• Tidak ada hasil yang ditemukan

KejahatanPerang di SuriahdenganMenggunakanSenjata KimiaTerhadapWarga Sipil Ditinjau dari Hukum Internasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KejahatanPerang di SuriahdenganMenggunakanSenjata KimiaTerhadapWarga Sipil Ditinjau dari Hukum Internasional"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN UMUM TENTANG KEJAHATAN PERANG

A. Perang dalam Hukum Humaniter Internasional

Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI), perang adalah suatu

permusuhan antara dua negara (bangsa, agama, suku, dan sebagainya) atau

pertempuran bersenjata anta dua pasukan tentara dan laskar. Dalam arti tersebut

dapat kita jabarkan pengertian perang dalam 4 arti, anatara lain:33

1. Permusuhan antara dua negara (bangsa, agama, suku, dsb);

2. Pertempuran besar bersenjata antara dua pasukan atau lebih (tentara,

laskar, pemberontak, dsb.);

3. Perkelahian; konflik;

4. Cara mengungkapkan permusuhan.

Dalam pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 dijelaskan bahwa perang adalah

kekerasan terhadap kehidupan orang, khususnya pembunuhan dari segala jenis,

pemotongan anggota tubuh, perlakuan kejam, dan penyiksaan. Perang juga

diartikan suatu kesengajaan melakukan serangan terhadap penduduk sipil atau

serangan terhadap gedung material, satuan, angkutan dan lain-lain.34

Perang adalah suatu aksi fisik dan non fisik (dalam arti sempit, adalah

kondisi permusuhan dengan menggunakan kekerasan) antara dua atau lebih

kelompok manusia untuk melakukan dominasi di wilayah yang dipertentangkan.

Perang secara purba dimaknai sebagai pertikian bersenjata, di era modern, perang

33

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cetakan ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2003, hal. 854

34

(2)

lebih mengarah pada surperioritas teknologi dan insudtri, hal ini tercermin

dari doktrin angkatan perangnya seperti “Barang siapa menguasai ketinggian

maka menguasai dunia”, hal ini menunjukkan bahwa penguasaan atas ketinggian

harus dicapai oleh teknologi.35

Karena itu sejarah perang sama tuanya dengan sejarah umat manusia. Suatu

kenyataan yang menyedihkan bahwa selama 3400 tahun sejarah yang tertulis,

umat manusia hanya mengenal 250 tahun perdamaian. Tidaklah mengherankan

apabila perkembangan hukum internasional modern sebagai suatu sistem hukum

yang berdiri sendiri dimuali dengan tulisan-tulisan mengenai hukum perang. Dahulu kala perang memang merupakan suatu pembunuhan besar-besaran

antara kedua belah pihak yang berperang. Pembunuhan besar-besaran ini hanya

merupakan salah satu bentuk perwujudan daripada naluri untuk mempertahankan

diri, yang berlaku baik dalam pergaulan antara manusia, maupun dalam pergaulan

antara bangsa.

36

Dalam hukum internasional aturan yang mengatur masalah perang biasa

disebut dengan Hukum Humaniter, dimana menurut Mochtar Kusumaatmadja

hukum humaniter adalah bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan

perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur

35

“Perang”, dimuat dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Perang, diakses pada tanggal 3 Desember 2016, pukul 07.15. WIB

36

(3)

perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu

sendiri.37

Haryomataram membagi hukum Humaniter menjadi dua aturan-aturan

pokok, yaitu:38

1. Hukum yang mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai untuk

berperang (Hukum Den Haag/The Hague Laws);

2. Hukum yang mengatur mengenai perlindungan terhadap kombatan dan

penduduk sipil dari akibat perang (Hukum Jenewa/The Genewa Laws).

Sedangkan Mochtar Kusumaatmadja membagi hukum perang sebagai

berikut:39

1. Jus ad bellum yaitu hukum tentang perang, mengatur tentang dalam hal

bagaimana negara dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata;

2. Jus in bello, yaitu hukum yang berlaku dalam perang, dibagi lagi

menjadi 2 (dua) yaitu:

a. Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang (condact of war).

Bagian ini biasanya disebut The Hague Laws.

b. Hukum yang mengatur perlindungan orang-orang yang menjadi

korban perang. Ini lazimnya disebut The Genewa Laws.

Dalam melakukan peperangan Hukum humaniter memberikan 3 azas yang

harus dijunjung tinggi oleh pihak-pihak yang berperang, antara lain: .40

37

Makdin Amrin Munthe, Pengantar Hukum Humaniter Internasional, USU Press, Medan, 2008, Hal 2.

38

Haryomataram, sekelumit tentang Hukum Humaniter, Sebelas Maret University Press, Surakarta. 1994, Hal 1.

39

(4)

1. Asas Kepentingan Militer (military necessity)

Berdasarkan asas ini maka pihak yang bersengketa dibenarkan

menggunakan kekerasan untuk menundukkan lawan demi tercapainya

tujuan dan kebrhasilan perang.

2. Asas Perikemanusiaan (humanity)

Berdasarkan asas ini maka pihak yang bersengketa diharuskan untuk

memperhatikan perikemanusiaan, dimana mereka dilarang untuk

menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan

atau penderitaan yang tidak perlu.

