9 BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep
Konsep dibutuhkan dalam penelitian sebab di dalamnya akan ditemui
aspek-aspek yang menyangkut apa saja yang akan diteliti, sehingga ruang lingkup
materi yang akan dikaji menjadi linear (terarah) tidak melebar kepada hal-hal
yang tidak penting. Adapun konsep yang dipergunakan pada penelitian ini adalah:
2.1.1 Puisi
Puisi merupakan pemikiran yang bersifat musikal (Pradopo, 1995:6).
Penyair dalam menciptakan puisi memikirkan bunyi yang merdu seperti musik
dalampuisinya dengan menggunakan orkestrasi bunyi. Selain itu, puisi juga
merupakan pemikiran manusia.
Menurut Slamet (1997:ix) ”Puisi adalah musik, sedangkan penyair adalah
instrumennya.Dari bunyinya yang bagus, orang tertarik melihat alatnya”. Puisi
juga dapat dikatakan sebagai rangkaian kata yang tersusun rapi yang mengandung
makna dan simboldalam kebahasaannya, sehingga tidak semua penikmat puisi
dapat memahami makna yang terkadang samar terlihat dibuat oleh pengarang.
2.1.2 Lirik, Lagu, dan Lirik Lagu
”Lagu adalah ragam suara yang berirama” (KBBI, 2007:624). ”Lirik
adalah karya sastra (puisi) yang berisi curahan perasaan pribadi, susunan kata
10
karya sastra (puisi) yang berisi curahan perasaan pribadi dan sebagai susunan
sebuah nyanyian. Dalam menggunakan lirik seorang penyair atau pencipta lagu itu
harus benar-benar pandai mengolah kata.
2.1.3Simbol
Zoest (1993:25) mengatakan ”Simbol (lambang) adalah tanda yang
hubungan antara tanda dan denotatumnya ditentukan oleh suatu peraturan yang
berlaku umum”. Simbol adalah gambar, bentuk, atau benda yang mewakili suatu
gagasan, benda, ataupun jumlah sesuatu. Simbol adalah tanda yang menunjukkan
bahwa tidak ada hubungan alamiah antara penanda dan petandanya, hubungannya
bersifat arbitrer (semau-maunya). Arti tanda itu ditentukan oleh konvensi. Adanya
bermacam-macam tanda untuk satu arti menunjukkan ”kesemena-menaan”.
Dalam bahasa, tanda yang paling banyak digunakan adalah simbol. Simbol dapat
juga diartikan sebagai bahasa kias yang melukiskan sesuatu dengan menggunakan
lambang untuk menyatakan maksud. Tujuannya untuk memperjelas makna dalam
puisi sehingga dapat menggugah jiwa pembaca.
2.14Makna
”Makna adalah maksud pembicara atau pengarang pengertian
yangdiberikan kepada suatu bentuk kebahasaan” (KBBI, 2007:703). Makna selalu
disampaikan oleh penciptanya secara langsung dan tidak langsung dengan
kata-kata (lirik) yang diciptakannya. Pencipta dapat berbahasa kiasan, menggunakan
11
menangkap apa yang disampaikan pencipta/pengarangnya. Lirik lagu pada intinya
sama dengan puisi. Pada keduanya mempunyai ciri yang sama yaitu keduanya
terdapat struktur bentuk dan struktur makna.
2.1.5 Semiotika
Semiotika adalah ilmu ilmu yang membicarakan tanda yang mempunyai makna.
Preminger (dalam Jabrohim, 2001:71) ”Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotika mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Dalam lapangan kritik sastra, penelitian semiotika meliputi analisis sastra sebagai sebuah penggunaan bahasa yang bergantung pada (sifat-siafat) yang menyebabkan bermacam cara (modus) wacana mempunyai makna”.
2.2 Landasan Teori
Penelitian ini menggunakan tinjauan Semiotika. Semiotika adalah ilmu
yang mempelajari tentang tanda yang mempunyai makna. Menurut A.Teew
(1984:6) ”Semiotik adalah tanda sebagai tindak komunikasi dan kemudian
disempurnakan menjadi model sastra yang mempertanggungjawabkan semua
faktor dan aspek hakiki untuk pemahaman gejala sastra sebagai alat komunikasi
yang khas dalam masyarakat manapun”.Tokoh dalam semiotika terdiri atas
Ferdinand de Saussure, Charles Sander Pierce.
