SISTIM HUKUM INDONESIA
Hukum Politik Terdiri dari;
A. Pengertian Hukum Tata Negara
Tata Negara berarti sistem penataan negara yang berisi ketentuan mengenai struktur kenegaraan dan mengenai substansi norma kenegaraan. Dengan kata lain, Hukum Tata Negara merupakan cabang Ilmu Hukum yang membahas mengenai tata struktur kenegaraan, mekanisme hubungan antar struktur kenegaraan, serta mekanisme hubungan antara struktur negara dengan warga negara.
Istilah Hukum Tata Negara berasal dari bahasa Belanda Staatsrecht yang artinya adalah hukum Negara. Staats berarti negara-negara, sedangkan recht berarti hukum. Hukum negara dalam kepustakaan Indonesia diartikan menjadi Hukum Tata Negara. Mengenai definisi hukum tata negara masih terdapat perbedaan pendapat di antara ahli hukum tata negara. Perbedaan ini antara lain disebabkan oleh masing-masing ahli berpendapat bahwa apa yang mereka anggap penting akan menjadi titik berat perhatiannya dalam merumuskan pengertian dan pandangan hidup yang berbeda. Berikut pengertian Hukum Tata Negara menurut beberapa ahli :
1. Cristian Van Vollenhoven
Hukum Tata Negara mengatur semua masyarakat hukum atasan dan masyarakat hukum bawahan menurut tingkatan-tingkatannya, yang masing-masing menentukan wilayah atau lingkungan rakyatnya sendiri-sendiri, dan menentukan badan-badan dalam lingkungan masyarakat hukum yang bersangkutan beserta fungsinya masing-masing, serta menentukan pula susunan dan wewenangnya dari badan-badan tersebut.
2. J. H. A. Logemann
maupun dalam keseluruhannya, maka dalam pengertian yuridis, negara merupakan organisasi jabatan.
3. J. R. Stellinga
Hukum Tata Negara adalah hukum yang mengatur wewenang dan kewajiban alat-alat perlengkpan negara, mengatur hak dan kewajiban warga negara.
4. Kusumadi Pudjosewojo
Hukum Tata Negara adalah hukum yang mengatur bentuk negara dan bentuk pemerintahan, yang menunjukkan masyarakat hukum yang atasan maupun yang bawahan, beserta tingkatan-tingkatannya yang selanjutannya menegaskan wilayah dan lingkungan rakyat dari masyarakat-masyarakat hukum itu dan akhirnya menunjukkan alat-alat perlengkapan yang memegang kekuasaan dari masyarakat hukum itu, beserta susunan, wewenang, tingkatan imbangan dari dan antara alat perlengkapan negara itu.
5. Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim
Hukum Tata Negara dapat dirumuskan sebagai sekumpulan peraturan hukum yang mengatur organisasi dari pada negara, hubungan antar alat perlengkapan negara dalam garis vertikal dan horizontal, serta kedudukan warga negara dan hak azasinya
6. Paul Scholten
Menurut Paul Scholten, Hukum Tata Negara itu tidak lain adalah het recht dat regelt de staatsorganisatie, atau hukum yang mengatur tata organisasi negara. Dengan rumusan demikian, Scholten hanya menekankan perbedaan antara organisasi negara dari organisasi non-organisasi, seperti gereja dan lain-lain.
7. Van Der Pot
Hukum Tata Negara adalah peratuaran-peraturan yang menentukan badan-badan yang diperlakukan beserta kewenangannya masing-masing, hubungannya satu sama lain, serta hubungannya dengan individu warga negara dan kegiatannya.
a. Hubungan Hukum Tata Negara dengan Ilmu-Ilmu lainnya
1. Hubungan Hukum Tata Negara dan Ilmu Politik
Ibarat tubuh manusia, maka ilmu hukum tata negara diumpamakan oleh Barent sebagai kerangka tulang belulangnya, sedangkan ilmu politik ibarat daging-daging yang melekat di sekitarnya (het vlees er omheen beziet). Oleh sebab itu, untuk mempelajari hukum tata negara, terlebih dahulu kita memerlukan ilmu politik, sebagai pengantar untuk mengetahui apa yang ada di balik daging-daging di sekitar kerangka tubuh manusia yang hendak diteliti. Dalam hal ini negara sebagai objek studi hukum tata negara dan ilmu politik juga dapat diibaratkan sebagai tubuh manusia yang terdiri atas daging dan tulang.
Menurut G.Jellinek terlihat dengan jelas bahwa hukum tata negara dengan politik mempunyai hubungan yang erat. Selain itu bagaimanapun juga organisasi negara itu sendiri merupakan hasil konstruksi sosial tentang perikehidupan bersama dalam satu komunitas hidup bermasyarakat. Oleh karena itu, ilmu hukum yang mempelajari dan mengatur negara sebagai organisasi tidak mungkin memisahkan diri secara tegas dengan perikehidupan bermasyarakat.
2. Hubungan Hukum Tata Negara dengan Ilmu Negara
kita harus terlebih dahulu memiliki pengetahuan segala hal ihwalnya secara umum tentang negara yang didapat dalam ilmu negara. Dengan demikian jelas bahwa hubungan antara ilmu negara dan hukum tata negara erat sekali. Ilmu negara dapat memberikan dasar-dasar teoritis untuk hukum tata negara.
3. Hubungan HTN dengan Hukum Administrasi Negara
Menurut Van Vollenhoven hukum tata negara adalah hukum mengenai susunan dan kewenangan organ-organ negara. Dengan kata lain hukum tata negara merupakan pemberian wewenang. Adapun hukum administrasi negara adalah hukum yang mengatur hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah, yaitu memberikan batasan-batasan pada organ-organ negara dalam melakukan wewenangnya yang ditentukan oleh hukum tata negara. Organ-organ negara tanpa ketentuan dalam hukum tata negara adalah seperti sayap burung yang lumpuh. Sebaliknya organ-organ negara tanpa ketentuan dalam hukum administrasi negara adalah seperti burung terbang bebas dengan sayapnya karena dapat mempergunakan kewenangan sekehendak hatinya.
b. Sumber-sumber Hukum Tata Negara Indonesia
1. Undang-Undang Dasar 1945
yang mengatur masalah kenegaraan dan merupakan dasar ketentuanketentuan
lainnya.
2. Ketetapan MPR
Dalam Pasal 3 UUD 1945 ditentukan bahwa Majelis Permusyawaratan
Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis-Garis Besar Haluan
Negara. Dengan istilah menetapkan tersebut maka orang berkesimpulan,
bahwa produk hukum yang dibentuk oleh MPR disebut Ketetapan MPR.
3. Undang-undang/peraturan pemerintah pengganti undang-undang
Undang-undang mengandung dua pengertian, yaitu :
a. Undang-undang dalam arti materiel yaitu peraturan yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
b. Undang-undang dalam arti formal yaitu keputusan tertulis yang dibentuk dalam arti formal sebagai sumber hukum dapat dilihat pada Pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 ayat (1) UUD 1945.
4. Peraturan Pemerintah
Untuk melaksanakan undang-undang yang dibentuk oleh Presiden dengan
DPR, oleh UUD 1945 kepada presiden diberikan kewenangan untuk menetapkan Peraturan Pemerintah guna melaksanakan undang-undang sebagaimana mestinya. Dalam hal ini berarti tidak mungkin bagi presiden
Peraturan Pemerintah.
5. Keputusan Presiden
UUD 1945 menentukan Keputusan Presiden sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan. Bentuk peraturan ini baru dikenal tahun 1959 berdasarkan surat presiden no. 2262/HK/1959 yang ditujukan pada DPR, yakni sebagai peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Presiden untuk melaksanakan Penetapan Presiden. Kemudian melalui Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, Keputusan Presiden resmi ditetapkan sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan menurut UUD 1945. Keputusan Presiden berisi keputusan yang bersifat khusus (einmalig) adalah untuk melaksanakan UUD 1945, Ketetapan MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang eksekutif dan Peraturan Pemerintah.
6. Peraturan pelaksana lainnya
Yang dimaksud dengan peraturan pelaksana lainnya adalah seperti
Peraturan Menteri, Instruksi Menteri dan lain-lainnya yang harus dengan tegas berdasarkan dan bersumber pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
7. Convention (Konvensi Ketatanegaraan)
Konvensi Ketatanegaraan adalah perbuatan kehidupan ketatanegaraan yang dilakukan berulang-ulang sehingga ia diterima dan ditaati dalam praktek ketatanegaraan. Konvensi Ketatanegaraan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan undang-undang, karena diterima dan
peraturan-peraturan hukum yang tertulis.
c. Hirarki Perundang Undangan di Indonesia
Menurut Pasal 7 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan bahwa;
Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hukum dasar tertulis Negara Republik Indonesia, memuat dasar dan garis besar hukum dalam
penyelenggaraan negara.