3. Asas Kesatriaan (chivalry)

Asas ini mengandung arti bahwa di dalam perang, kejujuran harus

diutamakan. Penggunaan alat-alat yang tidak terhormat, berbagai macam

tipu muslihat dan cara-cara yang bersifat khianat dilarang

Hukum humaniter tidak dimaksudkan untuk melarang perang, karena dari

sudut pandang hukum humaniter, perang merupakan suatu kenyataan yang tidak

dapat dihindari. Hukum humaniter mencoba untuk mengatur agar suatu perang

dapat dilakukan dengan lebih memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan.

Mohammed Bedjaoui mengatakan bahwa tujuan hukum humaniter adalah untukk

memanusiawikan perang.

Ada beberapa tujuan hukum humaniter yang dapat dijumpai dalam

berbagai kepustakaan, antara lain sebagai berikut:41

1. Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil

dari penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering.

40

Makdin Amrin Munthe, Op, Cit, hal 7

41

(5)

2. Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka

yang jatuh ke tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh

harus dilindungi dan dirawat serta berhak diperlakukan sebagai

tawanan perang.

3. Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas.

Disini, yang terpenting adalah asas perikemanusiaan.

G.P.H. Djatikoesoemo mengatakan bahwa sebab-sebab perang terletak

dalam kenyataan bahwa perkembangan manusia sangat berhubungan erat dengan

perkembangan nasional dari negara-negara.42

Khusus mengenai sebab-sebab terjadinya konflik bersenjata, dalam

paragraf 4 Protocol I tahun 1977, konflik bersenjata digambarkan sebagai

perjuangan suatu bangsa untuk melawan dominasi kolonial dan pendudukan asing

dan rezim rasialis dalam memenuhi hak mereka meentukan nasib sendiri, seprti

tercantum dalam Piagam PBB dan Deklarasi tentang Prinsip-Prinsip Hukum

Internasional yang berhubungan dengan hubungan bersahabat dan kerjasama antar

negara.43

1. Perjuangan melawan dominasi kolonial;

Dari Uraian tersebut dapat dilihat bahwa sebab-sebab dari terjadinya

konflik bersenjata antara lain:

2. Melawan penduduk asing;

3. Melawan rezim rasialis;

42

Djatikoesoemo, Hukum Internasional Bagian Perang, Pemandangan, Jakarta, 1956, hal. 13

43

(6)

4. Memenuhi hak untuk menentukan nasib sendiri;

Selain ke 4 sebab diatas, terdapat sebab lain terjadinya perang, antara lain: 44

1. Perbedaan

2. Keinginan untuk memperluas wilayah kekuasaan

3. Perbedaan kepentingan

4. Perampasan

B. Kejahatan Perang dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa. (minyak, hasil pertanian, dll)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kejahatan adalah perilaku yang

bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku yang telah

disahkan oleh hukum tertulis (hukum pidana).45

Perkataan kejahatan menurut pengertian tata bahasa adalah suatu tindakan

atau perbuatan yang jahat adalah pembunuhan, pencurian, perampokan, dan lain

sebagainya yang dilakukan oleh manusia. Para pakar ilmu kriminologi banyak

membuat rumusan tentang kejahatan. Antara lain seperti yang diungkap oleh

W.A. Bonger (1963), seperti yang dikutip oleh Soedjono mengemukakan bahwa

kejahatan merupakan perbuatan anti sosial yang secara sadar mendapat reaksi

daari rumusan-rumusan hukum mengenai kejahatan. Pengertian ini sama dengan

yang diutarakan oleh Sutherland yang menekankan bahwa ciri pokok dari

kejahatan ialah perilaku yang dilarang oleh negara dan perbuatan tersebut dapat

44

“Perang”, dimuat dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Perang, diakses pada tanggal 3 Desember 2016, pukul 07.30. WIB

45

(7)

menimbulkan reaksi dari negara, yaitu dengan hukuman sebagai suatu upaya yang

ampuh.46

Kejahatan perang adalah segala pelanggaran terhadap hukum-hukum perang

atau hukum humaniter internasional yang mendatangkan tanggung jawab kriminal

individu. Pengadilan Militer Internasional di Nuremberg mendefinisikan

kejahatan perang sebagai “pelanggaran terhadap hukum atau kebiasaan hukum”,

termasuk pembunuhan, perlakuan buruk, atau deportasi penduduk sipil dalam

wilayah yang telah diduduki, pembunuhan atau perlakuan buruk terhadap tahanan

perang, pembunuhan sandera, perampasan barang-barang publik atau harta milik

pribadi; perusakan tanpa alasan atas kota-kota; dan penghancuran tanpa

kepentingan militer.47

Kejahatan perang adalah suatu tindakan pelanggaran, dalam cakupan

baik

Setiap pelanggaran hukum perang pada konflik antar bangsa merupakan kejahatan

perang. Pelanggaran yang terjadi pada konflik internal suatu negara, belum tentu

bisa dianggap kejahatan perang. 48

46

Soedjono D. Soekamto, Kriminologi Suatu Pengantar, Ghalia Indonesia, Bandung, 1986, cet. Ke-11, hal 21.

47

Steven R.Ratner, Kategori Kejahatan Perang, dalam Roy Gutman dan David Reff, ed., Kejahatan Perang yang Harus Diketahui Publik, t.t., Program Pelatihan Jurnalistik Televisi, 2004, hal 426.

