• Tidak ada hasil yang ditemukan

Isu Patriarki dan Isu Gender pada pada Perempuan dalam Birokrasi Lokal (Studi Kasus di Desa Karang Baru, Kecamatan Talawi Kabupaten Batubara)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Isu Patriarki dan Isu Gender pada pada Perempuan dalam Birokrasi Lokal (Studi Kasus di Desa Karang Baru, Kecamatan Talawi Kabupaten Batubara)"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu

(2)

2.2. Konsep Budaya Patriarki

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kebudayaan adalah: (1) Hasil kegiatan dan penciptaan batin manusia seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat. (2) Keseluruhan pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya untuk menjadi pedoman tingkah laku.

Patriarki adalah tatanan kekeluargaan yang sangat mementingkan garis turunan bapak (KBBI:2001). Secara etimologi, patriarki berkaitan dengan sistem sosial, dimana ayah menguasai seluruh anggota keluarganya, harta miliknya, serta sumber-sumber ekonomi. Ia juga membuat semua keputusan penting bagi keluarga. Dalam sistem sosial, budaya dan juga keagamaan, patriarki muncul sebagai bentuk kepercayaan atau ideologi bahwa laki-laki lebih tinggi kedudukannya dibanding perempuan.

Patriarki juga dpat dijelaskan dimana masyarakat yang menempatkan kedudukan dan posisi laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan dalam segala aspek kehidupan sosial, budaya dan ekonomi Retno (2010).

Di negara-negara barat, Eropa barat termasuk indonesia, budaya dan ideologi patriarki masih sangat kental mewarnai berbagai aspek kehidupan dan struktur masyarakat. Bila dilihat secara garis besar, mayoritas penduduk Indonesia adalah masyarakat yang patrilineal yang dalam hal ini, posisi ayah atau bapak (laki-laki) lebih dominan dibandingkan dengan posisi ibu (perempuan).

(3)

Pada tatanan kehidupan sosial, konsep patriarki sebagai landasan ideologis, pola hubungan gender dalam masyarakat secara sistematik dalam praktiknya dengan pranata-pranata sosial lainnya. Faktor budaya merupakan salah satu penyebeb meningkatnya angka kekerasan terhadap perempuan. Hal ini dikarenakan terlalu diprioritaskannya laklaki (maskulin).

Perbedaan gender sebetulnya tidak menjadi masalah selama tidak melahirkan ketidakadilan jender. Namun ternyata perbedaan jender baik melalui mitos-mitos, sosialisai, kultur, dan kebijakan pemerintah telah melahirkan hukum yang tidak adil bagi perempuan. Pada masyarakat patriarki, nilai-nilai kultur yang berkaitan dengan seksualitas perempuan mencerminkan ketidaksetaraan jender menempatkan perempuan pada posisi yang tidak adil.

Sikap masyarakat patriarki yang kuat ini mengakibatkan masyarakat cenderung tidak menanggapi atau berempati terhadap segala tindak kekerasan yang menimpa perempuan. Sering dijumpai masyarakat lebih banyak komentar dan menunjukkan sikap yang menyudutkan perempuan

2.3.Konsep Gender

Secara sederhana gender dapat diartikan, perbedaan peran laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial dari budaya yang diyakini oleh suatu masyarakat yang selanjutnya membentuk identitas laki-laki perempuan serta pola perilaku yang menyertainya. Pengertian ini memberikan ruang yang sangat dominan terhadap dinamika sosial budaya masyarakat untuk turut mempengaruhi perbedaan peran laki-laki dan perempuan. Sejalan dengan pendapat ini (Nugroho, 2008: 19).

(4)

Istilah “gender” dengan pemaknaan seperti dikemukakan di atas pertama kali diperkenalkan oleh Stoller (1968). Untuk memisahkan pencirian manusia yang didasarkan pada pendefenisian yang bersifat sosial budaya dengan pendefenisian yang berasal dari ciri-ciri fisik biologis. Dewasa ini dikenal beberapa teori gender, antara lain : teori nurture teori nature, teori equilibrium, dan Syndrome Cindrella Complex.

