• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa Era Otonomi Daerah di Kecamatan Aek Nabara Barumun Kabupaten Padang Lawas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa Era Otonomi Daerah di Kecamatan Aek Nabara Barumun Kabupaten Padang Lawas"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

B A B I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat, yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Pembangunan kesehatan harus dipandang sebagai suatu investasi untuk meningkatan kualitas sumber daya manusia dan mendukung pembangunan ekonomi, serta memiliki peran penting dalam upaya penanggulangan kemiskinan khususnya dipedesaan sebagai agenda pemerintah untuk membangun desa. Hal yang sangat penting dalam kemajuan pembangunan kesehatan masyarakat desa khususnya di Kecamatan Aek Nabara Barumun Kabupaten Padang Lawas dalam dalam implementasi otonomi daerah. Mengingat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 H dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan, secara tegas menyatakan bahwa, setiap orang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan. Maka, setiap individu, keluarga dan masyarakat Indonesia berhak memperoleh perlindungan terhadap kesehatannya tidak terkecuali masyarakat miskin dan tidak mampu karena kesehatan adalah hak asasi dan sekaligus merupakan investasi untuk keberhasilan pembangunan bangsa. Untuk itu diselenggarakan pembangunan kesehatan secara menyeluruh dan berkesinambungan, dengan tujuan guna meningkatkan kesadaran, kemauan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya.

Agenda untuk perhatian pemerintah terhadap pembangunan kesehatan masyarakat semakin terlihat setelah rezim orde baru tumbang dan dikeluarkannya

(2)

UU No. 22 Th 1999 tentang Pemerintahan Daerah, ada perubahan pola pikir pembangunan di banding dengan UU No. 5 Th. 1979 yang berpola top-down. Maka di dalam UU No.22 Th. 1999 adalah bersifat buttom–up, napas dari pola pendekatan ini adalah adanya otonomi daerah, dimana dalam hal ini kreativitas masyarakat serta peran sertanya dalam pelaksanaan pembangunan menjadi landasan dasar dalam Undang-Undang ini (Widjaja: 2001). Pembangunan yang berpusat pada rakyat atau people centered development (Korten: 1988), intinya adalah dimana segala prakarsa inisiatif pembangunan semuanya di serahkan kepada masyarakat akan berakibat kepada timbulnya keswadayaan masyarakat dalam membangun dirinya sendiri. Masyarakatlah yang mengetahui sendiri tentang apa yang dibutuhkan dan menjadi kepentingan dalam hidupnya, dengan demikian maka ia sangat berhak untuk menentukan tindakan–tindakan yang perlu dilakukannya dalam rangka pemenuhan dari segala kebutuhannya. Sedangkan orang lain dalam hal ini berarti juga negara hanyalah sebagai fasilitator bagi masyarakat untuk memenuhi akan kebutuhannya tersebut. Sehingga masyarakat benar-benar mandiri tanpa lagi tergantung kepada pemerintah. Keswadayaan yang demikian inilah yang diharapkan khususnya dalam implementasi dari otonomi daerah.

(3)

masih beroperasi dan 1 lagi di desa Aek Nabara tidak beroperasi, hal ini disebabkan ketidak adanya tenaga kesehatan seperti, dokter maupun bidan. Seterusnya ada 1 Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) di Desa Marenu, 9 Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) dan Pondok Bersalin Desa (Polindes) seluruh Kecamatan Aek Nabara Barumun. Disamping fasilitas kesehatan kurang memadai ditambah lagi dengan jumlah tenaga kesehatan menurut tingkat pendidikan belum memiliki dokter atau Serjana Kesejatan Masyarakat (SKM), terkecuali 14 orang bidan desa yang diperbantukan untuk memberi pelayanan kepada masyarakat pedesaan. Hal ini sangat terbatas pelayanan kesehatan masyarakat desa yang mengharapkan perhatian pemerintah Kabupaten dalam mewujudkan makna dari otonomi daerah khusunya pada bidang kesehatan.

(4)

di Kecamatan Aek Nabara Barumun yang memiliki data 807 keluarga pra sejahtera dari 2.607 jumlah KK.

Pertumbuhan dan pembangunan ekonomi di Aek Nabara Barumun sangat mempengaruhi derajat kesehatan penduduknya dan secara timbal balik berkaitan erat pula dengan kemampuan untuk mengembangkan pelayanan kesehatan atau kegiatan-kegiatan lain di sektor kesehatan. Kebijakan di bidang kesehatan dan pelaksanannya akan sangat dipengaruhi oleh pertimbangan ekonomi secara makro, sebaliknya derajat kesehatan suatu penduduk akan berpengaruh pula terhadap perkembangan dan pembangunan ekonomi. Oleh sebab itu program kesehatan hendaknya dipandang sebagai suatu bagian dari strategi yang menyeluruh untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk di kecamatan khususnya di pedesaan.

