FILSAFAT SAINS DALAM AL-QUR'AN:
MELACAK KERANGKA DASAR INTEGRASI ILMU DAN AGAMA
Drs. H.M. Hadi Masruri, Lc., M.A./ H. Imron Rossidy, M.Th., M.Ed.
(dosen UIN Malang)
Abstract
This essay is aim at tracing the root of scientific philosophy in Islamic perspective, without overlook at the concept of the knowledge of philosophy before it is molded as the branch of philosophy. The objective is finding out the basic framework for the integration of science and Islamic knowledge. It is based on two reasons: first, based on the thesis that says that there is no dichotomous thinking in knowledge. Second, Al Qur’an as the revelation of God is mostly considered as the source of the knowledge. Basically, the concept of knowledge in Islam is comprehensively-deeply considered, even more comprehensive than the concept of knowledge in western point of view. Thus, it is no exaggeration to say that if the contemporary science is compared with the concept of knowledge in Islam, the contemporary knowledge will be in a lower level than knowledge in Islamic concept as it is considered by modern civilization. In short, the development of knowledge in tauhid1 framework is a sine qua non to transform Moslems to be the clever and wise people. Tauhid can transform Muslims to be a person who are able to give an original, exclusive and Islamic contribution to the exiting body of knowledge, who are able to offer a solution of the humanity problem for the sake of the creation of the life that is more humane. It is also including Muslims who are able to be intellectual leadership and, at the same time be solid foundations of the construction of culture and Islamic civilization.
Keyword: Scientific Philosophy, Integration of Knowledge and Religion
PENDAHULUAN
Seiring dengan kemajuan cara berfikir manusia dewasa ini, ilmu
pengetahuan berkembang secara luar biasa. Perkembangan ilmu
pengetahuan ini telah memasuki hampir semua bidang kehidupan
masyarakat modern. Nyaris tidak ada satu masyarakat pun di era ini yang
sama sekali tidak tersentuh oleh kesuksesan para ilmuwan. Dengan
kemajuan teknologi informasi, misalnya, hari ini petani di pedalaman atau
masyarakat kota. Bahkan, berbagai peristiwa di belahan dunia sekalipun dapat
mereka ikuti melalui media elektronik. Namun, berbagai manfaat dan
keuntungan yang dirasakan masyarakat dari kemajuan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan industri tersebut masih juga menyisahkan dampak negatif
bagi kelestarian hidup mereka sendiri.
Di satu sisi, teknologi dan industri memang telah membantu cara
kerja manusia dan mempercepat transformasi informasi secara global,
sehingga dunia menjadi terasa semakin menyempit. Tetapi, di lain sisi
perkembangan industri dan teknologi baik langsung maupun tidak ternyata
juga mengancam kelangsungan hidup manusia. Dalam bidang persenjataan
misalnya, telah memicu terjadinya peperangan yang dahsyat, dan dalam
bidang industri cepat maupun lambat akan mengancam kelestarian
lingkungan hidup. Dampak paling nyata dari kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi modern adalah terhadap lingkungan hidup dan kelestarian
alam, termasuk terhadap kehidupan manusia sendiri. Ilmu pengatahuan dan
teknologi mempunyai kaitan langsung maupun tidak dengan
struktur-struktur sosial dan politik yang pada gilirannya menyebabkan jutaan
manusia kelaparan, kemiskinan, dan bermacam ketimpangan yang justru
menjadi pemandangan menyolok ditengah kenyakinan manusia akan
keampuhan teknologi untuk menghapus penderitaan manusia.
Dari berbagai dampak kemajuan teknologi dan industri yang
sepertiya begitu mengerikan, sudah saatnya para ilmuwan memikirkan
bagaimana mengembangkan teknologi dan industri yang berdaya dan tepat
guna, paling tidak dapat meminimalisir akibat buruk yang ditimbulkan.
Islam, sebagai agama yang sarat nilai-nilai etis, sesuai dengan
penegasannya sebagai rahmat bagi semesta alam, sudah waktunya di
-gumul-kan dengan prinsip-prinsip dasar dan cara kerja ilmu pengetahuan. Hal ini
berdaya dan tepat guna sesuai dengan tujuan dan fungsi ilmu pengetahuan
untuk kesejahteraan umat manusia.
Sejarah telah mencatat kemajuan peradaban Islam dalam semua
bidang ilmu pengetahuan. Para ilmuwan muslim pada saat itu menjadi
pioneer pengetahuan sekitar delapan abad sebelum masa Galileo Galilie
(1564-1642) dan Copernicus (1473-1543). Hal ini setidaknya menunjukkan
bahwa prinsip-prinsip dasar ilmu pengetahuan telah disusun oleh ilmuwan
muslim jauh sebelum filsafat ilmu (philosophy of science) terformulasi sebagai
sebuah disiplin ilmu.
METODE PENELITIAN
Tulisan ini merupakan salah satu upaya untuk malacak akar filsafat
sains dalam prespektif Islam, dengan tidak meninggalkan begitu saja konsep
filsafat ilmu sebelum terbentuk sebagai cabang dari filsafat. Hal ini
dimaksudkan untuk mengetahui kerangka dasar bagi integrasi sains dan
ilmu-ilmu keislaman. Agenda ini dibuat setidaknya karena dua alasan.
Pertama, berangkat dari sebuah tesis tidak adanya dikotomi pemikiran (dichotomous thinking) dalam kelilmuan. Ilmu harus dipandang sebagai
nilai-nilai universal yang tidak perlu di-label-i secara normatif menjadi ilmu
agama (al-‟ilm al-shar'iy) dan ilmu non-agama (al-‟ilm ghair al-shar'iy), yang dalam Islam sendiri justru dipandang sebagai kalimat Tuhan (QS. al-Kah{f
[18]:109) dan bertentangan dengan prinsip universalitas Islam, maka
persoalaan ini harus disandarkan kepada kerangka dasar keilmuan Islam itu
sendiri. Namun, karena umumnya penggunaan 'terma' dikotomis tersebut
dewasa ini, maka persoalannya harus dikembalikan kepada hulu-nya. Dan
Tulisan ini merupakan salah satu upaya mencari landasan integrasi tersebut.
Kedua, Al-Qur'an sebagai wahyu Tuhan (revelation) sering dipandang sebagai sumber ilmu pengetahuan. Hal ini tidak berarti bahwa al-Qur'an
dengan posisinya sebagai tanda-tanda verbal Tuhan (al-a>ya>t al-qawliyyah
al-mant}u>qah) juga memberikan penggambaran yang cukup komprehensip tentang tanda-tanda keagungan Tuhan yang non-verbal (a>ya>t
al-kawniyyah ghair al-mant}u>qah) yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, yakni segala yang ada di alam semesta ini.
TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Hubungan Sains dengan Konsep ‘Ilm dalam Islam
Pembahasan tentang filsafat sains dan sains dalam pandangan Islam
tidak dapat terlepas dari epistemologi atau teori ilmu (naz{a>riyat al-'ilm)
dalam Islam atau al-Qur‟an, sebab ilmu merupakan induk sedangkan sains
merupakan cabangnya. Sains memiliki hubungan organis dengan induknya,
yaitu ilmu. Dalam Islam hubungan itu terus dipertahankan, sementara Barat
memisahkannya. Di samping itu, perlu ditegaskan bahwa konsep sains dan
ilmu dalam pandangan Barat dan Islam di samping memiliki beberapa
kesamaan, juga terdapat perbedaan yang fundamental, baik dari segi
interpretasi, definisi, sumber, metode, ruang lingkup, klasifikasi, dan
tujuannya.
Dalam pandangan al-Qur‟an, dasar interpretasi dari semua bentuk
ilmu adalah tauhid, dalam arti ia dikembangkan dalam bingkai dan spirit
tauhid. Dalam al-Qur'an, khususnya lima ayat pertama yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad, yakni surat al-'Ala>q ayat 1-5, disinyalir secara
tegas bahwa ilmu mesti tidak dipisahkan dari Sang Pencipta, tetapi harus
selalu terkait erat dengan-Nya agar dapat mencapai kebahagiaan serta
keselamatan di dunia-akhirat. Oleh karenanya, ilmu harus dapat
mendekatkan manusia kepada Khalik, mengakui keagungan-Nya dan
mendorongnya untuk beramal saleh. Wahyu merupakan salah satu sumber
ilmu pengetahuan paling signifikan yang dapat mengarahkan ilmu
adalah mengantarkan manusia untuk merealisasikan statusnya sebagai
hamba Allah dan khalifah-Nya di muka bumi, dan menyiapkan diri untuk
memenuhi peranan serta tanggung jawab atas amal dan perbuatannya di
hadapan Allah.
Salah satu aspek yang paling penting tentang Tuhan di dalam
al-Qur'an adalah afirmasi tentang keesaan Tuhan (tauhid), dimana merupakan
aspek yang fundamental dalam ajaran Islam. Dengan demikian, Islam
memandang bahwa konsep ilmu tidak dapat dipisahkan dari pemahaman
tentang Tuhan, sebab semua ilmu datangnya dari Tuhan Yang Maha
Mengetahui. Pengetahuan Tuhan adalah absolut, ilmunya mencakup seluruh
aspek, yang tampak maupun tersembunyi, dan tidak ada sesuatu apapun di
jagad raya ini yang tidak diketahui oleh-Nya. Tuhan sebagai asal-usul ilmu
pengetahuan muncul secara berulang-ulang dalam al-Qur'an. Lantaran
semua ilmu berasal dari Tuhan, maka setiap cendekiawan muslim harus
mencari, mengimplementasikan, dan menyebarkannya sesuai dengan
ketentuan-Nya. Itulah sebabnya mengapa Islam secara tegas menentang ide
pencarian ilmu hanya untuk ilmu saja. Bagi Islam, ilmu seharusnya
ditemukan demi memperoleh ridla Ilahi. Oleh karena itu, pencarian tersebut
tidak boleh bertentangan dengan perintah-Nya.
Konsep tentang tauhid, yang lazim diterjemahkan sebagai paham
keesaan Tuhan, memanifestasikan adanya kesatuan dalam ilmu. Kesatuan
ilmu bermakna tidak adanya kompartementalisasi atau bifurkasi antara
ilmu-ilmu "agama" dengan "ilmu umum". Konsep ilmu dalam Islam terkait
dan terjalin erat dengan pandangan dunia Islam (Islamic worldview), yang
bermuara pada konsep tauhid. Dengan kata lain, pandangan Islam tentang
Tuhan, kenabian (nubuwwah), alam semesta, manusia, unsur-unsur, dan
konsep-konsep kunci Islam terkait dengan ilmu. Tauhid merupakan aspek
mengitarinya. Ibarat tata surya, tauhid adalah matahari dimana semua
planet mengitari dan menyerap energinya.
Dalam tradisi intelektual Islam, terdapat kesatuan hierarki ilmu.
Sebarang bentuk fragmentasi tidak dapat ditolerir, karena bertentangan
dengan spirit tauhid. Ilmu tauhid menempati posisi yang paling tinggi
dalam klisifikasi ilmu dan segenap disiplin ilmu yang lain berkait kelindan
dengannya. Sementara ilmu modern kehilangan visi hierarkis (lost the
hierarchic vision of knowledge) dan lacks of unity.
Dalam Islam terdapat kesatuan, antara ilmu, iman (ketauhidan), dan
amal. Sebaliknya, konsep ilmu Barat sekuler meniadakan dan memisahkan
iman dari ilmu. Sebagai konsekuensinya, ilmu tersebut melahirkan saintis
tanpa iman. Ilmu pengetahuan tanpa keyakinan terhadap keesaan Tuhan
akan menyesatkan dan dapat melahirkan sikap anti terhadap agama. Atau,
ilmu tanpa hidayah dan hikmah hanya akan membuat para ilmuwan kian
jauh dari keimanan.
Metode, sumber, dan tujuan ilmu dalam Islam berbeda dengan Barat
yang hanya melegitimasi apa yang disebut dengan metode ilmiah (saintifik)
dan menolak wahyu sebagai sumber dan cara untuk mendapatkan ilmu
serta menafikan Tuhan sebagai asal-usul dan sumber ilmu pengetahuan.
Atas dasar ini, kaum akademisi Barat mempertahankan ide "ilmu hanya
untuk ilmu" dan tujuan mereka untuk mencari ilmu hanya untuk mencapai
kesenangan dan kesejahteraan duniawi. Islam, di lain pihak, menyatakan
bahwa Tuhan adalah asal-usul dan sumber semua ilmu pengetahuan.
Al-Qur'an dan Hadis Nabi yang sahih merekomendasikan penggunaan
berbagai sumber atau cara untuk mencapai ilmu pengetahuan, seperti
observasi atau eksperimen, intuisi, rasio, dan juga wahyu. Tujuan akhir
(taqarrub) kepada-Nya. Dengan jalan ini maka manusia dapat mencapai
kebahagiaan di dunia dan akhirat kelak.
Epistemologi atau teori tentang ilmu menjadi perhatian utama para
cendekiawan muslim di masa silam. Mereka sepenuhnya menyadari tentang
pentingnya mendefinisikan ilmu untuk mencari klarifikasi, mengidentifikasi
skop dan limitasinya, menjelaskan sumber-sumber, menerangkan
metode-metodenya, serta mengklasifikasikannya ke dalam berbagai disiplin,
menjelaskan hierarki dan interelasinya. Berbagai upaya yang terus menerus
dalam mengetengahkan eksposisi ilmu itu terinspirasi oleh keyakinan yang
kuat terhadap doktrin ajaran Islam yang paling fundamental, yaitu tauhid.