48

(8)

Penegakan hukum atas kejahatan perang yang sifatnya internasional bukanlah

hal yang mudah, meskipun sejak zaman Yunani kuno, pemikiran untuk mengadili

pelaku kekejaman dalam perang sudah ada.49

Perang dunia 1 menjadi awal penuntutan terhadap pelaku kejahatan perang

secara individu terhadap tentara Jerman, meskipun pada akhirnya mengalami

kegagalan. Penuntutan secara nyata dengan dasar Konvensi Den Haag baru

terlaksana pada pengadilan Nuremberg dan Tokyo setelah Perang Dunia ke II.

Setelah itu dibentuk beberapa tribunal ad hoc yaitu, Internasional Criminal

Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) dan Internasional Criminal Tribunal

for Rwanda (ICTR), pengadilan di beberapa negara seperti majelis luar biasa

Kamboja, pengadilan Siera Lone, Chili dan Pengadilan Hak Asasi Manusia di

Timor Timur. Terakhir dibentuk Statuta Roma yang menjadi hukum yang represif

terhadap kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan lainya.50

Kejahatan perang meliputi semua pelanggaran terhadap perlindungan yang

telah ditentukan oleh hukum perang, dan juga mencakup kegagalan untuk tunduk

pada norma prosedur dan aturan pertempuran, seperti menyerang pihak yang telah

mengibarkan

itu sebagai

Perlakuan semena-mena terhadap

untuk mengecoh pihak lawan sebelum menyerang.

bisa dianggap sebagai kejahatan perang.

49

Eddy O.S Hiariej, “Pengadilan atas Beberapa Kejahatan Seruis terhadap HAM”, Erlangga, Jakarta, 2010 Hal. 26.

50

Romli Atmasasmita, “Pengantar Hukum Pidana Internasional”, Refika Aditama, Bandung, 2000, Hal 4-8.

(9)

walaupun dalam

luas dideskripsikan sebagai

Kejahatan perang dapat dilakukan oleh anggota militer51 terhadap anggota

militer musuh atau penduduk sipil musuh, atau, oleh penduduk sipil terhadap

anggota militer musuh atau penduduk sipil musuh. Akan tetapi, kejahatan yang

dilakukan oleh anggota militer, terhadap anggota militernya sendiri (anggota

militer yang berada dalam satu pihak), apapun kewarganegaraannya, tidak

merupakan kejahatan perang. Hal ini dinyatakan dalam kasus Pilz52 dalam

DutchSpecial Court of Cassation sebagaimana dinyatakan juga dalam Motosuke53

oleh Temporary Court Martial of Netherlands East Indies, di Amboina 54

Kejahatan yang dilakukan oleh anggota militer terhadap anggota militernya

sendiri, walaupun bukan merupakan kejahatan internasional, tetap diatur di bawah

lembaga hukum militer oleh pihak terkait.55

51

Dalam hal ini, anggota militer yang dimaksud meliputi semua individu yang berpartisipasi dalam konflik bersenjata

52

Dalam kasus ini, seorang Belanda di negeri Belanda yang sedang dikuasai, terjebak dalam wajib militer Jerman. Saat ia mencoba melarikan diri dari kesatuannya, ia ditembak dan terluka. Pilz, seorang dokter Jerman yang melayani tentara Jerman dengan pangkat

Haupsturmfuhrer, memerintahkan penahanan bantuan medis atau bantuan lain yang diberikan oleh seorang dokter dan rumah sakit, terkait dengan ‘penyalahgunaan otoritasnya sebagai superior’ Pilz telah memerintahkan atau menginstruksikan bawahannnya untuk membunuh orang terluka tersebut dengan sarana senjata api. Hal ini berakibat pada kematian orang Belanda tersebut. Pengadilan memutuskan bahwa tindakan ini bukanlah sebuah kejahatan perang karena orang yang dilukai adalah bagian dari pasukan yang menguasai wilayah tersebut dan kewarganegaraan orang ini tidak relevan. Hal ini dikarenakan, berdasarkan hukum, ketika orang tersebut terdaftar menjadi anggota militer, ia telah meletakkan dirinya di bawah hukum pasukan tersebut. Akibat dari tindakan tersebut, kejahatan yang terjadi padanya merupakan sesuatu yang berada di bawah pengaturan hukum internal Jerman.

53

Motosuke, seorang perwira Jepang, telah dituntut, antara lain, telah memerintahkan pengeksekusian dengan penembakan seorang kewarganegaraan Belanda bernama Barends, yang, selama pendudukan wilayah Ceram oleh pasukan bersenjata Jepang, telah bergabung dengan Gunkes, sekelompok pejuang relawan yang terbentuk dari mayoritas orang pribumi Indonesiayang melayani tentara Jepang. Pengadilan memutuskan bahwa dengan bergabung dengan pasukan Jepang, Barends telah kehilangan kewarganegaraannya. Pembunuhannya oleh pasukan Jepang bukanlah sebuah kejahatan perang.

54

Amboina, Moluccas, sekarang dikenal dengan Ambon, Maluku.

