The University of Chicago Press, ttp), 4-5.

2. Pemikiran Tentang Makna Hadits dan Sunnah

Menurut Nabia, hadits menjadi singkatan atau perpendekan kata untuk penyebutan segala yang berasal dari Muhammad yang berupa perkataan. Pada saat yang hampir bersamaan juga terdapat istilah hadis sahabat atau atsar sahabat, yang mengindikasikan untuk segala apa yang dikatakan oleh para sahabat. Selain hadis, terdapat pula istilah khabar yang dianggap oleh Nabia memiliki makna yang berbeda dengan hadis, karena khabar berisi tentang sejarah dan biografi para tokoh-tokoh terkenal yang memuat informasi-informasi yang ada kaitannya dengan disiplin intelektual kala itu.15 Nabia juga menambahkan definisi khabar dengan cerita pendek yang berisi tentang informasi dari sumber-sumber yang terpercaya.16

Hadis dan khabar sama-sama bermakna laporan atau informasi, namun secara teknik hadis berbeda

15 Nabia Abbott, Studies in Arabic

Literary Papyri II: Qur’anic Commentary and Tradition, (Chicago: The University of Chicago

Press, 1967), 4.

16 Nabia Abbott, Studies in Arabic

Literary Papyri I: Historical Text, (Chicago: The

(7)

Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 16, Nomor 2, Desember 2016

99 dengan khabar. Hadits memperoleh makna yang lebih spesifik. Penjelasan ini mengindikasikan bahwa keberadaan khabar memiliki sifat global jika dibandingkan dengan hadis. Jika term hadis bisa disandingkan dengan segala yang dikatakan oleh Muhammad berikut pula para sahabat sebagaimana di atas, maka untuk term khabar tidak hanya terbatas pada Muhammad dan para sahabat saja, melainkan juga mencakup khalayak umum. Apapun yang dikatakan oleh khalayak umum yang berisi tentang segala informasi dari sumber-sumber yang terpercaya, baik oleh Muhammad, para sahabat, tabi’in, dan generasi berikutnya bisa disebut khabar. Oleh karena itu Nabia kemudian mengerucutkan pembahasan dengan mengatakan bahwa setiap hadis adalah khabar tetapi tidak setiap khabar adalah hadis.17

Selain term hadis dan khabar, Nabia juga menjelaskan term sunnah. Menurut Nabia, cakupan term sunnah sangat luas yang meliputi tiga aspek, yaitu:

1) Sunan merupakan bentuk jamak dari sunah. Term sunah tidak hanya

17 Abbott, Qur’anic Commentary, 7.

terbatas pada apa yang dilakukan dan dipraktekkan oleh Muhammad, tetapi juga mencakup apa yang dilakukan dan dipraktekkan oleh dua khalifah sesudahnya, yaitu Abu Bakar, ‘Umar. Termasuk kategori sunah menurut Nabia Abbott adalah apa yang dilakukan dan dipraktekkan oleh orang-orang yang terlibat dalam bidang pemerintahan dibawah kendali kepemimpinan tiga orang tersebut, yaitu Muhammad, Abu Bakar dan Umar I.

2) Kata sunah juga mencakup kepada hal-hal yang berhubungan dengan administrasi pemerintahan dan praktek-praktek legal.

3) Sunah juga melibatkan dokumen-dokumen pemerintahan yang berisi petunjuk, bimbingan dan arahan bagi daerah atau provinsi yang baru ditaklukan.18

3. Pemikiran Nabia Abbott tentang Penulisan hadis

Nabia mengakui keberadaan hadis, bahkan ketika Muhammad masih hidup. Nabia menuturkan bahwa sebenarnya keberadaan hadis sudah

(8)

Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 16, Nomor 2, Desember 2016

100 ditulis ketika Muhammad masih hidup, meskipun diakui oleh Nabia bahwa gerakan penulisan tersebut masih bersifat non masiv. Saat itu hadis lebih cepat berkembang melalui sistem oral (penyampaian hadis dari lisan ke lisan), meskipun hal demikian tidak menafikan bahwa ada beberapa

sahabat yang sudah mendokumentasikannya melalui tulisan.