Kesadaran epistemologis seperti itu kurang dimiliki oleh kaum
intelgensia muslim kontemporer. Padahal epistemologi merupakan
prasyarat bagi kemajuan dan fondasi tegaknya peradaban. Mereka kurang
mampu membuat skala prioritas, sehingga energi intelektual mereka banyak
terkuras untuk memecahkan hal-hal yang kurang esensial, yang dalam
beberapa hal memang secara sengaja didisain oleh orang-orang yang tidak
menghendaki kemajuan umat Islam. Sehingga umat Islam tidak mempunyai
energi intelektual yang memadai untuk mengembangkan dan membangun
epistemologi yang berwawasan Tauhid.
Dampaknya, umat Islam kontemporer tidak mampu memberikan
kontribusi yang signifikan, khas, dan orisinil terhadap exiting body of
knowledge. Keberadaannya sama dengan ketiadaannya, bahkan cenderung menjadi cemoohan dan beban bagi umat lain. Kondisi malaise ini semakin
parah dengan derasnya arus sekularisasi yang melanda dunia Islam. Kondisi
ini pada ujungnya menyebabkan kerancauan, stagnasi pemikiran, dan
kemunduran dalam segala aspek kehidupan sosial, politik, maupun
ekonomi. Umat Islam juga tidak berdaya untuk mentransformasikan diri
serta tidak dapat menawarkan solusi terhadap problem yang dihadapi oleh
Dalam perspektif Islam, ontologi, epistemologi, dan aksiologi
dipahami secara integral dalam bingkai tauhid. Kongkritnya, konsep ilmu,
manusia, dan alam semesta, senantiasa bertautan secara erat dengan Tuhan
yang merupakan asal-usul dari segala sesuatu. Segenap upaya untuk
memahami dan membangun konsep segala sesuatu termasuk ilmu harus
mengacu dan mengaitkan dengan konsep tersebut. Lagi pula, tidak suatu
konsep pun yang akan sempurna dan bermakna tanpa mengacu pada-Nya.
Jika ilmu dipisahkan dari Tuhan dan alam semesta dianggap sebagai realitas
independen sebagai kasus yang terjadi dalam ilmu pengetahuan
kontemporer, maka hal itu hanya akan menghasilkan ilmu palsu atau
pseudo-knowledge yang mengeliminasi nilai-nilai moral dan spiritual, sehingga mengakibatkan terjadinya krisis global di era modern serta mengusik
keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan
sesamanya, serta manusia dengan alam semesta.
Lain halnya ketika ilmu dirajut dan diintegrasikan kembali dalam
bingkai tauhid, maka transformasi sosial ke arah kehidupan yang lebih
bermakna, berharkat dan bermartabat. Jelasnya, pengembangan ilmu
pengetahuan dalam bingkai tauhid merupakan a sine qua non
mentransformasikan umat Islam sebagai umat yang berwibawa dan
disegani. Oleh karena itu, ilmu dalam pandangan Islam harus ampu
memberikan kontribusi yang orisinil dan khas terhadap exiting body of
knowledge, serta mampu menawarkan solusi terhadap problem dan krisis yang dihadapi oleh umat manusia, bagi terciptanya tatanan kehidupan yang
lebih manusiawi. Umat Islam sesungguhnya memiliki potensi untuk
berperan sebagai intellectual leadership sekaligus menjadi fondasi yang solid bagi kontruksi kultur dan peradaban. Hal ini jelas merupakan tugas yang
berat, namun dengan kesadaran epistemologis, komitmen, dedikasi, dan
keteguhan intelektual yang tinggi, maka segala sesuatunya tidak mustahil
2. Konsepsi Islam tentang Ilmu
Kata ilmu, secara etimologis, berakar dari bahasa Arab al-'ilm yang berarti mengetahui hakikat sesuatu dengan sebenarnya.1 Dalam bahasa
Inggris, dikenal sebagai science, dan sepadan dengan kata al-ma‟rifah yang berarti pengetahuan (knowledge). Namun, antara al-„ilm dengan al-ma‟rifat
biasanya dibedakan penggunaannya dalam kalimat. Al-‟ilm digunakan
untuk mengetahui sesuatu yang bersifat universal (al-kulli), sedang al-ma‟rifat
dipakai untuk mengetahui sesuatu yang bersifat partikular (al-juz‟i).2
Di dalam al-Qur‟an, kata al-„ilm disebut sebanyak 105 kali, dan dari
akar katanya disebut dalam berbagai bentuk tidak kurang dari 744 kali.3 Hal
ini menunjukkan tingginya kedudukan ilmu dalam kehidupan manusia.
Wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad menyebutkan
pentingnya membaca, pena, dan ilmu bagi manusia:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah yang paling pemurah. Yang mengajar manusia dengan pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. al-‟Alaq [96]:1-5).
Lebih dari itu, dalam sejarah penciptaan Adam, al-Qur‟an
menggambarkan bagaimana Allah mengajarkan kepadanya tentang
lingkungan (dunianya) yang karenanya Malaikat dan Jin disuruh bersujud di
hadapan Adam, sebagaimana difirmankan:
”Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama benda seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat dan Dia berfirman:
“Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda itu, jika kamu memang orang
3Lihat lebih lanjut Imam Syafi’ie, Konsep Ilmu Pengetahuan dalam al-Qur’an
(Yogyakarta: UII Press, 2000), 30. Hal ini berbeda dengan hitungan Quraisy Shihab, yang menyebutkan kata ‘ilm dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali, lihat M. Quraisy Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996), 434. Bandingkan juga dengan hitungan Mahdi Ghuslsyani yang menyebutkan bahwa ‘ilm dengan kata jadiannya digunakan lebih
dari 780 kali, dan nampaknya Ghulsyani menggunakan kata “lebih” untuk menghindari kesalahan
ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. al-Baqarah [2]:31-32).
Adanya perintah bersujud yang ditujukan kepada makhluk selain
manusia di hadapan Adam dikarenakan pengetahuan yang diajarkan Allah
kepada manusia, sehingga dalam kesempatan lain Allah menegaskan
keutamaan mereka yang memiliki pengetahuan dari mereka yang tidak
memiliki pengetahuan: “Katakanlah, apakah sama orang-orang yang memiliki ilmu dengan orang yang tidak memilikinya” (QS. az-Zumar [39]: 9); “Adalah niscaya Allah meninggikan derajat orang-orang yang senantiasa mencari ilmu” (QS. al-Muja>dilah [58]:11).
Dari penelaahan ayat di atas, ada yang menarik untuk digarisbawahi
di sini, bahwa di dalam pemakaian kata ilmu, al-Qur‟an membedakan antara „alla>ma dan u>tu al-‟ilma. Kata pertama mengisyaratkna adanya ilmu yang
diajarkan langsung oleh Allah kepada manusia tanpa proses pencarian
(prosedur ilmiah), yang dalam istilah para ulama disebut al-‟ilm al-ladunni.4
Sedangkan yang kedua mengisyaratkan adanya obyek dan subyek sesuai
dengan prosedur ilmiah, yang oleh karenanya al-Qur‟an menggunakan kata
u>tu yang berarti mencari. Dalam proses pencarian selalu ada yang peneliti dan yang diteliti. Hal ini dikuatkan juga dengan hadis Nabi yang
menggunakan persamaan makna kata dengan u>tu, yakni t}alab yang artinya juga mencari.5 Ilmu yang didapat melalui prosedur ilmiah ini oleh para
ulama disebut al-‟ulu>m al-muktasabah.6
Keberadaan ilmu ladunni diisyaratkan secara implisit dalam
al-Qur‟an:
”Lalu mereka (Musa dan muridnya) bertemu dengan seseorang dengan hamba Kami (Nabi Khaidir) yang telah Kami anugerahkan kepadanya rahmat dari sisi Kami dan telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami (min ladunna „ilma)” (QS. al-Kahfi [18]:65).
