Manakah yang lebih mengembangkan HOTS, Kurikulum 2013
atau
Cambridge Curriculum
?
Toni Hidayat1 Diana Rochintaniawati2 Ghery Priscylio3
Program Studi Pendidikan IPA Program Studi Pendidikan IPA Program Studi Pendidikan IPA Universitas Pendidikan Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia toni@upi.edu* diana_rochintaniawati@upi.edu ghery.priscylio@upi.edu
Artikel Info: Received Oktober 2019 Revised November 2019 Accepted November 2019
Abstrak. Higher Order Thinking Skills (HOTS) dan asesmen formatif merupakan bagian penting dalam pembelajaran IPA untuk mencapai keterampilan abad ke-21. Sementara itu, jumlah sekolah yang menerapkan
Cambridge Curriculum di Indonesia terus meningkat. Penelitian ini bertujuan
untuk menguji praktik kurikulum mana yang lebih mengembangkan HOTS, apakah Kurikulum 2013 atau Cambridge Curriculum. Siswa diberi kuisioner yang berisi pernyataan tentang indikator HOTS dalam asesmen formatif. Data dalam penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dari asesmen formatif pada Kurikulum 2013 dan Cambridge Curriculum dalam mengembangkan HOTS siswa.
Kata Kunci: HOTS, Asesmen formatif, Kurikulum
Abstract. Both of Higher Order Thinking Skills (HOTS) and formative
assessment constitute essential parts of science learning to achieve 21st-century
skills. Meanwhile number of schools that apply Cambridge curriculum in Indonesia increase. This study is to examine which curriculum practice develop more HOTS, whether Kurikulum 2013 or Cambridge Curriculum. Students were given a questionnaire containing statements about HOTS indicators in the formative assessment. The data shows that no significant difference in formative assessment between Kurikulum 2013 and Cambridge Curriculum in developing students’ HOTS.
Keywords: HOTS, Formative assessment, curriculum
1.
Pendahuluan
Indeks daya saing global menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat ke-45. Sementara tiga negara tetangga memiliki peringkat yang lebih baik, yaitu Singapura (ke-2), Malaysia (ke-25) dan Thailand (ke-38) (World Economic Forum, 2018). Salah satu faktor yang mempengaruhi indeks daya saing global ialah pendidikan (Sriningsih & Wijayanti, 2019; World Economic Forum, 2018). Oleh karena itu, kualitas pendidikan di Indonesia harus terus ditingkatkan. Peningkatan kualitas pendidikan juga bertujuan agar siswa mampu menghadapi tantangan abad ke-21. Siswa perlu menguasai berbagai keterampilan yang berorientasi pada tantangan ini. Salah satu keterampilan yang perlu dikuasai siswa
untuk menghadapi tantangan abad ke-21 ialah Higher Order Thinking Skills (HOTS) (Collins, 2014;
McQuiggan, Kosturko, McQuiggan, & Sabourin, 2015). Oleh karenanya, sekolah perlu memfasilitasi pengembangan HOTS siswa melalui praktik kurikulum yang diterapkan.
Kurikulum yang diterapkan oleh sekolah-sekolah di Indonesia tidak hanya kurikulum 2013, tetapi juga kurikulum yang berasal dari luar negeri. Kurikulum dari luar negeri yang paling banyak diterapkan
di Indonesia ialah Cambridge Curriculum. Sekolah-sekolah di Indonesia yang menerapkan Cambridge
Ben Schmidt, direktur regional Southeast and Pacific Cambridge International, ada peningkatan yang
signifikan pada jumlah sekolah yang menerapkan Cambridge Curriculum di Indonesia. Pada 2016 ada
180 sekolah dan pada 2018 ada 218 sekolah yang menerapkan Cambridge Curriculum. Dengan kata
lain, selama dua tahun ini jumlah sekolah yang menerapkan Cambridge Curriculum meningkat 38
sekolah atau meningkat 21,11% (Harususilo, 2018).
