LAMPIRAN-LAMPIRAN LAMPIRAN I:
SINOPSIS ENTROK
Marni dan Rahayu, dua generasi yang tak pernah bisa mengerti tentang
kehidupan ini, akhirnya menyadari ada satu titik singgung dalam hidup mereka.
Keduanya sama-sama korban orang yang punya kuasa, sama-sama melawan
senjata dan akhirnya kalah. Kehidupan Marni sudah tidak punya jiwa lagi. Marni
mengalami gangguan kejiwaan sedangkan Rahayu selama lima tahun harus
berjuang untuk mendapatkan hidupnya kembali.
Marni dilahirkan saat jaman perang di desa Singget. Ini diketahuinya dari
cerita Simboknya. Dia sendiri tak pernah melihat itu semua. Yang dia tahu,
tiba-tiba ada yang berbeda di dadanya. Lama-kelamaan Marni merasa tidak nyaman
dengan dadanya. Jika dia lari kedua gumpalan yang ada di dadanya
terguncang-guncang. Dia heran melihat Tinah, anak pamannya yang dadanya terlihat kencang.
Lalu Tinah menjelaskan karena dia memakai entrok atau BH.
Marni berharap dia akan memiliki entrok tersebut. Lalu ia meminta kepada
ibunya, tetapi ibunya tidak tahu apa itu entrok. Ibunya juga tidak memilikinya. Untuk membeli entrok ibunya juga tidak pernah mempunyai uang. Demi untuk
mendapatkan entrok akhirnya Marni ikut ibunya bekerja mengupas ubi di pasar Ngranget. Hanya Nyai Dimah yang mau menawarkan mereka bekerja. Sebagai
upahnya mereka mendapatkan ubi. Pekerja wanita tidak mendapatkan duit sebagai
Setelah haid, benjolan di dada Marni semakin membesar dan mengencang.
Hasratnya untuk memiliki entrok semakin besar pula. Marni berpikir jika dia bekerja mengupas ubi tentu tidak akan pernah mendapatkan uang dan dia tidak
akan pernah dapat membeli entrok. Akhirnya ia memutuskan bekerja seperti yang
dilakukan oleh kaum pria. Ia bekerja sebagai kuli angkat barang. Dia membuat
suatu perubahan besar dalam tatanan masyarakatnya bahwa perempuan juga bisa
mengerjakan pekerjaan kaum lelaki.
Marni bekerja sebagai kuli angkat barang. Setelah beberapa lama bekerja,
Marni memiliki uang. Dengan uang tersebut dia membeli sebuah entrok. Dia gembira bukan kepalang karena impiannya selama ini sudah tercapai. Bahkan di
malam hari dia bermimpi bahwa dia memiliki entrok bermacam-macam.
Keinginan muncul ketika Marni melihat tabungannya sudah banyak. Ia
ingin bakulan (jualan) tetapi tidak di pasar, melainkan jualan keliling kampung.
Ia membelanjakan sebagain uangnya dan dia mulai berjualan. Setiap hari dia
berangkat bersama ibunya ke Pasar Ngranget membeli barang dagangan, lalu
pulang dan mampir ke setiap rumah yang ada di sepanjang jalan dan di seluruh
desa Singget.
Teja yang bekerja sebagai kuli panggul ingin melamarnya. Marni juga
merasa dia mencintai Teja. Lalu mereka menikah. Setelah menikah Teja tidak lagi
bekerja sebagai kuli panggul di pasar Ngranget, tetapi dia setiap hari membawa
barang jualan menemani Marni. Jadi, barang jualan mereka menjadi lebih banyak
dibanding ketika Marni masih berjualan sendiri. Tempat yang mereka kelilingi
dan juga tidak pernah meminta. Harga barang yang dijual juga dia tidak tahu,
yang dia tahu hanya mengangkat goni yang berisi barang jualan di pundak. Yang
penting bagi Teja, bisa membali tembakau linting setiap hari.
Komandan tentara itu datang menagih uang setoran keamanan. Biar usaha
Marni tidak ada yang mengganggu. Setiap dua minggu sekali tentara ini akan
datang ke rumah Marni dan Marni harus menyediakan uang buat mereka. Saat itu
Marni sudah berprofesi sebagai rentenir. Dia meminjamkan uang kepada warga
yang membutuhkan dengan bunga pinjaman 10%.
Hari demi hari kehidupan Marni semakin meningkat. Rahayu, anak
mereka sudah berusia sepuluh tahun ketika para tentara itu pertama kali datang ke
rumah Marni. Rahayu iri kepada para tentara itu. Setiap kali datang, ibunya selalu
memberi mereka uang. Selama dua puluh tahun Rahayu selalu mendengar ibunya
bercerita tentang sulitnya mencari uang. Tentang cerita jaman dahulu, saat dia
berjalan kaki ke pasar Ngranget, hidupnya yang melarat, sampai-sampai tidak bisa
beli BH. Ibunya selalu mengulangi cerita itu disertai keinginan agar anaknya bisa
sekolah, biar bisa jadi pegawai. Ibunya tidak peduli, dia harus mencari uang
dengan susah payah agar anaknya, Rahayu bisa sekolah yang tinggi.
Rahayu tidak mengerti melihat ibunya masih tekun mengurusi uang
recehan yang dikumpulkannya setiap hari. Rahayu juga tidak mengerti tentang
ibunya yang tetap percaya kepada arwah leluhur dan memberi makan leluhurnya
setiap hari kelahiran ibunya. Ibunya percaya bahwa Mbah Ibu Bumi Bapak Kuasa
Marni, perempuan Jawa buta huruf yang masih memuja leluhur. Melalui
sesajen dia menemukan dewa-dewanya, memanjatkan harapannya. Tidak pernah
dia mengenal Tuhan. Dia mempertahankan hidup dengan caranya sendiri.
Menukar keringat dengan sepeser demi sepeser uang. Dia merasa tidak bersalah
karena dia tidak mencuri, menipu, atau membunuh.
Tanggal 5 Juli 1970 adalah pemilu pertama setelah peristiwa G-30-S PKI.
Rahayu belum mengerti benar tentang pemilu. Semua orang dianjurkan untuk
memilih. Tetapi orang tua Rahayu lebih tertarik kepada uang recehannya daripada
ikut pemilu. Pada hari itu mereka pergi berjualan, namun mereka disuruh oleh
petugas ke balai desa, tempat pemilu diselenggarakan. Mereka berjualan di situ.
Kemudian datang tentara dengan berpakaian seragam, mereka minta uang
keamanan kepada Marni.
Tahun 1975, Rahayu sudah kelas enam SD. Rumah gubuk mereka sudah
diubah menjadi rumah bata. Rumahnya tidak terlalu besar, satu ruang tamu, satu
kamar tidur, dan satu bagian dapur. Lantainya masih tanah. Orang-orang yang
berseragam loreng itu kembali mendatangi rumah Marni. Rahayu mengenali
mereka. Merekalah yang mengambil panci dan wajan ibunya, saat mereka
berjualan di Balai desa. Para tentara itu meminta uang keamanan kepada Marni,
karena mereka tahu Marni membungakan uang.
Tahun 1977 akan diadakan Pemilu lagi. Pak RT datang ke rumah Marni
meminta sumbangan untuk partai pemerintah. Walaupun Marni mengatakan dia
tidak punya uang, namun Pak RT tetap memaksa. Seperti biasa, Pak RT
kuning. Semua warga haus memenangkan partasi tersebut, yang tidak mendukung
partai ini berarti orang PKI. Mau tidak mau Marni harus menyumbang.
Pencoblosan dilakukan pada tanggal 2 Mei 1977. Seperti lima tahun yang lalu,
partai berwarna kuning ini menang.
Memasuki tahun 1980, listrik sudah mulai masuk ke desa Singget. Pak
Lurah membeli Televisi. Marni juga terbius dengan kotak bergambar itu. Dia
pergi ke Pasar Gede Madiun untuk membali TV. Hanya Koh Cayadi pemilik toko
Cahaya yang menjual TV karena Televisi dianggap barang mewah yang hanya
bisa dibeli oleh orang-orang tertentu.koh Cayadi tahu bahwa yang membeli TV
bukan orang sembarangan, maka dia melayani mereka dengan sangat ramah.
Marni dilayani Koh Cayadi dengan baik. Mereka bercerita panjang lebar tentang
keluarga, usaha, sampai kepada kepercayaan mereka kepada leluhur yang ikut
membantu kelancaran usaha. Ternyata Koh Cayadi seorang menganut leluhur
juga. Dia menawarkan kepada Marni untuk ikut berjiarah ke Gunung Kawi dan
Marni menyetujuinya.
Kepulangan Marni diantar oleh orang-orang Cina menjadi pembicaraan
orang-orang Singget. Apalagi Marni pulang setelah Jumat Legi. Sudah sejak dulu
orang-orang Tionghoa suka ke Gunung Kawi setiap Jumat Legi untuk mencari
pesugihan. Orang-orang Singget juga menuduh Marni mencari pesugihan. Di sekolah Rahayu mendapat olok-olok baru, tidak hanya anak lintah darat tetapi
juga anak tuyul. Mereka membicarakannya di mana-mana, tetapi pada malam hari
Marni membeli kenderaan roda empat. Dari hasil panen tebu dan cicilan
piutang orang, akhirnya dia bisa membeli mobil pikap bekas. Marni berniat minta
bantuan Koh Cayadi. Namun, ketika dia datang ke rumah Koh Cayadi, di sana ada
beberapa orang tentara. Mereka melarang Marni masuk. Dari Ellen, Marni
mengetahui bahwa Koh Cayadi sering pergi secara diam-diam ke Kelenteng dan
memberi sumbangan. Padahal, Kelenteng itu sudah ditutup sejak terjadi
pemberontakan PKI.
