• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pendidikan Agama Kristen Dalam Keluarga Dengan Orang Tua Beda Agama di Jemaat GKMI Salatiga T2 752013020 Bab IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pendidikan Agama Kristen Dalam Keluarga Dengan Orang Tua Beda Agama di Jemaat GKMI Salatiga T2 752013020 Bab IV"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

83

BAB IV

REFLEKSI TEOLOGIS

Dalam bab IV ini akan dipaparkan suatu refleksi teologis tentang PAK

dalam keluarga dengan orang tua beda agama. Refleksi teologis ini terbagi

menjadi dua bagian, yaitu PAK keluarga menurut kesaksian Alkitab, dan keluarga

dengan orang tua beda agama dalam gereja. Melalui refleksi ini diharapkan PAK

dalam keluarga dengan orang tua beda agama dapat dipahami lebih baik.

4.1. PAK keluarga menurut Alkitab

Dalam deskripsi dan analisis permasalah PAK dalam keluarga dengan

orang tua beda agama di GKMI Salatiga terlihat bahwa masalah pokok yang

menonjol adalah pemahaman yang kurang memadai terhadap PAK oleh orang tua

dari keluarga beda agama. Hal itu terjadi oleh karena sosialisasi dari gereja belum

maksimal dan Sumber Daya Manusia (SDM) dari orang tua itu sendiri. Oleh

karena itu GKMI Salatiga perlu mereinterpretasi ajaran dan merekonstruksi

teologinya sebagai salah satu upaya dalam mensosialisasikan PAK dalam

keluarga. Dalam hal inilah peneliti merujuk pada ayat Alkitab Ulangan 6 : 4-9.

(2)

84

tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu

gerbangmu”.

Ayat ini merupakan salah satu bagian Alkitab yang paling banyak dikenal

karena secara lugas menyebutkan tugas orang tua untuk mengajarkan apa yang

perintahkan oleh Tuhan.

Tugas pengajaran yang harus dilakukan orang tua kepada anak dalam ayat

ini harus dilihat dalam hubungannya dengan seluruh rangkaian cerita tentang apa

yang Allah perintahkan terhadap umat Israel (Ulangan 6 : 1-25) atau dalam

hubungan yang lebih luas dengan perintah-perintah yang Allah berikan melalui

Musa kepada bangsa Israel setelah mereka keluar dari Mesir, yaitu bagaimana

mereka harus hidup menuruti perintah Allah dan pengalaman yang mereka terima

atas penyelamatan dari Tuhan (pengalaman iman). Dengan demikian sumber

mutlak dari pendidikan umat Israel adalah Firman Tuhan sendiri,

peristiwa-peristiwa sejarah yang mereka alami dan perbuatan-perbuatan ajaib Allah yang

mereka terima.

Peristiwa sejarah umat Israel dimulai dari pemanggilan Abraham untuk

menerima janji Allah bahwa daripadanyalah akan lahir umat pilihan sampai pada

terjadinya umat Israel yang hidup di tanah Kanaan. Dalam hal ini banyak

perbuatan-perbuatan ajaib yang Allah nyatakan pada umat-Nya, dimulai

pembebasan umat dari perbudakan di Mesir, perjalanan mereka di padang gurun

sampai di tanah Kanaan. Dalam perjalanan itulah Tuhan memberikan perintah

(3)

85

disampaikan melalui nabi Musa itu mereka terima, dan mereka teruskan kepada

angkatan baru. Dengan demikian hidup umat Israel berpusatkan pada Allah dan

hidup dalam ketaatan perintah Allah, sebagaimana maksud dari penulisan kitab

ini.1

Penerusan pengajaran itu dimulai dari keluarga. Khususnya ayah

ditugaskan untuk menyampaikan pengajaran tersebut. Tugas tersebut bukan suatu

usaha sambilan, melainkan tugas inti dalam kegiatan sehari-hari yang lazim

dikerjakan dalam keluarga.2 Dengan ini setiap genarasi baru tidak hanya memiliki

pemahaman tentang Tuhan, bangsanya, tetapi juga menjadi bagian dalam umat

Allah. Pola pengajaran demikian kemudian menjadi budaya bagi keluarga umat

Israel dalam mengajarkan iman kepada anak-anak (lihat : Mazmur 78:2-4, Yosua

4: 6-7), hal itu bahkan sampai pada zaman Tuhan Yesus (Lukas 2: 41-51).