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia merupakan putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai pengemban kedaulatan rakyat yang ditetapkan dalam sidang-sidang MPR.
3. Undang-Undang (UU) dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Presiden untuk melaksanakan UUD 1945 serta TAP MPR-RI 4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Perpu
dibuat oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, dengan ketentuan sebagai berikut: a). Perpu harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut. B). DPR dapat menerima atau menolak Perpu dengan tidak mengadakan perubahan. C). Jika ditolak DPR, Perpu tersebut harus dicabut.
5. Peraturan Pemerintah dibuat oleh Pemerintah untuk melaksanakan perintah undang-undang.
6. Keputusan Presiden(Keppres); Keputusan Presiden yang bersifat mengatur dibuat oleh Presiden untuk menjalankan fungsi dan tugasnya berupa pengaturan pelaksanaan administrasi negara dan administrasi pemerintahan.
7. Peraturan Daerah;
a. Peraturan daerah propinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) propinsi bersama dengan gubernur.
c. Peraturan desa atau yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau yang setingkat, sedangkan tata cara pembuatan peraturan desa atau yang setingkat diatur oleh peraturan daerah kabupaten / kota yang bersangkutan.
Tata cara pembuatan UU, PP, Perda serta pengaturan ruang lingkup Keppres diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Namun hingga sekarang ini belum ada UU yang mengatur apa saja yang menjadi lingkup pengaturan dari Keppres dan PP.
d. Perbandingan Produk Hukum Tata Negara Indonesia Sebelum dan Sesudah Reformasi
A. Produk Hukum Tata Negara Sebelum Reformasi 1998 Sebelum terjadinya Reformasi 1998 dan perubahan UUD 1945, RI menganut prinsip supremasi MPR sebagai salah satu bentuk varian sistem supremasi parlemen yang dikenal di dunia. Maka paham kedaulatan rakyat diorganisasikan melalui pelembagaan MPR sebagai lembaga penjelmaan rakyat Indonesia yang berdaulat yang disalurkan melalui prosedur perwakilan politik (political representation) melalui DPR, perwakilan daerah (regional representation) melalui utusan daerah, dan perwakilan fungsional (fungcional representation) melalui utusan golongan. Ketiga-tiganya dimaksudkan untuk menjamin agar kepentingan seluruh rakyat yang berdaulat benar-benar tercermin dalam keanggotaan MPR, sehingga menjadi lembaga tertinggi sebagai penjelmaan rakyat. Sebagaimana dalam pasal I ayat (2) UUD 1945 “kedaulatan di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.
makmur, dan sejahtera. Akhirnya pada amandemen ke-empat UUD 1945 sebagaimana pasal 1 ayat (2) bahwa “kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan undang undang dasar.” Dengan demikian berdasar pada UUD 1945 pasca amandemen ke-empat tersebut, maka terdapat delapan buah organ Negara yang mempunyai kedudukan sederajat yang langsung menerima kewenangan konstitusi dari UUD, kedelapan organ tersebut adalah;
1. DPRD (dewan perwakilan rakyat daerah) 2. DPD (dewan perwakilan darah)
3. MPR (majelis permusyawaratan rakyat.) 4. BPK (badan pemeriksa keuangan)
5. Presiden dan Wakil Presiden 6. Mahkamah Agung
7. Mahkama Konstitusi 8. Komisi Yudisial
Lembaga atau institusi yang kewenangannya diatur dalam UUD, antara lain;
1. Pemerintah Pusat
2. Tentara Nasional Indonesia
3. Kepolisian Negara Republik Indonesia 4. Pemerintah Daerah
5. Partai Politik
Selain itu, dalam menjamin kepentingan kekuasaan dan demokratisasi yang berjalan lebih efektif maka dilakukan penambahan lembaga-lembaga independent setelah Reformasi 1998, dan akhirnya menjadi seperti berikut;
1. Tentara Nasional Indonesia (TNI) 2. Kepolisian Negara (polri)
3. Bank Indonesia 4. Kejaksaan Agung 5. KOMNAS HAM 6. KPU
7. Komisi Ombusdman
8. Komisi Pengawasan dan persaingan Usaha (KPPU)
9. Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggaraan Negara (KPKPN) 10. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPU)
11. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan lain sebagainya.
B. HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
1. Pengertian dan istilah
Pengertian dan istilah Hukum Administrasi Negara.
Sejarah dari Hukum Administrasi Negara dari Negara Belanda yang
disebut
Administratif recht atau Bestuursrecht yang berarti Lingkungan
Kekuasaan/
Administratif diluar dari legislatif dan yudisil.
Di Perancis disebut Droit Administrative.
Di Inggris disebut Administrative Law.
Di Jerman disebut Verwaltung recht.
Di Indonesia banyak istilah untuk mata kuliah ini.
1.
E. Utrecht dalam bukunya yang berjudul Pengantar Hukum Administrasi
pada
cetakan pertama memakai istilah hukum tata usaha Indonesia, kemudian
pada
cetakan kedua mennggunakan istilah Hukum tata usaha Negara Indonesia,
dan
Indonesia.
2.
Wirjono Prajokodikoro, dalam tulisannya di majalah hukum tahun 1952,
menggunakan istilah “Tata Usaha Pemerintahan”.
3.
Djuial Haesen Koesoemaatmadja dalam bukunya Pokok-pokok Hukum
Tata
Usaha Negara, menggunakan istilah Hukum Tata Usaha Negara dengan
alasan sesuai dengan Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman
No. 14 tahun 1970.
4.
Prajudi Armosudidjo, dalam prasarannya di Musyawarah Nasional Persahi
tahun 1972 di Prapat mengunakan istilah Peradilan Administrasi Negara.
5.
W.F. Prins dalam bukunya Inhiding in het Administratif recht van
Indonesia,
menggunakan istilah, Hukum Tata Usaha Negara Indonesia.
6.
Rapat Staf Dosen Fakultas Hukum Negeri seluruh Indonesia bulan Maret
1973 di Cirebon, memutuskan sebaiknnya menggunakan istilah Hukum
Administrasi
Negara
dengan
alasan
Hukum
Administrasi
Negara
pengertiannya lebih luas dan sesuai dengan perkembangan pembangunan
dan
kemajuan Negara Republik Indonesia kedepan.
7.
Surat Keputusan Mendikbud tahun 1972, tentang Pedoman Kurikulum
minimal
Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta, meggunakan istilah. Hukum
Tata Pemerintahan ( HTP ).
8.
Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14 tahun 1970 dan
TAP
9.
Surat Keputusan Mendikbud No. 31 tahu 1983, tentang kurikulum Inti
Program
Pendidikan
Sarjana
Hukum
menggunakan
istilah
Hukum
Administrasi Negara.
Sejarah Hukum Administrasi Negara ( HAN ) atau Hukum Tata Usaha
Negara
(HTUN) atau Hukum Tata Pemerintahan ( HTP ) di Negeri Belanda
disatukan
dalam Hukum Tata Negara yang disebut Staats en Administratiefrecht.
Pada tahun 1946 di Universitas Amsterdam baru diadakan pemisahan mata
kuliah
Administrasi Negara dari mata kuliah Hukum Tata Negara, dan Mr.
Vegting
sebagai guru besar yang memberikan mata kuliah Hukum Administrasi
Negara.
Tahun 1948 Universitas Leiden mengikuti jejak Universitas Amsterdam
memisahkan Hukum Administrasi Negara dari Hukum Tata Negara yang
diberikan oleh Kranenburg.
Di Indonesia sebelum perang dunia kedua pada Rechtshogeschool di
Jakarta
diberikan dalam satu mata kuliah dalam Staats en administratiefrecht yang
diberikan oleh Mr. Logemann sampai tahun 1941.
Baru pada tahun 1946 Universitas Indonesia di Jakarta Hukum
Administrasi
Negara dan Hukum Tata Negara diberikan secara tersendiri.
Hukum Tata Negara diberikan oleh Prof. Resink, sedangkan Hukum
Administrasi Negara diberikan oleh Mr. Prins.
Berdasarkan uraian-uraian di atas jelaslah bahwa Ilmu Hukum
Administrasi
Negara adalah ilmu yang sangat luas dan terus berkembang mengikuti
tuntutan
beranekan ragam dan campur tangfan pemerintah dalam kehidupan
masyarakat.
2. Definisi Hukum Administrasi Negara
Pada dasarnya definisi Hukum Administrasi Negara sangat sulit untuk
dapat
memberikan suatu definisi yang dapat diterima oleh semua pihak,
mengingat Ilmu
Hukum Administrasi Negara sangat luas dan terus berkembang mengikuti
arah
pengolahan/penyelenggaraan suatu Negara.
Namun sebagai pegangan dapat diberikan beberapa definisi sebagai
berikut :
1.