Kegiatan periwayatan ini terus berlanjut

bahkan sampai Muhammad wafat.19

Hadis tumbuh dan menyebar di berbagai kalangan, sehingga alur perkembangan Islam beserta kebudayaannya dapat dilacak melalui jalur hadis, karena keberadaan hadis berperan untuk merekam segala aktifitas Muhammad. Antusiasme sahabat dalam menulis dan meriwayatkan hadis sangatlah tinggi. Sikap antusiasme tersebut terus berlangsung di kalangan sahabat meskipun Muhammad sudah wafat, sampai kemudian ‘Umar I (‘Umar bin al Khattab) memberikan ultimatum dengan memberikan sangsi dan hukuman yang berat pada siapa saja yang berusaha menulis atau

19 Abbott, Qur’anic Commentary , 7.

mengumpulkan hadis.20 Dasar ‘Umar I memberikan ultimatum tersebut karena adanya kekhawatiran yang timbul ketika semangat gerakan penulisan hadis dikalangan para sahabat disejajarkan dengan gerakan penulisan al Qur’an. Agar perhatian para sahabat terhadap al Qur’an tidak terganggu, karena keberadaan al Qur’an saat itu masih belum familiar khususnya di daerah-daerah yang baru ditaklukan

oleh pasukan Islam.21 Yang

dikhawatirkan oleh ‘Umar I dinilai oleh Nabia bukanlah tanpa alasan yang mendasar, karena alasan tersebut berpotensi memunculkan bahaya dikemudian hari. Semangat sahabat dalam meneladani Nabi dan sikap antusiasme mereka dalam menuliskan hadis harus segera dihentikan agar tidak mengabaikan penulisan al Qur’an.

Kekhawatiran ini memunculkan sebuah instruksi dan ultimatum dari ‘Umar I sendiri untuk mengirimkan utusan ke Kuffah guna memperingatkan penduduk dan sahabat agar lebih mengutamakan

20 Abbott, Historical Text, 7.

(9)

Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 16, Nomor 2, Desember 2016

101 penulisan dan pembukuan al Qur’an dari pada hadis.

Dukungan dan sikap kooperatif para sahabat yang selalu merasa haus ilmu, apalagi yang berkaitan dengan pondasi agama yang berasal dari Muhammad juga memiliki porsi penting dalam menjaga keberadaan hadis agar tidak lenyap, terutama bagi beberapa sahabat yang dekat dengan Nabi, seperti Anas bin Malik, ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘As, Ibn ‘Abbas, Abu Hurairah. ‘Amr ibn Hazm al Ansari, salah satu sahabat yang dekat dengan Muhammad, memulai koleksi hadis dengan menuliskan beberapa hadis tentang sedekah, warisan dan beberapa topik lainnya yang dia terima secara langsung dari Muhammad pada tahun 631 H ketika penunjukannya ke Najran guna menginstruksikan kepada masyarakat Najran untuk mengumpulkan pajak dan zakat.

Beberapa fakta yang dikemukakan oleh Nabia Abbott untuk memperkuat teorinya bahwa gerakan penulisan hadis sudah terjadi bahkan ketika Muhammad masih hidup. Saat itu para sahabat sudah memiliki semangat yang sangat tinggi untuk

menuliskan segala hal yang berkaitan dengan kehidupan Muhammad, baik dalam hal ibadah, mu’amalah, akhlak, dan sebagainya.

Pernyataan Nabia tersebut sebagai bukti bahwa hadis sebenarnya telah eksis dan berkembang pada masa awal Hijriyah, bahkan ketika Rasulullah masih hidup. Banyak para sahabat yang terlibat di dalamnya. Semangat penulisan dan pendokumentasian hadis tidak terhenti

begitu saja ketika masa sahabat telah berakhir. Semangat itu diwariskan oleh para sahabat kepada generasi berikutnya, yaitu tabi’in. Rentetan periwayatan hadis yang bersambung sejak generasi pertama sampai generasi mukharrij hadis menjadi bukti dan penguat bahwa keaslian hadis bisa dibuktikan dan dibenarkan keberadaannya. Inilah yang dipercayai oleh Nabia dan dianggapnya sebagai sebuah kebenaran yang sesuai dengan bukti yang ada.

(10)

Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 16, Nomor 2, Desember 2016

102

C. A

NALISIS KONEKTIFITAS DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MELATARBELAKANGI

PEMIKIRAN NABIA ABBOTT DAN IGNAZ GOLDZIHER TENTANG HADITS

Hadits menurut Goldziher tidak hanya dipandang sebagai dokumen sejarah semata, melainkan juga sebagai refleksi yang muncul dari berbagai kecenderungan, kemudian berkembang menjadi sesuatu yang terorganisir, rapi dan memiliki kekuatan hukum.22 Bagi Goldziher, hadits tidak hanya berasal dari ucapan Nabi Muhammad, melainkan juga berasal dari gagasan-gagasan masyarakat muslim yang memiliki kecenderungan tertentu.23 Goldziher juga menegaskan bahwa hadits tidak lebih dari sekedar produk perkembangan agama, sejarah dan dimensi sosial Islam yang muncul pada abad pertama dan kedua Hijriyah.24 Sedangkan menurut Nabia, hadits dimaknai dengan segala yang berasal dari Muhammad yang berupa

22 Ignaz Goldziher, Muslim Studies:

Muhammedanische Studien, (Chicago: State

University of New York Press, 1971), vol: 2, 19.