Teori nurture memandang perbedaan perempuan dan laki-laki adalah hasil konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Perbedaan itu menyebabkan perempuan selalu tertinggal dan terabaikan peran dan kontribusinya dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Konstruksi sosial menempatkan perempuan dan laki-laki berbeda dalam banyak hal. Teori Equilibrium, menitikberatkan pada konsep kemitraan dan keharmonisan dalam hubungan laki-laki dan perempuan. Keduanya di pandang harus bekerjasama dalam kemitraan yang harmonis dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa, dan bernegara. Keragaman peran disebabkan karena adanya berbagai factor, antara lain: biologis, etnis, aspirasi, minat, pilihan atau budaya yang pada hakekatnya merupakan realitas kehidupan manusia.Konsep gender ini digunakan untuk melihat posisi wanita dalam birokrasi yang pada dasarnya wanita berada dalam posisi kedua seperti budaya patriakat yang kepemimpinan wanita di ragukan keberadaannya. Sejarah yang memandang bahwa perempuan berada di posisi kedua masih menjadi permasalahan yang kompleks dalam pemerintahan.

Ketidakadilan Gender

Perbedaan gender yang berlaku pada akhirnya menyebabkan ketidakadilan gender yang dominan masih dirasakan oleh perempuan dan termanifestasi ke dalam beberapa bentuk yaitu:

2.3.1Gender dan Marginalisasi Perempuan

(5)

tertenntu dalam hal ini perempuan yang disebabkan oleh perbedaan gender (Narwoko & Suyanto 2010:341). Sebagai contoh, pekerjaan khusus perempuan seperti : guru kanak-kanak dan pekerja pabrik mengakibatkan perempuan diupah dengan rendah.

2.3.2. Gender dan Subordinasi Pekerjaan Perempuan

Subordinasi adalah anggapan bahwa perempuan tidak penting terlibat dalam pengambilan keputusan politik. Perempuan tersubordinasi oleh faktor-faktor yang dikonstruksikan secara sosial. Menurut Moser (1993), pembagian peran gender merupakan salah satu faktor utama yang menempatkan perempuan dalam posisi subordinat. Anggapan sementara perempuan itu irasional dan emosional sehingga perempuan tidak cocok untuk memimpin dan tidak penting. Perempuan diidentikkan dengan jenis-jenis pekerjaan tertentu (Handayani & Sugiarti 2008: 16). Bentuk subordinasi akibat perbedaan gender berbeda menurut tempat dan waktu. Pada masyarakat jawa misalnya, dulu ada anggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena pada akhirnya akan ke dapur juga. Bahkan pada keluarga yang memiliki keuangan yang terbatas, maka pendidikan akan diprioritaskan untuk anak laki-laki.

2.3.3. Gender dan Stereotip atas pekerjaan perempuan

Stereotip adalah pelabelan terhadap suatu kelompok tertentu yang selalu berakibat merugikan pihak lain dan menimbulkan ketidakadilan. Stereotip gender telah memberikan pelabelan negatif terhadap perempuan. hal ini disebabkan oleh pelebelan yang sudah melekat pada laki-laki adalah manusia yang kuat, rasional, jantan, berani, dan perkasa. Sedangkan perempuan adalah mahluk yang lembut, cantik, emosional dan keibuan.

(6)

stereotip (pelabelan) ini banyak tindakan-tindakan yang seolah-olah sudah merupakan kodrat.

