• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Cagar Budaya di Kota Medan ( Studi kasus pada Istana Maimun, Masjid Raya Al Mashun, dan Taman Sri Deli)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengelolaan Cagar Budaya di Kota Medan ( Studi kasus pada Istana Maimun, Masjid Raya Al Mashun, dan Taman Sri Deli)"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KEBUDAYAAN MELAYU DAN PENINGGALANNYA

2.1. Deskripsi Lokasi Penelitian (Kota Medan)

Kota Medan dulunya dikenal dengan nama Tanah Deli. Beberapa sungai

melintasi Kota Medan dan semuanya bermuara ke Selat Malaka, Sungai-sungai

itu adalah Sei Deli, Sei Babura, Sei Sikambing, Sei Denai, Sei Putih, Sei Badra,

Sei Belawan dan Sei Sulang Saling/Sei Kera. Dahulu orang menamakan Tanah

Deli mulai dari sungai Ular (Deli Serdang) sampai ke Sungai Wampu di Langkat

sedangkan Kesultanan Deli yang berkuasa pada waktu itu wilayah kekuasaanya

tidak sampai ke kedua wilayah sungai tersebut.

Pada mulanya yang membuka perkampungan Medan adalah Guru

Patimpus lokasinya terletak di Tanah Deli, maka sejak zaman penjajahan orang

selalu merangkaikan Medan dengan Deli (Medan-Deli). Setelah zaman

kemerdekaan lama kelamaan istilah Medan Deli secara berangsur-angsur lenyap

dan hanya menyebutkan sebagai Kota Medan3.

Menurut Volker pada tahun 1860 Medan masih merupakan hutan rimba

dan disana sini terutama dimuara-muara sungai diselingi pemukiman-pemukiman

penduduk yang berasal dari Karo dan semenanjung Malaya. Bila kita menilik dari

sumber-sumber sejarah bahwa kota Medan pertama sekali didiami oleh suku

Karo, tentunya kata "Medan" itu haruslah berasal dari bahasa Karo. Dalam salah

      

(2)

satu Kamus Karo-Indonesia yang ditulis oleh Darwin Prinst SH: 2002, bahwa

Kata "Medan" berarti "menjadi sehat" ataupun "lebih baik". Hal ini memang

berdasarkan pada kenyataan bahwa Guru Patimpus benar adanya adalah seorang

tabib yang dalam hal ini memiliki keahlian dalam pengobatan tradisional Karo

pada masanya.

Medan pertama kali ditempati oleh orang-orang Suku Karo. Hanya setelah

penguasa Aceh, Sultan Iskandar Muda, mengirimkan panglimanya, Gocah

Pahlawan Bergelar Laksamana Khoja Bintan untuk menjadi wakil Kerajaan Aceh

di Tanah Deli, barulah Kerajaan Deli mulai berkembang. Perkembangan ini ikut

mendorong pertumbuhan dari segi penduduk maupun kebudayaan Medan. Di

masa pemerintahan Sultan Deli kedua, Tuanku Panglima Parunggit (memerintah

dari 1669-1698), terjadi sebuah perang kavaleri di Medan. Sejak saat itu, Medan

menjadi pembayar upeti kepada Sultan Deli.

Pada tahun 1863 orang-orang Belanda mulai membuka kebun Tembakau

di Deli yang sempat menjadi primadona Tanah Deli. Sejak itu perekonomian terus

berkembang sehingga Medan menjadi Kota pusat pemerintahan dan

perekonomian di Sumatera Utara.

Pada awal perkembangannya merupakan sebuah kampung kecil bernama

"Medan Putri". Perkembangan Kampung "Medan Putri" tidak terlepas dari

posisinya yang strategis karena terletak di pertemuan sungai Deli dan sungai

Babura, tidak jauh dari jalan Putri Hijau sekarang. Kedua sungai tersebut pada

(3)

sehingga dengan demikian Kampung "Medan Putri" yang merupakan cikal bakal

Kota Medan, cepat berkembang menjadi pelabuhan transit yang sangat penting.

