• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL CONTEXTUAL TEAC. pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL CONTEXTUAL TEAC. pdf"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL (CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING) UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR TINGKAT TINGGI DI SEKOLAH ASRAMA BERBASIS

AGAMA (PONDOK PESANTREN)

Oleh : Abul Walid

Abstraksi

Kendala yang sering terjadi di sekolah berasrama berbasis agama adalah siswa lebih tertanam kesadaran yang besar untuk mempelajari materi agama, dan kecenderungan untuk mendalami pelajaran umum masih memerlukan dorongan yang besar. Apalagi untuk pelajaran matematika, siswa belum bisa menghargai matematika karena kurangnya konteks matematika pada kehidupan nyata khususnya dalam agama. Kemampuan guru matematika pada sekolah asrama berbasis agama untuk menyiapkan perangkat pembelajaran yang mencover kebutuhan tersebut sangatnya dibutuhkan. Sekolah asrama berbasis agama memerlukan perlakuan khusus dalam proses belajar mengajar baik dalam hal metode pembelajaran, pendekatan pembelajaran, bahan ajar, RPP, dan penilaian. Hal ini karena kurikulum yang digunakan di sekolah tidak hanya kurikulum dari pusat seperti KTSP, tetapi sekolah juga mengembangkan kurikulum agama secara mandiri sehingga kombinasi tersebut haruslah disikapi secara tepat dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajarnya.

Kata Kunci : Pembelajaran konstektual, Kemampuan berpikir tingkat tinggi, Pondok pesantren

A. Pendahuluan

(2)

koordinasi pemerintah. Setidaknya ada tiga pilihan pendidikan yang bisa menjadi pertimbangan masyarakat yaitu pondok pesantren, sekolah dan madrasah. Ketiga institusi tersebut

mempunyai tujuan sama, namun berbeda dalam

pengelolaannya. Diantara ketiga lembaga tersebut, mempunyai ciri khas dan keunggulan masing-masing. Ketiganya saling berkompetisi dalam mencetak generasi bangsa. Dalam hal ini akan kami bahas bagaimana penyelenggaraan pendidikan di pondok pesantren atau dalam bahasa lain sekolah asrama berbasis agama khusunya pada pembelajaran matematika. Pondok pesantren sekolah asrama berbasis agama khusunya yang telah menggabungkan dua sistem pendidikan yaitu ilmu umum dan ilmu agama, merupakan lembaga yang akhir-akhir ini diminati oleh para konsumen pendidikan.

Hal tersebut didasarkan pada alasan bahwa generasi penerus bangsa ini selain pandai dalam hal ilmu dunia, mereka juga harus mempunyai bekal agama yang kuat agar menjadi insan yang kuat dalam agama dan intelektual. Pada kenyataannya, di sekolah pondok dengan background agama yang kuat tidak bisa dielakkan bahwa pelajaran umum agak dikesampingkan oleh sebagian siswa. Hal ini terjadi karena siswa sudah tertanam ilmu agama yang kuat dan ketertarikan mereka sangat kuat dalam hal agama. Pada zaman sekarang ini mulai dikembangkan pondok pesantren yang menyeimbangkan dua sistem pendidikan yaitu pendidikan regular (ilmu umum) dan ilmu agama. Dengan semakin terbukanya sistem pendidikan di pondok pesantren maka keberadaannya di pemerintahan dan masyarakatpun mulai di posisikan strategis.