Terdapat lebih dari 160 negara dan lebih dari 10.000 sekolah di seluruh dunia yang menggunakan
Cambridge Curriculum (Cambridge Assessment International Education, 2019). Ini menunjukkan
bahwa Cambridge Curriculum mungkin memiliki kualitas yang sangat baik, karena banyak negara dan
sekolah yang menerapkannya. Ini tidak aneh lagi, mengingat kurikulum ini didesain di Universitas Cambridge yang merupakan kampus yang masuk dalam jajaran kampus terbaik dunia. Selain itu,
Cambridge Curriculum memang memberikan tawaran mata pelajaran yang relatif banyak sehingga dapat mengakomodir berbagai kebutuhan sekolah di berbagai negara. Kurikulum ini juga dapat dikatakan cukup responsif terhadap perkembangan jaman. Ini ditunjukkan oleh tersedianya silabus dari kurikulum ini yang terus diperbaharui.
Peningkatan jumlah sekolah yang menerapkan Cambridge Curriculum di Indonesia dapat
dipandang suatu kemajuan maupun kemunduran. Dikatakan kemajuan karena Indonesia memiliki sekolah-sekolah yang memiliki standar yang sama dengan sekolah-sekolah di negara-negara maju. Dikatakan kemunduran karena peningkatan ini mengindikasikan bahwa kualitas Kurikulum 2013 lebih
rendah dibandingkan dengan Cambridge Curriculum. Padahal Kurikulum 2013 adalah kurikulum
nasional yang dirancang khusus bagi sekolah-sekolah di Indonesia. Dengan adanya sekolah-sekolah di Indonesia yang menerapkan kurikulum selain Kurikulum 2013, menandakan bahwa terdapat rumpang antara kebutuhan sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan dan kemampuan Kurikulum 2013 dalam menjawab kebutuhan tersebut.
Selalu terdapat perbedaan antara teori dan praktek kurikulum di sekolah (Dataworks Educational
Research, 2019). Praktek Cambridge Curriculum di Indonesia juga demikian. Terdapat perbedaan antara
tujuan pembelajaran dalam silabus Cambridge Curriculum dengan proses pengajaran di kelas (Keumala,
2013). Padahal kesempatan siswa untuk belajar dan memiliki keterampilan berpikir yang baik dapat ditingkatkan dengan menyesuaikan antara tujuan pembelajaran dan asesmennya (FitzPatrick & Schulz,
2015). Jika terdapat perbedaan antara teori dan praktek, maka kualitas Cambridge Curriculum di
Indonesia belum tentu sama dengan negara-negara lainnya. Bahkan bisa saja praktek Cambridge
Curriculum sama dengan praktek Kurikulum 2013. Dengan kata lain, tidak terdapat perbedaan yang signifikan di antara praktek keduanya.
Terkait dengan pengembangan HOTS siswa, Cambridge Curriculum diklaim sebagai kurikulum
yang lebih berorientasi pada HOTS dibandingkan dengan Kurikulum 2013 (Prichilia, 2019). Sebenarnya Kurikulum 2013 pun telah mulai memberikan perhatian pada HOTS siswa. Ini ditunjukkan oleh adanya soal-soal bertipe HOTS dalam Ujian Nasional (UN) SMP tahun 2015, 2016 dan 2018 secara berurutan sebanyak 15% (Nugroho, 2018), 15% dan 27,5% (Lina, 2017). Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan. Kurikulum mana yang lebih mengembangkan HOTS? Sementara itu penilaian orang tua
siswa terhadap Cambridge Curriculum diduga dipengaruhi oleh labelnya sebagai kurikulum
internasional. Label ini mengakibatkan orang tua siswa menganggap bahwa Cambridge Curriculum
lebih baik daripada Kurikulum 2013. Dengan mengetahui kurikulum mana yang lebih mengembangkan HOTS, penilaian orang tua siswa terhadap kedua kurikulum akan lebih objektif. Label nasional dan internasional hanya akan menunjukkan dari mana kurikulum itu berasal. Ini juga diharapkan membantu orang tua siswa dalam memilih sekolah untuk anak-anaknya.