(5)

dewasa 396 orang, penderita Disentri pada anak 450 orang dan dewasa 918 orang, penderita TBC Paru BTA Positif pada anak 12 orang dan dewasa 292 orang dan penderita Hipertensi orang dewasa sebanyak 1288 orang. (BPS. 2012)

Oleh karena itu intervensi program harus fokus kepada akar masalah kesehatan tersebut di atas, khususnya menggarap hulunya yakni menciptakan lingkungan sehat dan memberdayakan masyarakat untuk berperilaku hidup bersih dan sehat, sejalan dengan upaya membenahi aksessibilitas pelayanan kesehatan yang terjangkau oleh masyarakat. Disamping berpengaruh terhadap lingkungan dan prilaku, kemiskinan juga secara nyata mempengaruhi Aksessibilitas Pelayanan Kesehatan, khususnya menyangkut biaya pelayanan kesehatan yang semakin mahal. Sehingga tidak terjangkau kebanyakan masyarakat. Terlebih lagi dengan sistem pembayaran yang ditanggung sendiri oleh masyarakat (Out Of Pocket), kebanyakan masyarakat tidak sanggup membayar ketika mereka jatuh

sakit, apalagi kalau penyakitnya berat dan perlu tindakan operasi, atau menderita penyakit kronis yang memerlukan perawatan jangka panjang seperti penyakit jantung, kanker dan lainnya. Kalau kondisi ini dibiarkan terus berjalan, tentu akan berdampak pada derajat kesehatan masyarakat yang pada akhirnya bermuara kepada rendahnya Indek Pembangunan Manusia (IPM) masyarakat di Kecamatan Aek Nabara Barumun Kabupaten Padanglawas.

(6)

jamkesmas oleh pihak rumah sakit dengan tidak maksimal mendukung program pemerintah dalam memberikan kesehatan kepada masyarakat. Ini juga dapat diketahui terhadap pasien pemegang Kartu Jamkesmas saat menjalani perawatan dirumah sakit umum Padang Lawas dalam pengakuannya kurang dapat perhatian. (Hasil wawancara, 26 Februari 2013).

Menyikapai hal ini pelayanan kesehatan terhadap masyarakat dari pedesaan sepertinya belum maksimal terlaksana karena adanya suatu kekeliruan dalam memahami pasien pemegang jamkesmas pada khususnya. Kekeliruan yang dimaksud, bahwa pasien jamkesmas sering sekali dianggap pasien bebas bayar. Nyatanya pasien jamkesmas terlebih dahulu diberikan pembayaran kepada rumah sakit ketimbang pasien umum. Hanya saja pembayarannya dianggarkan melalui anggaran keuangan negara atau negara yang memberikan jaminan kesehatan.

(7)

Dengan kehadiran Jamkesmas sangat menggembirakan warga masyarakat kurang mampu di Kecamatan Aek Nabara Barumun pada khususnya.

Berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No 33 Tahun 2004 menyebabkan terjadinya pergeseran kewenangan (shifting authority) dari pemerintahan pusat kepada pemerintah daerah. Pemerintahan Pusat secara prinsip bertanggungjawab untuk menjaga kesatuan nasional, meningkatkan taraf hidup masyarakat dan bertanggung jawab secara keseluruhan dalam pengelolahan perekonomian nasional. Di lain pihak Pemerintah Daerah juga bertanggungjawab untuk melaksanakan fungsi-fungsi pemerintah di daerahnya, terutama dalam memberikan pembangunan kesehatan masyarakat pedesaan. Seperti halnya pemerintah Kabupaten Padanglawas harus bersinergi dengan pemerintah kecamatan dan pemerintah desa dalam menjalankan roda pemerintahan guna mencapai tujuan yang maksimal terkhusus pada bidang kesehatan masyarakat seperti di Kecamatan Aek Nabara Barumun yang sangat mengharapakan perhatian pemerintah Kabupaten untuk membangun fasilitas kesehatan seperti puskemas dan menyediakan dokter dan serjana kesehatan masyarakat.

(8)

kewenangan dengan batas kontrol sistem penyelengaraan pemerintah yang sama. Hal ini disebabkan pemilik potensi dan keanekaragaman dikecamatan dapat menopang untuk kemajuan pemerintah daerah dalam menata pembangunan di daerahnya. Sehingga penyelenggaraan pemerintah daerah sesuai dengan amanat UUD 1945 yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi daerah yang diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan kesehatan.

Kabupaten Padanglawas adalah kabupaten yang sangat didominasi oleh sektor pertanian yaitu sub sektor pertanian tanaman pangan dan palawija, sub sektor hortikultura, perkebunan, peternakan dan sebagian kecil perikanan darat (air tawar). Jumlah rumahtangga yang berusaha disektor ini berkisar antar 70 persen sampai dengan 74 persen . (BPS, 2012).

Kontribusi pertanian yang diberikan Kabupaten Padanglawas pada Propinsi Sumatera Utara persentasenya cukup besar. Dengan melihat hal tersebut, sudah sepantasnya Kabupaten Padanglawas lebih memperhatikan pembangunan pedesaan yang memiliki potensi pertanian dan perkebunan yang lebih luas dalam merencanakan dan mengelola sumber daya alam dan manusia yang dimiliki dan untuk memberikan fasilitas dan dorongan yang lebih terarah pada perkembangan pembangunan kerakyatan. Sehingga pendapatan perkapita dapat meningkat dan kondisi kesehatan masyarakat terjamin. Mengingat wilayah Aek Nabara Barumun yang memiliki wilayah pertanian dan perkebunan yang lumayan luas.