4
Pembahasan tentang Ilmu Laduni ini, lebih lanjut dalam disertasi Syafi’i, Konsep Ilmu, 29.
5
Dengan demikian, pengertian ilmu dalam al-Qur‟an secara garis besar dibagi
menjadi dua. Pertama, ilmu yang diajarkan langsung oleh Allah kepada manusia melalui wahyu bagi para Nabi dan melalui ilham bagi orang saleh
selain Nabi yang disebut sebagai al-ilm al-ladunni. Kedua, ilmu yang mencakup segala pengetahuan di alam semesta yang dapat dijangkau oleh
manusia (empiris) melalui proses pengamatan, penelitian, percobaan, dan
investigasi. Di dalam Islam ilmu dengan pengertian seperti ini
diartikulasikan dengan kata thalab dan dikenal juga sebagai al-‟ilm al-kasbi
atau al-ulu>m al-muktasabah.
3. Wilayah Ilmu Keislaman: Persoalan Dikotomi Keilmuan
Sebenarnya Islam tidak mengenal dikotomi antara ilmu agama Islam
dan non-Islam. Marlilyn R. Wargman, seorang Islamisis Barat, menegaskan
bahwa tidak ada dikotomi dalam Islam.7 Hal ini didasarkan atas universalitas
Islam sendiri yang ajarannya mencakup semua aspek kehidupan dan ini
sejalan dengan fungsi al-Qur‟an sebagai rahmat bagi semesta alam.
Namun, berdasarkan pendekatan shar‟i@y al-Ghazali secara garis
besar mengelompokkan ilmu menjadi dua jenis, yaitu ilmu-ilmu agama (
al-‟ulu>m al-shar‟iyyah) dan ilmu-ilmu non-agama (al-‟ulu>m ghair al-shar‟iyyah).
Kelompok ilmu agama dimaknai sebagai ilmu yang didasarkan pada
ajaran-ajaran Nabi dan wahyu, dan terbatas pada pelaksanaan kewajiban-kewajiban
syariat Islam, termasuk teologi (ilmu tentang aqidah Islam). Sedang ilmu
non-agama diklasifikasikan menjadi ilmu terpuji (al-mah}mu>dah), dibolehkan (
al-muba>h}ah), dan tercela (al-madhmu>mah).
Hujjatul Islam di kalangan kaum Sunni ini mengelompokkan sihir
sebagai ilmu tercela. Sedangkan ilmu terpuji mencakup segala ilmu yang
berguna dalam kehidupan sehari-hari, seperti ilmu kedokteran, matematika,
7
Marlilyn R. Wargman, Primitive Mind Modern-Mind, dalam Richard C. Martin (Ed.),
dan kerajinan. Ilmu filsafat sebagiannya dimasukkan sebagai ilmu yang
terpuji dan sebagian yang lain dimasukkan sebagai imu yang dibolehkan.
Filsafat, menurut al-Ghazali, meliputi aritmatika dan geometri, termasuk
yang dibolehkan; logika dan ketuhanan (al-falsafah al-ila>hiyah) yang membicarakan tentang esensi Tuhan dan sifat-sifat-Nya termasuk bagian
teologi; serta fisika yang dibagi lagi menjadi dua bagian, yaitu yang
menyentuh segala sesuatu yang bertentangan dengan syariat dan bagian
yang lebih mirip dengan ilmu kedokteran dan tentu sangat berguna, yaitu
biologi dan anatomi tubuh.8
Sebaliknya, Murtadha Muthahari tidak sependapat dengan klasifikasi
ilmu model al-Ghazali tersebut, bahkan menolak adanya dikotomi ilmu
agama dan ilmu non-agama. Menurut Muthahari, pembedaan ilmu semacam
itu dapat melahirkan kesalahan konsepsi, bahwa ilmu non-agama terpisah
dari Islam dan tidak sesuai dengan keuniversalan Islam. Penolakan
Muthahari atas dikotomi ini bersendikan pada pandangan bahwa konsep
ilmu dalam al-Qur‟an dan hadis hadir dalam maknanya yang umum.9 Ilmu
dalam perspektif Islam tidak berarti hanya mengkaji persoalan tentang syari‟at
agama. Oleh karena itu, pemaknaan al-Ghazali terhadap ilmu yang terpuji
mestinya tidak terbatas pada studi teologi dan hukum Islam, melainkan juga
mencakup semua kekayaan intelektual, warisan ulama Islam sejak abad
pertama Hijriyah. Para ahli sejarah mencatat, bahwa selama beberapa abad
para ilmuwan muslim telah menerangi dunia dengan ilmu pengetahuan dan
karya-karya mereka merupakan referensi sangat berharga bagi kemajuan
Eropa. Bagi para ilmuwan muslim era itu, dikotomi tidak perlu terjadi
karena memang mereka tidak melihat adanya suatu konflik antara tujuan
ilmu dan agama, dan menyakini bahwa agama maupun ilmu sama-sama
mengantarkan manusia pada pemahaman tentang kesatuan alam yang
8
Lihat lebih lanjut Mehdi Ghulshani, Filsafat Sains, 42.
9
menjadi cermin keesaaan dan keagungan Penciptanya.10 Untuk alasan inilah,
teologi, syariat Islam, serta ilmu-ilmu rasional maupun empiris perlu
dijadikan satu disiplin terpadu yang harus dipelajari di sekolah dan
perguruan tinggi Islam. Hal ini telah dimulai dan dikembangkan oleh
universitas Islam tertua di Kairo, al-Azhar, yang fakultas-fakultasnya
mencakup semua disiplin ilmu humaniora (al-‟ulu>m al-insa>niyyah).
4. Klasifikasi Ilmu dalam Islam
Klasifikasi ilmu dalam berbagai cabang atau disiplin telah menarik
perhatian para ilmuawan muslim pada masa awal sejarahnya.11 Mereka
sangat menyadari bahwa tidak ada konsep ilmu yang lengkap tanpa
mengacu pada cakupan pokok masalahnya.12Alasan utama dari keseluruhan
aktifitas intelektual ini, tampaknya untuk mempertahankan hirarki ilmu
pengetahuan dengan penjelasan skop dan posisi tiap ilmu pengetahuan
dalam skemanya secara keseluruhan".13 Pada awal abad ke 9 banyak upaya
yang dilakukan para pemikir muslim, dari berbagai macam aliran, untuk
mengklasifikasi dan mendiskripsikan ilmu pengetahuan ke dalam berbagai
disiplin. Klasifikasi yang berfariasi ini secara berkesinambungan meningkat
dalam skop maupun isinya seiring dengan peningkatan ilmu.14 Terdapat
kesepakatan umum di kalangan ilmuwan muslim, bahwa dalam tradisi
intelektual Islam terdapat hirarki dan kesatuan ilmu. Seperti yang
10
Tentang integritas ilmu-ilmu pengetahuan dan asimilasi umat Islam dengan bangsa-bangsa lain dalam dunia pemikiran, lihat pembahasan lebih lanjut dalam Umar Farrukh, ‘Abqa>riyat al-’Arab fi@ al-’Ilmi wa al-Falsafah (Beirut: al-Maktabah al-’Ashriyah, 1989).