Pada kampanye putaran teakhir, pak Lurah datang ke rumah Marni. Dia
mau meminjam pikap Marni untuk arak-arakan ke kabupaten. Tetapi naas bagi
Marni, mobilnya tabrakan dan jatuh ke sungai. Bejo, supir Marni meninggal
dunia. Mobil Marni ditahan di kantor polisi. Untuk mengeluarkannya, dia harus
membayar denda karena mobilnya sudah mencelakakan orang lain.
Kematian Bejo dianggap sebagai tumbal pesugihan. Marni tidak berdaya
dituduh seperti itu. Seberat-berat musibah yang dialaminya Marni tetap percaya
bahwa Mbah Ibu Bumi Bapak Kuasa akan menolongnya. Dia berdoa suapaya
diberi ketenangan dan kemudahan rezeki agar bisa menyrkolahkan anaknya
setinggi-tingginya untuk menebus penyesalan dirinya yang menjadi orang bodoh
dan tidak kenal huruf. Rahayu memilih kuliah di Jogja. Sejak kepergian Rahayu,
Marni merasa kesepian. Apalagi Teja sering tidak pulang karena selingkuh. Marni
diam saja mendengar cerita tentang Teja, yang penting Teja tidak menikah lagi.
Tahun 1983, Mali anak Pak Tikno ditemukan mati di kali. Salah satu
peronda mengatakan Mali bunuh diri akibat kesusahan. Namun, beberapa hari
gambar tato berlumuran darah, kepalanya seperti dipukul batu besar. Orang
tersebut adalah pereman Pasar. Ketika Rahayu pulang dari Jogja, dia juga
mengatakan banyak mayat-mayat yang bergelimpangan.
Sudah setahun Rahayu tidak pulang ke kampungnya. Setelah kuliah dua
tahun, dia tidak tertarik lagi dengan kuliahnya. Dia sibuk berorganisasi dan
pengajian kampus. Saat candi Borobudur dibom bulan Januari 1985. Rahayu dan
teman-temannya sedang melaksanakan kegiatan pengabdian masyarakat. Mereka
melatih guru-guru ngaji. Para tentara yang menyelidiki kasus pemboman ini,
curiga kepada Rahayu dan teman-temannya karena mereka tidak melaporkan
kegiatan mereka. Akhirnya mereka dibawah ke markas. Setelah terbukti tidak
bersalah mereka dibebaskan.
Amri adalah dosen Fakultas Hukum. Dia sudah beristri dan punya anak.
Sekarang dia kehilangan pekerjaannya. Amri ingin menikahi Rahayu. Rahayu
menerima lamaran Amri. Marni kecewa pada Rahayu karena dia akan jadi istri
kedua. Perbedaan pendapat ini membuat hubungan Marni dan Rahayu semakin
renggang. Marni sebenarnya keberatan, dia ingin mengadakan pesta
besar-besaran, tetapi Rahayu melarang.
Dua hari setelah pernikahan, Rahayu pergi. Marni sudah tidak punya
keinginan lagi menahan mereka. Hatinya belum ikhlas menerima pernikahan itu.
Biarlah dia tidak melihat Rahayu, agar dia tidak terus-terusan menyesali
kebodohan anaknya itu. Anak yang selalu didoakan supaya bisa sekolah
tinggi-tinggi, bisa menjunjung martabat orangtua, malah berbuat seenaknya sendiri. Dia
Koh Cayadi datang ke rumah Marni untuk bersembunyi. Dia menjadi
buronan polisi karena dia adalah salah satu penyumbang untuk kegiatan partai
komunis. Marni ikut dibawa ke markas karena menyembunyikan Koh Cayadi.
Marni dituduh sebagai antek PKI juga. Marni menjelaskan bahwa dia tidak tahu
apa-apa, koh cayadi hanya menumpang tidur di rumahnya saja. Ternyata
komandannya adalah Sumadi yang dulu sering datang ke rumah Marni menagih
uang keamanan. Seperti biasanya, Sumadi menawarkan jasa kepada Marni dengan
imbalan satu hektar kebun tebu.
Pada peringatan seratus hari wafatnya Teja, datanglah seorang perempuan
dengan seorang anak ke rumah Marni mengaku sebagai istri Teja dan anaknya.
Mereka meminta harta warisan supaya dibagi dua. Untuk menyelesaikan masalah
ini Marni minta bantuan kepada Pak Lurah, tetapi keputusannya Marni harus
membagi setengah dari hartanya. Marni keberatan. Dia minta bantuan kepada
Komandan Sumadi. Sumadi meminta seperempat dari harta Marni. Marni
menyerah, daripada dia harus kehilangan setengah hartanya. Sekali lagi Marni
menjadi korban orang-orang bersenjata.
Suatu hari datang seorang Kyai dari desa sebelah meminta bantuan kepada
Kyai Hasbi. Mereka akan diusir dari desa mereka karena akan dibangun sebuah
waduk. Kyai Hasbi menugaskan Rahayu dan Amri untuk mengatasi masalah itu.
Para penduduk tetap bertahan, namun baku hantam tidak dapat dihindarkan. Amri
gugur dalam pertempuran itu, Kyai Hasbi mengajak Rahayu pulang ke pondok
dan menawarkan diri untuk menikahi Rahayu menjadi istri keempat. Namun,
Akhirnya Rahayu dan orang-orang itu ditangkap dan dimasukkan ke dalam
penjara karena dianggap sebagai pemberontak.
Maret 1990, pabrik gula Purwadadi sudah bangrut. orang-orang Singget
tidak lagi mau membeli gula buatan pabrik tersebut. Mereka lebih memilih gula
dari Pasar Gede. Akibatnya, Marni tidak mendapatkan uang lagi dari kebunnya.
Penderitaan lainnya juga yang dialami Marni adalah masyarakat sudah tidak mau
lagi meminjam uang kepadanya, karena sistem perbankan sudah mulai memasuki
desa Singget. Bank tersebut meminjamkan uang dengan suku bunga delapan
persen dan dapat dicicil setiap minggu. Walaupun Marni menawarkan kepada
warga suku bunganya sama dengan bank, namun orang tidak mau juga meminjam
kepada Marni. Walhasil, Marni menyerah pada nasib dan dia mulai gulung tikar.
Rahayu pulang ke kampungnya setelah keluar dari penjara. Dia disambut
gembira oleh ibunya. Ibunya sudah melupakan semua pertengkaran diantara
mereka. Marni merasa seolah-olah hidupnya gairah kembali. Rahayu juga sudah
mencairkan segala perbedaan pandangan yang terjadi diantara mereka selama ini.
Dia menurut saja, ketika ibunya mau mengawinkan dia.
Semua persiapan untuk pernikahan Rahayu hampir selesai. Pelaminan dan
teratak sudah berdiri di depan rumah Marni. Surat pernikahan juga sudah diurus,
tinggal menunggu siapnya saja. Tiba-tiba seseorang berteriak mengatakan bahwa
pernikahan Rahayu tidak bisa diselenggarakan karena Rahayu orang terlibat.
KTPnya berbeda dengan KTP ibunya. Pihak lelaki tidak mau mencari masalah
menjadi seperti orang linglung. Semua harapannya hancur. Dia hanya bisa
SINOPSIS 86
Arimbi bekerja sebagai juru ketik di kantor pengadilan di Jakarta. Dia
hidup hanya dari hasil gajinya saja yang diterimanya setiap bulan. Dengan gaji
yang pas-pasan, dia hanya bisa mengontrak sebuah kamar kos yang terletak di
daerah kumuh.
Arimbi alumni sebuah kampus swasta di Solo. Dulu ketika dia kuliah, dia
juga menyewa sebuah kamar kos yang murah. Orangtuanya hanya mempunyai
sepetak kebun jeruk yang dipanen setahun sekali. Nasib Arimbi beruntung bisa
menjadi PNS tanpa memakai uang sogok. Sudah empat tahun Arimbi bekerja di
sana. Sebagai juru ketik, dia hanya mengerjakan pekerjaan apa yang diperintahkan
oleh atasannya. Tugas Arimbi adalah mengetik putusan perkara yang dibuat oleh
hakim dan sesekali menghadiri acara persidangan. Arimbi bekerja atas perintah
Bu Danti. Tugas Arimbi tidaklah sulit, dia hanya mengetik berkas yang ditandai
dengan kata “segera” oleh Bu Danti. Dia bekerja sesuai dengan urutan yang sudah
diatur oleh Bu Danti.
seseorang yang mengantarkan AC ke kamar kos Arimbi. Hari sabtu dan
minggu Arimbi tidak masuk kantor. Bu Danti mengatakan itu hadiah dari
seseorang karena Arimbi sudah menolongnya mengetikkan putusan hakim.
Arimbi bingung, namun dia senang menerimanya.
Arimbi pulang ke kampungnya di Ponorogo hanya sekali dalam setahun,
ketika Idul Fitri. Dia akan pulang malam lebaran karena tidak dapat tiket, padahal
bertemu dengan Hari, teman sekantornya yang juga akan pulang kampung ke
Kediri.
Di hari berikutnya, Arimbi berjalan-jalan menyusuri kampungnya. Dia
berhenti di pinggir sungai dan bertemu dengan Narno, temannya waktu SMP.
Mereka bercerita banyak. Sebelumnya Narno bekerja di Surabaya, setelah di
PHK, dia kembali ke kampungnya dan sekarang bekerja mengolah sawah pak
Lurah. Mereka membicarakan Widodo, teman mereka waktu SD, dia sudah jadi
pamong desa setelah membayar empat puluh juta.
Arimbi masih tidak percaya dengan yang didengarnya dari Narno. Tetapi
perkataan Narno semakin nyata, ketika Pak Lurah datang ke rumahnya. Pak Lurah
ingin supaya anaknya yang sarjana hukum bisa bekerja di kantornya Arimbi. Pak
Lurah minta tolong agar Arimbi mencarikan orang yang bisa mengurus anaknya
jadi pegawai negeri. Dia sudah menyiapkan uang seratus juta.
