• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketoprak Dor di Sumatera Utara: Analisis Pertunjukan, Tekstual dan Musik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Ketoprak Dor di Sumatera Utara: Analisis Pertunjukan, Tekstual dan Musik"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

MASYARAKAT JAWA DELI DAN KEBUDAYAANNYA

2.1 IstilahDeli

Deli ialah nama kesultanan Melayu mempunyai corak Islam yang berkuasa di Medan dan sekitarnya pada periode sekitar abad 17 sampai pertengahan abad 20 Masehi. Menurut Avan (2012:42-43) sebutan Deli menunjuk kepada keseluruhan wilayah yang berada dalam kekuasaan Deli yang merujuk pada nama resmi kesultanan diwilayah tersebut.

Berkat makmur dan berkembangnya kampung Medan Putri sebagai pusat koloni kebun di Deli orang-orang lebih mengidentikkan Medan sebagai Deli. Pamor Labuhan sebagai ibukota Deli mulai meredup perlahan-lahan. Deli memang telah menjadi koloni Holland (Belanda) yang paling menonjol di Sumatera Timur. Hindia Belanda yang berpusat di Buitenzorg dan berorientasi ke pulau Jawa menyebut tempat ini sebagai Het Dollar Landsh. Het Dollar Landsh adalah sebutan untuk koloni Deli yang berarti Tanah Dolar.

(2)

(sum

tilah Deli juga merujuk kepada pengertiannya rakat Melayu Pesisir Timur Sumatera Utara an, yang pernah berjaya mengalami masa

mi “penurunan” kekuasaan, terutama dalam ko .

i digunakan untuk berbagai atributmulai d bakau Deli, karet Deli, Deli Spoorweg Mats rs Vereeniging, sampai kepada sebutan mer

(3)

Sepasang

ng Singa, Mahkota, dan Tembakau yang Menj Lambang Ibu Koloni Tembakau

(Dokumentasi Alexander Avan)

erupakan salah satu bagian dari wilayah Sumat ra). Wilayah Sumatera Timur terbentang dari p iak mempunyai batas-batas geografis sebag n barat berbatasan dengan wilayah Aceh; (2) Selat Melaka; (3) sebelah selatan dan teng u; dan (4) sebelah barat berbatasan dengan da 193). Luasnya 94.583 km² atau sekitar 20% (dua

matera (Pelzer,1985:31). Diantara daerah Ace dan tenggara inilah terletak kesultanan-kesu

kembangan Sumatera Timur ini dapat dilihat dari tulis

(4)

2.2 Masyarakat Jawa Deli

2.2.1 Asal-usul masyarakat Jawa Deli

Perpindahan para pendatang dapat dikatakan sebagai gerak pindah penduduk dari satu tempat ketempat lain dengan maksud mencari nafkah atau menetap. Perpindahan para pendatang tersebut ada yang terjadi karena didatangkan oleh seseorang atau suatu lembaga. Di sisi lain, perpindahan dilakukan secara perseorangan atau secara berkelompok.

Menurut Sabrina (1999:1) kedatangan peminat-peminat Belanda ke Tanah Deli bemula dari peranan seorang turunan Arab yang bernama Sayid Abdullah Ibnu Umar Bilsagih pada awal tahun 1863. Pedagang tembakau yang pertama sekali tertarik untuk menanam tembakau di Deli ialah Firma J.F van Leeuwen, dan mengirim pegawainya antara lain Tuan Jacobus Nienhuys dari pulau Jawa untuk datang ke Deli menggunakan kapal Josephine. Kemudian, Sultan Mahmud memberikan kepada mereka tanah dekat Labuhan (Tanjung Sepassai) secara erfpacht (kesepatana kontrak) selama 20 tahun. Walaupun mengalami berbagai kesulitan, dengan ketabahan Neinhuys ternyata tembakau Deli yang dikirim ke Rotterdam pada bulan Maret 1864 memberikan titik terang. Tembakau Deli sangat baik sebagai pembalut cerutu,hoppig en god brandeddekblad.

Panen tembakau perdana pada tahun 1865 sukses dengan gemilang dan menjadi perbincangan di Eropa karena mutunya yang sangat baik hingga terjual 189 pak daun tembakau dengan harga jual 149 sen/pound. Tersedianya lahan15 dan kualitas tembakau yang sangat baik kemudian mendorong minat

pemodal-15

(5)

pemodal besar untuk menanamkan sahamnya di daerah ini. Untuk melanjutkan usaha penanaman tembakau, Nienhuys menyediakan dana sebesar $10.000 dan membentuk perusahaan perkongsian atau bekerja sama dengan P.W Jansen dan G.C Clemen yang bernamaDeli Maatschappij.

(6)

Suksesnya produksi tersebut didukung oleh tenaga kerja (buruh) yang membuka lahan, memelihara, memproduksi, serta membuat fasilitas-fasilitas perkebunan. Tenaga setempat (masyarakat yang mendiami wilayah Sumatera Timur) yang diharapkan ternyata mengalami kegagalan, karena umumnya masyarakat tidak terbiasa bekerja sebagai buruh. Pada umumnya mereka terbiasa bekerja di kebun sendiri yang cukup luas. Akibatnya dipakailah buruh Cina dari Pulau Pinang dan India (Keling)16 yang berasal dari Semenanjung Malaya (jajahan Inggris) untuk dijadikan pekerja.

Pada tahun-tahun berikutnya terlihat penurunan jumlah kuli Cina dan India, hal ini disebabkan besarnya biaya yang dikeluarkan untuk mendatangkan mereka serta adanya proteksi oleh Inggeris. Selain itu, kuli-kuli Cina yang dikirim seringkali adalah para penjahat yang terlibat kejahatan disana. Menurut Sinar (1971:163) gaji para pekerja kuli kontrak ditaksir sekitar $3.50 sementara gaji bersih pengusaha Belanda pada saat itu sekitar $60-$70. Terbukti dari seringnya terjadi konflik sesama buruh maupun dengan pihak perkebunan. Pihak perkebunan pun akhirnya mencari langsung tenaga kuli Cina ke negerinya, namun

16

Dalam buku ini, yang dimaksud Keling adalah merujuk kepada etnik Tamil dari India bahagian selatan. Dalam kebudayaan masyarakat Nusantara ini, istilah Keling bukanlah

“penghinaan,” tetapi merujuk kepada orang yang secara fisik berkulit hitam. Bahkan di dalam

(7)

karena biaya transportasi dan agen kuli terlalu besar akhirnya usaha tersebut dihentikan (Said, 1990:38).

Kondisi tersebut membuat pemilik perkebunan akhirnya menggunakan jasa pencari kerja atauwerk(dalam bahasa Inggris disebutbroker) yang bernaung dibawah AVROS (Algemeene Vereniging Rubberplanters Oostkust van Sumatra) untuk mencari dan mendatangkan tenaga kerja serta buruh Jawa yang tersedia dalam jumlah besar serta harganya yang relatif murah. Berdasarkan sifat dan produktivitasnya, buruh-buruh Jawa ini tidak jauh berbeda dengan buruh Cina. Pengambilan buruh ini sebahagian dilakukan dengan cara menipu dengan menjanjikan upah yang besar. Ada pula yang dipaksa dengan menangkapi dan disuruh menandatangani perjanjian yang mereka tidak tahu isinya dan dijanjikan bujuk rayu dengan pemberian upah yang tinggi atau disebut dengan Penale Sanctie17.