Yesus yang terlahir dari bagian bangsa Yahudi menerima didikan yang

menjadi budaya bangsaNya. Kisah Yesus berumur 12 tahun yang bersama-sama

kedua orangtuaNya pergi ke Bait Allah untuk merayakan Paskah (memperingati

pembebasan bangsa Israel dari Mesir), menunjukkan orangtuaNya mengajarkan

iman. Keagamaan bangsa Yahudi yang identik dengan ibadah perayaan hari-hari

khusus seperti Paskah dan Hari Raya Pondok Daun, diajarkan kepada anak-anak

mereka. Pertama-tama mereka terlibat dalam persiapan perayaan ibadah di

1

Blommendaal, J, dr, Pengantar kepada Perjanjian Lama, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2001, 61.

2

(4)

86

keluarga, kemudian dilibatkan langsung dalam ibadah perayaan di Bait Allah.3

Hal itu dilakukan setelah genap usia anak-anak, seperti Yesus yang telah berumur

duabelas tahun bersama dengan orangtuaNya merayakan Paskah.

Dalam budaya Yahudi meskipun peranan orangtua sangat penting dalam

pendidikan anak-anak yang bertempat di rumah, namun dengan di bangunnya Bait

Allah yang menjadi tempat ibadah orang Yahudi maka pendidikan Yahudi tidak

hanya di pusatkan dalam rumah melainkan juga dalam tempat ibadah. Bait Allah

tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga sebagai tempat pendidikan orang

dewasa dan generasi muda. Dari hal inilah dalam budaya Yahudi mengenal

beberapa kelompok yang disebut sebagai pengajar, yaitu kaum imam, para nabi,

kaum bijaksana, kaum penyair, namun demikian orangtua tidak pernah

ditinggalkan sebagai pengajar.4 Dengan demikian pendidikan menjadi unsur

penting dalam kehidupan orang Yahudi.

Menurut penulis dari perspektif ayat dari Ulangan 6 : 4-9 dan kisah Yesus

dan keluarganya merayakan Paskah di Bait Allah menggambarkan pendidikan

agama dan bagaimana pendidikan agama dalam keluarga dilaksanakan.

Pendidikan agama tidak dimaksudkan hanya untuk mengajarkan perintah-perintah

Tuhan, melainkan membagi pengalaman iman dari apa yang orangtua terima dari

Allah kepada anak-anak sehingga mereka menjadi bagian dari pengalaman iman

orangtuanya. Untuk seteruskan mereka dapat mengetahui perintah Tuhan dan

memiliki iman yang sama dari orang tua. Dengan demikian orangtua menjadi

3

Boehlke, Robert, R, Ph. D, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen, Dari Plato sampai IG. Loyola, BPK Gunung Mulia , Jakarta, 1998, 21. Hal 31.

4

(5)

87

pelajar juga dalam rangka mengajarkan agama kepada anak-anak mereka sehingga

terjadi proses belajar mengajar.

Proses belajar-mengajar itu dilaksanakan di dalam keluarga. Orangtua

tidak hanya mengajarkan secara verbal, tetapi juga melalui memberi contoh

langsung serta melibatkan anak dalam proses tersebut. Oleh karena

anak-anak bertumbuh sesuai dengan usia mereka, maka orang tua perlu merencanak-anakan

pendidikan agama sesuai dengan usia mereka. Dalam hal inilah proses pendidikan

agama dilakukan secara sosialisasi dan edukasi bersama-sama.

Dalam konteks PAK keluarga di GKMI Salatiga, hal ini menjadi tantangan

untuk mengajarkan kepada orang tua PAK keluarga dan pelaksanaannya. PAK

keluarga yang dimaksud adalah mengajarkan Firman Allah dan pengalaman iman

dari orang tua, dalam hal ini karena setiap anak berbeda maka diperlukan metode

sosialisasi dan edukasi.