Terdapat beberapa cara untuk mengembangkan HOTS siswa, misalnya dengan menggunakan
model pembelajaran berbasis rural tourism (Pamungkas, 2018). Namun cara ini memerlukan persiapan
yang matang, karena guru harus menyiapkan beragam perangkat pembelajaran. Salah satu cara efektif untuk mengembangkan HOTS siswa ialah dengan menggunakan asesmen formatif (Kusuma, Rosidin, Abdurrahman, & Suyatna, 2017). Ini karena asesmen formatif dapat mengukur keterampilan berpikir siswa dan memberikan kesempatan bagi guru untuk mengamati dan mendiskusikan penalaran siswa (Brookhart, 2010). Selain itu, evaluasi berbasis proses merupakan bentuk evaluasi yang esensial dalam
pengembangan keterampilan berpikir (Schraw & Robinson, 2011). Oleh karena itu, perlu adanya perbandingan antara dua kurikulum ini dalam pemanfaatan asesmen formatif untuk mengembangkan HOTS siswa, terutama dalam mata pelajaran IPA. Ini karena HOTS telah menjadi agenda tetap dalam mereformasi bagaimana IPA diajarkan di kelas (Fensham & Bellocchia, 2013). HOTS juga penting bagi siswa dalam mempelajari IPA agar dapat bernalar seperti ilmuwan (Saido, Siraj, DeWitt, & Al-Amedy, 2018). Perbandingan berdasarkan persepsi siswa, yang merupakan peran utama dalam proses pembelajaran, perlu dilakukan. Siswa memiliki persepsi yang berbeda dengan guru dan pembuat kebijakan, sehingga perlu untuk menghargai perbedaan ini sebagai salah satu bahan evaluasi (VanderJagt, 2013). Unsur soal yang dibandingkan ialah indikator-indikator soal yang menguji HOTS.
Indikator pertama soal yang menguji HOTS ialah adanya stimulus (Brookhart, 2010; Lailly & Wisudawati, 2015). Stimulus dalam soal dapat berupa penggalan kasus, tabel, grafik, diagram atau gambar. Adanya stimulus dalam soal dapat menghindarkan soal yang bersifat hapalan, karena guru dapat menampilkan beragam informasi terkait materi ajar yang di luar yang sudah dibahas di kelas. Siswa akan dituntut untuk menggali informasi dalam stimulus dan kemudian menggunakannya sebagai dasar untuk menjawab soal. Indikator kedua soal yang menguji HOTS ialah soal bersifat kontekstual (Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas, 2017; Widana, 2017). Soal tidak hanya menguji pemahaman konsep siswa saja, tetapi menguji siswa dalam menerapkan konsep itu dalam kehidupan sehari-harinya. Soal yang bersifat kontekstual akan mengangkat suatu isu di lingkungan yang terkait dengan materi yang sedang diujikan. Indikator ketiga soal yang menguji HOTS ialah soal menguji domain kognitif tinggi (Brookhart, 2010; Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas, 2017; Kusuma et al., 2017; Widana, 2017). Domain ini didasarkan pada domain kognitif yang dirumuskan oleh Bloom. Dalam taksonominya, domain kognitif dibedakan dalam enam tingkatan, yaitu mengingat, memahami, mengaplikasikan, menganalisis, mengevaluasi dan mencipta. Tingkat mengingat, memahami dan mengaplikasikan termasuk dalam domain kognitif rendah. Tingkat menganalisis, mengevaluasi dan mencipta termasuk dalam domain kognitif tinggi. Indikator keempat soal yang menguji HOTS ialah soal menguji keterampilan berpikir kritis. Keterampilan ini diuraikan lagi menjadi kompetensi untuk memberikan penjelasan sederhana, membangun keterampilan dasar, menyimpulkan, membuat penjelasan lebih lanjut dan mengatur strategi dan taktik (Lailly & Wisudawati, 2015). Indikator kelima soal yang menguji HOTS ialah soal menguji keterampilan berpikir kreatif. Keterampilan ini memiliki
lima ciri, yaitu kelancaran (fluency), keluwesan (flexibility), keaslian (originality), penguraian
(elaboration) dan perumusan kembali (redefinition) (Lailly & Wisudawati, 2015). Indikator keenam soal yang menguji HOTS ialah soal memiliki keragaman format tes (Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas, 2017; King, Goodson, & Rohani, 2012). Format tes dapat berupa tes lisan atau tertulis. Format tes tertulis bisa berupa pilihan ganda, esai, isian dan menjodohkan.