(9)

dan perdagangan berbasis agrobisnis yang berdaya saing dan berwawasan lingkungan dan rehabilitasi lahan yang kritis (BPS 2012). Misi ini tidak akan terwujud secara efektif tanpa ada dukungan semua pihak yang berperan, khususnya pemerintah sebagai pejabat negara. Apa lagi diera otonomi daerah saat ini, sistem Pemerintahan Daerah sudah berbeda dibandingkan dengan sistem pemerintah diera orde baru. Kalau diera orde baru, organisasi Pemerintah dan sistem informasinya ditentukan oleh pemerintah pusat, di era otonomi daerah ini pembentukan instansi pemerintah daerah termasuk sistem informasinya ditentukan oleh pemerintah daerah setempat. Oleh karena itu sistem informasi pada setiap daerah bisa berbeda sesuai dengan perkembangan yang terjadi / kebutuhan di daerah masing-masing.

Untuk melaksanakan kebijakan desentralisasi dibentuk daerah otonom, yang hal ini dapat memberikan keleluasaan dan kewenangan penuh pada pemerintah daerah dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, seperti pelayana kesehatan dari pemerintahan kabupaten kepada pemerintahan kecamatan dan desa sehingga dapat terealisasi pengayoman masyarakat desa terutama dalam pembangunan kesehatan masyarakat desa di Kecamatan Aek Nabara Barumun.

(10)

tersangkutnya pemimpin daerah (Bupati Padanglawas) dengan kasus korupsi. (Harian Medan Bisnis, Februari 2013).

Menjadi bahan penelitian dengan melalui, observasi, penyebaran pertanyaan dan wawancara dilakukan dengan key informan untuk mendapatkan informasi secara khusus pada bidang kesehatan masyarakat desa di Kecamatan Aek Nabara Barumun. Penelitian ini juga merupakan suatu hasil akhir tujuan dari otonomi daerah dalam pembangunan kesehatan masyarakat desa di Kecamatan Aek Nabara Barumun Kabupaten Padanglawas.

(11)

tumpang tindih kewenangan antara instansi Pusat dan Daerah. Disamping itu juga ditemukannya suatu keterbatasan anggaran dalam pembangunan yang mengakibatkan kegagalan dalam pelaksana pembangunan kesehatan masyarakat desa. Sementara masyarakat sendiri masih beranggapan biasa dan belum berpengaruh secara signifikan terhadap pembangunan kesehatan masyarakat dipedesaan. Mengingat belum siknifikannya perubahan pembangunan kesehatan masyarakat dari data yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Selatan sebelum otonomi daerah tahun 1998 yang menjelaskan bahwa, jumlah desa tertinggal di Kecamatan Barumun Tengah sebagai induk Kecamatan Aek Nabara Barumun sebelum pemekaran kecamatan pada tahun 1994-1995 terhitung 18 Inpres Desa Tertinggal (IDT), 1995-1996 terhitung 53 Inpres Desa Tertinggal (IDT) dan pada tahun 1996-1997 terhitung 22 Inpres Desa Tertinggal (IDT). (BPS Tapsel. 1998)

Sementara setelah otonomi daerah juga permasalahan tentang kesehatan yang timbul di Kabupaten Padang Lawas, hal ini diakibatkan karena permasalahan organisasi kerja. Sepanjang tahun 2010 strutur organisasi dinas kesehatan tidak memiliki dasar yang kuat karena belum adanya sturuktur dan personalia yang defenitif sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah No 41 Tahun 2007. Akibatnya perjalanan roda organisasi dinas kesehatan tidak berjalan secara optimal.

(12)

keterbatasan kemampuan keuangan daerah. Mengingat permasalahan penyelenggaraan dibidang pemerintahan sektor yang lain sama pentingnya.

Permasalahan lainnya juga ditimbukan karena sumber daya manusia (SDM) bidang kesehatan yang mencakup pada kekurangan jumlah tenaga kesehatan pada beberapa jenis dan masih rendahnya kualitas SDM kesehatan, juga tidak meratanya penyebaran tenaga kesehatan, dimana ada pusat pelayanan kesehatan yang memiliki tenaga kesehatan lebih. Sementara pada lain tempat yang merupakan pusat pelayanan kesehatan masih kekurangan tenaga kesehatan. Belum lagi masalah terhadap saran prasarana kesehatan yang masih belum maksimal terealisasikan seperti Puskesmas satu perkecamatan. Hal ini membuat terkendala pelayanan kesehatan masyarakat yang maksimal, seperti di Kecamatan Aek Nabara Barumun yang masih mengandalkan Puskesmas di Kecamatan Barumun Tengah sebagai kecamatan induk sebelum terjadi pemekaran Kecamatan Aek Nabara Barumun. Dan bisa disebut satu puskesmas untuk dua kecamatan yang memiliki jarak berjauhan. (LKPJ Kabupaten Padang Lawas Tahun 2010)

(13)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat dirumuskan

permasalahan penelitian yang hendak diteliti adalah “Apakah ada perbedaan

pembangunan kesehatan masyarakat desa era otonomi daerah di Kecamatan Aek Nabara Barumun Kabupaten Padang Lawas ? “

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan penelitian ini, yaitu : Untuk melihat perbedaan pembangunan kesehatan masyarakat desa era otonomi daerah dan sebelum otonomi daerah di Kecamatan Aek Nabara Barumun Kabupaten Padanglawas.

1.3.2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis, maupun manfaat praktis, yaitu :

1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya yang terkait dengan kualitas pelayanan kesehatan, serta dapat dijadikan referensi bagi penelitian dalam hal pelayanan kesehatan.

