• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pelaksanaan Putusan Pengadilan yang Mempunyai Kekuatan Hukum Tetap: Studi Kasus Pelaksanaan Putusan Pengadilan Negeri Pemalang No. 08Pdt.G2003PN.Pml T1 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pelaksanaan Putusan Pengadilan yang Mempunyai Kekuatan Hukum Tetap: Studi Kasus Pelaksanaan Putusan Pengadilan Negeri Pemalang No. 08Pdt.G2003PN.Pml T1 BAB II"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

14

Bab II

Hasil Penelitian dan Analisis

Pada Bab II ini akan dipaparkan beberapa-beberapa penjelasan terkait dengan penelitian “Pelaksanaan Putusan Pengadilan Yang Mempunyai Kekuatan Hukum Tetap ( Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Pemalang No. 08/Pdt.G/2003/PN.Pml)”. yang meliputi : Tinjuan Pustaka , hasil penelitian dan analisis hasil penelitian.

A. Tinjuan Pustaka

A.1. Tentang Eksekusi

Dalam hal tentang eksekusi akan dibahas mengenai pengertian, dasar hukum eksekusi, syarat-syarat dalam hukum eksekusi, dan tata cara pelaksanaan eksekusi.

A1.1 Pengertian Eksekusi

Eksekusi adalah melaksanakan secara paksa (upaya hukum paksa) putusan Pengadilan dengan bantuan kekuatan umum. Untuk kesamaan penggunaan istilah, maka kata Executie yang berasal dari bahasa asing, sering

diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, yaitu ”Pelaksanaan”.8

Kata Executie diadaptir ke dalam Bahasa Indonesia dengan ditulis menurut bunyi dari kata itu sesuai dengan ejaan Indonesia, yaitu ”Eksekusi”. Kata ini sudah populer serta diterima oleh insan hukum di Indonesia, sehingga untuk selanjutnya dalam tulisan ini akan mengunakan kata ”Eksekusi” untuk pengertian “pelaksanaan” putusan dalam perkara perdata.9

Pengertian eksekusi sama dengan pengertian “menjalankan putusan” (ten uitvoer legging van vonnissen), yakni melaksanakan “secara paksa” putusan

pengadilan dengan bantuan kekuatan umum, apabila pihak yang kalah tidak mau

8

M. Luqmanul Hakim Bastary, Judul pe data Ju al EksekusiPutusanPe ka a Pe data , “e a g,

2010

9

(2)

15 menjalankannya secara sukarela. Dengan kata lain, eksekusi (pelaksanaan putusan) adalah tindakan yang dilakukan secara paksa terhadap pihak yang kalah

dalam perkara.10

Dalam pengertian lain, eksekusi adalah hal menjalankan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Putusan pengadilan yang dieksekusi adalah putusan yang mengandung perintah kepada salah satu pihak untuk membayar sejumlah uang atau juga pelaksanaan putusan hakim yang memerintahkan pengosongan benda tetap, sedangkan pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan itu secara sukarela sehingga memerlukan upaya paksa dari

pengadilan untuk melaksanakannya.11

Dari pengertian diatas, maka eksekusi diartikan sebagai upaya untuk merealisasikan kewajiban dari pihak yang kalah dalam perkara guna memenuhi prestasi sebagaimana ditentukan dalam putusan hakim, melalui perantaraan panitera/jurusita/jurusita pengganti pada pengadilan tingkat pertama dengan cara paksa karena tidak dilaksanakannya secara sukarela. Pelaksanaan putusan hakim tersebut merupakan proses terakhir dari proses penyelesaian perkara perdata dan pidana yang sekaligus juga merupakan prestise dari lembaga peradilan itu sendiri.12

A.1.2 Dasar Hukum Eksekusi

Sebagai dari realisasi dari putusan hakim terhadap pihak yang kalah dalam

perkara, maka masalah eksekusi telah diatur dalam berbagai ketentuaan 13:

 Pasal 195 - Pasal 208 HIR dan Pasal 224 HIR (tentang tata

cara eksekusi secara umum);

 Pasal 225 HIR (tentang putusan yang menghukum tergugat

untuk melakukan suatu perbuatan tertentu);

10Ha ahap, Yahya, M, “.H. Rua g Li gkup Per asalaha Eksekusi Bida g Perdata ,

PT.Gramedia,Jakarta, 1988, hal 1.

11A dul Ma a , Judul Makalah Eksekusi & Lela g Dala Huku Acara Perdata , Jakarta, 2011,

hal 1.

12 Luqmanul Hakim Bastary, Op.Cit., hal 1

(3)

16

 Sedangkan Pasal 209 - Pasal 223 HIR yang mengatur

tentang ”sandera” (gijzeling) tidak lagi di berlakukan secara efektif.

 Pasal 180 HIR, SEMA Nomor 3 Tahun 2000 dan SEMA

Nomor 4 Tahun 2001 Tentang Pelaksanaan Putusan yang

belum mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu

pelaksanaan serta merta (Uitvoerbaar bij voorraad dan

provisi);

 Pasal 1033 Rv (tentang eksekusi riil);

 Pasal 54 dan Pasal 55 Undang-undang Nomor 48 Tahun

2009 Tentang Pelaksanaan Putusan Pengadilan A.1.3. Syarat-syarat dalam Eksekusi

Adapun isi dalam menjalankan putusan pengadilan, tidak lain dari pada melaksanakan isi putusan pengadilan, yakni melaksanakan secara paksa putusan pengadilan dengan bantuan kekuatan hukum apabila pihak yang kalah tidak mau

menjalankannya secara sukarela.14

Adapun diantara syarat-syarat adalah sebagai berikut

a. Menjalankan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap

Pada dasar prinsipnya dalam pelaksanaan putusan secara paksa merupakan tindakan paksa yang dilakukan oleh pengadilan dengan bantuan kekuatan hukum, guna untuk menjalankan suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

Dengan kata lain, selama dalam putusan hakim belum memperoleh kekuatan hukum tetap, maka upaya dan tindakan eksekusi belum berfungsi dan dalam pelaksanaan putusan secara paksa baru berfungsi sebagai tindakan hukum yang sah dan memaksa, terhitung sejak tanggal putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dan pihak tergugat (yang kalah) tidak mau mentaati dan memenuhi putusan secara sukarela

14

(4)

17

Ada beberapa bentuk pengecualian yang dibenarkan undang-undang yang

memperkenankan eksekusi dapat dijalankan di luar putusan tersebut yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, yaitu:

1) Pelaksanaan putusan lebih dahulu

2) Pelaksanaan putusan provisi

3) Akta perdamaian

4) Eksekusi Terhadap Grosse Akta

5) Eksekusi atas Hak Tanggungan dan Jaminan Fidusia

b. Putusan tidak dijalankan secara sukarela

Eksekusi dalam suatu perkara baru tampil dan berfungsi apabila pihak yang kalah tidak bersedia mentaati dan menjalankan putusan secara sukarela. Jika pihak yang kalah tidak menjalankan pemenuhan putusan secara sukarela akan menimbulkan konsekuensi hukum berupa tindakan paksa yang disebut eksekusi.

Dengan demikian, salah satu prinsip yang melekat pada eksekusi, yaitu menjalankan eksekusi secara paksa marupakan tindakan yang timbul apabila pihak yang kalah tidak menjalankan putusan secara sukarela. Jika pihak yang kalah bersedia mentaati dan menjalankan putusan secara sukarela, maka tindakan

eksekusi tidak diperlukan.

c..Putusan yang dapat dieksekusi bersifat kondemnatoir.

Prinsip lain yang mengatakan harus terpenuhi atau lengkap adalah putusan tersebut memuat amar kondemnatoir (condemnatoir). Hanya suatu dalam putusan yang bersifat kondemnatoir yang bisa dieksekusi, karena sebuah putusan yang dalam amar atau diktumnya mengandung unsur penghukuman. Putusan yang amar atau diktumnya tidak mengandung unsur penghukuman, tidak dapat dieksekusi.

d. Eksekusi atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri

(5)

18 terhadap suatu putusan pengadilan dengan berpedoman pada kewenangan tersebut.

