KONSEPSI MINIMUM “MORALITAS” DALAM KEHIDUPAN
SEHARI-HARI
Makalah:
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Etika Umum
Oleh:
Nama : Dedy Agung Winasis
NIM : E07215004
Dosen Pengampu:
Drs. H. Mukhlisin Saad, M.Ag
PROGRAM STUDI AKHLAK DAN TASAWUF FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SUNAN AMPEL
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur selalu kami panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan semesta alam. Tuhan yang menganugerahkan akal dan hati kepada manusia sebagai instrumen untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Hanya atas berkat limpahan rahmat-Nya, penulis mampu menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas matakuliah Tauhid.
Selawat serta salam selalu kami curahkan kepada public figure / role of model of the world, junjungan seluruh alam baginda Nabi Muhammad SAW, yang telah memberantas kebodohan zaman, terutama reformasi pemikiran dan pencerahan bagi umatnya.
Makalah ini yang berjudul “Konsepsi minimum “moralitas” dalam kehidupan sehari-hari”. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang luas dan menjadi sumbangan khazanah pemikiran kepada para pembaca. Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih sangat banyak kekurangan dan jauh dari sempurna, baik dari segi penyusunan, bahasan, ataupun penulisannya. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun, khususnya dari dosen pengampu matakuliah, guna menjadi acuan dalam bekal pengalaman bagi kami untuk lebih baik di masa ke depan.
Surabaya, Desember 2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam keseharian, sering terdengat peristilahan yang menurut segelintir orang telah dianggap tabu namun mempunyai peran sentral dalam tatanan hubungan masyarakat. Sebagai makhluk yang dianugerahi akal budi, naluri dan kesadaran untuk melakukan hubungan tertentu dengan diri sendiri maupun orang lain—manakala seseorang telah sadar siapa dirinya, derajat serta martabatnya—lantas mempertanyakan peran hidupnya, apa yang boleh dilakukan sehingga memang patut dilakukan, berhak dan pantas dilakukan, dan mana pula hal-hal yang jika dilakukan akan mendatangkan celaan—sebagai suatu refleksi dari pemikiran-pemikiran demikian, oleh karenanya muncullah penilaian perilaku yang dianggap tidak “etis”, tidak “bermoral” atau tidak “beradab”. Apa sebanarnya maksud kesemua respon yang tak jarang telah menjadi fenomena sosial yang membudaya ini? Lalu apa tujuannya? Apakah benar dan pantas hal demikian disebut penilaian? Atau sekedar gagasan atau luapan jiwa seseorang yang disematkan kepada orang lain sebagai perwujudan distorsi pesan dan maksud?
Patut kita sadari dan maklumi, keabsahan informasi memanglah tidak se-presisi ilmu hitung-menghitung. Sering didapati kerancuan pesan yang tidak sesuai dengan tujuan informasi semula. Hal yang demikian, menurut penulis, bukanlah semerta-merta perbedaan dalam hal interpretasi maupun pemahaman semantic suatu kata, kalimat maupun berita. Namun lebih dari itu, persoalan paling mendasar adalah pola pikir manusia itu sendiri yang telah tertanam, ter-mind set sedari kecil—telah tumbuh dalam kebiasaan sehingga istilah tidak “etis”, tidak bermoral dan beradab tersebut akan mudah ditandaskan terhadap ucapan, perilaku dan tata cara seseorang lantaran hal yang demikian merupakan anomali baginya,
Oleh karenanya, term term sederhana ini—mulai dari hal yang paling dasar saja, perlulah penulis coba selidiki sebagai sebuah sarana pembelajaran kognitif dalam rangkaian pengamatan dan penilaian terhadap masalah sosial dalam sebuah tulisan sederhama yang bertemakan :
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian moral, moralitas dan kaitannya dengan etika. 2. Menggugah kesadaran moral dalam diri seseorang :
I. Moral dan kebiasaan II. Kebenaran moral III. Pengaruh hati nurani
C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui makna moral dan moralitas, serta perbedaannya dengan etika sebagai sebuah ilmu.
