• Tidak ada hasil yang ditemukan

Reformulasi Pendidikan Sains pada Pergur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Reformulasi Pendidikan Sains pada Pergur"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Fondasi, pendekatan dan Model penyelenggaraan Jurusan tarbiyah

©baSan-Publishing, 2011

340 halaman : 17.6 x 25 cm ISBN : 978-602-9748-43-7 Cetakan I : Januari 2011

Editor : Muslihuddin dan Al Musanna Kompilator : Nur Dewi Afifah, M.Pd, Fathullah, Hisbullah Huda, Nur Ainiyah, Ade Zaenal Muttaqin, Ujang Nurjaman, Ahsan Hasbullah, Herri Azhari, Muslihudin, Muhammad Nasir, Ahmad Zaki Mubarak, Hikmat S., Muhson, Al Musanna, Edy Chandra

Penyelaras Akhir : Beni Subhan Perwajahan Isi : Miftakhul Ikhsan Cover Depan : Ikun Yusuf

Penerbit

Penerbit baSan Publishing Jl. Kaliurang Km. 12.5 Ngaglik Sleman Yogyakarta

Telp. /Faxs: (0274) 6669600 e-mail; basanpublishing@gmail.com

(3)

iii

Kata Pengantar

Prof. Dr. H. Ishak abdulhak, MPd.

(Ketua Program Studi Pengembangan Kurikulum

Universitas Pendidikan Indonesia)

P

endidikan profesi guru menjadi hal yang strategis dikaitkan dengan semangat peningkatan bidang pendidikan di Indonesia. Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003 menggarisbawahi tugas strategis seorang guru. Dalam bab XI tentang Pendidik dan Tenaga Kependidikan pasal 39 ayat 2 disebutkan bahwa ”pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi”.

(4)

2005 pada Bab I tentang Ketentuan Umum ayat 1 dideinisikan sebagai ”... pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”

Jauh sebelum lahirnya UU No. 14 tahun 2005, dalam rangka memenuhi tuntutan profesional seperti yang dituntut undang-undang di atas, ISPI (Jurnal Pendidikan Penabur - No.03 / h.III / Desember 2004) pernah membahas dan menentukan perlunya hal-hal berikut : a) standar profesionalitas tenaga pendidik dan tenaga kependidikan lainnya, b) hierarki profesional kependidikan, c) persyaratan pendidikan pra-jabatan profesional tenaga pendidik berderajat profesional, d) standar pendidikan profesional tenaga kependidikan, e) sertiikasi profesional tenaga kependidikan. Dengan demikian kebijakan profesionalisme guru merupakan respon yang telah lama di baca oleh pemerintah berdasarkan desakan atas pentingnya peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia agar dapat lebih bersaing (competitive) dan bersanding (comparative).

Dalam kajian-kajian mutakhir, pendidikan guru mulai digiring ke arah apa yang di sebut oleh Cranton, dkk (2004) sebagai authentic ield based paedagogy. Dalam hal ini Cranton mendeinisikan authentic sebagai “the cluster of values related to self-awareness and bringing that self into teaching, understanding of learners and out relationship with them, a positioning of ourselves within a context and taking stance on issues and norms in the workplace and in our social world, and inally, engaging in critical relection on each of these components” (sekumpulan nilai berkaitan dengan kesadaran diri yang terbawa dalam proses pengajaran, pemahaman siswa serta hubungan dengan mereka, memposisikan diri kita dalam sebuah kontek dan bersatu terhadap isu-isu dan norma-norma di dalam tempat kerja dan lingkungan sosial kita, akhirnya terlibat dalam releksi kritis atas masing-masing komponen). Menjadi otentik adalah adalah kesadaran terhadap self, other, relationship dan context melalui critical relection

(Cranton, dkk. 2004).

(5)

v

Kata Pengantar Prof. Dr. H. Ishak Abdulhak, MPd

didalam pengalaman mereka (learning is situated within their experience), c) belajar itu sendiri dikonseptualisasikan sebagai pembentukan pengetahuan secara timbal balik (learning itself is conceptualized as mutually constructing knowledge) (Kreber, dkk. 2007).

Sebagai tenaga profesional yang bertanggung jawab dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, pembinaan profesi guru selayaknya di tangani secara serius dan menjadi tanggungjawab seluruh stakeholder pendidikan. Tanggung jawab paling besar peningkatan profesionalisme guru terutama berada di perguruan tinggi penyelenggara pendidikan guru atau LPTK termasuk didalamnya Fakultas Tarbiyah yang dikelola oleh PTAIN/ PTAIS yang mempersiapkan calon guru profesional yang menguasai materi kependidikan dan keguruan serta materi bidang studi. Penguasaan terhadap kompetensi kependidikan dan keguruan serta kompetensi bidang studi yang diampu oleh setiap calon guru profesional menuntut penyediaan kurikulum dan pembelajaran serta sistem penilaian yang betul-betul mampu mengukur tingkat keberhasilan proses pendidikan calon guru.

Saya bergembira karena dalam sejumlah pertemuan akademik dengan Mahasiswa S3 UPI Program Studi Pengembangan Kurikulum, yang memiliki ikatan batin sangat kuat dengan pengembangan Fakultas Tarbiyah IAIN telah muncul suatu kesadaran pentingnya revitalisasi peran Fakultas Tarbiyah dalam mempersiapkan calon guru. Di sebut revitalisasi karena Fakultas Tarbiyah dalam pemahaman teman-teman ini mesti memiliki paradigma yang transformatif dalam upaya mempersiapkan calon pendidik Islam. Temen-temen dari IAIN ini mulai digerogiti semangat darlingisme (mengacu kepada Linda Darling-Hammond) terutama bukunya “Preparing Teacher For A Changing World”.

Tidak mudah untuk melakukan diseminasi gagasan-gagasan transformatif dalam pendidikan guru, namun demikian keberanian saudara Muslihudin dan kawan-kawan untuk mendiskusikannya dalam suasana keterbukaan dan keramahan akademik Universitas Pendidikan Indonesia pada Mata Kuliah Pengembangan dan Manajemen Kurikulum Pendidikan Tenaga Kependidikan yang saya asuh patut diapresiasi selayaknya. Tentu saja upaya ini hanyalah salah satu dari sekian usaha dengan pendekatan yang bersifat akademik untuk melengkapai berbagai ikhtiar lain yang sedang digarap oleh sejumlah pakar.

(6)

Tarbiyah IAIN yang dituangkan dalam pemikiran kritis serta pemahaman mutakhir. Saudara Muslihudin dan kawan-kawan mengistilahkannya dengan ‘menyiapkan guru berkarakter’. Istilah ini mencoba menggambarkan upaya untuk menampakan sesuatu yang selama ini masih tersembunyi berupa; nilai, ethos, teori atau ajaran menjadi membatin (being) dan artikulatif dalam pribadi seorang guru, atau boleh jadi di inspirasi oleh bukunya Linda Darling Hammond, “Preparing Teachers”.

Betapapun buku ini masih belum sempurna, namun upaya yang telah dirintis oleh kawan-kawan Mahasiswa Program Studi Pengembangan Kurikulum dapat menjadi inspirasi awal dan menjadi amal shalih. Amiin.

(7)

vii

Daftar ISI

Kata Pengantar

Prof. Dr. H. Ishak Abdulhak, MPd — v

Daftar ISI

— vii

Kata Pengantar

Quo Vadis Pendidikan Guru Di Indonesia? — ix

Bagian Pertama

PenDIDIKan gUrU DI InDOneSIa;

Analisis Filosois dan Historis

˜ Pendidik Dan Calon Pendidik Dalam Islam — 17

˜ Critical Review Penyelenggaraan LPtk. — 29

˜ Pendidikan Guru Sekolah Dasar — 61

˜ Pendidikan Guru SmP Dan Sma Di Indonesia; Historical Review— 77

˜ Profesionalisme keguruan — 91

Bagian Kedua

PengeMBangan KUrIKULUM PenDIDIKan gUrU; Pendekatan dan Model

˜ Pendidikan Profesi Guru — 103

˜ Pengelolaan kurikulum Ptk — 135

˜ kurikulum Pendidikan tenaga kependikan — 155

˜ Pengembangan kurikulum LPtk — 175

(8)

˜ model kurikulum Pendidikan tenaga kependikan — 225

˜ Cbte / Pbte; Pendidikan Guru berbasis kompetensi/kinerja — 243

˜ kontruksi Penyelenggaraan Calon Guru PaI — 267

˜ Reformulasi Pendidikan Sains Pada PtaI — 285

Bagian Ketiga

SertIfIKaSI gUrU

˜ Sertiikasi Guru meningkatkan kualitas kompetensi dan mutu Saku — 315

(9)

ix

Kata Pengantar

Quo Vadis Pendidikan guru Di Indonesia?

P

endidikan guru telah menarik perhatian berbagai kalangan sejak lama. Hal ini tidak terlepas dari semakin meluasnya kesadaran mengenai strategisnya pendidikan guru terkait dengan kualitas pendidikan. Guru menempati posisi menentukan dalam keberhasilan pendidikan (Gopinathan, 2006). Penelitian di berbagai negara mengenai peningkatan kualitas pendidikan, menunjukkan kontribusi guru menentukan keberhasilan pendidikan mencapai lebih dari 32% (Fatah, 2001: 32). Posisi guru menjadi semakin penting dalam konteks pendidikan di negara berkembang. Di negara maju, kontribusi peran guru terhadap prestasi peserta didik tidaklah sebesar yang terjadi di negara berkembang. Supriadi (1998; 75), merangkum hasil penelitian mengenai kualitas pendidikan selama dua dasawarsa terakhir menyimpulkan, di negara berkembang, pengaruh faktor sekolah dan kualitas guru terhadap prestasi belajar lebih besar dibandingkan dengan pengaruh faktor tersebut di negara maju. Hal ini disebabkan karena negara berkembang, pengaruh latar belakang keluarga terhadap prestasi belajar lebih kecil dibandingkan dengan pengaruh faktor tersebut di negara maju (Supriadi, 1998; 75). Di negara maju, ketersediaan fasilitas pembelajaran yang lebih lengkap dan dukungan iklim pembelajaran lebih kondusif.