Hari pertama bekerja setelah libur panjang selama lebaran, Arimbi
mengerjakan beberapa perkara yang sudah ditandai oleh Bu Danti. Ada beberapa
perkara yang sudah diputus beberapa tahun yang lalu. Arimbi mencari berkas
perkara yang diputus bulan Januari 2003. Untung berkasnya belum dimakan
rayap. Arimbi bingung, mengapa putusan yang lama-lama tidak ada yang
meminta. Arini temannya menimpali, katanya karena belum ada yang
membutuhkan.
Arimbi lalu menceritakan hal AC tersebut kepada temannya Anisa. Anisa
tertawa dan mengatakan Arimbi beruntung karena baru empat tahun bekerja sudah
cerita Anisa. Lalu Anisa menceritakan semua “permainan” yang ada di kantor
pengadilan itu. “Permainan” di ruang pengadilan dikendalikan oleh Bu Danti,
yang berugas sebagai panitera pengadilan. Ia banyak bermain dengan hakim dan
pengacara. Bu Danti juga menjadi makelar kasus. Menghubungkan kepentingan
terdakwa, pengacara, dan hakim. Bu Danti bisa menyambungkan kepentingan
terdakwa untuk menang, lewat pengacara mereka, dan mengabsahkannya lewat
keputusan hakim.
Permainan kecil Bu Danti inilah yang awalnya ditawarkan pada Arimbi.
Setiap Bu Danti dapat pesanan hasil putusan hakim dari pengacara, ia menyuruh
Arimbi mengetik. Permainan yang Arimbi mainkan ini pun tidak dicela oleh
keluarganya. Arimbi mengirim uang untuk ayahnya lebih besar dari biasanya.
Arimbi mengatakan dapat uang tambahan. Ayah Arimbi di kampung memahami
permainan tersebut sudah seperti yang semestinya. Perbuatan itu sudah sering
dilakukan orang.
Arimbi menabung uang yang didapatnya dari pengacara yang memesan
putusan perkara kepadanya. Arimbi sudah punya banyak uang, Arimbi pindah dari
kamar kontrakan ke kos-kosan model apartemen. Di tempat kosnya yang baru,
Arimbi harus mengeluarkan biaya tujuh ratus lima puluh ribu sebulan, Arimbi
memakai uang tabungan dari hasil pemberian itu. Sekarang Arimbi tidak perlu
memikirkan bagaimana untuk memenuhi kebutuhannya sebulan dengan uang gaji
yang diterimanya.
Di tempat kosnya yang baru, Arimbi bertemu Ananta. Semula, Arimbi
dan enak diajak berbicara, akhinya hubungan mereka menjadi lebih dekat. Arimbi
yang selama ini tidak pernah berpacaran, merasa tersanjung dengan kehadiran
Ananta. Ananda bekerja sebagai petugas survei di perusahaan pemberi kredit
motor. Ananta banyak berceirita tentang tingkah nasabah yang sering main
kucing-kucingan dengannya.
Arimbi juga menceritakan tentang “permainan” di kantornya. Ananta tidak
terkejut, bahkan dia mendukung Arimbi. Dikatakannya bahwa bapaknya dulu juga
sering melakukan hal sama. Bapak Ananta bekerja sebagai kurir di kantor
pertanahan. Bapaknya juga sering mendapat uang dari orang-orang yang
mengurus sertifikat tanah. Tugas bapaknya adalah menghubungkan orang yang
mau mengurus sertifikat tanah dengan pejabat berwenang. Jika urusannya sudah
beres, maka bapak Ananta akan mendapat komisi. Ananta memandang justru dari
kemakelarannya tersebut, bapaknya bisa menghidupi keluarga, bukan dari gaji
resmi. Dengan demikian, Ananta memandang kemakelaran bapaknya itu sebagai
sesuatu yang baik dan sudah bersifat umum. Semua orang sudah maklum. Jadi,
tidak perlu dirisaukan lagi.
Arimbi dan Ananta merasa yakin bahwa mereka pasangan yang cocok.
Mereka akan melangsungkan perkawinan. Mereka akan menikah di kampung
Arimbi. Sebelum menikah, Ananta mengajak Arimbi bertemu dengan orang
tuanya. Mereka pergi ke kampung Ananta di Klaten. Ananta mengajak Arimbi
naik kereta api. Arimbi senang karena dia belum pernah naik kereta api. Ananta
sengaja tidak membeli tiket. Saat kereta berhenti mereka naik dengan
Ananta menyusuri setiap gerbong. Namun, tidak ada tempat duduk yang tersisa.
Akhirnya, Ananta dan Arimbi duduk di lantai di depan pintu kereta.
Permainan 86 juga terjadi di saat pernikahan Arimbi. Ananta lupa membuat surat menumpang nikah. Sesaat sebelum akad, Arimbi didatangi petugas
KUA dan pamong desa. Pamong desa itu adalah Widodo, teman SD Arimbi.
Arimbi teringat tentang cerita Narno bahwa Widodo menyogok empat puluh juta
untuk bisa jadi pamong. Widodo meminta Arimbi menunjukkan surat
menumpang nikah Ananta. Ternyata surat tersebut tidak ada. Namun, si pamong
memberi jalan keluar bahwa dengan menambah biaya satu kali lipat, surat
menumpang nikah sudah bisa dihadirkan. Arimbi membayar dan urusan pun
beres. Pernikahan bisa dilangsungkan.
Setelah menikah, Arimbi dan Ananta tinggal di kamar Arimbi. Ananta
yang bekerja sebagai petugas survei memiliki penghasilan yang tidak seberapa.
Ananta juga harus menyisihkan sebagian uangnya setiap bulan untuk orang
tuanya. Ananta dan Arimbi berniat untuk pindah dari kamar itu karena terlalu
sempit untuk berdua.
Sebuah SMS dari Bu Danti masuk menjelang tengah malam. Bu Danti
sebagai panitera pengadilan, menyuruh Arimbi menemui penghubung dan
pengacara terdakwa di sebuah restoran. Arimbi segera datang ke restoran tersebut,
lalu dia berbicara dengan pengacara dan penghubung, yaitu Sasmita dan Rudi.
Sasmita menyerahkan sebuah koper yang berisi uang dua milyar kepada Arimbi.
kliennya. Bu Danti menghubungkan dengan tiga orang hakim pemutus perkara.
Masing-masing hakim meminta lima ratus juta. Sisanya komisi untuk Bu Danti.
Arimbi langsung ke Tebet ke rumah Bu Danti. Bu Danti memberi Arimbi
persenan lima puluh juta. Arimbi senang sekali dan merancang apa saja yang bisa
dibeli dengan uang sebesar itu. Setelah sampai di rumah Bu Danti, Arimbi
langsung menyerahkan koper itu kepada Bu Danti. Dia membuka koper itu dan
menghitung uangnya. Kemudian dia memberikan komisi Arimbi.
Tiba-tiba, pintu diketuk, petugas KPK masuk ke rumah Bu Danti. Bu
Danti gelagapan dan menyuruh pembantu menyembunyikan koper di kamarnya.
Petugas KPK menggeledah seluruh ruangan rumah. Kamar pembantu juga
digeledah dan ditemukan uang sogokan milyaran itu. Bu Danti sudah lama
menjadi incaran KPK, tetapi baru kali ini mereka bisa menangkap tangan
perbuatan Bu Danti. Sial bagi Arimbi, dia terjerat dalam masalah ini. Arimbi
mengaku sebagai bawahan Bu Danti, dia ikut digeledah dan petugas menemukan
sejumlah uang di dalam tasnya. Arimbi dan Bu Danti diseret ke tahanan.
Arimbi dan Bu Danti ditahan di sel polisi. Di sel ini mereka tidak banyak
bicara. Keesokan harinya Bu Danti pindah ke ruang tahanan yang ber-AC. Arimbi
meminta kepada Bu Danti agar dia juga ikut pindah. Bu Danti dengan tegas
mengatakan, jika ingin pindah kamar harus punya uang. Bu Danti mengatakan
delapan enam. Arimbi harus bersesak-sesak dengan sejumlah tahanan lain karena
tidak punya uang.
Seorang pengacara yang kenal baik dengan Arimbi mengajukan diri selaku
tenar karena membela tersangka koruptor. Adrian berharap akan banyak
koruptor-koruptor berduit lain yang tertarik menggunakan jasanya sebagai pembela mereka
nanti.
Dalam beberapa kali persidangan, Arimbi bertemu dengan Bu Danti.
Mereka tidak saling menegur lagi. Arimbi merasa dia sengaja dijebak oleh Bu
Danti dalam masalah ini. Bu Danti tidak merasa menjebak Arimbi. Dia hanya mau
berbagi rejeki kepada Arimbi. Dalam pembelaannya Bu Danti selalu memojokkan
Arimbi. Semua bukti terarah padanya. Arimbi takut, tetapi Adrian mengajari
Arimbi cara menjawab. Arimbi merasa tenang didampingi oleh Adrian.
Pengacara Bu Danti mengajak kerjasama dengan Adrian. Mereka akan
memberikan uang lima ratus juta kepada Adrian agar Arimbi mau mengubah
kesaksiannya. Adrian menyampaikan tawaran itu kepada Arimbi. Demi uang,
Arimbi rela untuk meniadakan keterlibatan Bu Danti dalam kasus tersebut. Arimbi
menekan kemarahannya dan menerima tawaran Bu Danti.
Hari-hari berikutnya Arimbi harus menghadapi sidang sendirian. Dia
didampingi oleh seorang pengacara dari bantuan negara. Hakim tipikor yang
menangani kasus Bu Danti dan Arimbi tidak bisa disogok, berbeda dengan hakim
yang ada di tempat kerja Arimbi. Akhirnya, Bu Danti divonis tujuh tahun, Arimbi
empat setengah tahun.
