• Tidak ada hasil yang ditemukan

T2 752016014 BAB III

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T2 752016014 BAB III"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

78

BAB III

PEREMPUAN DALAM TRADISI NIAS

Sekilas Pandang Tentang Nias

a. Geografis

Memahami kedudukan perempuan serta makna keluraga dalam

kehidupan masyarakat Nias terlebih dahulu penulis menguraikan gambaran

geografis, penduduk, bahasa, dan mitos atau cerita rakyat Nias yang

berhubungan denggan penciptaan dan perempuan.

Nias adalah daerah kepulauan yang terletak di sebelah barat

pulau Sumatera, Indonesia, dan secara administratif berada dalam wilayah

Provinsi Sumatera UtaraKepulauan Nias terdiri dari 132 pulau, memiliki

luas daratan kurang lebih 5.625 km2 (7,8 % dari wilayah Sumatra Utara),

yang terletak diantara 0ᵒ 12‘ dan 1ᵒ 32‘ garis lintang Utara dan 97ᵒ dan 98ᵒ

bujur Timur. E. Fries yang kutip Tuhoni Telaumbanua dan Uwe Hummel,

mengatakan bahwa kepulauan Nias berbatasan dengan1:

- Di bagian utara dengan pulau-pulau banyak Aceh

- Di bagian selatan dengan Pulau Mentawai—Sumatra Barat

- Di Bagian Timur dengan Tapanuli Tengah—Sumatra Utara

1 Tuhoni Telaumbanua dan Uwe Hummel, Salib Dan Adu, Studi sejarah dan Sosial-budaya

(2)

79 - Di bagian Barat dengan Samudra Hindia

Untuk bisa sampai di Nias bisa melalui Laut lewat pelabhan Sibolga

atau Padang, bisa lewat penerbangan Udara dari Kuala Namu Medan atau

Padang ke Binaka Gunungsitoli.

Dulunya kepulauan Nias merupakan salah satu kabupaten di propinsi

Sumatra Utara, namun pada tahun 2003 Kepulauan Nias menjadi dua

kabupatan yakni kabupaten Nias dan Nias Selatan (Nias Selatan mencakup

pulau-pulaau batu yang diakui sebagai kabupaten pada 25 Februari 2003 dan

diresmikan pada 28 Juli 2003). Pada 29 Oktober 2008 terjadi pemekaran

besar-besaran di kabupaten Nias—Nias Induk, Nias Barat, Nias Utara dan

Kota Gunungsitoli. Kemudian ada wacana dan perjuangan (yang belum

terkabulkan) pembentukan propinsi kepulauan Nias.

Gambar 1. Peta Pulau Nias2

2

(3)

80

A. Agama, Penduduk dan Mata Pencaharian

Agama mayoritas di daerah ini adalah Kristen Protestan dimana 90%

penduduknya memeluk agama ini, sedangkan sisanya

beragama Katolik, Islam, dan Budha. Penduduk yang memeluk agama

Islam pada umumnya berada di wilayah pesisir Kepulauan Nias

Tabel 1 : Data pemeluk agama di kepulauan Nias tahun 20153.

Kabupaten/kota Islam Protestan Katolik Hindu Budha Konghucu Jumlah

Gunungsitoli 17,151 99,483 9,112 0 245 2 126,202

sementara suku-suku lain disebut sebagai pendatang (sifatewu atau

sanawa)4. Sebagian kecil di daerah perkotaan adalah pendatang yang

berprofesi sebagai pedagang, Pegawai Negeri Sipil (PNS), Buruh.

Mayoritas Penduduk Nias bermata pencaraharian petani—terutama

petani karet (sebagian besar daratan Nias ditanami dengan tanaman karet),

beternak (ayam dan babi), berladang; menam ketela rambat (daunya

dijadikan makanan pokok babi) dan ketela pohon, jagung, menanam padi di

sawah, sebagian lainya adalah PNS, buruh bangunan, buruh pelabuhan,

3 Sumatra utara dalam Angka BPS tahun 2015 4

(4)

81 karyawan, nelayan, pembantu rumah tangga, supir, tukang becak, dan

sebagian lainya menjadi buruh dan pekerja kasar di berbagai perusahaan

swasta di kota-kota besar.

B. Bahasa

Dalam beberapa tulisan mengungkapkan bahwa Nias masuk dalam

rumpun bahasa Melayu-Polinesia (Austronesia) 5, walaupun demikian secara

morfologi (linguistic) bahasa Nias yang disebut Li Niha sangat berbeda

berbeda dan tidak memiliki padanan yang mirip atau sama dengan

bahasa-bahasa yang ada di dunia, kecuali ―kata‖ dua, lima yang sama dengan

bahasa Indonesia dan Ama atau Ina yang mirip tetapi tidak sama dengan

makna Ama dan Ina dalam bahasa Sumba atau Timor.

Secara tata bahasa, kosa kata li Niha selalu terbuka bukan tertutup

atau berakhir dengan huruf fokal bukan konsonan, karena itu setiap

ungkapan tidak memiliki ―huruf‖ penutup, misalnya, manga (makan),

mofanȍ (bepergian), mȍrȍ (tidur), dll.

Ada dua logat (logat Nias Selatan dan Nias bagian Utara), sebagian

kecil ada perbedaan pengungkapan bahasa yang berbeda digunakan di Nias.

Perbedaan pengungkapan terkadang tidak menimbulkan kesalahpahaman

atau kesulitan dalam membangun komunikasi, mengingat proses

komunikasi yang berlangsung lama dan adanya pembauran antara

masyarakat dari Nias Selatan dan Nias, sehingga sudah tidak asing lagi bila

mendengar uangkapan dari salah satu bahasa yang dituturkan.

(5)

82 Tabel 2. Contoh perbedaan dalam pengungkapan

Bahaa Indonesia Nias Nias Selatan

Kepala Hȍgȍ Telau

Ada beberapa fersi cerita rakyat yang terdapat dalam masyarakat Nias,

baik cerita tentang kosmologi maupun cerita tentang asal-usul nenek

moyang Nias yang keduanya kadang merupakan cerita yang tidak bisa

dipisahkan (berepisode) dan tidak terlepas dari kuasa-kuasa ilahi. Namun

sebagian lainya (kosmologi da nasal-usul nenek moyang) tidak berhubungan

satu dengan lainya.

Menurut beberapa cerita, kisah kosmologi dan penciptaan manusia

bahwa pada mulanya segala sesuatunya kacau balau dan dipenuhi dengan

kegelapan. Maka dalam situasi ini ―Sang pengada‖ yang dianggap memiliki

kekuatan ajaib, perasaanya sangat halus, pemandanganya kedepan sangat

jauh, dan memiliki pendengaran yang sangat peka.6 Sang Pengada ini

kemudian dianggap sebagai ilah yang disebut ―Sihai‖7

atau dalam versi lain

6 Faogȍli Harefa,

Hikajat dan Tjeritera Bangsa Serta Adat Nias, (Sibolga, Rapatfonds Residentie Tapanoeli: 1939), 4

(6)

83

disebut Inada Samihara Luo8 tidak memiliki ayah dan ibu, dia bukanlah

hasil ciptaan, melainkan pencipta lagit, dewa-dewi.

Sebuah kisah penciptaan9 yang mirip dengan kisah penciptaan dalam

Kitab Kejadian. Bahwa suatu waktu Sihai sebagai Sang Pengada,

menciptakan seorang yang bernama Sitahu. Lalu Sihai menciptakan sesuatu

dari kehampaan bagaikan lumut yang halus yang disebut lȍlȍu nuwu nangi,

sebesar butir beras, lalu memerintahkan Sitahu untuk mengadu benda

tersebut dengan ujung jarinya, maka dari kesaktian Sitahu benda itu

semakin besar, maka terjadilah langit yang pertama, kemudian diambilnya

lagi sebesar butir beras dari lagit pertama, lalu diaduk dengan ujung jarinya,

maka terjadilah langit kedua, begitu seterusnya sampai terbentuklah lagit

kedelapan yang disebut Tetehȍli’ana’a, di dalamnya terdapat berbagai

sumber kehidupan dan kekayaan yang tidak ada bandingnya, kemudian

diciptakanlah langit kesembilan yang disebut dengan bumi—itulah Tanȍ

Niha (pulau Nias).

