REGULASI KEBERADAAN BAITUL MAAL WAT TAMWIL (BMT)
DALAM SISTEM PEREKONOMIAN DI INDONESIA
Nourma Dewi, S.H.,M.H. Email Nourma_hukum92@yahoo.co.id
ABSTRAK
BMT merupakan lembaga keuangan mikro dengan prinsip syariah yang mempunyai karakteristik khusus yaitu baitul maal yang mengandung nilai sosial dimana menghimpun dana dan menyalurkan dana kepada masyarakat berupa zakat, infaq, sadaqoh. Selain itu terdapat unsur tamwil yang mengandung nilai bisnis komersil yang menghimpun dan menyalurkan dana kepada masyarakat menengah kebawah. Oleh karena itu, perlu dikaji aspek regulasi yang mengatur BMT dalam sistem perekonomian Indonesia. Tulisan ini disusun berdasarkan penelitian dengan tujuan untuk mengetahui pengaturan BMT saat ini. Hasil penelitian saat ini dapat disimpulkan bahwa hingga saat ini pengelolaan BMT masih menggunakan peraturan yang beragam. Hal tersebut dikarenakan karakteristik khusus BMT dan jenis badan hukum BMT yang bisa berupa koperasi maupun perseroan terbatas.
Kata kunci: Regulasi, BMT,Perekonomian
A. Pendahuluan
Lembaga Keuangan Mikro
(selanjutnya disebut LKM) dinilai mempunyai peran yang besar untuk
mendukung program pemerintah
untuk mengentaskan kemiskinan.
LKM pada dasarnya dibentuk
berdasarkan semangat yang terdapat dalam Pasal 27 ayat (2) serta Pasal 3 ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945.
LKM adalah lembaga yang
memberikan jasa keuangan bagi pengusaha mikro dan masyarakat berpenghasilan rendah, baik formal, semi formal, dan informal. Dengan kata lain, LKM merupakan lembaga yang melakukan kegiatan penyediaan
jasa keuangan bagi pengusaha kecil
dan mikro serta masyarakat
berpenghasilan rendah yang tidak terlayani oleh lembaga keuangan formal dan telah berorientasi pasar untuk tujuan bisnis. LKM memiliki produk yang relatif lengkap dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat berpenghasilan rendah.
Jenis LKM ada berbagai macam
bentuk. Salah satunya adalah Baitul
Maal Wat Tamwil (selanjutnya disebut BMT) yang merupakan LKM
dengan prinsip syariah. Baitul Maal
wat Tamwil adalah lembaga keuangan dengan konsep syariah yang lahir sebagai pilihan yang
menggabungkan konsep maal dan tamwil dalam satu kegiatan lembaga.
Konsep maal lahir dan menjadi
bagian dari kehidupan masyarakat muslim dalam hal menghimpun dan menyalurkan dana untuk zakat, infak dan shadaqah (ZIS) secara produktif. Sedangkan konsep tamwil lahir untuk kegiatan bisnis produktif yang murni
untuk mendapatkan keuntungan
dengan sektor masyarakat menengah ke bawah (mikro). Kehadiran BMT untuk menyerap aspirasi masyarakat
muslim di tengah kegelisahan
kegiatan ekonomi dengan prinsip
riba, sekaligus sebagai
supportingfunding untuk
mengembangkan kegiatan
pemberdayaan usaha kecil dan
menengah. Kehadiran lembaga
keuangan mikro syariah yang
bernama BMT dirasakan telah
membawa manfaat finansial bagi masyarakat, terutama masyarakat
kecil yang tidak bankable dan
menolak riba, karena berorientasi pada ekonomi kerakyatan. Kehadiran BMT di satu sisi menjalankan misi ekonomi syariah dan di sisi lain
1 Novita Dewi Masyitoh, 2014, Analisis Normatif
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM) atas Status Badan Hukum dan Pengawasan Baitul Maal Wat
mengemban tugas ekonomi