Arimbi dan Bu Danti dibawa ke penjara perempuan di Jakarta Timur.
Arimbi berkenalan dengan Tutik di penjara. Tutik adalah kepala kamar yang
ditempati Arimbi. Tutik sudah tiga tahun di penjara. Dia masuk penjara karena
masuk penjara. Suami majikannya selingkuh dengan dirinya. Mereka tertangkap
basah sedang berselingkuh. Istri majikannya marah besar kepadanya dan
memukulnya dengan sapu bertubi-tubi. Untuk mempertahankan diri, akhirnya dia
menusuk lengan majikannya yang perempuan. Dia divonis lima tahun penjara.
Sampai sekarang, tidak ada seorang pun yang pernah menjenguknya.
Walaupun di dalam penjara, tetapi Tutik masih bisa mengirim uang untuk
anak dan orang tuanya di kampung. Semua dikumpulkan di penjara. Jatah dari
sesama tahanan yang mendapat besukan, setoran dari tahanan yang punya banyak
uang, juga berbagai pekerjaan yang dilakukan di penjara. Tutik juga bekerja
sebagai pembantu Bu Danti untuk membersihkan kamar, menyetrika dan mencuci.
Dia mendapat upah lima ratus ribu setiap bulan dari Bu Danti.
Bu Danti tinggal di ruangan atas. Tempat tidurnya besar dan empuk. Di
kamarnya ada TV berwarna ukuran besar. Di ruangan itu juga ada dapur dengan
kompor gas dan oven listrik. Kulkasnya dua pintu yang selalu penuh dengan
makanan. Ruangan itu selalu dingin karena ada AC-nya. Kamr mandi ada di
dalam ruangan itu. Kamar mandi itu baru dibuat begitu Bu Danti menempati
ruangan itu. Kamar mandinya kecil tapi bagus dan serba otomatis.
suatu hari, Arimbi mendengar kabar bahwa ibunya masuk rumah sakit dan
harus dioperasi karena penyakit ginjal. Ayahnya sudah menjual kebun jeruknya
untuk biaya operasi, tetapi setiap seminggu sekali ibunya harus cuci darah. Setiap
cuci darah memerlukan uang satu juta. Mereka membutuhkan uang empat juta
setiap bulannya. Arimbi bingung dari mana mereka bisa mendapat uang sebanyak
penghasilannya kecil dan dia tidak pandai cari uang. Ananta hanya punya cinta
saja.
Tutik melihat Arimbi sedih memikirkan hal itu. Lalu Tutik menghibur
Arimbi dengan melakukan sesuatu terhadap tubuh Arimbi. Tutik berjanji akan
meminjamkan uang kepada Arimbi. Arimbi tidak dapat menolak permintaan
Tutik, selain dia kasihan kepada Tutik, sebenarnya dia juga butuh hiburan. Setelah
kejadian ini, Arimbi dan Tutik kerap saling memuaskan diri tatkala tahanan lain
sudah lelap tertidur.
Tutik yang memperkenalkan Arimbi kepada Cik Aling. Cik Aling adalah
wanita tahanan lama yang memproduksi sabu-sabu di dalam penjara. Ia
membayar sipir-sipir agar bahan-bahan tersebut bisa masuk. Dari penjara ini Cik
Aling meracik dan mengedarkannya ke luar penjara. Cik Aling punya orang-orang
yang bisa menjualnya. Tutik memanfaatkan Arimbi agar mau menerima tawaran
Cik Aling. Imbalan yang didapat cukup untuk membayar pengobatan ibunya
setiap bulan. Lalu Arimbi menawarkan pekerjaan ini kepada Ananta suaminya.
Ananta hanya mengantarkan pesanan saja ke hotel-hotel yang dirujuk oleh Cik
Aling.
Tutik juga bagian dari pengedar sabu-sabu dari dalam penjara. Bu Danti
adalah salah satu pelanggan sabu-sabu Cik Aling yang ditawarkan oleh Tutik.
Ternyata Bu Danti sudah lama memakainya. Arimbi tersenyum, dia tidak pernah
membayangkan jika Bu Danti dari dulu sudah kecanduan obat terlarang tersebut.
Arimbi menyampaikan tawaran Cik Aling kepada Ananta untuk mencari
Sampai suatu hari dia berkenalan dengan seorang pelajar STM yang bernama
Dodi. Dari dodi, perjalanan ini dimulai sampai akhirnya Ananta mempunyai tujuh
orang pelanggan yaitu teman sekolah Dodi. Dari pesanan ini, Ananta mendapat
tambahan penghasilan sekitar lima juta enam ratus ribu tiap bulan.
Seorang sipir memanggil Arimbi pada Agustus 2007. Dia menjanjikan
kepada Arimbi untuk bebas dini dengan persayaratan Arimbi harus membayar
lima belas juta. Arimbi lalu menceritakan ini kepada Ananta. Lalu Arimbi
menyerahkan uang sebesar lima juta rupiah kepada sipir tersebut sebagai uang
muka. Sisanya nanti kalau sudah urusannya beres. Kepada Tutik diceritakannya
hal itu. Tutik menanggapi hal tersebut dengan sikap dingin. Kalau hal itu terjadi
pada diri Tutik, dia lebih suka tidak dibebaskan. Karena dari penjara ini dia bisa
menghasilkan uang. Sementara, jika dia keluar dari penjara, dia bingung dimana
mau mencari pekerjaan.
Hari kebebasan itu tiba. Tepat di bulan Desember. Surat kebebasan
Arimbi telah diserahkan kepala penjara. Namun, dia wajib melapor seminggu
sekali, hingga dua tahun ke depan. Ia bersalaman dan berpelukan dengan semua
orang yang dikenal. Tetapi tidak dengan Bu Danti. Saat berpapasan di lapangan,
mereka tidak mau saling berpandangan.
Girang bercampur haru, saat Arimbi mengetahui bahwa dirinya hamil.
Arimbi dan Ananta segera merencanakan masa depan untuk anak mereka. Segala
yang mereka lakukan bukan lagi untuk dinikmati saat ini, tetapi untuk
kesempurnaan hidup di masa depan. Mereka mulai mencari rumah yang layak
tengah kota. Akhirnya mereka mendapatkan perumahan di daerah Citayam,
pinggiran kota Depok. Harganya seratus lima puluh juta, bisa dicicil selama lima
belas tahun. Diawal mereka harus membayar lima puluh lima juta untuk uang
muka, pengurusan surat-surat, pajak, dan biaya kredit.
Arimbi sudah masuk rumah baru, saat Ananta pergi meninggalkan Jakarta.
Sudah sepuluh hari, Ananta belum juga kembali. Berbagai bayangan ketakutan
berkelebat dalam pikiran Arimbi. Arimbi pergi mengunjungi Tutik di penjara,
sekalian untuk mencari kabar tentang suaminya dari Cik Aling. Selain itu, dia
mau mengucapkan terima kasih dan dia juga rindu dengan belaian Tutik. Tutik
menghibur Arimbi, dia mengatakan tidak akan terjadi sesuatu terhadap Ananta.
Arimbi melahirkan bayinya setelah tiga hari kepulangan Ananta.
Perempuan dengan kulit merah dan rambut tebal. Arimbi menangis tersedu-sedu
saat perawat meletakkan bayi itu di dadanya. Dia lupa pada sakit yang dilaluinya
hampir tiga jam. Hanya ada rasa haru, bahagia dan tidak percaya. Dielusnya bayi
itu, ditelusurinya setiap sudut tubuhnya.
Setelah kelahiran anaknya, Arimbi mulai takut dengan penjara. Dia tidak
mau lagi menjenguk Tutik. Tidak ada lagi rasa rindu. Arimbi ingin mendidik
anaknya dengan baik. dia menyuruh Ananta berhenti untuk menjual sabu-sabu.
Dengan modal yang sudah mereka kumpulkan, Arimbi membuka toko
kecil-kecilan di depan rumahnya.
Arimbi mendapat kabar dari kampung bahwa ibunya meninggal dunia.
Sejak ibunya meninggal, Arimbi selalu menelpon Bapaknya. Dia selalu
Arimbi semakin bulat untuk memberikan penghidupan yang baik kepada anaknya,
makan dari uang yang didapat dengan cara yang benar, mulai hari ini dan untuk
selamanya.
Suatu hari Ananta pulang agak cepat. Dia akan berangkat ke Surabaya
karena Cik Aling banyak dapat orderan. Arimbi melarang Ananta pergi.
Walaupun dia masih mau uang dari sabu-sabu, tetapi dia tetap menyimpan rasa
takut. Ananta menenangkannya dengan mengatakan bahwa ini yang terakhir dia
berjualan sabu-sabu. Dia berjanji, setelah ini dia tidak akan melakukannya lagi.
Arimbi menerima uang lima belas juta dari Ananta sebagai uang muka,
nanti sisanya akan diberikan Cik Aling saat Ananta pulang. Arimbi selau gelisah
saat Ananta pergi. Dalam segala kekhawatirannya tiba-tiba suara telpon berbunyi.
Arimbi segera mengangkat telepon itu. Ternyata itu suara Tutik. Tutik sudah
lama menunggu kesempatan ini tiba. Di saat Ananta keluar kota. Namun, Arimbi
tidak mau menuruti kemauan Tutik untuk datang ke penjara. Dia mengatakan
anaknya masih kecil, tidak bisa ditinggal karena tidak ada yang menjaga.
Uang dari Cik Aling mereka pergunakan untyuk membeli sebuah mobil
kijang model lama yang bisa digunakan untuk mengangkat belanja bahan
keperluan toko. Sisanya mereka belikan barang belanjaan, sehingga isi toko itu
penuh. Arimbi tidak lagi menuntut supaya Ananta berhenti menjual sabu-sabu
karena semuanya sudah berjalan dengan baik. sampai suatu hari Arimbi melihat
gambar suaminya di televisi sedang digiring polisi. Suara di televisi menyebutnya
dadanya terasa sesak. Dia tidak bisa menangis. Semua ruang terasa gelap. Suara
anaknya menyadarkannya.