Setelah pekerjaan sembilan tingkatan langit terbentuk, maka

berpikirlah Sihai untuk mengisi dan membuat keteraruran di bumi/tanȍ Niha

(langit ke Sembilan); awalnya Sihai mengadu udara lalu terbentuklah batang

air yang namanya Zea—itulah sumber segala sungai di Nias; selanjutnya dia

mengadu udara dan terbentuklah petir dan kilat sehingga terciptalah api;

kemudian diadunyalah udara yang menyerupai warna merah, maka

terbentuklah matahari yang menerangi alam semesta, kemudian membentuk

8 Suzuki, 3-5; bdk, Telaumbanua dan Hummel, 20

9 Bdk. Harefa, 4-12, bdk, Zebua 62-96; Bdk, Sadieli Telaumbanua, Representasi Budaya Nias

(7)

84 ikan dan burung, kemudian tumbuh-tumbuhan, binatang yang bertulang

belakang, dan terakhir adalah segala sesuatu perkakas yang dibutuhkan di

bumi seperti besi, perak, emas, kuningan dll.

Setelah segala sesuatu di bumi dilihat telah lengkap, maka berpikirlah

Sihai untuk menciptakan sesuatu, maka diambilnyalah zat yang sangat

jernih dan dibentuklah sesuatu menyerupai boneka cantik. Dari boneka

tersebut diambilnya sebesar setengah kuku kelingking lalu dibungkus

dengan benda yang sangat halus menyerupai sutera halus lalu ditanamnya di

tanah yang baik, setelah tertiup angin, maka munculah sebentuk kecumbu

lalu semakin besar, berakar, berbatang dan berdaun, tumbuhan ini sangat

harum—kemudian disebut Tora‘a. Beberapa saat kemudian Tora‘a

berbunga dengan sangat indah, setelah bunganya mekar, dari pucuk bunga

itu keluarlah makluk yang sangat indah bagaikan boneka, lalu jatuh ke

tanah, lalu Sihai mengambil dan memberkati, lalu bergeraklah benda

tersebut, selanjutnya Sihai mengucapkan sesuatu ke benda tersebut, maka

benda itu memiliki akal budi—jadilah seorang manusia yang berjenis

kelamin laki-laki yang diberi nama Mosilaȍwa. Kemudian keluar pucuk

bunga Tora‘a berikutnya, dan seperti proses yang sebelumnya, maka jadilah

perempuan yang diberi nama Buruti. Mosilȍwa dan buruti menjadi

pasangan suami istri; terciptalah keluarga pertama dalam masyarakat Nias.

Mosilaȍwa dan Buruti memiliki tiga orang putra, namun hanya satu

orang memiliki keturunan yakni Tuha Sidunia Lȍlȍmbawa. Pada garis

keturunan yang ke 25 Tuha Sidunia Lȍlȍmbawa keturunan yang diberi

(8)

85

Langi Sagȍrȍ banua, Mangola Tanȍ, dan Mamulikhe bihara. Langi Sagȍrȍ

banua memiliki memiliki dua putra yakni Sirao dengan beristri Buruti Rao,

Mangaraja Langi. Sirao dan Buruti kemudian menjadi nenek moyang orang

Nias yang diturunkan ke bumi. Anak-anaknya adalah Tuha Bawuadanỡ, 2.

Tuha Zangarỡfa, 3. Tuha Bela, 4. Tuha Simanga Buaweto Alitỡ, 5. Tuha

Samadu Sonamo Dalỡ, 6. Hia Walangi Adu, 7. Gỡzỡ Helahela Danỡ, 8.

Daeli Sanau Talinga, 9. Luo Mewỡna

Berkaitan dengan tulisan ini, sebuah bentuk cerita lain yang dipercaya

oleh masyarakat Nias menuturkan bahwa asal usul orang Nias10 dariInada

Samihara Luo (Dewi Matahari). Inada Samihara Luo lahir dari kabut,

kemudian menciptakan manusia melalui tubuhnya yang terbelah lalu

lahirlah seorang perempuan yang bernama Inada Samadulo Hösi yang

menjadi ibu para dewa dan manusia. Samadulo Hösi (tanpa bersuami)

memiliki 2 (dua) pasang anak kembar. Pasangan pertama Latura Danö

dengan sebutan lain Lawaero Watua —sebagai penguasa dunia

bawah/neraka, menikah dengan saudari kebarnya Hinaya Ndrao Tane‘a

Danö dengan sebutan lain Hinaya Ndrao Jisiwa Bulua. Pasangan kedua

Sabölö Luo Gögömi (sebagai penguasa dunia atas/Teteholi’ana’a dengan

sebutan lain Sabölö Luo Sabua atau Lowalangi, menikah dengan saudari

kembarnya Nadawa Mölö dengan sebutan lain Najaria Mbanua sering juga

disebut dengan nama Silewe Hai Nazarata, lalu mereka memiliki Anak dan

menjadi nenek Moyang masyarakat Nias yakni Sirao. Salah satu versi Mitos

Asal usul Nias menuturkan bahwa Sirao memiliki 9 orang anak 1. Tuha

10Bdk. Peter Suzuki, The Religious System And Culture Of Nias, Indonesia : (Granvenhage,

(9)

86

Bawuadanỡ, 2. Tuha Zangarỡfa, 3. Tuha Bela, 4. Tuha Simanga Buaweto

Alitỡ, 5. Tuha Samadu Sonamo Dalỡ, 6. Hia Walangi Adu, 7. Gỡzỡ

Helahela Danỡ, 8. Daeli Sanau Talinga, 9. Luo Mewỡna11

Inada Silewe Hai Nazarata disebut-sebut sebagai pribadi yang sangat

berperan dalam kehidupan manusia, menata harmoni kehidupan yang

kemudian membudaya (walaupun budaya tersebut mengalami pergeseran).

Silewe Hai Nazarata disebut sebagai Ibu dari orang Nias. Sebagai ibu, dia

adalah sumber kehidupan, sumber kasih sayang yang tidak berpihak dan

tidak bersyarat (unconditional), sangat bertanggung jawab, sumber suka

cita, dan dunia bagi laki-laki12. Sebaliknya, sebagai respon dari manusia,

Silewe Hai Nazarata yang terimplementasi dalam diri perempuan harus

dihargai, dihormati, disayangi (ira alawe nifolakhömi, Nifosumange sibai).

Sikap seperti ini menjadi budaya dalam masyarakat Nias. Cerita ini sering

sering dituturkan melalui syair tradisional Nias, terutama dalam

syair-syair yang menata harmoni dan aturan yang harus di lakukan dalam sebuah

pernikahan. Salah satunya adalah13.;

syair yang dituturkan oleh para penatua adat dari pihak pengantin

perempuan dengan cara penuturan khas adat Nias

Tabel 3: Syair yang menuturkan peranan Silewe Hai Nazarata dalam menata kehidupan Masyarakat Nias

Penelitian Arkeologi dan antropologi, (Jakarta, Yayasan Obor: 2010),167-169

12Bdk. Erick Fromm, Cinta, Seksualitas, dan Matriaki: Yokyakarta, Jalasutra: 2007), 6-7 13

(10)

