• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor risiko miopia pada pengguanaan me

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Faktor risiko miopia pada pengguanaan me"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mata adalah jendela dunia. Segala yang terpapar di dunia akan bisa kita nikmati bila mata kita sehat. Mata dikatakan sehat apabila fungsinya sempurna sebagai indera penglihatan. Tak terbayangkan apa yang terjadi jika Tuhan tidak menganugerahkan mata kepada kita. Dunia tentu akan gelap gulita. Meski memiliki fungsi yang sangat vital, namun tidak semua orang bisa menjaga organ matanya agar tetap sehat. Disadari atau tidak, banyak hal yang menyebabkan mata terganggu. Hal ini bisa disebabkan oleh faktor pekerjaan, kondisi lingkungan maupun kebiasaan.1

Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan Dr. Sri Astuti Soeparmanto, MSc.PH mengatakan, sekitar 3,1 juta (1.5%) penduduk Indonesia saat ini mengalami kebutaan. Penyebab kebutaan yang terbesar adalah karena katarak (0,78%), glaucoma (0,20%), kelainan refraksi (0,14%), gangguan retina (0,13%) dan kelainan kornea (0,10%). Data tersebut berdasarkan Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1993-1996 walaupun sudah 10 tahun tetapi data tersebut masih valid.2 Berdasarkan data 2006, menurut Ketua Komnas Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan (PGPK) Tjahjono D. Gondhowiardjo, Indonesia menempati peringkat tertinggi di Asia dalam angka kebutaan. Salah satu penyebab kebutaan khususnya pada anak-anak adalah seringnya bermain game di TV.2

Survei morbiditas (angka perbandingan orang sakit) yang dilakukan Departemen Kesehatan 2002 menunjukkan, kelainan refraksi termasuk gangguan paling menonjol diantara deretan 10 penyakit mata utama. Demikian juga di kalangan anak-anak berdasarkan survei mata pada 100 SD di wilayah Jakarta yang diselenggarakan Dinas Kesehatan DKI bekerja sama dengan Perdami Jaya 2002-2005. Hasilnya 11,67 % murid SD menderita kelainan refraksi.3

(2)

sekolah di DIJ. Sebanyak 12 SD dari perkotaan dan 11 SD dari pedesaan. Selain itu juga dihasilkan prevalensi di SD perkotaan 9,49 persen dan prevalensi di SD pedesaan 6,87 persen. Dari keseluruhan penderita miopia, sebanyak lima persennya tergolong penderita parah (ukuran kacamata lebih dari lima dioptri). Menurut Kepala Poliklinik Bagian Mata Rumah Sakit Sardjito dr Agus Supartoto sebagian besar penderita miopia adalah anak-anak di daerah perkotaan. Selain itu, 30 persen penderita miopia berasal dari keluarga mampu atau kelas ekonomi menengah ke atas.4

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter Umum FKUI, Jakarta yang sedang menjalani kepaniteraan Ilmu Kedokteran Komunitas Bidang Pediatri Sosial di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pada Februari 2006 tentang prevalensi (kejadian) miopia pada 127 siswa kelas V dan VI SD di Manggarai, Jakarta Selatan, didapatkan dari 127 anak, hanya 31 persen anak yang memiliki tajam penglihatan normal 6/6 atau lebih (artinya dengan jarak lihat 6 meter dapat membaca huruf pada Snellen chart yang seharusnya dapat dibaca pada jarak 6 meter atau kurang). Enam puluh anak (47 persen) menderita miopia dan sisanya (22 persen) mengalami kelainan refraksi nonmiopia maupun kelainan organik yang memang tidak dinilai pada penelitian ini.5

Prevalensi 47 persen ini hampir serupa dengan penelitian lain pada 37 siswa kelas VI SD di daerah Menteng (Julie DB, 2004) dengan prevalensi miopia 49 persen. Pada penelitian pendahuluan yang dilakukan pada 36 siswa SD kelas V dan VI di daerah Paseban, Jakarta, juga mendapatkan hasil mirip, yakni 44,4 persen anak mengalami miopia, meskipun anak dengan tajam penglihatan normal sedikit lebih tinggi, yaitu 41 persen. Ketiga hasil prevalensi yang lebih kurang sama (44 persen-49 persen) dari tiga daerah yang berbeda itu saling menguatkan tingginya prevalensi miopia pada anak sekolah di Jakarta. 5

(3)

1.2 Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut dan tingginya akses media elektronik visual pada anak usia sekolah serta efek yang ditimbulkannya maka peneliti tertarik untuk membuat penelitian mengenai ada tidaknya hubungan antara penggunaan media elektronik visual terhadap timbulnya miopia.

1.3 Pertanyaan Penelitian

1.3.1 Apakah ada hubungan penggunaan media elektronik visual terhadap timbulnya miopia pada siswa SMA Negeri 4 Banda Aceh.

1.3.2 Seberapa besar kemungkinan penggunaan media elektronik visual secara benar dapat mengurangi timbulnya miopia pada siswa SMA Negeri 4 Banda Aceh yang menggunakan media elektronik visual. 1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan penggunaan media elektronik visual terhadap timbulnya miopia pada siswa SMA Negeri 4 Banda Aceh. 1.4.2 Tujuan Khusus

Untuk mengetahui Odd Ratio miopia pada siswa SMA Negeri 4 Banda Aceh yang tidak sering menggunakan media elektronik visual.

1.5 Hipotesis

Terdapat hubungan antara penggunaan media elektronik visual terhadap kejadian timbulnya miopia.

1.6 Manfaat Penelitian

1.6.2 Sebagai informasi kepada semua kalangan yang membaca penelitian ini tentang ada tidaknya efek miopia yang ditimbulkan akibat penggunaan media elektronik visual.