(10)

ingin melihat terjadinya peningkatan kualitas pendidikan pada semua jenis dan jenjangnya, perhatian yang lebih besar untuk menambah wawasan dan keterampilan guru mutlak diperlukan. Guru dan pendidikan guru merupakan dua hal yang tidak mungkin dipisahkan. Keberadaannya ibarat dua keping mata uang, yang ketidaan salah satu sisinya, menjadikan sisi lain menjadi tidak bernilai. Mengharapkan guru yang berkualitas, dengan mengabaikan pembenahan-pembenahan yang diperlukan dalam pendidikan guru hanya akan memperbesar kekecewaan dalam dunia pendidikan. Karenanya, membahas pendidikan tanpa memberikan ruang proporsional terhadap kedudukan guru dan persiapannya, dapat dipandang sebagai sebuah sudut pandang yang pincang. Sebab, pilihan menjadi guru menuntut sejumlah kompetensi yang tidak dicapai secara alamiah semata. Terlebih dengan menguatnya tuntutan profesionalisasi guru, keberadaan lembaga pendidikan guru sebagai salah satu simpul strategis perlu mendapat perhatian dalam kerangka pikir reformasi pendidikan secara keseluruhan. Pendidikan guru, menjadi prasyarat penting dalam mempersiapkan guru yang memenuhi persyaratan yang diperlukan (Madya, 2007). Dapat diungkapkan, Indonesia memiliki 2.783.21 guru yang tersebar pada jenjang pendidikan dasar dan menengah (termasuk SLB, MI, MTs, dan MA). Dari jumlah itu, sebagian besar (1.739.484 guru atau 62, 50%) berlatar pendidikan di bawah S-1. dari jumlah tersebut, 25, 95% masih berpendidikan SLTA (Fachrudin; 2009; 17)

(11)

xi

Ka t a Pe n g a n t a r

profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi (Depag, 2008; 6). Sehubungan dengan hal tersebut, Soedijarto (2008: 5) mengungkapkan;

Lahirnya UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, khususnya bagian tentang guru adalah suatu pembaharuan pendidikan guru yang revolusioner. Melalui UU ini jabatan guru secara resmi didudukkan sebagai jabatan professional. Mungkin ada yang bertanya “Apakah jabatan guru selama ini belum berstatus jabatan professional? Dalam pengertian “Profesi sebagai pekerjaan/jabatan yang memerlukan “Advanced Education and Special Training”, selama ini pekerjaan guru sesungguhnya belum berstatus sebagai jabatan professional .

Sebagai jabatan professional, guru dituntut memiliki persyaratan profesional. Seorang pakar pendidikan guru yang telah menulis puluhan artikel dan sejumlah buku mengenai praktik pendidikan guru di berbagai negara, Linda-Darling Hammond, menyatakan bahwa diperlukan setidaknya tiga unsur kunci yang dapat dijadikan indikator guru profesional yang mampu menjawab tantangan masa depan; kompetensi terhadap disiplin ilmu, kemampuan menguasai pola interaksi dengan peserta didik, serta kemampuan paedagogis yang menyangkut pemahaman terhadap kompleksitas pengajaran (2006; 304). Secara sederhana, hal tersebut dalam dilihat dalam desain grais berikut ini;

Sumber: Hammond (2006; 307)

(12)

Tetapi memicu kalangan LPTK merumuskan rencana dan program yang tepat guna. Kesadaran mengenai pentingnya guru berkualitas, menuntut perhatian pada keberadaan lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK). Sebab, kualitas profesional guru, salah satu faktor determinannya terkait persiapan yang diterimanya. Dengan kata lain, pendidikan calon guru memainkan peran strategis dan menentukan dalam lulusan yang akan menjalankan tugas sebagai pendidik. Tantangan yang dihadapi lembaga pendidikan tenaga kependidikan memerlukan solusi-solusi cerdas, sehingga mampu berperan dalam perbaikan citra dan kualitas pendidikan nasional. Dengan kompleksitas persoalan tersebut, rekonseptualisasi LPTK menjadi penting dilakukan. Tanpa perubahan yang serius secara paradigmatik dan praktik, maka LPTK hanya akan menjadi bagian dari masalah pendidikan, dan bukan menjadi bagian dari penyelesaian carut-marut pendidikan nasional.

Kebijakan pendidikan nasional, khususnya terkait peningkatan kompetensi dan profesionalisme guru masih mengindikasikan sejumlah persoalan serius. Data dan fakta di lapangan yang kerap disajikan media massa menunjukkan langkah-langkah pembenahan kualitas guru di tanah air belum menunjukkan perubahan signiikan. Paradigma pendidikan guru yang lebih diorientasikan pada kuantitas, belum dibarengi secara berimbang dengan tekanan pada kualitas. Meningkatnya jumlah lembaga pendidikan tenaga kependidikan tidak berjalan seiring dengan kualitas lulusan yang mempunyai kompetensi dan dedikasi yang diperlukan. Akibatnya, kualitas pembelajaran, yang pada gilirannya menyebabkan kualitas pendidikan di tanah air masih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain; baik secara regional dan internasional. Pada sisi lain, faktor yang kurang mendapat perhatian para pengambil kebijakan yang pada gilirannya berdampak pada rendahnya kualitas pendidikan berkaitan dengan perhatian terhadap nasib guru. Meskipun dalam berbagai pertemuan formal para pejabat mendengung-dengungkan posisi sentral guru dalam menunjang keberhasilan pendidikan, tetapi dalam kenyataannya langkah konkrit dalam pemberdayaan guru masih menyisakan tanda tanya besar. Sebagai contoh, hingga saat ini kejelasan nasib ribuan guru kontrak yang tersebar diseluruh Kabupaten/Kota yang sering tertunda gajinya, menjadi contoh nyata perhatian pemerintah terhadap problematika yang dihadapi guru.

(13)

xiii

Ka t a Pe n g a n t a r

mata hati para pengambil kebijakan untuk memberikan penghargaan yang setimpal. Sangatlah tepat, Iwan Fals melukiskan kegalauan hatinya dalam lirik lagunya, Oemar Bakri yang menyatakan, nasib guru seakan dikebiri, sehingga profesi ini lebih banyak makan hati. Dengan kata lain, guru dituntut untuk bekerja secara maksimal dalam mempersiapkan generasi muda, tetapi pada saat bersamaan tuntutan guru untuk peningkatan taraf hidup yang lebih layak kurang mendapat perhatian semestinya. Padahal secara jujur harus diakui, tingkat kesejahteran yang rendah berkorelasi positif dengan kinerja guru dalam mendidik (Zamroni, 2001).

Tulisan-tulisan yang di kumpulkan dalam buku ini merupakan salah satu wujud kepedulian mengenai langkah-langkah yang diperlukan dalam pembenahan pendidikan tenaga kependidikan di tanah air. Tinjauannya mencakup kilas balik perjalanan sejarah pendidikan guru, dan sejumlah kebijakan yang diterapkan. Pandangan-pandangan kritis yang terdapat dalam paparan-paran yang disajikan sejumlah penulis, merupakan bagian dari kepedulian untuk mencari solusi terhadap problematika pendidikan tenaga kependidikan di tanah air. Selamat membaca.

[Muslihudin & Al Musanna]

Daftar Pustaka

Hammond, Linda Darling, (2006). “Constructing 21st Century Teacher Education” dalam Journal of Teacher Education, Vol. 57, No. 3.

Fachruddin, Fuad (2008). “Guru, Sertiikasi dan Mutu Pendidikan” dalam Media Indonesia, edisi Senin, 11 Mai 2009.

Gopinathan,(2006). “Challenging the Paradigm: Notes on Developing an Indigenized Teacher Education Curriculum” dalam Improving School Journal Volume 9 Number 3. Pp. 261–272

Soedijarto (2008). “Pendidikan Guru Masa Depan Yang Bermakna Bagi Peningkatan Mutu Pendidikan” dalam www.ispi-banyumas.blogspot.com.

(14)

Buchori, Mochtar (2007). Evolusi Pendidikan di Indonesia dari Kweekschool Sampai ke IKIP: 1852-1998. Yogyakarta: Insist Press.

Departemen Pendidikan Nasional (2008). Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2008 tentang Guru. Jakarta: Depdiknas

Departemen Agama (2003). Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depag

Departemen Agama (2006). Undang-Undang Nomor 14 Tentang Guru dan Dosen. Jakarta: Depag

Nanang Fatah, Analisis Biaya dan Manajemen Pendidikan, cet. I, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001).

Dedi Supriadi, Mengangkat Citra dan Martabat Guru, cet. I, (Yogyakarta: Adi Cita, 1998)

(15)

285

refOrMULaSI PenDIDIKan SaInS

PaDa PergUrUan tInggI agaMa ISLaM

Pendahuluan A.

Sains dideinisikan sebagai pengembangan dan sistematisasi dari ilmu pengetahuan positif yang berkaitan dengan alam semesta (Encyclopaedia of Knowledge, 1993). Sedangkan secara umum, Lord Rutherford mendeinisikan Sains sebagai “apa-apa yang dilakukan oleh para ilmuwan”. Dalam perkembangannya kemudian, sains sulit dilepaskan dari pertumbuhan peradaban barat. Sains modern telah berkembang dan matang dalam lingkungan barat. Sebagai produk kebudayaan dan tradisi intelektual barat, sains modern jelas berkiblat ke barat. (Sardar, 1985).

Pandangan-pandangan homas S. Kuhn, seorang ilosof sains, dalam bukunya he Structure of Scientiic Revolutions (1960) memiliki dampak langsung dan luar biasa pada pemikiran kontemporer, membuat seluruh generasi ilmuwan barat meninjau kembali disiplin ilmu mereka. Gagasan terpenting yang dikembangkan oleh Kuhn adalah konsep sebuah paradigma yang menolak deinisi tertentu. Sekalipun demikian, ia bisa diambil sebagai model teoretis dasar yang diterima kalangan luas yang mendukung cabang sains tertentu atau sub-cabangnya. Satu hal terpenting yang dilakukan Kuhn adalah membawa konsep nilai ke dalam tubuh sains (Butt, 1996).