Jumlah buruh Jawa yang didatangkan pada tahun 1884, ada sekitar 1.771 kuli18, pada tahun 1900 sudah mencapai 25.224 jiwa, dan meningkat terus pada tahun-tahun berikutnya. Pada tahun 1929, kuli Jawa diperkebunan Sumatera Timur telah mencapai 239.281 jiwa, dan pada tahun 1930 total penduduk Jawa di daerah ini telah mencapai 589.836 jiwa atau 35% dari total penduduk Sumatera Timur (Reid, 1987:850. Jumlah ini melebihi jumlah penduduk pribumi (Melayu, Karo, Simalungun) yang berjumlah 580.879 jiwa (34,5%), sedangkan jumlah

17

Penale Sanctie ialah istilah yang digunakan oleh kolonial Holland (Belanda) untuk para kuli kontrak yang disertai dengan peraturan-peraturan tentang hukuman atas mereka (kuli kontrak). Lebih dalam dan rinci silahkan lihat Chatib (1995:10)

18

Istilah kuli atau koeli itu sendiri dari asal muasalnya bukan rendah. Ia hanya

(8)

orang Eropa hanya sekitar 11.079 Jiwa, Cina 192.882 jiwa, sedangkan India dan timur asing lainnya berjumlah 18.904 jiwa.

Menurut Chatib (1995:10), sejak tahun 1911 dengan tiba-tiba kontrak kerja Penale Sanctie berganti menjadi istilah kontrak kerja bebas. Kontrak kerja bebas bermakna bahwa setelah kontrak berakhir, para kuli tidak bisa lagi mendapatkan upah dari kolonial Belanda. Kehidupan tenaga-tenaga kerja diperkebunan Sumatera Timur berada dibawah naungan pihak pengusaha perkebunan dan terpisah dengan aktivitas masyarakat diluarnya.

Namun yang terjadi setelah sampai di daerah imigrasi adalah jauh dari harapan mereka ketika masih ada di pulau Jawa. Karena sebenarnya semua biaya keberangkatan dari daerah asal sampai ditempat imigrasi dibebankan kepada mereka semua ditambah lagi dengan adanya judi, madat, pelacuran, serta sistem feodal Belanda yang menambah beban hutang yang melilit mereka.

(9)

Tabel 2.2

Jumlah Populasi Kuli Kontrak 1884 Hingga 1929

Tahun 1884 1900 1916 1920 1925 1929

Cina 21.136 58.516 43.689 23.900 26.800 25.934

Jawa 1.771 25.224 150.392 212.400 168.400 239.281

dan lain-lain 1.528 2.460 – 2.000 1.500 1.019

(sumber: Reid dalam Damanik 1987:299)

Koeli kontrak ialah sebutan untuk perjanjian contract koeli19. Sebutan ini kemudian lebih ditujukan kepada para pekerja kebun yang berasal dari Jawa. Para kuli kontrak Jawa yang merupakan pekerja tua yang umumnya dari generasi pertama, yang sejak lima puluh tahun terakhir berusaha menjauhkan diri dari status kuli kontrak, dan kebanyakan dari mereka telah memusatkan usahanya membangun rumah dan pekarangan sendiri untuk produksi pertanian kecil-kecilan ditepi-tepi perkebunan atau diatas lahan yang diserobot dari perkebunan tersebut.

Setelah selesai dari kontrak dengan perkebunan para bekas kuli banyak yang menjadi petani penyewa tanah dan banyak mendirikan permukiman yang selalu disebut sebagai Kampung Jawa, atau menjadi tenaga kerja di kota-kota di Sumatera Timur.

19

(10)

Tabel 2.3

Populasi Etnik di Sumatera Timur tahun 1930

Banyaknya Jumlah (Jiwa) Persen (%)

Suku Jawa menempati jumlah populasi penduduk terbanyak yakni berkisar 35% dari total penduduk di Sumatera Utara. Penyebab perpindahan suku Jawa ke Sumatera Utara antara lain karena adanya gelombang transmigrasi baik yang dilakukan oleh kolonialisme Belanda maupun oleh pemerintahan Orde Baru. Program transmigrasi20 yang dicanangkan Belanda, sebagai bagian dari politik

20

(11)

etis atau politik balas budi juga. Hal ini mendorong orang Jawa untuk berpindah ke berbagai wilayah di Indonesia terutama di Sumatera. Sedangkan pada masa orde baru, perpindahan orang Jawa dilaksanakan dalam rangka mengurangi tingkat kemiskinan didesa, kekurangan lahan pertanian serta kurangnya lapangan pekerjaan. Selain itu alasan masuknya gelombang masyarakat Jawa karena faktor kedinasan dalam pekerjaan serta faktor kemauan sendiri untuk mencari peruntungan hidup.

Kampung Jawa di sana-sini dibangun sejak zaman dahulu, seperti didaerah Deli terdapat permukiman orang Jawa kira-kira 500 orang yang disebut kota Jawa (Luckman Sinar, 1985:6), dan daerah Asahan sekitar Pasir Putih dikatakan sebagai pemukiman orang Jawa beberapa abad sebelum kunjungan John Anderson (Anderson, 1971:136). Di Semanjung Malaya juga terdapat sejumlah migrant orang Jawa yang kini sudah turun temurun dan menetap di situ, terutama di negeri bagian Johor, Selangor, serta berbagai tempat lainnya, seperti Melaka, Kedah, Perlis, dan lain-lain.

Awalnya, kedatangan suku Jawa di daerah ini adalah sebagai buruh yang dipaksa bekerja sebagai budak pada perkebunan-perkebunan di Sumatera Utara

(12)

disebabkan karena pada waktu itu perkebunan-perkebunan yang dikelola oleh bangsa asing kekurangan tenaga kerja (1990:53).