A.1.4.Macam-Macam Eksekusi

Pada dasarnya ada (2) bentuk eksekusi ditinjau dari sasaran yang hendak dicapai oleh hubungan hukum yang tercantum dalam putusan pengadilan, yaitu melakukan suatu tindakan nyata atau tindakan riil, sehingga eksekusi semacam ini disebut “eksekusi riil”, dan melakukan pembayaran sejumlah uang. Eksekusi seperti ini selalu disebut “eksekusi pembayaran uang”15

Demikian juga dalam praktek Peradilan Agama dikenal 2 (dua) macam eksekusi, yaitu: (1) eksekusi riil atau nyata sebagaimana diatur dalam Pasal 200 ayat (11) HIR, berisi yang meliputi penyerahan pengosongan, pembongkaran, pembagian, dan melakukan sesuatu; (2) eksekusi pembayaran sejumlah uang melalui lelang atau executorial verkoop, sebagaimana tersebut dalam Pasal 200

HIR/Pasal.16

a.Eksekusi Riil

Eksekusi riil adalah eksekusi yang menghukum kepada pihak yang kalah dalam perkara untuk melakukan suatu perbuatan tertentu, misalnya menyerahkan barang, mengosongkan tanah atau bangunan, membongkar, menghentikan suatu perbuatan tertentu dan lain-lain sejenis itu. Eksekusi ini dapat dilakukan secara langsung (dengan perbuatan nyata) sesuai dengan amar putusan tanpa melalui proses pelelangan.

2. Eksekusi Pembayaran Sejumlah Uang

Eksekusi pembayaran sejumlah uang adalah eksekusi yang mengharuskan kepada pihak yang kalah untuk melakukan pembayaran sejumlah uang (Pasal 196 HIR). Eksekusi ini adalah kebalikan dari eksekusi riil dimana pada eksekusi bentuk kedua ini tidaklah dapat dilakukan secara langsung sesuai dengan amar putusan

15Ha ahap, Yahya, M, “.H. Rua g Li gkup Pe asalaha Eksekusi Bida g Pe data ,

PT.Gramedia, Jakarta, 1988 hal 20

16 A dul Ma a , Judul Makalah Eksekusi & Lela g Dala Huku A a a Pe data , Jaka ta,

(6)

19 seperti pada eksekusi riil, melainkan haruslah melalui proses pelelangan terlebih dahulu , karena yang akan dieksekusi adalah sesuatu yang bernilai uang

Perbedaan eksekusi riil dengan eksekusi pembayaran sejumlah uang :17

b.Eksekusi Riil

-Eksekusi riil hanya mungkin terjadi berdasar putusan pengadilan :

 Yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap atau

 Yang bersifat dijalankan lebih dulu (uitvoerbaar bij voorraad)

atau

 yang berbentuk provisi atau yang berbentuk akta perdamaian

disidang pengadilan.

b.Eksekusi dalam Pembayaran Sejumlah Uang

- Eksekusi pembayaran sejumlah uang tidak hanya didasarkan atas putusan pengadilan, tetapi dapat juga didasarkan atas bentuk akta tertentu yang oleh undang-undang disamakan nilainya dengan putusan yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap :

 grosse akta pengakuan hutang;

 Sertifikat Hak Tanggungan dan

 Jaminan fidusia.

A.1.5.Tata Cara Pelaksanaan Eksekusi

Tata cara eksekusi riil menurut salah satu para ahli yaitu Prof. Dr. H. ABDUL MANAN, SH.,SIP.,M.Hum Hakim Agung, Mahkamah Agung RI dengan judul makalahnya Eksekusi dan Lelang Dalam Hukum Acara Perdata adalah sebagai berikut atau dalam menjalankan eksekusi terhadap perkara-perkara yang menjadi wewenang Pengadilan Negeri dapat ditempuh tahapan-tahapan

sebagai berikut :18

17

http://legal-community.blogspot.co.id/2011/08/ruang-lingkup-eksekusi-bidang-perdata.html

18 Makalah ini disampaikan pada acara RAKERNAS Mahkamah Agung - RI di Hotel Mercuri Ancol

(7)

20 a. Permohonan pihak yang menang.

Jika pihak yang kalah tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan secara sukarela, maka pihak yang menang dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan yang memutuskan perkara tersebut untuk dijalankan secara paksa hal-hal yang telah disebutkan dalam amar putusan.

Permohonan pengajuan eksekusi kepada Ketua Pengadilan merupakan suatu keharusan yang harus dilakukan oleh pihak yang menang agar putusan tersebut dapat dijalankan secara paksa sebagaimana tersebut dalam Pasal 196 HIR. Jika para pihak yang menang ingin putusan Pengadilan supaya dijalankan secara paksa, maka ia harus membuat surat permohonan yang diajukan kepada Ketua Pengadilan yang memutus perkara, memohon agar putusan supaya dijalankan secara paksa karena pihak yang kalah tidak mau melaksanakan isi putusan tersebut. Tanpa ada surat permohonan tersebut maka eksekusi tidak dapat dilaksanakan.

b. Penaksiran biaya eksekusi.

Jika Ketua Pengadilan telah menerima permohonan eksekusi dari pihak yang berkepentingan, maka segera memerintahkan meja satu untuk menaksir biaya eksekusi tersebut yang diperlukan dalam proses pelaksanaan eksekusi yang dilaksanakannya.

Biaya yang diperlukan meliputi biaya pendaftaran eksekusi, biaya saksi-saksi dan biaya pengamanan serta lain-lain yang dianggap perlu. Setelah biaya eksekusi tersebut dibayar oleh pihak yang menghendaki eksekusi kepada Panitera atau petugas yang ditunjuk untuk mengurus biaya perkara, barulah permohonan eksekusi tersebut didaftarkan dalam register eksekusi.

c. Melaksanakan peringatan (Aan maning)

(8)

21 Memberikan peringatan (Aan maning) dengan cara : (1) melakukan sidang insidentil yang dihadiri oleh Ketua Pengadilan, Panitera dan pihak yang kalah, (2) memberikan peringatan atau tegoran supaya ia menjalankan putusan Hakim dalam waktu delapan hari, (3) membuat berita acara Aan maning dengan mencatat semua peristiwa yang terjadi di dalam sidang tersebut sebagai bukti othentik, bahwa Aan maning telah dilakukan dan berita acara ini merupakan landasan bagi perintah eksekusi yang akan dilaksanakan selanjutnya.

Apabila dari pihak yang kalah tidak hadir dalam sidang Aan maning, dan ketidakhadirannya dapat dipertanggungjawabkan, maka ketidakhadirannya itu dapat dibenarkan dan pihak yang kalah itu harus dipanggil kembali untuk Aan maning yang kedua kalinya. Jika ketidakhadiran pihak yang kalah setelah dipanggil secara resmi dan patut tidak dapat dipertanggungjawabkan, maka gugur haknya untuk dipanggil lagi, tidak perlu lagi proses sidang peringatan dan tidak ada tenggang masa peringatan. Secara ex officio Ketua Pengadilan dapat langsung mengeluarkan surat penetapan perintah eksekusi kepada Panitera/Jurusita.

d. Mengeluarkan surat perintah eksekusi

Apabila waktu yang telah ditentukan dalam peringatan (Aan maning) sudah lewat dan ternyata pihak yang kalah tidak menjalankan putusan, dan tidak mau menghadiri panggilan sidang peringatan tanpa alasan yang sah, maka Ketua Pengadilan mengeluarkan perintah eksekusi dengan ketentuan : (1) perintah eksekusi itu berupa penetapan, (2) perintah ditujukan kepada Panitera atau Jurusita yang namanya harus disebut dengan jelas, (3) harus menyebut dengan jelas nomor perkara yang hendak dieksekusi dan objek barang yang hendak dieksekusi, (4) perintah eksekusi dilakukan di tempat letak barang dan tidak boleh di belakang meja, (5) isi perintah eksekusi supaya dilaksanakan sesuai dengan amar putusan.