Oppen Hein mengatakan “ Hukum Administrasi Negara adalah sebagai
suatu
gabungan ketentuan-ketentuan yang mengikat badan-badan yang tinggi
maupun rendah apabila badan-badan itu menggunakan wewenagnya yang
telah diberikan kepadanya oleh Hukum Tata Negara.”
2.
J.H.P. Beltefroid mengatakan “ Hukum Administrasi Negara adalah
keseluruhan aturan-aturan tentang cara bagaimana alat-alat pemerintahan
dan
badan-badan kenegaraan dan majelis-majelis pengadilan tata usaha hendak
memenuhi tugasnya.”
3.
Logemann mengatakan “ Hukum Administrasi Negara adalah seperangkat
dari norma-norma yang menguji hubungan Hukum Istimewa yang
diadakan
untuk memungkinkan para pejabat administrasi Negara melakukan tugas
mereka yang khusus.”
4.
De La Bascecoir Anan mengatakan “ Hukum Administrasi Negara adalah
himpunan peraturan-peraturan tertentu yang menjadi sebab Negara
berfungsi/
bereaksi dan peraturan-peraturan itu mengatur hubungan-hubungan antara
warga Negara dengan pemerintah.”
5.
6.
A.A.H. Strungken mengatakan “ Hukum Administarsi Negara adalah
aturan-aturan yang menguasai tiap-tiap cabang kegiatan penguasa sendiri.”
7.
J.P. Hooykaas mengatakan “Hukum Administarsi Negara adalah
ketentuan-ketentuan mengenai campur tangan dan alat-alat perlengkapan Negara
dalan
lingkungan swasta.”
8.
Sir. W. Ivor Jennings mengatakan “Hukum Administarsi Negara adalah
hukum yang berhubungan dengan Administrasi Negara, hukum ini
menentukan organisasi kekuasaan dan tugas-tugas dari pejabat-pejabat
administrasi.”
9.
Marcel Waline mengatakan “Hukum Administarsi Negara adalah
keseluruhan
aturan-aturan yang menguasai kegiataqn-kegiatan alat-alat perlengkapan
Negara yang bukan alat perlengkapan perundang-undangan atau
kekuasaan
kehakiman menentukan luas dan batas-batas kekuasaan alat-alat
perlengkapan
tersebut,
baik
terhadap
warga
masyarakat
maupun
antara alat-alat
perlengkapan itu sendiri, atau pula keseluruhan aturan-aturan yang
menegaskan dengan syarat-syarat bagaimana badan-badan tata usaha
negara/
administrasi memperoleh hak-hak dan membebankan
kewajiban-kewajiban
kepada para warga masyarakat dengan peraturan alat-alat perlengkapannya
guna kepentingan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan umum.
10.
hubungan hukum istimewa yang diadakan agar memungkinkan para
pejabat
pemerintahan Negara melakukan tugas mereka secara khusus.
Jadi ada tiga ciri-ciri Hukum Administarsi Negara :
1.
Menguji hubungan hukum istimewa
2.
Adanya para pejabat pemerintahan
3.
Melaksanakan tugas-tuigas istimewa.
11.
Prajudi Atmosudirdjo mengatakan “Hukum Administarsi Negara adalah
hukum mengenai operasi dan pengendalian dari kekuasaan-kekuasaan
administrasi atau pengawasan terhadap penguasa-penguasa administrasi.
12.
Bachsan Mustofa mengatakan “Hukum Administarsi Negara adalah
sebagai
gabungan jabatan-jabatan yang dibentuk dan disusun secara bertingkat
yang
diserahi tugas melakukan sebagian dari pekerjaan pemerintaha dalam arti
luas
yang tidak diserahkan pada badan-badan pembuat undang-undang dan
badan-badan kehakiman.
Dari pengertian-pengertian di atas jelaslah bahwa bidang hukum
administrasi
Negara sangatlah luas, banyak segi dan macam ragamnya.
Pemerintah adalah pengurus dari pada Negara, pengurus Negara adalah
keseluruhan dari jabatan-jabatan didalam suatu Negara yang mempunyai
tugas
dan wewenang politik Negara dan pemerintahan.
Apa yang dijalanakan oleh pemerintah adalah tugas Negara dan
merupakan
tanggung jawab dari pada alat-alat pemerintahan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Hukum Administarsi Negara
adalah
Hukum mengenai Pemerintah/Eksekutif didalam kedudukannya,
tugas-tuganya,
Isi dan ruang lingkup Hukum Administarsi Negara menurut Van Vallen
Hoven
dalam bukunya yang berjudul :Omtrek van het administratiefrecht,
memberikan
skema tentang hukum administrasi Negara didalam kerangka hukum
seluruhnya
sebagai berikut :
a.
Hukum Tata Negara/Staatsrecht meliputi :
1.
Pemerintah/Bestuur
2.
Peradilan/Rechtopraak
3.
Polisi/Politie
4.
Perundang-undangan/Regeling
b.
Hukum Perdata / Burgerlijk
c.
Hukum Pidana/ Strafrecht
d.
Hukum Administarsi Negara/ administratief recht yang meliputi :
3. Ruang Lingkup Hukum Administarsi Negara
Isi dan ruang lingkup Hukum Administarsi Negara menurut Van Vallen
Hoven
dalam bukunya yang berjudul :Omtrek van het administratiefrecht,
memberikan
skema tentang hukum administrasi Negara didalam kerangka hukum
seluruhnya
sebagai berikut :
a.
Hukum Tata Negara/Staatsrecht meliputi :
1.
Pemerintah/Bestuur
2.
Peradilan/Rechtopraak
3.
Perundang-undangan/Regeling
b.
Hukum Perdata / Burgerlijk
c.
Hukum Pidana/ Strafrecht
d.
Hukum Administarsi Negara/ administratief recht yang meliputi :
Menurut Walther Burckharlt (Swiss), bidang-bidang pokok Hukum
Administrasi
Negara adalah. :
1.
Hukum Kepolisian
Kepolisian dalam arti sebagai alat administrasi Negara yang sifat preventif
misalnya pencegahan dalm bidang kesehatan, penyakit flu burung,
malaria,
pengawasan
dalam
pembangunan,
kebakaran,
lalu
lintas,
lalulintas
perdagangan ( Ekspor-Impor).
2.
Hukum Kelembagaan, yaitu administrasi wajib mengatur hubungan
hukum
sesuai dengan tugas penyelenggara kesejahtreaan rakyat missal dalam
bidang
pendidikan, rumah sakit, tentang lalu lintas ( laut, udara dan darat),
Telkom,
BUMN, Pos, pemeliharaan fakir miskin, dan sebagainya.
3.
Hukum Keuangan, aturan-aturan tentang keuangan Negara, missal pajak,
bea
cukai, peredaran uang, pembiayaan Negara dan sebagainya.
Prajudi Atmosudirdjo mengatakan bahwa ruang lingkup Hukum
Administarsi Negara
Hukum tentang dasar-dasar dan prinsip-prinsip umum daripada
Administrasi
Negara.
b.
Hukum tentang organisasi dari Administrasi Negara.
c.
Hukum tentang aktifitas-aktifitas dari Administrasi Negara yang bersifat
yuridis.
d.
Hukum tentang sarana-sarana dari Administrasi Negara terutama mengenai
kepegawaian Negara dan keuangan Negara.
e.
Hukum Administrasi Pemerintahan Daerah dan wilayah yang dibagi
menjadi :
1.
Hukum Administrasi Kepegawaian
2.
Hukum Administrasi Keuangan
3.
HukumAdministrasi Materiil
4.
Hukum Administrasi Perusahaan Negara
f.
Hukum tentang Peradilan Administrasi Negara
Kusumadi Pudjosewojo, membagi bidang-bidang pokok yang merupakan
lapangan
HukumTata Usaha Negara atau Hukum Adminsitrasi Negara, yang diambil
dari
Undang-undang Dasar Sementara adalah sebagai berikut :
a.
Hukum Tata Pemerintahan
b.
Hukum Tata Keuangan
c.
Hukum Hubungan Luar Negeri
d.
Hukum Pertahan Negara dan Keamanan Umum
Golongan yang berpendapat bahwa Hukum Tata Negara dan Hukum
Administrasi
1.
Kranenburg
2.
Vegting
3.
Prins
Golongan ini berpendapata bahwa Hukum Tata Negara dan Hukum
Administrasi
Negara tidak ada perbedaan prinsipil, hanya pada titik berat/focus
pembahasan
Hukum Tata Negara fokusnya adalah hukum rangka dasar dari Negara,
sedangkan
Hukum Administrasi Negara adalah administrasi dari Negara, dengan
demikian
Hukum Administrasi Negara merupakan hukum khusus dari hukum tata
Negara.
a.d.1. Kranenburg :
Tidak ada perbedaan yang prinsipil antara Hukum Tata Negara dengan
Hukum
Administrasi Negara, perbedaannya hanya terjadi dalam praktek dalam
rangka
tercapainya suatu kemanfaatan saja.