1.6.3 Memberikan sumbangan pemikiran dan bahan masukan bagi penelitian lebih lanjut.

1.7 Ruang Lingkup

(4)

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Miopia

2.1.1 Definisi Miopia

Merupakan keadaan refraksi mata, dimana sinar sejajar yang datang dari jarak tak terhingga, oleh mata dalam keadaan istirahat , dibiaskan di depan retina, sehingga pada retina didapatkan lingkaran difus dan bayangan kabur. Cahaya yang datang dari jarak yang lebih dekat, mungkin dibiaskan tepat di retina, tanpa akomodasi.6

2.1.2 Epidemiologi

Miopia tidak sering pada bayi dan anak prasekolah. Insiden miopia meningkat selama selama tahun-tahun sekolah, terutama sebelum dan pada usia sepuluhan. Tingkat miopia semakin tua juga cenderung meningkat selama tahun-tahun pertumbuhan.7

Pada anak, kelainan refraksi (pembiasan cahaya) merupakan penyebab utama gangguan tajam penglihatan, yang sekitar 90 persennya merupakan miopia (rabun jauh).5

Prevalensi penderita gangguan refraksi di seluruh dunia berkisar 800 juta hingga 2,3 milyar orang. Di beberapa negara seperti Jepang, Singapura dan RRC, 44% dari populasi penduduk usia dewasa mengalami miopia.8

Di Australia, prevalensi miopia diperkirakan mencapai 17 %. Dari penelitian didapatkan 1 dari 10 penduduk Australia yang berusia antara 4 hingga 12 tahun telah mengalami miopia lebih dari – 0,5 D.8

Berdasarkan penelitian tahun 2005 di Brazil, didapatkan bahwa 6,4 % penduduk Brazil yang berusia antara 12 hingga 59 tahun mengalami miopia -1,00 D atau lebih. Serta didapatkan 1 dari 8 pelajarnya mengalami miopia.8

Di Perancis, prevalensi miopia pada pelajar usia 15 – 18 tahun didapatkan mencapai 36,8 %. Sementara di Amerika Serikat, prevalensi miopia didapatkan sebanyak 20 %, dimana 1 dari 10 penduduk Amerika yang berusia 5 hingga 17 tahun mengalami miopia.8

(5)

a. Miopia Aksial

Disebabkan jarak anterior posterior terlalu panjang. Dapat merupakan kelainan kongenital ataupun akwisita, juga ada faktor herediter. Yang kongenital didapatkan pada makrofthalmus.

Sedangkan yang akwisita terjadi bila :

- Anak membaca terlalu dekat, maka ia harus berkonvergensi berlebihan. M.rektus internus berkontraksi berlebihan, bola mata terjepit, oleh otot-otot mata luar, yang menyebabkan polus posterior mata memanjang.

- Muka yang lebar juga menyebabkan konvergensi berlebihan, bila hendak mengerjakan pekerjaan dekat, sehingga menimbulkan hal yang sama seperti di atas.

- Bendungan, peradangan atau kelemahan dari lapisan yang mengelilingi bola mata disertai dengan tekanan yang tinggi, disebabkan penuhnya vena dari kepala, akibat membungkuk, dapat menyebabkan tekanan pula pada bola mata, sehingga polus posterior menjadi memanjang.

b. Miopia Pembiasan

Penyebabnya dapat terdapat pada:

- Kornea : kongenital, keratokonus dan keratoglobus.

- Lensa : Lensa terlepas dari Zonula Zinni, pada luksasi lensa atau subluksasi lensa, oleh kekenyalannya sendiri lensa menjadi lebih cembung. Pada katarak imatur, akibat masuknya humor akueus, lensa menjadi cembung.

- Cairan mata : Pada penderita diabetes mellitus yang tak diobati, kadar gula dari humor akueus meninggi, menyebabkan daya biasnya meninggi pula.

(6)

Oleh karena orang miopia jarang melakukan akomodasi, maka jarang miosis, jadi pupilnya midriasis. Mm. Siliarisnya pun menjadi atrofi, menyebabkan iris letaknya lebih ke dalam, sehingga bilik mata depan menjadi lebih dalam.

Pada miopia tinggi didapatkan : a. Bola mata lebih menonjol b. Bilik mata depan yang dalam c. Pupil relatif lebih lebar

d. Iris tremulans yang menyertai mencairnya badan kaca e. Kekeruhan badan kaca (obscurasio corpori vitrei) f. Kekeruhan di polus posterior lensa

g. Stafiloma posterior, fundus trigoid di polus posterior retina

h. Atrofi koroid berupa fresen miopía atau anular match, di sekitar papil, berwarna putih dengan pigmentasi di pinggirnya.

i. Perdarahan, terutama di daerah makula, yang mungkin masuk ke dalam badan kaca.

j. Proliferasi sel epitel pigmen di daerah makula (Forster Fuchs black spot) k. Predisposisi untuk ablasi retina

Pada miopia simplek didapatkan : a. Mata lebih menonjol

b. Bilik mata depan yang dalam

c. Pupil yang relatif lebar tetapi tidak disertai kelainan di bagian posterior mata. d. Dapat terlihat kresen miopia yang tampak putih di sebelah temporal papil,

sedikit atrofi dari koroid yang superfisial, sehingga pembuluh darah koroid yang lebih besar tampak lebih jelas membayang.

Tanda Subjektif 6

(7)

timbul astenovergens dengan keluhan : lekas capai, pusing, silau, mengantuk, melihat kilatan cahaya. Pada miopia tinggi, disertai mata menonjol, bilik mata yang dalam dan pupil yang lebar, penderita mencoba menutup sebagian kelopak matanya, untuk mengurangi cahaya yang masuk, sehingga penderita tak mencobanya lagi, dengan mengakibatkan strabismus divergens. Strabismus divergens dapat pula timbul akibat penderita sedikit melakukan akomodasi, sehingga kurang pula melakukan konvergensi.

2.1.5 Prognosis :

Miopia simpleks, dengan koreksi yang baik, disertai dengan pemeliharaan kesehatan mata dan badan yang baik, prognosisnya baik. Miopia progresif, yang disertai penyulit yang gawat, kadang-kadang membutuhkan pengurangan bahkan penghentian dari pekerjaan dekat. Miopia maligna prognosisnya buruk. 6

2.1.6 Koreksi :

Dilakukan dengan pemberian lensa sferis negative (S-) sekecil-kecilnya (K), yang memberikan perbaikan visus yang maksimal (M).6

(8)

sedikit dari koreksi penuh, untuk dekat 2/3 dari koreksi penuh, untuk mengurangi efek prisma dari lensa yang tebal. 6

2.2. Metode Refraksi

Penentuan koreksi refraktif seorang pasien dapat diperoleh dengan cara objektif atau subjektif dan paling baik apabila dicapai melalui kombinasi kedua metode tersebut.

a. Refraksi Objektif 9

Refraksi objektif dilakukan dengan retinoskopi. Seberkas cahaya, yang dikenal sebagai intercept, diproyeksikan ke mata pasien untuk menghasilkan pantulan berbentuk sama, reflek retinoskopik, di pupil. Kesejajaran antara intercept

dan reflek retiskopik menandakan adanya hanya kesalahan sferis, atau kesalahan silindris tambahan dengan intercept bersesuaian dengan salah satu meridian utama. Rotasi berkas yang diproyeksikan akan menentukan yang mana yang berlaku dan letak meridian utama lainnya pada kasus kesalahan silindris.

