• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pesan Moral Dalam Novel Botchan Karya Natsume Soseki

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pesan Moral Dalam Novel Botchan Karya Natsume Soseki"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG MORAL DAN NOVEL BOTCHAN

2.1 Definisi Moral

Menurut Syahfitri (2013:27) kata moral berasal dari bahasa latin mores. Mores

berasal dari kata mos, yang berarti kesusilaan, tabiat, kelakuan. Moral dengan demikian

dapat diartikan ajaran kesusilaan. Moralitas berarti hal mengenai kesusilaan. Sikap moral

yang sebenarnya disebut dengan moralitas.

Moralitas merupakan sikap hati orang yang terungkap dalam tindakan lahiriah

(mengingat bahwa tindakan merupakan ungkapan sepenuhnya dari sikap hati). Moralitas

terdapat apabila orang mengambil sikap yang baik karena ia sadar akan tanggung jawab

dan kewajibannya dan bukan karena ia ingin mencari untung. Moralitas adalah sikap dan

perbuatan baik yang betul-betul tanpa pamrih. Hanya moralitaslah yang bernilai secara

moral (Magnis-Suseno, 2010:58).

Sedangkan menurut Nurgiantoro (1995:321) Moralitas adalah sistem nilai tentang

bagaimana kita harus hidup secara baik sebagai manusia. Sistem nilai ini terkandung

dalam ajaran berbentuk petuah-petuah, nasihat, wejengan, peraturan dan sebagainya,

yang diwariskan secara turun-temurun melalui agama atau kebudayaan tertentu tentang

bagaimana manusia harus hidup secara baik, agar ia benar-benar menjadi manusia yang

(2)

Dalam KBBI terdapat keterangan bahwa moral adalah tentang baik buruk

perbuatan dan kelakuan, sedangkan etika adalah ilmu pengetahuan tentang asas-asas

akhlak (moral). Dari beberapa keterangan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa moral

mempunyai pengertian yang sama dengan kesusilaan, yaitu memuat ajaran tentang baik

buruknya suatu perbuatan. Penilaian itu menyangkut perbuatan yang dilakukan dengan

sengaja. Memberikan penilaian atas perbuatan dapat disebut memberikan penilaian etis

atau moral.

Jadi, dari berbagai definisi diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa moralitas

merupakan sistem nilai tentang perbuatan baik yang dipergunakan dalam kehidupan

sehari-hari secara baik sebagai seorang manusia. Sasaran dari moral adalah keselarasan

dari perbuatan manusia dengan aturan-aturan mengenai perbuatan-perbuatan baik yang

dilakukan manusia.

2.2 Prinsip-Prinsip Dasar Moral

Prinsip-prinsip dasar moral terbagi atas : prinsip sikap baik, prinsip keadilan dan

prinsip hormat terhadap diri sendiri (Suseno:2010).

2.2.1 Prinsip sikap baik.

Prinsip adalah asas (kebenaran yang menjadi pokok dasar berfikir dan bertindak).

(3)

(KBBI, 2007:180). Jadi prinsip sikap baik merupakan perbuatan dan tindakan yang baik yang

didasarkan pada pemikiran dalam bertindak.

Prinsip moral dasar pertama disebut prinsip sikap baik. Prinsip ini mendahului

dan mendasari semua prinsip moral lain. Prinsip ini mempunyai arti yang amat besar bagi

kehidupan manusia.

Sebagai prinsip dasar etika, prinsip sikap baik menyangkut sikap dasar manusia yang

harus memahami segala sifat konkret, tindakan dan kelakuan. Prinsip ini mengatakan bahwa

pada dasarnya, kecuali ada alasan khusus, kita harus mendekati siapa saja dan apa saja dengan

positif, dengan menghendaki yang baik bagi dia. Artinya, bukan semata-mata perbuatan baik

dalam arti sempit, melainkan sikap hati positif terhadap orang lain, kemauan baik terhadapnya.

Bersikap baik berarti, memandang seseorang dan sesuatu tidak hanya sejauh berguna bagi

dirinya, melainkan menghendaki, menyetujui, membenarkan, mendukung, membela,

membiarkan dan menunjang perkembangannya (Suseno 1989:131).

Bagaimana sifat baik itu harus dinyatakan secara konkrer, tergantung pada apa yang baik

dalam situasi konkret itu. Maka prinsip ini menuntut suatu pengetahuan tepat tentang realitas,

supaya dapat diketahui apa yang masing-masing baik bagi yang bersangkutan.

2.2.2 Prinsip Keadilan

Kemampuan manusia untuk bersikap baik secara hakiki terbatas, tidak hanya berlaku

bagi benda-benda materil, melainkan juga dalam hal perhatian dan cinta kasih. Kemampuan

untuk memberi hati kita juga terbatas. Maka secara logis dibutuhkan prinsip tambahan yang

(4)

Adil, pada hakikinya berarti bahwa kita memberikan kepada siapa saja dan apa yang

menjadi haknya. Karena pada hakikatnya semua orang sama nilainya sebagai manusia, maka

tuntunan paling dasar keadilan adalah perlakuan yang sama terhadap semua orang, tentu dalam

situasi yang sama (Suseno, 1989:132).

Jadi prinsip keadilan mengungkapkan kewajiban untuk memberi perlakuan yang sama

terhadap semua orang lain yang berada dalam situasi yang sama dan untuk menghormati hak

semua pihak yang bersangkutan.

Secara singkat, keadilan menuntut agar kita jangan mau mencapai tujuan-tujuan termasuk

hal yang baik dengan melanggar hak seseorang.