2.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode survey. Tujuannya ialah untuk mendapatkan persepsi dari sekelompok orang mengenai suatu hal. Untuk mendapatkan data, subjek penelitian diberikan beberapa pertanyaan (Fraenkel, Wallen, & Hyun, 2012). Penelitian dilakukan pada
semester ganjil tahun ajaran 2018/2019. Teknik penentuan sampel adalah convenience sampling
berdasarkan kesediaan sekolah untuk dijadikan tempat penelitian. Subjek penelitian ialah siswa-siswi kelas 7, 8 dan 9 sebuah SMP yang berlokasi di Lembang, Bandung. Sekolah ini menerapkan Kurikulum
2013 dan Cambridge Curriculum sekaligus.
Siswa diberikan kuisioner yang menggunakan skala Likert dengan nilai dari 1 (sangat tidak setuju) hingga 5 (sangat setuju) untuk menentukan persepsi mereka tentang asesmen formatif berupa soal Ulangan Harian (UH) mata pelajaran IPA. Kuisioner terdiri dari 37 pernyataan yang bersifat positif atau negatif. Pernyataan-pernyataan ini berkaitan dengan indikator-indikator HOTS dalam asesmen.
Tabel 1. Kisi-kisi Kuesioner
No. Kisi-kisi Jumlah Pernyataan
1 Adanya stimulus 5
2 Bersifat kontekstual 10
3 Menguji domain kognitif tinggi 8
4 Menguji keterampilan berpikir kritis 6
5 Menguji keterampilan berpikir kreatif 4
6 Memiliki keragaman format tes 4
Jumlah Pernyataan 37
Analisis data menggunakan statistik deskriptif dan inferensial. Dalam statistik deskriptif, dihitung nilai rata-rata ranking tiap indikator dalam kedua kurikulum. Dalam statistik inferensial, uji yang digunakan ialah uji Mann-Whitney. Kedua perhitungan statistik dilakukan dengan bantuan perangkat
lunak SPSS versi 25. Nilai rata-rata tiap indikator dibandingkan antara Kurikulum 2013 dan Cambridge
Curriculum. Signifikansi perbedaan tiap indikator dalam kedua kurikulum diperhitungkan. Ini bertujuan untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan penelitian untuk menentukan praktek kurikulum mana yang lebih mendukung pengembangan HOTS siswa.
3.
Hasil dan Pembahasan
Di sekolah ini, siswa akan mengikuti dua asesmen sumatif, yaitu UN dan ujian IGCSE (ujian akhir
dari Cambridge Curriculum). Kurikulum 2013 diterapkan pada siswa kelas 9 saja. Pertimbangannya
ialah siswa kelas 9 akan segera mengikuti UN. Oleh karenanya, bentuk pembelajaran pada kelas 9 disesuaikan dengan Kurikulum 2013. Imbasnya soal UH untuk kelas 9 telah merujuk pada tipe-tipe soal UN. Dengan begitu, asesmen formatif yang diberikan akan mendukung siswa untuk menyiapkan diri menghadapi asesmen sumatif. Keseimbangan antara asesmen formatif dan sumatif diperlukan dalam mencapai keterampilan abad ke-21 (Battele for Kids, 2019).
Cambridge Curriculum diterapkan pada siswa kelas 7 dan 8. Secara prakteknya, unsur-unsur dalam Kurikulum 2013 tetap disisipkan dalam proses pembelajaran. Contohnya ialah disisipkannya soal-soal tipe UN pada soal UH-nya. Ini dimaksudkan agar siswa kelas 7 dan 8 tidak asing dengan tipe soal pada Kurikulum 2013. Saat siswa kelas 7 dan 8 naik ke kelas 9, pendalaman materi untuk persiapan UN mereka diharapkan menjadi lebih mudah. Penyesuaian ini menimbulkan perbedaan antara teori dan praktek kurikulum (Wiliam, 2013).