Novel ditutup hanya dengan menampilkan tokoh Arimbi dengan anaknya
yang akan pergi ke penjara untuk menemui suaminya. Pembaca bisa memprediksi
bahwa uang Arimbi akan habis untuk menyogok kasus Ananta suapaya
hukumannya bisa ringan. Akan terjadi lagi peristiwa di dalam penjara seperti yang
SINOPSIS MARYAM
Maryam ingin pulang ke kampung halamannya, setelah lima tahun dia
tidak pernah menginjakkan kakinya di kampung itu lagi. Keinginan ini tiba-tiba
saja muncul dibenaknya. Setelah bercerai dengan Alam, Maryam tidak tahu harus
pergi kemana, kecuali pulang ke kampungnya dan meminta maaf kepada kebua
orang tuanya. Dia berharap orang tuanya mau menerimanya kembali, setelah
menyakiti hati mereka karena menikah dengan orang yang tidak sefaham dengan
ajaran mereka.
Ingatan-ingatan masa lalu muncul dalam benak Maryam, mulai dari saat ia
bersekolah SMA dan akhirnya melanjutkan pendidikan ke Universitas Airlangga,
Surabaya. Pertemuannya dengan Gamal dan perceraiannya dengan Alam. Semua
itu tersaji dalam ingatan Maryam dengan utuh. Maryam yang terlahir sebagai
seorang Ahmadi, sejak remaja telah memelihara ketakutan. Dia tdak mau
mengalami kejadian seperti teman-temannya yang harus menanggung malu dan
kesedihan karena menikah dengan orang yang berbeda keyakinan.
Itulah sebabnya Maryam tidak berani pacaran. Sampai lulus SMA tahun
1993, dia berangkat ke Surabaya. Dia diterima di Universitas Airlangga, Fakultas
Ekonomi jurusan Akutansi. Maryam tinggal di rumah Pak dan Bu Zul. Mereka
penganut Ahmadi juga. Pak Zul adalah teman ayah Maryam sampai SMP. Pak
Zul merantau ke Surabaya dan bersekolah di sana.
Maryam kuliah dan tinggal jauh dari orang tuanya. Ia tinggal di Surabaya
membuat Maryam gembira, tetapi hal itu tidak berlangsung lama. Sikap Gamal
mulai berubah sejak Gamal pulang dari penelitian di Banten untuk menyelesaikan
skripsinya. Gamal yang selama ini sangat patuh kepada orangtuanya, mulai
berdebat. Gamal menuduh orangtuanya sesat. Gamal tentu juga meninggalkan
Maryam.
Alam memberanikan diri menceritakan tentang latar belakang Maryam.
Ibunya berteriak histeris, saat Alam mengatakan Marya seorang Ahmadi. Ibunya
kecewa dan marah. Kedua orang tuanya menyuruh untuk meninggalkan Maryam.
Setiap tidakan Alam selalu diperhatikan ibunya. Dia mau memastikan Alam sudah
berpisah dengan Maryam. Alam kembali memujuk ibunya. Dia mengatakan
bahwa Maryam tidak seperti penganut Ahmadi lainnya. Maryam selalu sholat
bersamanya dan tidak menolak sholat di mesjid mana pun. Dia juga tidak pernah
mengikuti pengajian-pengajian Ahmadi. Maryam hanya kebetulan saja terlahir
dari keluarga Ahmadi. Alam mengatakan Maryam juga bersedia meninggalkan
keyakinannya, jika mereka sudah menikah nanti.
Alam membujuk Maryam pelan-pelan. Memberi pengertian pada Maryam.
Demi cinta mereka Maryam menyetujui permintaan Alam. Ayah Maryam sangat
marah mendengar perkataan Maryam bahwa dia akan meninggalkan
keyakinannya. Ayahnya memberi Maryam dua pilihan, menyuruh meninggalkan
Alam atau menjadikan Alam seorang Ahmadi. Maryam menolak keduanya. Dia
memilih pergi dari kehidupan orang tuanya dan menikah dengan Alam.
Maryam akhirnya menikah dengan Alam melalui seorang wali nikah.
untuk keluar dari ajaran Ahmadi dan mengikuti keyakinan Alam. Maryam
meninggalkan semua keluarga dan saudaranya. Dia tidak pernah pulang ke
Lombok. Dia tidak pernah menelepon dan mengirim surat. Orang tuanya pun
demikian juga. Mereka menganggap anak perempuannya telah hilang. Mereka
kecewa dan menyayangkan keputusan Maryam.
Pernikahan itu akhirnya kandas. Belum genap lima tahun menikah, mereka
tidak dikaruniai anak. Maryam tidak tahan atas perlakuan mertuanya kepadanya.
Maryam juga kecewa terhadap suaminya. Dia menganggap suaminya tidak tulus
mencintainya. Maryam memilih bercerai dan dia kembali menyusuri kampung
halamannya, menemui orang tuanya. Maryam benar-benar pulang.
Dia mengetuk pintu rumah tersebut. Pak Jamil, orang yang dulu bekerja
pada ayahnya keluar menemui Maryam. Pak Jamil bercerita, hingga ia
mengetahui kejadian buruk yang menimpa keluarganya saat ia meninggalkan
mereka. orangtuanya diusir karena dianggap mereka sebagai orang-orang sesat.
Ayahnya memilih pergi meninggalkan desa, daripada mereka dibakar
hidup-hidup. Rasa bersalah menggelayuti hati Maryam. Ia lalu mencari keberadaan
orang tuanya. Melalui ketua organisasi mereka, Zulkhair, Maryam mengetahui
bahwa ayahnya tinggal di Gegarung. Zulakhir menceritakan bagaimana orang tua
Maryam terusir dari kampungnya dan orang-orang Ahmadi lainnya yang berada di
luar kampung Gerupuk.
Maryam menangis saat bertemu dengan ibunya. Ibunya juga terharu
melihat Maryam. Mereka berdua menangis sambil berpelukan. Adiknya, Fatimah
Maryam menceritakan semua yang menimpa dirinya. Orang tua Maryam tidak
marah kepadanya, bahkan mereka mererima Maryam kembali dengan tangan
terbuka. Maryam sangat bersyukur, ternyata keluarganya menerimanya dengan
baik.
Maryam tidak mau kembali ke Jakarta. Dia juga meninggalkan
pekerjaannya. Ayahnya menyusun sebuah rencana untuk membuat Maryam
bahagia. Dia akan mencarikan jodoh buat anaknya. Agar anaknya tidak terlalu
lama didera kesedihan. Ayahnya akan mencarikan seorang pemuda Ahmadi, biar
hidup Maryam menjadi lebih tenang dan menjalani hidup dalam kepastian.
Mereka memperkenalkan Umar kepada Maryam. Umar adalah anak Pak Ali dan
Ibu Ali yang berasal dari Lombok.
Pak Khairuddin membuat persiapan untuk upacara pernikahan Maryam
dan Umar. Meski yang diundang hanya sesama anggota Ahmadi yang sudah biasa
bertemu setiap bulan, namun Pak Khairuddin tetap ingin memberikan yang
terbaik. Ini adalah pernikahan pertama yang mereka gelar. Apalagi Bu Ali
termasuk orang terpandang di sesama anggota Ahmadi.
Pernikahan Maryam digelar pada sore hari. Seluruh penghuni keluarga
Ahmadi di komplek itu, berkumpul di rumah Maryam. Beberapa orang membawa
hantaran. Rombongan pihak laki-laki terlihat memasuki rumah Maryam.
Rombongan Perempuan di dalam rumah, sedangkan laki-laki di luar. Sebelum
akad nikah dilangsungkan, mereka mengadakan pengajian terlebih dahulu, baru
dilanjutkan dengan ijab kabul. Umar memberikan alat sholat dan Al Quran
Umar bersikap lembut pada Maryam. Hal ini membuat Maryam
tersanjung. Untuk mencairkan hubungan di antara mereka, Umar mengajak
Maryam ke Sumbawa untuk beberapa hari. Maryam tidak menolak, tetapi di
tengah perjalanan tiba-tiba keinginannya untuk kembali ke Gerupuk muncul. Lalu
dia mengutarakannya kepada Umar. Umar menyambut ajakan Maryam. Dia juga
ingin berkeliling di pulau ini.
Maryam mengajak Umar ke pantai. mereka menikmati pantai yang indah.
Di situ, Maryam bertemu dengan Nuraini tetangganya di Gerupuk dan teman
lamanya. Teman Maryam sejak sejak SD sampai SMA. Nur berjualan sarung khas
Lombok menawarkan kepada para turis. Mereka bercerita penuh tawa
sebagaimana layaknya dua teman yang sudah lama tidak berjumpa. Nur juga
bercerita bahwa dia baru pulang dari Arab Saudi sebagai TKI. Selama di Arab,
suaminya Wahid, menikah lagi dan sekarang mereka tinggal dalam satu rumah.
Sampai akhirnya mereka bercerita tentang pengusiran keluarga Maryam sekitar
empat tahun yang lalu.
Nurani bersama dengan Maryam dan suaminya berangkat ke Gerupuk.
Maryam langsung menuju ke rumah Nuraini. Maryam bertemu dengan ibu
Nuraini dan istri Wahid yang kedua. Maryam disambut dengan hangat oleh ibu
Nuraini. Namun, tiba-tiba datang Pak RT dan seorang ustaz ke rumah Nuraini dan
mengusir Maryam untuk segera meninggalkan kampung tersebut. Mereka tidak
mau ada orang yang beraliran sesat mengganggu di kampung mereka. Maryam
menolak Maryam. Maryam akhirnya meninggalkan Gerupuk dengan perasaan
kesal.