kerakyatan dengan meningkatkan ekonomi mikro, itulah sebabnya perkembangan BMT sangat pesat di
tengah perkembangan lembaga
keuangan mikro konvensional
lainnya.1
Dalam prakteknya di Indonesia BMT berbentuk Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) atau koperasi
yang mengelola dana milik
masyarakat dalam bentuk simpanan maupun pembiayaan. Dari sumber inilah pembiayaan BMT berasal. Dana yang dipercayakan masyarakat kepada BMT dalam bentuk simpanan kemudian disalurkan kembali kepada
masyarakat yang membutuhkan
dalam bentuk pinjaman. Pola kerja yang diambil BMT pada akhirnya sama dengan pola kerja bank syariah yang menjadi lembaga intermediasi. Menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali kepada
masyarakat.2
Perkembangan BMT di
Indonesia sampai saat ini telah memcapai jumlah jaringan yang tersebar di seluruh Indonesia dan
Tamwil (BMT), Jurnal Economica, Vol.V Edisi 2 Oktober 2014, Hal. 18
2http://www.academia.edu/5380514/Urgensi_LP
S_Bagi_BMT_sebagai_Bentuk_Perlindungan_H ukum, diakses tanggal 3 Juni 2014 pukul 22.26
tampil sebagai pendorong intermediasi usaha riil-mikro. Hal ini dibuktikan dengan jumlah BMT atau koperasi jasa keuangan syariah yang
telah dikembangkan sampai
kepelosok Indonesia. Sejak pertama kali konsep BMT di tahun 1990 diperkenalkan, hanya ada beberapa puluh unit saja, dan saat ini jumlah
BMT sudah lebih dari 5.500.3
Joelarso (2014) Pertumbuhan BMT
yang begitu pesat dikarenakan
memiliki beberapa keunggulan yang
sudah terbukti, yaitu4:
1. BMT sebagai koperasi yang
dipercaya masyarakat luas
untuk menyimpan dananya
2. sebagai koperasi yang memberi
edukasi masyarakat agar giat menabung dan merencanakan keuangannya
3. BMT sebagai koperasi yang
telah memberi pembiayaan
mudah dan murah kepada anggota, yang mayoritas adalah usaha mikro.
4. sebagai usaha yang beroperasi
secara syariah BMT mendidik hidup yang baik secara Islam
3
http://www.bmtmuda.com/2013/02/bmt-sebagai-pendorong-ekonomi.html, diakses tanggal 30 Oktober 2016 pukul 12.55
5. BMT mendorong masyarakat
memiliki sikap produktif dan tindakan produktif.
Namun, adanya Pertumbuhan BMT di Indonesia cukup pesat dan animo dari masyarakat yang baik tidak diikuti dengan adanya pengaturan hukum yang jelas. Peraturan yang selama ini ada cenderung menambah-nambah aturan mengingat banyaknya
rujukan peraturan yang harus
dipatuhi. Selain itu, BMT memang LKM yang cukup unik karena mempunyai sisi bisnis dan sosial.
Peraturan yang terkait dengan
keberadaan BMT diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, Undang-Undang Nomor 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian dan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM), dan peraturan lainnya. Berpedoman pada semua
undang-undang tersebut, maka perlu
diketahui posisi BMT berdasarkan
hukum positif di Indonesia.
Bagaimana pengaturan kelembagaan dan eksistensi BMT ditinjau dari
berbagai peraturan
perundang-4
http://www.antaranews.com/berita/461826/bmt-alternatif-pemberdayaan-ekonomi-kerakyatan, diakses 30 Oktober 2016 pukul 13.00
undangan dan keterkaitan peraturan
tersebut, kelembagaan dan
operasional secara hukum positif. Berangkat dari latar belakang di atas maka penulis menarik permasalahan Bagaimanakah regulasiBaitul Maal Wa Tamwil (BMT) dalam sistem perekonomian di Indonesia?