(16)

of Man and Nature (1968). Dia mengajukan hal itu karena memandang isi dan penerapan sains barat telah terpisah dari ilmu pengetahuan wahyu akibat dari proses sekularisasi, sehingga seluruh rangkaian sains menjadi salah dan teramat berbahaya. Berkaitan dengan perlunya merekonstruksi sains dan membentuk apa yang disebut dengan sains Islam, diungkapkan oleh Sardar (1996) dalam kutipan berikut :

"Kita membutuhkan sains Islam karena kaum muslimin merupakan komunitas yang selalu diwajibkan untuk “menganjurkan kebaikan dan mencegah kemungkaran” sekaligus untuk menunjukkan bahwa sains dapat menjadi kekuatan positif di dalam masyarakat. Kita membutuhkan sains Islam karena kebutuhan-kebutuhan, prioritas-prioritas dan perhatian masyarakat-masyarakat muslim berbeda dari apa yang dimiliki oleh peradaban barat. Akhirnya kita membutuhkan sains Islam karena suatu peradaban tidak akan sempurna tanpa memiliki suatu sistem objektif untuk memecahkan masalah yang terkerangka sesuai dengan paradigmanya sendiri. Tanpa sains Islam masyarkat muslim hanya akan menjadi bagian dari kebudayaan dan peradaban barat. Singkatnya, kita tidak akan memiliki masa depan yang jelas tanpa sains Islam."

Adapun pendidikan sains ditujukan untuk mengembangkan pemahaman tentang sains, baik dari kandungan isi maupun metode atau proses yang dilakukan untuk menghasilkan kandungan sains tersebut. Satu tujuan penting dalam pendidikan sains adalah pemahaman tentang interaksi antara sains, teknologi, dan masyarakat. (Encyclopaedia of Knowledge, 1993). Pendidikan sains yang sesuai dengan perspektif Islam harus dimulai dan memiliki pandangan kosmos yang qurani sebagai latar belakang di setiap jenjang pendidikannya. (Nasr, 1987).

Berkenaan dengan Perguruan Tinggi Islam, Sardar (1996) mengemukakan bahwa hampir semua intelektual muslim menganggap bahwa konsep Islam mengenai ilmu pengetahuan, ‘ilm, harus membentuk basis struktur teoritis dan institusional dari sebuah universitas Islam. Yang membuat sebuah universitas bersifat Islami adalah kenyataan bahwa ia didasarkan pada gagasan Islam yang sesungguhnya mengenai ilmu pengetahuan, yakni memadukan pencarian ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai, menggabungkan pengetahuan faktual dengan

(17)

287 Edy Chandra — Reformulasi Pendidikan Sains Pada PTAI

gambaran yang dikotomis tentang dunia, tidak jauh berbeda dengan model universitas barat. Dalam masa sekarang, universitas-universitas Islam hanya baru merupakan model-model eksperimental yang harus dipahami dalam fase formatif.

Diharapkan hasil kajian ini akan dapat dimanfaatkan sebagai acuan dasar bagi pengembangan pendidikan sains di PTAIN dan IAIN serta perguruan tinggi Islam sejenis di Indonesia.

Hakikat Sains B.

Untuk membahas hakikat sains, diperlukan sebuah kajian kritis yang tentunya akan membawa konsekuensi pada cara pandang manusia dalam menanggapi dan menghayati sains. Cara pandang yang sempit tentang sains akan mempengaruhi warna yang diberikan kepada para siswa dalam proses pendidikan dan pembelajaran sains. Terlepas dari materi apa yang diajarkan, model pendidikan dan pembelajaran sains akan sangat dipengaruhi oleh persepsi para pendidik tentang sains itu sendiri.

Untuk membahas hakikat sains, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, sehingga para memungkinkan para pendidik untuk memahami pengertian sains secara lebih luas.1

Sains sebagai kumpulan pengetahuan 1.

Sebagai kumpulan pengetahuan, sains mengacu pada berbagai konsepsi sains yang sangat luas. Sains dipertimbangkan sebagai akumulasi berbagai pengetahuan yang telah ditemukan sejak zaman dahulu sampai pengetahuan yang terkini dan terbaru. Pengetahuan tersebut berupa fakta, konsep, teori dan generalisasi yang menjelaskan tentang alam semesta.

Sains sebagai suatu proses penelusuran (

2. investigasi)

Sebagai suatu proses penelusuran, sains pada umumnya merupakan suatu pandangan yang Menghubungkan gambaran sains yang berhubungan erat dengan kegiatan laboratorium beserta perangkatnya. Sains dipandang sebagai suatu displin ilmu yang ketat dari kegiatan pengamatan, inferensi, hipotesis dan percobaan tentang alam semesta.

Sains sebagai kumpulan nilai 3.

Sebagai kumpulan nilai, sains berhubungan erat dengan penekanan sains

1 R. Rohandi, Memberdayakan Anak melalui Penddikan Sains, dalam Sumaji, Pendidikan Sains Yang Humanitis,

(18)

sebagai proses. Bagaimanapun juga, pandangan ini menekankan pada aspek nilai ilmiah yang melekat dalam sains, termasuk di dalamnya nilai kejujuran, rasa ingin tahu (curiousity), dan keterbukaan akan berbagai fenomena yang baru sekalipun

Sains sebagai cara untuk mengenal dunia 4.

Proses sains dipengaruhi oleh cara manusia memahami kehidupan dan dunia di sekitarnya. Dalam konteks ini, Sains dipahami sebagai salah satu cara manusia mengerti dan memberi makna pada dunia di sekitar mereka. Diyakini, bahwa sains merupakan hal sangat penting dan karenanya dipandang sebagai suuatu cara untuk memahami alams emesta. Namun demikian, disadari pula bahwa sians memiliki keterbatasan sebagai suatu keumpulan pengetahuan dan strategi untuk memahami dunia secara komprehensif.

Sains sebagai Institusi Sosial 5.

Sains seharusnya dipandang dalam pengertian sebagai kumpulan para profesional dan ilmuwan, dimana para melalui sains para ilmuwan dilatih dan diberi penghargaan akan karya yang dihasilkannya, didanai, dan diatur dalam masyarakat, dikaitkan dengan unsur pemerintah, bahkan dipengaruhi dalam politik. Kenyataannya, saat ini banyak para ilmuwan mengembangkan sains berkaitan dengan kepentingan negara ataupun tendensi tertentu.

Sains sebagai Hasil Konstruksi Manusia 6.

Pandangan ini menunjuk pada pengertian bahwa sains sebenarnya merupakan penemuan dari suatu kebenaran ilmiah mengenai hakikat alam semesta yang tidak lain merupakan akumulasi kebenaran yang diperoleh. Hal pokok dalam pandangan ini adalah sains merupakan kontruksi pemikiran manusia, yang karenanya apa yang dihasilkan bisa jadi memiliki sifat bias dan sementara.

Sains sebagai Bagian dari Kehidupan Sehari-hari 7.

(19)

289 Edy Chandra — Reformulasi Pendidikan Sains Pada PTAI

Kritik terhadap Sains Modern dan Urgensi Sains Islam C.

Memang benar bahwa Barat telah memperoleh kemajuan yang sangat besar baik di bidang sains maupun teknologi, menurut terminologi mereka, sejak mereka memisahkan aspek metaisik dari pemikiran dan kehidupan mereka. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa pesatnya perkembangan sains dan teknologi tersebut diikuti pula oleh berbagai dampak negatif yang semakin besar manakala kehilangan ikatan aspek metaisiknya. Dalam pandangan Ziauddin Sardar, sebagian besar sains modern yang ada sekarang ini menyebar karena dominasi Barat di bidang ini, dan tumbuh dengan akar budaya, illusi, etos atau sistem nilai Barat, maka mudahlah dipahami bahwa sains modern atau sains Barat tidak mungkin bersifat universal, netral dan bebas nilai. Dalam kerangka ini, sains seringkali dikembangkan untuk mengejar keuntungan dan jumlah produksi, untuk pengembangan militer dan perlengkapan-perlengkapan perang, serta untuk dominasi suatu ras manusia terhadap ras lainnya, sebagaiman juga untuk mendominasi dan mengeksploitasi alam semesta. Sejauh mana sains modern bersifat universal, tidak netral, dan bebas nilai, para ilmuwan muslim sendiri masih memiliki keragaman pendapat.

Sementara itu, Sayid Hossein Nasr memandang bahwa isi dan penerapan sains barat telah terpisah dari ilmu pengetahuan wahyu akibat dari proses sekularisasi, sehingga seluruh rangkaian sains menjadi salah dan teramat berbahaya. Naquib Al-Attas mengidentiikasikan nilai-nilai zaman pencerahan (Renaissance) sebagai nilai-nilai dari sains dan teknologi modern. Dia mengakui bahwa Islam pada tahap awal evolusinya telah memberikan kontribusi yang sangat penting terhadap sains dan teknologi Barat, “tetapi ilmu pengetahuan dan semangat ilmiahnya yang rasional telah disusun dan dibentuk kembali untuk disesuaikan dengan wadah peradaban Barat sehingga ia mengalami peleburan dan amalgamasi dengan semua elemen-elemen lain yang membentuk karakater dan personalitas peradaban Barat.2 Karenanya,

Sardar memandang perlu untuk merekontruksi sains dan membentuk apa yang disebut dengan sains Islam.

Pro dan Kontra Seputar Sains Islam dan Islamisasi Sains D.