Tabel 2.4

Persebaran Perkebunan Tembakau Deli Paruh Kedua Abad Ke-19

No Tahun Derah Nama Perusahaan

1 1865 Saint Cyrus (Bekala) Geo Wehry & Co

2 1869 Martubung, 5 1872 Two Rivers (Deli Toewa),

Rotterdam (Sialang Muda)

6 1873 Soengai Sikambing, SiPutih MedanTabaksmaatschappij kemudian bekerja sama 8 1875 Sungai Beras dan Kloempang

(Terdjoen)

9 1876 Patoembah (Patumbak) Senembah Maatschappij

10 1878 Amplas,

Tandjong Djati Langkat

Amsterdam Deli Company Deli Maatschappij

11 1879 Paija Bacon (Paya Bakong) Tabaksonderneming Deli

13 1881 Gambir dan Leoning P en G de Guigne

(13)

Mabar

Boeloeh Tjina (Buluh Cina)

Oscar Eckels & Werner Weber

Deli Maatschappij

15 1883 Tandem Hilir Deli-Batavia Maatschappij

16 1884 Soengai Krio

Tabaksonderneming Soengai Mentjirim (Sungai Mencirim)

Arendsburg Arendsburg

17 1889 Poengai dan Tanjong Morawa Kala Hoen Pinang

Deli Mij

Amsterdam Deli Company 18 1890 Namoe Oekoer (Namu Ukur)

Sampali

Deli Maatschappij Deli Maatschappij

19 1896 Klambir Lima Deli Maatschappij

Sumber. www.tembakaudeli.blogspot.co.id

Dari penjelasan tabel di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pada setiap perkebunan yang dibangun para kuli kontrak Jawa atau masyarakat Jawa memiliki peran penting hingga saat ini masyarakat Jawa banyak sekali dijumpai di daerah-daerah tersebut. Kemudian seiring perkembangan zaman, masyarakat Jawa Deli mulai berkembang, baik itu dalam segi perekonomian, ilmu pengetahuan, teknologi dan kehidupan sosialnya. Merekapun kemudian keluar dari perkebunan dan bekerja sesuai keinginan dan keahliannya masing-masing.

Seiring dengan pertambahan waktu, kehidupan ekonomi masyarakat Jawa di Sumatera Utara mengalami perkembangan yang cukup pesat. Saat ini orang Jawa ditempat ini telah menggeluti berbagai bidang pekerjaan seperti; Gubernur, Pegawai Negeri Sipil (PNS), Tentara (TNI), Polisi (POLRI), wiraswasta, mekanik, buruh, petani, seniman, akademisi, politisi dan sebagainya.21

21

Menurut Takari (2008:182) dalam buku Masyarakat Kesenian di Indonesia

(14)

Gambar 2.3

Keberadaan Jawa Deli di Desa Kampung Kolam Kabupaten Deli Serdang

Dengan persebaran masyarakat Jawa yang sangat luas, mereka kemudian membuka suatu lahan untuk dijadikan kampung dan biasanya langsung diberi nama, seperti Kelurahan Karangsari yang ada di kota Medan. Kampung Jawa di Pematang Siantar, dan masih banyak lagi daerah-daerah yang diberi nama oleh

(15)

suku Jawa yang ada di Sumatera Utara. Disana-sini kampung-kampung Jawa dibangun dengan nama asal Jawa seperti Desa Sukamulya, Desa Tanjungsari, Sei Babalan, Tanah Jawa, dan lain-lain meniru nama daerah asal di Jawa.

2.2.3 Religi dan kepercayaan

Menurut Koentjaraningrat (1995:295), suatu sistem religi dalam suatu kebudayaan selalu mempunyai ciri-ciri untuk sedapat mungkin memelihara emosi keagamaan itu diantara pengikut-pengikutnya. Dengan demikian, emosi keagaaman merupakan unsur penting dalam suatu religi bersama dengan tiga unsur lain yaitu: (1) sistem keyakinan, (sistem upacara keagamaan), (c) suatu umat yang menganut religi itu. Mayoritas masyarakat Jawa di Sumatera Utara adalah pemeluk agama Islam. Berdasarkan tingkat kemurnian dan ketaatan agamanya, masyarakat Jawa membedakan pemeluk agama menjadi dua kelompok, yaitu: (1) Wong Putihan, yaitu orang-orang Jawa yang taat menjalankan ajaran Islam; (2) Wong Lorek, yaitu orang yang yakin terhadap ajaran agama Islam tetapi tidak menjalankannya secara penuh, bahkan kadang-kadang mencampurkan unsur-unsur di luar Islam.

(16)

keberuntungan, dan sebaliknya dapat juga mendatangkan gangguan bahkan kematian. Untuk mengatasi gangguan tersebut dilakukan upacara berpuasa, berpantang, selamatan dan bersaji dengan maksud agar terhindar dari gangguan-gangguan pikiran bahkan kemungkinan kematian yang diakibatkannya.

Sedangkan kepercayaan berasal dari kata “percaya” adalah gerakan hati dalam menerima sesuatu yang logis dan bukan logis tanpa suatu beban atau keraguan sama sekali kepercayaan ini bersifat murni. Kata ini mempunyai kesamaan arti dengan keyakinan dan agama akan tetapi memiliki arti yang sangat luas.

Orang Jawa telah mengenal dan mengakui adanya Tuhan jauh sebelum agama masuk ke Jawa ribuan tahun yang lalu dan sudah menjadi tradisi sampai saat ini yaitu agama Kejawen yang merupakan tatanan pugaraning urip atau tatanan hidup berdasarkan pada budi pekerti yang luhur. Keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa pada tradisi Jawa diwujudkan berdasarkan pada sesuatu yang nyata lalu kemudian direalisasikan pada tata cara hidup dan aturan positif dalam kehidupan masyarakat Jawa, agar hidup selalu berlangsung dengan baik dan bertanggung jawab.

(17)

1. Abangan

Struktur sosial desa biasanya diasosiasikan kepada para petani, pengrajin, dan buruh kecil yang penuh dengan tradisi animisme upacara slametan, kepercayaan terhadap makhluk halus, tradisi pengobatan, sihir, dan menunjuk kepada seluruh tradisi keagamaan abangan. Dalam tradisi slametan dikenal adanya siklus slametan: (1) yang berkisar krisis kehidupan (2) yang berhubungan dengan pola hari besar Islam namun mengikuti penanggalan Jawa, (3) yang terkait dengan intregasi desa, dan (4)slametanuntuk kejadian yang luar biasa yang ingin dislameti. Kesemuanya betapa slametan menempati setiap proses kehidupan dunia abangan. Slametan berimplikasi pada tingkah laku sosial dan memunculkan keseimbangan emosional individu karena telah dislameti.

2. Santri

(18)

3. Priyayi

Dalam kebudayaan Jawa, istilah priyayi atau “berdarah biru” merupakan satu kelas sosial yang mengacu kepada golongan bangsawan. Suatu golongan tertinggi dalam masyarakat karena memiliki keturunan dari keluarga kerajaan. Kelompok ini menunjuk pada elemen Hinduisme lanjutan dari tradisi keraton Hindu-Jawa. Sebagai halnya masyarakat keraton, makapriyayilebih menekankan pada kekuatan sopan santun yang halus, seni tinggi, dan mistisme intuitif dan potensi sosialnya yang memenuhi kebutuhan kolonial Belanda untuk mengisi birokrasi pemerintahannya. Kepercayaan-kepercayaan religius para abangan merupakan campuran khas penyembahan unsur-unsur alamiah secara animis yang berakar dalam agama-agama Hinduisme yang semuanya telah ditumpangi oleh ajaran Islam.

(19)

2.2.4 Bahasa

Bahasa merupakan sarana komunikasi dan interaksi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Bahasa mempunyai peranan yang cukup signifikan dalam pergaulan dalam masyarakat. Tanpa bahasa, hubungan dalam masyarakat, baik hubungan yang bersifat vertikal maupun horisontal tidak akan berjalan dengan lancar. Bahasa merupakan sebuah sistem lambang, berupa bunyi, bersifat arbitrer, produktif, dinamis, beragam, dan manusiawi. Bahasa merupakan sebuah sistem, yang artinya bahasa itu dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan. Setiap lambang dari bahasa itu mengandung makna atau konsep. Jadi apabila seseorang berbicara dengan orang lain, maka orang lain tersebut akan mengerti tentang konsep atau makna yang disampaikan oarang yang bericara, karena dalam dialog tersebut menggunakan bahasa.