87

nidano taya wa’owokhi dodo, menjadi membahagiakan, daun sirih yang tobali tawuo ösi mbola marafule, jika sudah digulung dan dikunyah,

maka segala rasa haus akan sirna, tawuo osi mbola numönö,

solemba ba baluze nora jowatö-sonuza

menjadi isi bola penganti laki-laki

Cerita lain menuturkan bahwa nenek moyang orang Nias berasal dari

suku bangsa besar yakni Austronesian (Sebagian besar suku bangsa tersebut

merupakan orang Taiwan atau dahulu bernama Yunan). Orang Yunan yang

berekspansi sejak 5.000 tahun lalu terdampar di Kepulaan Nias. Mereka

tidak berlabuh di pantai, tetapi menyusuri sungai yakni sungai Susua,

hingga tiba di salah satu desa tua di kecamatan Gomo namanya Börö Nadu

Gomo.15

D. Fondrakȍ dan Famatȍ Harimao

Untuk menjamin keteraturan sosial, menjamin hak-hak seseorang atau

kelompok, masyarakat Nias membuat suatu aturan adat (agama, adat dan

pemeritahan menyatu). Dalam sebuah proses pertemuan para tua-tua adat

yang terdiri dari Balugu atau Tuhenȍri, satua mbanua (kepala adat)/ di Nias

14 Bola atau bola-bola adalah sejenis dompet tradisional Nias yang dianyam dari daun pandan

atau ecek gondok yang digunakan khusus untuk tempat sirih (yang dimaksud sirih bukan hanya daunya, tetapi yang dimaksud sirih dalam tradisi Nias adalah daun sirih, pinang, tembakau, kapur sirih, daun gambir). Bagi orang Nias, symbol penghargaan dan relasi yang antara beberapa pihak berada pada sirih (Afo). Karena itu segala acara adat, tidak akan berjalan bila sirih atau afo tidak ada. Begitu juga dalam sebuah keluarga, sebagai penghargaan dan penyambutan tamu dirumah, kepadanya disuguhkan Afo, dalam relasi personal dalam lingkungan sosial, setiap pribadi akan membawa bola nafo pribadi, bila bertemu dengan orang lain, maka hal yang pertama yang harus dilakukan adalah menyuguhkan afo dari bola nafo

15.Tempointeraktif, Sabtu 25 November 2006 dan di Kompas, Rabu 4 Oktober 2006 Rubrik

(11)

88

selatan di hadiri oleh Tuhenȍri, balȍ zi’ulu, Si’ulu dari beberapa kampung

dan ȍri untuk membahas dan menetapkan sebuah hukum baru. Pertemuan

ini disebut Fondrakȍ (Nias Utara) atau Famatȍ harimao (Nias Selatan).

Fondrakȍ atau Famatȍ harimao di lakukan untuk menjawab setiap

kebutuhan sosial atas berbagai peristiwa atau perubahan sosial dalam sebuah

masyarakat karena perubahan sosial yang terjadi dalam sebuah masyarakat.

Fondrakȍ atauFamatȍ harimao dihadiri oleh para laki-laki yang dipimpin

oleh seorang Ere, dan kemudian hasilnya diumumkan oleh balugu atau

Tuhenȍri tertinggi. Setelah pengumuman hasil pertemuan, maka Ere

membacakan sumpah dengan ritual-ritual, yang kemudian ditutup dengan

jampi-jampi sambil memberkati peserta dengan percikan air dari daun

kelapa yang masih muda. Bagi yang melanggar akan mendapat kutukan dan

hukuman yan seberat-beratnya.

Beberapa tema besar yang menjadi pembahasan dalam fondrakȍ

atau famatȍ harimao adalah16;

1. Huku sifakhai ba mboto niha. (segala sesuatu yang berhubungan

dengan keselamatan seseorang). Hukum adat mengatur hukum

peradilan bagi pelaku kejahatan (ringan atau berat) yang mengancam

kehidupan seseorang

2. Huku sifakhai ba gokhȍta (hukum yang berhubungan dengan harta

benda). Dalam hukum adat masyarakat Nias ada penjaminan

kepemilikan pribadi, dan juga kepemilikan bersama, misalnya tanah

(12)

89 adat. Tanah adat tersebut berupa lahan atau hutan yang sangat luas

yang menjadi milik masyarakat desa atau kampun tertentu.

3. Huku sifakhai ba jumange ba lakhȍmi (hukum yang berhubungan

dengan harga diri dan martabat seseorang), dalam hukum ini, disepakati

hukum-hukum yang berhubungan dengan martabat seseorang terutama

para tua-tua adat, strata sosial, dan lebih lagi pada martabat seorang

perempuan, karena perempuan adalah seorang ibu. Contoh; bagaimana

hukum bagi orang yang main mata, mencoleh tangan saat bersalaman,

mengintip orang mandi. Dll. Pihak yang dilindungi adalah perempuan.

4. Huku soamakhaita ba wa’atumbu, falȍwa, bȍwȍ, fa’amate, (hukum

yang berhubungan siklus kehidupan dan stratifikasi sosial), apa yang

dilakukan saat seseorang dalam kandungan, lahir, remaja, menikah,

meninggal)

5. Huku so’amakhaita lala halȍwȍ ba fondrȍnia’ȍ (segala sesuatu yang

berhubungan dengan pekerjaan dan kepemimpinan yang di dalamnya

terdapat pranata/hukum kepemimpinan dalam keluarga

Konsep, Tujuan dan Fungsi Keluarga Dalam Masyarakat Nias

Secara tata bahasa Nias, keluarga diartikan ―ngambatȍ‖, yang terdiri dari

dua suku kata yakni nga artinya satu kesatuan, satu unit, satu rumpun, dan mbatȍ

artinya lantai, tempat tidur dari lantai (tanpa ranjang) dalam rumah tradisional

Nias.17 Dari arti leterlek tersebut, masyarakat Nias memahami secara sederhana,

keluarga sebagai sekelompok orang yang berteduh dalam sebuah rumah di sebuah

kampung yang terdiri dari laki-laki dewasa yang disebut suami dan perempuan

17

(13)

90 dewasa yang disebut istri yang memiliki ikatan pernikahan yang sah secara

adat18. Pernikahan ini ini terjadi bukan atas kehendak berdua atau dilandaskan

cinta, melainkan atas kehendak keluarga besar—pernikahan yang terjadi karena

perjodohan19. Setelah pernikahan, maka suami istri mulai belajar untuk saling

mengenal dan mencintai20. Dalam tradisi, laki-laki dikenal sebagai pembentuk

keluarga karena itu dia disebut sebagai hȍgȍ ngambatȍ (kepala keluarga) dan istri

disebut sebagai solaya talinga mbatȍ (pengelola rumah tangga), sebagai

pengelola, istri bertugas sebagai bendahara atau pemegang kas keluarga.

Anak-anak disebut sebagai ȍsi ngambatȍ (anggota rumah tangga)

Dikatakan sah secara adat, karena sebelum agama Kristen dan dan

pemerintahan masuk dalam sendi kehidupan masyarakat Nias, maka yang menata

segala sendi kehidupan masyarakat adalah hukum adat yang telah dihukumkan

melalui fondrakȍ atau famatȍ harimao.

Dalam perkembanganya, masyarakat Nias memahami keluarga sebagai

sekelompok orang (seorang laki-laki dewasa yang disebut suami dan atau ayah

dan seorang perempuan dewasa yang disebut istri dan atau ibu beserta beberapa

orang anak kandung atau angkat) yang memiliki komitmen untuk sehidup (namun

tidak semati) bersama dengan memiliki ikatan pernikahan yang sah menurut

18

Yang berhak memutuskan dan mengesahkan sebuah pernikahan adalah warga masyarakat yang menghadiri pesta pernikahan yang dipimpin oleh kepala suku dan para kepala adat dari kedua belah pihak (pengantin laki-laki dan perempuan)

19 Perjodohan bisa terjadi atau dilakukan saat sepasang muda-mudi sudah besar, atau

perjodohan juga bisa dilakukan saat sepasang manusia masih kecil atau bayi atau ada perjodohan yang dilakukan saat manusia tersebut masih dikandungan ibunya. Perjodohan dari kandungan terjadi karena adanya hubungan kekeluargaan yang baik dari kedua keluarga, sehingga ada keinginan untuk semakin mempererat hubungan tersebut dengan menikahkan anak mereka kelak. Perjodohan dari kadndungan atau dari kecil bisa dilakukan antara kerabat dekat dengan tujuan agar hubunagn persaudaan yang terjalin baik terus terjalin sekaligus agar harta warisan dari keluarga laki-laki yang melamar tidak beralih ke keluarga yang lain. ( A. Suarni Ge`e, A; A. Reti

Gulȍ; A. Fite Daeli)

20Bdk. Faogȍli Harefa,

(14)

91 Agama, Pemerintahan dan Adat dan memiliki suatu ikatan bathin yang sangat

kuat21. Beberapa hal yang perlu digaris bawahi dari konsep terakhir yakni;

1. ―Seorang laki-laki dewasa dan perempuan dewasa‖ konsep ini

menandakan bahwa kalau dulu Nias masih memiliki peluang untuk

berpoligami bagi yang menghendaki, memiliki kemampuan ekonomi,

maka dengan masuknya kekristenan, maka masyarakat Nias dilarang untuk

berpoligami—masyarakat menganut monogamy.