Dalam majalah Nature (vol. 282/22, 1979), Ziauddin Sardar melaporkan hasil perjalanannya ke delapan negara muslim (Tunisia, Mesir, Turki, Syiria, Arab Saudi, Pakistan, dan Malaysia) yang dipilihnya sebagai negara kunci

(20)

yang mewakili pendapat dan sikap ilmuwan-ilmuwan muslim di dunia Islam terhadap sains modern dan teknologi modern. Sardar mengklasiikasikan pendapat tersebut menjadi empat pandangan dan sikap yang membentuk suatu spektrum luas sikap ilmuwan muslim terhadap sains modern.3

Pandangan yang pertama, menganggap sains itu bersifat universal, netral dan bebas nilai, karenanya hanya ada satu sains. Pandangan ini sebenarnya merupakan pandangan yang dominan di kalangan ilmuwan Barat dan juga para ilmuwan Tunisia yang diwakili oleh Ali El-Hilli. Bahkan El-Hilli mengungkap, “Kita tidak dapat mengkompromikan rasionalitas dasar dari sains dengan urusan-urusan keagamaan. Jika kita kompromikan obyektivitas dan netralitas sains dengan nilai-nilai dan etika Islam, maka kita akan menghancurkan landasan terdasar dari sains itu sendiri. Pandangan ini juga dianut oleh sebagian ilmuwan di Mesir, Syiria dan Turki

Pandangan kedua, banyak dianut di Iran dan di Arab Saudi, seperti diungkap oleh Abdulah Umar Nassef, “Sains sekarang adalah sains Barat yang tumbuh dengan akar-akar budaya, etos, ilusi dan nilai-nilai Barat. Karenanya, harus direkontruksi dengan sains Islami. Dalam Islam, Sains harus tunduk di bawah tujuan-tujuan masyarakat. Tujuan umat Islam adalah mempererat persaudaraan, mengurangi konsumsi dan meningkatkan kesadaran spiritual”. Jelas bahwa pendapat ini menghendaki Islamisasi Sains bukan saja pada tujuan Sains tetapi juga landasan ilosoisnya.. Karenanya, Waqar S. Hussaini mengungkapkan bahwa “sains Islami tidak dapat dipisahkan secara ontologis maupun etimologis dari konsep Islam tentang Tuhan. Sains Islam adalah sains untuk ummat dan bekerja di dalam parameter-parameter konsep Islam tentang maslahat dan memajukan serta menjaga “Dhoruriyyat al Khomsah”.

Diantara kedua kutub pendapat di atas terdapat dua pendapat lain. Pendapat Ketiga, misalnya seperti diungkap dari Ali Kattani, “Sains Islam tidak berbeda secara radikal terhadap sains Barat. Hanya saja prioritas riset dan penekanannya berbeda sehingga baik kuantitas maupun kualitas isinya juga berbeda. Begitu pula tujuan-tujuan pemakaiannya.”

Pandangan Keempat, merupakan pandangan ilmuwan Pakistan dan Malaysia yang menganggap isi sains bersifat bersifat universal, tetapi penerapannya harus untuk tujuan-tujuan Islami.

Di samping itu, terdapat pula pandangan lain yang pada prinsipnya lebih menitikberatkan pada sains natural (sains alam), seperti diungkap oleh Maurice

(21)

291 Edy Chandra — Reformulasi Pendidikan Sains Pada PTAI

Bucaille.4 Ia beranggapan bahwa sains modern sekarang ini sudah Islami justru

karena unversalitasnya. Buktinya, banyak penemuan-penemuan sains modern sudah diisyaratkan oleh Al Qur’an.

Dengan demikian, jelaslah bahwa terdapat spektrum sudut pandang yang cukup luas dimulai dari universalisme sains yang konservatif, pandangan Islamisasi moderat yang tidak menganggap perlu Islamisasi ilsafat sains, universalisme liberal yang mengizinkan Islamisasi tujuan penerapan sains, dan akhirnya baik tujuan maupun landasan ilsafatnya perlu diislamisasikan, serta paham Bucaillisme yang lebih menitikberatkan pembuktian sains dengan Al Qur’an.

Paradigma Sains Islam E.

Sains Islam, menurut Sardar, sebagaimana dibuktikan oleh sejarahnya, jelas-jelas berusaha untuk menjunjung dan mengembangkan nilai-nilai dari pandangan dunia dan peradaban Islam, tidak seperti sains Barat yang berusaha untuk mengesampingkan semua masalah yang menyangkut nilai-nilai. Ciri yang unik dari sains Islam berasal dari penekanannya pada kesatuan agama dan sains, pengetahuan dan nilai-nilai, isika dan metaisika. Sedangkan menurut Osman Bakar, kesadaran religius terhadap tauhid merupakan sumber semangat ilmiah dalam seluruh wilayah pengetahuan.

Dalam pandangan Islam, cakupan sains tidaklah terbatas pada aspek material yang bertebaran di jagat raya, sebagaimana pandangan Barat selama ini. Islam memberikan ruang lingkup yang lebih luas terhadap sains yang meliputi tiga aspek. Pertama, aspek metaisik yang dibawa oleh wahyu. Aspek ini menjawab pertanyaan-pertanyaan abadi yang selalu muncul dalam jiwa manusia, yaitu dari mana, ke mana, dan bagaimana. Dengan memahami jawaban pertanyaan-pertanyaan ini menjadikan manusia tahu akan dirinya, tahu perjalanan dan misinya, dan tahu pula akan Tuhannya. Menurut Islam, ilmu inilah yang menempati tempat tertinggi. Kedua, aspek humaniora, dan studi-studi yang berkaitan dengannya, meliputi pembahasan mengenai kehidupan manusia, psikologi, sosiologi, ekonomi, politik, dan disiplin ilmu lain yang berkaitan dengan kebutuhan manusia. Ketiga, aspek material, yang mencakup ilmu matematika dan ilmu alam, ilmu Falak, kedokteran, teknik, dan lain-lain. Tegasnya segala ilmu yang dibangun di atas observasi dan

4 Pandangan ini dikenal dengan Bucaillisme, dimana upaya utama dari pandangan ini adalah membuktikan

(22)

eksperimen. Ketiga aspek ini, menurut Islam tidak boleh dipisahkan satu dengan yang lainnya, karena disinilah letak kekuatan dan kesatuan ilmu dalam Islam seperti diisyaratkan Al Qur’an dalam surat Fusshilat ayat 53 berikut :

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Rabbmu tidak cukup bagi kamu bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu.”

Dalam upaya mendeinisikan nilai-nilai pijakan sains Islam, sebuah seminar tentang “Science and Values” telah dilaksanakan pada September 1981 di Stockholm. Para peserta seminar merekomendasikan bahwa realisasi kontemporer dari sains Islam harus didasari oleh kerangka nilai yang merupakan karakteristik-karakteristik dasar kebudayaan Islam. Kerangka nilai tersebut terdiri atas sepeuluh konsep islami yang secara bersama-sama membentuk kerangka nilai Islam. Kesepuluh nilai tersebut adalah Tauhid, Khilafah, Ibadah, ‘Ilm, Halal dan Haram, ‘Adl (keadilan sosial), Zhulm (kezaliman), Istishlah

(kemaslahatan umum), dan Dhiya’ (kecerobohan), yang secara diagramatik dapat digambarkan sebagai berikut :5

Tauhid

Tauhid Tauhid

Khilafah

Khilafah Khilafah

ibadah

ibadah ibadah

'ILM

Sebuah deinisi mengenai sains Islam kini bisa diformulasikan dalam terma kerangka nilai-nilai Qur’ani. Paradigma-paradigma sains Islam adalah konsep-konsep Tauhid, khilafah, ibadah. D idalam paradigma-paradigma ini, sains islam bekerja melalui perantaraan ‘ilm untuk memajukan keadilan sosial (‘adl) dan kepentingan umum (istishlah). Oleh karena itu, sains Islam bertanggung jawab untuk mengembangkan kesadaran ketuhanan; mengharmoniskan tujuan dan cara dalam mencari ilmu pengetahuan; memperhatikan relevansi

(23)

293 Edy Chandra — Reformulasi Pendidikan Sains Pada PTAI

sosial dalam pencarian maupun penerapan ilmu pengetahuan; serta menolak netralitas ilmu pengetahuan obyektif. Berbeda dengan sains Barat yang berupaya memperkembangkan nilai-nilai kebudayaan Barat dan peradaban Barat, sains Islam mengembangkan nilai-nilai pandangan dunia Islam.

Dari deinisi mengenai Sains Islam di atas, dapatlah dilihat bahwa tidak semua sains Barat berada di luar kerangka nilai-nilai Islam. Sebagai contoh, dapat diungkap bahwa gagasan tentang teknologi tepat guna, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya energi yang dapat diperbaharui, semuanya cukup sesuai dengan prinsip-prinsip pengembangan sains Islam. Lebih dari itu, semua kegiatan ilmiah yang diarahkan untuk memajukan keadilan sosial dan kemaslahatan, seperti misalnya penelitian kedokteran untuk mengurangi rasa sakit dan penderitaan manusia, penelitian dan pengembangan pertanian untuk menanggulangi kelaparan dunia, konservasi alam dan lingkungan, serta upaya-upaya untuk mengantisipasi dampak negatif teknologi, secara otomatis akan membentuk sebagian dari sains Islam.6

Perbandingan Sains Barat dan Sains Islam F.

Untuk memperjelas gambaran tentang Sains Islam, menarik untuk diungkap upaya komparasi yang dilakukan oleh Sardar, seperti terdapat pada tabel berikut :7

Sains Barat Sains Islam

1 Percaya pada Rasionalitas Percaya pada Wahyu

2 Sains untuk Sains Sains adalah sarana untuk mendapatkan

keridloan Allah sebagai bentuk ibadah yang memiliki fungsi spiritual dan so-sial

3 Satu-satunya metode, cara untuk mengetahui realitas

Banyak metode, berlandaskan akal dan wahyu

4 Netralitas emosional sebagai prasyarat kunci menggapai rasionalitas

Komitmen emosional sangat penting untuk mengangkat usaha sains spiritual maupun sosial

5 Tidak memihak; seorang il-muwan harus peduli hanya pada produk pengetahuan baru

Pemihakan pada Kebenaran: sebagai bentuk ibadah, ilmuwan harus peduli pada produk dan akibat dari penemuan-nya

6 Sardar, op.cit, hal. 130

(24)

6 Tidak adanya bias : validitas pernyataan-pernyataan sains hanya tergantung pada bukti penerapannya, dan bukan ilmuwan yang menjalankan-nya

Adanya subjektivitas: arah sains diben-tuk oleh criteria subjektivas: validatas suatu pernyataan sains bergantung baik pada bukti-bukti pelaksanaanya mau-pun pada tujuan dan pandangan orang yang menjalankannya; pengakuan pil-ihan-pilihan subjektif pada penekanan dan arah sains mengharuskan ilmuwan menghargai batas-batasnya.