23 Ibid., 19. 24 Ibid., 16.

perkataan. Kemudian Nabia memperluas maknanya dengan mengatakan bahwa segala yang berasal dari sahabat juga bisa dikatakan sebagai hadits, meskipun terkadang disebut dengan athar sahabat.25

Jika kita petakan secara jelas, maka yang dimaksud dengan term hadits bagi Goldziher mengandung dua makna pokok, yaitu: pertama, hadits bukan hanya berasal dari Muhammad saja, melainkan juga berasal dari masyarakat yang memiliki kecenderungan tertentu. Kedua,

kemunculan hadits disebabkan karena perkembangan agama, sejarah dan dimensi sosial dalam Islam. Sedangkan versi Nabia, term hadits hanya mengandung satu makna, yaitu segala perkataan yang berasal dari Muhammad dan para sahabatnya saja.

Dalam hal ini, Nabia mendefinisikan term hadits dengan sangat terbatas, dengan hanya menyebutkan sumber kemunculan hadits, yaitu Muhammad dan para

25 Nabia Abbott, Studies in Arabic

Literary Papyri II: Qur’anic Commentary and Tradition, (Chicago: The University of Chicago

(11)

Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 16, Nomor 2, Desember 2016

103 sahabatnya, tanpa menyebutkan penjelasan lain yang lebih detail dan rinci. Sedangkan Goldziher sebaliknya, sangat rinci dalam membahasakan term hadits. Bisa dikatakan bahwa hubungan antara Nabia Abbott dan Ignaz Goldziher dalam membahasakan term hadits memiliki sedikit persamaan namun banyak perbedaanya. Dipandang sama karena baik Nabia dan Goldziher menyebutkan bahwa sumber hadits tidak hanya berasal dari Muhammad saja, melainkan juga dari orang-orang setelahnya. Namun yang menjadi perbedaan di sini bahwa Nabia hanya membatasinya pada masa sahabat saja, sedangkan Goldziher meneruskannya sampai generasi abad kedua hijriyah, termasuk tabi’in dan tabi’ al tabi’in. Perbedaan selanjutnya bahwa hadits versi Nabia tidaklah sarat akan refleksi tendesius, hal ini berbeda dengan ungkapan Goldziher bahwa hadits sarat akan refleksi tendesius, baik kelompok maupun individu.

Dalam banyak ulasannya, Goldziher meragukan keberadaan hadits. Secara terang-terangan Goldziher menuduh bahwa hadits tidak layak untuk dibenarkan otentisitasnya

karena telah terjadi banyak pemalsuan di dalamnya yang dilakukan oleh masyarakat Islam sendiri. Keberadaan hadits dinilainya sudah tidak lagi memiliki kesakralan, apalagi setelah Muhammad wafat.

Dari semuanya, hadits dalam kadar pengawasan dan sifat dasar kandungannya sebanding dengan literatur keyakinan sejenisnya, agama Yahudi dan agama Kristen. Bahkan hadits melampaui literatur agama Yahudi dan Kristen dalam segi

perkembangan literaturnya. Sebagaimana literatur dalam Yahudi

dan Nasrani, hadits terlibat berbagai masalah di dalamnya, seperti

penyisispan, pemalsuan, ketidakkonsistenan, dan pertentangan.

Banyak sarjana muslim mengkaji permasalahan tersebut namun sedikit dari mereka yang melakukannya sekarang, banyak para sarjana Yahudi dan Kristen telah mengkajinya dan sedangmengkajinya sebagai bahan perbandingan literaturnya sekarang. Bagaimanapun, sementara banyak para sarjana muslim telah menghindarkan dan masih menghindarkan diri dari keterlibatannya

(12)

Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 16, Nomor 2, Desember 2016

104 dalam kajian perbandingan literatur non Islam.

