BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. FUNGSI KOGNITIF II.1.1. Definisi
Fungsi Kognitif merupakan aktifitas mental secara sadar seperti
berpikir, mengingat, belajar dan kemampuan berbahasa. Fungsi kognitif
meliputi kemampuan atensi serta kemampuan eksekutif seperti
merencanakan sesuatu, menilai, mengawasi dan melakukan evaluasi
(Strub dkk. 2000).
II.1.2. Domain Fungsi Kognitif
Fungsi kognitif terdiri dari: (Modul Neurobehaviour PERDOSSI,
2008)
a. Atensi
Atensi merupakan kemampuan untuk bereaksi terhadap satu
stimulus dengan mampu mengabaikan stimulus lain yang tidak
dibutuhkan sehingga mampu untuk fokus pada stimulus spesifik
dan mengabaikan stimulus lain yang tidak relevan. Konsentrasi
merupakan kemampuan untuk mempertahankan atensi dalam
periode yang lebih lama. Gangguan atensi dan konsentrasi akan
b. Bahasa
Bahasa merupakan perangkat dasar komunikasi dan modalitas
dasar yang membangun kemampuan fungsi kognitif. Bila dijumpai
adanya gangguan bahasa, pemeriksaan kognitif seperti memori
verbal dan fungsi eksekutif akan mengalami kesulitan atau tidak
dapat dilakukan. Fungsi bahasa meliputi 4 parameter:
1. Kelancaran yang mengacu pada kemampuan untuk
menghasilkan kalimat dengan panjang, ritme dan melodi
yang normal.
2. Pemahaman yang mengacu pada kemampuan untuk
memahami suatu perkataan atau perintah, dibuktikan dengan
kemampuan seseorang untuk melakukan perintah tersebut.
3. Pengulangan yang merupakan kemampuan seseorang untuk
mengulangi suatu pernyataan atau kalimat yang diucapkan
seseorang.
4. Penamaan yang merujuk pada kemampuan seseorang untuk
menamai suatu objek beserta bagian-bagiannya.
Gangguan bahasa sering terlihat pada lesi otak baik lesi fokal
maupun lesi difus, sehingga gangguan bahasa merupakan gejala
patognomonik dari suatu disfungsi otak. Penting bagi klinisi untuk
mengenal gangguan bahasa karena gangguan berbahasa memiliki
c. Memori
Fungsi memori terdiri dari proses penerimaan dan
penyandian informasi, proses penyimpanan serta proses mengingat
yang berpengaruh pada fungsi memori. Fungsi memori dibagi
dalam tiga tingkatan bergantung pada lamanya rentang waktu
antara stimulus dengan recall, yaitu:
1. Memori segera (immediate memory), rentang waktu antara
stimulus dengan recall hanya beberapa detik. Disini hanya
dibutuhkan pemusatan perhatian untuk mengingat (attention)
2. Memori baru (recent memory), rentang waktu lebih lama
yaitu beberapa menit, jam, bulan bahkan tahun.
3. Memori lama (remote memory), rentang waktunya
bertahun-tahun bahkan selama hidup.
Gangguan memori merupakan gejala yang paling sering
dikeluhkan pasien. Amnesia secara umum merupakan efek fungsi
memori. Ketidakmampuan mempelajari materi baru setelah cedera
otak disebut amnesia anterogard. Amnesia retrogard merujuk pada
amnesia pada apa yang terjadi sebelum cedera otak. Hampir
semua pasien demensia menunjukkan masalah memori pada awal
perjalanan penyakitnya. Tidak semua gangguan memori
merupakan gangguan organik. Pasien depresi dan ansietas sering
d. Visuospasial
Kemampuan visuospasial merupakan kemampuan
konstruksional seperti menggambar atau meniru berbagai macam
gambar dan menyusun balok-balok. Semua lobus berperan dalam
kemampuan konstruksi dengan lobus parietal hemisfer kanan
berperan paling dominan. Menggambar jam sering digunakan untuk
screening kemampuan visuospasial dan fungsi eksekutif dimana
berkaitan dengan gangguan di lobus frontal dan parietal.
e. Fungsi eksekutif
Fungsi eksekutif dari otak dapat didefinisikan sebagai suatu proses
kompleks seseorang dalam memecahkan masalah/persoalan baru.
