• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENILAIAN MATEMATIKA DIDAKTIK SUMARYANTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENILAIAN MATEMATIKA DIDAKTIK SUMARYANTA"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Page | 1 PENILAIAN DIDAKTIF DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA

Oleh: Sumaryanta, Staf PPPPTK Matematika

Abstrak

Kurikulum 2013 menghadirkan paradigma baru dalam sistem penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Pendidikan tidak hanya diorientasikan untuk mengembangkan pengetahuan semata, tetapi menyeimbangkan penguasaan pengetahuan dengan sikap dan keterampilan peserta didik. Kurikulum 2013 juga menuntut pengembangan secara seimbang soft skill dan hard skill peserta didik. Hal ini menuntut adanya sistem penilaian alternatif yang menjanjikan pemerolehan informasi lebih holistik tentang proses dan hasil belajar matematika siswa. Sistem penilaian tradisional, yaitu penilaian yang hanya berorientasi pada hasil, kecakapan matematis terbatas dan dangkal, melalui pengukuran berdasarkan prinsip psikometri yang mengarah domain tunggal, dianggap tidak lagi relevan. Penilaian seharusnya dikembangkan berbasis pada the didactics of mathematics sehingga mampu memberikan gambaran kemampuan matematis siswa lebih luas dan mendalam.

Kata kunci: penilaian, matematika, didaktik

(2)

Page | 2 !

Perubahan paradigma pembelajaran dalam Kurikulum 2013 menuntut

adaptasi dalam penilaian. Setiap upaya melakukan pembaharuan sistem

pendidikan harus disertai dengan pembaharuan sistem penilaian (Djemari

Mardaphi, 2008: 5). Sistem penilaian merupakan bagian integral yang tidak dapat

dipisahkan dari sistem pendidikan matematika sehingga setiap usaha memperbaiki

sistem pendidikan matematika tanpa disertai perbaikan sistem penilaian tidak

akan dapat memberikan hasil yang optimal, bahkan mungkin akan sia-sia. Setiap

metode pendidikan matematika membutuhkan sistem penilaian yang berbeda

(Van den Heuvel-Panhuizen, 1996: 99).

Pembaharuan sistem penilaian pendidikan matematika di Indonesia saat ini

mendesak dilakukan. Hal ini selaras dengan tuntutan perubahan tentang

pendidikan matematika itu sendiri, baik menyangkut tujuan, isi, maupun proses.

Reorientasi penilaian, serta perbaikan prosedur dan instrumen yang digunakan,

harus diarahkan pada pewujudan pendidikan matematika yang lebih bermakna,

yang mendukung pengembangan pribadi siswa secara utuh. Hal ini mengingat

semakin tinggi pula tuntutan terhadap pendidikan matematika dalam mendukung

pengembangan sumber daya manusia Indonesia yang unggul serta tuntutan

kebutuhan penggunaan matematika dalam tataran praktis.

B. Refleksi kritis terhadap psikometri

Gerakan ke arah pengembangan sistem penilaian baru pendidikan

matematika telah dimulai dalam beberapa dekade lalu. Sejak 20 tahun yang lalu

Romberg, Zarinnia dan Collis (1990, dalam Van den Heuvel-Panhuizen, 2001:

(3)

Page | 3 Paradigma baru penilaian pendidikan matematika ini tidak lepas dari refleksi kritis

terhadap psikometri yang mendominasi praktek penilaian pendidikan abad 20.

Paradigma kuantitatif, walaupun memuat keunggulan, dirasakan tidak lagi

memadai untuk memenuhi kebutuhan penilaian pendidikan matematika saat ini.

Van den Heuvel-Panhuizen (2001: 174-175) menegaskan bahwa di masa

yang akan datang tidak mungkin melakukan reformasi pendidikan matematika

jika hanya mengandalkan desain penilaian berbasis psikometri. Menurut asumsi

psikometri, masalah matematika selalu hanya memiliki sebuah jawaban benar dan

masalah matematika seharusnya diselesaikan, atau selalu diselesaikan, dengan

jalan yang tetap. Kedua asumsi tersebut sangat beresiko bagi kepentingan

penilaian yang berorientasi pemahaman mendalam siswa. Masalah matematika

seharusnya tidak dibatasi solusi tunggal, karena masalah matematika yang

memiliki ketidaktunggalan pemecahan justru lebih tepat untuk mengetahui lebih

jauh pemahaman matematika siswa.