Intercept kemudian disapukan melintasi pupil pasien dan efek pada reflek retinoskopik dicatat. Apabila efek tersebut begerak dalam arah yang sama (bersama gerakan), maka ditempatkan lensa plus di depan mata pasien; dan apabila efek tersebut bergerak dalam arah yang berlawanan (melawan gerakan), maka ditambahkan lensa minus sampai reflek pupil mengisi seluruh apertura pupil dan tidak lagi terdeteksi adanya gerakan (titik netralisasi). Apabila titik netralisasi telah tercapai, maka kesalahan refraktif pasien telah dikoreksi dengan suatu koreksi tambahan yang berkaitan dengan jarak anatara pasien dan pemeriksa (jarak kerja). Daya sferis yang setara dengan kebalikan dari jarak kerja (diukur dalam meter) dikurangi untuk mengkompensasi koreksi tambahan ini dan memperoleh koreksi reraktif pasien. Jarak kerja biasanya 2/3 m, dan dengan demikian koreksi yang harus dikurangi untuk jarak kerja biasanya 1,5 D

(9)

b. Refraksi Subjektif 10

Kira-kira pada tahun 1854 orang telah mulai menyelidiki ketajaman penglihatan (visus) dengan menggunakan huruf-huruf dari berbagai ukuran. Pada tahun 1862 Snellen telah membuat “Optotype” (model huruf) yang didasarkan pada pendapat Donders, bahwa suatu mata masih dapat terlihat dalam sudut sekurang-kurangnya 10 (sudut penglihatan minimal). Dengan menggunakan Snellen Chart maka dapat dilakukan pemeriksaan tajam penglihatan sebagai berikut:

1. Ketajaman penglihatan ini diperiksa untuk masing-masing mata. Salah satu mata ditutup dengan sebuah penutup yang dipasang pada gagang (frame) kacamata. Kemudian orang yang akan diperiksa duduk pada suatu jarak tertentu (d) dari lembaran huruf Snellen Chart.

2. Dilakukan pemeriksaan barisan-barisan huruf yang masih dapat dikenal sampai pada barisan huruf yang terkecil

3. Dilakukan pencatatan ketajaman penglihatan (visus) dari mata itu. Ketajaman penglihatan ini dinyatakan dengan rumus Snellen :

V = d / D dimana, V = visus (ketajaman penglihatan)

d = Jarak mata orang yang diperiksa dari Snell Chart (meter)

D = Ukuran jarak dimana mata normal masih dapat mengenal barisan huruf pada Snellen Chart (ukurannya dicantumkan pada pinggir masing-masing barisan huruf)

Biasanya dipilih jarak d = 6, sebab objek yang terlihat oleh mata dan berjarak 6 m atau lebih dari mata akan difokuskan di retina mata olehmedia refrakta tanpa akomodasi.

Untuk menilai daya refraksi (pembiasan cahaya) dari mata maka dapat dipergunakan lensa percobaan (berbagai ukuran) dengan cara :

1. Pemeriksaan refraksi untuk masing-masing mata. Orang pemeriksaan didudukkan pada jarak 6 m dari Optotype (Snellen Chart). Dipasangkan gagang kacamata. Sebelah mata yang tidak diperiksa ditutup dengan penutupnya.

(10)

3. Bila orang percobaan dapat mengenal barisan huruf sampai ukuran terkecil (ukuran 6 m) maka visusnya adalah 6/6. Dilakukan pengujian apakah mata tersebut benar-benar emetrop dengan pemasangan lensa sferis + 0,25 D 4. Jika visusnya (tanpa lensa) sekurang-kurangnya sudah 6/6, maka praktis tidak

mungkin Miopia (M) dan mata tersebut adalah Emetrop (E) tanpa akomodasi. Oleh karena itu pemeriksaan refraksi ini kita mulai dengan sebuah lensa sferis + 0,25 D. Dengan lensa ini mata E akan menjadi miop (miop buatan) dan visusnya menjadi lebih kecil. Tetapi mata hipermetrop akan tertolong dengan lensa ini dan akan kurang berakomodasi sebesar + 0,25 D. Bila dengan lensa + 0,25 D mata tersebut mempunyai visus yang sama, ini menunjukkan bahwa mata tersebut sekurang-kurangnya adalah H – 0,25 D. 5. Percobaan ini diulang dengan lensa sferis + 0,5 D dan selanjutnya

berturut-turut dengan lensa yang lebih kuat (tiap kali dinaikkan 0,25 D). Lensa positif terkuat yang didapatkan dimana visusnya maksimal adalah ukuran kekuatan lensa untuk hipermetrop.

6. Bila visus tanpa lensa tadi kurang dari 6/6, maka mata itu biasanya adalah Miopia. Maka dimulai mengkoreksi visusnya dengan menggunakan lensa sferis negatif terkecil yang secara perlahan-lahan dinaikkan sebesar – 0,25 D sampai tercapai visus terbaik. Nilai miopia ditentukan oleh lensa negatif yang terlemah dimana diperoleh visus terbaik.

c. Refraksi Siklopegik 9

(11)

2.3. Penggunaan Media Elektronik Visual

Ilmu pengetahuan yang terus mengalami perkembangan akan senantiasa menghasilkan produk-produk teknologi terbaru. Kemajuan teknologi akan senantiasa diikuti oleh dampak terhadap kehidupan manusia, ada dampak positif dan ada pula dampak negatif. 11

Media massa elektronik adalah alat atau sarana penyampaian informasi dan pesan-pesan secara audio dan /atau visual kepada masyarakat luas antara lain berupa radio, televisi, film, internet.12