Selain digunakan sebagai alat komunikasi, bahasa juga bisa mempunyai fungsi untuk membedakan tingkatan sosial yang ada di masyarakat. Misalnya dalam bahasa Jawa sendiri, mempunyai beberapa tingkatan-tingkatan bahasa untuk membedakan status sosial maupun membedakan dari segi usia lawan bicara Bahasa Jawa adalah salah satu bahasa daerah di Indonesia yang masih hidup dan berkembang atau selalu mengalami perubahan dari masa ke masa dan sampai saat ini masih digunakan di Jawa Tengah. Bahasa Jawa merupakan salah satu kekayaan budaya bangsa banyak memiliki variasi, yaitu salah satunya adalah variasi dialek.

(20)

berdasarkan hubungan antara pembicara dan lawan bicara, yang dikenal dengan unggah-ungguh22. Bahasa Jawa memiliki banyak tingkatan derajat penyampaian pada orang lain, tetapi sekarang di sederhanakan menjadi 3 tingkatan yaitu:

1. Bahasa krama inggil (digunakan pada percakapan dengan orang yang lebih tua);

2. Kramal madya(digunakan untuk lebih sopan pada seumuran); 3. Ngoko(bahasa yg digunakan kepada orang seumuran).

Aspek kebahasaan ini memiliki pengaruh sosial yang kuat dalam budaya Jawa, dan membuat orang Jawa biasanya sangat sadar akan status sosialnya di masyarakat. Mayoritas orang Jawa menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari. Sebagian lainnya menggunakan bahasa Jawa yang bercampur bahasa Indonesia. Bahasa Jawa bisa dikatakan bahasa yang rumit karena selain memiliki tingkatan berdasarkan siapa yang diajak bicara, bahasa Jawa juga memiliki perbedaan dalam hal intonasi. Aspek bahasa ini mempengaruhi hubungan sosial dalam budaya Jawa. Bahasa Jawa sendiri memiliki berbagai macam variasi dialek atau pengucapan.

22Unggah-ungguh

dalam ilmu bahasa Jawa merupakan kata dwilingga salin swara dari kata/tembung 'ungguh' yang diulang dua kali. Arti kata ungguh adalah bagaimana bersikap terhadap orang lain yang kita ajak berinteraksi, yang didasarkan pada strata/tingkatan/kasta/level-nya.Unggah-ungguh bisa juga berarti (semantik) :Unggah (Indonesia: naik) : menaikkan derajat seseorang (yang diajak berinteraksi) sesuai dengan status (sosial) martabatnya...Ungguh, asal kata

Lungguh (Indonesia : duduk) : mendudukkan/menempatkan diri kita dan orang lain yang diajak berinteraksi sesuai porsi, derajat dan martabatnya.Jadi unggah-ungguh = menghargai atau mendudukkan orang lain sesuai dengan'Lungguh-e'(kedudukannya) dan siapa yang seharusnya di

'Unggah-ke'(dinaikkan), hal itu untuk menjaga orang yang kita ajak berinteraksi agar juga kembali ikut meng-unggah (menaikkan) dan me-lungguhke (menempatkan) diri kita. Contoh kalimatnya

(21)

Dialek-dialek bahasa Jawa juga dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok. Menurut Uhlenbeck (1964:192), pengelompokkan dialek ini didasarkan pada dialek-dialek yang digunakan dalam masyarakat yang bersangkutan serta dari segi geografisnya. Pembagian kelompok-kelompok tersebut antara lain:

1) Kelompok Barat

Bahasa Jawa Bagian Barat, yaitu Dialek Banten, Dialek Cirebon, Dialek Tegal, Dialek Banyumasan, Dialek Bumiayu (peralihan Tegal dan Banyumas). Kelompok diatas sering disebut bahasa Jawangapak-ngapak. 2) Kelompok Bahasa Jawa Bagian Tengah, yaitu Dialek Pekalongan, Dialek

Kedu, Dialek Bagelen, Dialek Semarang, Dialek Pantai Utara Timur (Jepara, Rembang, Demak, Kudus, Pati), Dialek Blora, Dialek Surakarta, Dialek Yogyakarta, Dialek Madiun Kelompok kedua diatas sering disebut Bahasa Jawa Standar, khususnya dialek Surakarta dan Yogyakarta.

(22)

Dalam bahasa Jawa, pada dasarnya terdiri dari 3 kasta bahasa, yaitu: (1) Ngoko (kasar), (2)Madya (biasa), (3) Krama (halus) yang penggunaan tingkatan bahasa tersebut tergantung status yang bersangkutan dan lawan bicara. Status bisa ditentukan oleh usia, posisi sosial, atau hal-hal lain. Seorang anak yang bercakap-cakap dengan sebayanya akan berbicara dengan varian ngoko, namun ketika berkomunikasi dengan orang tuanya akan menggunakan bahasa halu (krama).

Secara umum masyarakat Jawa menggunakan dua bahasa apabila ditinjau dari kriteria tingkatannya, yaitu Jawa ngoko dan krama. Bahasa Jawa ngoko dipakai untuk orang yang sudah dikenal akrab, dan terhadap orang yang lebih muda usianya serta lebih rendah derajat sosialnya. Sebaliknya, bahasa Jawakrama dipergunakan untuk yang belum dikenal akrab, tetapi yang sebaya dalam umur maupun derajat, dan juga terhadap orang yang lebih tinggi umur serta derajat sosialnya.

Dikalangan masyarakat Jawa Deli, bahasa pengantar adalah bahasa Jawa ngoko dankrama tanpa variasi dan kombinasi yang rumit sebagaimana halnya di Jawa. Namun, pada umumnya sebahagian besar menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat berkomunikasi baik antar sesama maupun dengan etnis lain.

2.2.5 Adat istiadat

(23)

sistem sosial bersift l n dibudayakan menjadi pranata-pranata oleh ni

Diagram 2.1

Lingakaran konsentrik kebudayaan menurut Koentjaraningrat

Jawa Deli pada hakekatnya mempunyai watak suaikan diri dengan orang yang berada disekitar menjaga keharmonisan. Watak dan kebiasaan y yarakat biasanya berdasarkan penyampaian da

g Jawa Deli tetap mempertahankan sistem ke ebrayat berasal dari kata brayat yang berarti ke Menurut Suroso (2012:11) sistem kekerabatan ini

(24)

sikap gotong royong, dengan konsep sepi ing pamrih, rame ing gawe yang beramakna tidak mengharapkan pamrih, dan mengutamakan kerja bersama-sama.

Orang Jawa Deli memiliki adat istiadat lingkaran hidup yang diwarisi turun temurun antara lain adalah adat pernikahan, masa melahirkan, hingga masa kematian. Seperti upacara pernikahan, mempercayai pantangan di dalam masa kehamilan, selamatan pemberian nama anak, upacara Ruatan, dan upacara Khitanan.