Hukum Tata Negara adalah hukum mengenai struktur umum daripada
suatu
pemerintahan Negara.
Sedangkan Hukum Administrasi Negara merupakan peraturan-peraturan
yang
bersifat khusus.
a.d.2 Mr. Prins
Hukum Tata Negara mempelajari hal-hal yang fundamental yang
merupakan
dasar-dasar dari Negara.
Hukum Administrasi Negara menitikberatkan kepada hal-hal yang bersifat
teknis
yang selama ini kita tidak berkepentingan hanya penting bagi para
spesialis.
4.
Dalam sistematika Ilmu Hukum, Hukum Administrasi Negara termasukm
dalam
hukum publik dan merupakan bagian daripada hukum Tata Negara.
Dilihat dari sejarahnya sebelum abad 19 Hukum Administrasi Negara
menyatu
dengan Hukum Tata Negara dan baru setelah abad ke 19 Hukum
Administrasi
Negara berdiri sendiri sebagai suatu disiplin ilmu hukum tersendiri.
Pada pertengahan abad 20 Hukum Administrasi Negara berkembang
dengan pesat
sebagai akibat tuntutan timbulnya Negara hukum modern ( welfarestate )
yang
mengutamakan kesejahteraan rakyat.
Hukum Administrasi Negara sebagai suatu disiplin ilmiah tersendiri dapat
dilihat
dalam teori Residu dari Van Vallen Hoven yang membagi seluruh materi
hukum
itu secara terperinsi sebagai berikut :
Hukum
1.
Hukum Tata Negara (materiil)
a. Pemerintahan
b. Peradilan
c. Kepolisian
2. Hukum Perdata ( materiil)
3. Hukum Pidana (materiil)
a. Hukum Pemerintahan
b. Hukum Peradilan
a. Peradilan Tata Negara
b. Hukum Acara Perdata
c. Hukum Acara Pidana
d. Hukum Peradilan Tata Usaha Negara
Ilmu Hukum Administrasi Negara Sebagai suatu disiplin ilmiah tersendiri
maka harus
ditentukan batasan-batasan serta hubungan-hubungan antara ilmu
administrasi Negara
dengan beberapa cabang ilmu hukum lainnya seperti Hukum Tata Negara,
Hukum
1.
Hubungan Hukum Administrasi Negara dengan Hukum Tata Negara
dilihat
dari segi sejarah bahwa sebelum abad ke 19 Hukum Administrasi Negara
menyatu dengan Hukum Tata Negara dan baru setelah abad ke 19 Hukum
Administrasi Negara berdiri sendiri.
Mengenai batasan antara Hukum Tata Negara dengan Hukum Administrasi
Negara ini terdapat dua golongan pendapat yaitu :
A.
Bahwa antara Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara
ada perbedaan prinsip, yaitu :
1.
Oppen Heim
2.
Van Vallen Hoven
3.
Romeign
4.
Donner
5.
Logemann
a.d.1. Oppen Heim mengatakan bahwa pokok bahasan Hukum Tata
Negara adalah Negara dalam keadaan diam (Strats in rust) ,
dimana Hukum Tata Negara membentuk alat-alat perlengkapan
Negara dan memberikan kepadanya wewenang serta membagi
bagikan tugas pekerjaan kepada alat-alat perlengkapan Negara
ditingkat tinggi dan tingkat rendah.
Sedangkan Hukum Administrasi Negara adalah Negara dalam
keadaan bergerak (Staats ini beveging) dimana Hukum
Administrasi Negara melaksanakan aturan-aturan yang sudah
ditetapkan oleh Hukum Tata Negara baik ditingkat tinggi
maupun ditingkat rendah.
a.d.2. Van Vallen Hoven
Hukum Administrasi Negara adalah semua peraturan-peraturan
hukum setelah dikurangi hukum-hukum materiil Tata Negara,
Pidana dan Perdata.
Hukum Administrasi Negara merupakan pembatasan dari
kebebasan pemerintah dalam melaksanakan tugasnya.
Badan-badan
memperoleh
kewenangan
dari
Hukum Tata Negara, dan dalam melaksanakan kewenangan itu
badan-badan kenegaraan hasurlah berdasarkan pada Hukum
Administrasi Negara.
a.d.3. Romeign
Hukum Tata Negara mengatur mengenai dasar-dasar dapipad
Negara, sedangkan Hukum Administrasi Negara mengenai
pelaksanaan teknisnya.
a.d.4. Donner
Hukum Tata Negara menetapkan tugas, sedangkan Hukum
Administrasi Negara melaksanakan tugas itu yang telah
ditentukan oleh Hukum Tata Negara.
a.d.5. Logemann
Hukum Tata Negara merupakan suatu pelajaran tentang
kompetensi, sedangkan Hukum Administrasi Negara tentang
perhubungan hukum istimewa.
Hukum Tata Negara mempelajari :
1.
Jabatan-jabatan apa yang ada dalam susunan suatu Negara
2.
Siapa yang mengadakan jabatan-jabatan itu
3.
Cara bagaimana ditempati oleh pejabat
4.
Fungsi jabatan-jabatan itu
5.
Kekuasaan hukum jabatan-jabatan itu
6.
Hubungan antara jabatan-jabatan
7.
Dalam batas-batas manakah organ-organ kenegaraan dapat
melakukan tugasnya.
Sedangkan Hukum Administrasi Negara mempelajari sifat bentuk dan
akibat hukum yang timbul karena perbuatan hukum istimewa yang
dilakukan oleh para pejabat dalam melaksanakan tugasnya.
B.
1.
Kranenburg
2.
Vegting
3.
Prins
Golongan ini berpemdapat bahwa antara Hukum Tata Negara dan Hukum
Administrasi Negara tidak ada perbedaan prinsipil, hanya pada titik
berat/focus pembahasan Hukum Tata Negara fokusnya adalah hukum
rangka dasar dari Negara, sedangkan Hukum Administrasi Negara adalah
administrasi dari Negara, dengan demikian Hukum Administrasi Negara
merupakan hukum khusus dari Hukum Tata Negara.
a.d.1. Kranenburg
Tidak ada perbedaan yang prinsipilantara Hukum Tat Negara
dengan Hukum Administrasi Negara, perbedaanya hanya
terjadi dalam praktek dalam rangka tercapainya suatu
kemanfaatan saja.
Hukum Tata Negara adalah hukum mengenai struktur hukum
daripada suatu pemerintahan Negara.
Sedangkan Hukum Administrasi Negara merupakan
peraturan-peraturan yang bersifat khusus.
a.d.2. Prins
Hukum Tata Negara mempelajari hal-hal yang fundamental
yang merupakan dasar-dasar dari Negara.
Hukum Administrasi Negara menitikberatkan kepada hal-hal
yang bersifat teknis, yang selama ini kita tidak berkepentingan
hanya penting bagi para spesialis.
C. Hukum Pidana
PENGERTIAN HUKUM PIDANA
Hukum Pidana, sebagai salah satu bagian independen dari Hukum Publik merupakan salah satu instrumen hukum yang sangat urgen eksistensinya sejak zaman dahulu. Hukum ini ditilik sangat penting eksistensinya dalam menjamin keamanan masyarakat dari ancaman tindak pidana, menjaga stabilitas negara dan (bahkan) merupakan “lembaga moral” yang berperan merehabilitasi para pelaku pidana. Hukum ini terus berkembang sesuai dengan tuntutan tindak pidana yang ada di setiap masanya.
A. Definisi Hukum Pidana
Undang-Undang dan berakibat diterapkannya hukuman bagi siapa yang melakukannya dan memenuhi unsur-unsur perbuatan yang disebutkan dalam Undang-Undang Pidana. Seperti perbuatan yang dilarang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Korupsi, Undang-Undang HAM dan lain sebagainya. Hukum pidana adalah hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan apa yang dilarang dan memberikan hukuman bagi yang melanggarnya. Perbuatan yang dilarang dalam hukum pidana adalah:
• Pembunuhan
Sementara Dr. Abdullah Mabruk an-Najar dalam diktat “Pengantar Ilmu Hukum”-nya mengetengahkan defenisi Hukum Pidana sebagai “Kumpulan kaidah-kaidah Hukum yang menentukan perbuatan-perbuatan pidana yang dilarang oleh Undang-Undang, hukuman-hukuman bagi yang melakukannya, prosedur yang harus dilalui oleh terdakwa dan pengadilannya, serta hukuman yang ditetapkan atas terdakwa.”
Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :
• Menetukan perbuatan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.
• Menentukan kapan dan dalam hal hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. • Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Menurut Sudarto, pengertian Pidana sendiri ialah nestapa yang diberikan oleh Negara kepada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan Undang-undang (hukum pidana), sengaja agar dirasakan sebagai nestapa.