BAB II
Filsafat moral adalah upaya untuk mensistematisasikan pengetahuan tentang hakikat moralitas dan apa yang dituntut dari kita— meminjam istilah dari Socrates, tentang “bagaimana seharusnya kita hidup” dan mengapa demikian. Maka akan sangat berguna jikalau kita dapat memulainya dengan sebuah definisi yang sederhana dan tidak kontroversial mengenai moralitas.1 Pada kesempatan kali ini, penulis
berusaha mengutarakan apa yang disebut dengan istilah “konsepsi minimum” dari moral dan moralitas yang mudah diterima, dipahami dan diterapkan.
Kata “moral” secara etimologi mempunyai arti yang sama dengan “etika”, sekalipun bahasa asalnya berbeda, namun dalam pemaknaannya secara garis besar dapat dikatakan sama. Menurut hikmat penulis tetap saja terdapat perbedaan mendasar antara etika dan moral dalam aspek penekanannya. Jika moral dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, maka etika lebih dipakai untuk pengkajian system nilai-nilai yang ada.2
Moral berorientasi pada nilai-nilai atau norma-norma yang diperoleh secara turun-temurun. Sedangkan etika lebih terfokus pada hal-hal dimana seseorang memperanyakan perbuatan baik dan buruk, mencari alasan kenapa harus melakukan yang baik dan menjauhi yang buruk, mempertanyakannya, mencari sebab-musababnya, meneliti lalu menyimpulkannya. Dapat disimpulkan bahwa moral adalah suatu ajaran atau sekte yang didapat dari wahyu, nenek moyang dan sebagainya, seperti halnya agama. Sementara etika adalah bidang ilmu yang memfokuskan diri membahas hal-hal demikian—moral.
Sedangkan “moralitas” (dari kata sifat Latin oralis) mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan “moral”, hanya saja lebih bersifat abstrak. Berbicara mengenai “moralitas suatu perbuatan”, artinya dari segi moral suatu perbuatan dapat bernilai baik ataupun buruk. moralitas adalah
1James Rachels, Filsafat Moral, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), 17.
sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk.3
Dalam sebuah wacana, kerapkali istilah baik dan buruk disebut secara bersamaan dan beriringan, namun pertanyaannya. Apa sebenarnya baik dan buruk itu? Sehingga benar-benar menuntut kita untuk memilih diantara keduanya sebagai refleksi dari kebebasan manusia yang dimerdekakan oleh Tuhan. Lalu apakah ada hubungan diantara keduanya?
Dalam penilaian medis contohnya, terdapat istilah tentang sehat dan tidak sehat. Dapat dikatakan sehat jika fungsi organ bekerja dengan semestinya dan sebaliknya. Sehat dan sakit rupa-rupanya saling bertentangan, sama halnya dengan peristilahan baik dan buruk yang mempunyai arti kontradiktif. Tanpa mengetahui ukuran indah dengan tepat, toh kita ketahui bahwa lawannya ialah jelek. Sesuatu dikatakan jelek karena tidak indah. Begitulah jelek itu menunjukkan ketiadaan indah, negatiflah pengertian jelek.4 Dapat penulis simpulkan, sesuatu dapat
dikatakan baik bila mengandung nilai-nilai yang positif—menimbulkan sesuatu yang manfaat bagi khalayak umum atau golongan mayoritas dan dinilai buruk jika bernilai negative dan cenderung merugikan. Tanpa merujuk pada permasalahan agama pun, semua orang sepakat jikalau mencuri, merampok, menggunjing dan membunuh itu dianggap buruk dan bersahaja, toleran dan member pertolongan kepada yang membutuhkan adalah perbuatan baik. Jadi sebelum adanya wahyu (firman Tuhan) pun, sesungguhnya akal menusia berpotensi atau mampu membedakan perkara baik maupun buruk. Permasalahannya, mampukah akal kita berperan hinga sedemikian kritisnya menilai permasalahan yang amat subtil? Oleh karena itu, perlulah manusia mulai menumbuhkan kesadarannya guna memperoleh kebahagiaan serta ketenangan dalam hidupnya.