2.2.6 Ritual pernikahan

Pernikahan merupakan ritual penting bagi kehidupan setiap orang. Pernikahan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan perempuan untuk memenuhi tujuan hidup berumah tangga sebagai suami istri yang dengan mememnuhi syarat dan rukun teah dilakukan oleh syariat Islam.

Sholikin (2010:199-202) menjelaskan tentang tahapan-tahapan adat pernikahan masyarakat suku Jawa yakni:

a. Peminangan jodoh,

Peminangan adalah suatu ikatan sebagai pernyataan dari dua pihak hendak melangsungkan perkawinan. Apabila peminangan terputus ditengah jalan dan tidak sampai hingga di pelaminan, maka pemberian yang diberikan saat peminangan sebagai tanda ikatan menuju perkawinan boleh diminta kembali.

(25)

Utusan ialah orang yang dipercaya dan diutus oleh pihak keluarga calon pengantin laki-laki, agar melakukan pembicaraan khusus dengan keluarga calon perempuan.

c. Nglamar, Ngenger, dan Tukar Cincin

Pada umumnya upacara ngalamar dilakukan dari pihak keluarga laki-laki terhadap keluarga perempuan. Sedangkan Ngenger sendiri dimaksudnya mengikuti keluarga calon perempuan dalam rangka berbakti.

d. Kumbarkarnan

Acara pelaksanaan rapat penitia kerja hajatan pernikahan. Biasanya dilakukan tujuh hari atau lima hari (sepasar) sebelum acara pernikahan dan mengundang sesepuh, tokoh masyarakat, keluarga dan tetangga terdekat.

e. Pasang Tarub, Siraman, dan Paes

Rangkaian acara mempersiapkan tempat dilaksanakannya acara hajatan pernikahan secara keseluruhan. Seperti menaikkan tarub (anyaman daun kelapa) yang diletakkan di gerbang rumah. Siramanadalah upacara mandi khusus untuk calon mempelai wanita.

f. Sengkeran/pingitan

(26)

g. Midodareni

Midodareni ialah upacara selamatan yang terdiri dari doa permohonan kepada Allah SWT, agar semua yang akan dilaksanakan berjalan lancar. h. Dhaup

Rangkaian upacara mempertemukan pengantin i. Krobogan

Rangkaian upacara susulan setelah upacara dhaup. Adapun urutan upacaranya antara lain:

1. Kacar-Kucur, yakni pengantin pria memberikan nafkah berupa simbolik uang logam kepada pengantin putri. Hal ini menjadi simbol tanggungJawab suami kepada istri dengan selalu rajin mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan dunia dan akhirat.

2. Dulangan

Acara penyuapan nasi antara kedua pengantin. Hal ini menjadi simbol agar kedua pengantin selalu menjadi satu, saling mengasihi.

3. Timbangan

Dilaksanakan oleh ayah pengantin perempuan. 4. Sungkeman

Acara menyalami tangan sambil mencium tangan di kedua lutut orang tua.

j. Kirab Pengantin

(27)

Hal ini dimaksudkan untuk memberikan pelajaran kepada pengantin agar mengetahui tanggung Jawabnya dalam menjalankan tugas rumah tangga k. Sabdtama

Acara nasihat-nasihat yang diberikan untuk pengantin agar bijaksana dalam menjalankan rumah tangga

l. Doa dan penutup acara

Acara yang mendoakan pengantin menjadi keluaraga yang damai, selalu dipenuhi kasih sayang, dan mendapatkan rahmat Tuhan.

Gambar 2.4

Salah satu rangkaian upacara pernikahan masyarakat Jawa

Menurut wawancara dengan Mbok Sumiati23 (2017) masyarakat Jawa dalam hal perkawinanya melalui beberapa tahapan. Biasanya seluruh rangkaian acara perkawinan berlangsung selama kurang lebih dua bulan, mencangkup:

1. Nontoni yakni melihat calon istri dan keluarganya, dengan mengirim utusan (wakil).

23

(28)

2. Nglamar (meminang) yakni tahapan setelah nontoni apabila si gadis bersedia dipersunting.

3. Paningset yakni pemberian harta benda, berupa pakaian lengkap disertai cincin perkawin.

4. Pasok Tukon yakni upacara penyerahan harta benda kepada keluarga si gadis berupa uang, pakaian dan sebagainya, diberikan tiga hari sebelum pernikahan.

5. Pingitan yakni calon istri tidak diperbolehkan keluar rumah selama 7 hari atau 40 hari sebelum perkawinan.

6. Tarub yakni mempersiapkan perlengkapan perkawianan termasuk menghias rumah dengan janur.

7. Siraman yakni upacara mandi bagi calon pengantin wanita yang dilanjutkan dengan selamatan.

8. Ijab Kabul (akad nikah) yakni upacara pernikahan dihadapan penghulu, disertai orang tua atau wali dan saksi-saksi.

9. Temon (Panggih manten)yakni pertemuan pengantin pria dengan wanita.

10. Ngunduh Mantu (ngunduh temanten) yakni memboyong pengantin wanita kerumah pengantin pria yang disertai pesta ditempat pengantin pria.

(29)

hari perkawinan dan dilanjutkan dengan tepung tawar serta diiringi dengan ansambel marhaban.

Namun dibeberapa wilayah seperti di kecamatan Percut Sei Tuan masih melaksanakan upacara pernikahan tradisional seperti panggihyaitu upacara temu pengantin yang dilanjutkan dengan acara balangan suruh, yaitu lempar-lemparan sirih, kemudian acara kacar-kucur yakni acara injak telur serta sungkemankepada orang tua sang pengantin.

Selain itu, masyarakat Jawa Deli juga mengamalkan tradisi munjung dan merewang. Tradisi Munjung adalah tradisi menghantar rantang ke rumah-rumah tetangga terdekat. Pemilik hajat pesta perkawinan akan mengisi rantang tersebut dengan nasi dan lauk pauknya. Tetangga yang dikunjungi sudah mengerti maksudnya. Sebagai balasannya para tetangga akan menitipkan sejumlah uang kepada penghantar. Uangmunjungini biasanya dipergunakan oleh pembuat hajat untuk sejumlah modal untuk pesta. Sedangkan merewang ialah kebiasaaan melakukan masak bersama oleh para kaum ibu-ibu yang dilakukan tiga hari sebelum hari hajatan pernikahan.

2.2.7 Adat upacaraslametan

(30)

1) Selamatan dalam rangka lingkaran hidup seseorang. Jenis selamatan ini meliputi: hamil tujuh bulan, kelahiran, potong rambut pertama, menyentuh tanah untuk pertama kali, menusuk telinga, sunat, kematian, peringatan serta saat-saat kematian.

2) Selamatan yang bertalian dengan bersih desa. Jenis selamatan ini meliputi upacara sebelum penggarapan tanah pertanian, dan setelah panen padi.

3) Selamatan yang berhubungan dengan hari-hari serta bulan-bulan besar Islam.