Kekurangan dalam hal penyelenggaraan pendidikan formal khususnya mata pelajaran umum sedikit banyak menjadi tantangan untuk para pelaksana pendidikan seperti guru dalam membawa kondisi tersebut menjadi bermakna pula bagi anak khusunya yang dapat dihubungkan dengan agama. Pendidikan pada masa sekarang ini lebih mengutamakan pada beberapa hal berikut:

(3)

2. Belajar akan lebih bermakna jika anak “mengalami” apa yang dipelajarinya, bukan “mengetahui”nya.

3. Pembelajaran yang berorientasi target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetensi “mengingat” jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang

Oleh karena itu dalam jurnal ini akan dibahas bagaimana pendekatan kontekstual dalam pembelajaran matematika akan meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa pada sekolah asrama berbasis agama dengan menyajikan konteks yang nyata dengan kehidupan siswa khusunya di asrama serta yang ada kaitannya dengan agama. Pembelajaran kontekstual diharapkan mampu mengajak siswa mengembangkan proses berpikir yang lebih dari sekedar pemahaman konsep. Siswa diharapkan mampu berpikir tingkat tinggi untuk menyelesaikan masalah-masalah matematika dengan pengalaman dan pengetahuan yang didapat dalam kehidupan nyata.

B. Pondok Pesantren

Apa yang dimaksud dengan kata pondok dan apa pula dengan pesantren? Kata pondok mengandung makna, bangunan untuk tempat sementara, biasanya didirikan di ladang, sawah, hutan dan sebagainya (KBBI, 1988). Dalam perkembangan selanjutnya kata pondok dapat berarti bangunan tempat tinggal yang berpetak-petak, berdinding bilik, beratap rumbia untuk tempat tinggal beberapa keluarga. Ketika seseorang menumpang di rumah orang lain sebutannya meminjam kata pondok, menjadi memondok yang dalam bahasa Belanda disebut ”in de kost”(Wojowasito, 2001). Tempat memondok disebut ”pondokan” atau ”pemondokan”. Ada pula yang mengatakan kata itu berasal dari Bahasa Arab – قود ن ف- (funduuq). yang kemudian diucapkan sesuai lidah Indonesia menjadi pondok.

(4)

tinggal dan belajar para santri (Dhofier, Zamakhsyari, 1985). Meskipun kata pesantren mengandung makna tempat untuk tinggal dan belajar para santri, namun sebutan itu masih dirasa belum cukup. Para santri yang belajar itu kebanyakan menumpang dalam arti makan, menginap dan belajar (memondok atau in de kost) di bangunan dalam bentuk pondok-pondok atau asrama yang ada di lembaga tempat mereka belajar. Lembaga pendidikan yang memberlakukan pola penempatan para santri dengan tempat tinggal dalam pondok-pondok seperti itu kemudian dikenal dengan sebutan pondok pesantren, disingkat Ponpes dan ada yang menyingkat menjadi Pontren.

Berawal dari lembaga pendidikan yang mengutamakan pendidikan agama (Islam), Ponpes berkembang menjadi lembaga pendidikan yang dinilai tidak kalah dengan lembaga pendidikan non-pesantren. Usaha-usaha ke arah pembaharuan dan modernisasi merupakan konsekwensi dari keberadaan Ponpes di lingkungan yang berkembang menjadi modern.

Meskipun Ponpes telah menjadi lembaga pendidikan modern, tetapi kesederhanaan, kejuangan, kemandirian, kebersamaan dan keihlasannya tetap menjadi roh dan semangat yang dapat mengukuhkan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang tidak lapuk karena hujan dan tidak lekang karena panas. Demikian tegas Ponpes itu namun menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada saat menerima pengasuh pondok pesantren se-Indonesia, tanggal 21 Mei 2007 yang lalu.

(5)

dan luas, dan sudah dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat (Hasbullah, 1999).

Di tengah-tengah sistem Pendidikan Nasional yang dinilai selalu berubah-rubah dan biaya pendidikan yang semakin tinggi apresiasi masyarakat Indonesia terhadap pesantren makin hari makin besar. Lebih-lebih setelah muncul banyak pesantren yang berani bergerak melakukan perubahan. Pesantren itu tidak hanya berkutat dan mempertahankan otentisitas tradisi pengajarannya yang khas tradisional, dengan pengajaran yang terpusat pada kitab-kitab klasik dengan melakukan pembaharuan metodologis, memasukkan materi-materi pengetahuan non-agama dalam proses pengajaran dan sistem manajemen modern maka pesatren menjadi pilihan.

C. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning)

Kita sering mengamati anak disekitar lingkungan yang memberikan deskripsi fakta kepada kita bahwa sebelum masuk dalam pendidikan formal yaitu sekolah, anak lincah, selalu belajar apa yang diinginkannya dengan gembira, riang, menggunakan segala sesuatu yang terdapat di sekitarnya, yang menarik perhatiannya, anak membangun sendiri pengetahuan dan pemahaman lewat pengalaman nyata sehari-hari.

Setelah sekolah kita diperlihatkan pula dengan fakta-fakta yang berbeda dengan sebelumnya yaitu: Anak dipaksa belajar dengan cara guru, suasana tegang, seringkali tidak bermakna, seringkali siswa belajar sesuatu tidak menarik perhatiannya, telah terjadi “penjinakan” pada anak, makin tinggi kelas anak, makin kurang inisiatif dan keberanian bertanya/mengemukakan pendapatnya. Mengapa?

(6)

Padahal mereka sangat butuh untuk dapat memahami konsep-konsep yang berhubungan dengan lingkungan dan masyarakat pada umumnya dimana mereka akan hidup dan bekerja (Departemen Pendidikan Nasional).

Bagaimana menemukan cara terbaik untuk

menyampaikan berbagai konsep yang diajarkan di dalam mata pelajaran tertentu, sehingga semua siswa dapat menggunakan dan mengingat konsep tersebut lebih lama? Bagaimana setiap mata pelajaran dipahami sebagai bagian yang saling berhubungan dan membentuk satu pemahaman yang utuh? Bagaimana seorang guru dapat berkomunikasi secara efektif dengan siswanya yang selalu bertanya-tanya tentang alasan dari sesuatu, arti dari sesuatu, dan hubungan dari apa yang mereka pelajari? Bagaimana guru dapat membuka wawasan berpikir yang beragam dari siswa, sehingga mereka dapat mempelajari berbagai konsep dan mampu mengkaitkannya dengan kehidupan nyata, sehingga dapat membuka berbagai pintu kesempatan selama hidupnya?

“Tantangan yang dihadapi oleh guru setiap hari dan merupakan tantangan bagi pengembang kurikulum” yaitu: Siswa dibantu untuk membangun keterkaitan antara informasi (pengetahuan) baru dengan pengalaman (pengetahuan lain) yang telah mereka miliki atau mereka kuasai. Siswa diajarkan bagaimana mereka mempelajari konsep dan bagaimana konsep tersebut dapat dipergunakan di luar kelas. Siswa diperkenankan untuk bekerja secara bersama-sama (cooperative). Salah-satu pendekatan pembelajaran yang mengcover tantangan tersebut adalah strategi pembelajaran Kontekstual.

1. Definisi Pembelajaran Kontekstual (CTL)

(7)

a. CTL menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi, artinya proses pembelajaran diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. b. CTL mendorong siswa untuk menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar disekolah dengan kehidupan nyata.

c. CTL mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan nyata, artinya CTL bukan hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi yang dipelajarinya, akan tetapi bagai mana materi pelajaran itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.

2. Komponen Pembelajaran Kontekstual (CTL)

CTL sebagai pendekatan pembelajaran memiliki 7 komponen atau asas yaitu (Trianto: 2007):

a. Konstruktivisme

Yaitu proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Dalam pembelajaran melalui CTL, siswa didorong untuk mampu mengkonstruksi pengetahuan sendiri melalui pengalaman nyata.

b. Inkuiri

Yaitu proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berfikir secara sistematis. Dengan demikian guru bukanlah mempersiapkan sejumlah materi yang harus dihafal, tetapi merancang pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat menemukan sendiri materi yang harus dipahami.

c. Bertanya (questioning)

Yaitu proses pembelajaran pertanyaan-pertanyaan yang dapat membimbing dan mengarahkan siswa untuk menemukan setiap materi yang dipelajarinya. Untuk itu kemampuan guru untuk mengembangkan teknik-teknik bertanya sangat diperlukan.