55

(10)

Kejahatan perang juga memiliki unsur-unsur, antara lain adalah unsur

kontekstual, unsur actus reus, dan mens rea.56

Konflik bersenjata (armed conflict) merupakan unsur yang diperlukan untuk

terjadinya suatu kejahatan perang. Hal ini telah diakui dan dinyatakan dalam

begitu banyak kasus di pengadilan internasional. Terdapat dua jenis konflik

bersenjata, yaitu konflik bersenjata internasional dan konflik bersenjata

noninternasional yang akan dijelaskan lebih lanjut.57

Actus reus dalam sebuah kejahatan mempunyai dua bentuk. Yang pertama

adalah actus reus dimana tindakan yang dilakukan oleh si pelaku adalah tindakan

yang dilarang oleh hukum. Sedangkan yang kedua adalah actus reus dimana yang

dilarang hukum bukanlah tindakannya tetapi akibat yang ditimbulkan oleh

tindakan tersebut.

Actus reus adalah tindakan fisik yang diperlukan untuk terjadinya suatu

kejahatan. Actus reus bisa dipenuhi oleh satu orang atau banyak orang secara

bersama-sama. Actus reus tidak harus selalu dipenuhi dengan tindakan secara

fisik. Seseorang yang tidak melakukan apa-apa atau tidak bertindak sama sekali

(omisi) dapat juga memenuhi actus reus dari sebuah kejahatan. Salah satu contoh

pemenuhan actus reus dengan cara omisi adalah dengan membiarkan seseorang

yang terluka berat dengan tidak melakukan apa-apa sehingga orang tersebut mati

walaupun sebenarnya ada yang dapat kita lakukan.

58

56

Knut Dormann, “Elements of Crimes under the Rome Statute of the International Criminal Court”, : Cambridge University Press, Cambridge, 2003, hal.10

57

Sylvain Vite, “Typology of Armed Conflicts in International Humanitarian Law: Legal Concepts and Actual Situations”, International Review of the Red Cross, 2009, hal 90

58

(11)

Tidak seperti unsur kontekstual yang selalu sama untuk setiap kejahatan

perang, yaitu unsur konflik bersenjata, Actus reus dari setiap kejahatan perang

berbeda-beda. Mengenai actus reus spesifik dari kejahatan-kejahatan perang akan

dibahas kemudian ketika dalam sub-bab macam-macam kejahatan perang.59

Unsur Mens Rea, pada dasarnya tidak ada definisi yang pasti dan yang

diterima sebagaihukum kebiasaan internasional dari Mens Rea. Satu pengecualian

adalah Pasal 30dari Statuta Roma International Criminal Court,namun pasal ini

cenderung memberikan definisi mens rea yang khusus untuk kejahatan dalam

jurisdiksi International Criminal Court dibanding menjadi suatu definisi yang

sudah diakui sebagai hukum kebiasaan internasional.60

Mens rea diambil dari adagium dalam hukum Latin, actus non facit reum

nisi mens sit rea. 61

Walaupun masih terdapat definisi dan pemahaman yang belum seragam

mengenai mens rea, tetapi terdapat pendekatan yang mendasar yang cenderung

sama dalam sistem hukum di dunia. Pendekatan ini adalah sebagai berikut:

Adagium ini digunakan untuk menunjukan unsur

mental,moral, atau psikologis dari kejahatan. Secara harafiah mens rea berarti

kehendakbersalah. Tanpa unsur mens rea, seseorang tidak dapat dinyatakan atas

sebuahkesalahan.

62

1. Intention atau niat, yaitu keinginan untuk mencapai kejadian

tertentu. Bagian ini biasa disebut intent, dol, vorsatz, atau

59

Unsur kontekstual dari kejahatan perang selalu berbentuk unsur konflik bersenjata, namun konflik bersenjata ini dapat berupa konflik bersenjata internasional atau konflik bersenjata non-internasional.

60

Antonio Cassese, Op.Cit, hal.160

61

Terdakwa tidak bersalah tetapi pikirannya bersalah.

62

(12)

dolus. 63

2. Awareness atau kesadaran bahwa dengan melakukan suatu tindakan

terdapat suatu kemungkinan atau resiko yang menimbulkan

konsekuensi yang membahayakan. Bagian ini biasa disebut

recklessness, dol eventual,eventualvorsatz, eventualdolus, bedingter

vorsatz, dolus eventualis.

Contohnya adalah “saya menggunakan pistol untuk

menembak orang karena saya mau membunuhnya.”

64

3. Kegagalan untuk memberikan perhatian yang cukup atau untuk

memenuhi standar tertentu yang diterima secara umum dan

kegagalan tersebut membahayakan orang lain ketika pelaku percaya

bahwa konsekuensi yang membahayakan dari tindakannya tidak

akan terjadi karena tindakan yang telah atau akan ia lakukan.

Bagian ini biasa disebut sebagai advertent atau culpablenegligence,

negligence consiente, bewusste fahrlassigkeit.

Contohnya adalah “saya sadar akan

resiko bahwa dengan menggunakan suatu senjata tertentu saya dapat

membunuh ratusan penduduk sipil yang tak bersalah akan tetapi

saya tidak menghiraukan keberadaan resiko ini.”