(14)

pemerintah di bidang kesehatan untuk lebih meningkatkan profesionalismenya.

3. Dalam pelaksanaan otonomi daerah kiranya dapat memberi suatu manfaat yang lebih terarah dan memiliki makna untuk mempercepat pembangunan kesehatan masyarakat desa.

4. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mewujudkan tujuan dan makna dari otonomi daerah yang juga sebagai harapan dapat berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan pada bidang kesehatan.

5. Penelitian ini secara ilmiah juga berupaya untuk mengungkapkan pola dan perilaku masyarakat pedesaan terhadap pelaksanaan pembangunan yang mendorong terjadinya suatu perubahan untuk kemajuan desa dalam era otonomi daerah, yang menjadi suatu agenda besar dari pemerintah untuk menjalankan makna dari otonomi daerah yang sebenarnya.

6. Hasil penelitian ini juga diharapkan bermanfaat sebagai masukan kepada pemerintah Kabupaten Padanglawas dalam memformulasikan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan kesehatan masyarakat desa (bottom up planning) secara partisipatif, terdesentralisasi dan bersifat lokalitas.

1.4. Kerangka Pemikiran

(15)

pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penyelenggaraan pemerintahan daerah yang demikian kemudian lebih akrab disebut Otonomi Daerah.

Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hakikat Otonomi Daerah adalah upaya pemberdayaan daerah dalam pengambilan keputusan daerah secara lebih leluasa dan bertanggung jawab untuk mengelola sumber daya yang dimiliki sesuai dengan kepentingan, prioritas, dan potensi daerah sendiri. Kewenangan yang luas dan utuh yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi pada semua aspek pemerintahan ini, pada akhirnya harus dipertanggungjawabkan kepada pemerintah dan masyarakat. Penerapan otonomi daerah seutuhnya membawa konsekuensi logis berupa pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah berdasarkan manajemen keuangan daerah yang sehat.

(16)

buruk, dan banyak lagi lainnya, merupakan isu yang sering muncul ke permukaan berkaitan dengan implementasi otonomi daerah tersebut. Dalam kondisi yang demikian maka pengayaan informasi dan pengetahuan untuk lebih memahami masalah-masalah berkaitan dengan otonomi daerah menjadi sangat diperlukan.

Instrumen dokumen perencanaan pembangunan nasional yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sebagai acuan utama dalam memformat dan menata sebuah bangsa, mengalami dinamika sesuai dengan perkembangan dan perubahan zaman. Perubahan mendasar yang terjadi adalah semenjak bergulirnya bola reformasi, seperti dilakukannya amandemen UUD 1945, demokratisasi yang melahirkan penguatan desentralisasi dan otonomi daerah.

Hal ini lebih ditegaskan dalam pengaturan mengenai desa yaitu dengan ditetapkannya PP No 72 tahun 2005. Prinsip dasar sebagai landasan pemikiran pengaturan mengenai desa yaitu : Keanekaragaman, Partisipasi, otonomi asli, Demokratisasi, dan Pemberdayaan masyarakat.

Ginanjar Kartasasmita (1994) memberikan pengertian pembangunan yang sederhana, yaitu sebagai “suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara terencana”. Pembangunan dalam Paradigma Governance bertujuan untuk mewujudkan Interaksi antara Pemerintah, Dunia Usaha Swasta, dan Masyarakat. Apabila sendi-sendi tersebut dipenuhi, maka terwujudlah Good Governance.

(17)

menjamin keserasian hubungan antara Daerah dengan Daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antar Daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar Daerah. Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar Daerah dengan Pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah Negara dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan negara. Dalam perkembangan otonomi daerah, pemerintah pusat semakin memperhatikan dan menekankan pembangunan masyarakat desa melalui otonomi pemerintahan desa. Penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa harus mampu mengakomodasi aspirasi masyarakat, mewujudkan peran aktif masyarakat untuk turut serta bertanggungjawab terhadap perkembangan kehidupan bersama sebagai sesama warga desa dalam meningkatkan pelayanan yang baik.

(18)

Pembangunan di desa menjadi tanggungjawab Kepala desa sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) PP No 72 tahun 2005 ditegaskan bahwa Kepala Desa mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan. Kegiatan pembangunan direncanakan dalam forum Musrenbangdes, hasil musyawarah tersebut di ditetapkan dalam RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Desa) selanjutnya ditetapkan dalam APBDesa. Dalam pelaksanaan pembangunan kepala desa dibantu oleh perangkat desa dan dapat dibantu oleh lembaga kemasyarakatan di desa.

