• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakter Morfometrik dan Meristik Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Perairan Mangrove Kampung Sentosa Barat Kelurahan Belawan Sicanang Kecamatan Medan Belawan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakter Morfometrik dan Meristik Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Perairan Mangrove Kampung Sentosa Barat Kelurahan Belawan Sicanang Kecamatan Medan Belawan"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Kepiting Bakau

Kepiting merupakan anggota Artropoda yang memiliki kaki beruas-ruas

dan bagian perut mereduksi. Kepiting memiliki eksoskeleton yang terbuat dari

lapisan kutikula yang merupakan polisakarida dari kitin, protein, lemak dan

mineral seperti kalsium karbonat. Kepiting memiliki lima pasang kaki yang

menjadi dasar dimasukkannya ke dalam ordo Decapoda. Sebagian besar tubuh

kepiting dilindungi oleh karapas. Kepiting merupakan anggota Crustacea

(Decapoda: Brachyura) yang memiliki habitat yang cukup luas

(Eprilurahman dkk, 2015). Morfologi kepiting bakau dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Morfologi Kepiting Bakau (Scylla serrata)

Menurut Keenan dkk. (1998) dalam Kementerian Kelautan dan Perikanan

(2016), terdapat paling sedikit 4 (empat) spesies Kepiting Bakau di bawah genus

Scylla yang terdiri atas S. serrata, S. olivacea, S. paramamosain dan S.

tranqueberica (Gambar 3), dengan ciri-ciri pokok atau pembeda di antara jenis

tersebut berupa duri pada dahi dan lengan corpus yang disampaikan pada Gambar

3. Hal ini didasarkan pada hasil deskripsi morfologi maupun investigasi metode

genetik yakni mitokondria DNA dan allozim elektroforesis. Pemberian nama Dactylus

Propondus

Carpus

Merus

Kaki Renang Kaki Jalan

Karapas

(2)

tersebut berbeda dengan nama-nama spesies yang disampaikan oleh Estampador

(1949), dan hingga kini paling layak untuk diacu sebagai kunci identifikasi di

alam.

Gambar 3. Jenis-jenis Kepiting Bakau Menurut Keenan dkk (1998)

Kepiting Bakau (S. serrata)

Klasifikasi Kepiting Bakau menurut Forskal (1775), yaitu:

Kerajaan : Animalia

Filum : Arthropoda

Kelas : Malacostraca

Ordo : Decapoda

Famili : Portunidae

Genus : Scylla

Spesies : S. serrata

S. serrata merupakan kepiting perenang besar yang memiliki karapas

halus, berwarna hijau hingga hampir hitam, yang dilengkapi dengan alur-alur

transversal yang jelas; 4 (empat) gigi depan tumpul yang semuanya lebih kurang

berada dalam satu garis; 9 (sembilan) gigi lebar pada setiap sisi anterolateral yang

(3)

gastrik (lambung) pada karapas membentuk alur berbentuk huruf ”H” yang

dalam. Cheliped (capit)-nya kuat dengan duri-duri yang berkembang baik pada

permukaan luar carpus dan pada bagian-bagian dorsal anterior dan posterior

propodus, dan kaki- kakinya seperti marmer (Indarmawan dkk, 2013).

Berdasarkan anatomi tubuh bagian dalam, mulut kepiting terbuka dan

terletak pada bagian bawah tubuh. Beberapa bagian yang terdapat di sekitar mulut

berfungsi dalam memegang makanan dan juga memompakan air dari mulut

ke insang (Utina dkk., 2013). Kepiting Bakau memiliki ukuran lebar karapas

lebih besar dari ukuran panjang tubuhnya dengan permukaan karapas agak licin.

Terdapat enam buah duri pada dahi antara sepasang matanya dan di samping

kanan dan kiri masing-masing terdapat sembilan buah duri (Adha, 2015). Bagian

tubuh kepiting juga dilengkapi bulu dan rambut sebagai indera penerima.

Bulu-bulu terdapat hampir di seluruh tubuh tetapi sebagian besar bergerombol pada

kaki jalan (Utina dkk, 2013).