Konsep Semiotik menurut Ferdinand de Saussure menjelaskan bahwa
tanda mempunyai dua aspek, yakni penanda (signifier), dan petanda (signified).
Penanda adalah bentuk formal yang menandai suatu petanda. Penanda adalah
12
bentuk formal. Tanda terdiri dari: bunyi-bunyian dan gambar, disebut signifier
atau penanda, dan konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut
signified. Dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk mengirim
makna tentang objek dan orang lain akan menginterpretasikan tanda tersebut.
Objek bagi Saussure disebut ”referent”. Hampir serupa dengan Peirce yang
mengistilahkan interpretant untuk signified dan object untuk signifier, bedanya
Saussure memaknai ”objek” sebagai referent dan menyebutkannya sebagai unsur
tambahan dalam proses penandaan. Contoh: ketika orang menyebut kata ”anjing”
(signifier) dengan nada mengumpat maka hal tersebut merupakan tanda kesialan
(signified). Begitulah, menurut Saussure, ”Signifier dan signified merupakan
kesatuan, tak dapat dipisahkan, seperti dua sisi dari sehelai kertas.” (Sobur, 2006)
Pierce menciptakan teori umum untuk tanda-tanda dan telah memberikan
dasar-dasar yang kuat pada teori tersebut dengan istilah ”semiotika” yang ternyata
kata semiotika telah digunakan oleh seorang filsafat Jerman, yaitu Lambert. Pada
abad ke-18 semiotika diartikan sebagai sinonim ”logika”. Menurutnya, logika
harus mempelajari bagaimana bernalar, dan penalaran itu dilakukan melalui
tanda-tanda. Alasan tanda-tanda itu dapat memungkinkan kita berpikir,
berhubungan dengan orang lain dan memberi makna pada apa yang ditampilkan
oleh semesta alam. Dengan demikian, secara harfiah dia mengatakan ˮKita
berpikir dalam tanda”. Oleh sebab itu, semua pikiran haruslah ada dalam tanda.
Semiotika bagi Pierce adalah tindakan (action), pengaruh (influence), atau
13
(interpretant). Yang dimaksudkan subjek pada semiotika yang sifatnya abstrak,
yang tidak dipengaruhi oleh kebiasaan berkomunikasi secara konkret.
Pierce membaginya sebagai berikut :
1. Tanda dan ground yaitu qualisign yaitu tanda-tanda merupakan tanda atas
dasar tampilannya dalam kenyataan, dan legisign yang merupakan tanda
dasar suatu pengaturan yang berlaku umum.
2. Tanda dan denotatum (icon, indeks, symbol)
3. Tanda dan interpretan-nya (berkembang dari tanda yang telah terlebih
dahulu ada dalam benak orang yang menginterpretasikannya).
4. Tanda berfungsi dalam hubungannya dengan tanda yang lain (Sintaksis,
Semantik, Pragmatik).
Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada
cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan
makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja
menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.Roland
Barthes sebagai penerus pemikiran tersebut menekankan interaksi antara teks
dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi
dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya.
Gagasan Barthes ini dikenal dengan order of signification, dengan mencakup
denotasi (makna sebenarnya) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari
pengalaman kultural dan personal).Semiotik dalam istilah Barthes semiologi, pada
dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai
14
dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa
objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek-objek-objek itu hendak
dikomunikasikan, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Salah
satu wilayah penting dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the
reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktivan
pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara lugas mengulas apa yang sering
disebutnya sebagai sistem pemaknaan tataran ke-dua, yang dibangun di atas
sistem lain yang telah ada sebelumnya. sistem ke-dua ini oleh Barthes disebut
dengan konotatif, yang di dalam buku Mythologies-nya secara tegas ia bedakan
dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama.
