KETENTUAN RAHN DAN IMPLEMENTASI
DALAM LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH
Tugas ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fikih Kontemporer
Dosen Pengampu: Imam Mustofa, M.S.I
Disusun Oleh:
Ajeng Fitriani
NPM. 141257710
Kelas C
JURUSAN S1 PERBANKAN SYARI’AH FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
KETENTUAN RAHN DAN IMPLEMENTASI DALAM LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH
A. Pendahuluan
Dalam hidup, adakalanya seseorang mengalami kesulitan, kesulitan
dalam hidup terdapat banyak macam. Sehingga orang saling membutuhkan
satu sama lain. Di anatara berbagai macam kesulitan itu masalah yang sangat
rumit di hadapi seseorang adalah dimana ketika ia tidak memiliki uang.
Karena uang adalah hal pokok yang dibutuhkan manusia untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari .
Untuk menyelesaikan masalah tersebut seseorang biasanya terpaksa
meminjam uang kepada pihak lain atau kepada lembaga pegadaian, atau
kepada pihak perorangan. Ketika seseorang meminjam kepada lembaga
pegadaian maka pinjaman itu harus disertai dengan jaminan. Akan tetapi,
sampai saat ini masih ada kesan dalam masyarakat, kalau seseorang pergi ke
lembaga pegadaian untuk meminjam sejumlah uang engan cara menggadaikan
barang adalah aib dan seolah kehidupan seorang tersebut sudah sangat
menderita.1
Sebagai investasi bisnis lembaga keuangan seperti pegdaian tentu tidak
lepas dari motif laba karena tujuan memaksimalkan laba inilah, maka banyak
lembaga keuangan yang menerapkan kebijakan bunga. Bunga itu sangat
membebankan masyarakat karena terkadang beban bunga yang harus nasabah
bayarkan lebih besar dari pada keuntungan usahanya sendiri. Karena hal itu
ingin ada pendirian lembaga pegadaian syariah. Keinginan masyarakat
terhadap berdirinya pegadaian syariah dalam bentuk perusahaan mungkin
karena umat islam menghendaki adanya lembaga pegadaian perusahaan yang
benar menerapkan syariat islam.
Untuk menjembatani keinginan tersebut perlu di kaji terlebih dahulu
tentang pengertian gadai syariah itu seperti apa, apa dasar hukum gadai
1 Anshori, Abdul Ghofur, Perbankan Syariah di Indonesia , (Yogyakarta: Gadjah Mada
syariah, rukun dan syarat gadai serta implementasinya gadai dalam lembaga
keuangan syariah .2
B. Ketentuan Rahndalam Lembaga Keuangan Syari’ah
Pada dasarnya segala bentuk muamalah adalah boleh kecuali ada dalil
yang mengharamkanya.Para Ulama sepakat bahwa rahn dibolehkan, tetapi
tidak diwajibkan sebab gadai hanya jaminan saja jika kedua pihak tidak saling
mempercayai. Selain itu,perintah untuk memberikan jaminan sebagaimana
dinyatakan dalam ayat tersebut dilakukan ketika tidak ada penulis, padahal
hukum utang sendiri tidaklah wajib, begitu juga penggantinya, yaitu barang
jaminan.3
Ketentuan dibolehkanya rahn menurut fatwa DSN Nomor 25 adalah
jika memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan Marhun
(barang) sampai semua utang Rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.
2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin.
Pada prinsipnya, Marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh Murtahin kecuali
seizin Rahin, dengan tidak mengurangi nilai Marhun dan pemanfaatannya
itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya.
3. Pemeliharaan dan penyimpanan Marhun pada dasarnya menjadi kewajiban
Rahin, namun dapat dilakukan juga oleh Murtahin, sedangkan biaya dan
pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban Rahin.
4. Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan Marhun tidak boleh ditentukan
berdasarkan jumlah pinjaman.
5. Penjualan Marhun (barang gadai)
a. Apabila jatuh tempo, Murtahin harus memperingatkan Rahin untuk
segera melunasi utangnya.
2 Yanggo, dikutip dari: Chuzaimah T.Hafiz Anshary,Problematika Hukum Islam
Kontemporer (III), (Jakarta: PT.Pustaka Firdaus, 1995), h.97.
3 Lubis, dikutip dari:Suhrawardi K, Hukum Ekonomi Islam,(Jakarta:Sinar Grafika, 2000),
b. Apabila Rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya, maka Marhun
dijual paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah.
c. Hasil penjualan Marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya
pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya
penjualan.
d. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik Rahin dan kekurangannya
menjadi kewajiban Rahin.