(8)

Yaitu CTL dilakukan dengan menerapkan pembelajaran berkelompok. Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok yang anggotanya bersifat heterogen, baik dilihat dari kemampuan dan kecepatan belajarnya, maupun dilihat dari bakat dan minatnya.

e. Pemodelan (modelling)

Yaitu pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa. Proses modeling tidak terbatas pada guru saja akan tetapi guru dapat memanfaatkan siswa sebagai model. Dengan modeling, siswa dapat terhindar dari pembelajaran yang teoritis-abstrak yang dapat memungkinkan terjadinya verbalisme.

f. Refleksi (reflection)

Yaitu pada akhir pembelajaran berikan kesempatan kepada siswa untuk mengingat kembali apa yang telah dipelajarinya. Biarkan secara bebas siswa menafsirkan pengalamannya sendiri, sehingga ia dapat menyimpulkan tentang pengalaman belajarnya.

g. Penilaian nyata (authentic assesment)

Yaitu keberhasilan pembelajaran tidak hanya ditentukan oleh perkembangan kemampuan intelektual saja, akan tetapi perkembangan seluruh aspek. Penilaian diperlukan untu mengetahui apakah pengalaman siswa memiliki pengaruh positif terhadap perkembangan intelektual maupun mental siswa. Penilaian ini dilakukan secara terus menerus selama kegiatan pembelajaran berlangsung, tekanannya diarahkan pada proses belajar.

3. Karakteristik Pembelajaran Kontekstual (CTL)

Terdapat lima karakteristik penting dalam proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan CTL.

a. Dalam CTL, pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activiting Knowledge)

b. Pembelajaran yang kontektual adalah belajar dalam rangka memperoleh dan menambah pengetahuan baru (acquiring knowledge)

(9)

d. Mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman terwebut (applying knowledge).

e. Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan.

Belajar bagi anak adalah proses penyempurnaan skema yang telah ada (asimilasi) atau proses pembentukan skema (akomodasi), dengan demikian tugas guru adalah memfasilitasi (mempermudah) agar anak mampu melakukan proses asimilasi dan prossses akomodasi.

D. Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi

Menurut Krulik & Rudnick (1999) proses berpikir tingkat tinggi merupakan kemampuan memproses pengetahuan dan pengalaman yang terdiri dari beberapa tahapan berpikir yaitu recall (menghafal/mengingat) and reasoning (bernalar/logika). Reasoning terbagi dalam beberapa tahapan yaitu Basic (dasar), Critical (kritis) dan Creative (kreatif). Berikut ini uraian yang lebih lengkap dari tahapan berpikir tingkat tinggi antara lain:

1. Recall. Tingkat berfikir paling rendah adalah keterampilan menghafal (recall thinking) yang terdiri atas keterampilan yang hampir otomatis atau refleksif. Siswa diberikan latihan untuk menghafal dasar-dasar aritmatika seperti penjumlahan dan perkalian. 3×6=18, 2+5=7 atau bahkan mengingat alamat atau nomor HP seseorang. Pada kelas-kelas awal siswa berusaha keras untuk menghafal fakta-fakta ini

2. Basic. Level berfikir selanjutnya adalah keterampilan dasar (basic thinking). Meliputi memahami konsep-konsep seperti penjumlahan, pengurangan dan sebagainya termasuk aplikasinya dalam soal-soal. Contoh, dari konsep perkalian adalah mencari harga total 12 kilogram beras bila harga perkilnya adalah Rp 6.350

(10)

yang dibutuhkan dan tidak dibutuhkan. Ini juga berarti mampu menarik kesimpulan dari data yang diberikan dan mampu menentukan ketidak konsistenan dan pertentangan dalam sekelompok data. Berfikir kritis adalah analitis dan refleksif.