7 Penggantungan pendapat : pernyataan-pernyataan sains hanya dibuat atas dasar bukti yang meyakinkan

Menguji pendapat :

pernyataan-pernyataan sains selalu dibuat atas dasar bukti yang tidak meyakinkan; menjadi seorang ilmuwan adalah menjadi se-orang pakar, juga pengambil keputusan moral, atas dasar bukti yang tidak kinkan sehingga ketika bukti yang meya-kinkan dikumpulkan barangkali terlam-bat untuk mengantisipasi akiterlam-bat-akiterlam-bat destruktif dari aktivitas seseorang. 8 Reduksionisme : cara yang

dominan untuk mencapai kemajuan sains

Sintesis : cara yang dominan meningkat-kan kemajuan sains; termasuk sintesis sains dan nilai-nilai.

9 Fragmentasi : sains adalah sebuah aktivitas yang ter-lalu rumit, karenanya harus dibagi ke dalam disiplin dan sub disiplin

Holistik : sains adalah sebuah aktivitas yang terlalu rumit yang dibagi ke dalam lapisan yang lebih kecil; ia adalah pema-haman interdisipliner dan holistik.

10 Universalisme : meskipun sains itu universal, namun hanya bagi mereka yang mampu membelinya, dengan demikian bersifat memihak

Universalisme : buah sains adalah bagi seluruh umat manusia dan ilmu penge-tahuan dan kebijaksanaan tidak dapat ditukar atau dijual; sesuatu yang tidak bermoral.

11 Individualisme : ilmuwan harus menjaga jarak dengan permasalahn sosial, politik dan ideologis

(25)

295 Edy Chandra — Reformulasi Pendidikan Sains Pada PTAI

12 Netralitas : sains adalah ne-tral

Orientasi nilai : seperti halnya aktivitas manusia adalah sarat nilai; ia bisa baik atau buruk, halal atau haram; sains yang menjadi benih perang adalah jahat. 13 Loyalitas kelompok : hasil

pengetahuan baru melalui penelitian merupakan ak-tivitas terpenting dan perlu dijunjung tinggi

Loyalitas pada Tuhan dan makhluk-Nya : hasil pengetahuan baru merupakan cara memahami ayat-ayat Tuhan dan harus diarahkan untuk meningkatkan kualitas ciptaan-Nya : manusia, hutan dan ling-kungan. Tuhanlah yang menyediakan legitimasi bagi usaha ini dan karenanya harus didukung sebagai tindakan umum, bukan usaha golongan tertentu.

14 Kebebasan absolut : setiap pengekangan atau pengua-saan penelitian sains harus dilawan

Manajemen sains merupakan sumber yang tidak terhingga nilainya: tidak boleh dibu-ang-buang dan digunakan untuk tindak kejahatan; ia harus dikelola dan direnca-nakan dengan baik dan har-us dipaksa oleh nilai etika dan moral. 15 Tujuan Membenarkan

Sara-na : kareSara-na penelitian ilmiah adalah mulia dan penting bagi kesejahteraan manusia secara keseluruhan, maka pemanfaatan seluruh sarana dibenarkan demi penelitian sains

Tujuan tidak membenarkan sarana : tidak ada perbedaan antara tujuan dan sarana sains : keduanya semestinya diperboleh-kan (halal), yakni, dalam batas-batas etika dan moralitas.

Hakikat Pendidikan Sains G.

Sains dari aspek dan epistemologi, dideinisikan sebagai “Suatu deretan konsep serta skema konseptual yang berhubungan satu sama lain, dan yang tumbuh sebagai hasil eksperimentasi dan observasi, serta berguna untuk diamati dan dieksprementasikan lebih lanjut”. Sebagai disiplin ilmu, sains diidentikkan dengan IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) yang terediri atas physical sciences dan life sciences. Termasuk physical sciences adalah ilmu-ilmu astronomi, kimia, geologi, mineralogi, meteorologi, dan isika. Sedangkan life sciences

(26)

positif yang berkaitan dengan alam semesta. Perkembangan IPA ditunjukkan tidak hanya oleh kumpulan fakta saja, melainkan juga oleh timbulnya metode ilmiah (scientiic method) dan sikap ilmiah (scientiic attitude).8

Sementara itu, A.N. Whitehead menyatakan bahwa sains dibentuk karena pertemuan dua orde pengalaman, yaitu orde observasi yang dididasarkan pada hasil observasi terhadap gejala/fakta alam, dan orde konsepsional yang didasarkan pada konsep manusia mengenai alam semesta.9

Dengan demikian, Sains berupaya membangkitkan minat manusia agar mau menigkatkan kecerdasan dan pemahaman tentang alam seisinya yang penuh dengan rahasia yang tidak habis-habisnya, yang pada akhirnya akan memperdekat rentang jarak antara sains dengan teknologi sebagai terapannya.

Pendidikan Sains tentunya berbeda dengan sains itu sendiri, tetapi memiliki hubungan yang sangat erat. Bila Sains ditujukan untuk mengembangkan Sains itu sendiri, tetapi pendidikan sains ditujukan agar manusia mengerti dan mengembangkan atau mengembangkan aplikasi dari sains. Lain halnya dengan para saintis (ilmuwan), para praktisi dalam pendidikan sains dituntut harus memperhatikan aspek-aspek psikologis, sosial dan kultural..10

Meskipun pendidikan sains seringkali disamakan dengan pengajaran sains, namun pendidikan sains dapat dibedakan lebih jauh dari pengajaran sains. Dalam pengajaran sains, para siswa terutama dilatih untuk memahami hubungan antar (dan peran masing-masing) peubah dalam gejala dan peristiwa alam, serta kondisi yang perlu bagi terjadi atau tidak terjadinya gejala itu melalui mekanisme tertentu. Sementara itu, pendidikan sains lebih ditujukan memberikan kearifan, menanamkan rasa tanggung jawab dan mendewasakan pertimbangan serta sikap moral etis. Dengan demikian, pendidikan sains lebih menitik beratkan pada pada aspek afektif, dan pengajaran sains lebih terfokus pada segi-segi kognitif dan psikomotorik..11

Dalam kaitannya dengan disiplin ilmu, sains (dan matematika) dapat dinyatakan memiliki daerah bersama (irisan) dengan ilmu-ilmu lain dimana,

8 Abu Su’ud, 1993. Peranan Program MKDU dalam Upaya Memadukan Konsep-konsep IPA dan IPS di Perguruan

Tinggi. Mimbar Pendidikan. No. 4/XII. IKIP Bandung. Bandung. hal. 18-19

9 Sumaji, Dimensi Pendidikan IPA dan Pengembangannya sebagai Disiplin Ilmu dalam Sumaji, dkk. Pendidikan

Yang Humanitis, Kanisius, . Jakarta, 1998. hal. 31-32

10 Y. Marpaung,. Pendekatan Sosio Kultural dalam Pembelajaran Matematika dan Sains. dalam Sumaji,

Pendidikan Sains Yang Humanitis, 1998. hal.248-249

11 Liek Wilardjo, Secercah Pandangan tentang Pengajaran Sains, dalam Sumaji, Pendidikan Yang Humanitis,

(27)

297 Edy Chandra — Reformulasi Pendidikan Sains Pada PTAI

sains itu sendiri merupakan disiplin pokok yang berkaitan erat dengannya. Pendidikan sains tidak dapat terlepas dari psikologi, pedagogi, epistemologi, sosiologi, antropologi, bahasa dan lain-lain..12 Hubungan erat antar disiplin

ilmu sebagaimana dimaksud tersebut, dapat dilukiskan seperti pada diagram berikut:

PENDIDIKAN

SAINS

Sains

Psikologi

Pedagogi

dll.

Gambar 1. Hubungan antara Pendidikan Sains dengan Disiplin ilmu lain

Keterkaitan erat antara Sains dengan didiplin ilmu lainnya dalam Pendidikan Sains, berimplikasi pada pengembangannya sebagai disiplin ilmu yang relatif masih berkembang ini. Dimensi Pendidikan Sains, dengan sendirinya, sekurang-kurangnya mengandung unsur atau nilai sosial budaya, etika moral dan agama.13

Beberapa Prinsip Dasar Pendidikan Sains Islam H.

Sebagaimana bidang keilmuan lainnya, pengembangan Pendidikan Sains juga dapat dilakukan dengan memperhatikan perspektif Islam tentang Pendidikan dan Sains. Sebagai acuan dasar bagi pengembangan Pendidikan

12 Y. Marpaung, Pendekatan Sosio Kultural dalam Pembelajaran Matematika dan Sains. dalam Sumaji dkk,

Pendidikan Sains Yang Humanitis, hal. 248-249

(28)

Sains dalam perspektif Islam tersebut, Nasim Butt mengajukan 3 prinsip dasar sebagai berikut :14

Iman dan Nilai dalam Pendidikan Sains 1.

Iman dan nilai tidak dapat diabaikan begitu saja, dan sudah semestinya diberi kedudukan sentral dalam sistem pendidikan. Dalam pendidikan sains, terdapat berbagai pokok pembahasan yang sarat nilai. Antara lain, topik-topik yang berkaitan dengan penerapan analisa lingkungan, rekayasa genetika, seksualitas, tenaga nuklir, dan perosalan-persoalan yang berkaitan dengan permulaan dan akhir dari kehidupan. Disamping itu, juga terdapat topik-topik kontroversial lain yang membutuhkan pembahasan dari perspektif nilai dan moral agama, seperti teori evolusi, kontroversi pemanfaatan teknologi, dan hukum-hukum kekekalan energi dan materi. Karenanya, reformasi pendidikan sains juga mensyaratkan upaya mengintegrasikannya dengan nilai moral dan keimanan.