2. ―anak angkat‖. Saat pernikahan terjadi, maka kepada pengantin

perempuan diberi salah satu julukan yakni ―bene’ȍ‖ artinya berbunga.

Pengantin perempuan di identikan dengan tumbuhan yang harus selalu

berbuah, artinya melahirkan anak-anak sebagai pewaris bagi suaminya,

jika hal itu tidak bisa dikabulkan, maka suami berhak untuk menikah

kembali (bagi yang mampu secara ekonomi). Namun berkaitan dengan

catatan pertama, seorang laki-laki dilarang untuk menikah kembali atau

menceraikan istrinya, karena demikianlah ajaran agama yang kemudian

jadi tradisi baru yang tidak boleh dilanggar. Namun untuk mendapatkan

seorang pewaris atau membuat sebuah keluarga semakin hangat atau

bahagia, sebuah keluarga ada kemungkinan untuk mengadopsi seorang

atau lebih (hal ini bisa disebabkan karena tidak memiliki anak atau anak

laki-laki).

Masyarakat Nias memiliki beberapa tujuan dalam pembentukan sebuah

keluarga22;

21A. Citra Zebua, A. Ya‘ia, A. Fite Daeli

(15)

92

1. Memperoleh keturunan sebagai pewaris. Garis keturunan tersebut diwariskan

melalui anak laki-laki. Itulah sebabnya anak laki-laki disebut sebagai ―ono

fangali mbȍrȍ jisi, ono Fangali mbu’u kawongo” (anak laki-laki sebagai

generasi penerus tradisi-tradisi keluarga dan ahli waris dan juga sebagai

pelindung keluarga). Bagi masyarakat Nias, anak laki-laki sangat penting,

dibanding dengan anak perempuan, itulah sebabnya bila sebuah keluarga tidak

memiliki anak laki-laki maka laki-laki (suami) akan menikah kembali—Nias

tradisional terbiasa dengan poligami.

2. Memperoleh tingkatan kedudukan sosial yang lebih tinggi. Masyarakat Nias

mengenal dua belas tingkatan sosial/strata sosial (baca: strata Sosial. Strata

pertama sampai dengan strata ke enam masuk dalam tingkatan perkembangan

umur seseorang (masa anak-anak)—hal ini tidak bisa dikategorikan sebagai

starata/kelas, namun dihitung sebabgai tahap yang harus dilalui seseorang

untuk menuju strata sosial yang tinggi dalam sebuah masyarakat.

3. Berhubungan dengan tujuan nomor dua, seseorang (anak sulung) laki-laki

yang telah menikah berhak mewarisi kedudukan orang tua dalam adat.

Seyogianya dalam adat selalu diwarisi oleh anak sulung, tetap jika anak sulung

belum menikah atau berkebutuhan khusus, maka hak pewarisan

kedudukan/jabatan adat itu dilabelkan kepada anak laki-laki yang terlebih

dahulu menikah. Namun jika suatu waktu anak sulung menikah, maka hak

pewarisan tersebut akan kembali kepada anak sulung.

4. Masih berhubungan dengan nomor dua, seseorang yang telah menikah

terhitung sebagai orang dewasa dan satu kepala keluarga sehingga layak

(16)

93 (Fa’asambua mbumbu nomo ma sambua balȍ gȍ,). Seseorang yang berumur

dewasa, namun belum menikah tidak akan diperhitungkan sebagai sebuah

kepala keluarga dalam lingkungan sosialnya—masih dianggap anak-anak.

5. Famakhai zitenga bȍ’ȍ; artinya menjalin dan mempererat hubungan

persaudaran antara keluarga dan atau desa, itulah sebabnya ada ungkapan bagi

perempuan “Ira Alawe Zamaogö Banua, ba ira alawe göi zamoto banua

(perempuan sebagai pemersatu, tetapi bisa juga sebagai pemecah belah dan

biang perselisihan).

6. Media perdamaian antara keluarga atau desa yang lain; ada ungkapan yang

baik bagi perempuan ―Ono Alawe Sanau Tugoa,Ono Alawe Sanau Talinga,

Ono Alawe Samatöla Banua, Ono Alawe Samatöla Gana.” (anak gadis yang

baik dan bijak akan menjadi penghubung dan pemersatu antara desa yang satu

dengan desa lain). Mengapa perlu perdamaian. Pada masa Nias kuno, konflik

antara desa yang satu dengan lainya sering terjadi, konflik yang terjadi akan

berujung perang dan kematian pemuda-pemuda pemberani di kedua belah

pihak. Itulah sebabnya, bila salah satu balungu atau satua mbanua berinisiatif

membangun perdamaian dengan cara melamar anak gadis balugu atau satua

mbanua desa yang sedang bertikai dengan desanya.

7. Tujuan politis. Mengingat hubungan antara desa terkadang terjadi ketegangan,

maka pernikahan antara desa dilakukan, bukan hanya membangun perdamaian,

tetapi juga persekutuan politik, sehingga bila ada desa yang bersengketa

dengan desa lain, maka desa tersebut akan membangun koalisi dengan desa

sahabatnya23.

(17)

94 Yang berhubungan dengan konsep dan tujuan pembentukan sebuah keluarga

dalam masyarakat Nias, maka ada beberapa fungsi keluarga menurut tradisi Nias;

1. Fungsi reproduksi, terutama anak laki-laki sebagai ahli waris dan penerus

tradisi sekaligus pelindung keluarga

2. Fungsi perdamaian. Para perempuan-perempuan menjadi agen

perdamaian baik di dalam keluarga maupun di kampung atau antara desa

(Baca: Agen Perdamaian)

3. Fungsi ekonomi. Di dalam keluarga terjadi pengelolahan perekonomian

untuk mencukupi kebutuhan setiap hari dan peningkatan taraf hidup yang

berujung pada peningkatan strata sosial sebuah keluarga

4. Fungsi sosialisasi tradisi dan nilai-nilai sebuah keluarga dan sosial. Fungsi

keluarga sebagai sosialisasi berlangsung seumur hidup. Namun beberapa

hal yang saling menonjol dalam sosialisasi adalah mempersiapkan

seseorang menjadi pribadi yang mandiri dan mampu membangun rumah

tangga yang sejahtera;

 Famoto (baca: strata sosial) tidak hanya bertujuan untuk kesehatan

seseorang, tetapi Famoto memiliki dua makna yang terkadang tidak

sadari pertama adalah kepatuhan. Seseorang yang baru di boto kelak

harus patuh kepada orang yang mamoto (orang yang menyunat) karena

orang itulah yang mengetahui, memotong dan melepaskan dia dari rasa

malu—karena bagi orang Nias, tanpa Sunat adalah suatu aib. Kedua

adalah Kemandirian. Seseorang yang sudah di boto harus menjadi

(18)

95

 Fame`e ba Folohe Gari (belajar memegang dan menggunakan

pedang), setelah di boto (bagi laki-laki), dan famofo (meratakan gigi

bagi perempuan) maka seorang laki-laki akan dilatih cara

menggunakan pedang—bukan hanya untuk berperang, tetapi juga

untuk berburu, dan bertani atau mencari kebutuhan hidup. Begitu juga

seorang perempuan dilatih untuk bertani, cara menggunakan pisau

(kecil) untuk berkebut, cara menanam padi, ketela (rambat dan pohon),

dan beternak.

5. Fungsi psikologi; adanya perlindungan kepada setiap anggota keluarga

dari tekanan dan ancaman dari luar—hal ini disimbolkan dengan

tinggalnya sebuah keluarga dalam sebuah rumah24

6. Fungsi cinta kasih. Keluarga merupakan lembaga pertama untuk

mengekspresikan sekaligus mendapatkan kasih sayang. Dalam

keseharian cinta tidak mesti dalam tuturan kata atau syair-syair lagu atau

puisi, tetapi lebih pada ekspresi tingkah laku.