2.3.4. Gender dan Beban Ganda

Konsep kemitrasejajaran dalam pendekatan gender telah mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, maka peran perempuan mengalami perubahan yang cukup cepat. Namun perlu dicermati bahwa perkembangan perempuan tidaklah mengubah peranannya yang lama yaitu peran dalam lingkup domestik. Adanya anggapan bahwa perempuan bersifat memelihara, rajin dan tidak akan menjadi kepala rumah tangga, berakibat semua pekerjaan domestik menjadi tanggung jawab perempuan. Perempuan menerima beban ganda, selain harus bekerja di sektor domestik, mereka masih harus bekerja membantu suami dalam mencari nafkah (Handayani & Sugiarti 2008: 17). Dari hasil penelitiannnya, Moser (1993) menyimpulkan bahwa setidaknya ada tiga peran gender (gender role) yang berlaku di masyarakat. Dari tiga peran gender tersebut Moser berhasil mengungkap bahwa beban kerja perempuan ternyata lebih berat dibandingkan beban kerja laki-laki. Karena adanya anggapan bahwa kaum perempuan adalah memelihara rumah tangga, maka akibatnya semua pekerjaan domestik menjadi tanggung jawab kaum perempuan walaupun sudah berada di ruang publik.

2.3.5. Gender dan kekerasan terhadap perempuan.

(7)

2.4. Konsep Birokrasi Menurut Max Weber

Istilah birokrasi berasal dari bahasa Prancis“bureau” yang berarti kantor atau meja tulis, dan kata Yunani “kratein” yang berarti mengatur (M. Mas’ud Said, 2007:1). Menurut Max Weber seperti yang dikutip M. Mas’ud Said (2007:2) menyatakan : “Birokrasi adalah sistem administrasi rutin yang dilakukan dengan keseragaman, diselenggarakan dengan cara-cara tertentu didasarkan aturan tertulis oleh orang-orang yang berkompeten di bidangnya”.

Max Weber menyatakan pendapatnya bahwa terdapat tiga macam ‘legitimate domination’ yang menunjukkan dalam kondisi seperti apa sehingga seseorang atau sekelompok orang mampu mendominasi sejumlah besar orang lainnya. Ketiga macam legitimate domination tersebut adalah: (a) traditional domination, (b) charismatic domination, dan (c) legal-rational domination.

a. Traditional Domination (Dominasi Tradisional)

Dominasi ini mendasarkan pada tradisi yang ada dan berlaku di tengah-tengah masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian legitimasi yang diperoleh elit tentu saja didasarkan pada tradisi yang ada dan berlaku. Dalam dominasi tradisional dapat diketemukan massa dengan kepercayaan yang mapan terhadap kesucian tradisi yang ada. Sehingga pada gilirannya individu-individu yang terpilih sebagai pemimpin yang berkuasa bukan dilihat dari kharisma atau kemampuan yang dimilikinya, tetapi semata-mata atas dasar kesepakatan bersama anggota-anggota masyarakat yang sudah mentradisi.

(8)

b. Charismatic Domination (Dominasi Karismatik)

Merupakan dominasi yang mendasarkan pada kharisma yang melekat pada diri seseorang. Perihal kharisma, Weber memberi pengertian sebagai “suatu sifat tertentu dari suatu kepribadian seorang individu berdasarkan mana orang itu dianggap luar biasa dan diperlakukan sebagai seseorang yang mempunyai sifat unggul atau paling sedikit dengan kekuatan-kekuatan yang khas dan luar biasa”. Elit atau penguasa yang kemunculannya didasarkan pada kharisma yang dimiliki, pada umumnya akan berupaya menunjukkan bukti tentang keelitannya dengan cara menunjukkan kemampuannya untuk melakukan hal-hal yang tidak mampu dilakukan oleh orang awam, pada umumnya merupakan hal-hal yang bersifat ajaib. Semakin mampu seorang individu menunjukkan bukti-bukti yang hebat dan relatif langka, maka akan semakin tinggi pula legitimasi yang akan diperolehnya sebagai elit yang berkuasa.