2.2.3 Prinsip Hormat Terhadap Diri Sendiri

Prinsip ini menyatakan bahwa manusia wajib untuk selalu memperlakukan diri sebagai

sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri. Prinsip ini berdasarkan paham bahwa manusia adalah

person, pusat berpengertian dan berkehendak, yang memiliki kebebasan dan suara hati, mahkluk

yang berakal budi (Suseno, 1989:133).

Prinsip ini mempunyai dua arah. Pertama, dituntut agar kita tidak membiarkan diri

diperas, diperalat, atau diperbudak. Perlakuan tersebut tidak wajar untuk kedua belah pihak,

maka yang diperlukan demikian jangan membiarkannya berlangsung begitu saja apabila ia

melawan, sebab kita mempunyai harga diri. Dipaksa untuk melakukan atau menyerahkan sesuatu

tidak pernah wajar. Kedua, kita jangan sampai membiarkan diri terlantar.

Manusia juga mempunyai kewajiban terhadap dirinya sendiri, berarti bahwa

(5)

Sebagai kesimpulan, kebaikan dan keadilan yang kita tunjukkan kepada orang lain, perlu

diimbangi dengan sikap yang menghormati diri sebagai mahkluk yang bernilai. Kita berbaik hati

dan bersikap baik terhadap orang lain dengan tetap memperhatikan diri sendiri.

2.3 Sikap-Sikap Kepribadian Moral

Sikap adalah perbuatan yang berdasarkan pada pendirian dan keyakinan. Kepribadian

adalah sifat hakiki yang tercermin pada sikap seseorang yang membedakannya dengan orang lain

(KBBI,2007:895). Sikap-sikap kepribadian moral terbagi atas: kejujuran, kesediaan untuk

bertanggung jawab, kemandirian moral, keberanian moral dan kerendahan hati.

2.3.1. Kejujuran

Kejujuran adalah merupakan sifat (keadaan) jujur, ketulusan hati, kelurusan hati

(KBBI,2007:479).

Dasar setiap usaha untuk menjadi orang kuat secara moral adalah kejujuran. Tanpa

kejujuran kita sebagai manusia tidak dapat maju karena kita belum berani menjadi diri kita

sendiri. Tidak jujur berarti bahwa kita belum sanggup untuk mengambil sikap lurus. Orang yang

tidak lurus, tidak mengambil dirinya sendiri sebagai titik tolak, melainkan menjadi apa yang

diperkirakan dan diharapkan orang lain.

Tanpa kejujuran, keutamaan-keutamaan moral lainnya akan kehilangan nilai. Bersikap

(6)

Menurut Suseno (2010:142-143), bersikap jujur terhadap orang lain berarti dua:

sikap terbuka dan sikap wajar (fair). Dengan terbuka, tidak dimaksud bahwa segala

pertanyaan orang lain harus kita jawab dengan selengkapnya, atau bahwa orang lain

berhak untuk untuk mengetahui segala perasaan dan pikiran kita. Melainkan yang

dimaksud ialah bahwa kita selalu muncul sebagai diri kita sendiri, sesuai dengan

keyakinan kita. Kita tidak menyesuaikan kepribadian kita dengan harapan Orang lain.

Dalam segala sikap dan tindakan kita memang hendaknya tanggap terhadap

kebutuhan, kepentingan dan hak-hak orang yang berhadapan dengan kita. Kita tidak

boleh bersikap egois. Kita memang perlu mengorbankan kepentingan kita demi

keperntingan orang lain. Tetapi kita melakukannya bukan untuk menyesuaikan diri,

karena takut atau malu, melainkan sebagai apa adanya diri kita dengan menyadari bahwa

memang wajar dan tepat jika kita memberikan pengorbanan itu dan memang jika

diperlukan kita akan membantu orang lain dengan perasaan yang tenang. Terbuka berarti

orang boleh tahu siapa kita.

Selanjutnya, orang yang jujur harus bersikap wajar (fair) terhadap orang lain. Ia

memperlakukannya menurut standar-standar yang diharapkannya dipergunakan orang

lain terhadap dirinya. Ia menghormati hak orang lain, ia selalu akan memenuhi janji yang

diberikan, juga terhadap orang yang tidak dalam posisi untuk menuntutnya. Ia tidak akan

pernah akan bertindak yang bertentangan dengan suara hati atau juga keyakinannya.

Tetapi hanya dapat bersikap jujur terhadap orang lain, apabila kita jujur terhadap diri kita

sendiri. Dengan kata lain, kita harus berhenti membohongi diri kita sendiri dengan

melihat keadaan kita apa adanya. Begitu kita berani untuk berpisah dari kebohongan, kita

(7)

bertambah. Meskipun lemah kita mengetahui bahwa kita kuat. Dibuat malu oleh orang

lain pun kita akan tetap tegar. Maka sangatlah penting agar kita mulai menjadi jujur.

2.3.2 Kesediaan Untuk Bertanggung Jawab

Kejujuran sebagai kualitas dasar kepribadian moral menjadi dasar dalam

kesediaan untuk bertanggung jawab. Bertanggung jawab berarti suatu sikap terhadap

tugas yang membebani kita, ada perasaan terikat untuk menyelesaikannya, demi tugas itu

sendiri.

Kita akan melaksanakannya dengan sebaik mungkin, meskipun dituntut

pengorbanan, kurang menguntungkan atau ditentang oleh orang lain. Tugas itu bukan

sekedar masalah dimana kita berusaha untuk menyelamatkan diri tanpa menimbulkan

kesan yang buruk, melainkan tugas itu kita rasakan sebagai sesuatu yang mulai sekarang

harus kita pelihara, kita selesaikan dengan baik.