Semula Maryam berniat pernikahan ini hanya untuk membahagiakan
membahagiakan orang tua mereka. namun, pernikahan ini berubah menjadi
pernikahan yang penuh cinta. Hingga Maryam mengandung buah cintanya
dengan Umar. Maryam hamil satu bulan. Ibu Umar dan orang tua Maryam tidak
henti-hentinya mengucapkan syukur dengan mata yang berbinar. Maryam
menjalani pernikahan dengan Umar tanpa beban, tanpa harapan, tanpa kewajiban,
tanpa ketakutan. Orang tua mereka telah berlepas tangan. Melihat Maryam dan
Umar bisa hidup berdua dengan tenang sudah menjadi kebahagiaan.
Untuk mengungkapkan rasa syukur atas kehamilan Maryam, orang tuanya
bermaksud untuk mengelar pengajian empat bulanan kehamilan. Memasuki bulan
Oktober, kehamilan Maryam berusia empat bulan. Ramadhan jatuh pada bulan ini.
Orang tua Maryam memilih hari pada pertengahan Ramadhan untuk
melaksanakan pengajiannya. Pengajian akan diakhiri dengan berbuka puasa
bersama.
Jam empat sore semua orang sudah duduk di tempat yang disediakan.
Bapak Maryam membuka acara. Lalu dilanjutkan dengan pengajian dan ceramah
oleh ustaz hingga tiba waktu berbuka puasa. Tiba-tiba rumah mereka diserbu oleh
warga yang melempar batu dari kejauhan. Ada beberapa orang yang terkena. Dua
puluh menit saling melawan, sampai kemudian pasukan polisi datang. Semua
polisi dengan pengeras suaranya yang terdengar menyuruh semua pengikut
Ahmadi mengungsi.
Umar datang jam tiga lebih, tepat saat orang-orang akan makan sahur.
Umar membawa puluhan nasi bungkus lalu dibagi-bagikan. Mereka sholat subuh
berjamaah yang dipimpin oleh Pak Khairuddin. Maryam yang sejak semalam
tidak meneteskan air mata, tetapi pagi ini dia tidak tahan lagi. Kesedihan,
kemarahan, ingatan akan masa lalu bercampur aduk. Dia mengalaminya sekarang.
Pengusiran yang dulu dialami keluarganya. Sekarang Maryam sadar, apa yang
dialaminya di Gerupuk saat dia bertandang ke rumah Nur, tidak ada apa-apanya
dibanding semua ini.
Umar tidak langsung pulang menuju rumahnya. Mereka singgah ke rumah
Pak Zulkhair, pemimpin organisasi mereka. ketika peristiwa semalam terjadi, Pak
Zul tidak di tempat karena sakit. Di tengah pembicaraan, mobil polisi datang.
Semua orang menjadi tegang. Dua polisi menuju ke arah mereka dan
mengucapkan salam dengan ramah. Pak Zul mempersilakan duduk. Pak Zul
mengatakan bahwa kaqntor dan mesjid mereka disegel. Tidak boleh digunakan
lagi, agar tidak ada lagi kerusuhan. Umar dan Maryam terdiam.
Nasib mereka di pengungsian sangat tragis. Ada empat puluh lima kepala
keluarga yang mengungsi, lebih kurang dua ratus tiga puluh orang. Sebulan sekali
ada petugas Dinas Sosial datang. Mereka membawa beras, mi instan, minyak
goreng, dan minyak tanah. Mereka masak di dapur umum yang sempit dengan alat
masak seadanya. Mandi bergantian di kamar mandi yang kumuh. Setiap keluarga
bisa meneruskan sekolahnya. Sebagian mereka yang mempunyai saudara di luar
kota mengirim anaknya bersekolah di sana.
Anak Umar dan Maryam lahir dalam duka. Seorang bayi perempuan yang
sehat dan sempurna. Mereka memberi nama Mandalika, seperti nama seorang
putri cantik yang ada di dalam dongeng masyarakat Lombok. Syukuran kelahiran
Mandalika diadakan di Gedung Transito. Maryam menyiapkan tumpeng dan
aneka masakan. Hari-hari berikutnya, Maryam sering datang ke Gedung Transito
bersama putrinya untuk mengunjungi keluarganya dan menghibur para pengungsi
lainnya.
Wartawan datang silih berganti sejak hari pertama mereka mengungsi.
Dari Mataram, Surabaya, Jakarta, bahkan dari negara asing. Tapi tetap tidak ada
yang berubah. Zulkhair dan beberapa pengurus lainnya sudah beberapa kali
datang ke kantor Gubernur. Mereka meminta penjelasan kapan bisa kembali ke
rumah masing-masing. Gubernur tidak pernah bisa memberi jawaban pasti.
Maryam mengusulkan untuk mencoba lagi mendatangi pak Gubernur.
Melihat niat Maryam yang beersungguh-sungguh ingin memperjuangkan nasib
pengungsi, Pak Zul kembali bersemangat. Zulkhair, Maryam, dan Umar datang
menemui Pak Gubernur. Mereka disambut dengan baik dan dipersilahkan duduk.
Gubernur banyak berbicara tentang Dinas Sosial, membantu orang-orang susah
dan pembangunan yang dilakukan sejak dia memerintah. Maryam tidak sabar,
ingin menanyakan tentang nasib pengungsi, kapan mereka boleh pulang ke rumah
mereka. Pak Gubernur tidak bisa memberi jawaban pasti. Demi keamanan, dia
di Transito sampai ditemukan jalan keluarnya. “Wajah ketiga tamu Gubernur itu
merah mendengar kata-kata Gubernur. Mulut mereka terkunci. Tapi soeot mata
mereka bicara banyak. Kemarahan dan sakit hati” (My: 249).
Gedung Transito sekarang menjadi pusat kegiatan keagamaan mereka.
menggantikan Mesjid Organisasi yang sampai kini tidak bisa digunakan. Usai
sholat Jumat, Zulkhair memaparkan semua rencananya. Katanya ada tawaran dari
London lewat pengurus organisasi di Jakarta. Mereka akan diberikan pinjaman
untuk memulai usaha baru. Mereka tidak bisa hanya tinggal diam saja di sini.
Mereka harus berusaha bangkit sendiri. Apalagi pasokan bantuan dari Dinas sosial
semakin berkurang. Mereka menyambut baik rencana tersebut. Pak Khairuddin
memilih akan berjualan kembali.
Fatimah lalu menikah dengan seorang lelaki yang bukan Ahmadi dengan
Umar sebagai walinya. Ayahnya mengijinkan dia menikah, tetapi dia tidak mau
jadi wali nikahnya. Fatimah memaklumi hal tersebut.
Minggu pertama di bulan November, Fatimah sudah berada di Transito
bersama ibunya. Tidak lama kemudian, Maryam datang bersama anaknya.
Beberapa saat kemudian, Maryam dan seluruh pengikut Ahmadi menerima kabar
Pak Khairuddin kecelakaan. Motornya menabrak truk. Maryam merinding,
mereka segera menuju ke rumah sakit. Sepanjang jalan mereka memanjatkan doa.
Sesampai di rumah sakit, mereka menumpahkan tangis, melihat Pak Khairuddin
sudah tidak bernyawa lagi. Kabar kematian Pak Khairuddin bergerak cepat ke
Maryam tergagap ketika ditanya tentang pemakaman ayahnya. Ibunya
mengatakan akan dimakamkan di Gerupuk. Tempat pemakaman yang ada di
Gerupuk adalah pemakaman umum. Berada diujung kampung berbatasan dengan
laut. Pemakaman itu sepi, tidak ada satu orang pun saat iring-iringan itu mobil itu
datang. Ibu Maryam menuju makam kakek dan nenek Maryam. Dia menunjuk
tanah kosong di sebelah kedua makam itu. Lalu orang-orang menggali tanah
tersebut.
Saat itulah tiba-tiba beberapa laki-laki datang. Mereka orang-orang
Gerupuk. Rohmat, ketua RT menolak pemakaman Pak Khairuddin. Mereka tidak
mau orang sesat dimakamkan di situ. Umar marah, lalu memukul muka Rohmat.
Orang-orang Gerupuk langsung mengeroyok Umar. Zulkhair berteriak agar semua
berhenti berkelahi. Zulkhair mengambil sikap, mengajak Umar pergi dan
memakamkan Pak Khairuddin di Mataram.
Kini, Pengikut Ahmadi lain yang memiliki penghasilan mulai hidup
mandiri, karena bantuan dari Dinas Sosial semakin berkurang. Kadang tiga bulan
sekali, bahkan perna lima bulan baru datang. Wartawan masih sering
mengunjungi Gedung Transito, juga orang-orang dari berbagai lembaga. Zulkhair
masih datang setiap hari untuk memantau kondisi, termasuk untuk menemui
tamu-tamu.
Satu mobil polisi datang ke Transito. Sepuluh orang polisi berjaga di luar
gedung, memeriksa orang yang keluar masuk. Umar dan Maryam datang bersama
kedua ibu dan anak mereka. sekedar kunjungan rutin sambil membawa bahan
bawaan dan menanyakan keperluan Umar datang. Umar langsung bergabung
dengan Zulkhair. Zulkhair menceritakan peristiwa yang baru saja terjadi di
Jakarta.
Malam hari, di rumah Umar semua menonton televisi. Televisi Jakarta
menayangkan gambar-gambar di Gedung Transito. Dimulai dari gambar
keseluruhan gedung, sampai wawancara dengan Zulkhair dan gamabr anak-anak.
Esok harinya Maryam membeli koran Jakarta dan koran lokal. Dada Maryam
sesak, melihat tulisan “Gubernur: Ahmadiah Silakan Cari Suaka ke Australia”.
Maryam tidak menanggapi lagi. Dia mengajak suaminya melihat perkembangan
di Gedung Transito.