Bentuk-Bentuk Keluarga Dalam Masyarakat Nias25

Dalam masyarakat tradisional Nias ditemukaan beberapa bentuk keluarga;

1. Sangambatö adalah keluarga inti (nuclear family) yang terdiri dari

suami-istri yang baru membentuk keluarga (fongambatö), atau mungkin sudah

lama membentuk keluarga sehingga belum memiliki anak, atau mungkin

sudah memiliki beberapa anak, tetapi anak-anak masih belum menikah.

24

Rumah merupakan symbol benteng pertahanan bagi keluarga, rumah adalah zona aman tanpa ancaman dari luar, itulah sebabnya rumah tradisional Nias bentuknya rumah panggung, pintu dari samping atau dari bawah rumah dan dari belakang—dengan model rumah seperti ini, maka segala ancaman dari binatang buas dan atau dari sesama bisa diminimalisir.

(19)

96 2. Sangambatö Sebua (keluarga besar) yang dibagi 4;

a. Saudara-saudara yang ada hubungan darah dengan bapak yang disebut

talifuso atau Iwa. Gabungan–gabungan dari sangambatö sebua ini dari

satu leluhur disebut Mado (di Nias Utara, Timur dan Barat). Setiap

nenek moyang dan keluarga keturunannya memiliki atia nadu. Sampai

generasi yang kesembilan perkawinan diantara keturunannya dilarang

untuk generasi selanjutnya perkawinan diantara keturunannya tidak

menjadi masalah lagi. Hanya saja persyaratan harus dipenuhi yakni;

memisahkan atianadu keturunan tersebut dari

kumpulan atia nadu nenek moyang dan membayar pemisahan itu

dengan memotong babi sebesar 4 alisi ( babi seberat 40 kilogram) dan

memberi emas sara siwalu (seekor babi sebesar 8 alisi/80 kg atau emas

14 karat seberat 10 gram) 26. Babi tersebut diberikan oleh pihak

laki-laki. Upacara pemisahan Atia Nadu ini menandakan bahwa mereka

bukan saudara lagi (tidak memiliki hubungan darah). Dengan demikian

pernikahan bisa dilangsungkan27. Apabila anak sangambatö tadi

terutama anak perempuan kawin maka yang banyak memegang peranan

ialah keluarga dari pihak suami. Mulai dari awal upacara sampai

berakhir, mereka yang menjadi penghubung antara pihak laki-laki dan

orangtua perempuan serta yang menentukan segala sesuatu yang

berhubungan dengan upacara tersebut. Mereka ini merupakan kelompok

(20)

97

kekerabatan yang disebut menurut dekatnya dengan sangambatö tadi.

Kelompok keluarga yang paling dekat yaitu yang sekandung dan

sepupu dihitung dari garis keturunan pihak laki-laki yang disebut Iwa.

b. Saudara/saudari yang ada hubungan darah dengan saudari ayah yang

disebut onoalawe. kelompok-kelompok saudara perempuan yang sudah

kawin beserta keluarga mereka masing-masing, yang disebut fadono

atau ono alawe, termasuk keluarga yang mengawini anaknya

perempuan. Kelompok ini merupakan pekerja dalam upacara yang

dilaksanakan oleh sangambatö tadi. Itulah sebabnya dalam

pembagian urakha (jatah makanan berupa daging babi) yang menjadi

bagian mereka adalah tangan/kedua kaki bagian depan sebagai lambang

kecekatan.

c. Keluarga dari pihak istri (ibu) yang disebut uwu, Menurut tradisi Nias

uwu adalah sumber kehidupan bagi anak-anak sangambatö, hal inilah

yang menjadikan derajat uwu lebih tinggi kedudukannya dari semua

bentuk keluarga, karena itu selalu mendapat penghormatan yang

tertinggi dari ngambatö tersebut. Karena uwu adalah sumber kehidupan

maka mereka harus mendapat penghormatan yang lebih tinggi dari

kelompok keluarga lainnya. Kalau mereka baru pertama kali

datang/berkunjung kerumah saudarinya (sangambatȍ), maka saudarinya

harus memotong seekor babi. Tidak ada alasan tidak ada persediaan,

harus dicari biarpun berutang. Selain memotong anak babi biasanya

pemilik rumah tersebut haruslah memberikan penghargaan dengan

(21)

98

amplop berisi uang sebagai permohonan berkat (fanefe idanö). Jika

pihak keluarga uwu mengamati bahwa keluarga sangambat memiliki

ekonomi yang lemah maka uwu jarang datang kerumah saudari

perempuan yang telah menikah

d. Keluarga yang memberi istri bagi anak laki-laki sangambatö merupakan

satu bentuk keluarga yang disebut sitenga bö’ö. Sangambatȍ harus

memperlakukan zitenga bö’ö sebagai mana halnya keada uwu.

Kelompok ini harus selalu diundang apabila sangambatö mengawinkan

anaknya, mengadakan pesta kematian (syukuran) atau pesta adat

lainnya.

3. Banua (kampung)—kampung dipimpin oleh seorang kepala adat yang

terdiri dari saudara/saudari yang memiliki hubungan darah dengan bapak

(memiliki satu nenek moyang dari bapak)

4. Fongambatȍ lakha (Keluarga janda atau duda) yang terdiri dari seorang

janda atau duda yang memiliki anak dan atau tidak memiliki anak namun

hidup dalam satu rumah atau menumpang di rumah orang lain.

Strata Sosial Masyarakat Nias.28

a. Strata pertama adalah masa jambang bayi masih dalam kandungan. Masa ibu

muda hamil, maka keluarga datang ke rumah mertua (orangtua dan keluarga

perempuan) untuk menginformasikan bahwa keluarga tersebut telah terberkati

dengan sebuah kehamilan (hal ini hanya dilakukan pada anak pertama)

dengan membawa makanan (nasi dan daging anak babi yang dibungkus rapi

(22)

99 dari daun pisang). Sesampai di rumah mertua maka orang tua perempuan

merestui dengan memberkati dan mendoakan kandungan tersebut. Strata ini

disebut fangaruwusi. Ibu muda ini didoakan dan diberkati, karena kelak dalam

proses persalinan dialami dengan sangat berat. Persalinan tidak dilakukan di

rumah tetapi di bawah pohon besar disebuah hutan, menurut anggapan orang

Nias kuno, bahwa saat persalinan ada roh-roh jahat, karena itu persalinan itu

tidak boleh dilakukan di rumah agar roh-roh jahat tersebut tidak mendekat di

rumah. Saat persalinan akan terjadi, ibu muda di antar dan dilengkapi dengan

doa-doa baik dari orang tua maupun dari Ere sehingga proses tersebut berjalan

dengan baik29.

b. Fa’atumbu ba fangai bowoa. setelah kelahiran anak pertama (laki-laki dan

perempuan), maka orang tua anak tersebut membawa anaknya ke rumah

kakek-neneknya dengan membawa makanan (nasi dan daging seekor anak

babi) serta membawa uang atau emas yang disebut ȍmȍ ndraono (utang anak),

untuk anak laki-laki adatnya dibayar penuh sebesar…sementara untuk anak

perempuan dibayar setengah, karena setengahnya nanti akan dibayar saat anak

perempuan tersebut menikah. Sepulang dari rumah kakek-neneknya, maka

kepadanya diberi periuk yang berisi beras dan telur dan ditutup dengan daun

pisang. Sesampainya di rumah maka daun pisang itu disobek di mulut bayi,

agar cepat dan mahir berbicara. Lain halnya di Nias Selatan, saat pulang dari

rumah mertua, anak laki-laki akan diberikan tombak dan parang sebagai

pertanda bahwa kelak anak ini

c. Famatrörö töi (pemberian nama); saat pemberian nama maka keluarga

29

(23)