B.Tinjauan Pustaka
Baitul Maal Wa Tamwil
(BMT)Secara etimologis, istilah
“Baitul Maal” berarti ‘rumah uang’, sedangkan “baiut tamwil”
mengandung pengertian “rumah
pembiayaan”.5 Sehingga dikatakan bahwa Baitul Maal Waa tamwil (BMT) merupakan suatu lembaga yang terdiri dari dua istilah, yaitu baitul maal dan baitul tamwil. Baitul maal lebih mengarah pada usaha-usaha non profit, seperti zakat, infaq dan sedekah. Adapun baitul tamwil sebagai usaha pengumpulan dan
penyaluran dana komersial .6
BMT merupakan organisasi
bisnis yang juga berperan sosial. Sebagai lembaga bisnis, BMT lebih
mengembangkan usahanya pada
5Dr. Jamal Lulail Yunus, S.E., M.M.,
Managemen Bank Syariah “ mikro”, Malang:
UIN Malang Press
(anggota IKAPI), 2009, hlm5
6Nurul Huda, Mohamad Heykal, Lembaga
Keuangan Islam Tinjauan Teoritis dan Praktis,
sektor keuangan yakni simpan pinjam. Usaha ini seperti usaha perbankan, yakni menghimpun dana anggota dan
calon anggota (nasabah) serta
menyalurkannya pada sektor ekonomi yang halal dan menguntungkan. Namun demikian, terbuka luas bagi BMT untuk mengembangkan lahan bisnisnya pada sektor riil maupun sektor keuangan lain yang dilarang dilakukan oleh lembaga keuangan bank. Karena BMT bukan bank, maka
ia tidak tunduk pada aturan
perbankan.7
Secara etimologis adalah suatu lembaga yang mempunyai tugas khususmenangani segara harta umat, baik berupa pendapatan maupun pengeluaranNegara.Baitul Maal Wa Tamwil(BMT) sebenarnya adalah lembaga swadayamasyarakat dalam
pengertian didirikan dan
dikembangkan oleh masyarakat.
Terutama sekali pada awal berdiri,
biasanya dilakukan dengan
menggunakansumber daya, termasuk dana atau modal dari masyarakat
setempat itu sendiri.8
Jakarta: PT. Fajar Interpratama Mandiri,2013, hlm.363
7Muhammad Ridwan, Manajemen Bank Syariah,
Yogyakarta, UPP AMP YKPN, 2003, hal 126.
8Awalil Rizky,BMT Fakta dan ProspekBaitul
Maal Wa Tamwil,Yogyakarta, Kreasi Wacana,2007, Hal. 3
C.Pembahasan
Sebagai bentuk lembaga Keuangan syariah non bank, BMT mempunyai ciri-ciri utama yang membedakannya dengan lembaga Keuangan bank, yaitu9;
1. Berorientasi bisnis, mencari laba
bersama, meningkatkan
pemanfaatan ekonomi, terutama
untuk anggota, dan
lingkungannya.
2. Bukan lembaga sosial tetapi dapat
dimanfaatkan untuk
mengaktifkan penggunaan dana-dana sosial untuk kesejahteraan
orang banyak serta dapat
menyelenggarakan kegiatan
pendidikan untuk
memberdayakan anggotanya
dalam rangka menunjang
kegiatan ekonomi.
3. Ditumbuhkan dari bawah
berdasarkan peran serta
masyarakat sekitarnya.
4. Milik bersama masyarakat kecil,
bawah dan menengah, yang berada dilingkungan BMT itu
sendiri, bukan milik orang
seorang atau orang lain dari luar masyarakat itu.
9Sri Dewi Yusuf,2014, Peran Strategis BMT
dalam Peningkatan Ekonomi Rakyat, Volume 10 No.1 Edisi Juni 2014, Hlm. 74
Karakteristik dari BMT yang khusus ini menimbulkan masalah tersendiri karena belum ada peraturan khusus yang mengatur sehingga banyak peraturan umum yang harus dipatuhi BMT tergantung pada bentuk badan hukum yang dipilih. filosofis
kegiatan BMT terdapat dalam
beberapa surat di dalam Al-Qur’an
dan hadist di antaranya adalah:
1. Surat Al-Baqarah ayat 275
َنوُموُقَي َلَ اَب ِ رلا َنوُلُكْأَي َنيِذَّلا ُموُقَي اَمَك َّلَِإ ْمُهَّنَأِب َكِلََٰذ ۚ ِ سَمْلا َنِم ُناَطْيَّشلا ُهُطَّبَخَتَي يِذَّلا َعْيَبْلا ُ َّللَّا َّلَحَأ َو ۗ اَب ِ رلا ُلْثِم ُعْيَبْلا اَمَّنِإ اوُلاَق ِهِ بَّر نِ م ٌةَظِع ْوَم ُهَءاَج نَمَف ۚ اَب ِ رلا َمَّرَح َو َو َفَلَس اَم ُهَلَف َٰىَهَتناَف َداَع ْنَم َو ۖ ِ َّللَّا ىَلِإ ُهُرْمَأ َنوُدِلاَخ اَهيِف ْمُه ۖ ِراَّنلا ُباَحْصَأ َكِئََٰلوُأَف
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat
berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan
syaitan lantaran (tekanan)
penyakit gila Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka
baginya apa yang telah
diambilnya dahulu (sebelum
datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya”.