B. MENGGUGAH KESADARAN MORAL DALAM DIRI
Dimuka telah dijelaskan bahwa moral seringkali disangkutpautkan dengan kebiasaan yang didapat secara turun-temurun—atau sesuai aturan serta kaidah yang berlaku. Tidak dapat dipungkiri, fenomena-fenomena semacam ini memang telah membudaya bagi masyarakat umum. Tak terkecuali penulis sendiri. Pembahasan pada bab ini akan lebih terfokus pada proses agar kesadaran moral manusia dapat tergugah yang kemudian dapat diaplikasikan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.:
3K. Bertens, Etika, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011), 7.
4Poedjawiyatna, Etika Filsafat Tingkah Laku, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003),
1. Moral dan adat-istiadat
a. Analisis tentang adat-istiadat
Robert Cavalier membuat pemilahan yang baik antara adat-istiadat dengan moral, atau menurut istilah dia, antara kebiasaan dan moral. Menurutnya, kebiasaan dan moral menuntut seseorang untuk berbuat menurut cara tertentu. Dengan kata lain, keduanya mengarahkan pada perbuatan volunter atau kesukarelaan. Kegagalan melakukan hal tersebut biasanya menimbulkan celaan atau hujatan, sementara menyesuaikan diri dengannya akan mendatangkan pujian. Sebagai adat-istiadat murni—tidak berisi atau belum tercampur unsur moral—secara social dan cultural merupakan peraturan yang disepakati guna menciptakan keharmonisan dan memungkinkan aspek-aspek social kehidupan sehari-hari terhindar dari kekacauan dan perselisihan masyarakat. Adat-istiadat membantu warga setiap masyarakat untuk menciptakan hubungan social yang harmonis, teratur dan tertib. Misalnya, kaidah memberi salam dan memperlakukan tamu, hal-hal semacam ini telah ditentukan oleh budaya masyarakat dan telah berlangsung sejak dahulu.5
Sudah barang tentu, sebagian parameter factual dapat mempengaruhi pembentukan adat-istiadat atau kebiasaan, seperti alam, iklim, keadaan ekonomi, penduduk dan keyakinan agama. Rachels menekankan fakta adanya banyak factor yang memengaruhi penciptaan adat istiadat selain dari nilai-nilai yang dianut masyarakat setempat. Itulah sebabnya, perbedaan dalam adat-istiadat semata tidak menimbulkan perbedaan dalam segi nilai dan kandungannya.6
b. Analisis tentang moral
Menurut pandangan Aristotelian, yang merupakan pandangan filsafat Yunani pada umumnya yang dianut luas belakangan, masalah pokok penelitian etika adalah segala hal yang tercakup dalam gagasan, apa yang sebenarnya baik atau dikehendaki oleh manusia itu? segala hal yang secara sadar dipilih atau dilakukan olehnya, bukan sebagai serana untuk mencapai sebagian tujuan tersembunyi, tetapi untuk dirinya sendiri.7 Dari paparan pendapat tersebut, didapat bahwa “etika” lebih
pada sifat pribadi dan “moral” cenderung pada adat-istiadat social. Moral berfungsi untuk menata perbuatan maupun mengarahkan manusia kepada cita-cita atau tujuan tertentu. Adat-istiadat tidak dengan
5Mohammad A. Shomali, Relativisme Etika, (Jakarta: PT Ikrar Mandiriabadi,
2005), 276. 6Ibid, 278.