Asesmen formatif merupakan salah satu bagian kritis dalam pendidikan (Bennett, 2011). Oleh karenanya, penting untuk mendapatkan persepsi siswa mengenai asesmen formatif. Kuisioner tentang persepsi ini diisi oleh 36 siswa gabungan kelas 7 dan 8 serta 28 siswa kelas 9. Hasil dari kuisioner
disajikan dalam Tabel 1.
Empat indikator HOTS dalam asesmen Cambridge Curriculum memiliki nilai rata-rata rangking
yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai rata-rata ranking indikator HOTS dalam asesmen Kurikulum 2013. Indikator-indikator itu ialah ketersediaan stimulus, soal menguji keterampilan berpikir kritis, soal menguji keterampilan berpikir kreatif dan keragaman format tes. Sementara dua indikator lainnya, soal bersifat kontekstual dan soal menguji domain kognitif tinggi, memiliki nilai rata-rata
rangking lebih tinggi pada Kurikulum 2013. Cambridge Curriculum memiliki indikator lebih banyak
dengan rata-rata rangking lebih tinggi karena mungkin memang kurikulum ini memiliki kualitas yang
lebih baik daripada Kurikulum 2013. Jumlah sekolah dan negara yang menggunakan Cambridge
yang mengunakan Cambridge Curriculum secara berturut-turut ialah lebih dari 160 negara dan 10.000 sekolah (Cambridge Assessment International Education, 2019).
Tabel 2. Statistik deskriptif dan nilai p dari indikator HOTS dalam soal UH IPA
Indikator Kurikulum 2013 Cambridge Curriculum Nilai p Rerata Ranking Jumlah Ranking Rerata Ranking Jumlah Ranking Ketersediaan stimulus 27,95 782,50 36,04 1297,50 0,083
Soal bersifat kontekstual 33,66 942,50 31,60 1137,50 0,659
Soal menguji domain kognitif
tinggi 33,00 924,00 32,11 1156,00 0,849
Soal menguji keterampilan
berpikir kritis 30,02 840,50 34,43 1239,50 0,345
Soal menguji keterampilan
berpikir kreatif 30,50 854,00 34,06 1226,00 0,446
Keragaman format tes 28,91 809,50 35,29 1270,50 0,170
Perbedaan yang paling besar dari nilai rata-rata ranking terdapat pada indikator ketersediaan
stimulus dan keragaman format tes. Soal pada Cambridge Curriculum mungkin lebih banyak
mengandung penggalan kasus, tabel, grafik, diagram atau gambar sebagai pengantar soal. Stimulus ini dapat digunakan sebagai penyaji data yang lebih ringkas dibandingkan dengan menggunakan kalimat.
Format tes pada Cambridge Curriculum terdiri dari respon objektif, pilihan ganda, isian singkat dan
essay. Pada format tes respon objektif, misalnya siswa diminta untuk menambahkan garis pada diagram, melengkapi deret angka atau pernyataan (Cambridge Assessment, 2017). Pada format tes essay, siswa biasanya diminta untuk menggambar, mensketsa, membuat tabel atau grafik. Inilah yang mungkin mengakibatkan format tesnya dirasakan lebih beragam oleh siswa. Format-format tes seperti ini sepertinya jarang ditemukan dalam soal-soal dalam Kurikulum 2013.
Indikator soal bersifat kontekstual lebih tinggi pada Kurikulum 2013. Ini dimungkinkan karena soal UH pada kurikulum ini menggunakan konteks yang sama dengan lingkungan sekitar siswa tinggal.
Kesamaan konteks ini dianggap siswa sebagai soal yang lebih kontekstual. Sementara Cambridge
Curriculum mungkin menggunakan konteks global, sehingga siswa merasa asing dengan konteks
tersebut. Cambridge Curriculum memang didesain untuk digunakan oleh sekolah-sekolah di seluruh
dunia. Kontekstual sendiri ialah usaha mengaplikasikan materi ajar dengan dunia nyata siswa sehari-hari (Kurniasih, 2016). Kontekstualitas dalam proses pembelajaran sangat penting, karena ia mempengaruhi hasil belajar siswa (Deta, 2017).