2. Surat Al-Baqarah ayat 279
ۖ ِهِلوُس َر َو ِ َّللَّا َنِم ٍب ْرَحِب اوُنَذْأَف اوُلَعْفَت ْمَل ْنِإَف َلَ َو َنوُمِلْظَت َلَ ْمُكِلا َوْمَأ ُسوُءُر ْمُكَلَف ْمُتْبُت ْنِإ َو
َنوُمَلْظُت
“Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa
riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu.
Dan jika kamubertaubat (dari
pengambilan riba), maka bagimu
pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak (pula)
dianiaya”.
3. Surat At-Taubah ayat 103
اَهِب ْمِهيِ ك َزُت َو ْمُهُرِ هَطُت ًةَقَدَص ْمِهِلا َوْمَأ ْنِم ْذُخ ٌعيِمَس ُ َّللَّا َو ۗ ْمُهَل ٌنَكَس َكَت َلََص َّنِإ ۖ ْمِهْيَلَع ِ لَص َو
ٌميِلَع
"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan
mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah maha mendengar lagi maha mengetahui".
4. H.R. Muslim no. 2971, dalam kitab
Al Masaqqah اَق ِ ي ِرْدُخْلا ٍديِعَس يِبَأ ْنَع ِ َّللَّا ُلوُس َر َلاَق َل ىَّلَص ُةَّضِفْلا َو ِبَهَّذلاِب ُبَهَّذلا َمَّلَس َو ِهْيَلَع َّللَّا ُرْمَّتلا َو ِريِعَّشلاِب ُريِعَّشلا َو ِ رُبْلاِب ُّرُبْلا َو ِةَّضِفْلاِب ٍلْثِمِب لَْثِم ِحْلِمْلاِب ُحْلِمْلا َو ِرْمَّتلاِب ْنَمَف ٍدَيِب اًدَي ِهيِف يِطْعُمْلا َو ُذ ِخلآا ىَب ْرَأ ْدَقَف َداَزَتْسا ِوَأ َداَز ٌءا َوَس
“Diriwayatkan oleh Abu Said Al
Khudri bahwa Rasulullah bersabda, "Emas hendaklah dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam, bayaran harus dari tangan ke tangan (cash). Barangsiapa memberi tambahan atau meminta tambahan, sesungguhnya ia telah berurusan denga riba. Penerima dan pemberi sama-sama bersalah."
5. H.R. Bukhari no. 6525, kitab At
Ta`bir
“Diriwayatkan oleh Samurah bin
Jundub bahwa Rasulullah bersabda, "Malam tadi aku bermimpi, telah
datang dua orang dan membawaku ke
Tanah Suci. Dalam perjalanan
sampailah kami ke suatu sungai darah, di mana di dalamnya berdiri seorang laki-laki. Di pinggir sungai tersebut berdiri seorang laki-laki lain dengan batu di tangannya. Laki-laki yang di tengah sungai itu berusaha untuk keluar, tetapi laki-laki yang di pinggir sungai tadi melempari mulutnya dengan batu dan memaksanya kembali ke tempat
asal. Aku bertanya, ‘Siapakah itu?’
Aku diberitahu, bahwa laki-laki yang di tengah sungai itu ialah orang
yang memakan riba”.
Selain landasan filosofis yang
terdapat di dalam Al- Qur’an dan
hadist, BMT dikepung oleh beberapa peraturan yang menaunginya, sesuai dengan bentuk badan hukum BMT itu
sendiri.10Berikut beberapa hukum
positif yang menjadi landasan
kegiatan BMT:
1. Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2011 Tentang Pengelolaan ZakatSelain beroperasi sebagai
lembaga keuangan yang
memberikan jasa keuangan
berupa penitipan, investasi dan
pembiayaan BMT memiliki
10Neni Sri Imaniyati, Aspek-Aspek Hukum BMT,
Bandung, Citra Adtya Bakti, 2010, hlm. 99
karakteristik khusus yang berbeda
dengan lembaga keuangan
lainnya yaitu mengenai nilai sosial / kegiatan non profit. Untuk
kegiatannya yang khusus
tersebut, berdasarkan Pasal 24 Kep-Men No. 91 Tahun 2004 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) , kegiatan BMT dapat pula berupa pengelolaan dana Zakat, Infak, Sedekah dan Wakaf . Dengan ketentuan ini, tentu BMT harus merujuk kegiatan sosialnya pada
Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat. Sementara berdasarkan
Pasal 6 Undang-Undang
Pengelolaan Zakat, pengelolaan zakat secara nasional menjadi
wewenang Baznas. Dengan
demikian pengelolaan zakat yang dilakukan oleh BMT seakan bertentangan dengan UU ini. Namun, berdasarkan Pasal 16
ayat (1) Undang-Undang
Pengelolaan zakat, yang berbunyi
“Dalam melaksanakan tugas dan
fungsinya, BAZNAS, BAZNAS
kabupaten/kota dapat membentuk UPZ pada instansi pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, perusahaan swasta, dan perwakilan Republik Indonesia di luar negeri serta dapat membentuk UPZ pada tingkat kecamatan, kelurahan atau
nama lainnya, dan tempat lain”.