Merasa bertanggung jawab, meskipun orang lain tidak melihat, kita tidak merasa

puas sampai pekerjaan itu diselesaikan dengan baik.

Wawasan orang yang bersedia untuk bertanggung jawab secara prinsipal tidak

terbatas. Ia tidak membatasi perhatiannya pada apa yang menjadi urusan dan

kewajibannya, melainkan merasa bertanggung jawab dimana saja ia perlukan. Ia bersedia

untuk mengerahkan tenaga dan kemampuan ketika ia di tantang untuk menyelamatkan

(8)

Dan lagi, kesediaan untuk bertanggung jawab termasuk kesediaan untuk diminta

dan untuk memberikan, mempertanggung jawabkan atas tindakan-tindakannya , atas

pelaksanaan tugas dan kewajibannya. Kalau ternyata ia lalai atau melakukan kesalahan,

ia bersedia untuk mengaku dan bertanggung jawab atas segala kesalahannya. Ia tidak

akan pernah melempar tanggung jawab atas segala kesalahan yang diperbuatnya kepada

orang lain. Kesediaan untuk bertanggung jawab demikian adalah tanda kekuatan batin

yang sudah kuat.

2.3.3 Kemandirian Moral

Jika kita ingin mencapai kepribadian moral yang kuat, maka kita harus memiliki

sikap kemandirian moral.

Kemandirian moral berarti bahwa kita tidak pernah ikut-ikutan saja dengan

berbagai pandangan moral lingkungan kita, melainkan selalu membentuk penilaian dan

pendirian sendiri dan bertindak sesuai dengannya. Kita tidak hanya sekedar meniru apa

yang biasa.

Menurut Suseno (2010:147), kemandirian moral adalah kekuatan batin untuk

mengambil sikap moral sendiri dan untuk bertindak sesuai dengannya. Mandiri secara

moral berarti bahwa kita tidak dapat dibeli oleh mayoritas, bahwa kita tidak akan pernah

rukun hanya demi kebersamaan kalau kerukunan itu melanggar keadilan.

Sikap mandiri pada hakikatnya merupakan kemampuan untuk selalu membentuk

(9)

2.3.4 Keberanian Moral

Keberanian moral menunjukkan diri dalam tekad untuk tetap mempertahankan

sikap yang telah diyakini sebagai kewajiban, sekalipun tidak disetujui ataupun secara

terang-terangan di tentang oleh lingkungan. Orang yang memiliki keutamaan itu tidak

mundur dari tugas maupun tanggung jawab, juga kalau ia mengisolasikan diri, dibuat

malu, dicela, ditentang, atau diancam oleh banyak orang, oleh orang-orang yang kuat

yang memiliki kedudukan dan juga oleh mereka yang penilainnya disegani.

Keberanian moral adalah kesetiaan terhadap suara hati yang menyatakan diri

dalam kesediaan untuk mengambil resiko konflik (Suseno, 2010:147). Keberanian moral

berarti berpihak kepada yang lebih lemah melawan yang lebih kuat yang memperlakukan

nya secara tidak adil.

Orang yang berani secara moral akan membuat pengalaman yang menarik. Setiap

kali ia mempertahankan sikap yang diyakini, ia merasa lebih kuat dan berani dalam

hatinya, yang berarti ia semakin dapat mengatasi perasaan takut dan malu dalam dirinya.

Moral keberanian akan membuat kita merasa lebih mandiri. Yang memberikan

semangat dan kekuatan berpijak bagi mereka yang lemah.

2.3.5 Kerendahan Hati

Keutamaan terakhir yang hakiki bagi kepribadian yang matang adalah kerendahan

hati. Kerendahan hati tidak berarti bahwa kita merendahkan diri, melainkan bahwa kita

(10)

dengan kenyataan (Suseno,2010:148). Orang yang rendah hati tidak hanya melihat

kelemahannya, melainkan juga melihat kekuatannya.

Dalam bidang moral, kerendahan hati tidak hanya berarti bahwa kita sadar akan

keterbatasan ‘kebaikan’ kita, melainkan juga kita sadar bahwa kemampuan kita untuk

memberikan penilaian moral itu terbatas. Dengan kerendahan hati, kita benar benar

bersedia untuk memperhatikan dan menanggapi setiap pendapat lawan, bahkan untuk

seperlunya, kita harus mengubah pendapat kita sendiri.

Kerendahan hati tidak bertentangan dengan keberanian moral. Tanpa kerendahan

hati, keberanian moral mudah menjadi kesombongan, kita tidak rela memperhatikan

orang lain, atau bahkan sebenarnya kita takuat dan tidak berani membuka diri.

Orang yang rendah hati sering menunjukkan daya tahan yang paling besar, apa

bila benar-benar diberikan perlawanan. Orang yang rendah hati tidak merasa bahwa

dirinya terlalu penting, karena keberanian akan datang apabila ia sudah yakin bahwa

sikapnya telah memiliki nilai moral.

2.4 Prinsip Etika Moral Bushido

Bushido merupakan suatu sistem moral, sehingga etika yang terkandung adalah

etika moral. Etika moral yang terdapat dalam etika moral bushido berpusat pada konsep

kemanusiaan.

Etika moral yang terkandung dalam bushido menurut Suryohadiprodjo (1982:49),

(11)

kesopanan atau hormat (rei例), keadilan/kesungguhan atau integritas (gi儀), kehormatan

atau martabat (meiyo名誉) dan kesetiaan (chungi中ん儀).