sendirinya—semerta-merta mengarah kepada cita-cita seseorang. Jika cara bertindak tertentu membantu seseorang dalam mencapai cita-cita kehidupannya, tentunya ia memiliki anasir moral di dalamnya. Misalnya, “jika salah satu cara memperlakukan jenazah para kerabat menunjukkan penghargaan terhadap mereka, tetapi adat atau kebiasaan lain tidak melakukannya, maka satu unsure moral sosial moralitas terlibat.” Menjalankan moralitas membutuhkan upaya spiritual yang sungguh-sungguh dan kebulatan tekad yang kuat, diperlukan kesadaran, karena biasanya ia bertentangan dengan sifat mementingkan diri sendiri dan keinginan langsung. Akan tetapi, sejauh menyangkut adat-istiadat dan tidak ada konflik batin yang terjadi, maka hal itu adalah hasrat pribdi. Oleh kerena itu, jauh lebih mudah melaksanakan adat-istiadat sosial daripada kaidah moral. Lagi pula, adat-istiadat sosial merupakan fenomena sosial sehingga dengan sendirinya tidak berkaitan dengan kehidupan pribadi yang berada di luar konteks sosial, sementara moralitas melibatkan aspek-aspek sosial maupun nonsosial. Sesungghnya moralitas bermula ketika sesorang membuka matanya pada dunia dan merasakan sendiri kebutuhan untuk menentukan hubungan tertentu dengan makhluk lain bahkan dengan dirinya sendiri, baik dalam hal teoritis maupun praksisnya.8
Kini muncul pertanyaan,factor-faktor apa saja yang berpengaruh dalam menentukan hubungan seseorang dengan makhluk lain atau dirinya sendiri? Apa yang harus dilakukan dalam hubungan seseorang dengan orang tuanya? Hubungan dengan kerabatnya maupun hubungan dengan orang asing? Lalu Apa yang harus dilakukan dalam hubungannya dengan masyarakat dan alam raya?
Sebagai refleksi dari pertanyaan-pertanyaan di atas, muncul respon yang beralasan terhadap pertanyaan bergantung pada dua hal. Pertama,
menentukan cita-cita atau tujuan yang relevan. Kedua, menentukan cara praktis guna merealisasikan cita-cita atau tujuan tersebut. Tanpa memahami cita-cita yang layak, orang tidak dapat memutuskan apa yang harus dilakukan. Hanya setelah menimbang cita-citanya, orang dapat memilih sebuah kebajikan tindakan dan mampu menemukan alasannya mendasar bagi dirinya maupun orang lain.9
Setelah menentukan cita-citanya, orang menyadari bahwa setiap hubungan yang mungkin ingin ditetapkan terhadap makhlauk lain (atau bahkan dirinya sendiri) berada pada satu dari tiga keadaan yang terkait dengan cita-cita seseorang. Yakni perihal merugikan, netral atau
8Ibid, 281.
9Franz Magnis Suseno, Model Pendekatan Etika, (Yogyakarta: Kanisius, 2004),
mendapat bermanfaat. Dengan kata lain, berbagai cara untuk membentuk sebuah hubungan, maka memungkinkan adanya sesuatu yang tidak dikehendaki (tidak menyenangkan, netral ataukah dikehendaki (menyenangkan). Layak dicatat bahwa keadaan ini pada dasarnya tidak dapat mendorong atau memenuhi perilaku. Hanya saja, setelah tahu apakah sesuatu itu merugikan, kebanyakan seseorang akan enggan menjalankannya. Misalnya, orang dapat menjauhkan diri melakukan hal itu, atau setelah mempertimbangkan sesuatu sebagai manfaat atau menyenangkan, orang mungkin akan memutuskan untuk melakukannya. Dengan demikian, factor pendorong atau penentu apakah seseorang memilih melakukan, diam atau menanggalkan sesuatu hal adalah apa yang menurutnya merugikan, netral atau bermanfaat menurut si pelaku, bukan menurut realitas kenyataan. Contoh kecilnya yakni orang yang tahu bahwa secara fisik merokok merugikan mungkin saja tetap merokok, jika dia memang yakin bahwa itu bermanfaat atau menyenangkan, kerena dia mendapatkan hiburan atau ketenangan yang lebih besar daripada kerugian yang diterimanya.10