1. Penanda (signifier)
2. Petanda (signified)
3. Tanda denotatif (denotative sign)
4. Penanda Konotatif (connotative signifier)
5. Petanda Konotatif(connotative signified)
6. Tanda Konotatif (connotative sign)
Dari uraian Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas
penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif
adalah juga penanda konotatif (4). Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif
tidak sekadar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian
tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Pada dasarnya, ada perbedaan
antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum serta denotasi dan
15
pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara
konotasi merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih
diasosiasikan dengan ketertutupan makna. Sebagai reaksi untuk melawan
keharfiahan denotasi yang bersifat opresif ini, Barthes mencoba menyingkirkan
dan menolaknya. Baginya yang ada hanyalah konotasi. Ia lebih lanjut mengatakan
bahwa makna ”harfiah” merupakan sesuatu yang bersifat alamiah.
Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang
disebutnya sebagai ’mitos’ dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan
pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu.
Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda.
Namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai
pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata lain, mitos adalah juga
suatu sistem pemaknaan tataran ke-dua. Di dalam mitos pula sebuah petanda
dapat memiliki beberapa penanda. Berikut adalah bagan dan contoh analisis
model semiotika Roland Barthes :
16
Pada tingkatan pertama (Language) Barthes memperkenalkan signifier (1)
dan signified (2), yang gabungan keduanya menghasilkan sign (3) pada tingkatan
pertama. Pada tingkatan kedua, sign (3) kembali menjadi SIGNIFIER (I) dan
digabungkan dengan SIGNIFIED (II) dan menjadi SIGN (III). Sign yang ada
ditingkatan ke dua inilah yang berupa MYTH (mitos) disebut juga sebagai
metalanguage. Di sini dapat dikatakan bahwa Makna denotatif adalah makna yang
digunakan untuk mendeskripsikan makna definisional, literal, gamblang atau
common sense dari sebuah tanda. Makna konotatif mengacu pada asosiasi-asosiasi
budaya sosial dan personal berupa ideologis, emosional dan lain sebagainya.
LANGUAGE
MYTH
Gambar Semiologi Roland Barthes
Barthes mencontohkan istilah ”mawar”. Sebagai signifier adalah kata
”mawar” itu sendiri (citra suara). Berfungsi sebagai signified adalah objeknya
(bentuknya) ”wujud bunga mawar” sebagai konsep (mental). Ketika kedua hal
tersebut digabungkan akan terwujud sign (1), yaitu ”mawar” sebagai entitas
konkret. Dan mawar sebagai entitas konkret, ketika dikaitkan atau dikonotasikan
secara arbitrer dengan hasrat (passion) akan menghasilkan SIGN (III) yang
1. kata ”mawar” 2. wujud bunga Mawar
3. entitas konkret mawar I MAWAR
II. PASSION/ HASRAT
17
berarati sudah menjadi mitos. secara sederhana pada sign (3) mengandung makna
denotatif dan pada SIGN (III) mengandung makna konotatif.
Berikut juga merupakan bagan model analisis Semiologi Roland Barthes :
Gambar semiologi Roland Barthes
Inilah model bagan teori semiotika yang dipakai oleh Roland Barthes.Analisisnya
dalam penelitian ini adalah dengan cara mencari simbol dan makna simbol di
dalam lirik lagu Camellia I, II, III, dan IV karya Ebiet G. Ade. Teori semiotik
memperhatikan segala faktor yang ikut memainkan peranan dalam komunikasi,
seperti faktor pengirim tanda, penerimaan tanda, dan struktur tanda itu sendiri.