Soal yang diberikan kepada siswa, harus menghindari proses pemanggilan hapalan semata (Brookhart, 2010). Proses seperti ini ada dalam tiga level terrendah dalam taksonomi Bloom. Untuk menguji HOTS siswa, perlu menguji level domain kognitif tinggi. Nilai rata-rata ranking indikator soal menguji domain kognitif tinggi lebih tinggi pada soal UH Kurikulum 2013. Ini dimungkinkan adanya miskonsepsi pada siswa tentang arti domain kognitif tinggi. Siswa diduga mengira soal yang menguji domain kognitif tinggi artinya soal tersebut sulit dikerjakan atau menuntut banyak langkah dalam menjawabnya. Namun sebenarnya antara tingkat kesulitan dan domain kognitif soal adalah dua hal yang berbeda.
Berdasarkan pengujian statistik inferensial, nilai p pada semua indikator lebih dari 0,05. Ini
diartikan bahwa asesmen formatif pada Kurikulum 2013 dan Cambridge Curriculum tidak berbeda
dilihat dari nilai rata-rata ranking, namun ternyata perbedaan-perbedaan tersebut tidaklah signifikan secara statistik. Ini dimungkinkan karena adanya integrasi kedua kurikulum ini pada kelas 7 dan 8. Dalam integrasi kurikulum, terdapat proses adopsi dan adaptif di antara kedua kurikulum (Kurniawan,
2018). Salah satu cara mengintegrasikan kurikulum ialah dengan model connected. Dalam model ini,
kompetensi yang beririsan akan digabungkan. Sementara kompetensi yang berbeda akan tetap berdiri sendiri. Hasilnya ialah sederetan kompetensi hasil integrasi kedua kurikulum ini (Purnomo, 2015). Penggunaan model ini memungkinkan kaburnya karakter masing-masing kurikulum, sehingga tidak terdapat perbedaan diantara keduanya. Namun ini belum diketahui apakah memang kedua kurikulum telah terintegrasi dengan baik atau belum.
Penelitian ini tidak menjelaskan apa yang menjadi faktor penyebab samanya praktek kedua kurikulum dalam mengembangkan HOTS. Ada tiga kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, teori kedua kurikulum ini memang sama dalam mengembangkan HOTS, sehingga prakteknya pun sama. Kedua,
teori salah satu kurikulum lebih baik daripada teori kurikulum lainnyadalam mengembangkan HOTS.
Kurikulum dengan teori kurang baik dapat dipraktekkan lebih baik, sehingga praktek keduanya menjadi
sama. Ketiga, teori salah satu kurikulum lebih baik daripada teori kurikulum lainnya dalam
mengembangkan HOTS, namun kurikulum yang lebih baik secara teori itu salah dipraktekkan, sehingga prakteknya menjadi sama dengan kurikulum lainnya. Terlepas dari hasil kesimpulan dan kemungkinan faktor yang menyebabkannya ini, HOTS tetap penting diajarkan pada kedua kurikulum ini. Ini bertujuan agar siswa mampu memperoleh keterampilan abad ke-21 yang menjadi tuntutan saat ini. Oleh karenanya guru harus mampu mengukur dan meningkatkan HOTS siswa. Namun ternyata pengetahuan guru untuk mengukur dan meningkatkan HOTS siswa masih rendah (Retnawati, Djidu, Kartianom, Apino, & Anazifa, 2018).
4.
Kesimpulan
Berdasarkan persepsi siswa, tidak ada perbedaan yang signifikan antara praktek Kurikulum 2013 dan Cambridge Curriculum pada asesmen formatif IPA dalam mengembangkan HOTS siswa. Dilihat dari nilai rata-rata tiap indikatornya, asesmen formatif IPA dalam Kurikulum 2013 lebih baik dalam
indikator kontekstual dan menguji domain kognitif tinggi. Sementara asesmen formatif Cambridge
Curriculum lebih baik pada ketersediaan stimulus, menguji keterampilan berpikir kritis, menguji keterampilan berpikir kreatif dan keragaman format tes.
5.
Saran
Diperlukan penelitian lanjutan untuk menganalisis asesmen formatif pada Kurikulum 2013 maupun
Cambridge Curriculum dalam pengembangan HOTS siswa yang dilihat dari dokumen asesmennya yang berupa lembar pertanyaan. Ini bertujuan untuk mendapatkan deskripsi dan inferensi yang lebih utuh terhadap praktek kedua kurikulum ini dalam mengembangkan HOTS siswa.