Demikian pula halnya dengan komputer. Jika sebelum era milenium ini komputer merupakan barang mewah, maka sekarang komputer sudah mulai memasyarakat. Bahkan anak Taman Kanak-Kanak pun sudah mulai diajar mengoperasikan komputer. Jika sebelum ini komputer hanya digunakan dalam pengolahan data saja, maka sekarang berkirim surat kita hanya perlu waktu dibawah satu menit untuk tujuan seluruh dunia dengan komputer.11

2.3.1 Komputer

Jika dulu aplikasi komputer terbatas maka sekarang aplikasinya sudah semakin luas. Dan hal lain yang lebih menarik adalah orang sudah biasa berlama-lama berada di depan monitor atau layar komputer. Orang tidak merasa jenuh atau bosan karena aplikasi yang semakin luas dari komputer itu menjadikannya sebagai bahan yang sangat menarik. Layar ataupun monitor komputer yang sering kita pandang dapat mempunyai dampak negatif bagi kesehatan. Lelah mata mungkin merupakan hal yang biasa, tetapi lelah yang terlalu lama akan menyebabkan mata menjadi merah dan berair. Jika hal ini juga dianggap biasa maka gangguan syaraf akan terjadi yang bisa saja membuat mata menjadi tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Mata merah bukan hanya disebabkan kelelahan saja, akan tetapi ada lagi penyebab lain yang mungkin terjadi pada layar atau monitor komputer yang kita gunakan yakni apa yang disebut sebagai radiasi.11

(12)

Salah satu usaha untuk mengurangi bahaya radiasi ini adalah dengan menempatkan filter atau lebih terkenal dengan sebutan screen filter. Akan tetapi pemakaian filter aini belum memuaskan. Maka perusahaan pembuat komputer meluncurkan produk layar monitor yang disebut sebagai monitor low radiation.11

Sekarang ini monitor yang terbaru bukan saja untuk menampilkan output dari komputer, akan tetapi dapat pula difungsikan menjadi pesawat televisi yang dapat pula dipakai sebagai penyiaran saluran televisi, dan penayangan video. Dalam upaya menjadikan monitor sebagai multi fungsi tentu saja ada komponen atau peralatan khusus yang dipasang pada komputer tersebut, diantaranya internal speaker, video receiver board dan video cassette recorder. Walaupun perkembangan komputer dan monitornya sudah sangat canggih, kita tetap perlu waspada terhadap dampak yang ditimbulkan oleh monitor tersebut terhadap kesehatan.11

Beberapa gangguan kesehatan dicurigai dari radiasi monitor diantaranya: katarak, epilepsi, cacat bawaan bahkan sampai gangguan seksual. Jika kita telaah ternyata katarak disebabkan oleh proses menua dan sinar ultraviolet. Sementara nyeri pada mata ataupun mata berair maupun mata kabur bukanlah disebabkan oleh mata lelah. Walaupun demikian mata lelah dapat disebabkan oleh terlalu lama berada di depan layar monitor komputer. Untuk itu kepada para pemakai komputer disarankan mangatur jarak antara mata dengan layar monitor supaya jangan terlalu dekat (minimal 0,5 meter) dan jangan terlalu berlama-lama mengoperasikan komputer. Jika terpaksa harus bekerja dalam waktu yang lama, maka disarankan untuk mengambil waktu jeda supaya membolehkan mata melakukan istirahat, misalnya dengan melihat pepohonan hijau. 11

2.3.2 Televisi

Televisi mengenalkan sistem multimedia dalam bentuk yang lebih maju. Televisi mengenalkan kita atas dunia suara dan dunia gerak, warna dan gambar. Kehadirannya tidak pernah lepas dari akibat-akibat sampingan.13

Berbagai tulisan, kertas kerja, dan penelitian bahkan seminar-seminar, lokakarya, symposium yang ditulis dan dibicarakan oleh para pakar dan para ahli dibidangnya memperdebatkan dampak negatif yang ditimbulkan oleh media televisi yang sebenarnya sudah merebak sejak kelahirannya pada era tahun 1950. 14

(13)

bawah 3 tahun melihat layar kaca itu rata 2 jam sehari dan anak 3 - 5 tahun rata-rata 3 jam sehari.14

Acara televisi memiliki daya informasi yang luar biasa kuat kepada anak-anak, karena hampir 90% waktu anak dihabiskan di rumah dan menonton televisi. Sebanyak 1.523 anak di Jepang dilaporkan mengalami mual-mual, muntah, pusing, dan mata pedih akibat terlalu banyak menonton tokoh kartun yang tengah booming kala itu,

Pokemon edisi Computer Warrior Porigon produksi 1997. Menurut tim medis yang memeriksa kasus ini, gejala itu akibat efek dari sinar warna merah yang menyilaukan yang terpancar dari mata tokoh Pikachu.15

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Karnadi (staf Bidang Pengembangan Model dan Sistem Pembelajaran) dan Sutisno (peneliti pada Pustekkom Depdiknas), yang mengambil sampel pada siswa SMA dan mahasiswa, dari jawaban yang berhasil dijaring dari pertanyaan lama menonton adalah sebanyak 540 dari 548 responden. Jawaban responden terhadap lama tonton televisi adalah cukup merata. Sebanyak 112 responden (20,73%) mengaku menonton hanya kurang dari satu jam setiap harinya. Ada 99 responden (18,4%) mengatakan menonton televisi setiap hari rata-rata 2 jam. Sementara itu ada 125 responden (23,14%) menonton televisi rata-rata tiga jam, 126 responden lain (23,33%) menonton empat jam. Sedangkan 78 responden (14,4%) mengaku menonton lebih dari lima jam.16

2.4 Penggunaan Media elektronik Visual berisiko

Gaya hidup modern, seperti main game, nonton televisi dengan kebiasaan melihat dari jarak dekat, termasuk saat membaca, tanpa banyak disadari menjadi ancaman kesehatan mata anak-anak sekolah. Menurut Suhardjo, gaya hidup modern perkotaan, menjadi salah satu penyebab tingginya gangguan refraksi mata pada anak-anak usia sekolah. Gangguan refraksi membuat kemampuan mata melihat sebuah obyek secara jelas terganggu. Menonton televisi, bermain game, dan membaca lama dalam jarak dekat akan memaksa mata bekerja keras. Dalam jangka waktu lama akan bisa merusak kemampuan mata.4