11
Banyak upaya yang dilakukan oleh para ilmuwan muslim untuk mengklasifikasi ilmu. Mereka telah menghasilkan model-model klasifikasi dalam jumlah yang besar, dengan beberapa variasi dan modifikasi seta elaborasi sesuai dengan perkembangan ilmu pada zamannya. Klasifikasi yang dilakukan oleh al-Farabi umpamanya, merupakan model pertama yang paling berpengaruh. Klasifikasinya memiliki pengaruh yang sangat mendalam terhadap para pemikir muslim setelahnya. Karena alasan ini maka ia disebut sebagai al-Mu’allim al-Tha>ni (guru yang kedua )setelah Aristoteles yang biasa disebut sebagai al-Mu’allim al-Awwa>l (guru yang pertama. Setiap klasifikasi ilmu, sebagaimana yang diamati Chejne, merupakan keharusan merefleksikan perspektif intelektual pribadi penyusun atau kondisi intelektual pada zaman dan lingkungannya.
12
Chejne, Ibn Hazm, 80.
13Classification of Knowledge in Islam.
Dikutip dari Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambride: Harvard University, 1968).
14
dinyatakan secara jelas oleh Nasr, bahwa dalam tradisi intelektual Islam
terdapat hirarki dan interrelasi berbagai macam disiplin yang
memungkinkan realisasi kesatuan dari berbagai keragaman, bukan hanya
pada kepercayaan dan pengalaman keagamaan, tetapi juga dalam bidang
ilmu.15
Para ilmuwan muslim pada masa awal, menganggap klasifikasi ilmu
pengetahuan secara sistematik ke berbagai disiplin merupakan hal penting
untuk beberapa tujuan. Menurut Ikhwanus Shafa, tujuan dari klasifikasi
ilmu adalah untuk menuntun siswa dalam memilih berbagai macam disiplin,
karena kebutuhan jiwa pada ilmu dan seni yang berbeda seperti selera pada
berbagai macam makanan berkenaan dengan rasa, warna, dan aromanya.16
Osman Bakar manginformasikan pada kita bahwa al-Farabi mangklasifikasi
ilmu pengetahuan untuk beberapa tujuan. Pertama, sebagai petunjuk umum pada beragam ilmu pengetahuan, sehingga siswa hanya memilih untuk
mempelajari subjek yang bermanfaat. Kedua, untuk mempelajari hirarki ilmu pengetahuan. Ketiga, berbagai macam divisi dan subdivisi memberikan cara
yang bermanfaat bagi penentuan spesialisasi. Keempat, memberi informasi
pada siswa tentang apa yang seharusnya dipelajari sebelum menentukan
keahlian dalam ilmu pengetahuan tertentu.17
Menurut Nasr, tujuan utama klasifikasi ilmu adalah untuk
mengetahui tatanan dan hubungan yang tepat antara berbagai macam
disiplin.18 Menurutnya, kekacauan aturan kurikulum pendidikan modern di
kebanyakan negara Islam saat ini adalah karena kehilangan visi hirarkis
ilmu, seperti yang dapat ditemukan dalam sistem pendidikan Islam
tradisional.19 Dalam karyanya, Klasifikasi Ilmu Pengetahuan dalam Islam,
Osman Bakar mengkaji tiga klasifikasi ilmu yang merepresentasikan
15
Osman, Classification of Knowledge, xi.
16
Chejne, Ibn Hazm, 86-87.
17
Osman, Classification of Knowledge, 124.
18Ibid
beberapa aliran pemikiran yang utama dalam Islam, yaitu Farabi,
al-Ghazali, dan al-Shirazi. Dengan mempertimbangkan latar belakang metafisis
dan filosofis yang mendasari ragam klasifikasi, ia mencapai kesimpulan
sebagai berikut:
“Menurut ketiga klasifikasi, ilmu yang paling tinggi adalah ilmu tentang
Tuhan, karena demi ilmu tersebut semua ilmu yang lain dicari. Lebih dari itu, ilmu tentang segala sesuatu terkecuali tentang Tuhan, secara konseptual atau organis berkaitan dengannya. Ide ini, sama dengan pandangan bahwa semua ilmu pada akhirnya berasal dari sumber yang sama, terdapat ide kesatuan dalam ilmu disepakati secara bersama oleh ketiga tokoh tersebut”.20
Sesungguhnya, dalam tradisi intelektual Islam, ilmu diklasifikasi ke
dalam dua kategori yang luas, fard} „ain (kewajiban bagi setiap individual)
dan fard} kifayah (kewajiban bagi komunitas), naqli (wahyu) dan aqli
(perolehan), al-shar'iyyah (agama) dan al-„aqliyah (intelektual), h}ud}u>ri
(presential) dan hus}u>li (intelektual), nazari (teoritis) dan 'amali (praksis),
h}ikmi (filosofis) dan ghayr h}ikmi (non-filosofis). Namun, klasifikasi ini tidak dimaksudkan sebagai bentuk dualisme atau dikotomi antara ilmu umum
dengan ilmu agama, sebab dalam tradisi intelektual Islam kesatuan yang
harmonis dari dua jenis ilmu senantiasa ditekankan dan dijaga. Tidak ada
cabang dari ilmu yang harus dipelajari tanpa batas dan meninggalkan yang
lainnya. Jika hal itu terjadi, maka dapat memicu ketidakharmonisan,
sehingga keabsahannya dipertanyakan.
Ide tentang dualisme ala Cartesian yang merendahkan ”ilmu agama”
benar-benar asing dalam tradisi intelektual Islam. Islam tidak sepakat
dengan bifurkasi antara ilmu agama dan ilmu umum atau antara dunia dan
akhirat. Sebaliknya, Islam menganggap antara dunia dan akhirat sebagai
satu entitas, al-dunya mazra‟at al-a>khirah, pemisahan antara keduanya tidak dapat dibenarkan karena bertentangan dengan prinsip tauhid. Begitu juga,
Islam memandang ilmu sebagai kesatuan tunggal sebab semua ilmu pada
dasarnya bersumber dari Yang Satu. Dalam tradisi intelektual Islam, dikenal
20Ibid
dengan istilah integrasi ilmu secara holistik. Integrasi holistik mencakup
integrasi antara ilmu umum dan ilmu agama, integrasi antara ragam disiplin
ilmu dan kesatuan dalam keragaman, antara jiwa dengan jasamani, teori
dengan praksis, iman, illmu, dengan amal, fikiran dan tindakan, dan dunia
dengan akhirat. Nabi Muhammad telah memberikan petunjuk kepada
umatnya, bahwa kebahagiaan dunia dan akhirat hanya dapat dicapai
dengan ilmu.