6.
Ucapan Terima Kasih
Terima kasih saya ucapkan untuk Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang membiayai studi magister saya, dosen mata kuliah analisis kurikulum IPA yang telah memberikan kesempatan untuk mengamati praktek kurikulum di sekolah, kepala sekolah SMP di Lembang yang telah memberikan izin
untuk melakukan penelitian dan reviewer yang telah memeriksa artikel ini.
Referensi
Battele for Kids. (2019). Framework for 21st Century Learning Definitions. Retrieved July 20, 2019, from
https://www.battelleforkids.org/learning-hub/learning-hub-item/framework-for-21st-century-learning-definitions
Bennett, R. E. (2011). Formative assessment: a critical review. Assessment in Education: Principles,
Policy & Practice, 18(1), 5–25. https://doi.org/10.1080/0969594X.2010.513678
Brookhart, S. M. (2010). How to Assess Higher-Order Thinking Skills in Your Classroom. Virginia:
ASCD.
Cambridge Assessment. (2017). The Cambridge Approach to Assessment. Retrieved from https://www.cambridgeassessment.org.uk/Images/cambridge-approach-to-assessment.pdf Cambridge Assessment International Education. (2019). Facts and Figures. Retrieved July 25, 2019,
from https://www.cambridgeinternational.org/about-us/what-we-do/facts-and-figures
Collins, R. (2014). Skills for the 21st Century: teaching higher-order thinking. Curriculum and
Leadership Journal, 12(14).
Dataworks Educational Research. (2019). The Curriculum Gap. Retrieved from https://dataworks-ed.com/research/curriculum-gap
Deta, G. U. (2017). Pengaruh Pendekatan Kontekstual Terhadap Prestasi Belajar Fisika Pokok Bahasan Getaran dan Gelombang Siswa Kelas VIII SMP Negeri 9 Yogyakarta Tahun Ajaran
2015/2016. Compton: Jurnal Ilmiah Pendidikan Fisika, 4(2), 16–23.
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas. (2017). Modul Penyusunan Soal Higher Order
Thinking Skill (HOTS). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Fensham, P. J., & Bellocchia, A. (2013). Higher Order Thinking in Chemistry Curriculum and its
Assessment. Thinking Skills and Creativity, 10, 250–264.
Fitz Patrick, B., & Schulz, H. (2015). Do Curriculum Outcomes and Assessment Activities in Science
Encourage Higher Order Thinking? Canadian Journal of Science, Mathematics and Technology
Education, 15(2), 136–154. https://doi.org/10.1080/14926156.2015.1014074
Fraenkel, J. R., Wallen, N. E., & Hyun, H. H. (2012). How to Design and Evaluate Research in
Education. New York: McGraw-Hill.
Harususilo, Y. E. (2018). Babak Baru Kurikulum “Cambridge International” di Indonesia. Retrieved July 26, 2019, from https://edukasi.kompas.com/read/2018/08/02/22080731/babak-baru-kurikulum-cambridge-international-di-indonesia
Keumala, Y. (2013). Implementation of Cambridge International General Certificate of Secondary
Education Curriculum in Plant Transport System Topic in an International School. Universitas Pendidikan Indonesia.
King, F., Goodson, L., & Rohani, F. (2012). Higher Order Thinking Skills: Definition, Teaching
Strategies, Assessment. Florida: Center for Advancement of Learning and Assessment.
Kurniasih, A. W. (2016). Budaya Mengembangkan Soal Cerita Kontekstual Open-Ended Mahasiswa
Calon Guru Matematika untuk Meningkatkan Berpikir Kritis. PRISMA, Prosiding Seminar
Kurniawan, A. B. H. (2018). Implementasi Kurikulum Integrasi (Kurikulum Cambridge dan Kurikulum 2013) Matematika Kelas VIII di MTs Bilingual Muslimat NU Pucang Sidoarjo. Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
Kusuma, M. D., Rosidin, U., Abdurrahman, & Suyatna, A. (2017). The Development of Higher Order
Thinking Skill (Hots) Instrument Assessment in Physics Study. IOSR Journal of Research &
Method in Education, 7(5), 26–32.