(9)

22 waktu yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan. Pendapat yang terakhir ini banyak dipergunakan oleh Pengadilan Negeri setempat dalam melaksanakan eksekusi riil dengan pertimbangan bahwa pendapat yang terakhir itu lebih logis daripada pendapat yang pertama. Permohonan pelaksanaan eksekusi penting untuk kelengkapan administrasi eksekusi, di samping itu ada permohonan pelaksanaan eksekusi diperlukan untuk adanya kepastian pelaksanaan eksekusi itu sendiri, sebab tidak sedikit pihak yang kalah dan tidak mau melaksanakan putusan setelah diadakan peringatan bersedia melaksanakan putusan tersebut secara sukarela,

sehingga tidak perlu dilaksanakan eksekusi lagi.19

1. Perlindungan HukumTerhadapPemegangHakAtasTanah

1.1 Pengertian Hak Atas Tanah

Hak atas tanah dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) UUPA tertulis bahwa “(1) Atas

dasar menguasai dari negara ditentukan adanya macam-macam hak atas tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai baik secara sendirian maupun secara bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.

(2) Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat 1 pasalmemberi wewenang untuk mempergunakan tanah-tanah yang bersangkutan sedemikian rupa, begitu pula bumi dan air serta ruang udara di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.”

Dalam Pasal 16 Ayat (1) UUPA, dengan jelas tertulis macam-macam hak atas tanah yang dapat dimiliki baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain. Hak atas tersebut adalah :

a. Hak milik (Pasal 20 UUPA)

Pengertian hak milik dalam Undang – Undang Pokok Agraria seperti yang

dirumuskan dalam Pasal 20 yang disebutkan dalam ayat 1 Hak Milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah.

b. Hak guna usaha (pasal 28 UUPA)

Menurut Pasal 28 ayat (1) UUPA yang di maksud dengan Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang di kuasai oleh Negara,

19

(10)

23 dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam Pasal 29, guna perusaan pertanian, perikanan, atau perternakan.

c. Hak guna bangunan (pasal 35 UUPA)

Hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah yang bukan miliknya dalam jangka waktu paling lama 30 tahun, dan dapat diperpanjang 20 tahun (Pasal 35 UUPA ). Hak guna bangunan diatur dalam Pasal 35-40 UUPA jo. Pasal 19-38 PP Nomor 40 tahun 1996.

d. Hak Pakai (pasal 41 UUPA)

hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau milik orang lain dengan jangka waktu yang tidak tertentu (Pasal 41 UUPA).

1.2 Perlindungan Hukum Pemegang Hak Atas Tanah

Pengertian perlindungan hukum terutama bagi rakyat dengan “tindak pemerintah” sebagai titik sentral, (dikaitkan dengan perlindungan hukum bagi rakyat) sehingga dibedakan dua macam perlindungan hukum bagi rakyat, yaitu:

perlindungan hukum yang preventif dan perlindungan hukum yang represif.20

Prinsip perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindak pemerintahan bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut sejarahnya di Barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak azazi manusia diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban pada masyarakat dan pemerintah.

Sejalan dengan itu, A.J.Milne dalam tulisannya yang berjudul “ The Idea

of Human Rights” mengatakan : “A regimewhich protects human rights is good, one which fails to protect them or worse still does not acknowledge their existence

is bad”. Dengan demikian dalam usaha merumuskan prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi rakyat berdasarkan Pancasila, diawali dengan uraian tentang konsep dan deklarasi tentang hak-hak azazi manusia. Dalam hal ini diuraikan tentang beberapa aspek yang menyangkut konsep dan deklarasi tentang hak-hak azazi

20Philipus M. Hadjo ,

(11)

24 manusia, yaitu:istilah, perkembangan konsep tentang hak-hak azazi manusia, deklarasi tentang hak-hak azazi manusia, hak-hak azazi manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pancasila dan hak-hak azazi manusia dan perumusan suatu daftar hak-hak azazi manusia di Indonesia.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia Perlindungan berasal dari kata lindung yang memiliki arti mengayomi, mencegah, mempertahankan, dan membentengi. Sedangkan perlindungan berarti konservasi, pemeliharaan, penjagaan, asilun dan bunker.

Teori perlindungan yang dikemukakan oleh salah satu ahli yaitu Philipus M. Hadjon, menyebutkan bahwa perlindungan hukum terbagi atas dua, yaitu perlindungan hukum represif dan preventif. Perlindungan hukum represif yaitu perlindungan hukum yang dilakukan dengan cara menerapkan sanksi terhadap pelaku agar dapat memulihkan hukum kepada keadaan sebenarnya. Perlindungan jenis ini biasanya dilakukan di Pengadilan. Kaitannya dengan perlindungan hukum represif bertujuan untuk memberikan keadilan dalam proses persidangan

apabila terjadi sengketa hak atas tanah.21

Keberadaan hukum dalam masyarakat sangatlah penting, dalam kehidupan dimana hukum dibangun dengan dijiwai oleh moral konstitusionalisme, yaitu menjamin kebebasan dan hak warga, maka mentaati hukum dan konstitusi pada hakekatnya mentaati imperative. Hak-hak asasi warga harus dihormati dan ditegakkan oleh pengembang kekuasaan Negara dimanapun dan kapanpun, ataupun juga ketika warga menggunakan kebebasannya untuk ikut serta atau untuk mengetahui jalannya proses pembuatan kebijakan publik.

Negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan pemerintah dilandasi dua prinsip Negara hukum, yaitu:

1. Perlindungan Hukum yang Preventif

Dibandingkan dengan sarana perlindungan hukum yang represif, sarana perlindungan hukum yang preventif dalam perkembangannya agak ketinggalan,

21

(12)

25 namun akhir-akhir ini disadari pentingnya sarana perlindungan hukum yang preventif terutama dikaitkan dengan azaz “freies ermessen” (discretionaire bevoegdheid). Di Belanda terhadap “beschikking” belum banyak diatur mengenai

sarana perlindungan hukum bagi rakyat yang sifatnya preventif, tetapi terhadap bentuk “besluit” yang lain misalnya “ontwerp-bestemmings plannen”, “ontwerp streek plannen” (dalam wet op de Ruimtelijk Ordening) sudah diatur sarana preventif berupa keberatan (inspraak). Dengan sarana itu, misalnya sebelum pemerintah menetapkan bestemmingplannen, rakyat dapat mengajukan keberatan,

atau dimintai pendapatnya mengenai rencana keputusan tersebut.22 Perlindungan

hukum yang preventif perlindungan hukum kepada rakyat yang diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah menjadi bentuk yang menjadi definite.

Perlindungan hukum preventif yaitu perlindungan hukum yang bertujuan untuk mencegah terjadinya suatu sengketa. Perlindungan hukum jenis ini misalnya sebelum Pemerintah menetapkan suatu aturan atau keputusan, rakyat dapat mengajukan keberatan, atau dimintai pendapatnya mengenai rencana keputusantersebut.

Dapatkan dikatakan perlindungan ini memberikan atau mengajukan keberatan untuk memperoleh suatu bentuk perlindungan hukum yang ada sehingga dapat mengetahui dirinya mendapatkan perlindungan sebagai pemilik hak atas tanah yang ada.

2. Perlindungan Hukum yang Represif

Secara garis, sistem hukum di dunia modern terdiri atas dua sistem induk, yaitu “civil law system” (modern Roman) dan “common law system”. Sistem hukum yang berbeda melahirkan perbedaan mengenai bentuk dan jenis sarana perlindungan hukum bagi rakyat yang dalam hal ini sarana perlindungan hukum

represif yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.23

Sehingga pada dalam perlindungan hukum bagi rakyat yang represif. Perlindungan hukum yang sifatnya preventif didahulukan dalam urutan uraiannya

22 Philipus M Hudjon, Op.Cit., hal. 3 23

(13)

26 karena pada hakekatnya dari segi urutan pikir (logika) yang preventif mendahului

yang represif24

Kedua bentuk perlindungan hukum diatas bertumpu dan bersumber pada pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia serta berlandaskan prinsip Negara Hukum. Jika dikaitkan dengan hak atas tanah sangat erat pada dasarnya adalah pengakuan hak asasi manusia yang dalam hal ini dirampas oleh suatu individu yang ingin mennguasai hak secara menyeluruh.