Kritik lain terhadap praktek penilaian pendidikan berbasis psikometri salah

satunya dialamatkan pada penggunaan standardized tests. Standardized tests

disinyalir mengandung banyak kelemahan, bahkan dianggap membahayakan

pendidikan matematika, sekolah, guru, siswa, bahkan masyarakat. Dinamika

refleksi kritis tersebut diungkapkan kembali Van den Heuvel-Panhuizen (2001:

170), yaitu bahwa bahaya yang bisa ditimbulkan dari tes tersebut: “damaging

education” (National Center for Fair and Open Testing, 2001), “ruining schools”

(Kohn, 2000), menjadi “the most serious threat to good teaching” (Kohn, 2001),

“focusing on low skills and costing valuable instruction time” (Casas and

Meaghan, 2001), having a “negative influence on equity” (Froese-Germain,

2001), “an adverse effect on job satisfaction” (Rotberg, 2001), dan “measuring

what students have learned in school [...] is not the measuring function of

traditional achievement tests” (Popham, 2001) .

Kesadaran terhadap kelemahan sistem penilaian berbasis psikometri di

atas membawa pemikiran baru bahwa pendidikan matematika membutuhkan

sistem penilaian alternatif yang lebih menjanjikan pemerolehan informasi holistik

(4)

Page | 4 den Heuvel-Panhuizen. 2003: 699). Penilaian seharusnya tidak terjebak dalam

filosofi psikometri, tetapi perlu dikembangkan model dan alat penilaian berbasis

pada “the didactics of mathematics”. Penilaian didaktik diharapkan dapat

menghadirkan suatu penilaian pendidikan matematika yang mampu mengungkap

“kaya informasi” dari seluruh domain belajar matematika siswa.

C. Penilaian Didaktik

Penilaian didaktik awalnya dikembangkan di Belanda sebagai respon

kebutuhan penilaian terhadap berkembangnya Pendidikan Matematika Realistik

(Realistic Mathematics Education/RME). Tokoh pengembangan penilaian

didaktik ini adalah Van den Heuvel-Panhuizen yang gagasannya diungkapkan

dalam buku berjudul “Assessment and Realistic Mathematics Education”.

Penilaian didaktik (didactical assesment) merupakan penilaian yang bertujuan

untuk mendukung proses pembelajaran dimana tujuan, isi, prosedur, dan alat

penilaian bersifat didaktis (Van den Heuvel-Panhuizen, 1996: 85-87).

1. Tujuan bersifat didaktis

Tujuan bersifat didaktis, yaitu berusaha mengumpulkan data yang menyakinkan

tentang siswa dan proses pembelajarannya guna membuat keputusan-keputusan

pembelajaran. Keputusan tersebut dapat meliputi keputusan tentang keberhasilan

atau kegagalan, pengenalan hal baru, pendampingan ekstra siswa, atau pemilihan

desain pembelajaran. Keputusan-keputusan yang didasarkan dari berbagai

informasi tersebut diharapkan dapat meningkatkan kualitas pembelajaran. Hal

tersebut selaras dengan pernyataan De Lange (1987a, p. 179), yaitu “The first and

main purpose of testing is to improve learning”

2. Isi bersifat didaktis

Isi bersifat didaktis, yaitu isi penilaian tidak hanya khusus (terbatas) pada

ketrampilan yang mudah dinilai, tetapi beberapa tujuan pembelajaran yang lebih

mendalam. Penilaian harus mampu memberikan pengetahuan mendalam tentang

aktivitas matematis siswa. Penilaian didaktik pada dasarnya memprioritaskan

(5)

Page | 5 hubungan antara proses dan hasil diformulasikan oleh De Lange (1987a, p. 180):

“The third principle is that the task should operationalize the goals as much as

possible. [...] This also means that we are not interested in the first place in the

product (the solution) but in the process that leads to this product”.