2.4.1. Kejujuran/Makoto

Kejujuran (Makoto 真) adalah tentang bersikap jujur kepada diri sendiri

sebagaimana kepada orang lain. Artinya, bertingkah laku yang benar secara moral dan

selalu melakukan hal-hal dengan kemampuan terbaik.

Kejujuran merupakan keyakinan dalam kode etik samurai. Didalam diri samurai

tidak ada ynag lebih buruk daripada curang dalam pergaulan dan perbuatan yang tidak

wajar.

Ajaran bushido mendefinisikan kejujuran sebagai suatu kekuatan resolusi,

kejujuran adalah kekuatan pasti pada setiap tingkah laku tanpa keragu-raguan. Samurai

siap mati jika dianggap pantas untuk mati dan berhenti sebagai samurai jika dianggap

sebagai kebenaran.

Konsep kejujuran dalam bushido adalah pembuatan keputusan yang benar dengan

alas an yang tepat. Alasan yang tepat ini adalah Giri. Giri lah yang merupakan alas an

seseorang untuk memutuskan berbuat sesuatu dan bersikap dengan orang tua, kepada

masyarakat luas. Menurut Nitobe (dalam Sipahutar 2007:30), kejujuran adalah sifat yang

(12)

Jika seseorang memiliki sifat jujur dan berjalan diatas jalan lurus, dapat dipastikan

bahwa ia seorang yang pemberani. Berani tidak saja mengacu kepada keberanian dalam

berperang tetapi juga berani menghadapi berbagai cobaan hidup.

Kejujuran dikalangan samurai merupakan etika yang tidak bisa diragukan lagi. Ia

harus tegas ketika menghadapi kapan harus mati dan kapan harus membunuh, asalkan

demi kebenaran yang dianutnya. Keberanian seorang samurai harus didasari oleh

kejujuran serta kal sehat, tanpa kecerobohan maupun kecurangan.

2.4.2 Keberanian/Yu

Keberanian/Yu 湯 merupakan kemampuan untuk mengatasi setiap keadaan

dengan keberanian dan keyakinan. Keberanian ini dapat dilihat dari sikap orang Jepang

dalam mempertahankan kelompoknya. Untuk dapat membela kebenaran, diperlukan rasa

keberanian dan keteguhan hati. Seorang samurai tidak dibenarkan ragu-ragu dalam

melaksanakan tugasnya, jika seorang samurai ragu-ragu dalam melaksanakan suatu hal

akan membuat mereka menjadi terlihat tidak mempunyai pendirian dalam mengambil

keputusan ataupun dalam melaksanakan tugas.

Dalam ajaran konfusionisme, keberanian itu adalah melakukan hal yang dianggap

benar. Namun keberanian itu juga dibedakan antara berani karena membela atau

mempertahankan prinsip kebenaran dengan keberanian yang ada pada tingkah laku

(13)

2.4.3 Kebajikan atau Kemurahan Hati/ jin

Kebajikan/Jin人 merupakan gabungan antara kasih sayang dan kemurahan hati.

Prinsip ini terjalin dengan Gi dan menghindarkan samurai dari penggunanaan keahlian

mereka dengan congkak atau untuk mendominasi.

Simpati dan rasa belas kasihan diakui menjadi unsur tertinggi dalam kebajikan.

Kebajikan merupakan semangat dalam membangun pribadi kaum samurai dan mencegah

mereka berbuat sewenang-wenang.

Menurut Sipahutar (2007:31), rasa kasih sayang dimiliki oleh samurai tidak jauh

berbeda dengan yang dimiliki rakyat biasa, tetapi pada seorang samurai harus didukung

oleh kekuatan untuk membela dan melindungi.

2.4.4 Kesopanan atau Hormat/Rei

Kesopanan/Rei 例adalah hal yang berkenan dengan kesopanan dan prilaku yang

pantas kepada orang lain. Prinsip ini berarti menghormati semua orang.

Menurut Napitupulu (2008:22), mengatakan bahwa di Jepang penghayatan

musik merdu dan sajak-sajak indah merupakan kurikulum pendidikan untuk membangun

perasaan dan jiwa lembut, yang kemudian akan menggugah penghayatan terhadap

penderitaan orang lain. Kerendahan hati untuk memahami orang lain adalah akar dari

(14)

Kemudian menurut Sipahutar (2007:31-32), etika kesopanan bangsa Jepang sudah

dikenal dunia. Dan sikap ini merupakan unsure kemanusiaan tertinggi dan hasil terbaik

dari hubungan masyarakat. Kesopanan yang tercermin pada masyarakat Jepang bermula

dari tata cara yang bersifat rutinitas. Bagaimana seseorang harus tunduk pada teguran

orang lain, bagaimana seseorang harus berjalan, duduk mengajar dan diajar dengan penuh

kepedulian.

2.4.5 Keadilan/ Kesungguhan atau Integritas/Gi

Keadilan/Gi 儀 merupakan kemampuan untuk membuat keputusan yang benar

dengan keyakinan moral dan untuk bersikap adil serta sama kepada semua orang tanpa

memperdulikan warna kulit, ras, gender ataupun usia.

Dalam melaksanakan tugasnya seorang Bushi atau samurai harus memandang

sama semua golongan, hal ini juga ada agar para samurai tidak semena-mena ataupun

menggunakan kekuasaan atau kekuatannya untuk hal-hal yang tidak sewajarnya.