Jadi kalau dilihat dari dua perlindungan hukum diatas jika dikaitkan dengan pemegang hak atas tanah dapat dilihat bahwa menurut Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) bertujuan memberikan pengaturan mengenai kepemilikan hak atas tanah, agar tercipta keadilan melalui pemberian perlindungan hukum terhadap orang yang berhak atas tanah. Pasal 23, 32 dan 38 UUPA ditujukan kepada para pemegang hak yang bersangkutan, dengan maksud agar mereka memperoleh kepastian tentang haknya itu. Sedangkan Pasal 19 ditujukan kepada pemerintah sebagai suatu intruksi, yang bersifat “ rechts-kadaster” artinya yang bertujuan mnjamin kepastian hukum Menurut Soedikno Mertokusumo, wewenang yang dipunyai oleh pemegang hak atas tanah terhadap

tanahnya dibagi menjadi 2, yaitu :25

1. Wewenang Umum

Wewenang yang bersifat umum yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya, termasuk juga tubuh bumi dan air dan ruang yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi (Pasal 4 ayat 2 UUPA)

2. Wewenang Khusus

24

Ibid hal. 3

25 Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, edisi keempat, cet. II, Yogyakarta

(14)

27 Wewenang yang bersifat Khusus yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya sesuai dengan macam hak atas tanahnya, misalnya wewenang pada tanah Hak Milik adalah dapat untuk kepentingan pertanian dan atau mendirikan bangunan, wewenang pada tanah Hak Guna Bangunan adalah mengunakan tanah hanya untuk mendirikan dan mempunyai bangunan diatas tanah yang bukan miliknya, wewenang pada tanah Hak Guna Usaha adalah hanya menggunakan tanah untuk kepentingan perusahaan dibidang pertanian, perikanan, perternakan, atau perkebunan..

Di dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 51 PRP Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya (UU No 51 PRP 1960) menyatakan bahwa pemakaian tanah tanpa izin dari yang berhak maupun kuasanya yang sah adalah perbuatan yang dilarang, dan dapat diancam dengan hukuman pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan, atau denda sebanyak-banyaknya Rp 5.000 (lima ribu Rupiah) sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU No 51 PRP 1960.

Pasal 6

1.Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Pasal 3,4 dan 5, maka dapat dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamauya 3 (tiga) bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp 5.000,- (lima ribu rupiah);

a.barangsiapa memakai tanah tanpa ijin yang berhak atau kuasanya yang sah, dengan ketentuan, bahwa jika mengenai tanah-tanah perkebuaan dan hutan dikecualikan mereka yang akan diselesaikan menurut pasal 5 ayat 1;

b.barangsiapa mengganggu yang berhak atau kuasanya yang sah di dalam menggunakan haknya atas suatu bidang tanah;

c.barangsiapa menyuruh, mengajak, membujuk atau menganjurkan dengan lisan atau tulisan untuk melakukan perbuatan yang dimaksud dalam pasal 2 atau sub b dari ayat 1 pasal ini;

(15)

28 Perlindungan hukum kepemilikan tanah rakyat diatur dalam UU nomor 39 Tahun1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM):

 Pasal 2 tentang pengakuan dan perlindungan negara terhadap HAM

 Pasal 6 ayat (1) dan (2) tentang pengakuan dan perlindungan hak

ulayat;

 Pasal 29 ayat (1) tentang perlindungan terhadap hak milik;

 Pasal 36 ayat (1) dan (2) tentang hak milik sebagai hak asasi dan

jaminan tidak adanya perampasan secara sewenang-wenang atas hak miliknya;

 Pasal 37 ayat (1) tentang syarat mencabut hak milik adalah untuk

kepentingan umum, dengan pemberian ganti rugi dan harus berdasarkan UU; menyatakan bahwa ”Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh

diambil alih secara sewenang-wenang oleh si apapun.”.

B. Hasil Penelitian

Dalam sub bab ini akan dibahas mengenai hasil penelitian dan pembahasan yang terdiri dari Kasus Posisi No.08/Pdt.G/2003/PN.Pml meliputi : para pihak, duduk perkara, pertimbangan hakim dan putusan hakim.

B.1 Kasus Posisi

Pada kasus posisi akan disajikan mengenai kasus yang akan dibahas. Untuk itu kita perlu tau siapa saja yang terlibat dalam kasus posisi ini antara lain:

a. Para Pihak yang berperkara dalam hal ini Penggugat dan Tergugat

b. Duduk Perkaranya guna untuk mengetahui permasalahan yang ada

c. Selanjutnya mengenai putusan hakim Pengadilan mulai dari

Pengadilan Negeri sampai Pengadilan Tinggi

d. Bagaimana proses pelaksanaan eksekusi dilakukan atau dijalankan

B.1.a Pihak-Pihak yang Berperkara

(16)

29

Dalam kasus perdata ini sebagai Penggugat adalah Gereja Pantekosta di

Indonesia (GPdI) di Pemalang, diwakili kuasanya Pdt Hengky Tohea yang bertempat tinggal atau beralamat di jalan Dr. Cipto Mangunkusumo No. 35 Pemalang. Berdasarkan Surat Kuasa Khusus yang tertanggal pada 7 April 2003 No.0.021/SMD.VII/IV/2003 dari Pdt G.A.Pandjaitan S.Th, Sekretaris Majelis Daerah VII Gpdi Jawa Tengah, selanjutnya disebut penggugat.

Dalam kasus perdata ini sebagai Tergugat adalah (1) Ronny Rempen pekerjaan pendeta, bertempat tinggal di Jalan Teratai No. 12 Kelurahan Pelutan, Kecamatan Pemalang, Kabupaten Pemalang sebagai Tergugat I, (2) Eny Ester pekerjaan ibu rumah tangga, bertempat tinggal di Jalan Teratai No. 12 Kelurahan Pelutan, Kecamatan Pemalang, Kabupaten Pemalang sebagai Tergugat II.

B.1.b Duduk Perkaranya

Dalam hal ini akan disajikan beberapa mengenai duduk perkara dalam kasus No.08/Pdt.G/2003/PN.Pml adalah sebagai berikut:

- Bahwa dahulu kurang lebih Tahun 1963 di Desa Pekunden, Pelutan,

Pemalang telah didirikan bangunan Gereja Pantekosta di Indonesia diatas tanah seluas kurang lebih 190 M2 yang kemudian dikenal setempat dengan nama Jalan Teratai No. 12 Pemalang

- Bahwa pada waktu itu yang menjabat pendeta Gereja Pantekosta di

Indonesia dimaksud adalah Pendeta Mohamad Sangid Zacheus

- Bahwa kemudian Gereja Pantekosta di Indonesia tersebut mendapat

bantuan dari seorang donatur bernama Uung Bintoro ( Pemilik Toko Basa Putra ) bermaksud memperluas lokasi gereja dimaksud dengan membelikan tanah sebanyak 2 (dua) yang berdekatan dengan gereja tersebut.

- Bahwa dalam transaksi jual beli ini dari pihak Gereja Pantekosta di

(17)

30

- Bahwa jumlah tanah-tanah Aset Gereja Pantekosta di Indonesia

seluruhnya adalah: 190 M2 + 205 M2 + 165 M2 = 560 M2, selanjutnya disertifikatkan dengan sertifikat Hak Milik No. 1885 atas nama MOHAMAD SANGID ZACHEUS dengan alasan gereja tidak dapat memilik tanah dimaksud

- Bahwa mengingat pada tanggal 22 Maret 1990 Pendeta Mohamad

Sangid Zacheus beserta istrinya Linawati Zacheus menyerahkan sebidang tanah beserta bangunan Gereja Pantekosta di Indonesia Pemalang, yang dikenal setempat dengan nama jalan Teratai No.12 Pemalang (termasuk Rumah Dinas Pastorinya) yang tercatat dalam sertifikat Hak Milik No. 1886 atas nama Muhamd Sangid Zacheus diserahkan kepada Gereja Pantekosta di Indonesia Pemalang. Sebagai akta perjanjian penyerahan hak No. 51 tertanggal 22 Maret 1990 yang dibuat oleh notaris Liliek Soedarsono Wirono, S.H

- Bahwa Mohamad Sangid Zacheus dan istrinya bernama Linawati

Zacheus kini keduanya telah meninggal dunia

- Bahwa Tergugat I Ronny Rempen menempati gereja tersebut dan

rumah dinas tanpa ijin atau sepengetahuan Majelis Daerah VII Jawa Tengah Gereja Pantekosta di Indonesia

- Bahwa Tergugat Ronny Rempen adalah bukan pendeta Gereja

Pantekosta di Indonesia Pemalang tetapi saat itu menjabat pendeta GPdI Petarukan Kabupaten Pemalang, yang seharusnya para tergugat beserta keluarganya menempati rumah pastori pada GPdI Petarukan

- Bahwa atas sikap dan perbuatan para tergugat yang menempati,

menguasai dan memakai 2 (dua) bangunan rumah pastori gereja Pantekosta di Indonesia di Jalan Teratai No. 12 Pemalang adalah perbuatn melwan hukum.