65

63

Yang secara harafiah berarti niat, Ibid

64

Yang secara harafiah berarti kesadaran,Ibid

65

Yang secara harafiah berarti kelalaian yang dapat dipersalahkan, Ibid

Contohnya ketika

seorang pembantu di rumah sakit jiwa menyebabkan kematian

seorang pasien dengan melepaskan aliran air mendidih ke dalam

bak mandi; atau ketika satu dari dua orang bermain dengan pistol

beramunisi dan mengarahkannya ke orang yang satunya dan

menarik pelatuknya dengan kepercayaan bahwa pistol tersebut tidak

(13)

pistol (dalam pikiran orang ini pistol tidak akan menembak karena

menurutnya dengan tidak adanya peluru di sisi laras berarti pistol

tersebut tidak beramunisi). Namun, karena pistol tersebut adalah

pistol revolver, maka pistol tersebut menembak dan membunuh

orang yang satunya. Singkatnya, orang ini sadar akan kemungkinan

menembak, ia memastikan dengan caranya yang berada di bawah

standar umum, dan akhirnya ia mengarahkan pistol tersebut serta

menembakannya pada orang lain.

4. Gagal untuk menghormati standar bertindak yang diterima secara

umum tanpa kesadaran bahwa tindakan tersebut dapat

membahayakan. Bagian ini biasanya disebut inadvertent negligence,

negligence consiente, unbewusstefahrlassigkeit.66

Kejahatan perang meliputi macam-macam tindakan yang dilakukan dalam

konflik bersenjata. Macam-macam tindakan ini terbagi menjadi dua, yaitu grave

breaches of the Geneva Conventionsof 1949 dan violations of the laws or customs

of war. Grave breaches of theGeneva Conventions of 1949 terdiri dari: (1) wilful

killing; (2) torture or inhumantreatment, including biological experiments; (3)

wilfully causing great suffering or serious injury to body or health; (4) extensive

destruction and appropriation ofproperty, not justified by military necessity and

carried out unlawfully andwantonly; (5) compelling a prisoner of war or a

civilian to serve in the forces of ahostile power; (6) wilfully depriving a prisoner

of war or a civilian of the rights offair and regular trial; (7) unlawful deportation

or transfer or unlawfulconfinement of a civilian; (8) taking civilians as

66

(14)

hostages.10 Violations of the lawsor customs of war terdiri dari: (1) employment

of poisonous weapons or otherweapons calculated to cause unnecessary

suffering; (2) wanton destruction ofcities, towns or villages, or devastation not

justified by military necessity; (3) attack, or bombardment, by whatever means, of

undefended towns, villages,dwellings, or buildings; (4) seizure of, destruction or

wilful damage done toinstitutions dedicated to religion, charity and education, the

arts and sciences,historic monuments and works of art and science; (5) plunder of

public or privateproperty.67

Kejahatan perang merupakan bagian penting dalam hukum kemanusiaan

internasional karena biasanya pada kasus kejahatan ini dibutuhkan suatu

pengadilan internasional, seperti pada

Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa kejahatan perang

terbentuk dari unsur actus reus, mens rea, dan unsur kontekstual. Unsur

kontekstual ini adalah keadaan konflik bersenjata, suatu unsur yang membedakan

kejahatan perang dengan kejahatan lainnya. Kejahatan perang hanya dapat

dilakukan kepada anggota militer musuh. Kejahatan perang juga memiliki

berbagai macam bentuk perbuatannya seperti yang disebutkan di atas.

setelah tanggal tersebut. Beberapa negara, terutama

67

Statuta dari International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia, Psl.3

(15)

Serikat,

pengadilan tersebut menindak warga negara mereka.

Beberapa mantan kepala negara dan kepala pemerintahan yang telah diadili

karena kejahatan perang antara lain adalah

Perdana Menteri

Preside

Keadilan perang kadang dituding lebih berpihak kepada pemenang suatu

peperangan, karena beberapa peristiwa kontroversi tidak atau belum dianggap

sebagai kejahatan perang. Contohnya antara lain perusakan target-target sipil yang

dilakukan Amerika Serikat pada

juga diadili karena kejahatan perang.

penggunaan

serta pendudukan

Bagi tujuannya sendiri, Mahkamah Kejahatan Internasional bagi Bekas

negara Yugoslavia ICTY atau Internasional Criminal Tribunal for the former

Yugoslavia) mendevinisikan sebagai sesuatu yang berkonsekuensi berat bagi

korbannya dan melanggaraturan yang melindungi nilai-nilai penting. Cntoh

kecilnya, membakar hasil panen sebuh desa merupakan suatu pelanggaran serius,

tetapi mencuri sepotong roti bukanlah sebuah pelanggaran serius.68

Tindakan ilegal yang paling serius adalah pelanggaran-pelanggaran berat atas

konvensi-konvensi Jenewa tahun 1949. Tindakan ilegal mencakup; penggunaan

cara dan metode peperangan yang dilarang, termsuk racun atau senjata lain yang

68

(16)

terhitung menyebabkan penderitaan yang tidak seharusnya; serangan curang yang

tidak melibatkan penyalahgunaan lambang yang dilindungi atau lambang maupun

seragam negara-negara netral; gagal mengenakan suatu seragam untuk

mengidentifikasi diri sendiri sebagai kombatan yang sah; penjarah; terorisme;

campurtangan dalam kiriman kapal untuk bantuan kemanusiaan; perusakan serius,

yang tidak dibenarkan terhadap harta milik; serangan atau pembombardiran

terhadap kota yang tidak dipertahankan, pemukiman, atau bangunan-bangunan;

tindakan perusakan sengaja dilakukan terhadap lembaga-lembaga kebudayaan

tertentu, seperti bangunan yang diperuntukkan untuk keagamaan, pendidikan,

amal, seni, ilmu pengetahuan, atau monument sejarah dan karya seni; tindakan

balasan terhadap orang atau objek yang dilindungi; dan tiap bentuk pelanggaran

kesepakatan gencatan senjata.