Proses ini meliputi kesadaran akan keberadaan suatu masalah,
mengevaluasinya, menganalisa serta memecahkan/mencari jalan
keluar suatu persoalan.
II.1.3. Anatomi Fungsi Kognitif
Masing-masing omain kognitif tidak bekerja sendiritetapi sebagai
satu kesatuan, yang disebut sistem limbik. Sistem limbik terdiri dari
(Waxman 2007). Struktur otak berikut ini merupakan bagian dari sistem
limbik (Markam, 2003; Devisnsky dkk. 2004) :
1. Amygdala terlibat dalam pengaturan emosi, dengan hemisfer
kanan predominan dalam keadaan tidak sadar dan hemisfer kiri
predominan pada saat sadar.
2. Hipokampus berperan dalam pembentukan memori jangka
panjang dan pemeliharaan kognitif (proses pembelajaran).
3. Girus parahipokampus, berperan dalam pembentukan memori
spasial.
4. Girus cinguli, berperan dalam salah satu domain fungsi kognitif
yaitu atensi.
5. Forniks berperan dalam memori dan pembelajaran.
6. Hipothalamus, berfungsi mengatur perubahan memori baru
menjadi memori jangka panjang.
7. Thalamus merupakan pusat pengaturan fungsi kognitif di
otak/sebagai stasiun relay ke korteks serebri.
8. Mammillary bodies, berperan dalam pembentukan memori dan
pembelajaran.
9. Girus dentatus, berperan dalam memori baru.
10. Korteks enthorinal, penting dalam memori dan merupakan
komponen asosiasi.
Sedangkan lobus otak yang berperan dalam fungsi kognitif antara
1. Lobus frontalis mengatur motorik, perilaku, kepribadian, bahasa,
memori, orientasi spasial, belajar asosiatif, daya analisa dan
sintesis.
2. Lobus parietalis berfungsi dalam membaca, persepsi, memori
dan visuospasial. Korteks ini menerima stimuli sensorik dari
berbagai modalitas (input visual, auditori, taktil) dari area
asosiasi sekunder dan sering disebut korteks heteromodal.
3. Lobus temporalis berfungsi mengatur pendengaran,
penglihatan, emosi, memori, kategorisasi benda-benda dan
seleksi rangsangan auditorik dan visual.
4. Lobus oksipitalis berfungsi mengatur penglihatan primer,
visuospasial, memori dan bahasa.
II.2. TEST UNTUK MENILAI FUNGSI KOGNITIF
Penilaian fungsi kognitif umumnya digunakan dalam screening
gangguan fungsi kognitif, menilai derajat keparahan dari gangguan fungsi
kognitif dan atau memantau perjalanan penyakitnya (Woodford, 2007).
Ada banyak instrumen yang dapat digunakan dalam menilai fungsi
kognitif. Instrumen-instrumen ini bervariasi dalam hal waktu pemeriksaan.
Beberapa diantaranya dapat dilakukan dalam waktu singkat (kurang dari 1
menit) dan yang lain merupakan suatu penilaian neurofisiologi formal yang
bergantung pada waktu pemeriksaan yang tersedia dan tujuan dari
dilakukannya pemeriksaan (Woodford, 2007).
Mild Cognitive Impairment (MCI) merupakan fenomena yang sering
dijumpai dan berbeda dengan demensia. Keluhan dari MCI yang utama
adalah gangguan fungsi memori. Evaluasi fungsi kognitif pada
pasien-pasien dengan MCI seringkali terbatas dengan menggunakan screening
untuk demensia dan tidak tepat untuk mendeteksi MCI. Menurut Lonie
dkk. ada beberapa instrumen yang dapat digunakan untuk menilai MCI,
demensia Alzheimer dan bentuk demensia lainnya pada fase dini
diantaranya seperti Six Item Cognitive Impairment Test (6CIT) atau
Abbreviated Mental Test (AMT), namun sering kali instrumen-instrumen
tersebut tidak dapat membedakan penyebab dan outcome dari MCI (Lonie
dkk. 2009).