4.1. Keluarga dengan orangtua beda agama dalam gereja

Pengertian keluarga dalam gereja dimaknai sebagai keluarga yang

terbentuk dari perkawinan gerejawi, di mana anggota-anggota keluarga tersebut

menjadi bagian dari gereja. Dalam hal ini gereja mengambil bagian mulai dari

mempersiapkan pasangan-pasangan yang akan membentuk keluarga, proses

pernikahan melalui pemberkatan di gereja, sampai dengan kelangsungan

kehidupan keluarga yang telah diberkati, bahkan pada generasi yang dihasilkan

(6)

88

perhatian dan peranan sangat besar. Hal itu di dasarkan atas pengakuan bahwa

Tuhan adalah pembentuk keluarga (Kejadian 2: 24-25) dan Yesus adalah

pemerhati keluarga (Yohanes 2 :1-11) yang tidak menghendaki keluarga

mengalami masalah yang pada akhirnya mempermalukan keluarga itu sendiri.

Artinya dalam seluruh penciptaan, pemeliharaan, perhatian dan keprihatinan Allah

kepada keluarga, anggota keluarga merasakan kehadiranNya. Pengertian tersebut

memperlihatkan bahwa segala yang dilakukan gereja adalah tindakan Allah pada

keluarga.

Pemaknaan keluarga dalam gereja seperti yang dijelaskan di atas

menolong gereja dalam melaksanakan fungsinya dengan maksimal. Namun

demikian, di dalam gereja juga terdapat keluarga yang tidak mengalami proses

pernikahan gerejawi seperti pernikahan campur (beda agama). Dari pernikahan

tersebut terbentuk keluarga beda agama. Jika hal itu dilakukan oleh seorang yang

beragama Kristen atau anggota dengan yang bukan Kristen dan setelah mereka

menikah tetap mempertahankan agama masing-masing, itu berarti orang Kristen

yang bersangkutan tetap menjadi bagian dari gereja meskipun keluarganya beda

agama.

Menghadapi realitas bahwa dalam konteks kehidupan masyarakat yang

majemuk di Indonesia adanya keluarga beda agama karena pernikahan beda

agama harus diterima. Sikap tersebut bukan bertujuan untuk menganjurkan

pernikahan beda agama, melainkan untuk mengambil sikap terhadap keluarga

beda agama. Hal itu mengingat jumlah keluarga dari perkawinan beda agama di

(7)

89

sikap toleransi yang tinggi terhadap perbedaan agama di masyarakat, dan telah

terjadi suatu kenyataan kemanusiaan baru dimana tembok-tembok penghalang

mulai runtuh.5 Meskipun Undang-Undang Perkawinan di Indonesia belum

mengaturnya secara resmi pernikahan beda agama. Oleh karena itu sikap gereja

lebih ditujukan bagaimana menyikapi keluarga beda agama yang ada di dalamnya.

Hal tersebut terjadi seperti jemaat di Korintus, artinya ada jemaat-jemaat

yang memiliki pasangan tidak seiman (1 Korintus 7). Jemaat di di Korintus adalah

jemaat yang tinggal dalam masyarakat majemuk, bahkan telah menjadi ciri khas

kota Korintus yakni kebhinekaan masyarakatnya.6 Hal itulah yang memungkinkan

jemaat melakukan pernikahan dengan yang bukan Kristen. Terhadap hal tersebut

Rasul Paulus menegaskan bahwa mereka yang Kristen dalam keluarga beda

agama memiliki peranan yang penting bagi pasangannya yang bukan Kristen yaitu

menguduskannya termasuk kepada anak-anak dalam keluarga tersebut. Artinya

orang yang Kristen dalam keluarga tersebut dapat menolong dan membawa

anggota keluarga yang bukan Kristen pada iman Kristen melalui imannya yang

diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Keluarga yang dalam situasi demikian

menurut Rasul Paulus termasuk jemaat yang dalam keadaan gawat.7 Oleh karena

itu memerlukan perlakuan khusus terhadap mereka, hal itu sebagai bentuk

perhatian yang besar dari Allah terhadap keluarga.

5

Ariarajah, Wesley, S, Not Without My Neighbour, Tak Mungki Tanpa Sesamaku, Jakarta BPK Gunung Mulia, 2008, hal. 102.

6

Drane, John, Memahami Perjanjian Baru, Pengantar Historis-Teologis, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1998, hal.350.