C. Iplementasi Rahn dalam Lembaga Keuangan Syari’ah
Rahn merupakan produk penunjang sebagai alternatif pegadaian,
terutama untuk membantu nasabah dalam memenuhu kebutuhan insidentilnya
yang mendesak. Terkait dengan rahn dalam praktik perbankan syariah, bank
tidak menarik manfaat apa pun, kecuali biaya pemeliharaan dan keamanan
atas barang yang digadaikan. Akad rahn dapat pula diaplikasikan untuk
memenuhi permintaan bank akan jaminan tambahan atas suatu pemberian
fasilitas pembiayaan kepada nasabah.4
Kontrak rahn dipakai sebagai produk pelengkap, artinya sebagai akad
tambahan (jaminan / collateral) terhadap produk lain seperti dalam
pembiayaan ba’i al-murabahah. Bank dapat menahan barang nasabah sebagai
konsekuensi akad tersebut.
Di beberapa negara islam termasuk diantaranya Malaysia, akad rahn
telah dipakai alternatif dari penggadaian konvesional. Bedanya dipungut dari
nasabah adalah biaya penitipan, pemeliharaan, penjagaan, serta penaksiran.
Perbedaan utama antara biaya rahn dan bunga pegadian adalah dari sifat bunga
yang biasa berakumulasi dan beripat ganda, sedangkan biaya rahn hanya
sekali dan ditetapkan di muka.5
4
Imam Mustofa,dikutip dari: Veithzal Rivai dan Andria Permata Veithzal,Islamic Financial Manajemen: Teori,Konsep,dan Aplikasi Panduan Praktis untuk Lembaga Keuangan,Nasabah,Praktisi dan Mahasiswa, (JAKARTA: RAJAWALI PERS, 2008).
5 Imam Mustofa, dikutip dari: Muhammad Syaffi’i Antoni,
Alur praktik rahn dalam Lembaga Keuangan Syariah umumnya adalah
sebagai berikut :
1. Nasabah menyerahkan jaminan (marhun) kepada bank syariah (murtahin).
Jaminan ini berupa barang bergerak.
2. Akad pembiayaan dilaksanakan antara rahin (nasabah) dan murtahin (bank
syariah).
3. Setelah kontrak pembiayaan ditandatangani, dan agunan diterima oleh
bank syariah, maka bank syariah mencairkan pembiayaan.
4. Rahin melakukan pembayaran kembali ditambah dengan fee yang telah
disepakati. Fee ini berasal dari sewa tempat dan biaya untuk pemeliharaan
agunan.
Praktik rahn dalam Lembaga Keuangan Syariah dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Melalui bank, nasabah dapat menggunakan barang tertentu yang
digadaikan dengan tidak mengurangi nilai dan merusak barang yang
digadaikan. Apabila barang yang digadaikan rusak atau cacat, maka
nasabah harus bertanggung jawab.6
2. Apabila nasabah wansprestasi, bank dapat melakukan penjualan barang
yng digadaikan atas perintah hakim.
3. Nasabah mempunyai hak untuk menjual barang tersebut dengan seizin
bank. Apabila hasil penjualan melebihi kewajibannya, maka kelebihan
tersebut menjadi milik nasabah.
4. Bila hasil penjualan tersebut lebih
D. Impelementasi Rahn Dalam Praktik
Dewan redaksi dari Ensiklopedia hukum islam (1997) berpendapat
bahwa rahn yang dikemukakan oleh ulama fiqh klasik tersebut hanya bersifat
pribadi. Artinya utang piutang hanya terjadi antara seorang pribadi yang
6 Imam Mustofa, dikutip dari: Ismail, perbankan syariah, (Jakarta: Prenada Media Group,
membutuhkan dan seseorang yang memiliki kelebihan harta, di zaman
sekarang sesuai dengan pekembangan dan kemajuan ekonomi, rahn tidak
hanya berlakuu antar pribadi dan lembaga keuangan sepeti bank .
Untuk mendapatkan kredit dari lembaga keuangan pihak bank juga
menurut bank agunan yang di pegang bank sebagai jaminan atas kredit
tersebut. Barang agunan ini demikian lebih lanjut dikemukakan oleh dewan
redaksi Ensiklopedi Hukum Islam, (1997) dalam istilah bank disebut
collateral. Collateral ini sejalan dengan marhun yang berlaku dalam akad rahn
yang dibicarakan ulama klasik.
Perbedaannya hanya terletak pada pembayaran hutang yang ditentukan
oleh bank. kredit di bamk biasanya harus dibayar sekaligus dengan bunga
yang ditentukan oleh bank. oleh sebab itu jumlah utang yang di bayar debitur
akan lebih besar yang dipinjam dari bank.