(14)

melakukan aktivitas bermain indoor (di dalam ruang) yang jarang menggunakan penglihatan jauh. Faktor gaya hidup ini didukung tingginya akses anak terhadap media aktivitas visual. 5

Menurut Bambang Triwiyono kumpulan gejala atau sindroma pada mata diakibatkan oleh penggunaan komputer secara terus-menerus, lebih dari empat jam sehari. Lamanya penggunaan komputer merupakan faktor yang menentukan. Penggunaan komputer yang dianjurkan adalah tidak lebih dari empat jam sehari. Bila lebih dari waktu tersebut, mata cenderung mengalami refraksi. Seandainya penggunaan dalam tempo lebih dari empat jam itu tak bisa dihindari, frekuensi istirahatnya harus lebih sering.17

Mata juga mudah rusak jika menonton TV dari jarak yang terlalu dekat. Jarak nonton TV paling tidak 3 m, atau 5 kali lipat lebar diagonal layar kaca, karena sinar pada televisi bisa merusak lensa mata.18

2.5 Penggunaan Media elektronik Visual Kurang berisiko

Kelainan/gangguan penglihatan juga berpengaruh pada hubungan sosial. Secara keseluruhan gangguan penglihatan ini menurunkan kualitas SDM. Sri Astuti Soeparmanto menjelaskan bahwa untuk mengurangi risiko mengalami kebutaan atau gangguan penglihatan, harus dilakukan tiga hal. Pertama pencegahan primer, yaitu pencegahan terjadinya penyakit penyebab kebutaan, antara lain dengan memberikan gizi yang baik dan seimbang untuk mencegah katarak dan kekurangan Vitamin A, mengatur jarak menonton TV dan jarak baca pada anak-anak untuk mencegah kelainan refraksi dan mengontrol tekanan bola mata secara teratur pada usia di atas 40 tahun. Kedua pencegahan sekunder, yaitu pencegahan hilangnya ketajaman penglihatan akibat penyakit yang sedang diderita, misalnya dengan cara menjalani operasi bagi penderita katarak, dan memakai kacamata koreksi bagi penderita kelainan refraksi, dan ketiga pencegahan tersier yaitu pemulihan penglihatan pada orang yang buta.3

Untuk mencegah terjadinya kelainan refraksi pada anak hendaknya diperhatikan hal-hal berikut : 19

- Duduk dengan posisi tegak ketika menulis.

- Istirahatkan mata setiap 30 menit setelah membaca, menulis atau menonton TV. - Atur jarak baca yang tepat (30 cm).

- Gunakan penerangan yang cukup.

(15)

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep

Sesuai dengan judul penelitian yaitu hubungan penggunaan media elektronik visual terhadap timbulnya miopia pada siswa SMA negeri 4 Banda Aceh, maka disusun kerangka konsepsional yang berfokus pada dua faktor yang berhubungan dengan timbulnya miopia pada siswa SMA negeri 4 Banda Aceh yaitu: penggunaan media elektronika visual berisiko dan penggunaan media elektronika visual yang kurang berisiko.

Retrospektif Retrospektif

Penggunaan media elektronika visual

yang berisiko Penggunaan media

elektronika visual yang kurang berisiko

Penggunaan media elektronika visual

yang berisiko Miopia (+)

Penggunaan media elektronika visual yang kurang berisiko

(16)

3.2. Definisi Operasional

Alat ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala Ukur

Kuisioner Wawancara - Penggunaan berisiko

- Penggunaan kurang berisiko

(17)

3.3 Cara Pengukuran Variabel 3.3.1. Variabel Dependent

Miopia pada siswa SMA

- Kasus : Siswa SMA Negeri 4 Banda Aceh kelas 1 dan 2 yang menderita miopia

- Kontrol : Siswa SMA Negeri 4 Banda Aceh kelas 1 dan 2 yang tidak menderita miopia

Miopia ditentukan melalui pemeriksaan visus secara subjektif dengan menggunakan Snellen Chart.

- Responden membaca huruf pada Snellen Chart pada masing-masing mata dari jarak 6 M atau 20 kaki, dinilai ketajaman visus masing-masing mata tersebut..

- Lalu dilakukan uji refraksi dengan koreksi lensa sferis positif, lensa sferis negatif untuk mengetahui adanya gangguan miopia ataupun gangguan refraksi lainnya.

- Responden yang mengalami perbaikan visus pada salah satu atau kedua mata dengan koreksi lensa sferis negatif adalah responden dengan ganguan miopia.

3.3.2. Variabel Independent

Penggunaan media elektronika visual

1. Penggunaan yang berisiko : Penggunaan media televisi (termasuk playstation) atau komputer yang memenuhi kedua kriteria berikut :

a. Jarak Pandang : - Komputer : < 50 cm

- Televisi / playstation : < 5 kali diagonal TV Televisi 14 inch : < 1,75 M

Televisi 21 inch : < 3 M Televisi 29 inch : < 4 M

b. Durasi : Lebih dari 4 jam secara terus menerus atau tanpa diselingi istirahat ±15 menit

(18)

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional yang dilakukan secara case control, yaitu untuk mengetahui besarnya risiko relatif pada pengguna media elektronika televisi dan komputer terhadap timbulnya miopia pada siswa SMA Negeri 4 Banda Aceh melalui cara observasi klinik non randomize dari Siswa SMA Negeri 4 Banda Aceh.

4.2 Lokasi dan waktu Penelitian 4.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 4 Banda Aceh 4.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan sejak tanggal 12 Maret 2007 sampai 05 Mei 2007. Pengambilan data dilakukan pada tanggal 23 s/d 30 April 2007 4.3 Populasi Penelitian

Populasi penelitian adalah seluruh siswa SMA Negeri 4 Banda Aceh

4.4 Responden Penelitian

Responden penelitian adalah kelompok kasus yang mengalami miopia dan kelompok kontrol yang tidak mengalami miopia.