100 memotong satu ekor babi, lalu memanggil keluarga besar, kampung, atau

bahkan lingkungan persekutuan dalam sebuah gereja akan berkumpul dan

makan bersama (setelah agama masuk, maka pendeta atau penatua memimpin

ibadah, namun sebelum Agama Kristen masuk di Nias, yang memimpin

upacara pemberian nama adalah Ere (Imam) dan yang memberi nama adalah

kepala adat atas persetujuan dan diskusi dengan para hadirin dan orangtua

anak

d. Famoto (penyunatan)—penyunatan dilakukan oleh Ere (imam) dengan

menggunakan fasu (sejeni kulit bambo) yang telah disterilkan dengan api, saat

penyunatan dilakukan, maka keluarga menyediakan Luha30 (tempat makanan

babi) yang belum pernah digunakan, saat itu difungsikan sebagai tempat

daging babi untuk penghargaan yang besar bagi (balugu/tuhenȍri) kepala suku

dan kepala-kepala adat, saat penyunatan dilakukan maka Ere menyebut

kalimat ―sayalah yang melepaskan anda dari aib,‖ dan mengangkat lurus keatas

fasu lalu berteriak memberitahukan bahwa anak remaja telah dilepas dari masa

anak kecil dan aib31. ungkapan itu sebagai ungkapan simbol kekuasaan Ere

terhadap yang disunat, sehingga kelak, dia harus mendengar dan patuh

terhadap perintah Ere. Saat acara ini dilakukan maka keluarga besar akan

memototong beberapa ekor babi dan makan besar. Untuk seorang anak

perempuan disebut famofo nifö (perataan gigi).

e. Pemberian Keris. Tidak lama setelah Famoto, anak yang menginjak umur

30 Luha itu kemudian digunakan sebagai tempat bakan babi untuk pernikahannya beberapa

tahun ke depan. Karena itu orang tua akan berusaha agar anak itu dinikahkan paling lama 2 tahun setelah famoto atau berumur 17 tahun. Bila melebihi umur 17 atau 18 tahun, hal itu suatu aib

31 Jauh sebelum agama masuk famoto sudah merupakan budaya bagi orang Nias, karena itu

(24)

101 pemuda akan diajari cara memegang pedang serta cara penggunaanya untuk

bekerja dan berperang. Bagi anak perempuan dilatih untuk menari.

f. Pelatihan pemakaian/penggunaan keris dan bagi perempuan pelatihan bertani,

beternak, mengelola dapur keluarga.

g. Fongambatȍ (berkeluarga/menikah). Fongambatȍ adalah tahap yang sangat

penting bagi seseorang dalam masyarakat (baca: tujuan pernikahan). Seseorang

baru bisa naik pada strata sosial berikutnya bila telah berkeluarga. Namun

sebelum terjadinya sebuah pernikahan, dua catatan yang perlu digaris bawahi

- Bagi keluarga kepala suku dan kepala-kepala adat, yang memiliki beberapa

budak (gadis), maka kepada anak laki-laki tersebut diberi masa pencobaan

perkawinan dengan mempersitri gadis-gadis budak (gadis-gadis ini sebagai

istri tidak sah) setelah famoto

- Seorang kesatria yang mampu membunuh musuh-musuhnya dan

memenggal kepala kesatria dari kampung yang bersengketa dengan

kampunya, maka kepadanya diberi istri sesuai dengan jumlah kepala yang

dipenggalnya. Pada tahap ini pengantin laki-laki tidak membayar

mahar/belis pernikahan bukanlah emas, uang dan babi.32

h. Tahȍ dȍdȍ. Beberapa hari setelah pernikahan, maka dilakukanlah upacara

besar sebagai ―pemuliaan‖ bagi pengantin perempuan yang disebut dengan

istilah tahȍ dȍdȍ. dengan pemotongan babi, makan bersama, pembagian

daging (baik yang telah dimasak maupun daging mentah) kepada para

ibu-ibu. Upacara ini dihadiri oleh para Tuhenȍri atau balugu, tua-tua adat, warga,

keluarga besar mertua (sitenga bȍ‘ȍ) dan semua keluarga besar), dan di akhir

32

(25)

102 dari acara ini, ditambalkanlah nama kebesaran bagi perempuan atau pengantin

perempuan tersebut.

i. Famasindro banua. Stara 9 dan sepuluh, seseorang yang telah berkeluarga

dan melakukan upacara tahȍ dȍdȍ bagi istrinya, maka tahapan berikutnya

adalah upacara mendirikan pemerintahan adat sendiri yang beranggotakan

beberapa warga, sehingga dia menjadi kepala adat dari beberapa warga

tersebut.

j. Strata 11 dalam stara sosial angkat 11 tidak digunakan lagi dalam stratas

sosial menurut adat, konon dulu di saat Tuada Sirao melakukan pesta besar

(owasa sebua), maka pada pesta tersebut, dinyalakan obor sebanyak dua belas

(sesuai starta sosial), kemudian Tuhada Luo Mewȍna meniup kedua belas

obor tersebut, obor yang padam adalah obor kesebelas dimana Tuhada Luo

mewȍna berada pada posisi strata ke sebelas. Maka pada saat itu diputuskan

bahwa strata sebelas tidak digunakan untuk masyarakat secara umum, strata

tersebut hanya untuk Tuhada Luo Mewöna.

k. Strata 12 diperoleh dengan berbagai persyaratan yang diresmikan dengan

pelaksanaan pesta Famasindro gowe (batu besar sebagai lambang kebesaran),

dan pesta adat yang disyahkan oleh balugu/Tuhenȍri (kepala suku) dan

ketua-ketua yang tertua diantara balugu di dalam dan diluar wilayah banua, pada

pesta ini disertai pemberian nama kebesaran.

Strata sosial masyarakat Nias bisa dikelompokan dalam empat tahapan

a. Strata pertama sampai ketiga adalah tahap pertama (masa kecil); pada

masa ini orang tua berperan aktif melakukan beberapa ritual adat demi

(26)

103

b. Strata 4 sampai enam adalah tahap ke dua (masa remaja); pada tahap ini

terjadi sosialisasi nilai-nilai (pendidikan). Sebelum pendidikan formal

diperkenalkan, maka proses pendidikan terhadap anak telah berlangsung

mulai dari masa famoto, folohe gari dan famasa niasa gari bagi laki-laki,

famofo ifȍ, latihan menari dan folohe balatu bagi anak perempuan.

Laki-laki dilatih untuk berperang (melindungi), berburu dan berkebun (untuk

bertahan hidup), bagi perempuan dilatih untuk seni menari, menggunakan

parang untuk berladang, bersawah untuk menjadi calon ibu dan solaya

ngai mbatȍ. Orang tua yang telah mendapatkan pendidikan yang baik dari

orang tuanya dan memiliki karakter yang baik akan menghasilkan generasi

yang bijak—pribadi yang memiliki kepribadian dan wawasan yang baik

(bisa diandalkan dalam segala hal).

c. Strata 7 adalah tahap transisi menuju pada tahap yang lebih menekankan

harga diri

d. Strata 8 sampai 12 adalah tahapan kedelapan (dewasa), pada tahap ini

pengembangan dan pembangunan harga diri menjadi prioritas utama.

Naiknya status seseorang dipengaruhi dua faktor; pertama adalah factor

keturunan dan kedua adalah factor ekonomi.

Proses Terjadinya Keluarga Melalui Pernikahan

Terbentuknya sebuah keluarga melalui pernikahan dengan proses adat yang

berbelit-belit dalam waktu yang cukup lama dan dengan anggaran (uang, emas,

babi) yang sangat banyak, selain itu, dalam proses ini akan semakin kelihatan

(27)

104

terjadinya sebuah keluarga melalui sebuah pernikahan.33

1. Peminangan

- Famaigi Niha. Dahulu orangtualah yang berinisiatif untuk mencari siapa

pasangan anak laki-lakinya, karena itu orang tua selalu memperhatikan

anak gadis orang, kemudia melihat latar belakang keluarganya, ekonomi

dan strata sosialnya.