Larosa dkk., (2013) juga menyatakan bahwa jika memiliki duri tajam pada

bagian frontal dan memiliki dua duri carpus yang juga tajam, maka ciri-ciri

tersebut merupakan jenis S. serrata. Selain itu pada capit memiliki duri yang

tajam dan warna karapas biasanya berwarna hijau tua sampai hijau kehitaman

(gelap). Bagian luar capit berwarna hijau kebiruan dan memiliki pola marmer.

Kaki renang baik jantan maupun betina memiliki pola yang sama.

Kepiting Bakau jantan memiliki sepasang capit yang dapat mencapai

panjang hampir dua kali lipat daripada panjang karapasnya, sedangkan Kepiting

Bakau betina relatif lebih pendek. Selain itu, Kepiting Bakau juga mempunyai 3

(4)

jantan ditandai dengan abdomen bagian bawah berbentuk segitiga meruncing,

sedangkan pada Kepiting Bakau betina melebar (Kanna, 2006).

Karakteristik Tingkah laku dan Ekologi

Kepiting Bakau lebih suka bergerak dengan cara merangkak daripada

berenang untuk berpindah dan mencari makanan. Kepiting Bakau lebih menyukai

makanan alami berupa algae, bangkai hewan dan udang-udangan. Kepiting

dewasa dapat dikatakan pemakan segala (omnivorous) dan pemakan bangkai

(scavanger). Sedangkan larva kepiting pada masa awal hanya memakan plankton

(Adha, 2015).

Kepiting memiliki rangka luar yang keras sehingga mulutnya tidak

dapat dibuka lebar. Hal ini menyebabkan kepiting lebih banyak

menggunakan capit dalam memperoleh makanan. Makanan yang diperoleh

dihancurkan kemudian baru dimakan. Untuk menemukan makanannya kepiting

menggunakan rangsangan bahan kimia yang dihasilkan oleh organ tubuh.

Antena memiliki indera penciuman yang mampu merangsang kepiting untuk

mencari makan. Ketika alat pendeteksi pada kaki melakukan kontak

langsung dengan makanan, chelipeds dengan cepat menjepit makanan tersebut

dan langsung dimasukkan ke dalam mulut (Utina dkk, 2013).

Kepiting Bakau membuat lubang yang berfungsi sebagai tempat

perlindungan dari predator, tempat berkembang biak dan bantuan dalam

mencari makan. Kepiting Bakau baru keluar dari persembunyiannya beberapa

saat setelah matahari terbenam dan bergerak sepanjang malam terutama untuk

mencari makan. Ketika matahari akan terbit kepiting bakau kembali

(5)

(nokturnal). Dalam mencari makan Kepiting Bakau lebih suka merangkak

(Suryani, 2006).

Kepiting mengandalkan kombinasi organ perasa untuk menemukan

makanan, pasangan dan menyelamatkan diri dari predator. Kepiting memiliki

sepasang mata yang terdiri dari beberapa ribu unit optik. Matanya terletak pada

tangkai, dimana mata ini dapat dimasukkan ke dalam rongga pada carapace

ketika dirinya terancam. Kadang-kadang kepiting dapat mendengar dan

menghasilkan berbagai suara. Hal yang menarik pada berbagai spesies ketika

masa kawin, sang jantan mengeluarkan suara yang keras dengan

menggunaklan chelipeds-nya atau menggetarkan kaki jalannya untuk menarik

perhatian sang betina. Setiap spesies memiliki suara yang khas, hal ini digunakan

untuk menarik sang betina atau untuk menakut-nakuti pejantan lainnya

(Utina dkk., 2013).

Kepiting Bakau melangsungkan perkawinannya di perairan hutan

mangrove, dan secara berangsur-angsur sesuai dengan perkembangan telurnya,

kepiting bakau betina akan bermigrasi ke perairan laut, untuk mencari perairan

yang parameter lingkungannya sesuai (terutama suhu dan salinitas perairan)

sebagai tempat memijah. Kepiting Bakau jantan setelah melakukan perkawinan

akan tetap berada di perairan hutan mangrove, tambak atau sela-sela perakaran

mangrove (Ratnawati, 2013).