Protokol tambahan I tahun 1977 memperluas wilayah proteksi Konvensi

Jenewa untuk konflik internasional dengan memasukkan hal-hal berikut sebagai

pelanggaran perang antara lain, eksperimen medis tertentu, membuat penduduk

sipil atau suatu tempat sebagai obyek atau korban serangan yang tidak dapat

dihindarkan, berlaku curang dalam penggunaan lambang palang merah

internasional, apartheid, dan mencabut hak seorang yang dilindungi dari

pengadilan yang adil.69

Kejahatan perang terbagi menjadi empat kategori, yang merefleksikan evolusi

historis dari subjek dengan membedakan antara kejahatan yang dilakukan pada

saat konflik internasional dan pada saat konflik bersenjata internal. Kategori

pertama –pasal 8 (2) (a) – meliputi semua “pelanggaran berat” konvensi Jenewa,

69

(17)

1949, kategori kedua – pasal 8 (2) (b) – meliputi ‘pelanggaran yang berat terhadap

hukum dalam kerangka hukum Internasional’. Kategori ini meliputi serangan atas

pasukan penjaga perdamaian atau mereka yang memberikan bantuan kemanusiaan

di bawah naungan PBB; serangan yang dilakukan dengan sengaja dan mengetahui

bahwa serangan tersebut dapat menimbulkan kematian atau cidera terhadap

penduduk sipil; serangan secara sengaja terhadap target non militer seperti tempat

ibadah, museum, rumah sakit, dan tempat-tempat bersejarah atau memiliki nilai

kebudayaan. Kategori ketiga – pasal 8 (2) (c) – memperluas yuridiksi atas konflik

bersenjata internasional yaitu serangan tidak manusiawi kepada warga sipil atau

orang yang sedang sakit atau prajurit yang sudah menyerah. Dan kategori keempat

– pasal 8 (2) (e)- kejahatan yang mencakup penggunaan anak-anak sebagai tentara

atau keterlibatan dalam kejahatan seksual.

C. Bentuk-Bentuk Kejahatan Perang

Suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai tindakan ilegal atau dilarang

berdasarkan aturan-aturan hukum humaniter yang dilanggar atau berdasarkan

konsekuensinya bagi si pelaku. Beberapa tindakan tersebut melibatkan cara atau

metode peperangan yang dilarang (menurut “hukum Den Haag”, yaitu hukum

yang berasal dari konvensi-konvensi Den Haag thun 1899 dan 1907). Tindakan

lainnya adalah tindakan yang menyakiti orang-orang yang dilindungi yang sakit

dan terluka, korban kapal karam atau rakyat sipil (menurut “hukum jenewa”, yaitu

hukum yang berasal dari Konvensi-konvensi Jenewa).

Tindakan ilegal inilah yang akhirnya disebut suatu kejahatan perang, dimana

(18)

a) Kejahatan perang pada jiwa dan raga, seperti pmbunuhan’ perlakuan

kejam dan penganiayaan kepada tawanan perang (termasuk

eksperimen medis); perkosaan; tindakan sengaja yang menyebabkan

penderitaan berat atau luka serius pada tubuh atau kesehatan; dan

mutilasi.

b) Kejahatan perang pada harta dan benda, seperti membakar hasil

panen; perampasan barang-barang publik atau harta milik pribadi;

perusakan pada kota-kota tanpa ada alasan; penghancuran tanpa

kepentingan militer; serangan atau pembombardiran terhadap kota

yang tidak dipertahankan, pemukiman, atau bangunan-bangunan;

tindakan perusakan sengaja dilakukan terhadap lembaga-lembaga

kebudayaan tertentu.

c) Kejahatan perang pada kehormatan dan keadilan, seperti deportasi

penduduk sipil dalam wilayah yang telah diduduki; memaksa

tahanan perang atau penduduk sipil untuk masuk angkatan bersenjata

dari penguasa musuh; dengan sengaja menghilangkan hak tawanan

perang atau warga sipil yang dilindungi untuk mendapat pengadilan

reguler yang adil; dan eksekusi tanpa pengadilan.

d) Kejahatan perang pada aturan dalam peperangan, seperti berlaku

curang dalam penggunaan lambang Palang Merah Internasional;

penggunaan senjata beracun atau senjata lain yang terhitung

menyebabkan penderitaan yang tidak seharusnya.