Lailly, N. R., & Wisudawati, A. W. (2015). Analisis Soal Tipe Higher Order Thinking Skill (HOTS)
dalam Soal UN Kimia SMA Rayon B Tahun 2012/2013. Kaunia, 6(1), 27–39.
Lina, N. F. (2017). Profil Soal Ujian Nasional IPA Tingkat SMP/MTs Tahun Ajaran 2015-2016
Berdasarkan Perspektif Higher Order Thinking Skill (HOTS). Universitas Muhammadiyah Surakarta.
McQuiggan, S., Kosturko, L., McQuiggan, J., & Sabourin, J. (2015, March 9). Higher-Order Thinking
Skills and Digital Fluency. Mobile Learning, pp. 85–113.
https://doi.org/doi:10.1002/9781118938942.ch5
Nugroho, B. P. (2018). Mengenal “HOTS”, Penyebab Soal UNBK Dikeluhkan Begitu Sulit. Retrieved July 26, 2019, from https://news.detik.com/berita/3975448/mengenal-hots-penyebab-soal-unbk-dikeluhkan-begitu-sulit
Pamungkas, S. J. (2018). Penyusunan Perangkat Pembelajaran Biologi Berbasis Rural Tourism Desa Wisara Pentingsari Cangkringan untuk Meningkatkan HOTS dan Menanamkan Life Skills.
Natural: Jurnal Ilmiah Pendidikan IPA, 5(2), 51–62.
Prichilia, F. (2019). Sekolah Internasional dengan Kurikulum IB dan Cambridge, Apa Bedanya? Retrieved July 28, 2019, from https://kumparan.com/@kumparanmom/sekolah-internasional-dengan-kurikulum-ib-dan-cambridge-apa-bedanya-1551447535210725531
Purnomo, M. (2015). Integrasi Kurikulum Cambridge dalam Kurikulum 2013 pada Mata Pelajaran
Matematika Sekolah Menengah Pertama (Perspektif Pengembangan Prosedur). Prosiding
Seminar Nasional Matematika Dan Pendidikan Matematika UMS 2015, 246–254.
Ramadhani, M., & Rostiyani, Y. (2013). More Indonesian schools implement Cambridge curriculum. Retrieved July 28, 2019, from
https://www.republika.co.id/berita/en/jakarta-region-others/13/06/04/mnvnq2-more-indonesian-schools-implement-cambridge-curriculum
Retnawati, H., Djidu, H., Kartianom, Apino, E., & Anazifa, R. D. (2018). Teachers’ Knowledge about
Higher-Order Thinking Skills and Its Learning Strategy. Problems of Education in the 21st
Century, 76(2), 215–230.
Saido, G. A. M., Siraj, S., DeWitt, D., & Al-Amedy, O. S. (2018). Development of an instructional model for higher order thinking in science among secondary school students: a fuzzy Delphi
approach. International Journal of Science Education, 40(8), 847–866.
https://doi.org/10.1080/09500693.2018.1452307
Schraw, G., & Robinson, D. R. (2011). Assessment of Higher Order Thinking Skills. Austin:
Sriningsih, R. R., & Wijayanti, A. (2019). Bagaimana cara mengembangkan LKS IPA berbasis inquiry
untuk SMP? Natural: Jurnal Ilmiah Pendidikan IPA, 6(1), 34–42.
Vander Jagt, D. D. (2013). Student Thoughts and Perceptions on Curriculum Reform. Western Michigan
University.
Widana, I. W. (2017). Higher Order Thinking Skilss Assessment (HOTS). Journal of Indonesian
Students Assessment and Evaluation, 3(1), 32–44.
Wiliam, D. (2013). Assessment: The Bridge between Teaching and Learning. Voices from the Middle,
21(2), 15–20.
World Economic Forum. (2018). The Global Competitiveness Report 2018 (K. Schwab, Ed.).
Retrieved from http://www3.weforum.org/docs/GCR2018/05FullReport/ TheGlobalCompetitivenessReport2018.pdf