3. Prosedur bersifat didaktis

Prosedur bersifat didaktis, yaitu prosedur yang diterapkan merupakan integrasi

pengajaran dan penilaian serta merupakan bagian proses pembelajaran. Integrasi

proses pembelajaran dan penilaian juga berarti bahwa penilaian akan memainkan

peran selama proses pembelajaran. Implikasinya, penilaian akan melihat

belakang-depan. Melihat ke belakang berarti melihat apakah siswa telah belajar,

dalam konteks hasil belajar. Melihat ke depan berarti memusatkan perhatian untuk

menemukan pijakan bagi pembelajaran selanjutnya. Metode penilaian harus

sesuai dengan praktek pendidikan dan harus bisa diterapkan. Prinsip ini selaras

dengan prinsip De Lange (1987a, p. 183): “Our fifth and last principle is that,

when developing alternative ways of evaluating students, we should restrict

ourselves to tests that can readily be carried out in school practice”.

4. Alat bersifat didaktis

Alat bersifat didaktis, yaitu harus dapat menggambarkan siswa secara lengkap dan

utuh, sehingga alat yang digunakan bervariasi sesuai informasi yang diperlukan.

Ini membutuhkan metode penilaian terbuka yang memberi kesempatan siswa

menunjukkan kemampuan. Penekanan penilaian pada “apa yang sudah diketahui

siswa” tidak berarti bahwa “apa yang tidak diketahui siswa” tidak dianggap

penting. Penekanan pada apa yang mampu dilakukan siswa juga dinyatakan dalam

prinsip yang diformulasikan De Lange (1987a, p. 180): “Methods of assessment

[...] should be such that they enable candidates to demonstrate what they know

rather than what they do not know”. Permasalahan utama di sini bukan

membedakan “mengetahui” atau “tidak mengetahui”, “mampu” atau “tidak

mampu”, tetapi membedakan tingkat pengetahuan dan pemahaman siswa. Hal ini

juga dinyatakan dalam prinsip De Lange (1987a, p. 180): “....the quality of a test

(6)

Page | 6 D. Penilaian didaktik: alternatif penilaian pendidikan matematika di Indonesia

Pengembangan sistem penilaian pendidikan matematika di Indonesia perlu

mencermati ulang sistem penilaian yang saat ini dan sebelumnya diterapkan.

Penilaian tradisional, penilaian yang hanya berorientasi pada hasil, klasifikasi,

seleksi, sertifikasi dan penempatan siswa, melalui pengukuran berbasis tes yang

mengukur domain tunggal, dianggap tidak lagi relevan dengan kebutuhan

mengembangan pendidikan matematika yang bermakna, pendidikan matematika

yang berorientasi lebih luas dalam mendukung pengembangan pribadi siswa.

Tujuan, isi, prosedur, dan alat penilaian pendidikan matematika perlu

dikembangkan untuk mendukung pendidikan matematika yang beroirentasi pada

hasil belajar matematika yang lebih luas dan mendalam.

Tidak dapat dipungkiri sampai saat ini penilaian pendidikan matematika

lebih banyak mengandalkan tes. Tes yang selama ini digunakan belum banyak

mengarah pada penggalian informasi kompetensi matematis yang komplek dan

cenderung mengukur domain sempit dan dangkal. Pada penilaian selama ini: 1)

masalah matematika sering hanya memiliki satu jawaban benar, 2) pada masalah

matematika yang baik seluruh data yang diperlukan harus disediakan, 3) masalah

matematika yang baik seharusnya memiliki independensi lokal, 4) pengetahuan

matematika yang belum diajarkan tidak dapat dinilai, 5) masalah matematika

seharusnya diselesaikan, atau selalu diselesaikan, dengan cara tetap, dan 6)

jawaban masalah matematika hanya menunjukkan indikator tingkat prestasi siswa.

Penilaian seperti itu belum mengarah pada penggalian informasi kompetensi

matematis yang holistik dan hal ini merisaukan beberapa pemikir pendidikan

matematika, termasuk Van den Heuvel-Panhuizen (2001: 175).