4) Selamatan yang berkaitan dengan peristiwa khusus. Jenis selamatan ini meliputi : perjalanan jauh, menempati rumah baru, menolak bahaya (ngruwat), janji kalau sembuh dari sakit (kaul), dan lain-lain.

Diantara jenis-jenis selamatan tersebut, selamatan yang berhubungan dengan kematian sangat diperhatikan dan selalu dilakukan. Hal ini dilakukan untuk menghormati arwah orang yang meninggal. Jenis selamatan untuk menolong arwah orang di alam baka ini, berupa:

1) Surtanahataugeblak, yaitu selamatan pada saat meninggalnya seseorang. 2) Nelung dina, yaitu selamatan hari ketiga sesudah meninggalnya seseorang. 3) Mitung dina, yaitu selamatan hari ketujuh sesudah meninggalnya

seseorang.

4) Matang puluh dina, yaitu selamatan hari ke 40 sesudah meninggalnya seseorang.

(31)

6) Mendak sepisan, yaitu selamatan satu tahun meninggalnya seseorang. 7) Mendak pindo, yaitu selamatan dua tahun meninggalnya seseorang.

8) Nyewu, yaitu selamatan genap 1000 hari meninggalnya seseorang. Jenis selamatan ini kadang-kadang disebut juga nguwis-nguwisi, artinya yang terakhir kali.

Masyarakat Jawa juga mengenal upacara sesajen selain selamatan. Upacara ini berkaitan dengan kepercayaan terhadap makhluk halus. Sesajen diletakkan ditempat-tempat tertentu, seperti dibawah kolong jembatan, dibawah tiang rumah, dan ditempat-tempat yang dianggap keramat. Bahan sesajen berupa : ramuan tiga jenis bunga (kembang telon), kemenyan, uang recehan, dan kue apam. Bahan tersebut diletakkan di dalam besekkecil atau bungkusan daun pisang. Ada pula sesajen yang dibuat pada setiap malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon yang wujudnya sangat sederhana karena hanya terdiri atas tiga macam bunga yang ditempatkan pada sebuah gelas yang berisi air, bersama sebuah pelita, dan ditempatkan pada sebuah meja. Tujuan menyediakan sesaji tersebut adalah agar roh-roh tidak mengganggu ketenteraman dan keselamatan anggota seisi rumah.

2.2.8Ruatanatauruwat

(32)

dan tidak bisa lepas dari pengaruh gaib dalam pelaksanaannya. Kata ruwat dalam bahasa Jawa Kuno artinya salah; rusak. rinuwat dirusak, dilepaskan. Ruwat diartikan juga dibuat tidak berdaya (kejahatan, kutuk, pengaruh jahat). Ngruwat diartikan sebagai membebaskan dari roh jahat. Dari arti kata tersebut jelas bahwa arah pokok ruwatan ialah membebaskan manusia dari kutukan, roh jahat, dan dari pengaruh roh-roh yang membawa malapetaka.

Seseorang yang oleh karena sesuatu sebab ia dianggap terkena sukerta/aib (klesa=JawaKuna), maka ia harus diruwat. Tradisi kepercayaan yang dimiliki masyarakat Jawa, bahwa seseorang yang oleh karena suatu peristiwa terkena sukerta, ia akan menjadi mangsa Batara Kala. Untuk dapat melepaskan/ membebaskan seseorang dari ancaman Batara Kala, maka masyarakat Jawayang meyakini menyelenggarakan upacara ruwatan, yang telah tertata dan diatur secara tertib. Usaha yang dilaksanakan oleh masyarakat Jawadengan mengadakan upacara ruwatan tersebut tak lain adalah untuk melindungi manusia dari segala ancaman bahaya.

(33)

2.2.9 Sistem kekerab hubungan darah atau hubungan perkawinan. Ya kerabatan adalah ayah, ibu, anak-anak, menant k-nenek, dan seterusnya. Suatu perkawinan besar bergabung menjadi satu. Hubungan ini luargaan saja, tetapi juga kadang-kadang dalam , bahkan politik.

g antara kedua kelompok kekerabatan ini adala , istri, dan anak-anak. Keluarga-keluarga yang

u membentuk kesatuan-kesatuan sosial yang dise pok kekerabatan umumnya dapat dibedakan atas

nis kelompok kekerabatan dalam ilmu sosiologi

(34)

1) Keluarga Ambilineal Kecil. Kelompok kekerabatan ini biasanya beranggotakan kira-kira 25-30 orang. Keluarga ambilineal kecil ini menghidupkan rasa solidaritasnya karena mereka menguasai sejumlah harta produktif yang dapat dinikmati bersama. Harta produktif itu biasanya berupa tanah, kolam, kebun, sawah, dan ternak.

2) Keluarga Ambilineal Besar. Anggota dalam kelompok ini terdiri atas beberapa generasi hingga jumlah anggotanya mencapai ratusan orang. Umumnya, akibat jumlah yang demikian banyak itu, anggota kelompok tidak lagi saling mengenal secara mendalam. Mereka akan berkumpul pada saat-saat tertentu saja, seperti pada saat upacara keagamaan.

3) Klen Kecil. Klen kecil merupakan suatu bentuk kelompok kekerabatan berdasarkan ikatan melalui garis-garis keturunan laki-laki saja atau garis keturunan perempuan saja. Umumnya, mereka mengetahui hubungan kekerabatan diantara mereka. Mereka saling mengenal dan bergaul karena sebagian besar masih tinggal bersama dalam satu desa atau lingkungan pemukiman, bahkan dalam satu rumah.

(35)

dimiliki bersama. Tanda-tanda itu biasanya berupa nama, nyanyian-nyanyian, dongeng-dongeng suci, dan lambang-lambang.

5) Fratri adalah kelompok-kelompok kekerabatan yang patrilineal (menurut garis keturunan ayah) atau matrilineal (menurut garis keturunan ibu). Sifatnya lokal dan merupakan gabungan dari kelompok-kelompok klen setempat, baik yang berskala besar maupun yang berskala kecil.

6) Paroh Masyarakat (Moeity). Paroh masyarakat adalah kelompok kekerabatan gabungan klen seperti fratri, tetapi selalu merupakan separoh dari suatu masyarakat. Paroh masyarakat dapat merupakan gabungan dari beberapa klen kecil atau klen besar. Contoh, pada suatu daerah terdapat 10 klen kecil. Masing-masing lima klen bergabung sehingga seolah-olah penduduk dalam suatu daerah tadi terbagi menjadi dua paroh. Kedua paroh itu masing-masing terikat oleh hubungan kekerabatan.

(36)

Tabel 2.5

Keterangan Istilah-istilah untuk Saudara Sedarah Istilah

Kekerabatan

Keterangan

Mbah (Eyang), kakek/nenek, saudara kakek/nenek, sepupu kakek/nenek yaitu sanak saudara siapa saja yang ada pada taraf generasi sama dengan kakek/nenek, dan suami/istri mereka itu.

Bapak (Pak, Rama), ayah. atau setiap anggota laki-laki dari generasi orang tua, atau suami seorang wanita yang dipanggil Ibu. Ibu (Bu, Mbok. Simbak, Biyung, Mak), ibu, atau seriap anggota

wanita dari generasi orang tua, atau istri seorang laki-laki yang dipanggil Bapak.