4. Creative. Berfikir kreatif sifatnya orisinil dan reflektif. Hasil dari keterampilan berfikir ini adalah sesuatu yang kompleks. Kegiatan yang dilakukan di antaranya menyatukan ide, menciptakan ide baru, dan menentukan efektifitasnya. Berfikir kreatif meliputi juga kemampuan menarik kesimpulan yang biasanya menelorkan hasil akhir yang baru (Idris harta, 2009).

E. Pembelajaran Kontekstual dalam Meningkatkan Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Di Sekolah Asrama Berbasis Agama (Pondok Pesantren)

Pembelajaran kontekstual dalam meningkatkan kemampuan tingkat tinggi dilndasi atas komponen atau asas CTL yang memfasilitasi siswa dalam mengembangkan kemampuan berfikir tingkat tingginya dan didukung oleh kondisi pesantren yang menanam kan sikap kesederhanaan, kejuangan, kemandirian, kebersamaan dan keihlasan.

Pertama, Konstruktivisme: Yaitu proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Dalam pembelajaran melalui CTL, siswa didorong untuk mampu mengkonstruksi pengetahuan sendiri melalui pengalaman nyata. Melalui kontruktivismme diasumsikan akan memiliki kreatifitas yang sifatnya orisinil dan reflektif melalui kegiatan menyatukan ide, menciptakan ide baru, dan menentukan efektifitasnya. Berfikir kreatif (Cretive Thinking) meliputi juga kemampuan menarik kesimpulan yang biasanya menelorkan hasil akhir yang baru.

(11)

dan mengevaluasi semua aspek dari situasi atau masalah. Termasuk di dalamnya mengumpulkan, mengorganisir, mengingat, dan menganalisa informasi, serta kemampuan menarik kesimpulan dari data yang diberikan dan mampu menentukan ketidak konsistenan dan pertentangan dalam sekelompok data. Ini sesuai dengan tahapan berfikir kritis (Critical Thinking).

Ketiga, Bertanya: Yaitu proses pembelajaran pertanyaan-pertanyaan yang dapat membimbing dan mengarahkan siswa untuk menemukan setiap materi yang dipelajarinya. Untuk itu kemampuan guru untuk mengembangkan teknik-teknik bertanya sangat diperlukan. Keadaan dan kondisi pesantren yang warganya terdisri dari guru (ustadz) dan santri yang tinggal bersamaan dalam satu lingkungan pesantren memberikan kesempatan pada mereka melakukan kegiatan interaktif dengan kkintensitas yang tinggi. Kegiatan ini di asumsikan dapat memfasilitasi dalam meningkatkan kemampuan basic thinking, critical thinking, pada akhirnya sangat memungkinan terbentuknya pemikiran yang kreatif (creative thinking).

Keempat, Masyarakat belajar: Yaitu CTL dilakukan dengan menerapkan pembelajaran berkelompok. Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok yang anggotanya bersifat heterogen, baik dilihat dari kemampuan dan kecepatan belajarnya, maupun dilihat dari bakat dan minatnya. Lingkungan pesantren sangat memungkinkan siswa untuk memiliki komunitas belajar dengan anggota yang heterogen baik dari segi gender, sosial, akademik dan budaya, mengingt komunitas dalam pesantren terdiri dari dari berbagai daerah asal santri dan ustadz yang beragam.

(12)

Kelima, Pemodelan: Yaitu pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa. Proses modeling tidak terbatas pada guru saja akan tetapi guru dapat memanfaatkan siswa sebagai model. Dengan modeling, siswa dapat terhindar dari pembelajaran yang teoritis-abstrak yang dapat memungkinkan terjadinya verbalisme. Pemodelan dalam lingkungan pesantren tidak hanya dapat dilakukan oleh guru dalam kelas saja, tetapi juaga dapt dilakukan diluar kelas melalui kegiatan yang dilakukan diluar jam pelajaran di asrama.