Satu hal terpenting yang dilakukan Kuhn adalah membawa konsep nilai ke dalam tubuh sains. Pasca aliran Kuhn, sudah tidak relevan lagi untuk berpendapat bahwa pendidikan sains benar-benar bebas nilai dan obyektif. Sekalipun obyektiitas adalah tujuan utama sains modern, tak urung keseluruhan faktor subyektif akan selalu mempengaruhi persepsi, teori, seleksi dan proses pengolahan data. Sebaliknya, iman dan nilai bukanlah merupakan persoalan pilihan pribadi yang sederhana, akan tetapi memiliki satu realitas di luar individu dalam mengikat masyarakat dengan sekat moral yang akan memperkuat landasan etikanya. Sementara itu, sebuah sistem pendidikan sekuler tidak memiliki sikap yang holistik pada kehidupan dan hanya memberi sedikit perhatian pada upaya peningkatan nilai-nilai positif Ketuhanan dan Kesucian. Pemahaman akan pentingnya iman dan nilai inilah yang mendorong para ilmuwan dan cendekiawan muslim untuk memasukkan semangat nilai-nilai Islam sebagai pandangan dunia dan peradaban Islam ke dalam sains.

Memanusiawikan Sains Dalam Kelas 2.

Dimensi manusia harus menjadi bagian yag terpadu dengan pengajaran sains, karena proses penemuan sains adalah satu hal yang menyeluruh. Dalam rangka memanusiawikan sains dalam ruang kelas, sains harus diajarkan pada siswa dengan cara yang yang sesuai dengan konteks masyarakat dan budaya.

14 Pembahasan secara luas tentang 3 prinsip dasar ini dapat dilihat pada Naim Butt, Sains dan Masyarakat

(29)

299 Edy Chandra — Reformulasi Pendidikan Sains Pada PTAI

Menyatukan Agama dan Sains di Sekolah 3.

Ide bahwa ilmu pengetahuan sains dan pengetahuan agama adalah saling berdiri sendiri merupakan cara pandang ilmu pengetahuan barat yang sekuler yang menekankan bahwa tidak ada relevansi santara sains dengan agama. Tanpa adanya pegajaran yang terpadu dan terencana, siswa dengan sendirinya akan menerapkan bentukan pemikiran sekuler yang berlaku selama ini, dan menerima adanya pertentangan antara sains dan agama, baik disadari ataupun tidak.

Sehubungan dengan upaya untuk menjabarkan upaya praktis dalam pendidikan sains Islam, Zaghlul Al-Najjar, mengajukan beberapa langkah berupa Garis-garis Besar Upaya Penulisan Ulang dan Pengajaran Sains dalam Perspektif Islam yang antara lain dapat digambarkan sebagai berikut :15

Menekankan pentingnya Sains dan Penyelidikan ilmiah dalam Islam 1.

Menunjukkan bahwa Alam semesta yang sedemikian rumit dan luasnya, 2.

tidak mungkin terjadi dengan dengan sendirinya, melainkan dengan campur tangan Sang Pencipta (Al-Khaliq)

Menegaskan bahwa alam semesta dibangun diatas basis yang sama, baik 3.

dari unit terkecil sampai dengan yang terbesar, yang kesemuanya saling berubah dan berhubungan.

Menegaskan bahwa alam semesta tidaklah abadi; yang dengan demikian, 4.

dalam perspektif Islam tidak dikenal adanya konsep kekalan energi dan materi.

Menunjukkan bahwa sains, dalam pengertian terbatas, merupakan upaya 5.

manusia untuk mengeksplorasi alam semesta ciptaan Allah SWT, hukum-hukum keteraturan yang mengaturnya.

Memberikan penegasan bahwa eksperimentasi sains adalah sebagian dari 6.

metode untuk memperoleh pengetahuan, di antaranya metode lainnya, tanpa terlepas dari wahyu ilahi.

Menekankan fakta bahwa eksperimentasi sains akan dapat membawa pada 7.

pembuktian eksistensi yang ghaib

Menunjukkan fakta bahwa eksperimentasi sains pada hakikatnya tidaklah 8.

dapat mengenali esensi kehidupan, akan tetapi hanya mempelajari fenomena kehidupan. Yang kita ketahui sampai saat ini diantaranya, detail komposisi kimiawi dari sel hidup, akan tetapi kita tidak dapat membuatnya.

15 Al-Najjar, Zaghlul, Islamizing The Teaching of Science : A Model in Challenge and Response, dalam Islam :

(30)

Menunjukkan bahwa ayat-ayat

9. Al Qur’an mengandung isyarat-isyarat

ilmiah tentang sains. Tidak kurang dari 750 ayat berfungsi sebagai isyarat sains dan kealaman, meskipun Al Qur’an bukanlah buku teks sains.

Memberikan penekanan bahwa otak manusia, naluri dan berbagai bagian 10.

tubuh lainnya yang dapat menjadi penghantar kepada sains, merupakan anugerah ilahi yang selayaknya didayagunakan secara semestinya.

Menunjukkan kontribusi para ilmuwan muslim dalam berbagai bidang sains, 11.

yang seringkali dikaburkan dan dihilangkan dari sejarah perkembangan sains. Dalam kaitan operasionalisasi dari upaya-upaya islamisasi dalam pendidikan sains, sebagaimana ditunjukkan pada Garis-garis besar diatas, maka Al Najjar lebih lanjut merekomendasikan, antara lain : Revisi terhadap buku-buku teks sains, terutama untuk sekolah dasar, menengah dan program sarjana; Restrukturisasi kurikulum dan silabus yang dipergunakan dalam pendidikan dan pengajaran sains.

Model Pendidikan Sains di Perguruan Tinggi Agama Islam I.

Upaya untuk mencari model yang tepat bagi Pendidikan Sains tidak terlepas dari keberadaannya sebagai suatu sistem pendidikan yang mencakup ruang lingkup yang luas pula. Sistem Pendidikan dimaksud, dapat digambarkan dalam bagan sederhana sebagaimana terlihat pada gambar 2.16

Masukan

Gambar 2. Pendidikan sebagai Sebuah Sistem

Dari bagan tersebut, yang dimaksud dengan Masukan mentah (raw input) adalah peserta didik, yaitu mahasiswa (peserta didik). Masukan alat (instrumental input) terdiri atas unsur-unsur seperti : a) tujuan pendidikan; b) kerangka, tujuan dan materi kurikulum ; c) fasilitas dan media pendidikan ;

16 Diadopsi dari Sumaji, Dimensi Pendidikan IPA dan Dimensi Pengembangannya Sebagai Disiplin Ilmu dalam

(31)

301 Edy Chandra — Reformulasi Pendidikan Sains Pada PTAI

d) sistem administrasi; e) sistem penyampaian; f) tenaga pengajar (pendidik); g) sistem evaluasi ; h) bimbingan dan penyuluhan. Adapun lingkungan terdiri atas lingkungan ekologi dan masyarakat (termasuk lingkungan keluarga) yang dapat mempengaruhi proses pendidikan. Sementara itu, proses pendidikan sendiri dimaksudkan sebagai proses interaksi antar unsur masukan untuk mencapai tujuan pendidikan. Adapun hasil langsung pendidikan (intermediate outcome) adalah perilaku (behaviour) peserta didik setelah mereka mengalami proses pendidikan. Sedangkan hasil akhir pendidikan (ultimate outcome) adalah perilaku peserta didik setelah mereka terjun dalam kehidupan masyarakat luas (termasuk melanjutkan sekolah) sebagai hasil dari proses pendidikan.

Berkenaan dengan bagan sistem pendidikan diatas, upaya perbaikan dan pembaharuan dapat lebih dilakukan dengan memperhatikan masukan instrumental dan proses pendidikan yang berlangsung. Untuk itu, dalam hal upaya pembenahan terhadap model pendidikan sains yang saat ini telah berlangsung, perlu dilakukan rekonstruksi dan reformulasi untuk memperoleh hasil yang optimal. Pembenahan tersebut, dalam kaitannya dengan masukan mentah diantaranya meliputi reorientasi visi, misi dan tujuan pendidikan sains; reformulasi kurikulum pendidikan sains yang telah ada; reorientasi tenaga pendidik dan pengajar sains; serta peningkatan fasilitas dan saran pendidikan sains. Pembenahan pada aspek instrumental input tersebut diimbangi dengan pembenahan pada proses pendidikan dan pembelajaran sains yang dilakukan.

Visi, Misi dan Tujuan Pendidikan Sains 1.

(32)

Filosoi

VISI

MISI

TUJUAN

KURIKULUM

Gambar 3.

Hubungan antara Visi Pendidikan Sains dengan Kurikulum Sains

Visi sebuah lembaga pendidikan adalah bayangan atau prognosa untuk melihat ke depan berdasarkan pada kondisi waktu dan ruang di mana insitutusi tersebut berada, termasuk masyarakat akademisnya, sekarang berada. Visi hendaklah menggambarkan cita-cita yang tinggi sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimiliki, serta keterbatasan dan kenyataan yang ada. Kontekstualitas visi akan mengarahkan rencana dan strategi, serta mewarnai misi dan norma yang dianut, untuk menghadapi tantangan masa depan secara realistis. Visi yang dicanangkan hendaknya menggambarkan keunggulan dan kemajuan yang hendak dicapai dalam kurun waktu tertentu, mengandung landasan nilai ataupun norma yang mewarnainya, yang nantinya akan dijabarkan ke dalam misi, strategi pencapaiannya baik secara taktis maupun operasional.