c. Legal-Rational Domination

Dominasi ini pada hakekatnya didasarkan pada kesepakatan anggota masyarakat terhadap seperangkat peraturan yang diundangkan secara resmi. Individu yang berperan sebagai elit di masyarakat yang memberlakukan dominasi tipe ini diakui keberadaanya atas kemampuan yang dimilikinya dan persyaratan menurut peraturan yang berlaku. Demikian pula dengan seleksi bagi individu-individu yang dapat menduduki posisi elit ini juga diatur secara tegas oleh peraturan yang secara resmi berlaku. Persyaratan-persyaratan yang diajukan untuk menduduki posisi tertentu belum tentu sama dengan posisi lain yang dibutuhkan, karena semakin tinggi posisi yang dituju, persyaratan yang harus dipenuhi juga semakin tinggi pula begitu pula dengan kemampuan yang dimiliki juga harus semakin besar. Sebagai akibat dari kesepakatan-kesepakatan tersebut, maka individu-individu yang tidak memiliki kemampuan akan sulit untuk dapat menduduki posisi tertentu sebagai elit. Hanya individu-individu yang mempunyai kemampuan dan dipandang telah memenuhi persyaratan yang bisa mendapatkan legitimasi.

Menurut weber tipe ideal birokrasi itu ingin menjelaskan bahwa suatu birokrasi atau administrasi itu mempunyai suatu bentuk yang pasti dimana semua fungsi dijalankan dalam cara-cara yang rasional. Menurut weber tipe ideal birokrasi yang rasional itu dilakukan dalam cara-cara sebagai berikut:

(9)

tidak bebas menggunakan jabatannya untuk keperluan dan kepentingan pribadinya termasuk keluarganya.

2. Jabatan-jabatan itu disusun dalam tingkatan hierarki dari atas ke bawah dan ke samping. Konsekuensinya ada jabatan atasan dan bawahan, dan ada pula yang menyandang kekuasaan lebih besar dan ada yang lebih kecil.

3. Tugas dan fungsi masing-masing jabatan dalam hierarki itu secara spesifik berbeda satu sama lainnya.

4. Setiap pejabat mempunyai kontrak jabatan yang harus dijalankan. Uraian tugas (job description) masing-masing pejabat merupakan domain yang menjadi wewenang dan tanggungjawab yang harus dijalankan sesuai dengan kontrak.

5. Setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya, idealnya hal tersebut dilakukan melalui ujian yang kompetitif.

6. Setiap pejabat mempunyai gaji termasuk hak untuk menerima pensiun sesuai dengan tingkatan hierarki jabatan yang disandangnya. Setiap pejabat bisa memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan jabatannya sesuai dengan keinginannya dan kontraknya bisa diakhiri dalam keadaan tertentu.

7. Terdapat struktur pengembangan karier yang jelas dengan promosi berdasarkan senioritas dan merita sesuai dengan pertimbangan yang objektif.

8. Setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan menjalankan jabatannya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya.

Referensi

Dokumen terkait

Abstrak: Dampak Lingkungan Sekolah Satu Atap Siswa SMK terhadap Siswa SMP di Yayasan Yasmida. Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan dampak lingkungan sosial

Untuk semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah berjasa dalam penyelesaian skripsi ini..

Yaitu pencapaian atau hubungan unit-unit dalam suatu apartemen dengan koridor yang terletak dibagian dalam bangunan serta melayani dua sisi unit hunian dalam

In this study, IL- 1β, IL -10 levels and ratio of IL- 1β to IL -10 in the risk of febrile seizures were investigated, and respondents were divided into 3 groups,

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar jiwa kewirausahaan yang dimiliki pengurus Gapoktan penerima Bantuan Langsung Masyarakat Pengembangan Usaha

Hipotesis dari penelitian ini adalah pertama, variabel input mempengaruhi tingkat efektivitas program pengembangan usaha agribisnis perdesaan (PUAP) pada peternakan babi di Desa

inti, dan akhir. a) Kegiatan awal disampaikan guru secara klasikal, seperti salam pembuka, bernyanyi, berdoa, bercerita pengalaman anak, penjelasan tema materi, dan

Cara manual $aitu dengan cara mengencerkan dan melisiskan eritrosit dalam darah dengan larutan ees  !cker& pengenceran di dalam pipet khusus kemudian dihitung