Pemodelan tidak hanya terbatas pada konten pelajaran saja, tetapi bisa diterapkan dalam penanaman nilai dan karakter siswa dalam menjalani aktivitas di pesantren. Guru dapat memberikan model yang mengandung nilai positif kepada siswa setiap waktu tanpa dibatasi jarak antara siswa dan guru, karena secara bersamaan mereka tinggal dilingkungan yang sama. Melalui pemodelan secara kongkrit akan meningkatkan kemampuan memahami konsep-konsep dan aplikasinya yang terdapat dalam tahap berfikir dasar (basic thinking) sebagai modal dalam rangka meningkatkan kemampuan berfikir kritis dan kreatif.

(13)

Ketujuh, Penilaian nyata: Yaitu keberhasilan pembelajaran tidak hanya ditentukan oleh perkembangan kemampuan intelektual saja, akan tetapi perkembangan seluruh aspek. Penilaian diperlukan untu mengetahui apakah pengalaman siswa memiliki pengaruh positif terhadap perkembangan intelektual maupun mental siswa. Penilaian ini dilakukan secara terus menerus tidak hanya selama kegiatan pembelajaran berlangsung, tetapi dalam lingkungan pesanten juga memfasilitasi penilaian dilakukan diluar proses pembelajaran dikelas karena siswa dan guru dapat berinteraksi kapanpun dalam lingkungan pesantren.

Penilaian nyata ini tidak hanya ditekankan atau diarahkan pada proses belajar dikelas saja, tetapai pada proses interaksi yan terjadi di luar kelas yaitu di lingkungan pesantren yang secara nyata guru dapat mengmatinya secara langsung. Melalui evaluasi atau penilaian nyata Secara berkelanjutan dan dinamis, secara akademis akan sangat memfasilitasi perkembangan kemampuan mengingat (recall thinking), kemampuan memahami konsep dan aplikasinya (basic thinking), kemampuan menarik kesimpulan dari data yang diberikan dan kemampuan menentukan ketidak konsistenan dan pertentangan dalam sekelompok data (critical thinking) dan kemampuan menciptakan ide-ide baru, dan menentukan efektifitasnya yang semua itu termuat dalam kemampuan berfikir tingkat tinggi.

F. Aplikasi Pembelajaran Kontekstual dalam Pembelajaran di Sekolah Asrama Berbasis Agama

Berdasarkan latar belakang pembelajaran matematika dijelaskan dalam setiap kesempatan, pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem). Dengan mengajukan masalah kontekstual, peserta didik secara bertahap dibimbing untuk menguasai konsep matematika. Berangkat dari latar belakang tersebut, berikut akan diberikan contoh pembelajaran dalam pengenalan konsep dengan meberikan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem).

(14)

a. Guru menjelaskan kompetensi yang harus dicapai serta manfaat dari proses pembelajaran dan pentingnya materi pelajaran yang akan dipelajari dengan mengajukan permasalahan pada dunia nyata (real world) tentang suku banyak atau polinom

b. Guru menjelaskan prosedur pembelajaran CTL

1) Siswa dibagi kedalam beberapa kelompok, dengan anggota kelompok heterogen (kemampuan, gender, bakat, minat dan motivasi)

2) Tiap kelompok ditugaskan untuk menyiapkan selembar karton berukuran 24 cm x 16 cm, Pojoknya dipotong untuk membuat sebuah kotak terbuka, sehingga pemotongannya berupa persegi (Al-krismanto. 2003).

3) Kelompok pertama, ditugaskan memotong setiap pojoknya 1 cm

4) Kelompok kedua, Ditugaskan memotong setiap pojoknya 2 cm

5) Dilanjutkan dengan kelompok-kelompok lain hingga setiap kelompok mendapatkan tugas.