Dari pasal tersebut menjelaskan bahwa BMT dapat menempatkan diri sebagai Unit Pengumpul Zakat (UPZ ) Baznas yang melaksanakan pengelolaan zakat membantu peran dan fungsi Baznas . Tetapi yang menjadi perhatian dari langkah atau strategi ini adalah ruang lingkup
operasi BMT sebagai UPZ
Baznas harus disesuaikan dengan UU yang lainnya.
2. Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1992 Tentang
Perkoperasian
Sebelumnya Undang-Undang
nomor 25 Tahun 1992 tentang Koperasi telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Koperasi. Akan tetapi, pada tahun 2014 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 dibatalkan oleh
Mahkamah Konstitusi sehingga
undang-undang tersebut sudah tidak
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Sehingga untuk mengisi kekosongan hukum, MK menyatakan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 kembali berlaku sampai dengan terbentuknya UU yang baru.
a. Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2012 Tentang Koperasi Dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2012 tentang Perkoperasian, BMT sebagai lembaga keuangan mikro berbadan hukum koperasi yang
beroperasi berdasarkan prinsip
syariah, hanya disinggung pada Pasal 87 ayat (3) sebagaimana diatur dalam
Pasal 87 Ayat (3), bahwa “Koperasi
dapat menjalankan usaha atas dasar
prinsip ekonomi syariah”, selanjutnya
dalam Pasal 87 Ayat (4), bahwa
“Ketentuan mengenai Koperasi
berdasarkan prinsip ekonomi syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diatur dengan Peraturan Pemerintah”.
Dengan hanya menyinggung koperasi berdasarkan prinsip syariah melalui ayat ini tanpa ada penjelasan lebih spesifik pada teknis operasional hal lainnya, UU Perkoperasian seakan memberikan ruang gerak yang sangat
terbuka bagi koperasi syariah
meninggalkan batasan pada klausul
Peraturan Pemerintah.11
Di sisi lain, kehadiran UUNo.17 tahun 2012 tentang koperasi yang menegaskan adanya kejelasan fungsi koperasi sebagaimana tersebut dalam pasal 83 mengenai jenis koperasi, dianggap telah mengebiri semangat
syari’ah, sebab bila BMT hanya menjalankan fungsi simpan pinjam saja maka sebagai KSPS (koperasi
simpan pinjam syari’ah) harus
melaksanakan simpan pinjam secara
syari’ah secara sempit yang
melenceng dari prinsip syari’ah dalam
bermu’amalah. Sehingga dapat dikatakan UUNo.17 Tahun 2012 jauh dari nilai kemanfaatan sebagai dasar berlakunya Undang-Undang tersebut secara sosiologis yang akan diterima
dan dilaksanakan.12
Walaupun UU No.17 Tahun 2012 ini sudah tidak berlaku, dengan diberlakukannya hukum Islam bagi umat Islam maka dalam kaitannya dengan pembentukan aturan hukum yang terkait dengan aktivitas umat
Islam, maka harus pula
mengakomodir nilai-nilai dalam
11
http://abiaqsa.blogspot.co.id/2013/03/bmt-dikepung-oleh-undang-undang.html, Diakses pada 1 November 2016 pukul 09.14
12Elfa Murdiana, Menggagas Payung Hukum
Baitu Maal Wattanwil (BMT) Sebagai Koperasi
hukum Islam sepertihalnya mengenai aturan hukum bagi BMT yang
merupakan Koperasi Syari’ah dimana
mempunyai nilai ekonomi yang tentunya mencari keuntungan dengan prinsip syariah dan di sisi lain tetap
menjalankan fungsi sosial yang
mempunyai kebermanfaatan untuk masyarakat.
b. Undang-Undang Nomor 25 Tahun
1992 Tentang Koperasi
Norma yang digunakan BMT dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 Tentang Koperasi adalah:
1) Pasal 44 ayat (1) “Pengertian
anggota Koperasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a ayat ini termasuk calon anggota yang
memenuhi syarat”.