Habitat dan Penyebaran

Habitat Kepiting Bakau (S. serrata) adalah estuaria, daerah hutan bakau

dan daerah lepas pantai yang mempunyai subtrat dasar perairan berlumpur. Siklus

(6)

dan setelah masuk stadia kepiting sampai dewasa berada di daerah pasang surut

atau hutan bakau. Kepiting Bakau memanfaatkan wilayah hutan bakau sebagai

daerah mencari makan dan perlindungan sampai biota tersebut dewasa, sebelum

kembali kepantai untuk kawin dan bertelur. Keberadaan kepiting di wilayah hutan

bakau dalam kaitan dengan strategi reproduksi adalah pemenuhan unsur nutrisi,

pencapaian tingkat kematangan gonad dan fekunditas (Endrawati dkk., 2014).

S. serrata kebanyakan dijumpai di daerah estuarin dan habitat pantai yang

terlindungi dan populasi besar biasanya berassosiasi dengan hutan mangrova yang

telah mantap. Penyebaran dan kelimpahan S. serrata. sangat bergantung kepada

tahap perkembangannya. Pada tahap juvenil yaitu dengan tubuh hingga lebar

karapas 8 cm sangat melimpah di daerah intertidal, sedangkan tahap remaja (

sub-adult) dan dewasanya melimpah di daerah subtidal (Indarmawan dkk., 2013).

Kepiting Bakau jantan lebih banyak menjalani hidupnya di perairan

ekosistem mangrove. Alasannya, di perairan ini terdapat suplai makanan yang

lebih melimpah dibandingkan perairan laut terbuka. Selain itu, vegetasi mangrove

menjadi tempat perlindungan yang aman dari berbagai faktor lingkungan seperti

gelombang laut, sedangkan kepiting betina tidak hanya menjalani hidupnya di

wilayah ekosistem mangrove. Kepiting Bakau betina juga berpindah ke perairan

laut yang lebih dalam untuk memijah/ bertelur. Setelah melakukan perkawinan

dengan kepiting jantan di wilayah ekosistem mangrove, kepiting betina akan

mulai pergi menuju perairan laut yang lebih dalam untuk bertelur. Kepiting betina

kembali ke ekosistem mangrove untuk berlindung setelah selesai bertelur hingga

(7)

Secara ekosistem, penyebaran Kepiting Bakau di bagi dua daerah, yaitu

daerah pantai dan daerah perairan laut. Pada perairan pantai yang merupakan

daerah nursery ground dan feeding ground kepiting bakau berada pada stadia

muda menjelang dewasa dan dewasa, sedangkan diperairan laut merupakan

spawning ground, kepiting bakau berada pada stadia dewasa (matang gonad),

zoea sampai megalops (Suryani, 2006).

Faktor Lingkungan

Parameter fisika dan kimia adalah faktor lingkungan yang dapat

mempengaruhi pertumbuhan kepiting bakau, diantaranya adalah salinitas, suhu,

pH, kedalaman air saat pasang surut, serta substrat dasar. Kepiting Bakau di alam

menempati habitat yang berbeda-beda bergantung pada stadia daur hidupnya.

Untuk mengetahui kekhususan habitat Kepiting Bakau diperlukan pengetahuan

mengenai parameter fisika dan kimia di mana organisme ini berada

(Rachmawati, 2009).

Suhu air mempengaruhi pertumbuhan, aktivitas molting (ganti kulit) dan

nafsu makan Kepiting Bakau. Suhu air yang lebih rendah dari 20°C dapat

mengakibatkan aktivitas dan nafsu makan turun drastis. Suhu terlalu tinggi juga

tidak dapat ditoleransi Kepiting Bakau. Suhu di atas 42,1°C dapat menyebabkan

kematian pada kepiting. Suhu yang baik untuk pertumbuhan Kepiting Bakau

adalah 23°C - 32°C (Adha, 2015).

Kepiting Bakau dapat hidup pada kisaran salinitas <15 ‰ sampai >30 ‰.

Untuk kisaran salinitas yang dapat ditolerir tumbuhan mangrove adalah 10-40 ‰

dan nilai optimumnya adalah 35‰. Substrat di sekitar hutan mangrove sangat

(8)

perkawinannya di perairan. Habitatnya pada perairan intertidal (dekat hutan

mangrove) bersubstrat lumpur dan ditandai oleh kadar oksigen yang rendah dan

kadar garam yang tinggi (Kholifah dkk., 2014).