6) Setiap kelompok selanjutnya ditugaskan mencari panjang kotak, lebar kotak, dan volume kotak setelah dipotong disetiap pojoknya.

c. Guru melakukan tanya jawab sekitar tugas yang harus dikerjakan oleh siswa. Karena siswa dalam lingkungan pesantren, siswa diberikan kebebasan dalam dalam menyelesaikan tugas-tugas mereka dengan cara berdiskusi dan bertanya kepada teman maupun kakak kelas mereka yang mengetahui penyelesain masalah terebut.

2. Inti

a. Di lapangan

(15)

2) Siswa mencatat hal yang mereka temukan dalam kegiatan mereka sesuai dengan alat observasi yang telah mereka tentukan sebelumnya.

b. Di kelas

1) Siswa mendiskusikan hasil temuan mereka sesuai dengan kelompoknya masing-masing.

2) Siwa mendiskusikan hasil temuan mereka keseluruh kelompok dikelas, sehingga terjadilah kegiatan eksplorasi, elaaborasi dan konfirmasi yang dikemas dalam diskusi kelompok dan antar kelompok.

3) Diperoleh hasil sebagai berikut darui setiap kelompok: Panjang potongan =

Tinggi kotak (cm) 1 2 3 4 5 6 7 8

Panjang kotak (cm) … … … …

Lebar kotak (cm) … … … …

Volume kotak (cm3) … … … …

Dengan memisalkan panjang potongan dengan variabel x, secara bersama-siswa mampu mebuat model matematikanya berbentuk sebagai berikut: Panjang potongan =

tinggi kotak (cm) 1 2 3 4 5 6 7 8 x

Panjang kotak (cm) … … … (24-x)

Lebar kotak (cm) … … … (16-x)

Volume kotak (cm3) … … … x(24-x)(16-x)

4) Tampak bahwa baik panjang, lebar, maupun volume berbeda-beda sesuai ukuran persegi pemotong dipojoknya.

5) Dikatakan bahwa panjang, lebar, dan volume kotak yang terjadi merupakan fungsi panjang persegi pemotongnya.

(16)

G. Contoh Masalah Pengenalan Pecahan yang Dikombinasikan dengan Ilmu Agama

Dalam hal ini, siswa akan dikenalkan masalah-masalah matematika konsep pecahan yang berkaitan dengan ilmu agama khususnya hukum waris.

Langkah pembelajaran :

1. Siswa bekerja secara berkelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 6 siswa.

2. Guru memberikan intruksi mengenai pemecahan masalah yang akan diberikan, dengan memanfaatkan lingkungan pesantren siswa diberikan kebebasan dalam mencari jawaban diantaranya dengan menanyakan solusi permasalahan kepada guru yang memiliki kompetensi pada bidangnya, dalam hal ini guru agama.

3. Guru memberi masalah yang berbeda untuk tiap kelompok. a. Kelompok 1

Seorang laki-laki meninggal dunia dengan meninggalkan warisan sebesar Rp 48.000.000,-. Ahli warisnya ada 4 orang, yang terdiri dari: istri, satu ibu kandung (janda), dua anak kandung (1 laki-laki dan 1 perempuan). Bagaimana pembagian warisannya dan berapa uang yang didapat masing-masing ahli waris?

Jawab:

Ibu (yang janda) mendapat bagian karena ada anak. Sementara istri mendapat bagian 1

8 karena ada anak.

Sedang bagian anak laki-laki dan bagian anak perempuan adalah 2 : 1.