Nabi Saw. bersabda, ”siapa saja yang menginginkan dunia maka ia
harus mencapainya dengan ilmu, siapa saja yang meminta akhirat maka
sebaiknya ia meraihnya dengan ilmu, dan siapa saja yang mengharap
keduanya, maka ia harus memperolehnya dengan ilmu”. Hadis ini secara
implisit maupun eksplisit mengungkapkan adanya kesatuan ilmu dalam
Islam. Pernyataan al-Qur‟an sesungguhnya kehidupan akhirat itu lebih baik
dari kehidupan dunia menunjukkan hirarki, bukannya pemisahan. Dengan
kata lain, pencarian salah satu di antaranya tidak mengorbankan yang lain,
sebab keduanya secara konseptual berhubungan satu sama lain secara
holistik. Demikian juga halnya dengan pembagian ilmu ke dalam ilmu
agama dengan ilmu umum atau naqli dan ‟aqli serta adanya hirarki ilmu, maka keduanya harus dipandang secara integral dan sama pentingnya.
Kalau disimak uraian tersebut di atas, ada satu benang merah, yaitu
dalam perspektif epistemologi Islam, ontologi, epistemologi dan aksiologi
dipahami secara integral dalam bingkai tauhid. Kongkritnya, konsep ilmu,
manusia dan alam semesta, senantiasa bertautan secara erat dengan Tuhan
(tauhid), yang merupakan asal-usul dari ilmu. Segenap upaya untuk
memahami dan membangun konsep ilmu harus mengacu dan mengaitkan
dengan konsep Tuhan. Lagi pula, tidak suatu konsep pun yang akan
sempurna dan bermakna tanpa mengacu kepada-Nya. Jika ilmu dipisahkan
dari Tuhan (tauhid) dan alam semesta dianggap sebagai realitas independen
itu hanya akan menghasilkan ilmu palsu atau pseudo-knowledge yang
mengeliminasi nilai-nilai moral dan spiritual, berakibat terjadinya krisis
global di era modern ini, serta mengusik keharmonisan hubungan antara
manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, serta manusia dengan
alam semesta.
Salah satu aspek yang paling penting tentang Tuhan dalam al-Qur'an
adalah afirmasi tentang keesaan-Nya, yang merupakan aspek paling
fundamental dalam ajaran Islam, yakni tauhid. Dalam Islam, konsep ilmu
tidak dapat dipisahkan dari konsep tentang Tuhan, sebab semua ilmu
datang dari-Nya yang Maha Mengetahui. Pengetahuan Tuhan adalah
absolut, ilmu-Nya mencakup seluruh aspek yang nampak maupun
tersembunyi dan tidak ada sesuatu apapun di jagad raya ini yang tidak
diketahui oleh-Nya. Tuhan sebagai asal-usul ilmu muncul secar
berulang-ulang dalam al-Qur'an. Lantaran semua ilmu berasal dari Tuhan, maka
semua harus mencari, mengimplementasikan, dan menyebarkannya sesuai
dengan ketentuan-Nya. Itulah sebabnya mengapa Islam secara tegas
menentang ide pencarian ilmu hanya untuk ilmu saja. Sebaliknya, Islam
berpendapat bahwa pencarian ilmu untuk mencari ridla Ilahi. Oleh
karenanya, pencariannya tidak boleh bertentangan dengan perintah Ilahi
Rabbi. Sebab hal itu berseberangan dengan aspek ajaran Islam yang paling mendasar, yaitu tauhid.
Dalam pandangan al-Qur‟an dasar interpretasi dari semua bentuk
ilmu adalah tauhid, serta dikembangkan dalam bingkai dan spirit tauhid.
Ilmu mestinya tidak dipisahkan dari Sang Pencipta tetapi harus selalu terkait
erat dengan-Nya agar dapat mencapai kebahagiaan serta keselamatan di
dunia akhirat. Oleh karenanya, ilmu harus dapat mendekatkan manusia
kepada Khaliknya, mengakui keagungan-Nya dan mendorongnya untuk
beramal saleh. Wahyu merupakan salah satu sumber ilmu pengetahuan
kebenaran hakiki. Secara aksiologis tujuan akhir dari ilmu adalah
mengantarkan manusia untuk merealisasikan statusnya sebagai hamba Allah
dan khalifah-Nya di atas bumi, dan menyiapkannya untuk memenuhi
peranan serta tanggung jawab atas amal dan perbuatan kepada Allah.
Dalam pandangan Islam, konsep ilmu terkait dan terjalin erat dengan
pandangan dunia Islam, yang bermuara pada konsep tauhid. Dengan kata
lain, pandangan Islam tentang Tuhan, kenabian, alam semesta, manusia,
unsur-unsur dan konsep-konsep kunci, serta nilai-nilai Islam, seperti ibadah,
khalifah, adil, di@n, dunya, akhirat, h}ikmah, a>dab, taqwa, ikhla>s, huda>, amanah, tabli@gh, fat}onah, s}iddi@q, dan lain-lain, terkait dengan konsep ilmu
dalam Islam. Tauhid merupakan sentral atau poros di mana seluruh
konsep-konsep Islam bermuara. Dengan demikian, secara implisit konsep-konsep tauhid
memanisfestasikan adanya kesatuan dalam ilmu. Kesatuan ilmu bermakna
tidak adanya pemisahan antara ilmu-ilmu "agama" dan " umum".
Metode, sumber, dan tujuan ilmu dalam Islam berbeda dengan Barat
yang hanya melegitimasi apa yang disebut dengan metode ilmiah (saintifik)
dan menolak wahyu sebagai sumber dan cara untuk mendapatkan ilmu
serta menafikan Tuhan sebagai asal-usul dan sumber ilmu. Atas dasar ini,
kaum akademisi Barat mempertahankan ide "ilmu hanya untuk ilmu" dan
tujuan mereka untuk mencari ilmu hanya untuk mencapai kesenangan dan
kesejahteraan material yang bersifat duniawi. Islam, di lain pihak,
menyatakan bahwa Tuhan adalah asal-usul dan sumber semua ilmu. Kitab
suci al-Qur'an dan Hadis Nabi yang sahih merekomendasikan penggunaan
berbagai sumber atau cara untuk mencapai ilmu, seperti observasi dan
eksperimen, intuisi, rasio, dan juga wahyu. Tujuan akhir pencarian ilmu
adalah untuk mengetahui (ma'rifah) dan mengabdi kepada Allah dalam
rangka untuk mencari keridlaan dan mendekatkan diri (taqarrub) kepada-Nya. Dengan jalan ini maka manusia dapat mencapai kebahagiaan di dunia
Dalam tradisi intelektual Islam, terdapat kesatuan hirarki ilmu.