Bagaimanapun juga tidak perlu ditekankan bahwa apa yang sebenarnya mendekatkan seseorang pada cita-cita tujuannya adalah perbuatan nyata yang benar-benar mendekatkan atau bahkan membawa orang itu menuju pada cita-cita yang diinginkannya. Karena itu, terlepas dari fakta bahwa pada saat yang berbeda orang mungkin saja mempunyai konsepsi yang berbeda, interpretasi yang tidak sama tentang perbuatan apa yang pantas menurut kasus tertentu, atau dalam konteks yang berbeda dalam memandang dan juga memberi penilaian terhadap apa yang harus dilakukan pelaku untuk mendekatkan dirinya pada cita-citanya tadi, yang dikatakan perbuatan yang benar adalah perbuatan yang sungguh-sungguh mewujudkan cita-cita tersebut— kemudian menimbulkan kepuasan batin yang luar biasa..11
2. Kebenaran moral
Banyak perbuatan manusia berkenaan dengan baik atau buruk— acapkali moralitas menempati posisi sentral dalam hal penilaian seperti ini. Moralitas merupakan suatu dimensi nyata dalam kehidupan setiap manusia, baik pada tahap perorangan maupun sosial. Semua orang sepakat bahwa moralitas hanya terdapat pada manusia dan tidak terdapat pada makhluk lain. Perbedaan khas manusia dengan makhluk
10William M. Kurtnes & Jacob Gerwitz, Moralitas, Perilaku Moral, Dan
lain menurut pelbagai filsuf ialah factor rasio, kemampuan dalam menggunakan bahasa, kesanggupan tertawa, dan seterusnya. Mungkin semua ciri ini dapat diterima sebagai sifat khas manusia. Namun yang terpenting, manusia dijuluki sebagai binatang plus—oleh sebahagian filsuf dikarenakan mempunyai kesadaran moral. Moralitas merupakan suatu cirri khas manusia yang tidak dapat ditemukan pada makhluk dibawah tingkat manusiawi. Pada tahap binatang contohnya, tidak ditemukan indikasi kesadaran tentang baik dan buruk, tentang yang boleh dan tidak boleh, tentang yang harus dilakukan dengan yang pantas dilakukan.12
Hikmah yang dapat dipetik dari semua peristiwa yang menyangkut hakikat moralitas ialah pertama, keputusan moral harus didukung oleh akal yang baik. Kedua, moralitas menuntut pertimbangan ketidakberpihakan dari setiap kepentingan individual. Seperti, moralitas dan akal dalam kasus bayi Theresa, Jody dan Mary, dan Tracy Latimer dan lain sebagainya pastilah melibatkan luapan emosi yang luar biasa tinggi. Perasaan seperti ini sering merupakan tanda dari seriusnya masalah moral dan karenanya patut dikagumi. Tetapi perasaan kuat semacam ini juga dapat menjadi penghambat untuk menemukan kebenaran jikalau kita merasakan emosi yang kuat terhadap suatu masalah—lantas memunculkan dugaan bahwa kita tahu manakah kebenaran yang sesungguhnya, bahkan tanpa harus mempertimbangkan argumentasi dari sisi lawan. Sayang, kita tidak dapat mengandalkan perasaan-perasaan demikian karena merupakan hal irasional, semua itu bukanlah apa-apa selain hasil dari kecurigaan, penekanan kepentingan diri ataupun pengondisian cultural.13
Jadi, kalaupun seseorang ingin menemukan kebenaran, maka haruslah mencoba membiarkan perasaan seseorang itu dibimbing— dituntun sejauh mungkin oleh akal budi dan argumentasinya yang dapat diberikan untuk melawan pandangan atau khayalannya itu. Moralitas, pertama-tama dan terutama, merupakan keadaan yang senantiasa bertautan dengan akal, hal yang secara moral benar dilakukan dalam lingkup apapun, tetaplah ditentukan dan dilatarbelakangi oleh alasan-alasan terbaik untuk melakukannya.14
3. Intervensi hati nurani terhadap kesadaran moral
12K. Bertens, Etika…, 14-15.