- Bahwa oleh karena Para Tergugat tetap bersikap keras kepala untuk

(18)

31 B.1.c Putusan Hakim Pengadilan Negeri Pemalang

Dalam Eksepsi menolak eksepsi Para Tergugat tersebut. Dalam pokok perkara : mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian, menghukum Para Tergugat atau siapapun juga yang menerima hak dari padanya untuk segera menggosongkan dan menyerahkannya kepada Penggugat dalam keadaan bebas yaitu 2 (dua) bidang tanah berikut bangunan rumah Pastori Gedung Gereja Pantekosta di Indonesia dalam keadaan sempurna, dan menolak gugatan Penggugat selebihnya. Dalam Rekonpensi menolak gugatan Penggugat Rekonpensi untuk seluruhnya. Dalam Konpensi dan Rekonpensi menghukum para Tergugat Konpensi/ Penggugat Rekonpensi untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara ini, yang hingga kini ditaksir sebesar Rp. 138.000,-

B.1.d Putusan Hakim Pengadilan Tinggi Semarang

Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili kasus peradilan perdata pada tingkat Banding di Pengadilan Tinggi Semarang terdiri dari 3 (tiga) orang, yaitu H. Sudibyo K Hardjono, SH, sebagai Hakim Ketua Majelis, Ny Vitalien M, SH, dan H. Soekarno Moelyo, S.H., sebagai Hakim Anggota. Majelis Hakim ini melalui rapat permusyawaratan majelis hakim telah mengambil keputusan untuk kasus ini yang dituangkan dalam Putusan Pengadilan Tinggi Semarang tanggal 30 Agustus 2004 Nomor: 118/Pdt/2004/PT.Smg. Secara ringkas Putusan Pengadilan Tinggi Semarang tersebut, dapat diuraikan sebagai berikut :

1) Mengabulkan gugatan Pengugat sebagaian

2) Menyatakan para Tergugat menempati menguasai dan memakai tanah dan bangunan permanen pastori yang menjadi satu dengan bangunan Gereja Pantekosta dengan ukuran 10m x 5m yang terletak dan dikenal dengan Jalan Teratai No.12, Kelurahan Pelutan, Kecamatan Pemalang, Kabupaten Pemalang adalah tanpa alas hak dan bertentangan dengan hukum

3) Menolak gugatan Penggugat untuk selebihnya

(19)

32 membayar ongkos perkara dalam kedua tingkat peradilan, yang dalam tingkat pertama sebesar Rp. 138.000,- dan dalam tingkat banding sebesar Rp. 350.000,-

Berkaitan uraian diatas maka pada hari Selasa tanggal 19 April 2005, Bambang Sugijantoro SH Panitera Pengadilan Negeri Pemalang atas perintah Ketua Pengadilan Negeri Pemalang dengan surat penetapannya tertanggal, 8 April

2005 Nomor:02/Pdt.Eks/2005/PN.Pml, dalam perkara perdata Nomor:

08/Pdt.G/2003/PN.Pml

B.1.e Pelaksanaan Putusan Pengadilan Negeri Pemalang

No.08/Pdt.G/2003/PN.Pml

Pada bagian ini diuraikan mengenai proses pelaksanaan Putusan Pengadilan Negeri Pemalang No 08/Pdt.G/2003/PN.Pml. Dalam uraian ini akan dipaparkan tentang pihak yang hadir dalam eksekusi, kendala yang ada dalam pelaksanaan eksekusi tersebut.

Sebelum eksekusi dilakukan atas dasar Putusan Pengadilan Negeri Pemalang Nomor: 08/Pdt.G/2003/PN.Pml yang sah dan mepunyai kekuatan hukum tetap karena itu Panitera Pengadilan Negeri Pemalang atas perintah Ketua Pengadilan Negeri Pemalang mengeluarkan surat penetapannya tertanggal 8 April

2005 Nomor:02/Pdt.Eks/2005/PN.Pml dalam putusan perkara perdata

Nomor:08/Pdt.G/2003/PN.Pml. Kemudian kepada mereka dalam hal ini para

pihak yang kalah Panitera memberitahukan tentang maksud dan kedatangan panitera sambil memperlihatkan dan membacakan Surat Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Pemalang yaitu untuk melaksanakan putusan Pengadilan Negeri Pemalang Jo.Putusan Pengadilan Tinggi Semarang tersebut diatas secara paksa dengan melakukan pengosongan dan menyerahkan obyek sengketa yaitu tanah dan bangunan permanen pastori yang menjadi satu dengan Gereja Pantekosta yang dikuasai.

(20)

33 Pelutan Kecamatan Pemalang Kabupaten Pemalang guna melaksanakan Putusan

Pengadilan Negeri Pemalang tertanggal 2 Oktober 2003 Nomor:

08/Pdt.G/2003/PN.Pml Jo.putusan Pengadilan Tinggi Semarang tertanggal 30 Agustus 2004 Nomor: 118/Pdt/2004/PT.Smg yang telah berkekuatan hukum tetap Karena para pihak yang berperkara tidak mengajukan upaya hukum kasasi dalam tenggang waktu sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang.

Selanjutnya pelaksanaan eksekusi dilakukan pada tanggal 19 April 200526

. Eksekusi itu dihadiri atau disaksikan oleh yang pertama Pdt Hengky Tohea sebagai Penggugat, yang kedua dua orang saksi yang telah dewasa, cakap dan

dapat dipercaya masing-masing bernama: (1) Suma’un, S.H, (2) Bagiyo keduanya

Pegawai Pengadilan Negeri Pemalang, dan yang ketiga Panitera Pengadilan Negeri Pemalang Bambang Sugijantoro S.H serta dibantu oleh petugas dari Polsek Pemalang. Juga dihadiri oleh pihak yang kalah yaitu Ronny Rempen dan Eny Ester

Saat eksekusi dijalankan timbul perlawanan dari pihak yang kalah (Ronny Rempen dan Eny Ester) serta dihadang para jemaat yang pada waktu memblokade

jalannya eksekusi.27 Dikarenakan jemaat merasa keberatan dengan apa yang

dilakukan oleh para pihak yang ada atau ikut menyaksikan eksekusi tersebut. Para jemaat justru mempertahankan keberadaan Ronny sebagai pendeta di gereja GPdI, sebab mereka sudah bersama-sama selama puluhan tahun.

Pihak Rony menyatakan bahwa eksekusi yang dilaksanakan adalah adalah

tidak sah. Dia beranggapan bahwa gereja tersebut adalah miliknya, dalam hal ini adalah Eny Ester, karena Eny Ester mendapatkan warisan dari orang tuanya. Sebagai termohon eksekuasi, Eny Ester telah dipanggil secara patut oleh Jurusita Pengadilan Negeri Pemalang agar supaya datang di Kantor Pengadilan Negeri Pemalang dalam jangka waktu 8 (delapan) hari terhitung sejak tegoran (Aanmaning) diberikan, agar supaya dengan sukarela ini melaksanakan putusan

Pengadilan Negeri Pemalang Nomor: 08/Pdt.G/2003/PN.Pml, yakni

26 Wawancara dengan Panitera Pengadilan Negeri Pemalang, 10 Desember 2016 27

(21)

34 mengosongkan bangunan serta menyerahkan bangunan gereja yang menjadi sengketa kepada pihak gereja yang dinyatakan dalam putusan tersebut sebagai pihak yang berhak atas tanah bangunan yang bersangkutan.

Atas tegoran (Aanmaning) yang dilayangkan oleh Pengadilan Negeri

Pemalang, dalamkenyatannya pihak Rony tidak melaksanakan dengan sukarela dan tetap membangkang tidak bersedia melakukan pengosongan dan menyerahkan tanah dan bangunan yang menjadi obyek sengketa kepada pihak gereja yang telah ditetapkan sebagai pihak berhak.