B. Tujuan Hukum Pidana
Secara konkrit tujuan hukum pidana itu ada dua, ialah :
• Untuk menakut-nakuti setiap orang jangan sampai melakukan perbuatan yang tidak baik. • Untuk mendidik orang yang telah pernah melakukan perbuatan tidak baik menjadi baik dan dapat diterima kembali dalam kehidupan lingkunganya
Tujuan hukum pidana ini sebenarnya mengandung makna pencegahan terhadap gejala-gejala sosial yang kurang sehat di samping pengobatan bagi yang sudah terlanjur tidak berbuat baik. Jadi Hukum Pidana, ialah ketentuan-ketentuan yang mengatur dan membatasi tingkah laku manusia dalam meniadakan pelanggaran kepentingan umum. Tetapi kalau di dalam
kehidupan ini masih ada manusiayang melakukan perbuatan tidak baik yang kadang-kadang merusak lingkungan hidup manusia lain, sebenarnya sebagai akibat dari moralitas individu itu. Dan untuk mengetahui sebab-sebab timbulnya suatu perbuatan yang tidak baik
itu(sebagai pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pidana), maka dipelajari oleh “kriminologi”.
melakukan perbuatan pidana, apa motivasinya, bagaimana akibatnya dan tindakan apa yang dapat dilakukan untuk meniadakan perbuatan itu.
C. Klasifikasi Hukum Pidana
Secara substansial atau Ius Poenalle ini merupakan hukum pidana
Dalam arti obyektif yaitu “sejumlah peraturan yang mengandung larangan-larangan atau keharusan-keharusan dimana terhadap pelanggarnya diancam dengan hukuman”. Hukum Pidana terbagi menjadi dua cabang utama, yaitu:
• Hukum Materil ialah cabang Hukum Pidana yang menentukan perbuatan-perbuatan kriminal yang dilarang oleh Undang-Undang, dan hukuman-hukuman yang ditetapkan bagi yang melakukannya. Cabang yang merupakan bagian dari Hukum Publik ini mepunyai keterkaitan dengan cabang Ilmu Hukum Pidana lainnya, seperti Hukum Acara Pidana, Ilmu Kriminologi dan lain sebagainya.
• Hukum Formil (Hukum Acara Pidana) Untuk tegaknya hukum materiil diperlukan hukum acara. Hukum acara merupakan ketentuan yang mengatur bagaimana cara agar hukum (materil) itu terwujud atau dapat diterapkan/dilaksanakan kepada subyek yang memenuhi perbuatannya. Tanpa hukum acara maka tidak ada manfaat hukum materiil. Untuk
menegakkan ketentuan hukum pidana diperlukan hukum acara pidana, untuk hukum perdata maka ada hukum acara perdata. Hukum acara ini harus dikuasai para praktisi hukum, polisi, jaksa, pengacara, hakim.
Dr. Mansur Sa’id Isma’il dalam diktat “Hukum Acara Pidana”-nya memaparkan defenisi Hukum Acara Pidana sebagai ”kumpulan kaidah-kaidah yang mengatur dakwa pidana— mulai dari prosedur pelaksanaannya sejak waktu terjadinya pidana sampai penetapan hukum atasnya, hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan hukum yang tumbuh dari prosedur tersebut—baik yang berkaitan dengan dugaan pidana maupun dugaan perdata yang merupakan dakwa turunan dari dakwa pidana, dan juga pelaksanaan peradilannnya.”. Dari sini, jelas bahwa substansi Hukum Acara Pidana meliputi:
• Dakwa Pidana, sejak waktu terjadinya tindak pidana sampai berakhirnya hukum atasnya denganberagam tingkatannya.
• Dakwa Perdata, yang sering terjadi akibat dari tindak pidana dan yang diangkat sebagai dakwa turunan dari dakwa pidana.
• Pelaksanaan Peradilan, yang meniscayakan campur-tangan pengadilan.
Dan atas dasar ini, Hukum Acara Pidana, sesuai dengan kepentingan-kepentingan yang merupakan tujuan pelaksanaannya, dikategorikan sebagai cabang dari Hukum Publik, karena sifat global sebagian besar dakwa pidana yang diaturnya dan karena terkait dengan
kepentingan Negara dalam menjamin efisiensi Hukum Kriminal. Oleh sebab itu, Undang-Undang Hukum Acara ditujukan untuk permasalahan-permasalahan yang relatif rumit dan kompleks, karena harus menjamin keselarasan antara hak masyarakat dalam menghukum pelaku pidana, dan hak pelaku pidana tersebut atas jaminan kebebasannya dan nama baiknya, dan jika memungkinkan juga, berikut pembelaan atasnya. Untuk mewujudkan tujuan ini, para ahli telah bersepakat bahwa Hukum Acara Pidana harus benar-benar menjamin kedua belah pihak—pelaku pidana dan korban.
Hukum Pidana dalam arti Dalam arti Subyektif, yang disebut juga “Ius Puniendi”, yaitu “sejumlah peraturan yang mengatur hak negara untuk menghukum seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang”.
D. Ruang Lingkup Hukum Pidana
jawab. Jadi unsur-unsur peristiwa pidana, yaitu:.
• Sikap tindak atau perikelakuan manusiaMelanggar hukum, kecuali bila ada dasar pembenaran; Didasarkan pada kesalahan, kecuali bila ada dasar penghapusan kesalahan. Sikap tindak yang dapat dihukum/dikenai sanksi adalah
- Perilaku manusia ; Bila seekor singa membunuh seorang anak maka singa tidak dapat dihukum
- Terjadi dalam suatu keadaan, dimana sikap tindak tersebut melanggar hukum, misalnya anak yang bermain bola menyebabkan pecahnya kaca rumah orang.
- Pelaku harus mengetahui atau sepantasnya mengetahui tindakan tersebut merupakan pelanggaran hukum; Dengan pecahnya kaca jendela rumah orang tersebut tentu diketahui oleh yang melakukannya bahwa akan menimbulkan kerugian orang lain.
- Tidak ada penyimpangan kejiwaan yang mempengaruhi sikap tindak tersebut.Orang yang memecahkan kaca tersebut adalah orang yang sehat dan bukan orang yang cacat mental. Dilihat dari perumusannya, maka peristiwa pidana/delik dapat dibedakan dalam :
• Delik formil, tekanan perumusan delik ini ialah sikap tindak atau perikelakuan yang dilarang tanpa merumuskan akibatnya.
• Delik materiil, tekanan perumusan delik ini adalah akibat dari suatu sikap tindak atau perikelakuan.
Misalnya pasal 359 KUHP :
Dalam Hukum Pidana ada suatu adagium yang berbunyi : “Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali”, artinya tidak ada suatu perbuatan dapat dihukum tanpa ada peraturan yang mengatur perbuatan tersebut sebelumnya. Ketentuan inilah yang disebut sebagai asas legalitas .
Aturan hukum pidana berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana sesuai asas ruang lingkup berlakunya kitab undang-undang hukum pidana. Asas ruang lingkup
berlakunya aturan hukum pidana, ialah 1. Asas Teritorialitas (teritorialitets beginsel)
2. Asas nasionalitas aktif (actief nationaliteitsbeginsel) 3. Asas Nasionalitas Pasif (pasief nationaliteitsbeginsel)
E. Sistem Hukuman
Sistem hukuman yang dicantumkan dalam pasal 10 tentang pidana pokok dan tambahan, menyatakan bahwa hukuman yang dapat dikenakan kepada seseorang pelaku tindak pidana terdiri dari :
a. Hukuman Pokok (hoofd straffen ). 1. Hukuman mati
2. Hukuman penjara 3. Hukuman kurungan 4. Hukuman denda
b. Hukuman Tambahan (Bijkomende staffen) 1. Pencabutan beberapa hak tertentu
D. Hukum Internasional
a. Hukum Pidana Internasional
1. Beberapa pandangan tentang kejahatan internasional dan eksistensi hukum pidana internasional.
Hukum Pidana Internasional merupakan perpaduan antar dua disiplin hukum yang berbeda yaitu aspek pidana dari hukum internasional dan aspek internasional dalam hukum pidana. Hukum Pidana Internasional adalah hukum yang menentukan hukum pidana nasional yang akan diterapkan terhadap kejahatan-kejahatan yang nyata-nyata telah dilakukan bilamana terdapat unsur-unsur internasional di dalamnya. International Criminal Law : “the law which determines what national criminal law will apply to offence actually committed if they contain an international element.”
Schwarzenberger menyatakan bahwa hukum pidana internasional telah memasuki tahap pembentukan. Ia menguraikan 6 (enam) makna dari hukum pidana internasional , yaitu: 1.Hukum pidana internasional dalam arti lingkup territorial hukum pidana nasional, 2.Hukum pidana internasional dalam arti aspek internasional dari hukum pidana nasional, 3.Hukum pidana internasional dalam arti aspek internasionalisasi dari hukum pidana nasional, 4.Hukum pidan internasional dalam arti hukum pidana nasional yang berlaku umum dalam
bangsa-bangsa beradab,
5.Hukum pidan internasional dalam arti kerja sama internasional, 6.Hukum pidan internasional dalam arti material.