Sebarang bentuk fragmentasi tidak dapat ditolerir karena hal itu
bertentangan dengan spirit tauhid. Ilmu tauhid menempati posisi yang
paling tinggi dalam klisifikasi ilmu dan segenap disiplin ilmu lain yang
terjalin dan terkait dengannya. Sementara itu ilmu modern kehilangan visi
hirarkis (lost the hierarchic vision of knowledge) dan lacks of unity. Dalam Islam terdapat kesatuan, antara ilmu dan iman (ketauhidan) dan amal. Sebaliknya,
konsep ilmu Barat sekuler, meniadakan, dan memisahkan iman dari ilmu.
Sebagai konsekuensinya, ilmu tersebut melahirkan saintis tanpa iman. Ilmu
pengetahuan tanpa keyakinan terhadap ke-Esaan Tuhan, akan menyesatkan
dan bahkan anti terhadap agama. Ilmu tanpa hidayah dan hikmah membuat
para ilmuwan kian jauh dari keimanan.
KESIMPULAN
Singkatnya, tulisan ini telah mengungkap bahwa konsep ilmu dalam
Islam sangat komprehensif, mendalam, canggih, dan lebih komprehensif bila
dibanding dengan konsep ilmu dalam pandangan Barat modern. Akhirnya,
tidaklah terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa ilmu pengetahuan
kontemporer sebagaimana yang dipahami dan dikonsepsikan oleh
peradaban Barat modern berada pada tingkat yang rendah saat
dibandingkan dan dikontraskan dengan konsep ilmu dalam Islam.
Last but not least, kecuali kalau konsep ilmu dirajut dan diintegrasikan kembali dalam bingkai tauhid, maka transformasi sosial ke arah kehidupan
yang lebih bermakna, berharkat, dan bermartabat hanya merupakan utopia
belaka. Jelasnya, pengembangan ilmu pengetahuan dalam bingkai tauhid
merupakan a sine qua non untuk mentransformasikan umat Islam sebagai
umat yang berwibawa dan disegani. Mampu memberikan kontribusi yang
orisinil, khas, dan Islami terhadap exiting body of knowledge. Mampu
bagi terciptanya tatanan kehidupan yang lebih manusiawi. Berpotensi untuk
berperan sebagai intellectual leadership sekaligus menjadi fondasi yang solid bagi konstruksi kultur dan peradaban umat Islam. Hal ini jelas merupakan
tugas yang berat, namun dengan kesadaran epistemologis, komitmen,
dedikasi, dan keteguhan intelektual yang tinggi, maka hal itu bukanlah
sesuatu yang mustahil untuk direalisasikan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Azhim, Ali. 1989. Epistemologi dan Aksiologi Ilmu: Perspektif al-Qur‟an.
Bandung: Rosda.
Abu Zaed, Nashr Hamid. 1993. al-Ittija>h al-Aqli fi@ al-Tafsi@r: Dira>sa>t fi@ Qad}iya>t al-Majz fi@ al-Qur‟a>n 'inda al-Mu‟tazilah. Beirut: Dar
al-Tanwi@r.
---. 1996. Mafhu>m al-Nas}: Dira>sa>t fi@ „Ulu>m al-Qur‟a>n. Beirut: al-Markaz al-Thaqafi al-‟Arabi.
---. 1993. Falsafat al-Ta‟wi@l: Dira>sa>t fi@ Ta‟wi@l al-Qur‟a>n 'inda Muh}yi al-Di@n Ibn ‟Arabi. Beirut: Dar al-Tanwir.
Abdul Hamid, Rajih. 1962. Naz}ariah al-Ma‟rifah bain al-Qur‟a>n wa Falsafah. Riyadh: Maktab Mu‟ayyad wa Makad al-‟A<li li al-Fikri al-Isla>mi, Mamlakah al-‟Ara>biyah as Su‟u>diyyah.
_____. 1988 Islamisation of Knowledge: General Principles and Work plan.
Washington DC: International Institute of Islamic Thought.
Acikgenc, Alparslan. 1996. Islamic Science Toward a Definition. Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Cilivization.
Ali, M. Mumtaz. 1996. (ed). Conceptual and Methodological Issues in Islamic Research: a Few Milestones. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Al-Alwani, Taha Jabir. 1995. "The Islamization of Knowledge: Yesterday and
Today" American Journal of Islamic and Social Science. Vol. 12(1).
Anees, Munawar Ahmad. 1991. Illuminating „Ilm. in Ziauddin Sardar (Ed.),
How We Know: Ilm and the Revival of Knowledge. London: Grey Seal. Ali, Maulana Muhammad. 1977. A Manual of Hadith. Londonn: Curzon. Al-Aqqad, Abbas Mahmud. Tt. Al-Tafki@r Farilat Isla>miyah. Beirut:
al-Maktabat al-‟Ashriyah.
Al-Attas, S. M Naquib. 1978. Islam and Secularism. Kuala Lumpur: Muslim Youth Movement of Malaysia.
al-Attas (ed). Tt. Aims and Objectives of Islamic Education. Jeddah: King
Bagir, Zainal Abidin, dkk. 2006. Ilmu, Etika, dan Agma. Jogjakarta: CRCS. Butt, Nasim. 1989. "Al-Faruqi and Ziauddin Sardar: Islamization of
Knowledge or the Social Construction of New Disciplines?". Islamic Science. MAASJ, 5:(2).
Chejne, A. G. 1982. Ibn Hazm. Chicago: Kazi Publications INC. Djaelani, Abdul Qodir. 1993. Filsafat Islam, Surabaya: Bina Ilmu.
Al-Farabi. 1989. Al-Jam‟ bayn Ra‟yay al-H{akimayn Beirut: Dar al-Mashriq. ---. 1985.Ara>‟ Ahl al-Madi@nah al-Fad{i@lah. Beirut: Dar al-Mashriq. Al-Faruqi, Ismail Razi. 1983. Tauhid: Its Relevance for Thought and Life. Kuala
Lumpur: International Islamic Federation of Student Organization. Farrukh, Umar. 1989. 'Abqariya>t al-„Ara>b fi@ al-„Ilmi wa al-Falsafah. Beirut:
al-Maktabat al-„As}riyah.
Al-Ghozali. 1989. Al-Munqi@dh min al-D{ala>l. Tahqiq Abd al-Halim Mahmud, Kairo: Dar al-Ma‟rifat.
---. 1962. Kita>b al-„Ilm [The Book of Knowledge]. English Translation and
Notes by Nabih Amin Faris. Re. Ed. Lahore: Sh. Muhammad Ashraf. Golshani, Mehdi. 1986. The Holy Qur‟an and Sciences of Nature. Tehran: Islamic
Propagation Organization.
---. 1999. Filsafat Sains Menurut al-Qur‟an. terjemahan Agus Effendi, Bandung: Mizan.
Gie, The Liang. 1998. Philosophy as an Element or Existence: A Systematic Clarification. Yogyakarta: PUBIB.
---. 1996. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty.