Oleh karena kondisi pada saat itu, dengan pertimbangan bahwa jika dilakukan pemaksaan untuk pengambil alihan tanah dan bangunan gereja tersebut, maka para jemaat gereja tidak lagi lagi mempunyai tempat untuk melakukan ibadah. Oleh karena itu demi kepentingan para jemaat gereja, maka eksekusi tidak dilaksanakan. Bahkan sampai saat ini dengan pertimbangan untuk kepentingan jemaat pihak gereja sebagai pihak yang berhak tidak lagi mempersoalkan tentang

penguasaan tanah dan bangunan gereja. Bahkan secara tegas Pendeta Hengky

Tohea menyatakan bahwa “ Perlu digaris bawahi bahwa mengalah bukan berarti pihak yang menang mengikhlaskan begitu saja pemilikan tanah dan bangunan gereja untuk Rony, akan tetapi demi kepetingan jemaat yang ibadah ditempat tersebut. Jika dilihat lagi seharusnya pihak yang menang dapat menempati tempat

tersebut juga untuk melakukan ibadah yang sama”. 28

C. ANALISIS

Pada sub-bab ini dilakukan analisis sesuai dengan permasalahan hukum yang menjadi fokus pembahasan terhadap Kasus Peradilan Perdata yang diperiksa dan diadili, baik pada tingkat pertama di Pengadilan Negeri Pemalang dan tingkat banding di Pengadilan Tinggi Semarang. Analisis dititik beratkan pada tinjauan kesesuaian antara proses dan mekanisme pelaksanaan eksekusi yang terjadi dengan ketentuan hukum yang berlaku. Penegakan hukum merupakan rangkaian proses untuk menjabarkan nilai, ide, cita yang abstrak yang menjadi sebuah tujuan

28

(22)

35

hukum yang konkrit.29 Kemudian, sesuai dengan rumusan masalah yang

dikemukakan dalam Bab sebelumnya, maka analisis dan pembahasan yang dilakukan terhadap (dua) pokok permasalahan, yaitu uraian kendala-kendala dalam pelaksanaan putusan eksekusi, serta upaya yang hukum yang dapat dilakukan oleh pemegang hak atas tanah.

C.1. Pelaksanaan Putusan Eksekusi Perkara Dengan Nomor :

08/Pdt.G.2003/PN.Pml

Jika dilihat dari sisi yuridis, putusan Pengadilan Negeri Pemalang Nomor : 08/Pdt.G/2003/PN.Pml sudah sah dan memenuhi syarat untuk dilaksanakan. Adapun syarat tersebut adalah :

1. Putusan sudah mempunyai kekuatan hukum tetap

Putusan PN Pemalang No:08/Pdt.G/2003/PN.Pml, : “menyatakan bahwa

sebidang tanah yang terletak di Jalan Teratai No.12 Kelurahan Pelutan, Kecamatan Pemalang, Kabupaten Pemalang, sertifikat Hak Milik No. 1887 atas nama Mohamad Sangid Zacheus adalah sah milik Gereja

Pantekosta di Indonesia di Pemalang” telah memenuhi syarat untuk

dieksekusi, Karena pada faktanya pihak Ronny tidak melakukan upaya hukum banding. Sebenarnya hukum telah memberikan peluang bagi Ronny untuk melakukan perlawanan jika ia tidak menerima putusan PN Pemalang yakni dengan melakukan banding. Akan tetapi kesempatan ini tidak digunakan oleh Ronny.

Perlawanan mengandung makna menentang sesuatu sampai hasil akhir yang pasti dalam bentuk menang ataupun kalah. Seolah-olah putusan atau penetapan yang dikeluarkan pengadilan tidak disetujui akan tetapi tidak

menginginkan suatu penyelesaian yang pasti. Perlawanan (verzet)

merupakan upaya perlawanan langsung datang dari pihak yang kalah dalam sidang pengadilan karena merasa dirugikan atas keputusan hakim yang telah dijatuhi oleh hakim.

Tujuan dari perlawanan terhadap eksekusi adalah sebagai berikut :

29“atjipto Raha djo, Pe egaka Huku “uatu Ti jaua “osiologis , Ge ta Pu lishi g,

(23)

36

a. Untuk menunda.

Penundaan eksekusi disebut bersifat dan merupakan tindakan hukum yang “sangat eksepsional”, karena tindakan penundaan eksekusi “menyingkirkan” ketentuan umum hukum eksekusi. Menurut syarat dalam eksekusi umum yang berlaku:

 Pada setiap Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan

hukum yang tetap telah melekat kekuatan eksekutorial;

 eksekusi atas Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap tidak boleh ditunda pelaksanaannya; dan

 yang dapat menunda eksekusi hanya perdamaian.

b. Membatalkan eksekusi dengan jalan menyatakan putusan yang

hendak dieksekusi tidak mengikat.

Alasan-alasan hukum dan fakta yang dapat dijadikan dasar untuk menyatakan eksekusi tidak dapat dijalankan. Dengan kata lain selama dalam Putusan Hakim belum memperoleh kekuatan hukum tetap, maka upaya dan tindakan eksekusi belum berfungsi dan tidak mengikat.

2. Putusan tidak dijalankan secara sukarela

Ronny tidak menjalankan Putusan Pengadilan Negeri Pemalang No:08/Pdt.G/2003/PN.Pml secara sukarela, oleh karena itu maka pihak gereja meminta penetapan untuk pelaksanaan eksekusi Putusan PN.No:08/Pdt.G/2003/PN.Pml. Atas permohonan penetapan tersebut maka pada tanggal 8 April 2005 dikeluarkannya Penetapan Eksekusi Nomor: 02/Pdt.Eks/2005/PN.Pml oleh Ketua Pengadilan Negeri Pemalang. Atas perintah Ketua Pengadilan Negeri Pemalang, maka Panitera Pengadilan Negeri Pemalang membuat Berita Acara Eksekusi No:02/Pdt.Eks/2005/PN.Pml

3. Putusan Pengadilan Negeri Pemalang No: 08/Pdt.G/2003/PN.Pml adalah

(24)

37

Putusan Condemnatoir merupakan putusan yang bisa dilaksanakan, yaitu

putusan yang berisi penghukuman, dimana pihak yang kalah dihukum untuk melakukan sesuatu.

Mengenai bukti bahwa Putusan PN Pemalang No: 08/Pdt.G/2003/PN.Pml

bersifat condemnatoir adalah berdasar pada isi putusan tersebut yakni

;” menghukum Para Tergugat atau siapapun juga yang mnerima hak dari

padanya untuk segera mengosongkan tanah beserta bangunan tersebut dalam keadaan baik dan tanpa beban apapun, untuk kemudian diserahkan kepada Penggugat apabila perlu dengan bantuan alat Negara/POLRI hal

ini serupa dengan Putusan Pengadilan Tinggi Semarang

118/Pdt/2004/PT.Smg”.

Dari putusan tersebut nampak bahwa ada penghukuman yang dijatuhkan kepada Ronny untuk mengosongkan tanah dan bangunan yang menjadi obyek sengketa dan menyerahkan kepada penggungat ( pihak gereja ).

4. Eksekusi dibawah perintah dan dibawah pimpinan Pengadilan Negeri

Bukti bahwa eksekusi itu dibawah Perintah Pimpinan Pengadilan Negeri Pemalang dengan melihat pada Penetapan No:02/Pdt.Eks/2005/PN.Pml yang isinya :

a. memerintahkan kepada Panitera Negeri Pemalang atau jika ia

berhalangan dapat diganti oleh wakilnya yang sah dengan dibantu oleh 2(dua) orang saksi yang telah dewasa cakap dan dapat dipercaya untuk melaksanakan bunyi Putusan Pengadilan Negeri Pemalang tanggal 2 Oktober 2003 Nomor:08/Pdt.G/2003/PN.Pml Jo.Putusan Pengadilan

Tinggi Semarang tanggal 30 Agustus 2004

Nomor:118/Pdt/2004/PT.Smg, yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap secara paksa dan bilamana perlu dengan bantuan alat kekuasaan negara,

b. memerintahkan pula agar pekerjaan ini segera dilaksanakan.