Pernyataan tersebut mengesankan bahwa Nabia juga

meragukan otentisitas hadits dengan alasan karena di dalamnya telah terjadi banyak pemalsuan dan pertentangan. Ini mengindikasikan bahwa keyakinan Nabia terhadap hadits tidak selamanya

membenarkan keseluruhan otentisitasnya. Layaknya Goldziher

yang sejak awal memang meragukan bahkan tidak mempercayai otentisitas hadits dengan banyak alasan, salah satuya karena dalam hadits terjadi banyak sekali pemalsuan dan pertentangan. Bagi Goldziher, tidak mungkin terjadi pertentangan dan pemalsuan jika memang hadits adalah wahyu dan sumber dari Allah. Pertentangan dan pemalsuan tersebut semakin menunjukkan bahwa hadits digunakan untuk memperkuat refleksi tendesius masing-masing pribadi dan kelompok. Bisa dikatakan bahwa dalam permasalahan ini Nabia telah terpengaruh oleh pemikiran Goldziher yang juga meragukan keberadaan hadits. Jelas sekali terlihat adanya konektifitas pemikiran di antara

keduanya. Jika ini dibenarkan, maka akan menggurkan peran kritik hadits sebagai metode pemurnian dan penyortiran hadits.

Dari paparan diatas Nabia dan Goldziher sama-sama meragukan keampuhan kritik hadits sebagai metode penyortiran hadits. Meskipun Nabia tidak secara tegas menolak metode kritik hadits sebagai metode yang akurat dalam meneliti hadits, tidak sebagaimana Goldziher, namun pernyataan Nabia di atas mengindikasikan keraguannya terhadap metode krritik hadits. Maka konektivitas pemikiran antara Nabia dan Goldziher terlihat dalam hal ini. Baik Nabia dan Goldziher tidak meyakini keberadaan kritik hadits. Kritik hadits dinilai mereka sebagai metodologi yang masih lemah yang harus dikaji ulang karena tidak memberikan hasil yang optimal dan signifikan terhadap perkembangan hadits serta tidak mampu menjaga dan menyortir hadits dari pemalsuan dan pertentangan.

Konektivitas pemikiran antara Nabia Abbott dengan Ignaz Goldziher selanjutnya terlihat ketika keduanya sama-sama mengakui bahwa

(13)

Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 16, Nomor 2, Desember 2016

105 kandungan hadits tidak bernilai sebagai wahyu yang berasal dari Allah. Bagaimana mungkin Goldziher menilai hadits itu sebagai wahyu yang berasal dari Allah, sedangkan dari awal Goldziher sendiri sudah meragukan sumber keaslian hadits. Baginya hadits merupakan buatan masyarakat Islam abad pertama kedua Hijriyah, karena perkembangan hadits yang selalu mencerminkan refleksi tendesius masyarakat, baik secara perseorangan maupun kelompok, sehingga hadits sarat akan ambisi. Bahkan Goldziher meyakini materi hadits dianggap telah menyalin dan menyadur materi-materi yang berasal dari ajaran lama. Hadits dianggap berasal dari materi kuno, materi yang tidak selayaknya berasal dari ide dan gagasan Muhammad. Beberapa bagian dalam hadits mengambil materi-materi terdahulu, seperti Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, kutipan Injil Aporki, perkataan seorang Rabi, dan doktrin-doktrin para filusuf Yunani.26

Goldziher menyebutkan bahwa materi-materi hadits tidak murni berasal dari Muhammad, melainkan dari

26 Ibid., 33-35.

berbagai sumber agama terdahulu, Nabia juga menyatakan demikian. Dalam pernyataan di atas Nabia menyebutkan bahwa hadits-hadits itu tidaklah murni berasal dari Muhammad, karena sebelumnya Muhammad telah mempelajari banyak hal dari kitab Bible dari seorang pendeta terkenal bernama Waraqah ibn Naufal. Pendapat Nabia dan Goldziher tersebut jelas bertentangan dengan akidah Islam.

Sekali lagi, muncul konektifitas antara Nabia dengan Goldziher, bahkan tidak hanya dengan Goldziher, konektifitas itu pun terjalin dengan D’Herbelot, Dante Alighieri, Washington Irving, Hamilton Gibb, dan Joseph Schacht. Tak ada bedanya, baik orientalis-orientalis tersebut dan Nabia sama-sama menuduh Nabi Muhammad sebagai penganut agama Yahudi-Kristen, yang telah keluar dari agama lamanya kemudian masuk ke agama yang baru, yaitu Islam. Selain itu, sebagaimana Goldziher yang beranggapan bahwa materi hadits telah menyadur dan menyalin materi-materi agama terdahulu. Pendapat Goldziher ini kemudian diamini Nabia dengan

(14)

Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 16, Nomor 2, Desember 2016

106 bukti yang sudah dijelaskan pada paragraf sebelumnya.