Semakin lama semakin banyak orang berdatangan ke kampung ini. Jhon

Anderson seorang Inggris melakukan kunjungan ke Kampung Medan tahun 1823

dan mencatat dalam bukunya Mission to the East Coast of Sumatera bahwa

penduduk Kampung Medan pada waktu itu masih berjumlah 200 orang tapi dia

hanya melihat penduduk yang berdiam dipertemuan antara dua sungai tersebut.

Anderson menyebutkan dalam bukunya “Mission to the East Coast of Sumatera“

(terbitan Edinburg 1826) bahwa sepanjang sungai Deli hingga ke dinding tembok

mesjid Kampung Medan di bangun dengan batu-batu granit berbentuk bujur

sangkar. Batu-batu ini diambil dari sebuah Candi Hindu Kuno di Jawa.

Pesatnya perkembangan Kampung "Medan Putri", juga tidak terlepas dari

perkebunan tembakau yang sangat terkenal dengan tembakau Delinya, yang

merupakan tembakau terbaik untuk pembungkus cerutu, contoh hasil panen

dikirim ke Rotterdam di Belanda, untuk diuji kualitasnya. Ternyata daun

tembakau tersebut sangat baik dan berkualitas tinggi untuk pembungkus cerutu.

Kemudian di tahun 1866, Jannsen, P.W. Clemen, Cremer dan Nienhuys

mendirikan de Deli Maatscapij di Labuhan. Kemudian melakukan ekspansi

perkebunan baru di daerah Martubung, Sunggal (1869), Sungai Beras dan

Klumpang (1875), sehingga jumlahnya mencapai 22 perusahaan perkebunan pada

tahun 1874. Mengingat kegiatan perdagangan tembakau yang sudah sangat luas

dan berkembang, Nienhuys memindahkan kantor perusahaannya dari Labuhan ke

(4)

semakin ramai dan selanjutnya berkembang dengan nama yang lebih dikenal

sebagai "Kota Medan".

Secara historis perkembangan Kota Medan, sejak awal telah

memposisikan menjadi pusat perdagangan (ekspor-impor) sejak masa lalu. sedang

dijadikannya Medan sebagai ibukota deli juga telah menjadikannya Kota Medan

berkembang menjadi pusat pemerintah. Sampai saat ini disamping merupakan

salah satu daerah kota, juga sekaligus sebagai ibukota Propinsi Sumatera Utara.

Kota Medan yang sebagai ibukota dari Provinsi Sumatera Utara juga

merupakan miniatur dari pariwisata di Sumatera Utara dapat dibuktikan dengan

setuja keindahan panorama alam dan berbagai tempat yang bersejarah. Salah satu

dari tempat bersejarah yang juga merupakan cagar budaya di Kota Medan adalah

Kawasan cagar budaya berikat yang terdiri dari Istana Maimun, Taman Sri Deli

dam Masjid Raya Al-Mashun4.

2.2. Kebudayaan Melayu Pada Masa Sumatera Timur Hingga Sumatera Utara

Etnik5 Melayu adalah salah satu kelompok etnik yang terdapat di Provinsi

Sumatera Utara. Banyak sumber literatur yang menggambarkan bahwa

kebudayaan Melayu di Sumatera Utara sama dengan etnik Melayu di berbagai

kawasan, seperti di Riau, Jambi, Lampung, Sumatera Selatan, Bangka Belitung,

      

4 http://anthonynh.blogspot.co.id/2012/12/10-tempat-wisata-di-sumatera-utara.html

5 Menurut Perspektif Teori Situasional, Etnis merupakan hasil dari adanya pengaruh yang

(5)

Kalimantan, dan lainnya. Begitu juga orang Melayu di Semenanjung Malaysia,

Sabah, Serawak, Pattani, Kamboja, Srilanka, Madagaskar, dan lain-lainnya. Orang

Melayu (sapaan umumnya) di Sumatera Utara memiliki ciri-ciri khas kebudayaan,

seperti sistem kekerabatan yang menggunakan unsur impal, seni sinandong,

dedeng, tari serampang dua belas, dan lain-lainnya (Dja’far : 2007).