13James Rachels, Filsafat Moral…, 34-35.
Secara harfiah, suara hati (hati nurani) adalah “suara” yang berasal dari kedalaman hati atau pusat kedirian seseoang dan menegaskan benar-salahnya suatu tindakan atau kelakuan tertentu berdasarkan suatu prinsip atau kaidah moral. Dalam kaitan ini suara hati sering kali disebut sebagai suara Tuhan. Seperti pernah dikatakan oleh John Henry Newman (1801-1890), “karena sifat mutlak penegasan atau tuntutannya, suara hati merupakan suatu gejala manusiawi yang mengatasi keterbatasan manusia dan menunujuk pada realitas yang mengatasi manusia, yakni Allah sendiri sebagai Maha Mutlak.”15
Secara umum dapat dikatakan, hati nurani adalah “instansi” dalam diri yang menilai tentang moralitas perbuatan, secara langsung, kini dan di sini. Dengan hati nurani, manusia melakukan penghayatan tentang baik atau buruk yang berhubungan dengan tingkah laku konkret manusia. Menurut K. Bertens, “tidak mengikuti hati nurani berarti secara tidak langsung telah menghancurkan integritas pribadi dan menghianati martabat terdalam manusia.16 Lalu? Apa kesamaan suara
hati (hati nurani) dengan kesadaran moral? Apa hati nurani mempunyai peran dalam menggugah kesadaran moral?
Kesadaran moral merupakan factor penting untuk memungkinkan tindakan manusia selalu bermoral, berperilaku susila, dan sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Kesadaran moral didasarkan atas nilai-nilai yang benar-benar esensial dan fundamental. Perilaku manusia yang berdasarkan atas kesadaran moral, perilakunya akan selalu direalisasikan sebagaimana yang seharusnya, kapan saja dan dimana saja. Sekalipun tidak ada orang yang melihatnya, tindakan bermoral akan selalu dilakukan. Sebab, tindakannya berdasarkan kesadaran, bukan berdasar pada suatu kekuasaan apa pun dan juga bukan karena sesuatu paksaan, tetapi berdasarkan “kekuasaan” kesadaran moralnya itu sendiri.17
kesadaran moral yang telah muncul, berkembang, dan tertuang dalam kehidupan inilah yang oleh sebagian ilmuan atau peneliti disebut sebagai kata hati atau suara hati.18—dan dengan kesadaran ini
diharapkan agar manusia dapat mengenal dirinya sendiri—yang kemudian berefleksi tentang dirinya. Manusia bukan saja melihat pohon di kejauhan sana, tetapi ia menyadari juga bahwa dialah yang melihatnya. Untuk menunjukkan kesadaran moral seseorang, dalam bahasa latin suara hati biasa disebut conscientia, berasal dari akar kata
15J. Sudarminta, Etika Umum; Kajian Tentang Beberapa Masalah Pokok Dan
Teori Etika Normatif, (Yogyakarta: Kanisius, 2013), 63. 16K. Bertens, Etika…, 56.
17A. Charles Zubair, Kuliah Etika…, 51.