Sebagai satu penilaian awal, pemeriksaan MMSE adalah tes yang
paling banyak dipakai. Pemeriksaan status mental MMSE Folstein adalah
tes yang paling sering dipakai saat ini. Penilaian dengan nilai maksimal
30, cukup baik dalam mendeteksi gangguan kognitif, menetapkan data
dasar dan memantau penurunan kognitif dalam kurun waktu tertentu. Skor
MMSE normal 24 – 30. Bila skor kurang dari 24 mengindikasikan
gangguan fungsi kognitif (Folstein dkk. 1975; Asosiasi Alzheimer
Indonesia, 2003). Pemeriksaan Mini Mental State Examination (MMSE) ini
awalnya dikembangkan untuk screening demensia, namun sekarang
Pemeriksaan MMSE kini adalah instrumen screening yang paling luas
digunakan untuk menilai status kognitif dan status mental pada usia lanjut
(Kochhann dkk. 2009; Burns dkk. 2002).
Selain MMSE, instrumen lain yang sering digunakan adalah
Montreal Cognitive Assessment (MoCA) yang merupakan instrumen yang
dikatakan baik untuk mendeteksi demensia. MoCA memiliki komponen
penilaian beberapa domain fungsi kognitif seperti atensi, konsentrasi,
memori, fungsi eksekutif dan reasoning. Seperti pada MMSE, instrumen
ini memiliki komponen CDT untuk penilaian fungsi visual dan spasial.
Sebagai tambahan, MoCA memiliki komponen trail-making test yang
berfungsi untuk menilai fungsi eksekutif (Valcour, 2011).
Untuk menilai demensia vaskular, dikenal satu instrumen yang
disebut dengan Hachinski Ischemic Score (HIS). HIS dikenal sebagai
suatu instrumen klinis yang sederhana yang digunakan untuk
membedakan jenis-jenis mayor dari demensia, khususnya demensia
vaskular dengan demensia lainnya. HIS berhubungan dengan penyakit
serebrovaskular dan faktor-faktor penyebabnya. Komponen informasi
yang dikumpulkan meliputi riwayat hipertensi dan stroke serta
gejala-gejala yang mengindikasikan suatu penyakit serebrovaskular. Pada
pasien dengan demensia, nilai HIS yang tinggi mengindikasikan suatu
kemungkinan demensia vaskular (Kim, 2014). HIS memiliki nilai cut-off
dapat membedakan demensia campuran dengan jenis demensia lainnya
(Moroney, 1997).
Selain itu, ada 3 instrumen yang dikatakan sebagai instrumen yang
paling ideal dalam fungsinya sebagai instrumen untuk screening dari
poststroke dementia (Brodaty, 2006):
II.2.1. Mini-Cog
Mini-Cog merupakan suatu cara dalam screening untuk ada atau
tidaknya suatu gangguan kognitif pada orang dewasa. Mini-Cog
dikatakan lebih efektif, bahkan lebih baik untuk melakukan screening
untuk suatu gangguan kognitif pada orang tua. Pada suatu test komparasi
antara Mini-Cog dengan MMSE pada pasien demensia dijumpai
pemeriksaan dengan Mini-Cog dapat dilakukan lebih cepat dibandingkan
dengan menggunakan MMSE dan tidak dipengaruhi oleh etnis, bahasa
dan tingkat pendidikan. Mini-Cog menggunakan 3 metode dalam recall
serta melakukan CDT, dimana CDT berperan sebagai penentu bila
dijumpai hasil Mini-Cog yang intermediate (Woodford, 2007).