Selain 4 bentuk-bentuk kejahatan perang diatas, terdapat 2 macam kejahatan

(19)

A. Grave Breaches of the Geneva Conventions of 1949

Seperti yang dijabarkan sebelumnya, kejahatan perang yang merupakan grave

breaches of the Geneva Convention of 1949 mempunyai bermacam-macam

bentuk antara lain:

a. Wilful killing

Kejahatan wilful killing terjadi ketika sang korban mati sebagai hasil dari

tindakan yang dilakukan oleh pelaku, dimana tindakan tersebut dimaksudkan

untuk membunuh, atau mencederai secara serius yang dapat secara aman

diasumsikan bahwa ia paham bahwa tindakan mencederai tersebut dapat

berakibat kematian, dan tindakan yang ia lakukan ini dilakukan terhadap

orang yang dilindungi dalam Konvensi Jenewa 1949.70

b. Torture or Inhuman treatment, including biological experiments

Istilah ‘wilful killing’

berasal dari keempat Konvensi Jenewa, yaitu: Pasal 50 Konvensi Jenewa I,

Pasal 51 Konvensi Jenewa II, Pasal 130 Konvensi Jenewa III, dan Pasal 147

Konvensi Jenewa IV.

International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia dan

International Criminal Tribunal for Rwanda telah mengadopsi definisi dari

kejahatan torture yang sejalan dengan Convention Against Torture (CAT)

yang memiliki unsur-unsur sebagai berikut: menyebabkan penderitaan atau

sakit yang parah, dalam bentuk fisik ataupun mental, melalui suatu tindakan

atau omisi; tindakan atau omisi tersebut memang dimaksudkan (intentional);

tindakan atau omisi tersebut harus terjadi dengan maksud untuk mendapatkan

informasi atau pengakuan, atau untuk menghukum, mengintimidasi atau

70

(20)

memaksa korban atau pihak ketiga, atau untuk mendiskriminasi atas dasar

apapun, terhadap korban atau pihak ketiga.71

c. Wilfully causing great suffering or serious injury to body or health

Wilfully causing great suffering or serious injury to body or health terjadi

ketika sebuah tindakan atau omisi yang dimaksudkan (intentional) yang

diarahkan kepada orang yang dilindungi di bawah Konvensi Jenewa 1949.

Tindakan ini menyebabkan penderitaan atau cedera mental atau fisik serius,

dengan tingkatan penderitaan atau cedera yang dibutuhkan untuk memenuhi

unsur dapat dibuktikan.72

d. Extensive destruction and appropriation of property, not justified by

military necessity and carried out unlawfully and wantonly

Kejahatan ini terjadi ketika unsur-unsur umum dari Grave Breaches of

Geneva Convention 1949 telah terpenuhi, yaitu unsur konflik

bersenjatainternasional dan nexus. Unsur-unsur berikutnya yang harus

dipenuhi adalahkerusakan berlebihan pada benda, dan kerusakan berlebihan

ini terjadi pada bendayang memiliki perlindungan di bawah Konvensi Jenewa

1949 atau kerusakanberlebihan yang terjadi tidak benar-benar dibutuhkan dan

harus dilakukan dalamoperasi militer terkait dengan benda yang terletak di

wilayah yang dikuasai. Sangpelaku bertindak dengan maksud (intent)

menghancurkan benda ini atau dengantidak hati-hati (reckless) tidak

menghiraukan kemungkinan kehancuran bendatersebut.73

e. Compelling a prisoner of war or a civilian to serve in the forces of a

hostile power

71

ICTY, Trial Chamber, Prosecutor v. Brdjanin, 1 September 2004, par.481

72

ICTY, Trial Chamber, Prosecutor v. Kordic and Cerkez , 26 Februari 2001, par.245

73

(21)

Kejahatan ini terjadi ketika pelaku melakukan pemkasaan terhadap satu

orang atau lebih, melalui tindakan atau ancaman, untuk bergabung dalam

operasi militer terhadap warga negara atau pasukan negaranya sendiri, atau

dipaksa melayani dalam pasukan musuh.74

f. Wilfully depriving a prisoner of war or a civilian of the rights of fair and

regular trial

Kejahatan ini terjadi ketika pelaku merampas hak untuk diadili secara fair dan

wajar (fair and regular trial) dari satu orang, yang dilindungi di bawah

Konvensi Jenewa 1949, atau lebih, dengan menolak jaminan yudisial seperti

yang dinyatakan dalam Konvensi Jenewa III dan IV tahun 1949.75

g. Unlawful deportation or transfer or unlawful confinement of a civilian

Unlawful deportation atau forcible transfer adalah pemindahan individu

dengan tekanan atau paksaan dari tempat tinggal mereka ke tempat yang

bukan pilihan mereka. Unsur-unsur yang harus dipenuhi adalah unsur umum

dari GraveBreaches of Geneva Conventions 1949, adanya tindakan atau

omisi, yang dilakukan bukan dengan alasan keamanan dari populasi dan

bukan atas dasar kepentingan militer yang memaksa, yang membuat

perpindahan seseorang dari wilayah yang dikuasai atau dalam wilayah yang

dikuasai. Tindakan ini dilakukan dengan maksud (intent) pelaku untuk

memindahkan seseorang dari satu wilayah. Intent ini menggambarkan

keinginan dari pelaku untuk orang yang sudah berpindah tidak kembali.76

h. Taking civilians as hostages

74

Elements of Crimes dari Statuta Roma International Criminal Court, Psl.8(2)(a)(v)

75

Elements of Crimes dari Statuta Roma International Criminal Court, Psl.8(2)(a)(vi)

76

(22)

Unsur penting dalam taking civilians as hostages adalah penggunaan

ancaman terhadap tahanan yang ditujukan untuk mendapatkan kepatuhan atau

mendapatkan keuntungan. Situasi penawanan terjadi ketika seseorang

menguasai atau menahan dan mengancam untuk membunuh, mencederai,

atau meneruskan penahanan dengan maksud memaksa pihak ketiga untuk

melakukan atau untuk tidak melakukan sesuatu sebagai kondisi pelepasan.