- Fame`e Li (pelamaran) dengan diawali oleh pengutusan seorang ibu-ibu

(disebut perantara, di Nias utara menyebutnya Si’o, di Nias Selatan

menyebutnya bȍrȍ li) yang memiliki hubungan dekat dengan keluarga

laki-laki dan bijak, kepada salah seorang ibu yang memiliki hubungan

keluarga dengan perempuan yang akan dilamar, untuk menyampaikan

niat peminangan. Dalam pembicaraan ini kedua si’o tidak mengambil

keputusan—sekedar penyampaian niat peminangan, baru si’o dari pihak

perempuan menyampaikanya kepada orang tua perempuan. Bila ada

penerimaan pelamaran, maka selanjutnya yang berurusan adalah si’o

laki-laki (bapak-bapak yang memiliki hubungan keluarga dekat dengan

keluarga calon pengantin)di antara kedua belah pihak, baru kemudian si’o

tersebut membicarakanya kepada kelarga yang bersangkutan

2. Tunangan

- Fame,e laiduru silȍ oroma. Bila lamaraan diterima,maka tahapan berikut

adalah pemberian cincin terselubung, dikatakan terselubung karena acra

ini dilakukan bukanlah dirumah orang tua perempuan yang dilamar, tetapi

dirumah kerabat dekat (atau dirumah Si’o dari pihak perempuan), dan

33

(28)

105 acara yang dilakukan sangat sederhana. Kepada keluarga laki-laki calon

pengantin harus memberikan 1 cincin emas, Awȍ laiduru (pendamping

cincin) 10 keping koin uang kuo yang disebut rufia, uang sekhe-sekhe

laiduru (penyokong cincin) serta satu ekor babi 4 Alisi (40kg)

- Fame`e laiduru sebua. Pemberian cincin walaupun pada tahap ini tidak ada

lagi cincin yang perlu disandingkan di jari perempuan yang dilamar,

tetapi pada tahap ini, orang tua perempuan memberitahukan kepada Iwa

atau talifusȍ bahwa ada orang yang melamar anak gadis mereka.

Keluarga laki-laki harus memberikan 1 ekor babi 4 alisi dan hundra nomo

(biaya acara yang dilaksanakan).

- Fanunu manu jamatoro. Acara ini sebagai pemberitahuan bagi tetanggga,

saudara jauh bahwa ada peminangan terhadap anak gadis mereka.

- Fanunu manu sebua. Pemberitahuan bagi warga kampung, saudara-saudara

jauh (iwa, talifusȍ), keluarga besar saudara ibu perempuan yang disebut

uwu ma sitenga bȍ’ȍ, saat ini keluarga laki-laki harus memberikan 4 ekor

babi masing-masing 4-5 alisi serta biaya acara tersebut. Pada acara ini

ada sebuah penentuan hari pernikahan (walaupun penentuan tersebut

tidak harus ditepati) yang disebut Fazazi nono zalawa dengan membayar

sejumlah uang sebagai simbol perjanjian yang disebut Ana’a fazazita.

Nias Barat mengenal istilah Fame kȍla dengan jumlah babi 5 ekor babi 4

alisi(lima wa ȍfa), sekaligus membawa minyak kelapa34

- Fanofu li (hauga mbowȍ). Pihak keluarga laki-laki yang dipandu oleh si’o

datang kekeluarga pihak perempuan untuk menanyanyakan besaran

(29)

106 mahar yang harus mereka bayar, walaupun dalam penetapan besaran

mahar sangat tergantung dari strata sosial dalam adat. Saat datang

menanyakan besaran mahar pihak keluarga laki-laki molewe (membawa

nasi dan daging anak babi yang dioleh sesaai adat Nias yang dibungkus

dengan pelepah pinang berserta tuak. Tingkatan mahar masing-masing

strata; ( rumpun adat di Luzamanu –Kecamatan Lotu dan sekitanya)35

strata ke 7 masyarakat biasa 50 rigi (sejenis uang koin kuno) atau 500

firȍ36

(sejenis uang koin kuno), dua ekor babi 8 alisi (80kg) sebagai

babi adat (bawi walȍwa), beras secukupnya, 12-18 ekor babi 4-6 alisi

(40-60 kg)37

 strata 8-9 (kepala adat) sebesar 80 ringgit 800 firo babi 2 ekor 8 alisi di

tambah beberapa ekor babi seperti yang di atas.38

 Strata 10-12 dengan mahar 120 ringgit atau 200 firo di tambah 2 ekor

babi 12 alisi di tambah beras dan beberapa ekor babi seperti di atas39

Tingkatan mahar masing-masing strata; Rumpun adat Laraga—kecamatan

Gunungsitoli dan sekitarnya)

 Kelas budak; 1 ekor babi 8 alisi, di tambah 1 sese (5 firȍ)

35A. Ya‘ia Harefa; A. Efir Zendratȍ, 25 Juni, 2017

36 Bila dirupiahkan sekarang, 1 rigi bernilai Rp. 75.000 dan satu firȍ bernilai Rp.150.000, 1

zese sma dengan 5 firȍ

37 dengan uraian 1 ekor untuk acara Fame’e laiduru sitobini, 1 ekor untuk acara Fame`e

laiduru sebua, 1 ekor pada acara fanunu manu jamatoro, 1 ekor pada acara fanunu manu sebua, 1 ekor pada acara Fanofu li, 1 ekor pada acara saat pengantar jujujuran/mahar (Fanema Ana’a), 1 ekor untuk pemuliaan para ibu (sumange ndra ina), 1 ekor pada acara Fame’e ba Famotu (acara penggembalaan pra Nikah dari ibu-ibu), 2 ekor untuk saudara ibu yang disebut uwu, hal ini satu ekor yang dipotong dan satu ekor yang kasih dengan hidup-hidup). 1 ekor sumange failasa, satu ekor saat famuli nukha

38 Bagi anak kepala adat, maka jumlah babi semakin bertambah, yang digunakan sebagai

pemuliaan bagi kepala-kepala adat yang lain.

39 Semakin banyak tamu yang dimuliakan, maka jumlah babi yang dibebankan kepada keluarga

(30)

107

 Strata 7 sara balaki (setara dengan 2 ekor babi 8 alisi atau 20 firȍ), 1

ekor babi 8 Alisi di tambah 1 sese

 Strata 8 dua balaki di tambah 2 ekor babi 8 alisi di tambah dua sese

(10 Firȍ)

 Strata 9 dan sepuluh, tiga balaki di tambah 3 ekor babi 8 Alisi ditambah

3 sese (15 firȍ)

 Strata 12 seratus balaki, di tambah 100 ekor babi 8 alisi ditambah 100

zese40

Sejumlah uang koin kuno, babi yang terurai di atas diterima oleh orang tua, di

tambah lagi, bȍwȍ yang diterima oleh, uwu (saudara ibu dari pengantin

perempuan) awe/tua (nenek kakek) satu ekor babi sebesar 6 alisi, talifusȍ

(saudara perempuan yang telah menikah) masing-masing satu ekor babi 4

alisi, tana nama (om atau saudara ayah laki-laki masing-masing 1 ekor 4 alisi,

sifasambua tua (keluarga dari satu kakek), banua (yang satu kampung)41

- Femanga mbawi nisila hulu. Acara ini pengokohan kembali perjanjian

tentang pernikahan yang pernah dilakukan

- fangȍtȍ mbongi? Pembicaraan dan perencanaan hari pernikahan.

Penentuan hari pernikahan ini ada 3 tipe42

 Bongi nono zalawa, artinya perjanjian yang dibuat oleh para kepala adat dengan perhitungan kelender perbintangan. Perjanjian hari

pernikahan pada tipe ini masih bisa berubah.

Bongi dalifusȍ. Artinya penentuan hari pernikahan yang

40

Strata 11 dan dua belas sebenarnya tidak terdapat lagi dalam strata sosial manusia, karena strata terssebut terdapat dalam mitos manusia pertama di Nias, dan hal itu tidak yaitu Tuada Luo

Mewȍna dan tuada Sirao

41 Bisa dibandingkan dengan budaya ȍsi ulu moro‘ȍ kabupaten Nias Barat; A. Melvina Gulȍ 42

(31)

108 direncanakan oleh keluarga besar dari kedua belah pihak. Hari

pernikahan dalam perjanjian ini juga masih bisa berubah

Bongi Nina yang sering juga disebut bongi adulo (hari telur). Disebut bongi adulo karena, hari yang ditentukan oleh seorang ibu harus

ditepati, kalau meleset berarti ada yang tidak beres dan pernikahan

tersebut bisa saja dibatalkan. Untuk mendapatkan kepastian hari

pernikahan, keluarga laki-laki mengunjungi rumah keluarga

perempuan, dengan membawa kembali bȍwȍ (mahar yang telah

disepakati) 43.