4.5 Sampel Penelitian 4.5.1 Kriteria Sampel

Pada penelitian ini kriteria sampel adalah kasusyaitu siswa SMA negeri 4 Banda Aceh kelas 1 dan 2 yang menderita miopia dan kontrol yaitu siswa SMA negeri 4 Banda Aceh kelas 1 dan 2 yang tidak menderita miopia, dengan pemilihan kelompok control tanpa melakukan pencocokan (unmatching)

4.5.2 Besar Sampel

Jumlah sampel yang diambil ditentukan berdasarkan rumus : Z  / 2 + Zβ √ PQ 2

n =

(P-1/2)

P = OR/ [1+OR]

(19)

Z adalah nilai baku normal yang besarnya tergantung pada nilai  yang ditentukan.Untuk  = 0,05, maka Z adalah 1,96.

Zβ adalah nilai baku normal yang besarnya tergantung pada nilai β yang ditentukan. Untuk β = 0.10, maka Zβ adalah 0,842.

P adalah jumlah penderita miopia

Berdasarkan rumus di atas, besar sampel minimal pada studi kontrol hanya bergantung pada OR, Z, Zβ, tetapi tidak bergantung pada proporsi kontrol. Berapa pun proporsi kontrol, bila diketahui  = 0,05; β = 0,10 dan OR = 2 (jadi P = 2/ [1+ 2] = 2/3 dan Q = 1/3), maka :

n1 = n2 = Z  / 2 + Z β √ PQ 2 (P-1/2)

= 1,96 / 2 + 0,842 √2/3 x 1/3 2 = 76 (2/3 – 1/2)

4.5.3 Cara Pengambilan Sampel

Pada penelitian ini sampel diambil dari seluruh populasi terjangkau yaitu siswa SMA negeri 4 Banda Aceh kelas 1 dan 2 yang mempunyai gangguan refraksi mata berupa miopia sebagai kelompok kasus dan yang tanpa miopia sebagai kelompok kontrol.

4.6 Cara Pengambilan data

Data diambil dengan cara wawancara dan pemeriksaan refraksi mata selama masa penelitian berlangsung.

4.7 Manajemen Data 4.7.1 Koding

Koding yaitu pemberian kode pada data yang diperoleh untuk memudahkan pengumpulan data.

4.7.2 Editing

Editing yaitu memeriksa kembali data untuk menghindari kesalahan data, menjamin data sudah lengkap dan benar.

4.7.3 Tabulating

(20)

4.7.4 Cleaning

Cleaning yaitu mengevaluasi kembali data untuk menghindari kesalahan dalam pengumpulan data.

4.8 Analisa Data

Analisa data akan ditampilkan dalam bentuk Odds ratio dan Analisa Bivariat 4.8.1 Analisa Univariat

Data yang diperoleh dari hasil wawancara, pengamatan dan pemeriksaan kemudian dicatat dan dikumpulkan dan disajikan dalam bentuk tabel. 4.8.2 Odds ratio

Resiko relatif dihitung secara tidak langsung yaitu dengan mencari odds ratio (OR).

OR=(Proporsi kasus dengan faktor resiko)/(proporsi kasus tanpa faktor resiko) (Proporsi kontrol dengan faktor resiko)/(proporsi kontrol tanpa faktor resiko)

4.8.3 Analisa Bivariat

Analisa bivariat digunakan untuk menguji hipotesis dengan menentukan hubungan variabel bebas dengan variabel terikat melalui uji statistik chi-square (X2) untuk memperoleh hubungan yang bermakna pada variabel penelitian dengan menggunakan rumus :

X2 =  (0-E)2 E

Keterangan : X2 = Chi Square 0 = Nilai pengamatan E = Nilai yang diharapkan

Adapun ketentuan yang digunakan :

1. Ho diterima apabila X2 hitung < dari X2 tabel, artinya tidak ada hubungan antara penggunaan media elektronik visual terhadap timbulnya miopia.

2. Ho ditolak apabila X2 hitung > dari X2 tabel, artinya ada hubungan antara penggunaan media elektronik visual terhadap timbulnya miopia.

3. Derajat kemaknaan 95 % (  = 0,05)

(21)

BAB V

HASIL PENELITIAN

Penyajian hasil penelitian akan memperlihatkan risiko relatif dan hubungan penggunaan media elekronika visual terhadap timbulnya miopia pada Siswa SMA negeri 4 banda Aceh.

Subyek yang diamati sebanyak 152 orang responden yang terbagi kedalam dua kelompok yaitu kelompok kasus yang mengalami miopia sebanyak 76 orang dan kelompok kontrol yang tidak mengalami miopia sebanyak 76 orang. Kelompok kasus dan kontrol ditentukan dengan pemeriksaan refraksi secara subjektif dengan menggunakan Snellen Chart dan lensa koreksi.

Dari seluruh responden diantaranya terdapat 70 orang responden laki-laki yang terbagi kedalam 35 orang sebagai case dan 35 control, dan 82 responden perempuan yang terbagi ke dalam 41 case dan 41 control.

5.1 Analisa Univariat

Tabel 5.1

Distribusi kasus miopia pada siswa SMA negeri 4 Banda Aceh berdasarkan penggunaan media elektronik visual

Pengguna media elektronik visual

Angka

Kejadian Persentase

Penggunaan 19 25%

yang beresiko

Penggunaan 57 75%

yang kurang beresiko

Jumlah 76 100%

Dari tabel 5.1 terlihat bahwa 19 (25%) siswa yang mengalami miopia mempunyai riwayat penggunaan media elektronik visual yang berisiko, Dan 57 siswa (75%) menggunakan media elektronik visual secara kurang berisiko.

5.2 Odds ratio

(22)

elektronik visual yang berisiko maupun tidak dengan sekelompok pengguna media elektronik visual baik yang berisiko atau kurang berisiko pada kelompok kontrol, dimana mereka tidak mengalami miopia.

Hubungan ini dapat diperlihatkan dengan suatu tabel 2x2 yang nantinya akan dicari besarnya odds ratio pada kasus ini.

Tabel 5.2. Odds Ratio Penggunaan Media Elektronik Visual Terhadap Gangguan Miopia pada Siswa SMA Negeri 4 Banda Aceh

Insiden Total

Positif Negatif

Paparan

Ada a B a+b

Tidak c D c+d

Total a+c b+d (a+b)+(c+d)

Dimana dalam penelitian ini yang menjadi insiden adalah penderita miopia pada siswa SMA yang menggunakan media elektronik visual, dan sebagai paparannya adalah pengguna yang berisiko dan yang kurang berisiko, sehingga adanya paparan berarti mereka yang menggunakan media ini secara tidak benar (berisiko) begitupun sebaliknya.