Berdasarkan penjelasan diatas diketahui karya sastra itu merupakan struktur
bermakna. Hal ini mengingat bahwa karya sastra merupakan sistem tanda yang
mempunyai maknayangmempergunakan medium bahasa. Dalam usaha
menangkap, memberi, dan memahami makna yang terkandung didalam karya
sastra, pembacalah yang sangat berperan. Karya sastra tidak akan mempunyai
18 2.3 Tinjauan Pustaka
Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dilakukan, peneliti belum melihat
adanya penelitian tentang semiotika dalam lirik lagu Camellia I, II, III, dan
IVkarya Ebiet G. Ade. Namun penelitian sastra tentang album Ebiet G. Ade,
bukanlah sebuah hal yang baru. Sudah ada penelitian sebelumnya mengenai
kumpulan album Ebiet G. Ade di Universitas lain. Adapun diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Kurniawan, dalam skripsinya yang berjudul ”Analisis Wacana Lagu
Camellia Karya Ebiet G. Ade, Kajian Tekstual dan Konteks Situasi”
University of Pesantren tinggi Darul’ulum Jombang. Ia menganalisis lagu
Camellia dari dari aspek gramatikal ditemukan pengacuan (referensi) yang
meliputi pengacuan persona, pengacuan demonstratif, dan pengacuan
komparatif, pelesapan (elipsis), penyulihan (substitusi), perangkaian
(konjungsi), sedangkan dari aspek leksikal ditemukan repetisi, sinonomi,
kolokasi, dan hiponimi. Dari konteks situasi yang dalam hal ini terdiri dari
konteks fisik dapat ditafsirkan bahwa kejadian ini terdapat dua partisipan
yaitu penulis dan gadis bernama Camellia. Tempat peristiwa berlangsung
di sebuah desa dan baru saja terjadi (sampai sekarang), dari konteks
epistemis dapat ditafsirkan bahwa penulis lagu menemukan sebuah
kenyataan bahwa mimpi yang selama ini dia alami pada akhirnya dapat
terwujud dengan datangnya Camellia dalam hidupnya sehingga berakhir
bahagia, berdasarkan konteks sosialnyaadalah hubungan antara dua orang
19
2. Reza Anggoro juga pernah melakukan penelitian tentang
”Ketidaklangsungan Ekspresi Pada Lirik Lagu Ebiet G. Ade, Tinjauan
Stilistika” Fakultas Ilmu Budaya, UNDIP yang membahas tentang ekspresi
masyarakat Indonesia yang penuh dengan kebohongan terhadap sesama,
mementingkan diri sendiri tanpa memikirkan keadaan orang lain.
3. Dalam Skripsi Isabella yang berjudul ”Konstruksi Realitas Lingkungan
Hidup dalam Lagu-Lagu Ebiet G. Ade, Tinjauan Sosiosastra” Universitas
Kristen Petra dimana lirik-lirik lagu Ebiet G. Ade berhubungan dengan
kehidupan nyata di Indonesia.
4. Rahmita Windy dalam skripsinya yang berjudul ”Bahasa Figuratif dalam
Lirik Lagu Album Camellia II Karya Ebiet G. Ade Kajian: Stilistika”
Universitas Muhammadiyah Surakarta menjelaskan dalam
analisisnyaberdasarkan penggunaan bahasa figuratif yang berupa majas
dalam lirik lagu album Camellia II yaitu ditemukan 30 data yang terdiri
dari 5 majas antara lain: Metonimia 3 data, Simile 4 data, Metafora 5 data,
Sinekdoki (pars pro toto dan totum pro parte) 7 data, Personifikasi 11 data.
Hasil penelitian makna stilistika yang terkandung dalam lirik lagu
Camellia II, ditemukan beberapa gagasan yaitu:
a) kekaguman Ebiet terhadap sosok perempuan,
b) empati terhadap orang-orang yang menderita,
c) dimensi religiositas,
20
5. Sarwo Indah Ika, ”Tuturan Metaforis dalam Lirik Lagu-lagu Ebiet G. Ade”
Universitas Sebelas Maret. Metaforis itu sendiri bekerja sebagai bahasa
kiasan sepertiperbandingan hanya tidak menggunakan kata pembanding
seperti, laksana, bagai, dan sebagainya.
6. Niki Utami, ”Analisis Wacana Lirik Lagu ”Berita Kepada Kawan dan
”Camellia 1” Karya Ebiet G. Ade Ditinjau dari Aspek Internal dan
Eksternal” Universitas Muhammadiyah Surakarta. Analisis lirik lagu Ebiet
G.Ade ini telah diselesaikannya dengan mendeskripsikan kohesi
gramatikal pada lirik lagu, mendeskripsikan kohesi leksikal pada lirik lagu
danmendeskripsikan prinsip penafsiran pada liriklagu.
Pada kesempatan ini, peneliti akan mendeskripsikan simbol dan makna
simbol terdapat dalam lirik laguCamellia I, II, III, dan IV karya Ebiet G. Ade