2.4.6 Kehormatan atau Harga diriMeiyo名誉

Kehormatan/ Meiyo名誉 dicapai dengan sikap positif dalam berpikir dan hanya

akan mengikuti perilaku yang tepat. Selain itu, kehormatan merupakan implikasi dari satu

(15)

Menurut Sipahutar (2007:32), seorang samurai yang lahir dan dibesarkan dengan

nilai-nilai kewajiban dan keistimewaan profesi mereka, sadar benar bahwa kehormatan

adalah kemuliaan pribadi yang mewarnai jiwa mereka. Didalam bahasa Jepang ada istilah

seperti na (nama), memoku (wajah), dan guaibun (pendengaran). Istilah ini bisa

diterjemahkan sebagai reputasi atau nama baik seseorang. Nama baik adalah bagian

non-fisik yang tidak kelihatan dari manusia, tetapi dapat dirasakan. Kalau hal ini tidak dijaga,

maka reputasi bisa jatuh dan memberikan kesan yang baik bagi orang lain.

Kehormatan bagi bangsa Jepang diyakini sebagai suatu sensitifitas sejak anak

berada dalam kandungan ibunya. Hilangnya kehormatan bagi bangsa Jepang tercermin

dari rasa malu yang merupakan hukuman yang paling buruk. Kesadaran akan rasa malu

menjadikan orang Jepang menolak untuk terhadap segala sesuatu yang berupa

penghinaan.

Landasan filosofi yang terkandung dalam etika kehormatan ini adalah adanya

yang mencerminkan kebutuhan individu terhadap penghargaan berupa hasil kerja. Dalam

bushido, kehormatan bisa dicapai sejalan dengan bertambahnya usia yang mencerminkan

bertambahnya pengalaman hidup dan reputasi. Reputasi ini harus dijaga dengan baik,

karena reputasi yang dibangun bertahun-tahun mungkin saja bisa hancur dalam satu hari

(16)

2.4.7 Kesetiaan/ Chungi中ん儀

Kesetiaan/ Chungi 中ん儀 merupakan dasar dari semua prinsip, tanpa dedikasi

dan kesetiaan pada tugas yang sedang dikerjakan dan kepada sesama, seseorang tak dapat

berharap akan mencapai hasil yang diinginkan.

Kesetiaan merupakan sifat yang harus dimiliki oleh seorang samurai. Kesetiaan

muncul dari adanya rasa solidaritas yang memunculkan rasa kebersamaan dalam

kehidupan sosial utuk mempertahankan daerah atau wilayah mereka dari serangan musuh.

Kesetiaan untuk kepentingan bersama dan tuannya merupakan pemenuhan

kewajiban seorang samurai untuk menanti nilai-nilai kemasyarakatan dengan cara

mengabdi sepenuhnya kepada tuan mewujudkan pengabdian itu dengan cara berprestasi

sebaik mungkin.

Kesetiaan yang diajarkan dalam bushido merupakan kesetiaan seorang bushi

dalam menjalankan tugas yang diberikan oleh tuannya. Dalam menjalankan tugasnya ini

mereka dituntut untuk tunduk terhadap aturan-aturan yang ditetapkan oleh tuannya.

Sedangkan didalam konfusionisme makna kesetiaan menjadi bernuansa moral,

nilai moral yang yang terkandung didalamnya meliputi nilai moral sosial, ynag

mendasarkan ajarannya dengan adanya hubungan antara anak dengan orang tua, kaka

dengan adik, antara sesame, terhadap pejabat pemerintah, dan terhadap kaisar Napitupulu

(17)

2.5 Setting Cerita

Latar atau setting adalah penggambaran situasi tempat dan waktu serta terjadinya

peristiwa (Suroto 1989:94). Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa latar

atau setting merupakan tempat terjadinya suatu peristiwa. Nurgiyantoro juga menjelaskan

(1995:216) bahwa latar atau setting menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu,

dan lungkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa.

2.5.1. Latar Tempat

Latar tempat menjelaskan pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam

sebuah karya sastra. Unsur-unsur yang digunakan berupa tempat-tempat dengan nama

tertentu, ataupun lokasi tanpa nama yang jelas.

Dalam novel Botchan, sebagian besar mengambil setting lokasi di Tokyo,

Shikoku dan sebagainya . Adapun beberapa latar tempat terjadinya peristiwa dalam novel

Botchan adalah sebagai berikut :

1. Rumah

Hal ini terlihat jelas pada kalimat berikut: ‘Saat aku sampai dirumah’ (Halaman 1)

2. Sumur

Hal ini terlihat jelas pada kalimat berikut: ‘ Sumur ini sumber tempat air mengalir

masuk dan keluar ke sawah dan sekitarnya’ (halaman 13)

(18)

Hal ini terlihat jelas pada kalimat berikut: ‘Tapi aku tidak tahu secara persis

karena aku sudah tinggal di losmen di Ogawamachi, Kanda’ (halaman 21)

4 Sekolah Ilmu Alam Tokyo

Hal ini terlihat jelas pada kalimat berikut: ‘Ketika suatu hari aku melewati

Sekolah Ilmu Alam Tokyo, aku melihat pengumuman penerimaan siswa baru’

(Halaman 23)

5 Stasiun

Hal ini terlihat jelas pada kalimat berikut: ‘Kami pergi ke stasiun berdampingan

dengan rikshaw’ (Halaman 27)

6 Yamashiroya

Hal ini terlihat jelas pada kalimat berikut: ‘Di mana kau tinggal? Tanya Hotta.