(25)

38

a. permohonan pihak yang menang

pihak yang menang (Gereja diwakilkan oleh Pdt. Hengky Tohea) dalam hal ini sudah mengajukan permohonan pengajuan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri Pemalang.

b. Penaksiran biaya eksekusi

Biaya eksekusi seterusnya ditanggung oleh pihak yang kalah dalam Pengadilan.

c. Melaksanakan peringatan

Pengadilan sudah memberikan peringatan terhadap pihak yang kalah untuk melaksanakan eksekusi. Dasar Penetapan Pengadilan Negeri Pemalang No:02/Pdt.Eks/2005/PN.Pml, akan tetapi pihak Ronny tidak mau memperdulikan peringatan tersebut.

d. Mengeluarkan surat perintah eksekusi

Atas dasar Putusan Pengadilan Negeri Pemalang Nomor:

08/Pdt.G/2003/PN.Pml dan Pengadilan Tinggi Semarang Nomor:

118/Pdt/2004/PT.Smg maka dikeluarkannya surat Penetapan

Pengadilan Negeri Nomor: 02/Pdt.Eks/2005/PN.Pml dan Berita Acara Eksekusi Nomor: 02/Pdt.Eks/PN.Pml

(26)

39 kendala yang berasal dari pihak dalam perkara, sedangkan dimaksud dengan kendala eksternal adalah kendala yang berasal dari luar pihak yang berperkara.

Dibawah ini diuraikan kendala tersebut sebagai berikut:

1. Kendala Internal

Dalam pelaksanaan pada Penetapan Pengadilan Negeri Pemalang No:02/Pdt.Eks/2005/PN.Pml atas putusan eksekusi perkara perdata No: 08/Pdt.G/2003/PN.Pml, tidak dapat dijalankan sebagaimana mestinya karena ada perlawanan dari Ronny. Adapun alasan Ronny mengadakan perlawanan atas pelaksanaan eksekusi adalah bahwa ia masih berpendapat tanah dan bangunan gereja tersebut adalah warisan dari mertuanya. Oleh karena itu ia merasa sah menenpati rumah yang menjadi obyek sengketa. Tindakan Rony menurut penulis adalah tidak benar, mengingat bahwa putusan tentang obyek sengketa telah mempunyai kekuatan hukum tetap dengan ditolaknya upaya hukum banding yang dilakukan oleh Rony dengan putusan Pegadilan Tinggi Semarang pada tanggal 30 Agustus 2004 Nomor:118/Pdt/2004/PT.Smg. Dengan ditolaknya banding oleh Pengadilan Tinggi maka secara yuridis bahwa tanah obyek sengketa adalah milik gereja. Terlebih lagi dengan adanya surat yaitu berupa Penetapan Nomor: 02/Pdt.Eks/2005/PN.Pml. dan dengan adanya juga Berita Acara Eksekusi Nomor: 02/Pdt.Eks/2005/PN.Pml.

Dari sisi yuridis tindakan Ronny dengan tidak meninggalkan rumah obyek sengketa adalah bertentangan dengan UU No. 51 PRP Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin Yang Berhak Atau Kuasanya. Artinya bahwa jika Ronny tetap menempati atau tinggal di rumah obyek sengketa, maka secara hukum ia menempati rumah tanpa ijin pihak yang berhak, oleh karena itu dapat juga dikenai dengan sanksi hukum sebagaimana diancamkan dalam UU No. 51 PRP Tahun 1960 yaitu Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin Yang Berhak Atau Kuasanya

(27)

40 untuk melakukan perlawanan sebelum putusan inkracht, yaitu melalui upaya banding, kasasi sebelum putusan mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht).

Disamping itu menurut penulis menjadi kendala internal juga yakni dari gereja sendiri adalah memperbolehkan penggunaan gereja untuk ibadah bagi jemaat Rony dengan alasan perikemanusiaan. Dimaksudkan disini adalah bahwa akhirnya gereja tidak mempermaslahkan tidak diserahkannya rumah obyek sengketa dengan alsan perikemanusiaan, yakni dengan memeprtimbangkan umat gereja tersebut, karena jika gereja berkeras untuk melaksanakan putusan tersebut, maka umat tidak akan mempunyai tempat untuk melaksanakan ibadahnya. Gereja sadar bahwa dengan Pengadilan Negeri Pemalang yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap telah memutuskan bahwa gereja pemilik yang sah dari rumah obyek sengketa. Disini bukan berarti tanah dan bangunan gereja menjadi milik Ronny, Ronny dapat menguasai tempat tersebut dikarenakan gereja sekali lagi mempertimbangkan alasan kemanusiaan tersebut.

2. Kendala External.

Dimaksud dengan kendala external adalah kendala dalam pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang berasal dari luar, yakni dari pihak diluar pihak yang berperkara.

Dalam pelaksanaan Putusan Pengadilan Negeri Pemalang No:

08/Pdt.G/2003/PN.Pml yang ditetapkan eksekusinya berdasarkan

(28)

41 yang merasa menang kecewa dengan sikap yang dilakukan oleh para pihak yang kalah sehingga memunculkan suatu argument bahwa gereja tersebut tidak boleh untuk dieksekusi.

Tindakan umat yang melakukan penghadangan terhadap para pejabat yang akan melakukan eksekusi adalah tidak benar secara hukum.

Apabila dalam pelaksanaan eksekusi mendapat perlawanan dari pihak-pihak tertentu, maka seharusnya pihak-pihak yang mewakili Pengadilan Negeri terkait dapat melaporkan adanya dugaan tindak pidana dengan berdasar

pada ketentuan-ketentuan sebagai berikut:30

 Pasal 212 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang

selengkapnya berbunyi demikian:

“Barang siapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan melawan seorang pejabat yang sedang menjalankan tugas yag sah, atau orang yang waktu itu menurut kewajiban undang-undang atau atas permintaan pejabat yang bersangkutan sedang membantunya, diancam karena melawan pejabat dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

 Pasal 216 ayat (1) KUHP, yang selengkapnya berbunyi demikian:

“Barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat yang tugasnya atau yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana, demikian pula barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan undang-undang yang dilakukan oleh salah seorang pejabat tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah.”

Jika ada yang menghalangi atau menunda eksekusi maka sesuai dengan Undang-Undang No. 51 PRP Tahun 1960 yang berlaku Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin Yang Berhak Atau Kuasanya dalam Pasal dalam Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5, maka dapat dipidana dengan

30

(29)

42 hukuman kurungan selama-lamauya 3 (tiga) bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp 5.000,- (lima ribu rupiah)

Demikian juga menurut Kitab Hukum Perdata juga bisa dikenakan

Pasal 1365 KUH Perdata yang berbunyi : ” Tiap perbuatan melawan hukum,

yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Dimana saat eksekusi tersebut Ronny dan umatnya melakukan perbuatan melawan hukum berupa perlawanan untuk menghalangi eksekusi putusan Pengadilan Negeri yang telah mememenuhi syarat untuk dieksekusi. Dari sisi yuridis dengan menghalangi eksekusi atau menunda eksekusi dapat mengakibatkan pihak yang menang merasa dirugikan dikarena tidak dapat menempati kemudian tempat tersebut tidak terawat dengan baik sehingga menimbulkan kerugian yang diderita.

C.2 Tindakan Hukum Yang Dapat Diambil Gereja Agar Menempati Hak Tanah Sengketa .