Selanjutnya khusus untuk anggaran pembangunan yang bersumber dari Alokasi dana desa, 70% dari anggaran tersebut merupakan belanja pemberdayaan masyarakat. Ditegaskan dalam Pasal 22 ayat (2) Permendagri No 37 tahun 2007 jo. Pasal 21 ayat (4) Perbup No 55 tahun 2008 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa bahwa Belanja Pemberdayaan Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan untuk :

1. Biaya perbaikan prasarana dan sarana publik. 2. Menunjang kegiatan LPMD dan PKK.

3. Penyertaan modal usaha masyarakat melalui BUMDesa. 4. Biaya untuk pengadaan ketahanan pangan.

5. Perbaikan lingkungan dan pemukiman. 6. Teknologi Tepat Guna.

(19)

Dalam kaitannya hal tersebut diatas khususnya pada poin ke tujuh perbaikan kesehatan dan pendidikan, maka untuk mewujudkan cita-cita Indonesia sehat 2010 yang memuat harapan agar penduduk Indonesia memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu, adil, dan merata serta berkesinambungan. Walaupun demikian, berbagai fakta menyadarkan bahwa pelayanan kesehatan yang bermutu, adil dan merata itu masih jauh dari harapan masyarakat dan membutuhkan upaya yang sungguh-sungguh untuk mencapainya. (Anonim, 2003 :1).

Berkaitan dengan pentingnya aspek kesehatan dalam rangka pembangunan nasional yang disesuaikan pada kondisi sosial budaya dan geografis penduduk Indonesia, maka pada bulan November 1967 Pemerintah Republik Indonesia merumuskan program kesehatan terpadu sesuai dengan kondisi social dan kemampuan rakyat Indonesia yang dinamakan dengan PUSKESMAS (Pusat Kesehatan Masyarakat) sebagai suatu pelayanan kesehatan yang memberikan pelayanan kuratif dan preventif secara terpadu dan menyeluruh dan mudah dijangkau oleh masyarakat.

Dewasa ini Puskesmas telah didirikan di hampir seluruh pelosok tanah air dan bahkan untuk menjangkau seluruh wilayah kerjanya, Puskesmas Induk dibantu oleh Puskesmas pembantu dan Puskesmas Keliling. Tercatat pada tahun 2002 jumlah Puskesmas diseluruh Indonesia adalah 7.277 unit dan Puskesmas Pembantu sebanyak 2.587 unit serta Puskesmas Keliling 5.084 unit (perahu 716 unit dan Ambulance 1.302). (Warta Kesehatan Indonesia Edisi Oktober 2002)

(20)

Kecamatan Barumun Tengah dan memilik jarak tempuh dari desa di Kecamatan Aek Nabara Barumun sangat berjauhan. Permasalahan yang kemudian muncul adalah aksebilitas, mutu pelayanan dan pemanfaatan Puskesmas serta kinerja Puskesmas dalam memberikan pelayanan kesehatan masyarakat khususnya di Kecamatan Aek Nabara Barumun serta cakupan kegiatan program pelayanan kesehatan pada masyarakat seluruhnya belum optimal dan terlaksana sesuai apa yang diharapkan, ini bisa dilihat dari jarak jangkauan puskesmas satu untuk dua kecamatan. Kondisi ini menunjukan bahwa pemanfaatan Puskesmas sebagai rumah berobat masyarakat khususnya di Puskesmas Pasar Binanga masih sangat minim, masyarakat cenderung menggunakan tenaga dukun/ medis tradisional. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain (1). Kemampuan SDM (2). Kemampuan biaya (3). Ketersediaan sarana dan prasarana (4). Penempatan serta distribusi tenaga kesehatan. Berdasarkan latar belakang tesis ini tersebut diatas yang dikaitkan dengan dasar pentingnya kinerja Puskesmas dalam upaya meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat.

(21)

Untuk mengukur suatu kinerja organisasi yang efektif, efesien dan optimal seperti halnya kinerja pada organisasi Puskesmas maka sangat dipengaruhi oleh beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian yang lebih serius, sebab hal tersebut dinilai sebagai ujung tombak dalam pencapaian kinerja suatu organisasi pada bidang kesehatan masyarakat pedesaan diantaranya adalah :

1. Perencanaan

Planning atau perencanaan merupakan proses pemikiran dan penentuan secara jelas dari segala sesuatu yang akan dijelaskan dalam rangka pencapaian tujuan organisasi. Karena pada dasarnya setiap proses pemikiran itu memerlukan suatu keputusan, maka planning atau perencanaan meliputi serangkaian keputusan termasuk keputusan dalam hal tujuan kebijaksanaan, prosedur, program dan metode serat jadwal waktu pelaksanaan. Perencanaan merupakan dasar atau arah atau pedoman bagi manajemen dalam melaksanakan tugas. Oleh karena itu berhasil tidaknya organisasi mencapai tujuannya sangat ditentukan oleh rencana yang telah ditetapkan sebelumnya. Dan apabila rencana itu salah maka dengan sendirinya tujuan organisasi tidak akan tercapai. (Maryati dan Kansius 1994:27). 2. Pengawasan

(22)

pimpinan mampu melaksanakan fungsi pengawasan dengan sebaik-baiknya. (Maryah dan Kansius 1994 :29)

2. Evaluasi

Proses evaluasi di dalam manajemen adalah sangat penting. Demikian pula di dalam dunia kesehatan. Pembangunan kesehatan merupakan investasi social yang cukup berperan usaha-usahanya mencakup sasaran kesejahteraan manusia.