Keenam arti hukum pidana internasional tersebut sangat berkaitan.
dan peradilan atas pelaku-pelakunya diserahkan sepenuhnya kepada yurisdiksi kriminal negara yang berkepentingan dalam batas-batas teritorial negara tersebut.
b. Hukum Pidana Internasional
Pengertian yang kedua dari Hukum Pidana Internasional ini adalah menyangkut kejadian-kejadian dimana suatu negara yang terikat pada hukum internasional berkewajiban memperhatikan sanksi-sanksi atas tindakan perorangan sebagaimana ditetapkan di dalam hukum pidana nasionalnya.
Pengertian yang ketiga dari Hukum Pidana Internasional ini adalah ketentuan-ketentuan di dalam
hukum internasional yang memberikan kewenangan atas negara nasional untuk mengambil tindakan atas tindak pidana tertentu dalam batas yurisdiksi kriminalnya dan memberikan kewenangan pula kepada negara nasional untuk menerapkan yurisdiksi kriminal di luar batas teritorialnya terhadap tindak pidana tertentu, sesuai dengan ketentuan-ketentuan di dalam hukum internasional.
Pengertian yang keempat dari hukum pidana internasional adalah ketentuan-ketentuan di dalam hukum pidana nasional yang dianggap sesuai atau sejalan dengan tuntutan kepentingan masyarakat internasional.
Pengertian hukum pidana internasional yang kelima adalah semua aktivitas atau kegiatan penegakan hukum pidana nasional yang memerlukan kerjasama antar negara, baik bersifat bilateral maupun multilateral.
Pengertian hukum pidana internasional yang keenam adalah objek pembahasan dari hukum pidana internasional yang telah ditetapkan oleh PBB sebagai kejahatan internasional dan merupakan pelanggaran atas de iure gentium, seperti : pripasi, genosida, agresi dan kejahatan perang.
karakteristik Hukum Bangsa-Bangsa sebagai hukum antar, bukan diatasnya; negara-negara berdaulat, telah mengesampingkan
kemungkinan menghukum negara karena suatu delinkuensi internasional”. Pernyataan tersebut diperkuat oleh Sir Arnold McNair pada tahun 1944 dalam sebuah memo yang ditujukan kepada komisi kejahatan perang PBB menegaskan sebagai berikut: “State cannot be the subject of criminal lialibility.”yang kemudian didukung oleh Sir John Fishcer Williams yang mengatakan bahwa selama Negara adalah subjek hukum internasional, negara tidak dapat menjadi subjek dari penghukuman atas tindakan yang salah.Dalam kenyataan kehidupan masyarakatinternasional, pendapat tersebut telah melakhirkan persepsi bahwa, hukuman atau upaya untuk menghukum suatu negara itu sendiri merupakan kejahatan terhadap ketertiban (hukum) internasional. Pendapat ini dikuatkan lagi oleh Lauterpacht.
Mueller dan Wise justru sebaliknya menyatakan bahwa tidak ada alas an yang kuat mempersoalkan mengapa hukum internasional harus atau tidak harus mengakui keberadaan kejahatan internasional. Bahkan menurut Mueller dan Wise, jika sekalipun berdasarkan hukum kebiasaan internasional atau perjanjian internasional, negara mengabaikan pengakuan atas tindakan warga negaranya atau tindakan seorang warga negara lain, sebagai kejahatan internasional, maka cara tersebut justru bertentangan dengan kedaulatannya (negara yang bersangkutan) karena keberadaan kejahatan internasional tersebut justru (masih) berada di dalam batas-batas berlakunya hukum internasional itu sendiri. Pandangan kedua ahli hukum pidana internasional tersebut menegaskan bahwa, karakter kolektif dan subjek hukum internasional tidak mutlak mencerminkan pernyataan setuju atau tidaknya atau menentang kmungkinan keberadaan hukum pidana internasional.
Hugo Grotius mengemukakan dua pendekatan dalam menanggapi tanggung jawab negara dalam masalah ekstradisi, yaitu:
1.Patentia, yaitu kegagalan suatu negara untuk mencegah tindakan yang merugikan negara lain,
2.Receptus, yaitu negara yang (wajib) melindungi pelaku kejahatan.
Perbedaan pendapat antara Cassese dan Bassiouni dalam menanggapi hukum kebiasaan internasional sebagai tolak ukur untuk menetapkan suatu kejahatan internasional.
No Cassese Bassiouni
1
Pelakunya harus selalu dalam kapasitas
pemegang jabatan negara dan
melakukan
perbuatan tertentu yang dpandang sebagai
pelanggaran menurut hukum kebiasaan internasional.
Memandang masalah kejahatan dari sisi legalistik positivistik, karena telah diatur dalam suatu perjanjian internasional.
2
Mengutamakan hukum kebiasaan internasional dan kepentimgan universal.
Mengutamakan doktrin dan perjanjian
3
Tidak
menyinnggung pemberlakuan asa universal terhadap kejahatan
internasional sekalipun tidak secara eksplisit.
Tidak mengaitkan kejahatan internasional dan pemberlakuan asa universal.
2. Perkembangan (pengakuan) Hukum Pidana Iinternasional pasca Perang Dunia Kedua
Perkembangan hukum pidana internasional merupakan kelanjutan perkembangan hukum pidana dalam praktik hubungan internasional. Pada tahun 1800 dan awal tahun 1900-an focus perkembangan hukum pidana internasional adalah mengenai konflik yurisdiksi criminal, dan masalah perluasan yuridiksi criminal atau “extraterritorial jurisdiction”.
Setelah berakhirnya Perang Dunia Ke-1, focus perhatian beralih pada masalh tanggung jawab kepala negara (kaisar) dalam persoalan kejahatan perang.Yang melakhirkan doktrin-doktrin mengenai “kejahatan terhadap hukum humaniter” (Crimes against the law of humanity), dan masalah ini baru dapat diselesaikan setelah berakhirnya Perang Dunia kedua. Sejak dilaksanakan peradilan Nuremberg(1946), terbuka seluas-luasnya, bahwa setiap individu dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dalam konteks penegakan hukum internasional.
Prinsip Nurenberg yang sangat terkenal berasal dari pendapat Hakim Mahkamah Nurenberg dari Amerika Serikat yang mengatakan bahwa:
“Kejahatan terhadap kemanusiaan dilakukan oleh manusia, bukan oleh suatu
pribadi yang abstrak, dan hanya dengan menghukum individu-individu yang melakukan kejahatan tersebut, ketentuan hukum internasional dapat diterapkan. pribadi yang abstrak, dan hanya dengan menghukum individu-individu yang melakukan kejahatan tersebut, ketentuan hukum internasional dapat diterapkankejahatan transnasional dan kejahatan internasional.
Basis Hukum Pidana Internasional adalah hukum (pidana) nasional, bukan hukum internasional.
Sekalipun basis hukum pidana internasional adalah hukum pidana nasional akan tetapi keterkaitan antara perkembangan hukum pidana nasional dan hukum internasional tidak dapat diabaikan sama sekali. Hal ini terbukti dari 3 (tiga) peristiwa penting yang dapat dijadikan rujukan dalam membahas asal usul dan perkembangan hukum pidana internasional.
Pertama, ia berasal dari sejarah hukum internasional itu sendiri dengan ditetapkannya, pembajakan di laut (piracy) sebagai kejahatan yang mengancam umat manusia (hostis humanis generis) karena menghancurkan arus lalu lintas perdagangan bahan sandang dan pangan ke berbagai penjuru dunia.
Kedua, berasal dari praktik yang berkembang dalam implementasi hukum internasional.
Ketiga, berasal dari perkembangan Hak Asasi Manusia. Merujuk kepada tiga peristiwa penting diatas yang merupakan sumber hukum pidana internasional, semakin jelas bagaimana kontribusi hukum pidana internasional terhadap perkembangan masyarakat internasional di masa kini dan masa mendatang.
Peristilahan Hukum Pidana Internasional:
 Hukum Pidana Transnasional.
(Transnational Criminal Law).
 Hukum Pidana Supranasional.
(Supranational Criminal Law).
Pada dasarnya, istilah-istilah itu memang mengandung perbedaan makna, meskipun perbedaannya tidaklah begitu prinsip, sebab antara satu dengan yang lainnya masih ada kaitannya sehingga sukar untuk dibedakan.
Istilah-istilah itu sendiri sudah menunjukkan adanya sekumpulan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum pidana yang mengatur tentang kejahatan internasional atau lintas negara. Istilah ini menunjukkan, bahwa kaidah-kaidah dan asas-asas hukum benar-benar internasional, jadi bukan nasional atau domestik.