Beberapa tahun terakhir sempat berkembang model penilaian baru

pendidikan matematika di Indonesia, yaitu menggali informasi aspek afektif selain

mengukur aspek konitif. Sistem penilaian ini muncul seiring dikembangkannya

kurikulum baru di Indonesia, mulai Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK, tahun

2002-2004), Kurikulum 2004 (tahun 2004-2006), dan Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan (KTSP, tahun 2006-sekarang). Namun dalam prakteknya, penilaian

(7)

Page | 7 sulit, menambah beban penilaian, dan lain-lain, berimplikasi pada kurang

optimalnya dampak penilaian yang ditimbulkan. Selain itu, pada Penilaian

Berbasis Kelas (PBK) yang diluncurkan menyertai KTSP, aspek penilaian

pendidikan matematika dikelompokkan menjadi 3 aspek yaitu: (a) pemahaman

konsep, (b) penalaran dan komunikasi, serta (c) pemecahan masalah. Saat ini

kecenderungan yang muncul adalah kembali kepada model penilaian sebelumnya,

yaitu menggunakan sistem angka tunggal sebagai representasi gambaran hasil

belajar matematika siswa.

Mencermati dinamika perubahan sistem penilaian di atas tentu

menimbulkan keprihatinan sekaligus kekhawatiran terhadap dampaknya pada

pendidikan matematika di Indonesia. Perubahan terlalu dinamis, dalam waktu

yang relatif sangat singkat, menunjukkan bahwa penilaian pendidikan matematika

di Indonesia belum memiliki konsep yang jelas dan matang sehingga tidak bisa

diterapkan secara mantap. Oleh karena itu dapat dimengerti bahwa sampai saat ini

kualitas pendidikan matematika di Indonesia terus saja terpuruk, tidak saja terlihat

dari rendahnya nilai belajar matematika siswa, tetapi fakta yang menunjukkan

bahwa banyak siswa yang memiliki nilai matematika tinggi pun senyatanya tidak

memiliki kecakapan matematis yang memadai. Hal ini tentu sangat ironis

mengingat dua kemungkinan: 1) anak-anak Indonesia memang tidak memiliki

kompetensi matematika, atau 2) sistem penilaiannya yang salah. Kemungkinan

pertama dapat dipahami dari rendahnya prestasi belajar matematika serta

kecakapan matematis anak-anak Indonesia. Sedangkan kemungkinan kedua yang

lebih mengkhawatirkan, bagaimana bisa siswa yang dianggap berprestasi dalam

matematika tidak memiliki kecakapan matematis yang memadai. Hal ini

menunjukkan ada yang tidak beres dalam pendidikan matematika, termasuk

mungkin dalam penilaian yang diterapkan.

Penilaian didaktik merupakan salah satu alternatif penilaian yang

diharapkan dapat memberi solusi atas berbagai permasalahan di atas. Penilaian

didaktif memberikan kemungkinan lebih luas bagi upaya perbaikan penilaian,

baik dari sisi tujuan, isi, proses, maupun alat penilaian yang digunakan. Tujuan,

(8)

Page | 8 harapan bahwa penilaian yang dilaksanakan dapat mendorong peningkatan

kualitas pembelajaran matematika, sehingga siswa dapat belajar matematika

dengan semakin baik, memperoleh ruang lebih longgar untuk mengembangkan

kecakapan-kecakapan matematis yang holistik, bermakna, dan tidak dangkal.

Sesuai dengan prinsip penilaian didaktik, tujuan penilaian pendidikan

matematika di Indonesia seharusnya dimaksudnya untuk mengumpulkan data

yang menyakinkan tentang siswa dan proses pembelajarannya guna membuat

keputusan-keputusan pembelajaran. Hal ini selaras dengan yang diungkapkan

Vera Gouveia & Jorge Valadares (2004: 1) yang menyatakan bahwa

pengembangan penilaian harus didasarkan asumsi bahwa penilaian memegang

peranan penting dalam mengorganisasi dan mengatur proses pembelajaran,

penguatan kontrol siswa terhadap belajarnya, dan memfasilitasi pembelajaran

yang bermakna. Dengan demikian penilaian pendidikan matematika di Indonesia

harus didisain tidak semata-mata sebagai wahana untuk menghakimi keberhasilan

atau kegagalan pembelajaran, melainkan harus menjadi instrumen yang

mendukung terselenggaranya pembelajaran dengan sebaik-baiknya.