Evaluasi sesungguhnya adalah proses kegiatan yang akan menilai segala sesuatu yang akan diperoleh dengan apa yang sudah ditetapkan perencanaannya atau dengan apa yang ingin dicapai melalui perencanaan semula. Karenanya untuk menghindarkan agar penyimpangan itu tidak berlangsung terlalu jauh dari suatu kekeliruan. Jadi kita harus melakukan point evaluasi pada setiap titik kegiatan yang dianggap perlu. (Maryah dan Kansius 1994 :21)

Disamping itu juga ada aspek-aspek lain yang sangat mempengaruhi dari pada kinerja suatu organisasi seperti halnya kinerja oknum pengelolah puskesmas dan Dinas Kesehatan Padanglawas dalam memberikan pelayanan kesehatan masyarakat yang banyak memberikan kontribusi di dalam pelaksanaan program kesehatan seperti :

a. Kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM)

(23)

(Atmosoepratpo, 2001 : 30).

Moekiyat (1987 :3) mengemukakan ada 3 unsur kualitas yang perlu dikembangkan dari setiap pegawai yaitu :

a. Keahlian : Agar supaya pekerjaan dapat diselesaikan dengan lebih cepat dan lebih efektif.

b. Pengetahuan : Agar supaya pekerjaan dapat diselesaikan secara rasional

c. Sikap : Agar supaya timbul kemauan kerja sama dengan teman-teman dan pimpinannya.

Sementara Atmosoeprapto (2001 : 31) mengemukakan bahwa kemampuan SDM meliputi kemampuan teknik, kemampuan hubungan antar pribadi dan

kemampuan konseptual. Kemampuan teknik adalah kemampuan menggunakan ilmu pengetahuan, metode, teknik dan alat yang diperoleh melalui pengalaman, pendidikan dan pelatihan untuk melakukan tugas-tugas khusus. Kemampuan antar pribadi adalah kemampuan menilai orang dan kemampuan dalam bekerja sama. Sedangkan kemampuan konseptual adalah kemampuan untuk mengetahui kekompakan organisasi secara keseluruhan dan peranan dirinya dalam organisasi. Dan bukan sekedar mendasarkan pada sasaran dan kebutuhan dari kelompoknya. b. Kemampuan Biaya Kesehatan

(24)

1. Penyedia pelayanan kesehatan

Yang dimaksud dengan biaya kesehatan dari sudut penyedia pelayanan adalah besarnya dana yang harus disediakan untuk dapat menyelenggarakan upaya kesehatan. Dengan pengertian seperti ini tampak bahwa biaya kesehatan dari sudut penyedia pelayanan, adalah persoalan utama para pemerintah ataupun pihak swasta, yakni pihak-pihak yang akan menyelenggarakan upaya kesehatan.

2. Pemakai jasa pelayanan

Yang dimaksud dengan biaya kesehatan dari sudut pemakai jasa pelayanan adalah besarnya dana yang harus disediakan untuk dapat memanfaatkan jasa pelayanan. Biaya kesehatan banyak macamnya hanya saja disesuaikan dengan pembagian pelayanan kesehatan, maka biaya kesehatan tersebut secara umum dapat dibedakan atas dua macam yakni :

1. Biaya pelayanan kedokteran

Biaya kedokteran adalah untuk menyelenggarakan dan atau memanfaatkan pelayanan kedoketeran, yakni yang tujuan utamanya adalah untuk mengobati penyakit serta memulihkan kesehatan penderita.

2. Biaya pelayanan kesehatan masyarakat

Biaya yang dimaksud di sini adalah yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan dan atau memanfaatkan pelayanan kesehatan masyarakat yakni tujuan utamanya adalah untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta untuk mencegah penyakit.

(25)

1. Jumlah adalah syarat utama dari biaya kesehatan haruslah tersedia dalam jumlah yang cukup dalam arti dapat menyelenggarakan semua upaya kesehatan yang dibutuhkan serta dapat menyulitkan masyarakat yang ingin memanfaatkannya.

2. Penyebaran adalah syarat lain yang harus dipenuhi adalah penyebaran dana yang harus sesuai dengan kebutuhan. Jika dana yang tersedia tidak dapat dialokasikan dengan baik, niscaya akan menyulitkan penyelenggaraan setiap upaya kesehatan.

3. Pemanfaatan adalah sekalipun jumlah dan penyebaran dana secara merata, tetapi jika pemanfaatannya tidak mendapatkan peraturan yang seksama, niscaya akan banyak menimbulkan masalah, yang jika berkelanjutan akan menyulitkan masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan.

c. Ketersediaan Sarana dan Prasarana

Penempatan sebuah Puskesmas sekarang ini adalah lebih banyak dibangun di ibu kota kecamatan, sedangkan untuk Puskesmas pembantu di tempatkan di desa. Bagi masyarakat atau desa yang maju dengan penduduk yang banyak dapat ditempatkan sebuah Puskesmas, tergantung dari ketersediaan tenaga, khususnya tenaga dokter. Penempatan Puskesmas juga harus dipertimbangkan permintaan masyarakat. Sering terjadi pemempatan sebuah Puskesmas tidak berdasarkan permintaan masyarakat, sehingga keadaan demikian Puskesmas tidak efektif dan efesien.