Namun, ada juga berbagai persamaan sosial budaya dengan kawasan

Melayu lain, seperti adat-istiadat perkawinan, seni zapin, bahasa Melayu,

upacara-upacara tradisional, dan lain-lainnya. Istilah Melayu biasanya dipergunakan

untuk mengidentifikasi semua orang dalam rumpun Austronesia yang meliputi

wilayah Semenanjung Malaya, kepulauan Nusantara, kepulauan Filipina, dan

Pulau-pulau di Lautan Pasifik Selatan. Dalam pengertian umum, orang Melayu

adalah mereka yang dapat dikelompokkan pada ras Melayu.

Dengan demikian, istilah Melayu sebagai ras ini mencakup orang-orang

yang merupakan campuran dari berbagai suku di kawasan Nusantara. Ras Melayu

yang sudah memeluk agama Islam pada abad ke-13, identitas budanyanya selalu

dipandang berbeda dengan masyarakat ras Proto-Melayu pedalaman, yaitu orang

Batak Toba, Karo, Simalungun, Pakpak-Dairi, yang masih menganut kepercayaan

mereka sendiri; baik oleh mereka sendiri maupun orang luar.

Namun demikian, di sisi lain terjadi adaptasi/asimilasi orang Batak dengan

orang Melayu jika masuk Agama Islam. Ada perbedaan mengenai pengertian

Melayu ini di Indonesia, Malaysia, dan Singapura, seperti yang dikemukakan oleh

Vivienne Wee (1985:7-8). Menurut Wee, di Indonesia arti Melayu berbeda

(6)

berkaitan erat dengan persepsi pemerintah masing-masing. Pemerintah Singapura

memandang Melayu sebagai sebuah ras, sebuah kategori yang dihasilkan

berdasar keturunan dalam sistem etnisitasnya. Di Singapura, seorang yang

rasnya Melayu, beragama Kristen, dan berbahasa Inggris, secara syah dianggap

sebagai Melayu.

Dalam kenyataannya terdapat sejumlah kecil orang Melayu Kristen, dan

mereka dipandang sebagai suatu Asosiasi Kristen Melayu di Singapura. Di

Malaysia, Melayu secara konstitusional diikat identitasnya dengan Agama Islam,

dan jika seorang Melayu memeluk agama bukan Islam, dia tidak dipandang lagi

sebagai Melayu. Namun demikian, tidak semua orang Islam Malaysia dipandang

sebagai Melayu: konstitusi Malaysia menyatakan bahwa orang Melayu itu

hanyalah orang Islam yang berbahasa Melayu, mengikuti adat-istiadat Melayu,

lahir di Malaysia, atau lahir dari orang tuanya yang berkebangsaan Malaysia.

Berbeda dengan pemerintah Singapura dan Malaysia, pemerintah

Indonesia, tidak begitu berminat memberikan definisi secara legal terhadap

Melayu. Di Indonesia, Melayu adalah satu istilah yang mengandung makna

identitas regional berdasar pengakuan penduduknya. Maka dengan kata lain,

dalam pandangan pemerintah Indonesia, seseorang dapat saja menyatakan dirinya

sendiri sebagai atau bukan sebagai orang Melayu, dan dia boleh saja memilih

identitas regional. Pemerintah Indonesia tidak mencantumkan label etnik dalam

kartu tanda penduduk bagi seluruh warga negaranya.Sementara pemerintah

(7)

Menurut Wee, pengertian Melayu di Indonesia bersifat subyektif. Untuk

menjangkau pengertian Melayu dalam wawasan yang lebih luas, perlu juga

diperhatikan pendapat dari orang-orang dari luar Melayu. Dalam pandangan

orang-orang Eropa pada umumnya, yang dimaksud Melayu itu selalu dikaitkan

dengan istilah yang dipakai oleh I- Tsing.