2) Penjelasan Pasal 17 ayat (1)
“Sekalipun demikian, sepanjang tidak
merugikan kepentingannya, Koperasi dapat pula memberikan pelayanan kepada bukan anggota sesuai dengan sifat kegiatan usahanya, dengan maksud untuk menarik yang bukan
anggota menjadi anggota Koperasi”.
3) Pasal 18 ayat (1)
Syari’ah dalam Bingkai Ius Constituendum,
Jurnal Penelitian, Vol.10,No.2, Edisi Agustus 2016, Hal. 289
“Yang dapat menjadi anggota
Koperasi ialah setiap warga negara Indonesia yang mampu melakukan tindakan hukum.
4) Pasal 9
“Koperasi (termasuk koperasi simpan
pinjam) yang akte pendiriannya telah
disahkan oleh pemerintah
memperoleh status badan hukum”.
BMT yang berbentuk Koperasi
Jasa Keuangan Syariah (KJKS)
Menurut Pasal 1 Keputusan Menteri Negara Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah Republik Indonesia
Nomor: 91/Kep/M.KUKM/IX/2004
Tentang Petunjuk Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah Menteri, Koperasi Jasa Keuangan Syariah selanjutnya disebut KJKS adalah Koperasi yang kegiatan usahanya bergerak di bidang pembiayaan, investasi, dan simpanan sesuai pola bagi hasil (syariah).
Tujuan pengembangan Koperasi Jasa Keuangan Syariah/Unit Jasa
Keuangan Syariah adalah13:
a) Meningkatkan program
pemberdayaan ekonomi,
khususnya di kalangan usaha
13Pasal 2 Keputusan Menteri Negara Koperasi
Dan Usaha Kecil Dan Menengah Republik Indonesia Nomor : 91/Kep/M.KUKM/IX/2004
mikro, kecil, menengah dan koperasi melalui sistem syariah;
b) Mendorong kehidupan ekonomi
syariah dalam kegiatan usaha mikro, kecil, dan menengah
khususnya dan ekonomi
Indonesia pada umumnya;
c) Meningkatkan semangat dan
peran serta anggota masyarakat dalam kegiatan Koperasi Jasa Keuangan Syariah.
Dilihat dari status badan hukum BMT sebagai Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) yang tunduk kepada UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, masih
belum mampu mengakomodir
keberadaan BMT sebagai salah satu lembaga keuangan yang melayani kebutuhan masyarakat. Hal ini disebabkan, BMT berbeda dengan koperasi jenis koperasi pada
umumnya, karena BMT
dilaksanakan dengan prinsip syariah
yang berbeda dengan koperasi
konvensional dimana selain
menjalankan usaha yang bernilai bisnis atau komersil juga mempunyai nilai sosial yang pengaturannya tidak terdapat pada UU koperasi. Selain itu,
Tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah Menteri.
dalam UU No. 25 Tahun 1992 tidak berlandaskan pada prinsip syariah dimana berbeda dengan UU No. 17 Tahun 2012 dimana terdapat sedikit unsur koperasi syariah. Dengan kembali diberlakukannya undang-undang perkoperasian yang lama, mendudukan BMT sebagai Koperasi Jasa Keuangan Syariah sama dengan koperasi lainnya.
3. UU No. 1 tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro, maka status badan hukum BMT sebagai lembaga keuangan mikro hanya dapat berbentuk koperasi
atau perseroan terbatas. Bila
berbentuk koperasi, maka tunduk pada Undang-Undang No. 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian dan
pengawasan berada di bawah
Kementerian Koperasi dan UKM. Dan
jika berbadan hukum perseroan
terbatas, maka pengawasan dilakukan Otoritas Jasa Keuangan dan tunduk pada Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
a. Koperasi
14Novita Dewi Masyithoh, Op.Cit.,Hal. 64-65
BMT yang berstatus badan hukum koperasi, tunduk pada peraturan
perundang-undangan14 :
1) Undang-Undang No. 25 Tahun
1992 tentang Koperasi
2) Peraturan Pemerintah RI No. 9
Tahun 1995 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh koperasi
3) Keputusan Menteri Negara
Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 91/Kep/M.