Tuduhan Goldziher berikutnya bahwa orang-orang setelah Nabi telah melakukan pemalsuan terhadap hadits, bahkan Goldziher menuduh para sahabat sebagai generasi pertama yang memalsukan hadits. Goldziher menyatakan bahwa hadits sudah tidak orisinil berasal dari Muhammad karena hadits telah banyak dipalsukan dengan berbagai motif dan tujuan. Goldziher beranggapan bahwa keberadaan hadits telah banyak dipalsukan oleh generasi setelah Muhammad. Setelah Muhammad wafat, para sahabat banyak menambahkan ucapan-ucapan yang bermanfaat agar diikuti oleh generasi berikutnya. Ucapan tersebut kemudian disandarkan kepada Muhammad agar terlihat lebih

menguatkan dan meyakinkan.27

Beberapa sahabat yang dianggap oleh Goldziher sebagai pemalsu hadits adalah Mu’awiyah bin Abi Sufyan, al Mughirah bin Shu’bah, ‘Abdullah bin Mas’ud dan Abu Hurairah.28

27 Goldziher, Introduction to Islamic

Theology and Law, 173.

28 Ibid.

Pernyataan tersebut sama-sama menyudutkan orang-orang yang berkecipung dalam dunia periwayatan. Goldziher menuduh para sahabat sebagai generasi pertama yang memalsukan hadits, seperti Mu’awiyah bin Abi Sufyan, al Mughirah bin Shu’bah, ‘Abdullah bin Mas’ud dan Abu Hurairah, sedangkan Nabia menuduh ahli hadits dan para qadi, yang mana mereka selalu terlibat dalam periwayatan hadits, sebagai golongan pertama yang melakukan pemalsuan terhadap hadits. Bukan hanya Goldziher, pemikiran Nabia juga memilki konektifitas dan keterkaitan dengan Joseph Schacht yang juga menuduh ahli hadits dan para qadi sebagai pemalsu hadits.

Jika tuduhan orientalis tersebut dianggap benar, maka bangunan periwayatan hadits akan runtuh, karena orang-orang yang dituduh oleh Goldziher, Schacht dan Nabia adalah orang-orang yang terlibat dan memiliki andil besar dalam periwayatan hadits. Para perawi-perawi hadits banyak yang berasal dari para ulama’, baik ahli hadits maupun ahli fikih. Keberadaan sahabat adalah sebagai orang pertama

(15)

Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 16, Nomor 2, Desember 2016

107 yang bertemu dengan Nabi, menyambungkan hadits dari Nabi kepada generasi abad kedua Hijriyah, mereka yang bersama dengan Nabi dan menyaksikan secara langsung aktivitas dan perkataan Nabi. Jika pernyataan mereka dianggap benar, maka bangunan keseluruhan hadits akan collapse (roboh). Hadits tidak lagi akan dianggap orisinil karena kebanyakan hadits selalu diriwayatkan dengan melibatkan para sahabat, ahli hadits dan para qadi.

D. PEMIKIRAN IGNAZ GOLDZIHER TENTANG HADITS

Goldziher dilahirkan pada tanggal 22 Juni 1850 di sebuah kota yang bernama Szekesfehervar, Hungaria. Dia memulai pendidikan sekolahnya semenjak usia dini dengan perkembangan yang sangat menarik dan luar biasa. Semenjak berusia 5 tahun, dia sudah mulai belajar membaca teks Hebrew yang terdapat

pada Old Testament (Perjanjian

Lama). Pada usia 8 tahun, dia sudah membaca Talmud, ketika berusia 12 tahun dia sudah mulai aktif dalam kegiatan tulis-menulis dan

mempublikasikan monograf pertamanya

di Origins and Clasification of the

Hebrew Prayers. Ketika anak seusianya masih bersekolah, Goldziher sudah mengikuti banyak rangkaian pelajaran, seperti pelajaran sastra Yunani dan Romawi Kuno, Filsafat, Bahasa Timur -termasuk Persia dan Turki- di Universitas Budapest, tempat dia melanjutkan studinya di kemudian hari. Dengan bantuan gurunya, Goldziher memperoleh beasiswa dari Hungarian Minister of Education (Menteri Pendidikan Hungaria) dalam sebuah program komperhensif pembelajaran dan penelitian yang dirancang untuk melengkapi studinya pada sebuah universitas yang ditunjuk.29