Menurut Antonio (2011) kontrak rahn dalam perbankan digunakan
sebagai:
1. Produk Perlengkapan
Rahn digunakan sebagai akad tambahan (jaminan) terhadap produk lain
seperti pembiayaan ba’i al-murabahagh dimana bank dpat menahan barang
nsabah sebagai konsekuensi akad tersebut.
2. Produk tersendiri akad rahn telah dipkai sebagai alternatif daripegaian
konvensional. Bedanya dengan gadai biasa , dalam rahn nasabah tidak
dikenanakan bunga tetapi yang dipungut nasabah adalah biaya penitipan,
pemeliharaan, penjagaan serta biaya penaksiran yang dipungut dan
ditetapkan di awal perjanjian. Sedangkan dalam perjanjian gadai biasa,
nasabah di bebankna oleh bunga pinjaman yang di dapat terakumulasi dari
berlipat ganda.7
7
Dalam mekanisme perjanjian gadai syariah. Akad perjanjian yang
dapat dilakukan antara lain:
1. Akad al-qardhul hasan
Akad yang dilakukan untuk nasabah yang menggadaikan barangnya
untuk keperluan konsumstif. Dengan demikian, nasabah akan
memberikan biaya upah atau fee kepada pegadaian yang telah menjaga
atau merawat barang yang digadai.
2. Akad al-mudharabah
Akad ini dilakukan untuk nasabah yang menggadaikan jaminannya
untuk menambah modal usaha (pemiayaan investasi dan modal kerja).
Dengan demikian, rahn akan memberikan bagi hasil (berdasarkan
keuntungan) kepada murtahin sesuai dengan kesepakatan, sampai modal
yang dipinjam terlunasi.8
3. Akad
Akad ini dilakukan untuk nasbah yang menggadaikan jaminannya
untuk meambah berupa pembelian arang modal. Dengan demikian,
murtain akan membelikan barang yang dimaksut oleh rahin.
Gadai yang melengkapi perjanjian hutang piutang itu adalah sekedar
memenuhi anjuran sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah
ayat 283. Tidak ada tambahan biaya apapun diatas pkok tunjangan bagi si
peminjam kecuali yang dipakainya sendiri untuk sahnya suatu perjanjian
hutang.9
Dalam hal ini biaya-biaya seperti materi dan akte notaris menjadi
beban peminjam. Bunga uang yang kita kenal walaupun dngan nama apapun
tidak sesuai dengan prinsipsyariah, oleh karena itu kita boleh dikenakan dalam
perjanjian hutang piutang secara syariah. Perjanjian hutang piutang dalam
8 Sudarsono,Heri. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah deskripsi dan ilstrasi.
(Yogyakarta: Ekonosia, 2005) h. 92.
9 Pasaribu, Chairuman dan K. Lubis, Suhrawardi.Hukum Perjanjian Dalam
bentuk al-qardhul hasan sangat dianjurkan dalam islam lebih utama dari pada
meberikan infaq.
Hal ini, menurut Khan (1996: 182-183) karena infaq menimbulkan
masalah kehormatan diri pada peminjam dan mengurangi dorongan dirinya
untuk berjuang dan berusaha. Infaq diperlakukan dalam kasus-kasus dimana
pengembalian hutang tidak mungkin dilakukan. Dengan demikian, al-qrdhul
hasan adalah lembaga bersaudara dengan infaq. tanggung jawab ini beralih
kepada satuan keluarga, RT/RW, kelurahan, bahkan sampai kepada negara.
Perjanjian hutang piutag juga diperlukan bagi keperluan komersiil.
Dalam perjanjian hutang piutang ini untuk untuk keperluan komersiil, maka
biasanya perlengkapan gadai yang cukup menjadi persyaratan yamg tidak
dapat ditinggalkan.
Ini membuktikan bawa sebenarnya pihak peminjam bukanlah orang
yang miskin tetapi orang yang memiliki sejumlah harta yang dapat
digadaikan. Pilihan yang terbuka untuk kepentingan ini adalah melakukan
perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk al-qardha hassan atau
melakukan prjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk mudharabah.