Sudah ada beberapa wartawan di dalam ruangan, menanyai orang-orang
tentang kata-kata Gubernur yang ada di koran. Semua orang menjawab tidak mau
pindah ke Australia. Wartawan itu tidak bisa berkata apa-apa lagi. Raut mukanya
menunjukkan rasa kasihan, tidak tega, sekaligus terharu. Mata Maryam juga
berkaca-kaca. Maryam sudah kehabisan akal untuk membantu mereka.
Novel ini ditutup dengan epilog yang dinaratori oleh Maryam. Maryam
yang mengirimkan sebuah surat sebagai kritik atas sikap acuh tak acuh Gubernur
dan pemerintah kepada pengikut Ahmadi selama ini. Kehidupan pengikut Ahmadi
di Gedung Transito masih tetap seperti sebelumnya. Harapan Maryam adalah
LAMPIRAN II:
RIWAYAT HIDUP OKKY MADASARI
Okky Madasari lahir pada tanggal 30 Oktober 1984 di Magetan, Jawa
Timur, Indonesia. Dia lulus dari Universitas Gadjah Mada, Departemen
Hubungan Internasional pada tahun 2005 dengan gelar Sarjana Ilmu Politik. Dia
merupakan seorang penulis dan wartawan Indonesia. Dia juga dosen luar biasa di
Universitas Paramadina, Jakarta. Dia memenangkan hadiah sastra utama dan
paling terkenal Indonesia, Khatulistiwa Literary Award, tahun 2012 untuk novel ketiga: Maryam, yang berkisah tentang orang-orang yang terusir karena keyakinan
yang berbeda dan bertahun-tahun harus hidup di pengungsian.
Pada usia 28, dia adalah orang termuda yang pernah memenangkan
penghargaan bergengsi ini. Novel-novel Okky yang lain: Novel pertama: Entrok (2010), bercerita tentang masa-masa Indonesia hidup di bawah kediktatoran kejam
rezim Soeharto dan bagaimana mereka berjuang untuk bertahan hidup di bawah
penindasan dominasi militer. Novel keduanya 86 (2011) jelas menggambarkan korupsi dalam negeri dan khususnya di kalangan PNS nya. Novel ini terpilih
sebagai top lima di Khatulistiwa Literary Award tahun 2011.
Perempuan kelahiran Magetan, Jawa Timur 30 Oktober 1984 itu meyakini,
perjuangan melawan korupsi harus dilakukan melalui segala bidang, termasuk
sastra. Okky ingin menjadikan novel sebagai sebagai bagian dari perjuangan itu.
Lebih dari itu, Okky percaya kampanye antikorupsi melalui novel justru bakal
lebih efektif. Penyampaian ajakan untuk melawan korupsi lebih efektif dalam
Okky juga menanamkan nilai-nilai antikorupsi kepada anak-anak kecil. Okky juga
aktif sebagai pengelola playgroup. Satu ruangan rumahnya pun dijadikan ruang kelas untuk playgroup.
Novel terbarunya Pasung Jiwa dirilis pada bulan Mei 2013, yang menceritakan perjuangan dan pergulatan manusia dalam meraih kebebasan dan
melepaskan diri dari segala kungkungan norma, tradisi, agama, negara dan
ekonomi dominasi dari beberapa kekayaan. Karya-karya Okky terhubung dalam
satu benang merah: perlawanan atas ketidakadilan dan perjuangan untuk
kebebasan dan kemanusiaan.
Novel Okky secara konsisten menyuarakan hak asasi manusia dan
kebebasan dan selalu menentang segala bentuk penindasan termasuk diskriminasi
atau perlakuan tidak adil oleh negara atau elit yang berkuasa. Seperti
perkataannya: "Saya berkarya untuk menyuarakan dan menyampaikan apa yang
bisa saya lakukan melalui menulis. Saya mau menulis untuk tujuan politis, bukan
menulis yang hanya untuk diri saya sendiri tetapi untuk menegakkan keadilan bagi
kemanusiaan”.
Dalam beberapa wawancara dan pidato, Okky menyatakan bahwa dia
membaca Karl Marx dan dipengaruhi oleh semangat ide pembebasan manusia,
tetapi di atas semua itu, dia percaya pada kebebasan individu dan kreativitas
manusia. Baginya, kebebasan utama hanya dapat dicapai melalui membebaskan
kreativitas individu. Pandangan-pandangannya tergambar sangat jelas dalam
novel-novel yang dia tulis, pidato dan wawancara. Dia aktif menyuarakan
bagian terlemah dari masyarakat serta bergabung dengan demonstrasi jalanan
untuk mengutuk penggunaan kekerasan oleh negara, organisasi polisi dan massa.
Dia sangat keras terhadap organisasi berbasis agama yang mengambil hukum ke
tangan mereka, dan menggunakan kekuasaan mereka untuk menindas kelompok
minoritas yang lemah.
Okky telah mendedikasikan dirinya sebagai pejuang pena melalui
karya-karyanya. Sekarang bergantung pada pembacanya, apakah setelah membaca
karya-karya Okky, kita tergerak untuk berjuang melawan ketidakadilan dan segala
bentuk kesewenang-wenangan? Jika tidak, perjuangan Okky akan sia-sia dan
karya-karyanya hanya akan sebatas menjadi koleksi bacaan di rak buku
LAMPIRAN III:
DAFTAR PANDUAN WAWANCARA
Saya mahasiswa S3 Kajian Sastra SPs Usu, sedang menyusun disertasi tentang Perjuangan Perempuan dalam Novel „Entrok‟ karya Okky Madasari. Hal yang menjadi fokus penelitian saya: persitiwa yang terjadi tentang pengikut
Ahmadiyah, masa orde baru, dan kasus suap di kantor pengadilan, peredaran
narkoba di penjara, status perempuan bekerja, dan perjuangan perempuan untuk
kesetaraan gender. Untuk itu, saya ingin berwawancara dengan Bapak/Ibu
berkaitan dengan fakta di atas.
1. Bagaimana menurut mendapat bapak tentang perempuan bekerja?
2. Bagaimana sikap Bapak/Ibu jika istri bapak memiliki peluang yang cukup
besar untuk menduduki jabatan struktural?
3. Jika pendapan istri lebih besar dari pendapat suami apakah tidak menjadi
masalah dalam kehidupan rumah tangga?
4. Bagaimana Bapak/Ibu menyikapi kasus suap yang sering terjadi dalam
kehidupan sehari-hari khususnya dalam bidang birokrasi? Apakah itu sudah
merupakan hal yang biasa?
5. Apakah sering terjadi kasus suap di kantor tempat Bapak/Ibu bekerja?
6. Apakah Bapak/Ibu pernah mendengar pengusiran terhadap jamaah Ahmadiyah
di Lombok?
7. Setujukah Bapak/Ibu jika faham Ahmadiyah dianggap sesat?
8. Apakah ada satu keharusan bahwa perempuan Ahmadiyah harus menikah
dengan keluarga Ahmadiyah juga? Jika seandainya terjadi perkawinan yang
tidak seakidah, apakah perkawinan mereka bisa langgeng atau tidak
menimbulkan masalah baru?
9. Bisakah peredaran narkoba dikendalikan dari balik penjara?
LAMPIRAN IV:
DAFTAR JAWABAN WAWANCARA Nama : M. Dedi Setiawan
Umur : 48 tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Tanya: Bagaimana menurut mendapat bapak tentang perempuan bekerja?
Jawab: menurut saya perempun bekerja pada masa sekarang ini adalah hal yang
biasa atau lumrah. Rata-rata istri sekarang bekerja untuk menambah pendapatan
keluarga. Dan memang pada saat sebelum menikah banyak perempuan yang
sudah bekerja dan tetap bekerja walaupun sudah menikah dan memiliki anak.
Dalam pandangan agama Islam, perempuan juga boleh bekerja, asalkan jenis
pekerjaannya tidak dalam konteks dunia hiburan.
Tanya: Bagaimana sikap Bapak/Ibu jika istri bapak memiliki peluang yang cukup
besar untuk menduduki jabatan struktural?
Jawab : kalau istri saya memiliki peluang untuk mendapatkan kedudukan yang
lebih baik maka saya akan sangat mendukungnya. Karena hal ini tentu saja
berkaitan dengan kesejahteraan keluarga terutama dalam bidang ekonomi. Tapi
satu hal yang saya tekankan jangan pernah melanggar batasannya sebagai istri dan
ibu seberapa pun tingginya jabatan itu nanti.
Tanya: Jika pendapatan istri lebih besar dapari pendapat suami apakah tidak
menjadi masalah dalam kehidupan rumah tangga?
Jawab : kalau dijawab secara pribadi saya memiliki perasaaan yang sedikit kurang
enak. Karena bagaimanapun tugas suamilah yang memberi nafkah, tapi lalu secara
realistis saya memandang mungkin saat ini istri saya yang memiliki rezeki yang
lebih, mungkin nanti rezeki saya yang lebih banyak. Tuhan kan mengirimkan
Nama : SY
Umur : 46 Tahun
Pekerjaan : Pengacara
Tanya: Bagaimana Bapak menyikapi kasus suap yang sering terjadi dalam
kehidupan sehari-hari khususnya dalam bidang birokrasi? Apakah itu sudah
merupakan hal yang biasa?
Jawab : sebenarnya kita tidak dapat membedakan apakah itu suap atau tidak
karena sudah menjadi hal yang biasa. Sebagai contoh dalam pengurusan ktp atau
kartu keluarga, apabila kita ingin pengurusan yang cepat maka kita memberikan
uang lebih yang dibilang sebagai tips. Uang seperti inilah yang bisa disebut suap
dan sudah menjadi hal yang biasa.
Tanya: Apakah sering terjadi kasus suap di kantor tempat Bapak bekerja?
Jawab: sering sekali bahkan. Banyak klien saya yang memberikan sejumlah uang
agar kasusnya tidak diperpanjang. Sebagai pengacara saya harus bisa memilih
mana yang baik dan yang tidak baik.