Dilihat dari sisi isi, penilaian pendidikan matematika tidak seharusnya

hanya terbatas pada ketrampilan-ketrampilan yang mudah dinilai, tetapi juga

harus meliputi berbagai aspek matematis yang bermakna bagi siswa. Penilaian

perlu difokuskan untuk melihat proses belajar, tidak sekedar mengukur outcomes.

Hal ini penting ditekankan mengingat dalam beberapa waktu terakhir kesadaran

dan dorongan tentang pentingnya penilaian proses sudah mulai berhembus, akan

tetapi dalam prakteknya tetap saja belum bisa keluar dari orientasi sekedar

penilaian hasil. Penggunaan tes sebagai salah satu, bahkan mungkin satu-satunya

teknik penilaian, merupakan sebagian penyebab disorientasi penilaian tersebut.

Lebih buruknya, masalah pada tes kurang bermakna, kurang informatif, kurang

menyasar kemampuan berpikir tingkat tinggi, tunggal kebenaran, tidak

menampakkan sisi proses, dan tidak memiliki kejelasan konteks. Hal ini tentu

kontradiktif dengan kebutuhan penilaian yang diharapkan mampu memfasilitasi

(9)

Page | 9 pemilihan dan penggunaan masalah-masalah matematika yang memiliki nilai

dikdaktis tinggi, sehingga isi penilaian akan mendorong siswa belajar lebih baik.

Prosedur penilaian pendidikan matematika di Indonesia juga perlu

dipayakan lebih bersifat didaktis, penilaian terintegrasi dengan pengajaran dan

merupakan fase dalam proses belajar mengajar. Selama ini walaupun telah

dianjurkan penggunaan berbagai teknik penilaian, namun pada akhirnya pilihan

yang paling mudah dan banyak digunakan dalam penilaian adalah tes. Tentu saja

tes tidak bisa diterapkan setiap saat dalam pembelajaran, sehingga integrasi

penilaian dalam proses pembelajaran relatif sulit dilaksanakan. Oleh karena itu,

penilaian pendidikan matematika juga membutuhkan teknik penilaian selain tes.

Observasi selama pembelajaran, mengajukan pertanyaan, serta wawancara

merupakan sebagian teknik penilaian yang diperlukan dalam penilaian pendidikan

matematika. Beberapa teknik penilaian tersebut dapat mendorong terlaksananya

penilaian yang terintegrasi dalam proses pembelajaran. Observasi, bertanya, dan

wawancara dapat dilakukan selama pembelajaran berlangsung, sehingga siswa

dapat merasakan hadirnya proses penilaian selama proses pembelajaran.

Alat penilaian pendidikan matematika di Indonesia juga perlu diupayakan

lebih bersifat didaktis sehingga dapat memberi gambaran siswa secara holistik.

Jika tes digunakan, maka masalah yang terkadung dalam tes tersebut harus

bermakna, informatif, menyasar kemampuan berpikir tingkat tinggi, tidak terjebak

pada ketunggalan kebenaran, menampakkan sisi proses, memberi kesempatan

peserta didik untuk menunjukkan kemampuan yang sesungguhnya, serta harus

memiliki kejelasan konteks. Selain tes, alat penilaian juga perlu memanfaatkan

instrumen-intrumen lain yang sesuai dengan kebutuhan penilaian, misal lembar

observasi, catatan anekdot, kamera, atau yang lain. Bahkan guru dapat mengambil

peran sebagai instrumen (human instrument). Guru adalah orang yang setiap saat

berada bersama-sama siswa selama pembelajaran di kelas. Guru memiliki

kesempatan mengidentifikasi dan mengerti dinamika belajar matematika siswa,

dan berdasarkan informasi tersebut guru dapat mengambil kesimpulan tertentu

mengenai proses dan hasil belajar matematika siswa. Guru juga tidak harus selalu

(10)

Page | 10 langsung terhadap dinamika belajar siswa sekaligus selama proses pembelajaran

berlangsung. Mekanisme respon langsung guru ini akan semakin mendorong

integrasi penilaian dengan proses pembelajaran. Siswa juga berkesempatan

memperoleh umpan balik secara langsung tentang belajarnya, tidak harus

menunggu vonis akhir pelajaran atau ketika kenaikan kelas.