Mini-Cog diciptakan sebagai suatu instrumen untuk screening awal
demensia. Mini-Cog bisa dilakukan dalam waktu kurang dari 5 menit
(rata-rata 3.2 menit). Pemeriksaan dilakukan dengan suatu uji fungsi memori
dengan mengulang 3 kata yang berbeda dan tidak berhubungan,
mengingat gangguan memori merupakan ciri utama dari demensia. CDT
dilakukan sebagai pengalihan perhatian subjek dari perintah mengingat
Mini-Cog dilakukan dengan cara meminta pasien untuk mengulang
3 kata yang berbeda dan tidak berhubungan satu sama lain seperti
“kapten”, “kebun” dan “gambar”. Perintah dapat diulang 3 kali. Selanjutnya
dilakukan pemeriksaan CDT dimana pasien diminta untuk menggambar
jam mulai dari lingkaran, angka dan jarum jam yang menunjukkan waktu
tertentu (11:10). Penilaian CDT adalah 2 untuk gambar yang utuh dan
benar dan 0 untuk gambar yang tidak lengkap atau salah atau pada
pasien yang menolak untuk menggambar. Kemudian minta pasien untuk
mengulangi kata-kata yang sudah disebutkan sebelumnya. Skor 1 untuk
setiap kata yang dapat diulang pasien. Skor untuk penilaian hasilnya
adalah sebagai berikut: (Doerflinger, 2013)
- Mampu mengulang 3 kata dengan benar dikatakan negative screen
for cognitive impairment.
- Mampu mengulang 1-2 kata dengan benar dan CDT yang normal
(2) dikatakan negative screen for cognitive impairment.
- Mampu mengulang 1-2 kata dengan benar CDT yang abnormal (0)
dikatakan positive screen for cognitive impairment.
- Sama sekali tidak mampu mengulang kata dikatakan positive
screen for cognitive impairment.
II.2.2. General Practitioner Assessment of Cognition (GPCOG)
Pemeriksaan GPCOG merupakan salah satu bentuk dari
instrumen yang digunakan untuk menilai tingkat keparahan demensia dan
gangguan kognitif. Pengukuran ini dilakukan dengan menilai fungsi
orientasi, bahasa, memori, atensi, kemampuan berpikir abstrak, persepsi
dan kalkulasi. Kelebihan GPCOG adalah kemampuannya untuk
mendeteksi suatu gangguan kognitif ringan (Burns dkk. 2002).
Pemeriksaan GPCOG terdiri atas pemeriksaan terhadap 9 soal
untuk fungsi kognitif dan 6 soal untuk informasi. Pemeriksaan ini
membutuhkan waktu kurang dari 5 menit untuk dilakukan dan memiliki
nilai akurasi yang relatif sama dengan MMSE dalam menilai demensia
(Brodaty dkk. 2002). Dalam 9 soal yang diberikan untuk menilai fungsi
kognitif termasuk dengan melakukan CDT dengan skor maksimum 9. Bila
pada tahap ini pasien mendapat skor 9 berarti tidak dijumpai ada
gangguan kognitif dan pemeriksaan tidak perlu dilanjutkan. Bila pasien
mendapat skor 0-4 mengindikasikan suatu gangguan kognitif dan
pemeriksaan juga tidak perlu dilanjutkan. Pemeriksaan dilanjutkan ke
tahap untuk memperoleh informasi tambahan bila skor pasien 5-8 dimana
pasien diberikan 6 pertanyaan tambahan dengan skor maksimal >6. Skor
0-3 mengindikasikan adanya gangguan kognitif (Brodaty dkk. 2002).
II.2.3. Memory Impairment Screen
Memory Impairment Screen merupakan suatu pemeriksaan
gangguan memori pada demensia yang dapat dilakukan dengan cepat,
cukup tinggi pada screening demensia. Untuk moderate dementia, MIS
memilki 92% sensitifitas untuk semua jenis demensia dan 95% (PPV
≥0.69 dan NPV 0.95) untuk demensia Alzheimer (Buschke dkk. 1999).
Memory Impairment Screen dilakukan dengan meminta pasien
mengulang 4 kata yang berbeda dan tidak berhubungan. Pasien diminta
untuk mengelompokkan kata sesuai dengan kategori yang ditentukan.
Dalam penilaiannya, MIS memiliki komponen free recall dan cued recall.
Free recall adalah kemampuan untuk mengingat 4 kata yang diberikan
dalam waktu kurang dari 5 detik (untuk masing-masing kata) dan cued
recall adalah kemampuan pasien untuk mengingat sisa kata yang belum
disebutkan setelah diberi petunjuk. Skor maksimum MIS adalah 8 dengan
interpretasi nilai 5-8 dianggap normal atau tidak memilki gangguan kognitif
dan skor ≤4 dikatakan sebagai possible cognitive impairment (Modrego,
2012).