Pak De (ditarik dari Bapak Gede, harfiah "ayah besar") yakni saudara laki-laki orangtua yang lebih tua dari orangtua, anak laki-laki saudara kakek/nenek yang lebih tua dari kakek nenek itu, atau suami seorang perempuan yang dipanggil Bu De (Diri memanggil Pak De kcpada seriap laki-laki yang dipanggil Mas oleh orangtua Diri)

Bu De (Mbok De) saudara parempuan orangtua yang lebih tua dari orangtua itu, anak perempuan dari saudara kakek nenek yang lebih tua dari kakek nenek itu, atau istri seorang laki-laki yang dipanggil Pak De. (Diri memangi Bu De kepada setiap perempuan yang dipanggilMbakyuoleh orangtua Diri).

Pak Lik (berasal dari Bapak Cilik, harfiah "ayah kecil"; Paman (Man, Lik) saudara laki-laki orangtua yang lebih muda dari orangtua itu, anak laki-laki dari saudara kakek nenek yang lebih muda dari kakek/nenek, atau suami seorang perempuan yang dipanggil Bu Lik. (Diri memanggil Pak Lik setiap laki-laki yang oleh orangtua Diri dipanggilDik).

Bu Lik (Bik, Mbok Lik), adik perempuan orangtua, anak perempuan adik kakek/nenek, atau istri seseorang yang dipanggil Pak lik (Diri memanggil Bu lik pada wanita yang disebut Dik oleh orangtua Diri itu)

Mas (Kangmas, Kang, Gus), kakak laki-laki, anak laki-laki kakak orangtua, anak laki-laki dari anak kakaknya kakek/nenek atau suami seorang wanita yang disebut diri denganMbakyu

Mbakyu (Mbak, Yu) kakak perempuan, anak perempuan dari kakak orangtua, anak perempuan dari anak kakaknya kakek/nenek, atau istri seorang laki-laki yang disebut diri denganMas Adik (Dik Rayi, Jeng) yakni saudara muda, anak dari saudara muda

(37)

Mas Misanan (daripisan, sekali) anak laki-laki dari saudara tua orangtua. Mbakyu

misanan

anak perempuan dari saudara tua orangtua. Adik misanan anak dari saudara muda orangtua

Mas Mindoan (dari pindo, dua kali) anak laki-laki dari anak saudara tua kakek/nenek.

Mbakyu Mindoan

anak perempuan dari anaknya saudara tua kakek/nenek. Adik Mindoan anak dari anaknya saudara muda kakek/nenek.

Anak (Nak, Yoga, Putra) anak.

Keponakan (diperoleh dari kata anak; keponakan) anak dari saudara diri, anak dari sepupu diri.

Putu (Wayah)cucu.

Putu ponakan Cucu dari saudara diri. cucu dari sepupu diri.

Buyut Cicit, cicit dari saudara diri, cicit dari sepupu diri;mbah buyut. saudara atau sepupu darimbah buyut'

Canggah Anaknya cicit, atau siapa pun dari generasi yang sama dengannya; orangtua mbah buyut, atau siapa pun dari generasi yang sama dengannya.

Wareng Cucunya cicit, atau siapa pun dari generasi yang sama dengannya: kakek/neneknya mbah buyut, atau siapa pun dari generasi yang sama dengannya.

Udeg-Ude Cicitnya cicit, atau siapa pun dari ganerasi yang sama dengannya; mbah buyutnya mbah buyut. atau siapa pun dari generasi yang sama dengannya.

Gunung Siwur Anak dari cicitnya cicit, atau siapa pun dari generasi yang sama dengannya; orangtua dari mbah buyutnya mbah buyut. atau siapa pun dari generasi yang sama dengannya.

(38)

Tabel 2.6

Sebutan-Sebutan Penyapa untuk Saudara-Sedarah

Sebutan Ucapan Lain

Mbah Diucapkan sebagai Mbah atau Eyang

Bapak Pak, Rama (terkadang digunakan Bapak, tetapi dalam hal ini tersirat pengertian orang ketiga yang dihormati).

Ibu Bu, Mbok, Simhok, Biyung, Mak(terkadang digunakanIbu, tetapi dalam hal ini tersirat pengertian orang ketiga yang dihormati).

Pak De Pak De.

Bu De Bu De. Mbok De.

Pak Lik Pak Lik, paman, Man, Lik. Bu Lik Bu lik, Bik, Mbok lik

Mas Mas, Kangmas, Kang, Gus

Mbakyu Mbakyu, Mbak, Yu

Adik Dik, atau dengan istilah-istilah hangat seperti Le atau Nduk(masing-masing untuk laki-laki dan perempuan) atau semata-mata dengan nama.

Mas mindoan Mas, Kang, Kangmas, Gus Mbakyu mindoan Mbakyu, Mbak, Yu

Buyut Nak, atau yang lebih sering dengan nama atau istilah lain lain yang hangat, seperti Le, nduk. Jika cucu buyut disapa dengan Nak, atau yang lebih lazim lagi dengan nama atau istilah-istilah akrab seperti Le, Nduk; jika mbah buyut disapa denganMbahatauMbah Buyut

(39)

Tabel 2.7

Keterangan Istilah-Istilah Penyapa Terhadap Keluarga yang Diikat oleh Hubungan Perkawinan

Istilah Keterangan

Bojo (Rayat, somah), istri/suami

Sing Wedok (Ingkang estri, ading, ibune, mbokne, rayine, kanca estri), istri : disapa sebagai adik perempuan (Dik, Jeng) atau panggilan sehari-hariMbokne, Ibune

Sing Lanang (Ingkang jaler, Mase, Bapakne, Kanca Jaler)suami: disapa sebagai "Kakak" (Mas, Kangmas, Kang) atau panggilan sehari hariBapake, Pak’e, Mbahe

Maratuwa (Marasepuh) orangtua suami istri; disapa sebagai "Ibu". (Bu dan lain-lain) atau sebagai "Ayah" (Pak, dan lain-lain). Anak Mantu Menantu: disapa sebagai anak (Nak) atau dengan nama,

istilah akrab, atau sebutan sehari-hari.

Mas Ipe Suami kakak perempuan atau kakak suami/istri; disapa sebagai "Kakak" (Masdan lain-lain).

Mbakyu Ipe Istri kakak atau kakak perempuan suami/istri; disapa sebagai "kakak perempuan" (Mbakyu dan lain-lain).

Adik ipe Adik suami/istri atau suami/istri adik; disapa sebagai "Adik" (Dik, dan lain-lain)

Besan Orangtuanya suami/istrinya si anak; disapa dengan cara penghormatan formal.