Kejahatan ini dilarang dalam Pasal 3 Bersama Konvensi Jenewa 1949, Pasal

34 dan 147 dari Konvensi Jenewa IV, dan Pasal 75(2)(c) Protokol Tambahan

I.77

B. Violations of the Laws or Customs of War

Berikut ini adalah macam-macam bentuk violations of the laws or customs of

war dalam hukum humaniter internasional, antara lain:

a. Employment of poisonous weapons or other weapons calculated to cause

unnecessary suffering

Kejahatan penggunaan senjata semacam ini merupakan tindakan

penggunaan senjata yang menyebabkan penderitaan yang tidak perlu.

Unsur-unsur ini dapat dilihat dari Pasal 8(2)(b)(xviii-xix) Elements of Crimes dari

Statuta Roma yang memerlukan pelaku untuk menggunakan senjata yang

dilarang dan senjata yang dilarang itu menyebabkan penderitaan yang tidak

perlu, dan sang pelaku menyadari akan kemungkinan senjata tersebut akan

menyebabkan penderitaan yang tidak perlu. Pelaku mengetahui tindakan ini

dilakukan dalam konteks konflik bersenjata dan terdapat nexus antara

tindakan dan konflik bersenjata.78

77

ICTY, Appeal Chamber, Prosecutor v. Blaskic, 29 Juli 2004, par.639

78

(23)

b. Wanton destruction of cities, towns or villages, or devastation not justified

by military necessity

Kejahatan ini terjadi ketika kehancuran benda terjadi dalam skala besar,

kehancuran tersebut tidak dapat dijustifikasi dengan kepentingan militer

(military necessity), dan pelaku melakukan tindakan tersebut dengan

keinginan (intent) untuk menghancurkan benda, atau secara ceroboh

(reckless) tidak menghiraukankemungkinan kehancuran dari benda tersebut.

Apabila benda tersebut terletakdalam wilayah musuh, maka benda tersebut

tidak dilindungi dalam Konvensi Jenewa 1949 dan oleh sebab itu benda

tersebut hanya dilindungi oleh Pasal 3Bersama Konvensi Jenewa 1949.79

c. Attack, or bombardment, by whatever means, of undefended towns,

villages, dwellings, or buildings

Pada dasarnya kejahatan ini merupakan violation of the laws or customs

of war. Oleh karena ia adalah violation of the laws or customs of war maka

seranganyang dilakukan harus merupakan suatu sarana atau cara berperang

yangmenyebabkan kematian dan/atau cedera badan yang serius dalam

populasipenduduk sipil atau memberikan kerusakan pada harta benda

penduduk sipil.80

d. Seizure of, destruction or wilful damage done to institutions dedicated to

religion, charity and education, the arts and sciences, historic

monuments and works of art and science

79

ICTY, Appeal Chamber, Prosecutor v. Kordic and Cerkez, 17 Desember 17 2004, par.74

80

(24)

Pelarangan terhadap tindakan ini berasal dari Konvensi Hague IV

1907.104 Kejahatan ini merupakan merupakan pelanggaran terhadap

nilai-nilai terutama nilai-nilai-nilai-nilai yang dilindungi oleh masyarakat internasional.

e. Plunder of public or private property

Tindakan ini adalah semua bentuk apropriasi properti yang tidak sah

dalam konflik bersenjata yang terkait dengan tanggung jawab pidana

individu, termasuk juga apa yang disebut dengan pillage. Berdasarkan pada

Konvensi Jenewa, publicproperty dan private property tidak dibedakan.81

81

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian, observasi dikelompokkan sebagai penelitian ilmiah apabila observasi tersebut secara khusus dirancang untuk menjawab sebuah

Setiap persoalan yang bergerak dibidang perdagangan seringkali mengalami keputusan dalam masalah pendistribusian barang khususnya masalah transportasi, karena perusahaan

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Pada Program Studi S1 Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Andalas.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ukuran dewan komisaris memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pengungkapan Islamic Social Reporting sesuai dengan penelitian yang

Gunakan tabel kebenaran untuk menentukan apakah inferensi berikut ini valid atau invalid :.. Gambarlah diagram posetnya dalam urut “x membagi

This study was conducted to analyze the Check Dam Project Construction Management Cipager River Kuningan start of calculating volume, implementation works,

Saat ini aturan BAPEPAM mengenai komposisi komisaris independen diperusahaan hanya disyaratkan 30 % dari seluruh dewan komisaris perusahaan, sementara keputusan yang

Dimana keduanya termasuk manajemen puncak yang bertugas melakukan pengawasan terhadap kegiatan perbankan syariah.Selain itu Dewan Pengawas Syariah merupakan elemen CG yang