Impelemntasi operasi syariah hampi bermiripan dengan pegadaian
konvensional. Seperti halnya, pegadaian konvensional, pegadaian syariah juga
menyalurkan uang pinjaman dengan jaminan barang bergerak.prosedur untuk
memperoleh kredit gadai syariah sanagt sederhana. Jika ditinjau dari aspek
landasan konsep ; teknik transaksi, dan pendanaan, pegadaian syariah
memiliki ciri tersendiri yang implentasinya sangat berbeda dengan pegadaian
konvesional.10
Untuk dapat memperoleh layanan dari pegadaian syariah, masyarakat
hanya cukup meyerahkan harta geraknya (emas, berlian, kendaraan,dll) untuk
dititipkan disertai dengan copy tanda taksiran barang yang ditentukan
berdasarkan nilai intrinsik dan harga pasar yang telah ditetapkan oleh perum
10 Anshori, Ghofur Abdul, Gadai Syariah di Indonesia konsep, Implementasi dan
pegadaian. Maksimum uang pinjaman yang dapat diberikan adalah sebesar
90% dari nilai taksiran barang.11
Setelah melalui tahapan ini, pegadaian syariah dan nasabah melakukan
akad dengan kesepakatan:
1. Jangka waktu penyimpanan barang dan pinjaman ditetapkan selama
meksimum empat bulan.
2. Nasabah bersedia membayar jasa simanan sebesar Rp 90,- (sembilan puluh
rupiah ) dari kesepakatan taksiran Rp 10.000,-per 10 hari yang dibayar
bersamaan pada saat melinasi pinjaman.
3. Membayar biaya administrasi yang besarnya ditetapkan oleh pegadaian
pada saat pencairan uang pinjaman.12
Nasabah dalam hal ini diberikan kelonggaran untuk:
1. Melakukan penebusan barang/pelunasan pinjaman kapan pun sebelum
jangka waktu empat bulan.
2. Mengangsur uang pinjaman dengan membayar terlebih dahulu jasa simpan
yang sudah berjalan ditmbah biaya administrasi, atau hanya membayar
jasa simpanannya saja terlebih dahulu jika pada saat jatuh tempo nasabah
belum mampu melunasi pinjaman uangnya.
Jika nasabah sudah tidak mampu melunasi hutang atau hanya
membayar jasa simpan, maka pegadaian syariah melakukan eksekusi barang
jaminan dengan cara dijual, selisih antara penjualan dengan pokok pinjaman,
jasa simpan dan pajak merupakan uang kelebihan yang menjadi hak nasabah.
Nasabah diberi kesempatan selama satu tahun untuk mengambil uang
kelebihan,dan jika dalam satu tahun ternyata nasabah tidak mengambil uang
tersebut, pegadaian sariah akan menyerahkan uang kelebihan kepada Badan
Amil Zakat sebagai ZIS.
11 Firdaus, Muhammad, Mengatasi Masalah Dengan Pegadaian Syariah, (Jakarta:
Renaisan 2005) h. 88.
12 Rais, Sasli, Pegadaian Syariah: Konsep dan Sistem Operasional (Suatu Kajian
E. Daftar Pustaka
Ali. Zainuddin. Hukum Gadai Syariah. Jakarta: Sinar Grafika 2008 .
Anshori. Abdul Ghofur. Perbankan Syariah di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007.
Anshori. Ghofur Abdul. Gadai Syariah di Indonesia konsep. Implementasi
dan institusionalisasi. Yogyakarta: Gajah Mada Universiti Press, 2005.
Firdaus. Muhammad. Mengatasi Masalah Dengan Pegadaian Syariah. Jakarta: Renaisan, 2005
Imam Mustofa. dikutip dari: Ismail. perbankan syariah. Jakarta: Prenada Media Group, 2011.
Imam Mustofa. dikutip dari: Muhammad Syaffi’i Antoni. bank syariah dari
teori kepraktik. Jakarta: Gema Insani, 2001.
Imam Mustofa.dikutip dari: Veithzal Rivai dan Andria Permata Veithzal.Islamic Financial Manajemen: Teori.Konsep.dan Aplikasi Panduan Praktis untuk Lembaga Keuangan.Nasabah.Praktisi dan
Mahasiswa. JAKARTA: RAJAWALI PERS, 2008.
Lubis. dikutip dari:Suhrawardi K. Hukum Ekonomi Islam.Jakarta:Sinar Grafika, 2000.
Pasaribu. Chairuman dan K. Lubis. Suhrawardi.Hukum Perjanjian Dalam
Islam.Jakarta: Sinar Grafika, 1996
Rais. Sasli. Pegadaian Syariah: Konsep dan Sistem OperasionalSuatu Kajian
Kontemporer. Jakarta: UI Press, 2006.
Sudarsono.Heri. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah deskripsi dan ilstrasi. Yogyakarta: Ekonosia, 2005
Yanggo. dikutip dari: Chuzaimah T.Hafiz Anshary.Problematika Hukum