Nama : AP
Umur : 56 Tahun
Pekerjaan : Wirasasta
Tanya: Apakah Bapak pernah mendengar pengusiran terhadap jamaah Ahmadiyah
di Lombok?
Jawab: saya pernah mendengar berita itu dari seorang teman yang sesama
Ahmadiyah. Dia mengatakan bahwa ada kasus pengusiran yang terjadi di
Lombok. Saya juga membaca beritanya. Saya sangat prihatin.
Tanya: Setujukah Bapak jika faham Ahmadiyah dianggap sesat?
Jawab: saya sebagai penganut Ahmadiyah sangat tidak setuju bila dikatakan
Ahmadiyah adalah aliran yang sesat. Karena sejak dari zaman kakek saya kami
Tanya: Apakah ada satu keharusan bahwa perempuan Ahmadiyah harus menikah
dengan keluarga Ahmadiyah juga? Jika seandainya terjadi perkawinan yang tidak
seakidah, apakah perkawinan mereka bisa langgeng atau tidak menimbulkan
masalah baru?
Jawab: secara tertulis memang tidak ada keharusan bahwa kami harus menikah
dengan sesama penganut Ahmadiyah. Tetapi alangkah lebih baik kalau bisa
mendapatkan pasangan sesama Ahmadiyah. Pernah ada seorang penganut
Ahmadiyah yang menikah sengan orang di luar Ahmadiyah dan pernikahan
mereka sampai sekarang langgeng. Walaupun kemudian si perempuan harus
meninggalkan ajaran Ahmadiyahnya.
Nama : WS
Umur : 30 Tahun
Pekerjaan : -
Tanya: Bisakah peredaran narkoba dikendalikan dari balik penjara?
Jawab: Bisa. Biasanya dikendalikan melalui hp. Walaupun para napi tidak boleh
memiliki hp tapi dengan memberikan uang pada penjaga kami bisa pegang hp.
Tanya: Siapa saja yang terlibat dalam kasus peredaran narkoba ini?
Jawab : biasanya yang mengendalikan adalah napi yang memang sudah menjadi
bandar. Dia tinggal menyuruh kaki tangannya di luar lapas untuk bergerak
mengirimkan barang. Petugas lapas tentu saja yahu mengenai ini tapi ya mereka
tutup mata saja karena tiap bulan kan mereka sudah mendapat jatah. Jadi kami di
dalam aman-aman saja. Jadi tidak usah heran kalau seorang napi narkoba
keluarganya di luar sana bisa hidup makmur walaupun suaminya di penjara karena
LAMPIRAN V:
PERISTIWA-PERISTIWA PENTING TERKAIT MARGINALISASI JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA PADA ERA REFORMASI
No. Bulan/Tahun Peristiwa
1. 2000 Khalifah tertinggi Ahmadiyah Mrza Thahir Ahmad, berkunjung ke Indonesia untuk menjadi pembicara di seminar International Forum on Islamic Studies, dimana pada sela-sela kunjungannya berkesempatan bertemu dengan Presiden Abdul Rahman Wahid untuk bertukar –pikiran.
2. September 2002 Permukiman warga Ahmadiyah di Pancor , Lombok, NTB diserbu pemuda setempat selama 5 hari berturut-turut.
3. Mei 2005 Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakor PAKEM) mengadakan rapat terbatas di Kejaksaan Agung, menyatakan Ahmadiyah (Lahore dan Qadian) sebagai ajaran menyimpang, namun rekomendasi ini tidak disusul penatapan surat keputusan bersama Menteri yang melarang kegiatan Ahmadiyah di Indonesia.
4. September 2005 Pengurus besar Nahdhatul Ulama (PB NU) mengeluarkan sikap resminya yang menyangkut masalah Ahmadiyah, Ahmadiyah dinyatakan sesat dan keluar dari Islam karena tidak mengakui Nabi Muhammad sebagai Nabi terakhir.
5. Desember 2005 JAI mengadu ke Komisi HAM terkait berbagai peristiwa pelanggaran HAM dan penekanan-penekanan yang terjadi. 6. Agustus 2007 Menteri Agama Maftuh Basyuni memerintahkan Kepala Badan
LITBANG dan DIKLAT Dapartemen Agama Atho Mudhar berdialog dengan JAI, ada 7 pertemuan sepanjang September 2007 hingga Januari 2008, dimana dalam pertemuan tersebut selalu dihadiri oleh perwakilan dari Departemen Dalam Negeri, Markas Besar POLRI dan Deputy Menteri Koordinator
Kesejahteraan Rakyat.
7. 4 Januari 2008 Forum Umat Islam (FUI) mendatangi kejaksanaan Agung dan meminta institusi tersebut merekomendasikan pelanggaran ajaran Ahmadiyah kepada Presiden.
dengan penganut Islam umumnya.
9. 14 Januari 2008 PB JAI menyampaikan komitmen 12 butir penjelasan klarifikasi keyakinan Ahmadiyah, kedudukan Nabi Muhammad SAW dalam teolog aliran Ahamdiyah, selanjutnya pasca disampaikan komitmen tersebut Bakor PAKEM menggelar rapat membentuk tim evaluasi guna memantau pelaksanaan ke-12 butir penjelasan JAI.
10. 15 Januari 2008 Ketua komisi Fatwa MUI KH. Ma‟ruf Amin mengatakan bahwa 12 butir pertanyaan Ahamdiyah adalah pasal karet karena tidak menyatakan bahwa Mirza Ghulam Ahmad bukan Nabi dan bukan Rasul.
11. 15 Januari 2008 Bakor PAKEM merekomendasikan tidak melarang aliran Ahmadiyah dan memberi kesempatan jemaat aliran Ahmadiyah untuk melakukan perbakan dengan melaksanakan 12 butir penjelasan yang dikomitmekan oleh JAI sendiri.
12. 15 Januari 2008 Enam anggota JAI asal Lombok NTB mendatangi Konsulat Australia di Denpasar Bali, didampingi LBH Bali, mereka menyatakan ingin bertemu dengan Konsul Australia sekaligus mengajukan permohonan suaka politik, mereka menyatakan tidak lagi merasa aman hidup di Indonesia, namun permintaan itu ditolak oleh konsultat di Bali dan disarankan mengajukannya langsung ke Kedutaan Besar Australia di Jakarta.
13. 18 Januari 2008 Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) mengeluarkan pernyataan bahwa 12 butir penjelasan JAI tidak secara tegas menyatakan bahwa JAI mengubah keyakinannya tentang status kenabian Mirza Ghulam Ahmad dan beberapa butir pernyataan JAI mengandung kebohongan, yaitu tidak sesuai dengan fakta yang ada pada buku-buku Ahmadiyah sendiri.
14. 21 Januari 2008 Pakar aliran sesat dari MUI, Amin Jamaluddin mengatakan bahwa 12 butir penjelasan JAI bertentangan dengan gerakan Ahamdiyah International berbasis di Inggris.
15. 24 Januari 2008 Menteri Agama membentuk Tim Pemantau sesuai rekomendasi Bakor PAKEM untuk memantau dan mengevaluasi pelaksanaan 12 butir penjelasan JAI.
16. 14 Pebruari 2008 Tabligh akbar di Banjar (Jabar) , tokoh Front Pembela Islam, Sobri Lubis mengatakan orang-orang Ahamdiyah halal darahnya.
17. 12 April 2008 Ketua MUI, KH. A. Cholil Ridwan mendesak Pemerintah segera membubarkan JAI.
menyatakan ajaran Ahmadiyah (JAI) tetap menyimpang dari ajaran Islam, selanjutnya badan ini merekomendasikan kepada Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung segera mengeluarkan surat penghentian kegiatan JAI.
19. 16 April 2008 Ketua MUI KH. Ma‟ruf Amin menyampaikan larangan bagi segala bentuk penyebaran ajaran Ahmadiyah.
20. 17 April 2008 Ketua MPR Hidayat Nur Wadhid mengatakan larangan terhadap Ahmadiyah harus merujuk konstitusi karena menyangkut Hak Azasi.
21. 17 April 2008 Aliansi Kebebasan Beragama dan berkeyakinan mengecam keras keputusan Bakor PAKEM mengenai pembubaran JAI. 22. 18 April 2008 Mabes POLRI memerintahkan seluruh Kapolda agar jajarannya
melakukan pengamanan terhadap anggota JAI berikut sarana pelaksanaan ibadahnya, sebelum diterbitkan SKB yang akan mengatur pelanggaran seluruh kegiatan JAI di Indonesia. Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin
menegaskan, pembubaran aliran Ahmadiyah bukanlah solusi untuk mengatasi masalah yang dihadapi saat ini, selanjutnya Din Syamsuddin berharap agar para pengikut JAI bisa diajak dan dirangkul kembali ke jalan dan aqidah Islam yang benar. 23. 19 April 2008 JAI dilarang mengadakan Mukernas di Denpasar, Bali. 24. 20 April 2008 FPI, FUI. HTI, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan
Forum Betawi Rembug (FBR) berdemonstrasi di Jakarta menuntut pembubaran Ahamdiyah.
Presiden PKS Tifatul Sembiring mengatakan PKS mendukung rekomendasi Bakor PAKEM agar JAI menghentikan
kegiatannya, namun PKS menolak langkah anarhkis terhadap Ahmadiyah.
25. 23 April 2008 MUI mendesak agar Pemerintah tidak menunda-nunda lagi untuk mengeluarkan SKB soal pelarangan aktivitas aliran Ahmadiyah.
26. 24 April 2008 Adnan Buyung Nasution, anggota Dewan Pertimbangan Presiden, mendesak pembatalan SKB Tiga Menteri terkait pembatasan kegiatan Jemaat Ahmadiyah.
27. 27 April 2008 Tim Pembela Muslim (TPM) mengajukan somasin atau
peringatan hukum kepada anggota Wantimbang Bidang Hukum Adnan Buyung Nasution karena komentarnya yang membela gerakan JAI di Indonesia.