(26)

medis dan permintaan masyarakat serat keterjangkauannya atau luas wilayah dan jumlah penduduk cukup memadai. Termasuk dalam ketersediaan sarana dan prasarana seperti pengadaan gedung yang layak dan pendistribusian obat-obatan. (Kamalia ,98-100)

Seiring hal tersebut ditemukan juga keberadaan satu puskesmas dalam dua kecamatan yang memiliki wilayah yang sangat berjauhan antara desa dan kecamatan. Hal ini sangat tidak memungkinkan dapat memberi pelayanan yang terbaik kepada masyarakat. Lantas ditemukan tenaga pembantu kesehatan di puskesmas yang tidak memadai. Sehingga bidan desa yang ditugaskan untuk satu desa sering sekali diberi tanggungjawab diluar tugasnya yang hal ini mengayomi dua desa atau lebih. Bahkan bidan desa yang seharusnya bekerja di pedesaan tapi kenyataannya sering sekali meninggalkan tugas didesa karena diperkerjakan di Puskesmas Pasar Binanga. Sedemikian kurangnya fasilitas kesehatan di Kecamatan Aek Nabara Barumun sampai saat ini belum juga memiliki puskesmas sendiri melainkan tetap menggunakan fasilitas puskemas Kecamatan Barumun Tengah.

d. Pendistribusian Tenaga Kesehatan

(27)

mengalami kesulitan dan apabila mau berobat harus rela menunggu lama karena dokter terlambat atau tidak berada ditempat.

Keluhan ini selalu menjadi perbincangan masyarakat yang sangat membutuhkan pelayanan kesehatan dari pemerintah. Namun belum juga terealisasi dengan benar. Sebagaimana tujuan dari otonomi daerah yang sebenar-benarnya. Melainkan masih dalam tatanan teoritis, sehingga membuat kejenuhan dan ketidak percayaan masyarakat kepada pelakasana pemerintah yang notabenya selalu mengumendangkan visi dan misi untuk mensejahterakan masyarakat khususnya memberikan pelayanan kesehatan gratis. Akan tetapi kenyataannya hanyalah sebatas tulisan atau seuntai kata yang tidak memiliki fakta dalam merealisasikan implementasi otonomi daerah yang sebenarnya.

(28)

Lebih jelas dalam pembangunan memiliki tujuan untuk memenuhi kebutuhan banyak orang atau masyarakat yang terhimpun dalam suatu kecamatan, maka sarana yang dibangun biasanya berskala kecil dan sederhana dapat memiliki makna yang lebih signifikan dan lebih berarti, ketimbang bangunan yang berskala besar, namun tidak memiliki arti buat masyarakat.

Apalagi dalam pelaksanaan pembangunan sarana fisik dibagi kedalam empat tahapan kegiatan yaitu perencanaan, pembiayaan, mengerjakan bangunan, dan pengawasan pelaksana bangunan dapat melibatkan masyarakat setempat. Hal ini sangat dibutuhkan untuk realisasi program pemerintah dalam implementasi otonomi daerah seperti tahapan dalam musyarawah perencanaan pembangunan desa (Musrembangdes).

Bilamana masyarakat dilibatkan untuk empat tahapan ini membuat partisipasi setiap anggota masyarakat semakin meningkat dalam pembangunan, maka semakin tinggi pula tingkat keberhasilan pembangunan itu. Kendatipun pembangunan yang dilakukan masyarakat kecamatan atau pedesaan berskala kecil atau sederhana, hal itu disebabkan keterbatasan biaya untuk memenuhi suatu kebutuhan masyarakat. Demikian pula dapat dibuktikan dari partisipasi masyarakat pedesaan khususnya untuk pembangunan prasarana di desanya. Dimulai dari awal perencanaan dengan diadakannya musyawarah desa, hingga pada pembiayaan atas kesepakatan untuk berpartisipasi dan pada pelaksanaan pembangunan sampai tahap pemeliharaannya dikerjakan bersama yang dibuat dalam suatu musyawarah dengan mufakat.

(29)

puskesmas melainkan satu harapan pada bidan desa. Ancaman untuk kelangsungan hidup khususnya pada kaum ibu yang mau melahirkan dan kesehatan bagi bayi karena kurang perawatan sering menimbulkan kekurangan gizi. Disamping ketidak mempu untuk berobat demi kesehatannya dan keluarganya diakibatkan suatu kemiskinan masih kurangnya perhatian pemerintah. Namun untuk saat ini dalam impelementasi otonomi daerah sudah berangsur-angsur sedikit demi sedikit ada perhatian kesehatan dengan memberikan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), kendatipun dalam realisasinya masih tergolong rendah. Hal ini juga tidak terlepas dalam implementasi UUD 1945 menjelaskan pada pasal 34 tentang fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara, yang merupakan suatu tanggungjawab negara.

Harapan seperti inilah yang menjadi tujuan masyarakat pedesaan untuk dapat diperhatikan pembangunan prasarana kesehatan. Masyarakat pedesaan sangat antusias menyambut program pemerintah dengan memberikan lahan untuk pembangunan Pondok Bersalin Desa (Polindes). Ini suatu bentuk peran serta masyarakat dalam mewujudkan masyarakat yang sehat dan menyediakan tempat pertolongan persalinan dan pelayanan kesehatan ibu dan anak juga kesehatan masyarakat sendiri. Polindes ini dirintis atau dikelolah oleh pamong desa setempat yang pelaksanaannya dilakukan oleh kader petugas puskesmas, maka petugas polindes pelayanannya tergantung pada keberadaan bidan atau merupakan suatu profesi kebidanan.