Berkaitan dengan analisis sebagaimana tersebut diatas, nampak bahwa secara yuridis berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Pemalang No No: 08/Pdt.G/2003/PN.Pml adalah pihak yang berhak atas tanah sengketa. Selanjutnya atas putusan tersebut telah dilaksanakan eksekusi berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Pemalang No 02/Pdt.Eks/2005/PN.Pml, akan tetapi tidak dapat terlaksana karena beberapa kendala yang ada. Dengan demikian maka secara hukum pihak gereja seharusnya dapat menguasai dan memanfaatkan tanah yang bersangkutan karena secara yuridis telah terbukti sebagai pemilik. Pihak gereja sebagai pemegang hak, secara hukum akan medapat perlindungan hukum. Perlindungan hukum dimaksud dapat diuraikan sebagai berikut :

Pada Alinea ke empat Pemukaan UUU 1945 yang menyebutkan bahwa

(30)

43 Upaya Pemerintah untuk memberikan suatu jaminan akan adanya kepastian hukum atas kepemilikan tanah bagi seseorang ialah dengan dilakukannya suatu pendaftaran hak atas tanah sebagaimana rumusan Pasal 19 UUPA, yang mengamatkan bahwa demi kepastian hukum akan pemilikan hak atas tanah, maka setiap pemegang hak atas tanah wajib melakukan pendaftaran tanah. Amanat ini kemudian ditindak lanjuti dengan dikeluarkannya PP No 10 Tahun 1960 tentang Pendaftaran Tanah yang telah dicabut dengan adanya PP No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Salah satu peraturan pelaksaana dari UUPA berkaitan dengan perlindungan

terhadap pemegang hak atas tanah adalah dengan dikeluarkannya

Undang-Undang No. 51 PRP Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin Yang Berhak Atau Kuasanya dinyatakan bahwa :

- Apa yang diatur dalam Pasal 6 menyatakan bahwa : dengan tidak

mengurangi berlakunya ketentuan dalam pasal 3, 4 dan 5, maka dapat dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamauya 3 (tiga) bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp 5.000,- (lima ribu rupiah:

- a. barangsiapa memakai tanah tanpa ijin yang berhak atau kuasanya

yang sah, dengan ketentuan, bahwa jika mengenai tanah-tanah perkebuaan dan hutan dikecualikan mereka yang akan diselesaikan menurut pasal 5 ayat 1;

- b. barangsiapa mengganggu yang berhak atau kuasanya yang sah di

dalam menggunakan haknya atas suatu bidang tanah;

- c. barangsiapa menyuruh, mengajak, membujuk atau menganjurkan

dengan lisan atau tulisan untuk melakukan perbuatan yang dimaksud dalam pasal 2 atau sub b dari ayat 1 pasal ini;

- d. barangsiapa memberi bantuan dengan cara apapun juga untuk

melakukan perbuatan tersebut pada pasal 2 atau huruf b dari ayat 1 pasal ini;

- 2. Ketentuan-ketentuan mengenai penyelesaian yang diadakan

(31)

44 denda sebanyak-banyakrrya Rp 5.000,- (lima ribu rupiah) terhadap siapa yang melanggar atau tidak memenuhnya.

- 3. Tindak pidana tersebut dalam pasal ini adalah pelanggaran.

Jelas dari penjelasan diatas merupakan beberapa contoh dari sanksi pidana yang diberikan oleh Undang-Undang No. 51 PRP Tahun 1960 yang mencantumkan dengan tegas masalah pidana bagi orang yang membantu untuk menguasai tanah tersebut tanpa adanya ijin dari pihak-pihak yang berkaitan.

Jika mengkaitkan dalam sebuah Hak Azazi Manusia yang ada dalam mengenai perlindungan hukum dapatkan dikatakan bahwa HAM juga mengatur mengenai perlindungan hukum yang diberikan. Secara filosofi, yuridis dan sosiologis perlindungan hak-hak atas tanah mengacu kepada konsepsi hak asasi manusia sebagaimana ditegaskan dalam UUD 1945 Bab XA dinyatakan bahwa :

- Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan hak milik (Pasal 23).

- Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun (Pasal 32).

- Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia menjadi tanggung jawab pemerintah (Pasal 43)

Dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dinyatakan bahwa :

- Setiap orang berhak atas pengeluaran, jaminan, perlindungan dan

perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum (Pasal 3 ayat 2).

- Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,

(32)

45

- Tidak seorang pun boleh dirampas miliknya dengan

sewenang-wenang dan secara melawan hukum (Pasal 36 ayat 2)

Jika dilihat pasal demi pasal yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia yang berhubungan dengan perlindungan yang diberikan pemegang hak atas tanah dapat dikatakan bahwa pengaturan sudah tegas ada dalam beberapa pasal yang dicantumkan diatas yakni Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 36 ayat (2) dapat disimpulkan bahwa pasal-pasal tersebut merupakan bagian dari perlindungan hukum dalam Hak Asasi Manusia.

Demikian juga lebih lanjut terhadap pihak berhak mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana diatur dalam HIR ( Het Herzine Indonesich Reglemen) atau Reglemen Indonesia Baru, Staatblad 1848, yang

berkaitan dengan eksekusi putusan yakni :31

Pasal 195 HIR

Dalam perkara perdata oleh karena pihak yang menang telah memperoleh keputusan hakim yang menghukum pihak lawannya maka ia berhak dengan alat-alat yang diperbolehkan oleh undang-undang untuk memaksa pihak lawan guna mematuhi keputusan hakim itu. Hak ini memang sudah selayaknya, sebab kalau tidak ada kemungkinan untuk memaksa orang yang dihukum maka peradilan akan tidak ada gunanya.

Dalam hal ini tidak ada jalan lain bagi pihak yang menang dari pada menggunakan haknya itu dengan perantaraan hakim untuk melaksanakan putusan tersebut, akan tetapi putusan itu harus benar-benar telah dapat dijalankan, telah memperoleh kekuatan pasti, artinya semua jalan hukum untuk melawan keputusan itu sudah dipergunakan, atau tidak dipergunakan karena lewat waktunya, kecuali kalau putusan itu dinyatakan dapat dijalankan dengan segera, walaupun ada perlawanan, banding atau kasasi.

Pada prinsipnya, dalam perkara perdata pelaksanaan putusan pengadilan dilakukan oleh pihak yang dikalahkan. Akan tetapi, terkadang pihak yang kalah tidak mau menjalankan putusan secara sukarela, sehingga pihak yang

31

(33)

46 menang dapat meminta bantuan pihak pengadilan untuk memaksakan eksekusi putusan tersebut

Pasal 196 HIR:

Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi keputusan itu dengan damai, maka pihak yang menang memasukkan permintaan, baik dengan lisan, maupun dengan surat, kepada ketua pengadilan negeri yang tersebut pada ayat pertama pasal 195, buat menjalankan keputusan itu Ketua menyuruh memanggil pihak yang dikalahkan itu serta memperingatkan, supaya ia memenuhi keputusan itu di dalam tempo yang ditentukan oleh ketua, yang selama-lamanya delapan hari.

Jika setelah jangka waktu yang telah ditetapkan, putusan masih juga tidak dilaksanakan, maka Ketua Pengadilan memerintahkan agar disita barang-barang milik pihak yang kalah sampai dirasa cukup akan pengganti jumlah uang yang tersebut di dalam keputusan itu dan ditambah pula dengan semua biaya untuk menjalankan keputusan itu.

Pasal 197 HIR

Jika sesudah lewat tempo yang telah ditentukan belum juga dipenuhi putusan itu atau jika pihak yang dikalahkan itu walaupun telah dipanggil dengan patut tidak juga datang menghadap maka ketua atau pegawai yang dikuasakan itu karena jabatannya memberi perintah dengan surat supaya disita sejumlah barang kepunyaan pihak yang dikalahkan

Pasal 225 HIR

(34)

Referensi

Dokumen terkait

dapat dilihat bahwa persentase nilai rasapengaruh penambahan jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) terhadap penerimaan konsumen produk nugget udang rebon (Acetes

Abstrak : Kajian berbentuk deskriptif ini bertujuan untuk mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi pelajar dalam membuat keputusan untuk menceburi bidang kerjaya sebagai

Perbedaan yang menjadikan penelitian penulis orisinil yakni menekankan pada faktor-faktor yang memengaruhi sikap abstain Amerika Serikat dalam Sidang DK PBB pada

Keinginan Suriah mewujudkan Suriah Raya dengan menjadikan Lebanon masuk dalam wilayah Suriah dengan tidak membuka hubungan diplomatik dengan Lebanon dan putusnya

Jika membandingkan antara kecepatan angin dan kondisi gelombang yang terjadi saat pengukuran, dapat dilihat bahwa meskipun tinggi gelombang maksimum terjadi pada bulan

Untuk interaksi dari kedua matriks tersebut yaitu Karbopol 940 dan HPMC K4M memberikan pengaruh dapat meningkatkan lama perekatan tablet bukoadhesif serta dapat menurunkan

Kesimpulan: Dari perspektif gender, wanita lebih takut mengoperasikan komputer jka dibandingkan dengan pria; Kegelisahan atau ketakutan menggunakan komputer dapat menyebabkan

Novel tersebut menceritakan tentang perjalanan seorang manusia yang mencari hakikat hidup.Oleh karena itu, penelitian ini akan mengkaji (a) Bagaimana nilai perilaku terpuji