conscire yang berarti “mengetahui bersama” atau “turut mengetahui”. Suara hati adalah instansi yang “turut mengetahui” perbuatan-perbuatan moral kita sebelum menjatuhkan penilaian terhadapnya.19—belum
menjurus ke suatu hubungan baik-buruknya perbuatan, baik-buruknya manusia.20 Suara manjadi “saksi” sekaligus “hakim” yang menjatuhkan
penilaian dan putusan atas perbuatan manusia. Penegasan suara hati mendasarkan diri pada pengetahuan tentang hokum moral yang bukan ciptaan atau berasal dari manusia sendiri, melainkan suatu hokum yang telah ditetapkan dalam hati setiap insan oleh Tuhan. Manusia sebagai makhluk rasional turut andil dalam bagian pengetahuan atau kebijaksanaan Sang Pencipta. Inilah yang membuat manusia sadar dan bebas. Berkat rasionalitasnya, manusia menyadari bahwa hokum yang ditetapkan dari luar oleh Sang Pencipta itu sekaligus merupakan ketetapannya sendiri dari dalam—terjalinnya korelasi yang bersifat dinamis antara kesadaran dirinya dan intervensi Tuhan.21
Suara hati (hati nurani) secara ringkas dapat dirumuskan sebagai kesadaran manusia akan kewajiban moralnya dalam kondisi konkret atau penegasan tentang benar salahnya suatu tindakan manusia dalam situasi tertentu berdasarkan hokum moral.22 Sebagai suatu kesadaran,
suara hati mengandaikan adanya pertimbangan akal budi, dan bukan sekedar ungkapan perasaan spontan belaka. Kesadaran tersebut memang sering kali bersifat spontan dan tidak menentu—dalam arti munculnya tidak dapat dikendalikan menurut kemauan seseorang dan merupakan suatu endapan kesadaran akan nilai yang sudah dibatinkan atau tertanam sejak kecil. Kesadaran tersebut menegaskan apa yang menjadi kewajiban moral (tindakan mana yang dianggap baik/wajib dilaksanakan dan buruk/harus dihindari) oleh seseorang dalam situasi yang pasti.23 Selain itu, kesadaran moral yang penulis maksudkan
diharapkan dapat berperan penting dan masif sebagai pedoman, pegangan moral manusia dalam situasi tertentu di saat harus mengambil suatu keputusan dalam bertindak.24
19Etika Umum; Kajian Tentang Beberapa Masalah Pokok Dan Teori Etika Normatif…, 64.
20A. Charles Zubair, Kuliah Etika…, 52.
21Etika Umum; Kajian Tentang Beberapa Masalah Pokok Dan Teori Etika
Normatif…, 65.
22Djuretna A. Imam Muhni, Moral Dan Religi, (Yogyakarta: Kanisius, 1994),35.
23Franz Magnis Suseno, Model Pendekatan Etika…, 142-143.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Mengutip ungkapan dari seorang tokoh sosialis sekaligus filsuf Islam—Al Kindi (w. 801) “manusia mempunyai 3 jiwa : jiwa rakus, jiwa pemarah dan jiwa berakal budi, jikalau manusia dapat menguasai jiwa yang terakhir (akal budi) niscaya manusia akan dapat mengendalikan jiwa yang lainnya”. Jika diamati sekilas, tanpa ada intervensi dari manusia dalam usahanya memaksa kehendak untuk berbuat secara moral dan etika yang baik, secara fitrah manusia memang cenderung pada arah kebaikan— jika akal budinya sehat dan mampu melawan daya-daya yang timbul dari sisi negative manusia itu sendiri. Dapat dikatakan, istilah pembelajaran moral sebenarnya kurang tepat jika dikaitkan dengan realitas kehidupan bahwasannya moral atau moralitas itu lebih pada dimana kita melatih diri, membiasakan diri dalam mengaktualisasikan nilai-nilai positive yang tertanam dalam hati manusia. Pembelajaran (etika) berfungsi sebagai factor pendukung saja—terlepas apakah keengganan untuk melakukan sesuatu selalu berdasar pada tiga hal : apakah itu merugikan, tidak berdampak (netral) ataupun menguntungkan.
B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Suseno, Franz Magnis. 2004. Model Pendekatan Etika. Yogyakarta: Kanisius. Kurtines, William M & Jacob L. Gerwitz. 1992. Moralitas, Perilaku Moral, Dan Perkembangan Moral. Jakarta: UI Press.
Rachels, James. 2004. Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius. K. Bertens. 2011. Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Muhni, Djuretna A. Imam. 1994. Moral Dan Religi. Yogyakarta: Kanisius.