(40)

Sikl

Diagram 2.2

(41)

Menurut Geertz (1983:290) dalam sistem kemasyarakatan Jawa, dikenal 4 tingkatan yaitu Priyayi, Ningrat atau Bendara, Santri dan Wong Cilik. Priyayi ini sendiri konon berasal dari dua kata bahas Jawa, yaitu “para” dan “yayi” atau yang berarti para adik. Dalam istilah kebudayaan Jawa, istilah priyayi ini mengacu kepada suatu kelas sosial tertinggi di kalangan masyarakat biasa setelah Bendara atau ningrat karena memiliki status sosial yang cukup tinggi di masyarakat. Biasanya kaum priyayi ini terdiri dari para pegawai negeri sipil dan para kaum terpelajar yang memiliki tingkatan pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang-orang disekitarnya

Ningrat atauBendaraadalah kelas tertinggi dalam masyarakat Jawa. pada tingkatan ini biasanya diisi oleh para anggota keraton, atau kerabat-kerabatnya, baik yang memiliki hubungan darah langsung, maupun yang berkerabat akibat pernikahan. Bendara pu memiliki banyak tingkatan juga di dalamnya, mulai dari yang tertinggi, sampai yang terendah. Hal ini dapat dengan mudah dilihat dari gelar yang ada didepan nama seorang bangsawan tersebut. Yang ketiga adalah golongan santri. Golongan ini tidak merujuk kepada seluruh masyarakat suku Jawa yang beragama muslim tetapi lebih mengacu kepada para muslim yang dekat dengan agama, yaitu para santri yang belajar dipondok-pondok yang memang banyak tersebar di seluruh daerah Jawa.

(42)

a. Wong Baku: golongan ini adalah golongan tertinggi dalam golongan wong cilik, biasanya mereka adalah orang-orang yang pertama mendiami suatu desa, dan memiliki sawah, rumah, dan juga pekarangan.

b. Kuli Gandok atau Lindung: masuk di dalam golongan ini adalah para lelaki yang telah menikah, namun tidak memiliki tempat tinggal sendiri, sehingga ikut menetap ditempat tinggal mertua.

c. Joko, Sinoman, atau Bujangan: di dalam golongan ini adalah semua laki-laki yang belum menikah dan masih tinggal bersama orang tua, atau tinggal bersama orang lain. Namun, mereka masih dapat memiliki tanah pertanian dengan cara pembelian atau tanah warisan.

2.2.10 Organisasi sosial

Sebagai makhluk yang saling tergantung satu sama lain, manusia selalu ingin membentuk kelompok-kelompok tertentu. Salah satu kelompok manusia itu adalah organisasi sosial. Organisasi sosial adalah perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. Organisasi sosial berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa dan negara.

(43)

2) Dalam bidang kesejahteraan sosial, antara lain panti asuhan, pemondokan anak-anak terlantar, dan panti jompo.

3) Dalam bidang kesehatan, antara lain yayasan-yayasan kesehatan, rumah sakit, dan balai-balai pengobatan.

4) Dalam bidang keadilan, misalnya lembaga-lembaga bantuan hukum. Menurut Berelson dan Steiner dalam Nasikun (1984:55) sebuah organisasi memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1) Formalitas, merupakan ciri organisasi sosial yang menunjuk kepada adanya perumusan tertulis daripada peratutan-peraturan, ketetapan-ketetapan, prosedur, kebijaksanaan, tujuan, strategi, dan seterusnya.

2) Hierarkhi, merupakan ciri organisasi yang menunjuk pada adanya suatu pola kekuasaan dan wewenang yang berbentuk piramida, artinya ada orang-orang tertentu yang memiliki kedudukan dan kekuasaan serta wewenang yang lebih tinggi daripada anggota biasa pada organisasi tersebut.

3) Besarnya dan Kompleksnya, dalam hal ini pada umumnya organisasi sosial memiliki banyak anggota sehingga hubungan sosial antar anggota adalah tidak langsung (impersonal), gejala ini biasanya dikenal dengan gejala “birokrasi”.

(44)

2.3 Tipe-Tipe Organisasi

2.3.1 Organisasi formal resmi93

Organisasi formal/resmi adalah organisasi yang dibentuk oleh sekumpulan orang/masyarakat yang memiliki suatu struktur yang terumuskan dengan baik, yang menerangkan hubungan-hubungan otoritasnya, kekuasaan, akuntabilitas dan tanggung jawabnya, serta memilki kekuatan hukum. Struktur yang ada juga menerangkan bagaimana bentuk saluran-saluran melalui apa komunikasi berlangsung. Kemudian menunjukkan tugas-tugas terspesifikasi bagi masing-masing anggotanya.

2.3.2 Organisasi informal

Keanggotaan pada organisasi-organisasi informal dapat dicapai baik secara sadar maupun tidak sadar, dan kerap kali sulit untuk menentukan waktu eksak seseorang menjadi anggota organisasi tersebut. Sifat eksak hubungan antar anggota dan bahkan tujuan organisasi yang bersangkutan tidak terspesifikasi.

(45)

(Generasi Muda Jawa), Ikatan Keluarga Solo, FMJSU (Forum Masyarakat Jawa Sumatera Utara), Laskar Jaka Tingkir, Pendawa (Pemuda Darah Jawa), SEMAR (Semua Anak Rantau), IKJS (Ikatan Kerukunan Jawa dan Sekitarnya), Komunitas JeDe (Jawa Deli), serta lain-lain.

Gambar 2.6

Kirab Budaya Jawa oleh Forum Komunikasi Warga Jawa di Lapangan Benteng Medan 2016

(46)

Gambar

Gambar 2.1Peta Sumatera Timur
Gambar 2.2Sepasang ng Singa, Mahkota, dan Tembakau yang Menj(Dokumentasi Alexander Avan)Lambang Ibu Koloni Tembakauenjadi
Tabel. 2.1
Tabel 2.2
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sekolah Dasar Swasta Harapan 3 yang berlokasi di Jalan Karya Wisata Ujung no 31, adalah sekolah umum dalam naungan dinas pendidikan namun tetap mengutamakan

Analisa teknikal memfokuskan dalam melihat arah pergerakan dengan mempertimbangkan indikator-indikator pasar yang berbeda dengan analisa fundamental, sehingga rekomendasi yang

Akhir-akhir ini kita sering melihat beberapa aksi kenakalan yang dilakukan oleh peserta didik. Bermacam-macam bentuk kenakalan peserta didik semakin mewarnai

Hasil penelitian yang dilakukan terhadap responden mengenai kemampuan merawat balita ISPA setelah diberikan pendidikan kesehatan yang dilakukan di Wilayah Puskesmas Padang Pasir

Sebelum diperiksa kedua telapak tangan responden saling digosok-gosokkan agar supaya kandungan bakteri di kedua telapak tangannya homogen, kemudian dengan swab kapas steril yang

Berbeda dengan tenaga kerja wanita (TKW) yang lebih banyak bekerja sebagai pembantu rumah tangga, umumnya pendapatan mereka seluruhnya dikirim kepada keluarga di

Kesimpulan dari penelitian ini adalah pada pengujian aktivitas ekstrak etanol buah lerak (Sapindus rarak) menunjukkan terdapat daya hambat atau memiliki aktivitas antibakteri

Fahrun Nur Rosyid, S.kep,Ns, M.kes, selaku Kaprodi SI Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surabaya dan selaku pembimbing I yang dengan