1. Pemikiran tentang Makna Hadis dan Sunnah

Secara bahasa, Goldziher memaknai hadis dengan tale yang dalam bahasa Indonesia diartikan hikayat, kisah, cerita dan dongeng. Selain itu, hadis juga bermakna communication yang berarti hubungan,

29 Ignaz Goldziher, Introduction to

Islamic Theology and Law, (Princeton, New

(16)

Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 16, Nomor 2, Desember 2016

108 komunikasi, kabar, pengumuman dan pemberitahuan. Dalam arti luas, hadis adalah kabar atau pemberitahuan yang tidak hanya berkaitan dengan permasalahan agama semata, melainkan juga informasi yang berisikan sejarah, baik sejarah yang bersifat secular (keduniawiaan) atau yang bersifat keagamaan yang terjadi

dari masa ke masa.30 Dalam

pandangan Goldziher, keberadaan hadis tidak hanya sebagai dokumen sejarah semata, tetapi lebih kepada sebuah refleksi yang muncul dari kecenderungan yang kala itu muncul dari suatu komunitas pada masa awal perkembangan Islam sehingga kemudian hadis terbentuk menjadi sesuatu yang terorganisir dan rapi serta memiliki kekuatan hukum.31

Sementara sunnah dipahami sebagai tradisi atau kebiasaan yang berlaku di komunitas umat muslim yang berkaitan dengan perihal keagamaan atau hukum, baik setelah Islam datang ataupun sebelumnya yang berlangsung secara terus menerus dan dianggap

30 Ignaz Goldziher, Muslim Studies:

Muhammedanische Studien, (Chicago: State

University of New York Press, 1971), vol: 2, 17-18.

31 Ibid., 19.

sebagai sebuah peninggalan yang mesti untuk diikuti.32 Konsep sunnah terbentuk untuk memberikan pengaruh dan pembenaran dalam memerintah suatu individu ataupun komunitas dalam peradaban Arab, yang kemudian mengalami penyempitan makna ketika Islam muncul. Keberadaan sunnah kemudian dibatasi hanya pada jalan hidup masyarakat yang berkenaan

dengan kepercayaan agama Islam.33

Goldziher kemudian menekankan bahwa keberadaan sunnah pada mulanya terkait dengan kehidupan masyarakat pra Islam sebagai perangkat tradisi dan kebiasaan leluhur yang kemudian menjadi sumber kebiasaan dalam kehidupan. Sunnah dapat pula dipahami sebagai perangkat tata nilai kehidupan mayarakat tertentu yang dalam perkembangannya kemudian dipahami sebagai tradisi dan pola kehidupan yang bersifat universal.34

32 Ibid., 24. 33 Ibid., 25. 34 Ibid., 25-26.

(17)

Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 16, Nomor 2, Desember 2016

109 2. Pemikiran Ignaz Goldziher tentang

Kodifikasi Hadits

Tidak ada yang menolak asumsi, termasuk pula Goldziher, bahwa para sahabat dan murid-murid mereka berusaha menjaga apa yang dikatakan oleh Muhammad beserta aturan-aturannya dari keterlupaan dengan cara menuliskannya dalam berbagai media tulisan. Hasil jerih payah para sahabat yang berbentuk tulisan tersebut kemudian disebut dengan sahifah. Sahifah tersebut kemudian digunakannya untuk diajarkan kepada generasi-generasi muda. Isi sahifah ini disebut matan hadis dan matan hadis ini kemudian menyebar melewati rangkaian perawi yang kemudian disebut dengan isnad.35

Goldziher sepakat dengan ulama’ hadis bahwa isi dari sahifah adalah hadis-hadis yang disandarkan kepada Muhammad. Namun Goldziher meragukan penulis awal dari sahifah tersebut. Oleh karena itu, bagi Goldziher penulis awal dari sahifah itu layak untuk diragukan, apakah memang para sahabat yang

35 Goldziher, Muslim Studies, vol: 2,

21-22.

melakukannya atau malah orang-orang setelah masa sahabat yang memiliki otoritas kemudian menyandarkan penulisannya terhadap para sahabat. Generasi awal Islam telah melakukan upaya pemeliharaan terhadap al Qur’an dan hadis, namun bentuk pemeliharaan dan penjagaan mereka terhadap al Qur’an dan hadis hanya bersifat lisan semata. Jika telah ditemukan bukti keberadaan sahifah pada masa itu, itu adalah hasil buatan orang-orang yang hidup setelah mereka.36