Tabel 5.3. Distribusi Penggunaan Media Elektronik Visual Terhadap Gangguan Miopia pada Siswa SMA Negeri 4 Banda Aceh

Kejadian Miopia Total Miopia (kasus) Tidak Miopia(kontrol

Penggunaan media

elektronik visual

Penggunaan yang beresiko

19 8 27

Penggunaan yang

Kurang beresiko 57 68 125

Total 76 76 152

Untuk mencari Odds ratio digunakan persamaan :

OR = a / b sehingga persamaannya menjadi : OR = a.d

(23)

Odds Ratio = 19 / 57 = 19 x 68 = 2,833 8 / 68 57 x 8

Hasil ini menunjukkan bahwa yang menggunakan media elektronik visual berisiko 2,83 kali lebih besar untuk terjadi gangguan miopia dari pada mereka yang menggunakannya secara kurang berisiko.

5.3 Analisa Bivariat

Hubungan antara Penggunaan Media elektonik visual terhadap timbulnya miopia dapat dilihat pada tabel 5.4

Tabel 5.4 Distribusi Frekwensi Penggunaan Media Elektronik Visual Terhadap Kejadian Miopia pada Siswa SMA Negeri 4 Banda Aceh

Penggunaan media elektronik visual

Kejadian Miopia Total

Miopia (kasus) Tidak Miopia (kontrol Frekuensi

(n) Persentase% Frekuensi

(n) Persentase% Frekuensi(n) Persentase% Penggunaan

yang beresiko

19 70,03 8 29,97 27 100

Penggunaan yang Kurang beresiko

57 37,50 68 54,40 125 100

Total 76 76 152

df = 1 X2 tabel = 3, 841 X2 hitung = 5, 486

Sumber : Data Primer ( diolah, Mei 2005)

(24)

BAB IV PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan penggunaan media elektronik visual terhadap timbulnya miopia pada siswa SMA. Pemeriksaan refraksi dan tajam penglihatan dapat digunakan untuk mendeteksi adanya miopia.

Penelitian dilakukan dengan metode survei yang bersifat observasional berdimensi retrospektif dengan desain kasus-kontrol. Pemilihan kelompok kontrol dilakukan tanpa pencocokan (unmatching) dengan kelompok kasus untuk mengoptimalkan waktu penelitian. Jika pemilihan kelompok kontrol dilakukan

pencocokan (matching) dengan kelompok kasus maka dibutuhkan waktu dan biaya

penelitian yang lebih besar karena karakteristik kelompok kontrol dicocokkan semirip mungkin dengan kelompok kasus misalnya usia dan faktor risiko lainnya.

Kelompok kasus adalah kelompok siswa yang menderita miopia di SMA negeri 4 Banda Aceh kelas 1 dan 2 yang memiliki kebiasaan menggunakan media elektronik visual berupa televisi dan atau komputer. Sedangkan Kelompok kontrol adalah kelompok siswa di SMA negeri 4 Banda Aceh kelas 1 dan 2 yang tidak menderita miopia. Dari kelompok kasus dan kontrol tersebut masing masing dilihat ada atau tidaknya faktor risiko yang menyertai.

Sebagian kelompok kasus digolongkan kedalam pengguna media elektronik visual yang berisiko dan sebagian lagi pengguna yang kurang berisiko, demikian pula dengan kelompok kontrol. Perbedaan pengalaman penggunaan media elektronik visual pada kedua kelompok tersebut dibandingkan untuk mengetahui tingkat risiko penggunaan media elektronik visual terhadap risiko miopia. Untuk mengetahui risiko penggunaan media elektronik visual terhadap risiko miopia digunakan penentuan odds ratio. Berdasarkan perhitungan Odds Ratio (OR) ternyata pengguna media elektronik visual berisiko 2,833 kali lebih tinggi untuk terkena miopia dibandingkan pengguna media elektronik visual kurang berisiko.

Menurut analisa dengan menggunakan X2, diperoleh hubungan yang erat antara penggunaan media elektronik visual dengan kejadian timbulnya miopia dimana didapat nilai X2 hitung > X2 tabel.

(25)

peluang 2,83 kali lebih berisiko terkena miopia. Penggunaan media elektronika visual yang berisiko timbulnya miopia dipengaruhi oleh lamanya atau durasi tiap kali pengunaan dan jarak pandang. Penggunaan televisi dianjurkan pada jarak minimal 5 kali diagonal televisi dan penggunaan komputer pada jarak minimal 50 cm. Durasi penggunaan media elektronik visual adalah kurang dari 4 jam tiap kali penggunaan, ataupun penggunaan yang diselingi dengan istirahat selama 15-20 menit.

Sesuai dengan yang dilaporkan oleh Bambang Triwiyono, Lamanya penggunaan komputer merupakan faktor yang menentukan. kumpulan gejala atau sindroma pada mata diakibatkan oleh penggunaan komputer secara terus-menerus, lebih dari empat jam sehari. Penggunaan komputer yang dianjurkan adalah tidak lebih dari empat jam sehari. Bila lebih dari waktu tersebut, mata cenderung mengalami refraksi. Seandainya penggunaan dalam tempo lebih dari empat jam itu tak bisa dihindari, frekuensi istirahatnya harus lebih sering.Menurut Suhardjo, gaya hidup modern perkotaan, menjadi salah satu penyebab tingginya gangguan refraksi mata pada anak-anak usia sekolah. Gangguan refraksi membuat kemampuan mata melihat sebuah obyek secara jelas terganggu. Menonton televisi dan bermain game dalam jarak dekat akan memaksa mata bekerja keras. Dalam jangka waktu lama akan bisa merusak kemampuan mata.

Demikian pula dengan hasil penelitian poliklinik bagian mata Rumah Sakit Sardjito bermain komputer adalah penyebab utama gangguan rabun jauh (miopia) yang diderita oleh anak usia sekolah. Penelitian yang dilakukan selama enam bulan pada 2006 lalu menyebutkan angka prevalensi gangguan rabun jauh atau miopia pada anak SD (7-13 tahun) mencapai 8,29 persen. Penelitian dilakukan kepada 2.268 siswa SD dari 23 sekolah di DIJ. Sebanyak 12 SD dari perkotaan dan 11 SD dari pedesaan. Selain itu juga dihasilkan prevalensi di SD perkotaan 9,49 persen dan prevalensi di SD pedesaan 6,87 persen. Dari keseluruhan penderita miopia, sebanyak lima persennya tergolong penderita parah (ukuran kacamata lebih dari lima dioptri).