(30)

melaksanakan pembangunan di pedesaan yaitu sumber daya sosial yang dimiliki masyarakat pedesaan masih terbangun dengan baik. Hal ini jarang sekali diperhitungkan orang yang berada diluar pedesaan. Sementara sumber daya sosial itu dibangun dan dipelihara oleh lembaga-lembaga tradisional desa bersama pimpinannya. Yang pada umumnya desa-desa memiliki tiga macam sumber daya yang berpotensi, yaitu sumber daya alam (SDA), sumber daya manusia (SDM), dan sumber daya sosial (SDS). Ketiga sumber daya ini sangat signifikan dibangun untuk realisasi dalam pembangunan yang merakyat demi keberhasilan suatu bangunan yang di rencanakan.

Kita tidak heran lagi ketika pembangunan yang dilaksanakan pemerintah pada umumnya berskala besar, lengkap, dan moderen. Namun dalam realisasi pembangunan tersebut sering sekali membuat masyarakat pedesaan, khususnya yang berada pada kategori miskin dan terbelakang tidak mampu untuk mengikuti dalam tahapan berpartisipasi. Karena warga masyarakat pedesaan hanya dijadikan sebagai objek dan tidak dilibatkan untuk pembangunan yang berada diwilayahnya sendiri. Padahal partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan untuk perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pemeliharaan pembangunan.

(31)

pembangunan yang relevan adalah masyarakat, karena mereka mampu melaksanakan pembangunan secara mandiri, terdesentralisasi dan tepat sasaran. Dan apabila hal tersebut tidak diikutkan, maka sarana yang dibanguan tidak dapat bertahan lama. Juga dikhawatirkan pembangunannya tidak mendapat hasil yang baik. Untuk itu sangat perlu dalam menyikapi kurang jelasnya arah dibuat otonomi daerah yang seharusnya melibatkan masyarakat, sementara warga setempat tidak dilibatkan untuk pembangunan daerahnya sendiri, jelas kerancuhan yang akan timbul, sehingga otonomi daerah hanyalah sebatas harapan yang besar.

(32)

Untuk menerapkan pendekatan proses belajar itu, Korten (1988: 247) mengemukakan dua cara, yaitu : “Pertama, dengan membangun sebuah program dan organisasi yang sama sekali baru dari bawah. Kedua, dengan “mencangkok” proses tersebut pada organisasi yang ada, sehingga mempunyai kemampuan baru untuk bekerja dipedesaan.”

Konsep pembangunan seperti ini jelas berpusat pada manusia yang memandang inisiatif kreatif masyarakat sebagai sumber daya pembangunan yang utama dan memandang kesejahteraan material dan spiritual mereka sebagai tujuan pembangunan khususnya dipedesaan. Konsep ini juga dibentuk dalam satu visi menjadikan pembangunan sebagai gerakan rakyat untuk membangun ketimbang hanya sekedar sebagai proyek pemerintah semata.

Muara seluruh proses pembangunan adalah desa, sehingga desain pembangunan harus mengakomodir seluruh aspek yang berkembang dinamis dan beriorentasi membangun desa beserta masyarakatnya. Pembangunan desa memegang peranan penting yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan pada hakikatnya bersinergi terhadap pembangunan daerah dan nasional. Dengan kata lain, sesungguhnya makna pembangunan negara dan bangsa adalah pembangunan desa sebagai wajah yang nyata, bersifat lokalitas dan patut dikedepankan.

(33)

menjadikan penelitian ini dapat mencapai tujuan yang diharapkan dan tetap berada pada rel penelitian yang tepat.

PEMBANGUNAN

Gambar 2.1. Kerangka pemikiran

1.5. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka penelitian, penulis mencoba untuk membuat hipotesis penelitian sebagai alat mengukur pada analisis kuantitatif dilakukan terhadap infromasi atau data yang diperoleh dari hasil angket dengan menggunakan teknik analisis tabel frekuensi, dimana penelitian ini berupaya menjelaskan penilaian perbedaan pembangunan kesehatan masyarakat desa era otonomi daera sebelum dan sesudah otonomi daerah yaitu:

(34)

Gambar

Gambar 1.1. Puskesmas Binanga untuk Kecamatan Barumun Tengah dan    Kecamatan Aek Nabara Barumun
Gambar 2.1.  Kerangka pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan paparan respons jawaban peserta didik dalam menjawab butir soal no 3 di atas yang mengukur kemampuan menghubungkan permasalahan sehari-hari dengan

Pejabat Pengadaan Barang / Jasa Bidang Sumber Daya Air Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten

Berdasarkan pada dokumen kualifikasi Pengadaan Jasa Konsultansi Pekerjaan Pengawasan Pengerukan Kolam Pelabuhan Penyeberangan Kendal Tahun Anggaran 2012 dan hasil

Pembuktian terbalik yang diatur dalam Pasal 37 (2) Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Analisis Pengendalian Persediaan Bahan Baku Roti Guna Meminimumkan Biaya Persediaan Menggunakan Metode Economic Order Quantity (studi kasus pada CV. Foker Cake

Penelitian ini dikerjakan untuk mendapatkan gambaran sejauh mana tingkat kesiapan sekolah dalam menerapkan knowledge management sehingga pemanfaatan teknologi

dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu”. Yang mana berdasarkan pasal ini keperawatan merupakan salah satu profesi/tenaga. kesehatan

Oleh karena itu, murabahah tidak dengan sendirinya mengandung konsep pembayaran tertunda ( deffered payment ), seperti yang secara umum dipahami oleh sebagian