“ . . . Malayan; Malay; (occasionally) Moslem, e.g. masok Melayu (to turn Mohammedan). In early times the word did not cover the whole Malay word; and even Abdullah draws a distinction between anak Melaka Melaka native and Orang Melayu (Hikayat Abdullah 183). It would seem from one passage (Hang Tuah 200) that the word limited geographically to one area, became associated with a standard of language and was extended to all who spoke 'Malay'. The Malay Annals speak as a sungai Melayu (Melayu River); I-tsing speaks of Sri Vijaya conquering the 'Moloyu' country; Minangkabau has a 'Malayu' clan (suku); Rajendracola's conquests (A.D. 1012 to 1042) covered Melayu and Sri Vijaya as a separate countries; the Siamese records claim Malacca and Melayu as a separate entities. Rouffaer identifies Melayu with Jambi (Wilkinson, 1959:755) . . .”

Menurut Wilkinson seperti dikutip di atas, seorang Melayu adalah

beragama Islam. Misalnya masuk Melayu berarti masuk Islam. Pada zaman

dahulu, kata Melayu tidak mencakup keseluruhan Dunia Melayu (Alam Melayu)

yang sekarang ini. Misalnya Abdullah bin Abdulkadir Munsyi, seorang pujangga

Melayu ternama, membedakan antara anak Melaka dan Orang Melayu. Kata

Melayu menunjukkan sebuah kawasan, yang dikaitkan dengan bahasa yang

mereka pakai yaitu bahasa Melayu. Dalam Sejarah Melayu diceritakan tentang

sebuah sungai yang bernama Sungai Melayu.

I-Tsing menceritakan bahwa Sriwijaya menguasai negeri Melayu.

(8)

Rajendra Coladewa (1012 sampai 1042) yang menaklukkan Melayu dan Sriwijaya

sebagai dua negeri yang terpisah. Rekaman-rekaman sejarah di Thailand

menyatakan bahwa orang Melaka dan orang Melayu adalah sebuah entitas yang

terpisah. Rouffaer mengidentifikasikan Melayu dengan Jambi.

Sebelum dikenal seperti saat ini dengan sebutan Sumatera Utara, pada

awalnya daerah tersebut lebih dikenal dengan sebutan Sumatera Timur. Sumatera

Timur memang nama daerah yang terdengar asing di telinga masyarakat Indonesia

baik di Pulau Sumatera maupun di luar Pulau Sumatera, terutama bagi para

generasi baru.

Di masa jayanya dulu, daerah ini (Sumatera Timur) adalah salah satu

daerah yang menegaskan betapa kayanya Bumi Nusantara. Daerah yang sangat

maju dan ramai aktivitas perdagangannya, kaya akan sumber daya alam, tak heran

Sumatera Timur juga disebut sebagai Bumi Bertuah. Disini pula, lahir para

pujangga-pujangga Melayu yang mumpuni, para ulama terkenal, raja-raja

bijaksana, dan para patriot dan negarawan yang turut serta dalam menopang,

mendukung, dan mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sumatera Timur, sebuah daerah yang dihuni oleh mayoritas Suku Melayu,

berdampingan dengan serumpun lainnya seperti Minangkabau, Aceh, Batak

Simalungun, Karo, Mandailing, dan pendatang dari berbagai bangsa seperti

Tionghoa, Arab, Tamil dan lainnya. Awalnya daerah ini merupakan wilayah

"jajahan" dari Kesultanan Aceh dan Kesultanan Siak. Wilayah ini terdiri dari

beberapa monarki Melayu, yaitu Kesultanan Langkat, Kesultanan Deli,

(9)