Yamashiroya?’ (Halaman 38)

7 Sekolah

Hal ini terlihat jelas pada kalimat berikut: ‘Sejak hari itu,aku pergi setiap hari ke

sekolah’ (Halaman 48)

8 Pantai

Hal ini terlihat jelas pada kalimat berikut: ‘Lalu bersama-sama kami pergi ke

(19)

9 Pemandian air panas

Hal ini terlihat jelas pada kalimat berikut: ‘Ketika pergi ke pamandian air panas’

(Halaman 104)

10 Kajiyachou

Hal ini terlihat jelas pada kalimat berikut: ‘Ketika aku mendapati tempat bernama

Kajiyachou’ (Halaman 118)

11 Kashintei

Hal ini terlihat jelas pada kalimat berikut: ‘Pesta perpisahan diadakan di tempat

yang bernama Kashintei’ (Halaman 161)

12 Tokyo Tramcar Company

Hal ini terlihat jelas pada kalimat berikut: ‘Seorang teman membantuku

mendapatkan pekerjaan sebagai asisten mekanik di Tokyo Tramcar Company’

(20)

2.5.2. Latar Waktu

Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa-peristiwa

yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Biasanya dapat dihubungkan dengan waktu

faktual atau waktu yang ada kaitannya dengan peristiwa sejarah.

Dalam novel Botchan, biasanya berlatar waktu di siang atau malam hari. Namun

ada juga beberapa latar terdapat dalam novel Botchan diantaranya

Latar waktu pada cerita ini dimulai pada kata sejak dulu yang sebenarnya tidak

faktual. Frasa ini terdapat pada halaman 15, alinea kedua yang menyatakan ‘Sejak dulu

pembawaannya memang kewanita-wanitaan, dan karena dia sedikit licik, kami tidak

pernah akur’.

Latar waktu yang menggunakan kata sore juga ada digunakan yaitu pada halaman

12 alinea keempat yang menyatakan ‘ Di satu sore, aku bersembunyi di balik pagar dan

akhirnya menangkap basah dirinya’.

Latar waktu yang menggunakan tahun juga ada digunakan, yang terdapat pada

halaman 20 alinea pertama yang menyatakan ‘Begitulah hidupku selama lima atau enam

tahun pertama setelah kematian ibuku’.

Latar waktu pagi hari juga ada pada cerita ini yang terdapat pada halaman 27,

alinea kedua yang menyatakan ‘Kiyo datang di pagi hari dan membantuku bersiap-siap’.

Latar waktu cerita ini juga terdapat pada saat matahari bersinar begitu terang pada

halaman 28 alinea pertama yang menyatakan ‘Matahari bersinar begitu terang sehingga

(21)

Pukul tiga juga disebutkan pada cerita ini, yang terdapat pada halaman 46, alinea

pertama yang menyatakan ‘Aku harus menunggu sendirian di sekolah hingga pukul tiga’.

Latar waktu setiap hari juga ada pada cerita ini yang terdapat pada halaman 48 ,

alinea kedua yang menyatakan ‘Sejak hari itu, aku pergi setiap hari ke sekolah’.

Keesokan hari juga disebutkan pada cerita ini, yang terdapat pada halaman

54,alinea kelima yang menyatakan ‘Aku pergi kesekolah keesokan harinya’.

Latar waktu pada cerita ini juga terdapat pada saat sinar matahari mulai melemah

pada halaman 86, alinea kedua yang menyatakan ‘ Sinar matahari mulai melemah dan

angin dingin bertiup’.

Musim gugur juga disebutkan pada cerita ini, yang terdapat pada halaman 92,

alinea pertama yang menyatakan ‘Musim gugur akhirnya menjumpai kita’.

Beberapa menit juga disebutkan pada cerita ini, yang terdapat pada halaman 102

alinea pertama yang menyatakan ‘Beberapa menit kemudian bel jam pelajaran berbunyi’.

Latar waktu detik juga ada pada cerita ini yang terdapat pada halaman 111, alinea

pertama yang menyatakan ‘Pada detik itu, Hotta yang sejak awal hanya duduk diam

mendengarkan, tiba-tiba berdiri dengan pasti’.

Latar waktu hari ini juga ada pada cerita ini yang terdapat pada halaman 124,

alinea kedua yang menyatakan ‘Sungguh penghinaan terhadapt dewa hari ini’.

Latar waktu seminggu juga ada pada cerita ini yang terdapat pada halaman 206,

alinea kedua yang menyatakan ‘Namun setelah seminggu berlalu tanpa hasil, aku mulai

(22)

Latar waktu kemarin malam juga ada pada cerita ini yang terdapat pada halaman

214, alinea ketiga yang menyatakan ‘Aku melihat geisha masuk ke Kadoya kemarin

malam’.

Latar waktu bulan juga ada pada cerita ini yang terdapat pada halaman 217, alinea

ketiga yang menyatakan ‘Aku mendapat gaji dua puluh lima yen per bulan’.

Inilah latar tempat dan latar waktu yang digunakan dan terdapat pada cerita novel

Botchan.

2.6 Biografi Pengarang

Natsume Kinnosuke , yang lebih luas dikenal dengan nama pena Soseki, lahir di

Tokyo, 9 Februari 1867, setahun sebelum Kaisar Meiji menerima kembali pemerintahan

dari shogun Tokugawa. Meskipun kekaisaran Meiji sejak 1872 telah melakukan

pembaharuan di bidang pendidikan dengan memperkenalkan sistem pendidikan Barat,

tetapi Soseki masih harus belajar dalam suasana lama.