(26)
(27)

BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 KESIMPULAN

1. Penggunaan media elektronik visual secara tidak benar (berisiko) yakni penggunaan yang melebihi 4 jam tanpa selingi istirahat, dengan jarak pandang yang kurang dari jarak minimal yang ditentukan untuk tiap jenis media elektronik visual, yaitu 50 cm untuk komputer dan 5 kali diagonal TV untuk televisi.

2. Dari penelitian yang dilakukan terhadap 76 kasus miopia pada siswa SMA negeri 4 Banda Aceh didapatkan bahwa ada 25% diantaranya yang memiliki riwayat penggunaan media elektronik visual secara berisiko.

3. Penggunaan media elektronik visual berisiko 2,83 kali lebih tinggi untuk terkena miopia dibandingkan dengan pengguna media elektonik visual yang kurang berisiko.

4. Secara statistik ada hubungan antara penggunaan media elektronika yang berisiko terhadap timbulnya miopia.

7.2 SARAN

1. Setiap individu yang menggunakan media elektronika visual hendaknya memperhatikan jarak pandang yang dianjurkan dan menghindari penggunaan yang berlama-lama tanpa diselingi istirahat.

(28)

DAFTAR PUSTAKA

1. Anonymous. Pentingnya Merawat Mata. Diperoleh dari http://www.republika.co.id 14 juni 2005.

2. Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. 3,1 Juta Penduduk Indonesia Menderita Kebutaan. http://www.depkominfo.go.id. 15 Nopember 2006.

3. Candra, Anita. Prestasi Belajar Anak Menurun Karena Kelainan Refraksi

http://www.hariansib.com/index2.php?

option=com_content&do_pdf=1&id=7502 25 Juni 2006.

4. Anonymous. Lima Persen Anak SD Rabun Jauh Berat. http://www.jawapos.com. 13 Februari 2007.

5. Sahat, Ferry. Miopia, Menurun Prestasi Belajar Anak Perkotaan. http://www.kompas.com/kesehatan/news/0605/08/141155.htm 2007

6. Wijana, Nana. Refraksi. Dalam Ilmu Penyakit Mata. Cetakan ke-6. Jakarta. 2003. h 245-70.

7. Nelson, Leonard. Kelainan Refraksi dan Akomodasi, Dalam: Nelson WE, Berhman RE, Kliegman R, Arvin AM, Ed. Ilmu Kesehatan Anak, edisi 15.vol.3, EGC: Jakarta 2000.h.2149-53

8. Anonymous. Miopia. http://en.wikipedia.org 28 April 2007

9. Vaughan, D G. Pemeriksaan Oftalmologik. Dalam Oftalmologik Umum. Ed 14. Wijaya Medika. Jakarta. 2000. h 30-63

10. Soangkupon, R. Imran. Ridwan, M. Visus, Refraksi Dan Luas Akomodasi. Dalam Buku Penunrun Praktikum Fisiologi. Bagian Fisiologi FK Unsyiah. Banda Aceh. 2001. h. 3-11

11. Humaidi, Syahrul. Dampak Radiasi Monitor Komputer. www.radiasimonitor.pdf . 2005.

12. Anonymous. RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi. www.Sie_Hoek_GieRUU.htm 23 April 2006. 13. Rony. Penampakan Jarak Jauh.

http://rony.dogworks.net/2006/11/29/penampakan-jarak-jauh-tv . 29 Nopember 2006.

(29)

15. Wulandari,D. Jauhkan dampak negatif TV pada anak. www.bisnis.com. 29 April 2007.

16. Karnadi. Sutisno,S. Minat Pelajar SMU dan Mahasiswa Terhadap Pendidikan Demokrasi Melalui Siaran Televisi.http://www.pustekkom.go.id/teknodik Oktober 2001.

17. Sari, Yunita D. CVS Serang Pengguna Komputer.

http://www.kompas.com/kesehatan/index.htm 25 Nopember 2002.

(30)

Lampiran

Miopia (kasus) Tidak Miopia (kontrol Frekuensi (n)

Persentase % Frekuensi

(n) Persentase% Frekuensi(n) Persentase% Penggunaan

57 37,50 68 54,40 125 100

Gambar

Tabel 5.1 Distribusi kasus miopia pada siswa SMA negeri 4 Banda Aceh berdasarkan
Tabel 5.2. Odds Ratio Penggunaan Media Elektronik Visual Terhadap
Tabel 5.4  Distribusi Frekwensi Penggunaan Media Elektronik Visual Terhadap Kejadian Miopia pada Siswa SMA Negeri 4 Banda Aceh

Referensi

Dokumen terkait

Tetapi jangan khawatir dengan hutang Anda, jika properti Anda dalam keadaan tersewa maka tiap bulannya yang membayar angsuran ke bank adalah hasil dari sewa sehingga

[r]

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga.. Skripsi RENCANA OPERASIONAL

Kesimpulan: penelitian menunjukan ada hubungan tingkat kecemasan dengan kualitas tidur pada lansia di Dusun Celungan Moyudan Sumberagung Sleman Yogyakarta.. Saran :

Dengan seiring perkembangan teknologi, dimana komputer bisa mempermudah segala pekerjaan, memberikan informasi dan melancarkan kegiatan kerja, maka melalui penulisan ilmiah ini,

membandingkan antara penggunaan untuk keperluan pribadi dengan keperluan bisnis, Dalam penelitian selanjutnya sebaiknya mengembangkan variabel-variabel yang diteliti,

Rancang bangun konstruksi rangka mesin 3D printer tipe cartesian berbasis FDM dengan penggerak menggunakan 3 sumbu utama yaitu sumbu X dengan panjang area cetak 380 mm, sumbu

Hasil penelitian dalam bentuk data merupakan bagian yang disajikan untuk menginformasikan hasil temuan dari penelitian yang telah dilakukan. Ilustrasi hasil