Pada abad ke 18, wilayah ini merdeka dari Aceh maupun Siak, dan para

penguasa monarki-monarki tersebut berhak menyandang gelar "Sultan". Pada

abad ke 19, wilayah ini akhirnya ditaklukkan oleh penjajah Belanda, dan pada 1

Maret 1887, wilayah Sumatera Timur resmi menjadi wilayah administrasi Hindia

Belanda sebagai sebuah karesidenan6 yang dipimpin oleh seorang residen yang

berkedudukan di Medan.

Dalam pengertian luas, kawasan Sumatera Timur sebenarnya juga

mencakup wilayah-wilayah yang dihuni Suku Melayu di pantai timur Pulau

Sumatera dalam hal ini Kerajaan Tamiang, Kesultanan Siak, Kerajaan Pelalawan,

Kerajaan Indragiri, dan Kesultanan Riau-Lingga. Kemakmuran wilayah ini secara

luar biasa terjadi setelah berkembangnya perkebunan tembakau dan penemuan

sejumlah ladang minyak. Pada abad ke 18-19, Langkat, Deli, dan Siak, adalah

salah satu wilayah terkaya di Hindia Belanda. Istana-istana dengan megah

dibangun, begitu pula pusat bisnis, masjid-masjid, sekolah, pelabuhan, dan rumah

sakit.

Negeri-negeri Melayu yang menguasai Sumatera Timur memang makmur

melebihi harapan. Kesultanan Deli menjadi terkenal sebagai penghasil tembakau

kualitas nomor satu. Sultan Deli IX, Sultan Ma’moen Al Rasyid Perkasa Alam

Shah (1873-1924) membawa Kesultanan Deli sebagai negeri paling maju di

Sumatera Timur pada saat itu. Sementara Kesultanan Langkat menjadi kaya raya

semenjak Aeilko Zijlker Yohanes Groninger dari Deli Maatschappij menemukan

      

6

(10)

konsensi minyak bumi di Telaga Said, Pangkalan Brandan. Di Langkat inillah,

lahir seorang pujangga baru yang tersohor, yaitu Tengku Amir Hamzah.

Foto 1 : Aktivitas di Perkebunan Tembakau Deli

Sumber : Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde

Kesultanan Serdang, sebagai pecahan dari Kesultanan Deli, berdiri sebagai

sebuah negeri agraris yang makmur akibat perkebunan tembakau dan karet.

Perdagangan Kesultanan Serdang dengan Pulau Penang juga sangat ramai. Johan

Anderson, seorang utusan dari Inggris ketika mengunjungi Serdang pada tahun

1823, melaporkan bahwa Sultan Thaf Sinar Basyar Syah (1822-1851) memerintah

dengan lemah lembut dan bijaksana, bahkan Baginda memiliki sebuah kapal

dagang sendiri. Baginda juga sangat terbuka terhadap orang-orang Batak dari

(11)

2.3. Benda-Benda Artefak Maupun Kebudayaan

Di tinjau dari keberadaannya, ternyata di Kota Medan masih banyak

terdapat bangunan-bangunan lama yang secara fisik masih tegak berdiri sampai

sekarang dan memiliki aspek historis di dalamnya. Dalam observasi yang

dilakukan peneliti banyak sekali benda-benda peninggalan dari Kesultanan Deli,

sebuah bangunan akan terlihat biasa saja jika kita tidak mengetahui sejarah

dibaliknya. Adapun bangunan-bangunan lama yang memiliki keistimewaan yang

menarik dan memiliki nuansa historis dalam rekam jejak perjalanan sejarah Kota

Medan serta masih berdiri kokoh adalah sebagai berikut :

2.3.1. Masjid Al-Osmani

Masjid Al-Osmani adalah sebuah masjid di Medan, Sumatera Utara.