Bagian Ibu adalah

⁄ Bagian Istri adalah

⁄ Bagian Anak adalah

Karena perbandingan bagian anak laki-laki dan perempuan adalah 2:1 maka dapat dihitung:

Bagian anak laki-kali adalah

(17)

⁄ b. Kelompok 2

Jika ada laki-laki yang meninggal memiliki WARISAN Rp. 30.000.000,00 dan mempunyai anggota keluarga sebagai berikut: 4 anak perempuan, sepasang orang tua dan 1 istri. Bagaimana pembagian warisannya? Berapa yang didapat masing-masing ahli waris?

c. Kelompok 3

Seorang suami meninggal dunia dengan mewariskan Rp. 40.000.000,- dan meninggalkan seorang istri, saudara kandung, dan 2 anak kandung (laki-laki). Bagaimana pembagiannya?

d. Kelompok 4

Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan ayah kandung, ibu kandung, serta saudara kandung. Dia mewariskan harta sebesar Rp. 34.000.000,-. Bagaimana pembagian warisannya?

4. Perwakilan kelompok maju untuk mempresentasikan jawaban hasil diskusi kelompok.

5. Kelompok yang lain memberikan tanggapan dan masukan dari hasil presentasi.

6. Guru bersama siswa membahas hasil presentasi

H. Penutup

(18)

atau boarding yang berbasis agama. Para orang tua lebih merasa aman dan percaya bahwa anak mereka bisa terbentuk karakternya tetapi juga tetap bisa unggul dalam hal pelajaran umum.

Oleh sebab itu, dibutuhkan penggunaan pendekatan pembelajaran kontekstual dengan berbasiskan masyarakat untuk meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa pada sekolah asrama berbasis agama. Sangatlah mungkin bahwa pendidikan matematika di Indonesia akan sejajar bahkan melebihi pendidikan matematika di Negara-negara maju yang menerapkan pembelajaran bermakna. Terlebih Indonesia yang kaya akan budaya, mempunyai karakter yang kuat dan latar belakang agama yang bagus sudah seharusnya mampu membawa pembelajaran khususnya matematika menjadi sesuatu yang sangat dekat dengan kehidupan bermasyarakat dan agama sehingga dapat dirasakan maknanya oleh siswa.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2007. Pembelajaran Kontekstual. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama.

______. 2006. Pembelajaran Berbasis Kontekstual. Depertemen Pendidikan Nasional

______. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Al-krismanto. 2003. Beberapa Teknik, Model, dan Strategi dalam Pembelajaran Matematika. Yogyakarta : PPPG Matematika. Dhofier, Zamakhsyari. 1985. Tradisi Pesantren: Studi Tentang

Pandangan Hidup Kyai. Jakarta : LP3ES.

Hasbullah. 1999. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia : Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

http://id.wikipedia.org/wiki/Pondok_pesantren.

(19)

Krulik, S & Rudnick. 1999. Innovative Tasks to Improve Critical- and Creative-Thinking Skills. Developing Mathematical Reasoning in Grades K-12 .

S. Wojowasito. 2001 . Kamus Umum Belanda-Indonesia. PT. Ichtiar Baru van Hove.

Sanjaya, Wina. 2011. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta : Kencana Prenada Media.

Referensi

Dokumen terkait

Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya kejenuhan kerja ( burnout ) pada perawat, yaitu seperti konsep diri, motivasi kerja, tuntutan tugas,

Manajemen sumber daya manusia adalah suatu proses menangani berbagai masalah pada ruang lingkup karyawan, pegawai, buruh, manajer dan tenaga kerja lainnya untuk dapat

Peraturan Presiden Rl Nomor 94 Tahun 2006 tentang Perubahan ketiga atas Pe6turan Presiden Rl Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fufgsi, suslnan Orsanisasl dan

 Siswa dalam setiap kelompok diarahkan untuk menyelesaikan masalah yang diberikan menggunakan konsep titik, garis dan bidang, serta kedudukan dua

Dengan adanya upaya-upaya dari pihak Dinas Pendidikan Kota Makassar Untuk Meningkatkan Minat Baca Siswa Di Sekolah Menengah Atas Negeri 12 Makassar memberikan hasil

pengaruh perputaran piutang, perputaran modal kerja, dan rasio utang terhadap tingkat likuiditas perusahaan pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia1. Adapun

[r]

[r]