KUKM/IX/2004 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan
Syari’ah,
a) Secara teknis mengenai
penerapan akad mudharabah dalam bentuk pembiayaan diatur dalam Fatwa DSN MUI No.
07/DSN-MUI/IV/2000 tentang
Pembiayaan Mudharabah
(Qiradh) .
b) Secara teknis mengenai
penerapan akad musyarakah dalam produk pembiayaan diatur dalam Fatwa DSN MUI
No. 08/DSN-MUI/IV/2000
tentang Pembiayaan Musyarakah.
c) Secara teknis mengenai
diatur dalam Fatwa DSN MUI
No. 04/DSN-MUI/IV/2000
tentang Murabahah
d) Secara teknis mengenai
implementasi akad salam, tunduk pada Fatwa DSN MUI No.
05/DSN-MUI/IV/2000 tentang
Jual Beli Salam
e) Secara teknis mengenai
implementasi akad istishna, tunduk pada Fatwa DSN MUI
No. 06/DSN-MUI/IV/2000
tentang Jual Beli Istishna.
f) Secara teknis mengenai
penerapan akad ijarah tunduk pada Fatwa DSN MUI No.
09/DSN-MUI/IV/2000 tentang
Pembiayaan Ijarah
g) Secara teknis mengenai
implementasi Ijarah Muntahia Bit Tamlik (IMBT) ini tunduk pada ketentuan Fatwa DSN MUI No. 27/DSN-MUI/III/2002 tentang Ijarah Mutahiyah bi Al-Tamlik
h) Secara teknis mengenai
pembiayaan qardh ini tunduk pada Fatwa DSN MUI No. 19/DSN-MUI/IX/2000 tentang al Qardh
4) Peraturan Menteri Negara
Koperasi dan Usaha Kecil
dan Menengah
35.2/Per/M.KUKM/X/2007
tentang Pedoman Standar Operasional Manajemen Koperasi
Jasa Keuangan Syari’ah, dan
5) Peraturan Menteri Negara
Koperasi dan Usaha Kecil
dan Menengah
39/Per/M.KUKM/XII/2007
tentang Pedoman Pengawasan
Koperasi Jasa Keuangan Syari’ah
dan Unit Jasa Keuangan Syariah Koperasi.
Dilihat dari banyaknya peraturan pelaksana disamping Undang-Undang koperasi, hal tersebut sangatlah wajar mengingat di dalam undang-undang koperasi yang menaungi BMT
sebagai koperasi jasa keuangan
syariah belum diakomodir secara jelas. Dengan banyaknya peraturan
pelaksana diharapkan kegiatan
pengelolaan BMT sebagai KJKS memiliki kepastian hukum. Selain itu, di dalam UU Koperasi juga belum mengakomodir BMT sebagai koperasi yang berlandaskan syariah yang tentunya berbeda dengan koperasi lainnya.
b. Perseroan Terbatas
Baitul Mal Wat Tamwil sebagai Lembaga Keuangan Mikro dapat berbentuk Koperasi atau Perseroan Terbatas walaupun pada prakteknya
umumnya berbentuk badan hukum
koperasi. Berdasarkan Pasal 5
Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro, bahwa:
(1) Bentuk badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a adalah:
a. Koperasi; atau b. Perseroan Terbatas.
(2) Perseroan Terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, sahamnya paling sedikit 60% (enam
puluh persen) dimiliki oleh
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
atau badan usaha milik
desa/kelurahan.
(3) Sisa kepemilikan saham Perseroan Terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dimiliki oleh:
a. warga negara Indonesia; dan/atau b. koperasi.
(4) Kepemilikan setiap warga negara Indonesia atas saham Perseroan Terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a paling banyak sebesar 20% (dua puluh persen).
Klausula dimana jika BMT berbentuk PT sahamnya paling sedikit 60% dimiliki oleh pemerintah daerah kabupaten/kota atau badan usaha milik
desa/ kelurahan dirasa cukup
menyulitkan. Karena dengan syarat
tersebut tentunya harus adanya
koordinasi yang baik dengan
pemerintah dan bagaimana rencana
pemerintah daerah memberikan
anggaran khusus untuk LKM tersebut.