Goldziher mengakui bahwa pada generasi berikutnya umat Islam menjadi enggan untuk menjaga hadis dalam bentuk tulisan. Dia mengakui bahwa hadis pertama kali dikumpulkan dalam bentuk kompilasi pada akhir abad kedua Hijriyah dan awal abad ketiga Hijriyah. Kitab-kitab kanonik tersebut tidak mengambil materi hadis dari kompilasi yang sudah ditulis oleh orang-orang sebelumnya, melainkan para penghimpun hadis mengambil materi hadisnya dari periwayatan secara lisan yang mereka terima.37

36 Ibid., 82.

37 Talal Maloush, “Early Hadits

(18)

Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 16, Nomor 2, Desember 2016

110 Goldziher mengakui bahwa pada masa sahabat sudah ada kegiatan penulisan hadits. Praktek penulisan hadis yang terjadi pada masa sahabat juga berjalan secara dilematis. Beberapa kalangan sahabat menolak untuk menuliskan hadis dengan berbagai alasan. Praktek penulisan hadis yang terjadi pada masa awal-awal juga mendapatkan perlawanan diantara para sahabat. Namun beberapa orang sahabat mendapat izin khusus untuk menuliskan hadis. Abd al Rahman bin Harmala al Aslami mendapatkan izin khusus dari gurunya Sa’id bin al Musayyab untuk menuliskan hadis yang dia ceritakan kepadanya karena daya hafalannya cacat yang membuatnya tidak mampu menguasai hadis kata per kata dengan teliti.38

PENUTUP

Dalam mendefiniskan hadis, Nabia tidaklah memiliki konektifitas pemikiran dengan Goldziher. Bagi Nabia, hadis tidaklah sarat akan refleksi tendesius masing-masing

(Tesis--Studies Faculty of Arts University of Adinburgh, 2000), 5-6.

38 Ibid., 183.

pribadi dan kelompok. Sedangkan bagi Goldziher, hadis dianggap sebagai refleksi tendesius masyarakat tertentu untuk menguatkan tujuan dan maksud tertentu.

Begitu juga dalam mendifiniskan sunnah, Nabia mendefinisikan sunnah tidak sebagaimana definisi yang disampaikan oleh Goldziher. Bagi Nabia, sunnah selalu identik dengan hal yang berkaitan dengan administrasi negara. Sedangkan menurut Goldziher, sunnah sebenarnya adalah adat istiadat masyarakat Jahiliyah yang kemudian dibahasakan ulang oleh Muhammad dan kemudian menjelma sebagai sunnah Nabi.

Nabia mengakui kegiatan penulisan hadis sebenarnya telah berlangsung pada masa sahabat, bahkan ketika Muhammad masih hidup. Selain itu kodifikasi hadis dibenarkan oleh Nabia telah terjadi pada akhir abad pertama Hijriyah yang digagas oleh ‘Umar II. Sedangkan menurut Goldziher, meskipun Goldziher mengakui bahwa kegiatan penulisan hadis telah berlangsung pada masa sahabat, namun kebenaran berita tersebut masih diragukan oleh

(19)

Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 16, Nomor 2, Desember 2016

111 Goldziher. Jangan-jangan itu adalah hasil penulisan generasi setelahnya yang kemudian disandarkan kepada sahabat sehingga tampak seolah-olah para sahabat yang menuliskannya. Selain itu Goldziher tidak mengakui kodifikasi hadis terjadi pada akhir abad pertama Hijriyah, bahkan bagi Goldziher kodifikasi hadis baru terjadi pada masa akhir abad kedua dan awal abad ketiga Hijriyah.

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi konektifitas pemikiran antara Nabia Abbott dengan Ignaz Goldziher dalam kritik hadits, diantaranya adalah faktor agama, ideologi, wilayah (geologi), kelmuan, penjajah dan skeptisme.

(20)

Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 16, Nomor 2, Desember 2016

112 DAFTAR PUSTAKA

Azami, Muhammad Mustafa. 1971. Dirasah fi al Hadith al Nabawi wa Tarikh Tadwinihi. Beirut: al Maktabah al Islami. .

---. 1977. Studies in

Hadits Methodology and

Literature. Indianapolis:

American Trust Publications. ‘Itr (al), Nur al Din. 1981. Manhaj al

Naqd fi ‘Ulum al Hadith. Damaskus: Dar al Fikr.

Abbott, Nabia. 1967. Studies in Arabic Literary Papyri I: Historical Text. Chicago: The University of Chicago Press.