Pasien-pasien usia tua yang tidak memiliki gangguan memori bisa
tetap memiliki kesulitan dalam mengingat satu atau dua kata. Cued recall
berfungsi sebagai bantuan bagi pasien-pasien tersebut. Pasien-pasien
dengan gangguan fungsi kognitif seperti demensia akan menunjukkan
skor yang jelek baik pada free recall maupun cued recall (Ivanoiu 2005).
Kelebihan pemeriksaan dengan MIS adalah aplikasinya yang mudah,
pemeriksaan dapat dilakukan dalam waktu yang singkat (kurang dari 5
II.3. STROKE II.3.1. Definisi
Stroke adalah suatu episode disfungsi neurologi akut yang
disebabkan oleh iskemik ataupun perdarahan yang berlangsung selama
24 jam atau meninggal dan tidak memiliki bukti yang cukup untuk di
klasifikasikan (Sacco, 2013).
II.3.2. Epidemiologi
Stroke menempati urutan ketiga sebagai penyebab kematian
setelah penyakit jantung dan kanker di Amerika Serikat. Di Indonesia, data
nasional stroke menunjukkan angka kematian tertinggi sebesar 15.4%
(Misbach, 2011).
II.3.3. Patofisiologi
Iskemik otak dapat bersifat fokal atau global. Pada iskemik global,
aliran otak secara keseluruhan menurun akibat tekanan perfusi, misalnya
karena perdarahan sistemik yang masif, fibrilasi atrial berat dan lain-lain.
Sedangkan iskemik fokal terjadi akibat menurunnya perfusi otak regional
yang disebabkan oleh sumbatan yang menutup aliran darah sebagian
atau seluruh lumen pembuluh darah otak menyebabkan kerusakan pada
fungsi, integritas fisik, dan susunan sel dan akan berakhir dengan
kematian neuron. Aktifitas listrik otak akan terhenti bila aliran darah otak
kurang dari 10 cc/100 g otak/menit. Kematian sel akan terjadi beberapa
jam setelah keadaan iskemik (Misbach, 2011). Penyebab paling sering
dari stroke hemoragik adalah hipertensi arterial, dimana meningkatnya
tekanan darah mengakibatkan kerusakan pada dinding sel arteri dan
menyebabkan mikroaneurisma yang dapat ruptur secara spontan. Lokasi
yang sering untuk terjadinya perdarahan adalah pada daerah ganglia
basalis, talamus dan pons. Perdarahan lebih jarang terjadi pada daerah
deep white matter (Baehr dkk. 2005).
II.4. DEMENSIA II.4.1. Definisi
Demensia adalah suatu sindroma penurunan kemampuan
intelektual yang menyebabkan deteriorasi kognisi dan fungsional,
sehingga mengakibatkan gangguan fungsi sosial, pekerjaan dan aktifitas
sehari-hari yang dibuktikan dengan pemeriksaan klinis dan tes
neuropsikologi (Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003).
II.4.2. Epidemiologi
Dari WHO diperkirakan bahwa pada tahun 2050, populasi manusia
berusia 60 tahun keatas akan berjumlah sekitar 2 milyar. Efek negatif dari
peningkatan jumlah populasi ini adalah meningkatnya angka penderita
demensia. Sekitar 2 hingga 10% dari seluruh kasus demensia dimulai
studi epidemiologi mengindikasikan bahwa jumlah ini akan meningkat
setiap 20 tahun hingga diperkirakan akan mencapai 65.7 juta pada tahun
2030 dan 115.4 juta orang pada tahun 2050 di negara berkembang
(WHO, 2012).
Sebuah studi meta analisa yang dilakukan di negara-negara maju
menjumpai bahwa angka kematian meningkat 2.5 kali pada pasien
demensia (RR 2.63 95% ci 2.17-3.21). Studi lain menjumpai angka
kematian pada penderita demensia Alzheimer mencapai 7.1% per tahun
(95% CI 6.7-7.5 tahun) dan untuk demensia vaskular sebesar 3.9 tahun
(3.5-4.2 tahun) (Saz, 2011; Fitzpatrick, 2005).