E. Penutup

Mencermati paparan di atas dapat diketahui bahwa penilaian didaktik

menjanjikan beberapa keunggulan yang diharapkan memperbaiki sistem penilaian

pendidikan matematika di Indonesia. Menerapkan penilaian didaktik dalam

praktek pendidikan matematika di Indonesia bukanlah kejadian pertama di dunia

karena penilaian didaktik saat ini memang telah menjadi trend umum di berbagai

negara. Amerika, Australia, dan Inggris, merupakan sebagian negara yang telah

menerapkan prinsip-prinsip penilaian didaktik. Hal ini menunjukkan bahwa

penilaian didaktik memiliki keunggulan yang bisa dipertimbangkan untuk

diimplementasikan di Indonesia. Penilaian didaktik merupakan alternatif menarik

dalam rangka pembaharuan sistem penilaian pendidikan matematika di Indonesia.

Penilaian didaktik diharapkan menjadi penyokong upaya semakin meningkatkan

kualitas pendidikan matematika di Indonesia, sehingga pendidikan matematika

yang bermakna dan berdaya-guna dapat terwujud di bumi Indonesia.

Referensi

Djemari Mardhapi. 2008. Teknik penyusunan instrumen tes dan nontes. Jogyakarta: Mitra Cendikia Offset

Jerry Becker & Van den Heuvel-Panhuizen. 2003. Towards a Didactic Model for Assessment Design in Mathematics Education. Second International Handbook of Mathematics Education, 689–716 A.J. Bishop, M.A. Clements, C. Keitel, J. Kilpatrick and F.K.S. L eung (eds.) Dordrecht: Kluwer Academic Publishers. Printed in Great Britain.

Permendikbud Nomor 54 Tahun 2013 tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah

(11)

Page | 11 Permendikbud Nomor 66 Tahun 2013 tentang Standar Penilaian Pendidikan

Permendikbud Nomor 67 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar Dan Struktur Kurikulum Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah

Permendikbud Nomor 68 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar Dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah

Permendikbud Nomor 69 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar Dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah

Permendikbud Nomor 70 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar Dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan

Van den Heuvel-Panhuizen. 1996. Assessment and realistic mathematics education. Utrecht: Technipress, Culemborg

---. 2001. Towards a didactic-based model for assessment design in mathematics education. Proceedings of 2001 The Netherlands and Taiwan Conference on Mathematics Education, Taipei, Taiwan, 19 – 23 November 2001.

Referensi

Dokumen terkait

Dapat disimpulkan bahwa H 02 ditolak dan H a2 diterima bahwa variabel independen alignment (X2) secara parsial memiliki pengaruh signifikan terhadap variabel dependen biaya

Batasan masalah yang akan di bahas pada penelitian ini adalah menjelaskan bagaimana pengaruh luas lahan, jumlah produksi, tingkat pendidikan, dan kebijakan pemerintah terhadap

Meskipun dasar daripada demokrasi Indonesia adalah demokrasi politik dan ekonomi, namun Hatta secara lebih rinci membahas mengenai konsep demokrasinya itu dalam

Dengan mengucap syukur Alhamdulilah, puji-syukur kehadiran Allah SWT atas segala berkat dan tuntunan-Nya, seingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “PENGARUH

Dilihat dari hasil observasi aktivitas siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol diketahui bahwa, rata-rata aktivitas siswa pada kelas eksperimen yang menggunakan

Pada tampilan ini terdapat 5 button yang berfungsi sebagai button satu pengertian sistem pakar, button dua macam-macam penyakit, button tiga diagnosa, button

1) Hubungan dengan teman sebaya ( peer lation ), ditunjukkan melalui perilaku yang positif terhadap teman sebaya seperti memuji atau menasehati orang lain, menawarkan

a) Tersedianya data dan Informasi statistik harga perdagangan besar yang lengkap, akurat dan tepat waktu. b) Tercapainya pemasukan data ( response rate) dari kegiatan