Demikianlah dia pun mempelajari bahasa dan sastra Cina klasik, sebagai salah

satu pelajaran utama dalam pendidikan zaman Edo. Selama setahun mempelajari Sastra

Cina di sekolahnya menimbulkan kecintaan Soseki pada sastra Cina dalam dirinya

sepanjang hidup. Pada tahun 1882, Soseki menyatakan keinginan untuk menjadikan

sastra sebagai karir, meskipun tidak menjelaskan apakah sebagai penulis atau peneliti

akademis. Soseki masuk ke Departemen Sastra Inggris TokyoImperial University di tahun

(23)

Selama periode Meiji, kaum intelektual Jepang merasa mempelajari berbagai

pengetahuan dari dunia Barat demi membantu pembangunan negeri merupakan

kewajiban mereka. Soseki bukanlah pengecualian dan semangat memperoleh

pengetahuan dalam salah satu aspek peradaban Baratlah yang menuntunnya menekuni

sastra Inggris. Soseki adalah sarjana kedua yang lulus dari Universitas Kerajaan (yang

kemudian menjadi Universitas Tokyo atau Tokyo Daigaku) di Tokyo jurusan bahasa

Inggris (yang dibuka 1888) dan kemudian ia pun beberapa lama mengajarkan sastra

Inggirs di universitas tersebut di samping beberapa sekolah lain. Ia tamat dari Universitas

Kerajaan pada tahun 1893. Ia pun menerima pengangkatan sebagai guru bahasa Inggris di

Sekolah Guru di Tokyo.

Dua tahun kemudian pada tahun 1895, dia tiba-tiba pindah ke Matsuyama di

pulau Shikoku dan mengajar pada sebuah Sekolah Menengah. Pada waktu itu pula dia

menulis haiku dan mempergunakan nama samaran Soseki. Yang jelas ialah bahwa di

Matsuyamalah dia melamar Nakane Kyoko, yang kemudian menjadi istrinya. Namun

ternyata di Matsuyama pun ia tidak betah, karena setahun kemudian pada tahun 1896 dia

pindah ke Kumamoto di pulau Kyushu, mengajar di Akedemi Nasional Kelima. Di

situlah dia menikah, mempunyai anak dan dan hidup berbahagia, sampai tahun 1900

ketika ia tiba-tiba ditunjuk sebagai orang yang mendapat beasiswa pemerintah ke Inggris.

Dua tahun lebih tinggal di London membuat Soseki frustasi. Ia mengurung diri dalam

kamar dan membaca terus-menerus, mula-mula tentang sastra, tetapi kemudian juga

tentang berbagai ilmu yang lain, terutama psikologi dan filsafat. Ia sendiri mengganggap

(24)

Keadaan sedemikian rupa sehingga ia mengalami guncangan saraf yang sejak itu terus

merundungnya sepanjang hidup.

Awal tahun 1903 ia tiba kembali ke tanah airnya, dan mengajar di Akedemi

Nasional Pertama di Tokyo. Ia pun kemudian mengajarkan sastra Inggris di Universitas

Kerajaan. Cara Soseki mengajar dianggap kering dan membosankan, sehingga dia tidak

disukai oleh para mahasiswa. Tetapi pada waktu itu pulahlah dia memberikan

serangkaian kuliah yang mengemukakan pandangan-pandanganya tentang sastra pada

umumnya, dan sastra Inggris serta sastra Jepang pada khususnya, seperti “Konsep umum

tentang sastra”, ”Tentang sastra”, Sastra Inggris abad ke-18.

Memang, meskipun Soseki seorang sarjana sastra Inggris yang terpandang, yang

pernah tinggal di London selama dua tahun lebih, tetapi tidaklah ia menjadi seorang

pengagum buta kebudayaan barat. Padahal pada waktu itu kaum intelektual dan

budayawan Jepang sedang bersemangat sekali meniru segala sesuatu yang datang dari

Barat. Di kalangan kesusastraan, berbagai aliran yang sedang popular di Eropa ditiru

dengan antusias sekali. Kehidupan sastra di zaman Tokugawa yang lebih bersifat hiburan

daripada sungguh-sungguh, dianggap tidak sesuai lagi dengan jiwa masyarakat Jepang

yang berubah. Tidak syak lagi, Soseki hidup pada masa yang sangat menentukan dalam

sejarah Jepang. Dalam dunia sastra zaman Meiji paruh yang pertama merupakan zaman

pemindahan karya-karya barat ke dalam bahasa Jepang dan hal itu menyebabkan

pengaruh Barat merajalela dalam karya sastra bahasa Jepang yang ditulis pada paruh

kedua zaman tersebut. Sebagai orang yang mendalami sastra Barat, terutama sastra

(25)

Walaupun begitu Soseki bukan pula seorang yang terbakar oleh semangat

nasionalisme yang sempit. Kalau dia melihat kekurangan-kekurangan pada modernisasi

ataupun pada kebudayaan Barat, bukan berarti dia menolak secara apriori terhadapnya.

Para peneliti tentang Soseki pun sama-sama melihat bahwa pada karya-karya Soseki

tampak pengaruh para pengarang Inggris. Tetapi para peneliti itu pun sepakat, bahwa

pengaruh dari para pengarang Barat itu diimbanginya dengan keeratannya pada akar

budaya Jepang sendiri, sehingga karya-karyanya merupakan sesuatu yang orisinil.