Tujuan pengajaran akan mempengaruhi kandungan dari bahan pengajaran dan juga metode yang akan digunakan. Secara garis besar terdapat tiga aspek yang saling bergantian mendapat penekanan pada pengajaran sains. Penetapan tujuan pada program Pendidikan Sains pada PTAIN, hendaknya tetap mengacu upaya penyeimbangan aspek teoretis, yaitu menekankan pada struktur keilmuan; terapan, yaitu menekankan pada sains dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari; dan kontekstual, menekankan pada sejarah perkembangan dan implikasi kultural dari sains.

Penyesuaian tujuan, sebagaimana visi17 dan misi, dengan kekhasan lembaga

pendidikan yang berlandaskan Islam dimungkinkan, mengingat bahwa tujuan setiap lembaga pendidikan tersebut bervariasi sesuai dengan kondisi sosial

17 Secara umum, Komaruddin Hidayat mencanangkan Visi STAIN 2010 : “Think Globally but Act Locally”. Ajuan

(33)

303 Edy Chandra — Reformulasi Pendidikan Sains Pada PTAI

masyarakat yang melingkupinya.18 Hal ini sejalan pula dengan ajuan K. Hidayat

(2001) agar masing-masing PTAIN merumuskan visi dan misinya secara jelas sesuai dengan kebutuhan intern dan ekstern masyarakatnya.19

Kurikulum Pendidikan Sains 2.

Sebagai contoh kasus berkaitan dengan kurikulum pendidikan sains pada Perguruan Tinggi Agama Islam, dapat diajukan dari Kurikulum yang sekarang diberlakukan seperti terdapat pada Program Studi Pendidikan IPA-Biologi pada Jurusan Tarbiyah STAIN Cirebon,20 sebagaimana terlampir pada

lampiran 1 dan 2. Kurikulum yang diberlakukan tersebut masih memerlukan penyempurnaan, terutama berkaitan dengan upaya mengintegrasikan nilai-nilai Islam secara sistematis dan upaya memanusiawikan sains dalam proses pembelajaran.

Dalam hal penyempurnaan kurikulum pendidikan sains ini, perlu memperhatikan banyak faktor. Menurut Anderson (1992), sebagaimana dikutip oleh Djohar,21 reformasi kurikulum mencakup : 1) pengembangan

materi pelajaran; 2) identiikasi pendekatan instruksional terhadap materi baru tersebut; 3) implementasi proses pembelajaran dari materi baru dan pendekatan baru ini dalam praktek yang dapat dipertahankan keberlangsungannya; 4) penilaian ketepatan reformasi kurikulum itu dengan kehidupan sosial. Oleh karena itu, mempersoalkan kurikulum tidak hanya terbatas pada persoalan perubahan materi ajar saja, tetapi melibatkan permasalahan yang kompleks. Karenanya, setiap perubahan kurikulum harus didasarkan pada hasil penelitian dan kajian yang memadai.

Berkaitan dengan Penentuan dan Pengembangan Kurikulum, Konsorsium Ilmu Pendidikan membagi unsur-unsur pendidikan pra jabatan guru ke dalam empat unsur sebagai berikut :22

a. Umum; yang berlaku bagi setiap program studi di jenjang pendidikan (mata kuliah dasar umum – MKDU)

18 John Nellist & B. Nicholl, The ASE Science Teacher’s Handbook, Hutchinson, hal. 4

19 Ditbibperta, Visi STAIN 2010, PERTA Jurnal Komunikasi Perguruan Tinggi Islam Vol. IV/No.01/2001, hal. 4 20 Kurikulum yang sekarang digunakan pada Program Studi IPA Biologi, Jurusan tarbiyah STAIN Cirebon

dikutip dari dengan Pedoman Pendidikan STAIN Cirebon, berdasarkan SK Ketua STAIn Cirebon No. STA.5/ PP.00.9/114/2001

21 Djohar, Reformasi Pendidikan Sains. Jurnal Pendidikan Matematika dan Sains. No. 1-2/ I. FPMIPA IKIP

Yogyakarta. Yogyakarta 1996, hal. 64,

22 B. Soehendro, Fungsi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Menjelang Tahun 2020, Mimbar Pendidikan

(34)

Bidang ilmu sebagai bahan ajar (mata kuliah keahlian bidang studi – MKK a.

bidang studi), yang dalam hal ini adalah bidang ilmu sains

Pemahaman mendalam atas peserta didik (mata kuliah dasar kependidikan b.

– MKDK kependidikan)

Teori dan keterampilan keguruan (mata kuliah keahlian keguruan – MKK c.

keguruan)

Dalam implementasinya pada Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), B. Soehendro (1996) mengungkapkan bahwa kurikulum pendidikan tersebut dapat dilakukan secara bersusun ataupun integratif. Kurikulum Pendidikan secara bersusun dapat dimulai dengan unsur b (MKK bidang studi), yaitu pendidikan bidang ilmu murni, dalam hal ini adalah bidang ilmu sains sebagai core curriculum, dan setelah selesai dilanjutkan dengan komponen (a), (c), dan (d), yang berarti mirip dengan pendidikan akta mengajar. Sedangkan pada Kurikulum Pendidikan integratif, keempat unsur diajarkan secara serentak.

Berbeda dengan model pelaksanaan kurukulum di atas, P.S. Akbar (1992) justru menyarankan agar mata kuliah dasar (baik MKDU dan MKDK) diberikan pada tahun pertama (semester I dan II), sedangkan mata kuliah keahlian bidang studi diberikan pada semester III sampai dengan semester VIII.23 Berdasarkan

unjuk kerja lulusan LPTK di lapangan selama ini, dari keempat unsur tersebut, yang lebih mendesak memerlukan perbaikan adalah MKK (baik itu MKK bidang studi dan MKK keguruan), yaitu penguasaan bidang ilmu (baca : sains sebagai kurikulum inti) dan pemahaman proses pembelajaran sebagai untuk menjadi guru nantinya. Perlu dipertimbangkan agar penguasaan bidang ilmu yang dimiliki lulusan program pendidikan sains setara dengan minimal 6 semester program sarjana, kalaupun belum memungkinkan disetarakan penguasaan ilmu bidang studi sainsnya dengan program sarjana sains (FMIPA). Karenanya, proporsi yang memadai bagi MKK bidang studi (sains) yang setara dengan program 6 semester tersebut adalah sekitar 80 % atau 100 – 110 SKS.24

Dalam upaya untuk memperkuat landasan nilai dan iman-Islami pada kurikulum yang dibentuk, dan sekaligus untuk memenuhi kekhasannya sebagai PTAI, maka bidang studi keIslaman dapat ditempatkan sebagai MKDU dan MKDK. Menurut hemat penulis, termasuk ke dalam MKDU dan MKDK tersebut adalah mata kuliah yang diorientasikan pada upaya Islamisasi Ilmu

23 PS. Akbar, Prospektif Pendidikan Guru : Dalam Pemikiran dan Praktek, Media Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan

No. 59/XIV/1992

(35)

305 Edy Chandra — Reformulasi Pendidikan Sains Pada PTAI

Pengetahuan dan Sains. Hal ini dapat dipandang merupakan bagian dari upaya mengintegrasikan kurikulum tersebut dengan nilai-nilai Islam dan sekaligus sebagai pengantar untuk memahami Islamisasi Sains.

Adapun untuk memasukkan unsur humaniora dan memanusiawikan sains, perlu diperhatikan 3 prinsip utama, yaitu : 1) dalam proses pendidikan, pengembangan pikiran dan hati harus berjalan bersama; 2) peserta didik harus diberi kesempatan untuk berkenalan dengan nilai-nilai kemanusiaan; dan 3) dalam proses pendidikan harus ada kerja sama erat antara pendidik dan peserta didik serta antara teori dan praktek.25 Dalam pandangan penulis, sebagian dari

prinsip memanusiawikan pengajaran sains (terutama prinsip pertama dan kedua) dapat sekaligus dicapai dengan dimasukkannya nilai-nilai dan iman-Islami dalam kurikulum sains. Di samping itu, pengembangan segi-segi manusiawi dalam pengajaran sains juga dapat ditempuh dengan pembahasan sejarah perkembangan suatu konsep sains, yang di dalamnya terungkap pergulatan perjuangan para ilmuwan dalam usaha mengungkap misteri alam semesta.26 Dalam konteks ini,

pengenalan akan ilmuwan-ilmuwan muslim dan prestasi prestasi ilmiah yang berhasil mereka capai akan membantu para peserta didik memahami pergulatan para ilmuwan muslim dalam sains di masa kejayaannya.

Sebagai pelengkap, muatan lokal yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi wilayah dimana PTAIN tersebut berada, dapat dirancang sekaligus sebagai bagian dari pendekatan S-T-M (Sains-Teknologi-Masyarakat).

Pendidik dan Pengajar Sains 3.