II.4.3. Klasifikasi Demensia
WHO mengklasifikasikan demensia dalam kategori gangguan
mental organik simptomatik kedalam 4 bentuk (ICD 10-WHO, 1993):
1. Demensia Alzheimer (DA)
• DA dengan early onset
• DA dengan late onset
• DA atipikal atau bentuk campuran
• Unspecified Alzheimer’s Dementia
2. Demensia Vaskular (DVa)
• Demensia vaskular pada onset akut
• Demensia multi infark
• Demensia vaskular campuran kortikal dan subkortikal
• Demensia vaskular lainnya
• Unspecified vascular dementia
3. Demensia pada penyakit-penyakit lain
• Demensia pada Pick’s disease
• Demensia pada Creutzfeldt-Jacob disease
• Demensia pada Huntington’s disease
• Demensia pada Parkinson’s disease
• Demensia pada HIV
• Demensia pada penyakit-penyakit lain
4. Unspecified dementia
II.5. POSTSTROKE DEMENTIA II.5.1. Definisi
Poststroke dementia didefinisikan sebagai demensia yang timbul
setelah serangan stroke terlepas dari apakah penyebabnya adalah
demensia vaskular, degeneratif ataupun campuran (Pasi dkk. 2012).
Diagnosis poststroke dementia ditegakkan setelah 3 bulan pasca
serangan stroke (Misbach, 2011).
II.5.2. Epidemiologi
Insidensi poststroke dementia adalah 6.7% pada penderita usia
(Ballard, 2003). Poststroke dementia dikatakan memiliki angka prevalensi
yang lebih tinggi dibandingkan angka kekambuhan stroke. Vascular
poststroke dementia terjadi pada 30% pasien dan insidensi demensia ini
meningkat 7% setelah 1 tahun setelah stroke dan meningkat 48% setelah
25 tahun (Alvarez-Sabin dkk. 2011)
Pasien stroke yang tidak mengalami demensia ataupun gangguan
fungsi kognitif lain memiliki kemungkinan untuk mengalami poststroke
dementia dan dapat terjadi pada 50% dari semua pasien stroke dan hal ini
juga berhubungan dengan outcome (Gemmel dkk. 2012).
Prevalensi dari poststroke dementia telah dilaporkan pada banyak
penelitian. Pada 73 artikel yang mengumpulkan data kohort dari 21 rumah
sakit dan 8 populasi (7511 pasien), dijumpai kejadian demensia dalam 1
tahun setelah stroke sebesar 7% hingga 41% (Douiri dkk. 2013).
II.5.3. Patofisiologi
Etiologi poststroke dementia yang paling sering adalah demensia
vaskular, demensia Alzheimer dan campuran (Leys, 2005).
Demensia vaskular meliputi semua kasus demensia yang
disebabkan oleh gangguan serebrovaskuler dengan penurunan fungsi
kognitif mulai dari yang ringan sampai yang paling berat dan tidak harus
prominen gangguan memori serta bisa dengan atau tanpa disertai
bukan disebabkan oleh gangguan fisik karena stroke (Modul
Neurobehaviour PERDOSSI, 2008).
Demensia vaskular timbul sebagai konsekuensi dari kerusakan
jaringan otak. Untuk dapat bekerja dengan baik, otak membutuhkan
asupan darah yang cukup. Darah dialirkan ke otak melalui suatu sistem
perdarahan yang dibentuk oleh kumpulan pembuluh darah yang mana bila
terjadi gangguan atau perubahan akan dapat menyebabkan kerusakan
pada sel-sel neuron otak (Misbach, 2011). Kerusakan pembuluh darah
kecil berhubungan dengan terjadinya infark lakunar dan perubahan pada
white matter yang terjadi di daerah subkorteks dan dapat menimbulkan
gangguan kognitif. Penyakit-penyakit pada arteri kecil yang sering
menyebabkan kerusakan pembuluh darah adalah arteriosklerosis,
lipohialinosis, cerebral amyloid angiopathy, dan kalsifikasi pada basal
ganglia. Kerusakan pembuluh darah dapat terjadi akibat proses iskemik
yang dan menyebabkan nekrosis fokal pada jaringan saraf. Dikatakan
bahwa nekrosis fokal ini akan meluas melibatkan sel saraf lain (Iemolo
dkk. 2009).