7

(8)

90

Dari pemahaman keluarga yang beda agama dalam jemaat (gereja)

tersebut dapat disimpulkan bahwa gereja tetap memberikan perhatian kepada

jemaat yang memiliki keluarga beda agama, bahkan memberikan perhatian

khusus. Tujuan dari perhatian khusus tersebut agar jemaat yang Kristen mampu

menjalankan funginya sebagai anggota keluarga sekaligus menolong anggota

keluarganya yang bukan Kristen untuk mengalami iman Kristen. Perhatian khusus

yang dimaksud adalah memberikan pemaknaan pastoral dan teologis terhadap

keluarga beda agama dalam jemaat. Secara pastoral anggota keluarga Kristen dari

keluarga beda agama membutuhkan tuntunan, dukungan dan bantuan agar mereka

dapat mempertahankan iman serta mampu menjadi teladan bagi anggota keluarga

yang berbeda agama. Khususnya jika di tengah keluarga beda agama anggota

yang Kristen adalah sebagai orangtua, tentu bantuan gereja mereka perlukan bagi

pelaksanaan PAK keluarga. Secara teologis, orang-orang Kristen dipanggil untuk

menjadi “garam dan terang” (Matius 5: 13-16), panggilan tersebut juga berlaku

bagi orang Kristen yang berada dalam keluarga beda agama. Seperti yang

dikuatkan oleh Rasul Paulus bahwa mereka yang ada dalam keluarga tidak seiman

jutru menjadi orang yang dapat menyelamatkan anggota keluarga yang tidak

seiman (1 Korintus 7).

Dengan demikian, GKMI Salatiga sebagai gereja yang memiliki anggota

dari keluarga yang beda agama perlu melakukan tindakan-tindakan khusus kepada

mereka sebagai bentuk perhatian gereja. Tindakan-tindakan tersebut berupa

memahaman teologis bersama dari para pemimpin gereja terhadap keluarga beda

(9)

91

pendampingan pastoral bagi anggota yang berasal dari keluarga beda agama.

Pendampingan pastoral yang dimaksud adalah memberikan tuntutan terkait

dengan PAK bagi mereka yang menjadi orangtua di tengah keluarga beda agama

melalui pembekalan-pembekalan. Selain hal itu juga memantau secara berkala

perkembangan mereka melalui konseling dan perkunjungan pribadi maupun

keluarga, serta tetap mendorong mereka terlibat dalam kegiatan pelayanan gereja

sesuai dengan kemampuan mereka. Dengan demikian mereka diterima dalam

komunitas gereja. Hal tersebut akan memotivasi mereka menghilangkan rasa

Referensi

Dokumen terkait

Proses penyesuaian diri adalah proses bagaimana individu mencapai keseimbangan diri dalam memenuhi kebutuhan sesuai dengan lingkungan. Penyesuaian yang sempurna terjadi jika

BAN-PT menempatkan evaluasi-diri itu sebagai salah satu aspek dalam keseluruhan daur akreditasi, dan menempatkannya dalam posisi yang sangat penting, yaitu sebagai

Panggung pada Dinas Pekerjaan Umum Kota Tegal akan melaksanakan Pemilihan Langsung dengan pascakualifikasi untuk paket pekerjaan konstruksi secara elektronik sebagai

dan aksesibilitas sistem basis data perguruan tinggi yang mendukung penyusunan evaluasi diri perguruan tinggi dan program studi. Basis data lengkap mencakup informasi

Joyce & Weil (dalam Rusman, tanpa tahun hlm. 6) berpendapat bahwa model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk

Berdasarkan Hasil evaluasi Penawaran untuk Kegiatan Pembangunan Sarana Dan Prasarana Olah RagaPekerjaan Konsultan Pengawas Pembangunan Stadion di Komplek Sport Centre Tahap

Desa Pulau Ku'u menjadi desa yang paling tinggi dari desa lain yang diambil sebagai daerah penelitian yaitu dengan 11 slide positif , sedangkan Desa Warukin adalah yang

pemenang, terhitung mulai hari Sabtu tanggal 10 September 2016 sampai dengan hari. Senin tanggal 13 September 2016 dengan disertai bukti terjadinya penyimpangan