4. Kegunaan dan relevansi Hukum Pidana Internasional dalam perkembangan hukum pidana di Indonesia.
Selain kegunaan tersebut, pengajaran hukum pidana internasional meghasilkan sumber daya manusia ahli yang tanggap terhadap berbagai masalah nasional dan internasional.
5. Kedudukan Hukum Pidana dalam Ilmu Hukum
Hukum Pidana Internasional memiliki karakteristik tertentu dan kahs berbeda dengan disiplin hukum lainnya, khususnya hukum pidana nasional ataupun dengan hukum internasional. Karakteristik hukum pidana internasional yang khas adalah kedudukan substansi yang menjadi obyek pembahasannya memiliki ”kepribadian ganda” (double personality) dan aplikasi penegakan hukum pidana internasional yang unik di antara penegakan hukum pidana nasional dan hukum internasional di dalam masyarakat internasional modern dewasa ini.
B. KARAKTERISTIK DAN ASAS-ASAS HUKUM PIDANA INTERNASIONAL.
1. Karakteristik Hukum Pidana Internasional
Ada beberapa karakteristik hukum pidana internasional yang perlu diketahui yaitu:
 Hukum pidana internasional terdiri dari kumpulan berbagai disiplin ilmu, seperti hukum
internasional, hukum pidana, perbandingan hukum pidana, dan kriminologi.
 Hukum pidana internasional sebagai cabang ilmu hukum baru yang sangat lengkap memiliki
asas-asas hukum, objek dan metoda keilmuan tersendiri serta memiliki lembaga tersendiri (ICC) untuk menerapkan asas-asas hukum dan kaidah-kaidah hukum pidana internasional ke dalam praktik hubungan dua negara atau lebih.
 Hukum pidana internasional tidak hanya memiliki fungsi deklaratif melainkan sekaligus
memiliki fungsi preventif dan fungsi represif di dalam penerapan yurisdiksi kriminal terhadap kejahatan yang melampaui batas territorial.
 Penegakan hukum pidana internasional lebih diutamakan daripada penegakan
hukum nasional dan hukum nasional dengan segala “kekhususannya”.
 Implemasi hukum pidana internasional dalam praktik, selalu berada di tengah-tengah tarikan
atau konflik kepentingan nasional dan kepentingan internasional,
sehingga tingkat kesulitan dan hambatan yang dihadapi lebih besar di bandingkan dengan implementasi hukum nasional dan hukum internasional.
2. Asas-asas Hukum Pidana Internasional
bukan suatu hal yang bersifat fisik dan artificial, dapat diraba, melainkan hanyalah dapat dirasakan. AH akan merupakan suatu hal yang nyata ketika KH diimplementasikan ke dalam ruang-ruang penahanan, penyelidikan, penuntutan dan ruang siding pengadilan.
Penerapan KH tanpa AH, mengakibatkan penegakan hukum tanpa landasan moralitas yang kokoh dan jauh dari tujuan mencapai kepastian hukum dan keadilan, apalagi mencapai tujuan kemanfaatan.
Asas-asas hukum pidana internasional berpedoman kepada asas-asas hukum pidana nasional dan beberapa asas-asas hukum internasional.
Perkebangan asas-asas hukum pidana internasional sangat dipengaruhi oleh perkembangan kebiasaan hukum internasional dan yurisprudensi hukum internasional. Macam-macam asas hukum pidana internasional: Asas Komplementaritas
 Asas Legalitas
 Asas Pertanggungjawaban Individu
 Asas Pemberlakuan hukum pidana
 Asas Au dedere au punier
 Asas Au dedere au judicare
3. Asas Komplementaris
Asas Komplementaris merupakan asas hukum pidana internasional tersendiri yang lakhir dari perkembangan pembahasan draf Starura ICC ketika mendiskusikan wewenang Mahkamah Permanen Pidana Internasional (Permanent International Criminal Court) atas pelanggaran HAM berat dalam hubungannya dengan pengadilan nasional.
Konsef Komplementaris lakhir sejak Komisi Hukum Internasional menyusun draf Statuta ICC tahun 1954. Perdebatan hangat tentang konsef tersebut muncul ketika dibahas mekanisme implementaris Statuta ICC dalam konteks penerapan ke dalam sistem hukum nasional.
Bassiouni menerangkan bahwa ada 3 (tiga) makna tentang asas komplementaris, yaitu:
 Asas ini berkaitan dengan yurisdiksi, tetapi konsep tersebut bukan norma semata-mata.
 Asas Komplementaris bermuatam substantif.
 Asas ini bersifat “civitas maxima”
Kebijakan pembentukan Mahkamah Pidana Internasional memasukan asas komplementaris dipengaruhi 4 (empat) factor, yaitu:
1. Kepentingan yang sama (mutual interest),
2. Kedaulatan Negara (National sovereignty),
3. Nilai-nilai humanisme dan humanistis (humanistic-humanitarian values),
4. Keperluan adanya Dunia yang tertib (Needs of world order).
Asas Komplementaris secara eksplisit dicantumkan dalam alinea Kesepuluh Mukadimah Statuta ICC.
4. Asas pertanggungjawaban pidana individu
(Individul Criminal Responsibility)
Asas pertanggungjawaban pidana individu dari sudut hukum pidana internasional berbeda dengan sudut pandang hukum pidana yang telah berlaku universal.
Masalah pertanggungjawaban individu tidak dapat dilepaskan dari pertanggungjawaban Negara.
Lakhirnya asas pertanggungjawaban pidana individu dalam hukum pidana internasional merupakan kekhususan dan kekecualian dari prinsip hukum internasional publik, yang tidak mengakui individu sebagai subjek hukum internasional.
Berdasarkan kesepakatan mengenai “tanggung jawab individu sebagai representasi Negara” dalam versi Statuta ICC maka jaminan mengatasi konflik kedua instrument hukum internasional tersebut, telah diakomodasi di dalam Pasal 98 Statuta ICC.
5. Asas Legalitas
Asas legalitas yang akan di bahas adalah asas legalitas yang telah diakui secara universal dalam system hukum pidana nasional yang dianut banyak Negara.
Ketidaksamaan penafsiran atas asas legalitas yang diakui universal di dalam praktik hukum pidana internasional diketahui dari beberapa hal sebagai berikut:
 Bahwa asas noella poena sine lege yang terdapat pada sistem hukum nasional tidk dapat
diterapkan dalam praktik hukum kebiasaan internasional.
 Asas legalitas di dalam hukum pidana internasional bersifat “sui generis” karena harus
memelihara keseimbangan, mempertahankan keadilan dan “fairness” bagi tertuduh dan mempertahankan tertib dunia.
 Penerapan asas legalitas dalam praktik hukum pidana internasional menggunakan standar
 Penerapan asas non-retroaktif dalam praktik hukum pidana internasional dapat dikecualikan
(disampingi).
6. Asas pemberlakuan hukum pidana
Pemberlakuan hukum pidana dalam hubungan internasional sangat berhubungan dengan seberapa jauh kewenangan Negara dapat menuntut dan mengadili kejahatn (pelakunya) baik di dalam maupun di luar batas territorial Negara yang bersangkutan.
Dalam praktik hukum internasional asas-asas berlakunya hukum sering di terjemahkan dengan istilah yurisdiksi. karena pengertian istilah yurisdiksi itu sendiri adalah menunjuk secara langsung pada kewenangan suatu Negara untuk menuntut atau mengadili suatu kejahatan tertentu atau tidak menuntut atau mengadilinya.
7. Asas Teritorial
Asas territorial merupakan asas tertua dalam pemberlakuan Undang-undang pidana.
Asas ini menemukan asal-usulnya pada teorikedaulatan Negara (J.Bodin), dan dikembangkan oleh C. Beccaria.
Cassae, mengemukakan empat keuntungan menggunakan asas territorial (yurisdiksi teritorial) sebagai berikut:
1. Asas “lex locus deliciti” merupakan asas yang tepat untuk memudahkan
mengumpulkan bukti-bukti berkaitan dengan terjadinya tindak pidana,
2. Asas “lex locus deliciti” adalah jaminan tempat dimana tertuduh dapat menggunakan haknya
sesuai dengan hukum yang berlaku di Negara setempat,
3. Terhadap kejahatan internasional, asas “lex locus delicity” sangat berguna bagi masyarakat
suatu Negara di mana kejahatan tersebut dilakukan dan telah menjadi korban kejahatan tersebit. Selain itu hakim, penuntut dan penasehat hukum adalah berasal dari Negara di mana kejahatan itu terjadi sehingga dijamin objekvitas dari kebenaran suatu perkara.
4. Penggunaan asas “lex locus deliciti” telah mengukuhkan kewenangan administrasi peradilan
di Negara tempat terjadinya kejahatan dan Negara
Di dalam Sistem Hukum Pidana Nasional, asas penting pidana, dan terdapat di dalam KUHP hampir di seluruh Negara.