Sinaps dan neuron pada regio otak yang berperan dalam proses
belajar dan memori seperti di hipokampus, korteks, dan basal ganglia
dijumpai mengalami degenerasi pada pasien-pasien demensia Alzheimer.
Perubahan histologi yang dijumpai pada demensia Alzheimer meliputi
deposit amiloid ß-peptida (Aß) di ekstraselular dan degenerasi neuron.
membentuk suatu plaque neuritik menyebabkan disfungsi mitokondria
(Mattson, 2001).
II.5.4. Gejala Klinis
Demensia merupakan suatu sindroma klinis yang bersifat progresif.
Gangguan memori yang dijumpai dalam proses belajar, menyimpan dan
mengingat kembali suatu bentuk informasi merupakan penanda utama
dari demensia. Selain itu juga dijumpai gejala seperti penurunan daya
berpikir, daya pertimbangan, kemampuan berkomunikasi, gangguan
orientasi dan perubahan kepribadian (Pasi dkk. 2012).
Gejala klinisnya dapat serupa dengan demensia lain (demensia
Alzheimer, demensia vaskular atau campuran). Gejala demensia
poststroke dapat berupa gangguan daya pikir, konsentrasi dan komunikasi
serta gangguan memori dengan gejala depresi dan ansietas yang
mengikuti gejala stroke seperti kelemahan pada ekstremitas dan parese
nervus kranialis (Pasi dkk. 2012).
Gejala perilaku pada demensia dapat berupa disinhibisi dengan
berperilaku impulsif, agitasi, wandering (seperti mengikuti, berjalan
bolak-balik), ledakan amarah. Sementara gejala psikologis pada demensia bisa
berupa mood depresi, apati dan ansietas serta dapat diikuti dengan atau
tanpa gejala psikotik seperti disinhibisi, halusinasi, delusi, dan waham
(Cilag, 2002). Gejala perilaku pada demensia bersifat kronik progresif
dibedakan dengan gangguan psikiatri yang bersifat akut yang timbul dan
berkembang dalam waktu singkat (DSM-IV, 2000).
II.6. KERANGKA TEORI
Mini-Cog
GPCOG
MIS
Verghese dkk. 2012 menunjukkan MIS
memiliki nilai sensitifitas (95.4% 95%CI) dan spesifisitas (99.2% 95% CI) yang lebih tinggi dibandingkan dengan MMSE
terutama pada pasien usia tua dengan latar belakang pendidikan yang rendah. Lipton dkk. 2003 menunjukkan MIS
memiliki sensitifitas 78% dan spesifisitas 93% (P<0.05) bila dibandingkan dengan
CFT dan TICS.
Burns dkk 2002. Kelebihan GPCOG adalah kemampuannya untuk mendeteksi suatu gangguan kognitif ringan.
Brodatydkk. tahun 2002 didapatkan bahwa GPCOGreliable dan superior terhadap MMSE
dengan 85% sensitifitas dan 86% spesifitas.
Brodaty 2006. Menunjukkan Mini-Cog
merupakan salah satu pilihan yang terbaik untuk screening dementia dengan nilai spesifisitas >80% dengan 95% CI. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan MMSE
yang lebih sering digunakan.
Pasien Stroke
Ebbel dkk. 2009 Mini-Cog memiliki sensitifitas 99% dan spesifisitas 93% (LR+ 14.1 dan LR- 0.01). Mini-Cog lebih superior dalam hal waktu pemeriksaan, kemudahan aplikasi dan tingkat akurasi yang tinggi.
Millian dkk 2013 Mini-Cog
memiliki 79.6% spesifisitas pada pasien dengan depresi dan 100% pada pasien sehat. Angka ini tidak dipengaruhi oleh keparahan depresi. Ini menjadikan Mini-Cog lebih superior daripada MMSE yang nilai spesitifitasnya dipengaruhi oleh derajat keparahan depresi.
II.7. KERANGKA KONSEP