Karyanya yang paling terkenal, Botchan misalnya memperlihatkan pengaruh dari bahasa

roman-roman lucu masa itu. Sebagai seseorang yang lahir di Edo (Tokyo), Soseki

memang akrab sekali dengan kebudayaan Edo, hal mana tampak bukan saja pada gaya

bahasa yang dipakainya menulis Botchan, melainkan dengan caranya menyebut

tokoh-tokohnya dengan nama ejekan. Dengan begitu karyanya diakui memang berbeda sekali

dengan karya sastra jepang pada masa itu, baik dalam bentuk, gaya bahasa, maupun

karakteristiknya.

Pada tahun 1906 dia menolak tawaran surat kabar Yomiuri yang berpengaruh

untuk menjadi pengasuh ruangan sastra. Pada waktu itu ia telah berhasil menarik para

penggemar dan pengagum serta kawan-kawannya, sehingga mereka mengadakan

pertemuan sekali seminggu. Di antara pesertanya ada Komiya Toyotaka yang kemudian

menulis biografi Natsume Soseki yang lengkap dengan Akutagawa Ryuunosuke

(1892-1927) yang kemudian juga jadi terkenal sebagai salah seorang sastrawan Jepang modern

yang penting. Pada waktu itu terbit Tiga Cerita (Uzurakugo, 1906) yang terdiri atas

(26)

(1906) sangat popular dan bersama Aku Seekor Kucing (1904) merupakan karya Sooseki

yang paling terkenal. .

Pada bulan Februari 1907 dia menerima tawaran dari Asahi, surat kabar terbesar

di Jepang pada waktu itu untuk bekerja sebagai penulis cerita. Soseki meninggalakan

pekerjaannya sebagai pengajar di universitas karena ia melihatnya sebagai kesempatan

untuk menjadi penulis kreatif secara penuh. Keputusan itu menggegerkan kalangan

universitas dan kawan-kawanya. Tidak pernah terjadi sebelumnya ada orang yang mau

melepaskan kedudukan terhormat dan terjamin sebagai pengajar di universitas

pemerintah untuk masuk ke sebuah perusahaan swasta yang tidak jelas masa depannya.

Tetapi sejarah kemudian membuktikan bahwa pilihan Soseki tidaklah keliru. Bukan saja

untuk dirinya pribadi, melainkan juga bagi dunia kesusastraan Jepang. Dengan

meninggalakan universitas, Soseki telah memperkaya khazanah sastra Jepang.

Pada tahun 1909 Soseki membuat geger ketika ia menolak Piala Emas yang

diberikan majalah Taiyo, karena terpilih sebagai seniman yang paling banyak mendapat

suara penggemar. Alasanya Soseki menganggapa hal itu membahayakan pribadi seniman,

karena merupakan tirani mayoritas. Dua tahun setelah itu, ia menggegerkan lagi karena

menolak gelar Doktor Kehormatan dalam sastra yang hendak diberikan oleh pemerintah.

Soseki merasa tersinggung karena menganggap hak asasinya sebagai individu dilanggar

karena dia tidak ditanya suka atau tidak menerima gelar kehormatan itu. Dia ingin hidup

sebagai manusia biasa. Memang Soseki dikenal eksentrik, tetapi hanya dalam hal-hal

(27)

Dalam uraiannya yang berjudul “Dasar filsafat sastra dan seni” Soseki menyebut

tentang empat macam akibat yang ditimbulkan oleh suatu karya sastra terhadap

pembacanya, yaitu yang disebutnya sebagai sesutau keindahan, kebenaran, kebaikan dan

kepahlawanan.

Nuansa satir ringan dalam karya-karya awalnya kemudian digantikan dengan

Koofu (1908), Sanshiroo (1908), dan Sorekara (1909) yang bernada serius. Meski

berjuang melawan sakit parah, termasuk dalam karya sastra Soseki pada dekade terakhir

hidupnya antara lain Mon, Kojin (1913), dan Kokoro (1914), kemudian memuncak pada

novelnya yang tidak selesai, Meian (1916) yang merupakan sebuah studi pengasingan

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan dari hasil uji hipotesis dalam penelitian ini menemukan bahwa kepuasan kerja dapat memberikan pengaruh yang nyata dalam peningkatan motivasi kerja dalam

Model dikatakan baik bilamana nilainya besar (mendekati 1). Dalam penelitian ini nilai yang diperoleh adalah 57,12%, ini menunjukkan bahwa model jalur dapat dikatakan baik. Nilai

Skripsi sarjana ini berjudul “Analisis Fungsi, Tekstual, dan Musikal Senandung Jolo Pada Masyarakat Jambi di Kelurahan Tanjung, Kecamatan Kumpeh, Kabupaten Muaro

Dalam penelitian ini uji reliabilitas digunakan untuk menunjukkan konsistensi butir pernyataan yang digunakan dalam kue- sioner atau sejauh mana alat ukur dapat

b. Madrasah yang terakreditasi dan memiliki peserta kurang dari 20 orang dapat menjadi pelaksana UAMBD dan UAMBN Tingkat Satuan Pendidikan dengan pertimbangan kelayakan

mukan kurangnya kesadaran dan pengetahuan konsumen tentang hak dan kewajiban yang di atur dalam undang-undang perlindungan konsu- men yang merugikan dirinya untuk

Dari hasil perhitungan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hisab dalam kitab sair al-kamar sangat perlu dilakukan pengoreksian kembali, karena hisab ephemeris yang

Permukaan Jalan Lingkungan 76% - 100% area memiliki kualitas permukaan jalan yang buruk dan tidak sesuai standar teknis 51% - 75% area memiliki kualitas permukaan jalan yang buruk