---. 1967. Studies in

Arabic Literary Papyri II: Qur’anic Commentary and Tradition. Chicago: The University of Chicago Press. Anggota IKAPI DKI Jaya. 2004.

Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Arifin, Tatang M. 1995. Menyusun

Rencana Penelitian. Jakarta: Rajawali Press.

Arikanto, Suharsini. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.

Goldziher, Ignaz. 1971. Muslim

Studies: Muhammedanische Studien. Vol: 2. Chicago: State University of New York Press. ---. 1981. Introduction to

Islamic Theology and Law. Princeton, New Jersey: Princeton University Press.

Hafid, Erwin. 2010 “Mustafa Azami dan Kritik Pemikiran Hadis Orientalis”, al Fikr, Vol: 14, No: 2.

Isnaeni, Ahmad. 2014 .“Historisitas Hadis Menurut M. Mustafa Azami”, Journal of Qur’an and Hadits Studies, Vol: 3, No: 1.. Salih (al), Subhi. 1988 .‘Ulum al

Haditts wa Mustalahuhu. Beirut: Dar al ‘Ilmi al Malayin.

Sabana, M. 2005. Dasar-dasar

Penelitian Ilmiyah. Bandung: Pustaka Setia,.

Said, Edward W. 1994. Orientalisme terj. Asep Hikayat. Bandung: Penerbit Pustaka.

Sali>m, Alfatih ‘Umar ‘Abd al Mun’im. Taisir ‘Ulum al Hadith li al

(21)

Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 16, Nomor 2, Desember 2016

113 Mubtadi’in. Tanta: Dar al Dliya’, 12.

Shahrazwari (al), Abu ‘Amr ‘Uthman bin ‘Abd ar Rah{man. ‘Ulum al Hadith li Ibni Salah. ttp: tp, tt.

Siba’i (al), Mustafa. al Sunnah wa

Makanatuha fi al Tashri’. Dar al-Waraq: al Maktabah al Islami.

Suryadilaga, Alfatih. 2010. Ulumul

Hadis. Yogyakarta: Penerbit Teras.

Syuhbah, Muhammad Muhammad Abu. Difa’ ‘an al Sunnah wa Rad Syabah al Mustasyriqin wa al Kuttab al Mu’asririn. Kairo: Maktabah al Azhar.

Tabari (al), 1988. Ibnu Jarir. Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, Vol 1. Beirut: Dar al Fikr.

Tahhan (al), Mahmud. 1415. Taisir

Mustalah al Hadits. Iskandariyah: Markaz al Hikmah al Dirasat.

Umar, Nasaruddin. 2014.

Deradikalisasi Pemahaman Al Qur’an dan Hadis. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

Ya’kub, Ali Mustafa. 2004. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Zahwu, Muhammad Muhammad Abu. al Hadith wa al Muhaddithun. al Riyadh: al Mamlakah al ‘Arabiyah al Su’udiyah, tt.

Zubaiyr, Shiddiqi, Muhammad. 1993. Hadits Literature. Cambridge: The Islamic Texts Society.

Referensi

Dokumen terkait

Kadar fibrinogen tidak terlihat berkorelasi terhadap OMV pada penelitian oleh Zalewski J dkk (2007) yang melaporkan kadar fibrinogen tidak memiliki hubungan

Dari penelitian ini, imunoreaktivitas antara kulit normal dan PEH menunjukkan gambaran yang kurang lebih sama, sehingga dapat disimpulkan pada kasus PEH dijumpai

Perwujudan pengelolaaan Piutang Daerah melalui Sistem Aplikasi Piutang Daerah Pada Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Bungo merupakan sebuah terobosan untuk menghasilkan

Hasil penelitian utama menunjukkan bahwa jenis sosis yang berbeda dan lama penyimpanan memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap nilai stabilitas

Sehingga pengelolaan dana desa Kutorenon tahun 2016 dikatakan belum sesuai dengan peraturan yang berlaku karena dapat dilihat dari kepatuhan dalam pemenuhan kewajiban

lt also aims to mention the differences and the similar- ities between Indonesian and American cultures found in those books.. The American patterns of politeness

Setelah melakukan pengabdian pelatihan pemanfaatan wadah media tanam, maka ada beberapa saran yang diberikan kepada siswa-siswi SDModel Al Azhar Medan dan SD Namira

Dari hasil penelitian maka penurunan konsentrasi hasil samping N 2 O pada TDS dan TSS mengunakan pengolahan fisika dengan metode sedimentasi dan filtrasi