4. Undang-Undang Nomor 21 tahun
2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
UU No. 21 tahun 2011 mengatur tentang keberadaan dan ruang lingkup wewenang OJK. Mengingat dalam pasal ketentuan peralihan UU No. 1 tahun 2013 tentang LKM disebutkan secara eksplisit
bahwa BMT akan berada dalam
pengawasan OJK, maka sepatutnya BMT
memahami pula kelembagaan,
wewenang dan ruang lingkup
pengawasan OJK secara keseluruhan. Selain itu, di dalam UU LKM OJK diberi kewenangan tertentu seperti pengaturan batasan modal, kepemilikan LKM, dan perizinan usaha LKM. Dalam UU OJK memang tidak disebutkan secara eksplisit lembaga keuangan mikro termasuk BMT, namun bukan berarti undang-undang ini tidak perlu diperhatikan oleh komunitas BMT. Meski undang-undang ini tidak
terkait langsung dan memiliki
konsekuensi langsung, namun tetap saja keberadaan undang-undang ini akan menjadi batasan bagi BMT pada tingkat interaksi tertentu.
BMT merupakan lembaga keuangan mikro yang mempunyai karakteristik khusus karena dalam pelaksanaannya memperhatikan nilai komersil dan nilai sosial. Selain itu, bentuk badan hukum BMT yang bisa berbentuk koperasi atau PT membuat peraturan yang melandasi kegiatan BMT ini
cukup beragam, yaitu
Undang-Undang Nomor no 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992
Tentang Perkoperasian,
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Selain undang-undang tersebut,
terdapat berbagai macam peraturan yang membantu pelaksanaan BMT.
E.Saran
Pemerintah hendaknya membuat
regulasi atau peraturan pelaksana
dengan mempertimbangkan
karakteristik BMT yang mempunyai nilai sosial dan komersil sehingga hal tersebut dapat mencegah terjadinya
tumpang tindih peraturan yang
mungkin dikeluarkan oleh masing-masing lembaga yang mempunyai otoritas tanpa melakukan koordinasi terlebih dahulu.
DAFTAR PUSTAKA
Awalil Rizky,BMT Fakta dan Prospek
Baitul Maal Wa
Tamwil,Yogyakarta, Kreasi
Wacana,2007
Dr. Jamal Lulail Yunus, S.E., M.M.,
Managemen Bank Syariah “ mikro”, Malang: UIN Malang Press (anggota IKAPI), 2009
Elfa Murdiana, Menggagas Payung Hukum Baitu Maal Wattanwil
(BMT) Sebagai Koperasi Syari’ah
dalam Bingkai Ius Constituendum, Jurnal Penelitian, Vol.10,No.2, Edisi Agustus 2016
Neni Sri Imaniyati, Aspek-Aspek Hukum BMT, Bandung, Citra Adtya Bakti, 2010
Novita Dewi Masyithoh, S.H.,
M.H.2014, Kajian Rechtdogmatiek Empiric Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Atas
Status Badan Hukum dan
Pengawasan Baitul Maal Wat Tamwil (BMT). Laporan Penelitian IAIN Walisongo.
Muhammad Ridwan, Manajemen Bank Syariah, Yogyakarta, UPP AMP YKPN, 2003
Nurul Huda, Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam Tinjauan Teoritis dan Praktis, Jakarta: PT. Fajar Interpratama Mandiri,2013
Sri Dewi Yusuf,2014, Peran Strategis BMT dalam Peningkatan Ekonomi Rakyat, Volume 10 No.1 Edisi Juni 2014
http://abiaqsa.blogspot.co.id/2013/03/bm
t-dikepung-oleh-undang-undang.html, Diakses pada 1
November 2016 pukul 09.141
http://www.academia.edu/5380514/Urge nsi_LPS_Bagi_BMT_sebagai_Ben tuk_Perlindungan_Hukum, diakses tanggal 3 Juni 2014 pukul 22.26
http://www.bmtmuda.com/2013/02/bmt-sebagai-pendorong-ekonomi.html, diakses tanggal 30 Oktober 2016 pukul 12.55
http://www.antaranews.com/berita/4618 26/bmt-alternatif-pemberdayaan-ekonomi-kerakyatan, diakses 30 Oktober 2016 pukul 13.00