8. Asas Nasionalitas
Asas Nasionalitas merupakan asas kedua berlakunya hukum pidana nasional yang penting setelah asas territorial. Hal ini masuk akal karena tidak mungkin ada suatu wilayah (teritorial) Negara tanpa penduduk.
Di dalam hukum nasional wajib menuntut dan menghukum orang asing yang melakukan kejahatan terhadap warga Negaranya di manapun kejahatan tersebut di lakukan. Prinsip ini di kenal dengan asas nasional.
Asas nasional atau asas personal telah diatur di dalam kitab UU Hukum Pidana di seluruh Negara.
Penerapan asas nasional tidak mungkin dilaksanakan sepenuhnya jika seseorang warga Negara setelah melakukan suatu tindakan pidana di Negara tertentu, berada di Negara lain dan berganti kewarganegaraan. Dalam hal tersebut, penerapan asas nasional tidak serta-merta berbenturan atau bertentangan dengan prinsip kedaulatan (hukum) negara dan prinsip non-intervensi.
Merujuk pada praktik penerapan asas nasional dan penerapan asas territorial tampaknya saat ini akan semakin banyak kasus-kasus kejahatan transnasional yang melibatkan dua Negara atau lebih atau melibatkan dua kewarganegaraan atau lebih.
9. Asas Universal
Pengakuan asas universal di dalam khasanah hukum internasional didasarkan pada dua pertimbangan, yaitu:
 Bahwa terjadinya peristiwa-peristiwa kejahatan yang memerlukan perhatian dan tindakan
yang bersifat universal (pendekatan normatif).
 Asas-asas yurisdiksi lain tidak mampu menuntut dan mengadili pelaku kejahatan dimaksud
yang melarikan diri ke Negara lain atau memang mendapat perlindungan dari Negara lain (pendekatan pragmatis).
Pemberlakuan asas universal dalam kejahatan-kejahatan yang menjadi “core crimes” Statuta ICC tidak serta merta menganut asas universal.
konvensi ini telah ada kewajiban semua Negara untuk memidana pelanggaran terhadap perdamaian yang menuntut pertanggungjawaban individual.
Penerapan asas universal dalam praktik peradilan atas kasus-kasus kejahatan jus cogens yang melibatkan kepala negara sering mendapat reaksi politik yang keras dan perdebatan yang hangat di antara para ahli hukum internasional dan hukum pidana nasional.
Merujuk kepada perkembangan pemberlakuan yurisdiksi kriminal, semakin terbukti bahwa model pendakatan konvensional sejak dibentuknya Code de Panale (1881) Prancis, dan Wetboek van Strafecht (1886) Belanda, telah dipandang kurang memadai dalam praktik penegakan hukum pidana internasional.
2. Hukum Privat (HK Sipil) terdiri dari;
A. Hukum Sipil dalam arti Luas
1. Hukum Perdata
A. ISTILAH DAN PENGERTIAN HUKUM PERDATA
Istilah hukum perdata pertama kali diperkenalkan oleh Prof. Djojodiguno sebagai teremahan dari burgerlijkrecht pada masa penduduka jepang. Di samping istilah itu, sinonim hukum perdata adalah civielrecht dan privatrecht.
Para ahli memberikan batasan hukum perdata, seperti berikut. Van Dunne mengartikan hukum perdata, khususnya pada abad ke -19 adalah:
“suatu peraturan yang mengatur tentang hal-hal yang sangat ecensial bagi kebebasan individu, seperti orang dan keluarganya, hak milik dan perikatan. Sedangkan hukum public memberikan jaminan yang minimal bagi kehidupan pribadi”
Pendapat lain yaitu Vollmar, dia mengartikan hukum perdata adalah:
“aturan-aturan atau norma-norma yang memberikan pembatasan dan oleh karenanya memberikan perlindungan pada kepentingan prseorangan dalam perbandingan yang tepat antara kepentingan yang satu dengna kepentingan yang lain dari orang-orang dalam suatu masyarakat tertentu terutama yang mengenai hubungan keluarga dan hubungan lalu lintas”
tetapi badan hukum juga termasuk subyek hukum, jadi untuk pengertian yang lebih sempurna yaitu keseluruhan kaidah-kaidah hukum(baik tertulis maupun tidak tertulis) yang mengatur hubungan antara subjek hukum satu dengan yang lain dalam hubungan kekeluargaan dan di dalam pergaulan kemasyarakatan.
Di dalam hukum perdata terdapat 2 kaidah, yaitu: 1. Kaidah tertulis
Kaidah hukum perdata tertulis adalah kaidah-kaidah hukum perdata yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi.
2. Kaidah tidak tertulis
Kaidah hukum perdata tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum perdata yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam praktek kehidupan masyarakat (kebiasaan)
Subjek hukum dibedakan menjadi 2 macam, yaitu:
1. Manusia
Manusia sama dengan orang karena manusia mempunyai hak-hak subjektif dan kewenangan hukum.
2. Badan hukum
Badan hukum adalah kumpulan orang-orang yang mempunyai tujuan tertentu, harta kekayaan, serta hak dan kewajiban.
Subtansi yang diatur dalam hukum perdata antara lain: 1. Hubungan keluarga
Dalam hubungan keluarga akan menimbulkan hukum tentang orang dan hukum keluarga. 2. Pergaulan masyarakat
Dalam hubungan pergaulan masyarakat akan menimbulakan hukum harta kekayaan, hukum perikatan, dan hukum waris.
Dari berbagai paparan tentang hukum perdata di atas, dapat di temukan unsur-unsurnya yaitu:
1. Adanya kaidah hukum
2. Mengatur hubungan antara subjek hukum satu dengan yang lain.
3. Bidang hukum yang diatur dalam hukum perdata meliputi hukum orang, hukum keluarga,
hukum benda, hukum waris, hukum perikatan, serta hukum pembuktia dan kadaluarsa.[1] B. HUKUM PERDATA MATERIIL DI INDONESIA
Hukum perdata yang berlaku di Indonesi beranekaragam, artinya bahwa hukum perdata yang berlaku itu terdiri dari berbagai macam ketentuan hukum,di mana setiap penduduk itu tunduk pada hukumya sendiri, ada yang tunduk dengan hukum adat, hukum islam , dan hukum perdata barat. Adapun penyebab adanya pluralism hukum di Indonesia ini adalah
1. Politik Hindia Belanda
b. Golongan timur asing. Timur asing dibagi menjadi Timur Asing Tionghoa dan bukan
Tionghoa, Seperti Arab, Pakistan. Di berlakukan hukum perdata Eropa, sedangkan yang bukan Tionghoa di berlakukan hukum adat.
c. Bumiputra,yaitu orang Indonesia asli. Diberlakukan hukum adat.
Konsekuensi logis dari pembagian golongan di atas ialah timbulnya perbedaan system hukum yang diberlakukan kepada mereka.
2. Belum adanya ketentuan hukum perdata yang berlaku secara nasional.
C. SUMBER HUKUM PERDATA TERTULIS
Pada dasarnya sumber hukum dapat dibedakan menjadi 2 macam: 1. Sumber hukum materiil
Sumber hukum materiil adalah tempat dari mana materi hukum itu diambil. Misalnya hubungan social,kekuatan politik, hasil penelitian ilmiah, perkembangan internasional, dan keadaan georafis.
2. Sumber hukum formal
Sumber hukum formal merupakan tempat memperoleh kekuatan hukum. Ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum formal itu berlaku.
Volamar membagi sumber hukum perdata menjadi empat mecam. Yaitu KUHperdata ,traktat, yaurisprudensi, dan kebiasaan. Dari keempat sumber tersebut dibagi lagi menjadi dua macam, yaitu sumber hukum perdata tertulis dan tidak tertulis. Yang di maksud dengan sumber hukum perdata tertulis yaitu tempat ditemukannya kaidah-kaidah hukum perdata yang berasal dari sumber tertulis. Umumnya kaidah hukum perdata tertulis terdapat di dalam peraturan perundang-undanang, traktat, dan yurisprudensi. Sumber hukum perdata tidak tertulis adalah tempat ditemukannya kaidah hukum perdata yang berasal dari sumber tidak tertulis. Seperti terdapat dalam hukum kebiasaan.
Yang menjadi sumber perdata tertulis yaitu:
1. AB (algemene bepalingen van Wetgeving) ketentuan umum permerintah Hindia Belanda
2. KUHPerdata (BW)
3. KUH dagang
4. UU No 1 Tahun 1974
5. UU No 5 Tahun 1960 Tentang Agraria.
Yang dimaksud dengan traktat adalah suatu perjanjian yang dibuat antara dua Negara atau lebih dalam bidang keperdataan. Trutama erat kaitannya dengan perjanjian internasioanl. Contohnya, perjanjian bagi hasil yang dibuat antara pemerintah Indonesia denang PT Freeport Indonesia.