Masjid ini juga di kenal dengan sebutan Masjid Labuhan karena lokasinya yang

berada di kecamatan Medan Labuhan. Masjid ini terletak di jalan K.L. Yos

Sudarso Kelurahan Pekan Labuhan sekitar 20 kilometer sebelah utara Kota

Medan. Di depan masjid ini ada sebuah sekolah yaitu sekolah YASPI (Yayasan

Pendidikan Islam) dan tak jauh dari masjid ini disebelah YASPI ada sebuah

pekong Lima Medan Labuhan dan di depan pekong tersebut ada sebuah jalan

yang menuju ke Pasar/Pajak Medan Labuhan. Ini adalah masjid tertua di Kota

Medan.

Masjid Al-Osmani dibangun pada 1854 oleh Raja Deli ketujuh, yakni

Sultan Osman Perkasa Alam dengan menggunakan bahan kayu pilihan. Kemudian

(12)

juga menjadi Raja Deli kedelapan. Hingga kini, selain digunakan sebagai tempat

beribadah, masjid itu juga dipakai sebagai tempat peringatan dan perayaan hari

besar keagamaan dan tempat pemberangkatan menuju pemondokan jamaah haji

yang berasal dari Medan Utara. Di masjid ini juga terdapat lima makam Laja Deli

yang dikuburkan yakni Tuanku Panglima Pasutan (Raja Deli IV), Tuanku

Panglima Gandar Wahid (Raja Deli V), Sulthan Amaluddin Perkasa Alam (Raja

Deli VI), Sultan Osman Perkasa Alam, dan Sulthan Mahmud Perkasa Alam.

Ketika pertama kali dibangun pada tahun, ukuran Masjid Al-Osmani

hanya 16 x 16 meter dengan material utama dari kayu.Pada tahun 1870, Sultan

Deli VIII Mahmud Al Rasyid melakukan pemugaran besar-besaran terhadap

bangunan masjid yang diarsiteki arsitek asal Jerman, GD Langereis. Selain

dibangun secara permanen, dengan material dari Eropa dan Persia, ukurannya

juga diperluas menjadi 26 x 26 meter. Renovasi itu selesai tahun 1872.

Beberapa kali pemugaran terhadap bangunan masjid ini telah dilaksanakan

tanpa menghilangkan arsitektur asli yang merupakan perpaduan bangunan Timur

Tengah, India, Spanyol, Melayu, dan China. Kombinasi arsitektur empat Negara

itu misalnya pada pintu masjid berornamen China, ukiran bangunan bernuansa

India, dan arsitektur bernuansa Eropa, dan ornamen-ornamennya bernuansa Timur

Tengah. Rancangannya unik, bergaya India dengan kubah tembaga bersegi

delapan. Kubah yang terbuat dari kuningan tersebut beratnya mencapai 2,5 ton.

Masjid Al-Osmani didominasi warna kuning, dengan warna kuning keemasan

(13)

menunjukkan kemegahan dan kemuliaan. Kemudian dipadu dengan warna hijau

yang filosofnya menunjukkan keislaman.

Foto 2 : Masjid Al-Osmani atau Masjid Labuhan

Sumber : http://midmagz.com/site/2015/01/28/masjid-raya-al-osmani/

2.3.2. Istana Maimun

Bangunan bersejarah peninggalan Kesultanan Deli telah berusia lebih dari

satu abad. Bangunan Istana Maimun tersebut merupakan salah satu peninggalan

bersejarah di Kota Medan yang Masih dapat di lihat dan disaksikan secara

langsung dengan berkunjung kedalam Istana tersebut. Pada awal pendirian

pembangunan Istana Maimun dijelaskan ,Sinar(2001:104)” Berdasarkan prasasti

(14)

Istana Maimun dilakukan pada tanggal 26 Agustus 1888 oleh Sultan Ma'mun Al

Rasyid Perkasa Alamsyah, dan mulai ditempati pada tanggal 18 Mei 1891”.