Kepiting Bakau dapat hidup pada kondisi perairan asam, yaitu pada daerah

bersubstrat lumpur dengan pH rata-rata 6,5. Kedalaman air berpengaruh bagi

kehidupan Kepiting Bakau pada saat terjadi perkawinan. Kepiting Bakau dapat

hidup pada perairan yang dangkal. Rachmawati, (2009) menyatakan bahwa

Kepiting Bakau dapat hidup pada kedalaman 30 cm – 79 cm di perairan dekat

hutan mangrove dan pada kedalaman 30 cm – 125 cm di muara sungai. Kepiting

Bakau menuju perairan dangkal pada waktu siang hari.

Karakter Morfometrik dan Meristik

Karakter morfologi (morfometrik dan meristik) telah lama digunakan

dalam biologi perikanan untuk mengukur jarak dan hubungan kekerabatan dalam

pengkategorian variasi dalam taksonomi. Hal ini juga banyak membantu dalam

menyediakan informasi untuk pendugaan stok ikan. Meskipun demikian pembatas

utama dari karakter morfologi dalam tingkat intra species (ras) adalah variasi

fenotip yang tidak selalu tepat dibawah kontrol genetik tapi dipengaruhi oleh

perubahan lingkungan. Pembentukan fenotip dari ikan memungkinkan ikan dalam

merespon secara adaptif perubahan dari lingkungan melalui modifikasi fisiologi

dan kebiasaan. Lingkungan mempengaruhi variasi fenotip, walau bagaimanapun

karakter morfologi telah dapat memberikan manfaat dalam identifikasi stok dalam

suatu populasi yang besar (Rahman, 2014).

Rachmawati, (2009) menyatakan bahwa morfometrik ialah ukuran dalam

(9)

sedangkan meristik adalah sifat-sifat yang menunjukkan jumlah-jumlah

bagianbagian tubuh luar, seperti jumlah jari-jari sirip (pada ikan), yang digunakan

untuk penentuan klasifikasi. Ukuran dalam morfometrik adalah jarak antara satu

bagian ke bagian tubuh lainnya dan biasanya dinyatakan dalam satuan milimeter

atau centimeter.

Studi morfometrik secara kuantitatif memiliki tiga manfaat yaitu

membedakan jenis kelamin dan spesies, mendeskripsikan pola-pola keragaman

morfologis antar spesies, dan mengklasifikasikan serta menduga hubungan

filogenik. Perbedaan morfologis antar populasi atau spesies biasanya digambarkan

sebagai kontras dalam bentuk tubuh secara keseluruhan atau ciri-ciri anatomi

tertentu. Hal yang sama dapat dilakukan pada ciri-ciri meristik. Terdapat

perbedaan yang mendasar antara ciri morfometrik dan meristik, yaitu ciri meristik

memiliki jumlah yang lebih stabil selama masa pertumbuhan, sedangkan ciri

morfometrik berubah secara kontinu sejalan dengan ukuran dan umur

Gambar

Gambar 2. Morfologi Kepiting Bakau (Scylla serrata)
Gambar 3. Jenis-jenis Kepiting Bakau Menurut Keenan dkk (1998)

Referensi

Dokumen terkait

Ide ini, sama dengan pandangan bahwa semua ilmu pada akhirnya berasal dari sumber yang sama, terdapat ide kesatuan dalam ilmu disepakati secara bersama ol eh ketiga

Dengan berlakunya Undang-Undang No 7 tahun 2017 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yang terkait dengan pengawasan yaitu Bahwa Bawaslu (Badan

CHAPTER IV INTERPRETATION AND

Based on a worldwide survey of global freight forwarders and express carriers, the Logistics Performance Index is a benchmarking tool developed by the World Bank that

[r]

 Board mikrokontroler jenis Arduino Uno yang terhubung dengan modul sensor IR, PIR, RFID reader, saklar tekan, dan buzzer.  Relay 5V yang terhubung dengan power

Masa remaja ditandai dengan pertumbuhan fisik yang sangat pesat seperti perubahan suara, tumbuhnya bulu pada tubuh bagian tertentu, tumbuhnya jakun pada pria, mulai membesarnya

Battery back up yang digunakan pada sistem ini adalah sebuah powerbank dengan kapasitas 10.000mAh, yang berfungsi sebagai cadangan listrik untuk menghidupkan