Hayes, Nichy. 1994. Foundation of Psychology: and Introductory Text. London and New York: Routledge.
Hoodbhoy, Parves. 1991. Islam and Science: Religious Orthodoxy and the Battle for Rationally. London: Zed Books Ltd..
Ibn Rusyd. 1982. Filsafat Ibn Rushd. Beirut: Da>r al-Afa>q al-Jadi@dah.
Majid Fakhri, 1985. ”Taqdi@m”, dalam Ibn Sina. Al-Naja>t.. Beirut: Da>r al-Afa>q al-Jadi@dah,.
Al-Jamal, Ahmad 'Abduh Hamudah. 1986. Ad{wa>' 'ala> Falsafah al-Yuna>niyyah. Kairo: Da>r al-Thiba>'ah al-Muh{ammadiyyah.
Al-Kindi. 1978. Al-Rasa>‟i@l al-Falsafiyah. (Tahqiq) Muhd. Abd al-Hadi Abu Riedah. Kairo: Da>r al-Fikr al-‟Ara>biy,
Madkur, Ibrahim. Tt. Fi@ al-Falsafat al- Isla>miyah: Manhaj wa Tat}bi@q. Mesir: Da>r al-Ma‟rifa>t.
Mahmud, Abd Al-Qadir. 1967. Al-Falsafat al-Shu>fiyah fi@ al-Isla>m. Kairo: Da>r al-Fikr al-‟Ara>biy.
Martin, Richard C. (Editor). 1980. Approaches to Islam in Relegious Studies, Tempel U.S.A.: The University of Arizona Press.
Masruri, M. Hadi. 2005. Ibn Thufail: Jalan Pencerahan Mencari Tuhan. Yogyakarta: LkiS.
Muhajir, Noeng. 1998. Filsafat Ilmu: Telaah Sistematis Fungsional Komparatif, Yogyakarta: Reke Sarasin.
Musa, Muhd.Yusuf. 1966. Al-Qur‟a>n wa al-Falsafat. Mesir: Da>r al-Ma‟rifa>t. Muflih, Mohammad. 2006. Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma
dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. Jogjakarta: Belukar,
Muthahhari, Murtadha. 2001. Mengenal Epistemologi: Sebuah Pembuktian terhadap Rapuhnya Pemikiran Asing dan Kokohnya Pemikiran Islam. Jakarta: Lentera.
_____. 1993. A Young Muslim‟s Guide the Modern World. Petaling Jaya: Mekar Publisher.
Nasr, Syed Hussein. 1988. "Islam and the Problem of Modern Science"
Aligarh Journal of Islamic thought, Vol. 1: (1).
---. 1968. Science and Civilisation in Islam. Cambridge: Harvad University. _____. 1986. Man and Nature: the Spiritual Crisis of Modern Man. Kuala
Lumpur: Faundation for Traditional Studies.
Osman Bakar. 1991. Tawhid and Science. Kuala Lumpur: Secretariat for Islamic Philosophy and Science & Nurin Enterprise.
_____. 1992. Classification of Knowledge in Islam. Kuala Lumpur: Institute for Policy Research.
Peursen, C.A. Van, Susunan Ilmu Pengetahuan: Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu, terjemahan J. Drost, Jakarta: Gramedia, 1996.
Quraishi, Mansoor. A. 1983. Some Aspects of Muslim Education. Lahore: American Journal of Islamic and Social Science Vol. 5: (1).
---. 1982. Islam and Modernity: Tranformation of an Intellectual Tradition. Chicago: The University of Chicago Press.
Rizavi, Sajjad. 1986. Islamic Philoshopy of Education. Lahore: Institute of Islamic Culture.
Rosnani Hashim.1996. Educational Dualism in Malaysia: Implications for Theory and Practice. Kuala Lumpur: Oxford University Press.
_____. 1997. “Educational Development and the Future of the Ummah”. (a
Paper Presented at National Seminar on Knowledge and the Issue of Islamization in Shah Alam, Malaysia, 30-31 May ).
S}ah}i@h al-Bukha>ri. 1971. (Trans.) Muhammad Muhsin Khan. Medina, Saudi Arabia: Darul Fikr.
Sadar, Ziauddin. 1984. “Arguments for Islamic Science" in Quest for New Science. Aligarh: Center For Studies On Science.
Saidan, Ahmad Salim. 1998. Muqaddima>t li Ta>rikh Fikr Isla>mi fi@ al-Isla>m. Kuwait: „A<lam al-Ma‟rifa>t.
Sardar, Ziauddin. 1988. Islamic Futures the Shape Ideas to Come (Selangor, Malaysia: Pelanduk Publication.
Setiawan, Conny R., dkk. 1988. Dimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu. Bandung: Remaja Karya.
Shaliba, Jamil. 1973. Ta>rikh al-Falsafa>t al-„Ara>biyah. Beirut: Da>r al-Kita>b
al-Libna>ni.
Siswomihardjo, Koento Wibisono. Ilmu Pengetahuan Sebuah Sketsa Umum Mengenai Kelahiran dan Perkembangannya sebagai Pengantar untuk Memahami Filsafat Ilmu. Materi Kuliah Filsafat Ilmu pada PPS. IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
---. 2003. "Filsafat Ilmu, Sejarah Kelahiran, serta Perkembangannya" dalam M. Thoyibi (ed.). Filsafat Ilmu dan Perkembangannya. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Sumarna, Cecep. 2006. Filsafat Ilmu: dari Hakikat menuju Nilai. Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
Sunan Ibn Majah. Bairut: Maktabah Isla>miyah. Vol. 1
Suriasumantri, Jujun S.. 1985. Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan tentang Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Gramedia.
---. 1999. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan. ---. 1986. Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial, dan Politik. Jakarta: Gramedia. Al-Suyuthi. 1352 H. Al-Jami@‟ al-S{aghi@r. Damascus, Vol 1.
Syafi‟ie, Imam. 2000. Konsep Ilmu Pengetahuan dalam al-Qur‟an: Telaah dan
Pendekatan Filsafat Ilmu. Yogyakarta: UII Press.
The Encyclopedia of Islam. 1986. “H{adith”, New Edition, Vol.,III, London:
Luzac & CO.
Verhaah, C., dan R. Haryono Imam. 1997. Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah atas Cara Kerja Ilmu-ilmu. Jakarta: Gramedia.
Wan Daud, Wan Mohd Nor. 1989. The Concept of Knowledge in Islam: Its Implications for Education in A Developing Country. London: Mansell Publishing.
---. "Islamization of Contemporary Knowledge: a Brief Comparison Between al-Attas and Fazlur Rahman," Makalah Dipresentasikan pada Konfrensi Internasional Islam and Modernism: the Fazlur Rahman Experiment yang diadakan oleh the Center for the Organization of Cultural Activies, Istanbul Metropolitan Municipality, Pebruari 22-23. ---. The Bacon on the Crest of a Hill: A Brief History and Philosophy of the
International Institute of Islamic Thought and Civilization. (Kuala Lumpur:ISTAC, 11991).