Bangunan Istana Maimun yang megah ini melambangkan kemakmuran serta

kejayaan Kesultanan Deli semasa Sultan Ma'mun Al Rasyid Perkasa Alamsyah.

2.3.3. Masjid Raya Al-Mashun

Salah satu peninggalan bangunan bersejarah yang dapat ditemukan di Kota

Medan adalah Masjid Raya yang berlokasi di Jalan Sisingamangaraja/lebih

tepatnya di Jalan Masjid Raya, Masjid ini bersebelahan dengan Taman Sri Deli

(Taman Chadijah). Bangunan ini pada awalnya dibangun berdekatan dengan

Istana Maimun, Kerapatan Deli dan Taman Sri Deli dengan tujuan sebagai tempat

peribadatan Sultan Deli .Lokasi Bangunan Bersejarah ini berada di lingkungan

Kecamatan Medan Kota, Kelurahan Masjid lingkungan VI. Dalam proses

sejarahnya, Masjid ini sebagai lambang Kota Medan. Masjid terindah yang

memiliki nilai budaya dan sejarah dan terbesar di Sumatera Utara. Masjid ini

dapat menampung sekitar 1.500 jemaah untuk melaksanakan sholat setiap hari.

Masjid ini dibangun oleh Sultan Makmun Al Rasyid, yang didisain oleh

Dengumans dari Belanda dengan gaya arsitektur Moorish dan berdiri pada tahun

1906.

2.3.4. Taman Sri Deli

Salah Satu peninggalan Kesultanan Deli Pada Masa Sultan Amaluddin

Sani Perkasa Alamsyah adalah pembangunan Taman Sri Deli. Taman Sri Deli

(15)

pernah berjaya di masa lampau. Pada bagian taman ini terdapat kolam di

dalamnya. Lokasi taman Sri Deli tidak jauh dari lokasi masjid raya dan Istana

Maimun yang berseberangan dengan taman Sri Deli.

Tempat ini tepatnya terletak di persimpangan antara Jalan

Sisingamangaraja dan jalan Masjid Raya, Medan, Sumatera Utara. Taman ini

dahulunya dibangun dengan tujuan yang Dalam proses sejarahnya, Kolam Sri

Deli ini berada ± 100 m di depan Istana Maimon, tepatnya dibelakang “Bangunan

Kerapatan” yang kondisinya sekarang sudah hancur dan didepan Masjid Raya Al

Mashun (berseberangan dengan masjid) seperti lazimnya istana kerajaan islam.

Kolam Sri Deli ini berkaitan dengan Istana Maimon dan Masjid Raya Al Mashun.

Referensi

Dokumen terkait

INDONESIA 3.5 Mengenal teks permintaan maaf tentang sikap hidup rukun dalam kemajemukan keluarga dan teman dalam bahasa Indonesia lisan dan tulis yang dapat diisi dengan

Penelitian ini bertujuan untuk mempermudah wisatawan memperoleh informasi tentang lokasi area wahana landmark yang ada di Taman Buah Mekarsari dengan memanfaatkan

03 tentang standar pelaporan pemeriksaan atas laporan keuangan dinyatakan bahwa laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan harus mengungkapkan bahwa pemeriksa

Aceh, baik langsung ataupun melalui perantaraan Wakil Sultan Aceh di Deli. Gelar ini diberikan kepada seseorang yang mempunyai kekuasaan daerah pemerintahan otonomi yang dibatasi

[r]

Workstation/client yang terhubung ke sentral/server tidak dalam satu ruangan atau tempat dan spesifikasi perangkat kerasnya tidak baku, kesamaan yang dimiliki hanya koneksi

Hendro Gunawan, MA

peserta yang lulus kualifikasi pada proses prakualifikasi kurang dari 3 (tiga) peserta,. kecuali pada Pelelangan