Dalam masyarakat industri modern sekarang ini, dibutuhkan sosok para pendidik yang menguasai sains dan teknologi dan sekaligus sosok personiikasi moral dan keyakinan agama. Dia adalah gabungan ciri-ciri seorang profesioanl, saintis, ulama dan mungkin pula seniman.27 Perubahan

pandangan yang dirasa penting dari setiap pendidik sains dewasa ini adalah agar para pendidik berusaha mengetahui hal-hal yang dibutuhkan peserta didik untuk dipelajari, agar setelah berlangsungnya proses pembelajaran betul-betul dirasakan manfaatnya bagi peserta didik tersebut. Hal ini tidaklah berarti bahwa struktur keilmuan sains tidak diperhatikan sama sekali, akan tetapi perlu dilakukan penelaahan dan pemilihan kedalaman pembahasan

konsep-25 T. Sarkim, op.cit, hal. 128-129 26ibid, hal. 142

27 PS. Akbar, 1992. Prospektif Pendidikan Guru : Dalam Pemikiran dan Praktek. Media Pendidikan dan Ilmu

(36)

konsep yang tercantum dalam kurikulum.28 Untuk itu, para pendidik sains

harus mampu melihat jauh ke depan dalam merancang program pengajaran agar dapat memenuhi tuntutan masa depan.29

Apabila peningkatan kualitas pembelajaran sains hendak dijadikan sebagai prioritas, maka kualitas tenaga pendidik menjadi faktor penentu bagi berlangsungnya upaya tersebut. Dalam rangka peningkatan profesionalisme tenaga kependidikan menghadapi era millennium ketiga sekarang ini, Komite Reformasi Pendidikan merekomendasikan agar para pendidik di perguruan tinggi minimal memiliki ijazah S-2.30 Rekomendasi tersebut sesungguhnya telah

banyak disuarakan oleh banyak kalangan. Sebelumnya B. Soehendro (1996) telah menyarankan agar para pendidik tersebut mengikuti program pasca sarjana di PT non LPTK ataupun pelatihan-pelatihan khusus yang setara. Diharapkan jumlah dosen dengan kualiikasi tersebut mencapai 60 % dari tenaga pendidik yang ada sesuai dengan proporsi MKK bidang studi. Bila mengacu pada Visi besar STAIN 2010 yang dicanangkan oleh Komaruddin Hidayat (2001), dimana salah satu modal minimal yang harus dimiliki, dimiliki kualiikasi tenaga pengajar dosen dipatok tanpa kompromi : harus S-3, sementara S-2 hanya menjadi asisten dosen, maka hal ini menjadi tantangan yang sangat berat untuk diupayakan, namun harus terus diupayakan.31 Kualiikasi maksimal seperti ini, sesungguhnya

telah sejak l971 direkomendasikan oleh USAID sebagai hasil survey tentang Pendidikan Sains di Indonesia, dimana dalam jangka panjang harus diupayakan 25 % dari pengajar sains memiliki kualiikasi Ph.D.32

Disamping itu, dalam upaya peningkatan profesionalisme perlu diikuti dengan peningkatan kemampuan mengenal lapangan lebih baik. Sebagai staf pengajar pada program studi pendidikan di LPTK, diperlukan agar senantiasa mengikuti perkembangan permasalahan pendidikan sains yang ada di sekolah-sekolah dan madrasah. Dalam kaitan ini, B. Soehendro (1996) menyarankan agar setiap tenaga dosen di LPTK memiliki pengalaman mengajar di sekolah, ataupun bila memungkinkan, secara berkala ditugaskan untuk memperbaharui pengetahuan dalam pengenalan lapangan ke berbagai sekolah.33 Tentunya,

upaya peningkatan profesionalisme sebagaimana disebutkan di atas sudah seharusnya ditunjang oleh peningkatan kesejahteraan yang memadai.

28 Anna Poedjidadi, op.cit, hal. 59 29 M. Nur, op.cit, hal. 11

30 Komite Reformasi Pendidikan, op.cit, hal. 21

31 Ditbinperta, Visi STAIN 2010, PERTA Jurnal Komunikasi Perguruan Tinggi Islam Vol. IV/No.01/2001, hal. 4 32 USAID, Summary Report Indonesian Science Education Survey 1971, hal. 39

(37)

307 Edy Chandra — Reformulasi Pendidikan Sains Pada PTAI

Proses Pembelajaran Sains 4.

Sebagai ujung tombak utama keberhasilan pendidikan terletak pada proses pembelajaran yang berlangsung, dimana pilar utamanya adalah terletak pada cara para pendidik mengajar. Interpretasi terhadap sains sangat tergantung pada cara pendidik mengajar sains, yang berarti melekat dengan cara peserta didik belajar sains. Dagher dan Cossman (1992) pernah melakukan penelitian tentang cara verbal pengajar mengajar sains, dan diperoleh sepuluh macam cara, yakni (1) Analogik, (2) Anthropomorik, (3) Fungsional, (4) Genetik, (5) Mekanik, (6) Metaisik, (7) Praktis, (8) rasional, (9) Tautologik, dan (10) Teleologik. Masing-masing cara verbal mengajar sains tersebut akan menentukan masing-masing proil bagaimana siswa menginterpretasikan hakikat sains. Ternyata ditemukan bahwa cara yang terbanyak dilakukan oleh para pendidik sains adalah cara genetik, yang berarti guru mengajar sains sekedar menyampaikan apa adanya (faktual) tanpa mengungkapkan mengapanya. Hal ini berdampak pada interpretasi peserta didik bahwa sains adalah sekedar ilmu hafalan, ilmu tentang fakta. Untuk itu, kecenderungan pengajaran sains harus diubah ke arah sistem yang lebih mendorong interaksi Subyek-Obyek.34

Sebagai alternatif solusi, dan upaya untuk merealisasikan pendekatan STM, ada 3 pendekatan yang dapt dilakukan.35 Pendekatan pertama, adalah

melaksanakan program STM berdasarkan unit atau topik, sehingga tidak mengikuti GBPP yang biasa berlaku. Pembelajaran dilakukan melalui sekelompok topik yang telah disusun sedemikian rupa sehingga apabila topik-topik itu digunakan secara berurutan, sebenarnya telah terhimpun kumpulan konsep yang hendak ditanamkan pada peserta didik, misalnya untuk jangka waktu satu semester. Pendekatan ini dilakukan dengan strategi memperkenalkan konsep-konsep sains pada peserta didik melalui isu ataupun topik yang di sekitar kehidupan peserta didik yang merupakan aplikasi sains.

Pendekatan kedua, adalah dengan menyajikan topik-topik yang relevan dengan konsep-sains yang terdapat dalam GBPP, dimana program STM merupakan suplemen GBPP. Yang paling mudah adalah dengan menggunakan pendekatan ketiga, sebagaimana yang diajukan oleh A. Poedjiadi (1994), yaitu dengan mengajak peserta didik untuk berikir dan menemukan aplikasi konsep sains dalam industri atau produk teknologi yang ada di masyarakat di sela-sela kegiatan pembelajaran berlangsung. Contoh-contoh adanya aplikasi konsep sains

(38)

ini juga dapat dilakukan pada awal pokok bahasan tertentu untuk meningkatkan motivasi peserta didik mempelajari konsep-konsep tertentu atau mengalihkan perhatian didik kepada materi yang akan dibahas sebagai apersepsi.36

Metode pembelajaran apapun yang hendak diterapkan, akan berlangsung efektif manakala para peserta didik tidak lagi dipandang sekedar sebagai obyek pengajaran. Pemberdayaan para peserta didik dalam pembelajaran sains dapat dilakukan dengan melatih peserta didik untuk aktif mencari berbagai informasi dan data yang dibutuhkan untuk mengkaji suatu permasalahan sains.

Pengembangan Sarana dan Pra Sarana 5.

Sarana dana Pra Sarana yang dibutuhkan dalam pendidikan sains pada dasarnya tidak banyak berbeda dengan pendidikan bidang studi lainnya. Fasilitas utama yang menjadi ciri khas dalam pendidikan sains adalah penggunaan laboratorium yang memadai sebagai media pengajaran. Untuk itu, pengembangan kualitas laboratorium secara isik, instrumen maupun struktur pengelolaannya menjadi sebuah kemestian.

Keterbatasan sarana dan anggaran bagi pendidikan sains hendaknya disiasati dengan kreatiitas dan inovasi dari para pendidik sains untuk mendaya gunakan lingkungan sekitar sebagai laboratorium alami, tanpa menghilangkan fungsi eksperimentasi kurikulum yang telah ada.

Pengelolaan Kelembagaan dan Institusi Pendidikan Sains 6.

Adanya suatu lembaga yang secara khusus memiliki tugas mengembangkan dan membina pendidikan sains secara sistematis, komprehensif dan berkelanjutan, menjadi kebutuhan yang mendesak untuk direalisasikan. Lembaga dimaksudkan menjadi semacam Pusat Pendidikan Sains yang memiliki jaringan kerja sama antar Perguruan Tinggi Agama Islam (IAIN dan STAIN) yang memiliki Program Studi Pendidikan IPA.37 Lebih jauh, upaya kerja sama

dengan Perguruan Tinggi Umum yang memiliki program Pendidikan Sains akan mendorong percepatan PTAIN dalam mengejar ketertinggalannya.

Sebagai model, lembaga ini dapat dibayangkan seperti Pusat Antar Universitas (PAU) yang terdapat pada Perguruan Tinggi Umum Negeri. Dengan

36 Anna Poedjiadi, op.cit, hal. 59

37 Sampai saat ini, STAIN yang memiliki Program Studi Pendidikan Sains, adalah STAIN Cirebon (IPA-Biologi dan

Gambar

tabel berikut :7
Gambar 1. Hubungan antara Pendidikan Sains dengan Disiplin ilmu lain
Gambar 2. Pendidikan sebagai Sebuah Sistem
Gambar 3.  Hubungan antara Visi Pendidikan Sains dengan Kurikulum Sains

Referensi

Dokumen terkait

Surat keterangan tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dari pengadilan negeri yang wilayah hukumnya

Fuente : Encuesta aplicada a niños del Centro Educativo “Huayna Cápac” Elaborado por: Lauro Vicente Medina Abrigo y Rosa Marga Medina Abrigo... Ante la inquietud abordada, como

Sistem Pendukung Keputusan Pemilihan Guru Terbaik Pada Smk Maria Goretti Pematangsiantar Menggunakan Metode Simple Additive Weighting (Saw). Pengembangan Sistem

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pemanfaatan dana kapitasi dokter gigi praktik mandiri dan dokter gigi praktik di klinik pratama pada kota Palembang

[r]

Responden dari penelitian ini adalah mahasiswa dan beberapa orang yang banyak mengetahui tentang pemasaran produk palsu.Total ada 500 kuesioner yang disebarkan, dengan

Software atau aplikasi ini telah banyak beredar dan digunakan sebagai rujukan dalam mencari sumber data, sehingga pengkaji tidak perlu mencari data hadis ataupun tafsir secara

sepenuhnya oleh PDAM. Oleh karena itu, penentuan alokasi sumber air baku disesuaikan dengan program pengembangan sumber air baku PDAM. Berdasarkan data dari PDAM Tirta