- Sebelum fame’e, orang tua calon pengantin perempuan mendatangi keluarga

besar uwu (saudara ibu) untuk memberitahukan bahwa ada acara

pernikahan, sekaligus membawa bȍwȍ, sinema nuwu)

3. Pra Pernikahan

- Folau bawi (membawa Babi yang telah ditentukan jumlahnya) dan

yang lebih penting disini adalah dua ekor babi besar yang disebut bawi

walȍwa (babi adat untuk pernikahan) sebesar 12-15 alisi (120-200kg setiap

satu ekor). Sebelum pihak keluarga pengantin laki-laki berangkat

membawa babi tersebut, terlebih dahulu ere melakukan ritual yakni

memberi makan babi dengan telur disertai dijampi-jampi agar babi ini

menjadi babi pernihakan yang membawa kebahagiaan.

- Fame’e: pada saat ini para ibu-ibu melakukan penggembalaan pra nikah—

menyampaikan arahan-arahan, anjuran dan pantangan dalam keluarga bagi

calon pengantin perempuan, dalam proses ini pengantin perempuan

43

(32)

109 diwajibkan menangis, sebagai makna duka bahwa dia tidak akan mungkin

mampu melakukan semua yang anjuran dan pantangan, sekaligus adanya

kesadaran bahwa besoknya akan berpisah dengan keluarga intinya menuju

pada keluarga asing (orang-orang yang tidak dikenal). Hal yang paling

penting ditekankan di sini adalah kedudukan perempuan sebagai istri;

Solaya Talinga Mbatȍ. Istri adalah pengelola dapur dan rumah tangga, sebagai bendahara yang bijak dan mampu memenuhi gizi anggota

keluarga. Seorang istri bukan hanya mengelola pendapatan atau apa yang

dibawa oleh suami, tetapi harus bekerja keras juga agar dapurnya selalu

berasap tanpa ketergantungan dari suami.

 Istri sebagai agen perdamaian dalam keluarga (lebih lengkap dan jelasnya,

baca: perempuan dalam keluarga)

4. Pesta Pernikahan. Pesta pernikahan dipimpin oleh kepala adat atau balugu,

dan dipenghujung acara, para penatua adat mengambil daun kelapa yang

masih putih, dan memotong-motongnya, kemuidian mensosialisasikan semua

tangungjawab, etika dan utang adat pengantin laki-laki dalam sebuah

keluarga, keluarga besar dan kampung, itulah sebabnya dalam penutup acara

ini, seorang kepala adat menyampaikan kalimat ―hȍnȍ mbȍwö no awai, ba

hȍnȍ mbȍwȍ so tosai (segala jalur adat telah dilalui dan diselesaikan, namun

segala urusan adat masih tersisa) artinya bahwa walau mahar telah diberikan

dengan penuh, namun seumur hidup menantu harus tunduk terhadap aturan

adat untuk mendukung mertua dalam setiap kegiatan dan acara keluarga

serta menghargai pihak mertua sebagai pemberi kehidupan bagi

(33)

110 Karena perempuan dianggap sebagai manifestasi Silewe Hai Nazarata,

maka saat perempuan menjadi pengantin, perempuan dianggap sebagai ratu

yang harus diagungkan, saat acara pesta pernikahan, maka pengantin

perempuan dipindahkan dari rumah orang tuanya ke rumah suaminya dengan

digotong dalam sebuah kursi kebesaran dan dengan menggunakan baju

kebesaran (baju adat)—sebagai seorang ratu, perempuan dilarang

menginjakan kaki ke tanah dari rumah orang tuanya sampai rumah suaminya.

5. Pasca Pernikahan;

- Fame gȍ atau simȍi molohe mbaya-mbaya wakhe atau solo’ö tome sikoli.

Beberapa hari setelah pernikahan, maka ibu pengantin perempuan beserta

beberapa keluarga dekat menjenguk pengantin perempuan dengan

membawa lȍwȍ-löwö (nasi dan daging anak babi), pada acara ini keluarga

pengantin laki-laki menyambut ibu mertua beserta rombongan dengan

menghidangkan makanan besar berupa daging seekor babi 8 alisi. Begitu

juga untuk para ibu-ibu (istri-istri saudara ayah pengantin perempuan),

saudara pengantin perempuan yang telah menikah, saudara ayah pengantin

perempuan, dan setelah acara selesai maka bagi mereka siberi lagi babi

masing-masing satu ekor 8 alisi atau diuangkan dengan uang koin kuno 20

rufia (untuk ibu tidak boleh digantikan dengan uang koin—tetapi harus

dengan babi yang hidup). Kemudian untuk menghargai kepala adat yang

ikut, kepadanya diberi daging satu ekor babi, dan bagi peserta semua yang

ikut—daging masak dihidangkan ditalam besar dengan disimbolkan dalam

rahang babi.

(34)

111 maka pengantin baru beserta beberapa orang dari anggota keluarga dekat

datang kerumah mertua dengan membawa lȍwȍ lȍwȍ, satu ekor babi hidup

8 alisi dan sara zese dan di sana mereka dihidangkap kaki babi yang telah

diasap. Acara ini memiliki dua tujuan;

 Pengembalian baju kebesaran pengantin perempuan berupa baju adat,

kemudian, kepadanya diberi kain dengan kain-kain (bakal) dalam

jumlah banyak

Besoknya sebelum pulang, mereka didatangi oleh keluarga besar mertua

dengan memberi mereka ayam dan atau anak babi sebagai modal untuk

hidup, namun bila suatu waktu ada acara di keluarga besar mertua—

iparnya menikah, atau mertuanya meninggal, maka pengantin baru ini

(yang disebut menantu) harus memberi sejumlah uang dan babi sebagai

pertanda dukungan—ini hukumnya wajib, tapi tidak dianggap sebagai

beban, tetapi kemuliaan atau wibawa dari menantu itu sendiri sehingga

dia merasa bangga akan pemberiannya.

Proses terbentuknya keluarga terumuskan dalam sebuah ―hada‖ (adat)

yang telah di rakȍ atau famatȍ harimao. Karena itu, hada tidak boleh dilanggar,

bila ada sebuah pelanggaran maka diberi sangsi adat, pengasingan dan kutukan

dari para nenek moyang.

Masing-masing ―ȍri‖ (rumpun beberapa kepala adat) memiliki perilaku

adat yang berbeda dengan ȍri yang lain—baik proses terbentuknya sebuah

keluarga, maupun dalam bȍwȍ yang dijalani, namun perbedaan ini tidak

mencolok karena berpedoman pada hasil fondrakȍ. Namun dalam penelitian ini

(35)

112

baru dan bȍwȍ, tetapi kedudukan dan peranan perempuan dalam proses

pembentukan keluarga dan bȍwȍtersebut.

Filosophi Bȍwȍ

Dalam bahasa Nias kata bȍwȍ mengandung tiga arti, tergantung konteks

penggunaan istilah tersebut. Makna pertama adalah budi baik, perilaku yang

sesuai dengan adat istiadat misalnya sȍskhi sibai mbȍwȍnia (perilakunya baik

sekali), lȍ sulȍ mbȍwȍ sisȍkhi sino matema (tidak ada balasan atas kebaikan hati

yang telah kami terima) obȍwȍ, (pemurah, murah hati), i`ila mbȍwȍ (tahu

tatakrama); kedua adalah bȍwȍ bisa diartikan sebagai sebuah pemberian karena

kasih sayang (pemberian orang tua kepada anak); ketiga adalah berhubungan

dengan mahar yang harus dibayarkan oleh pihak keluarga laki-laki kepada pihak

kelurga perempuan—hal ini ada kaitanya dalam proses pembentukan keluarga

baru (pernikahan). bȍwȍ untuk pernikahan strandarnya telah ditentukan dalam

sebuah fondrakȍ, walaupun bȍwȍ tersebut dalam pelaksanaanya mengalami

kelenturan, kelenturan ini terjadi dalam negosiasi kedua belah pihak (tanpa

melibatkan calon pengantin)

Dilihat dari besaran bȍwȍ di atas (baca: Prose pembentukan Keluarga)

pada dasarnya bȍwȍ (mahar) hanya sekedar upacara pernikahan dengan

pengesahan-pengesahan yang disimbolkan dalam beberapa uang koin kuno (firȍ),

dan beberapa ekor babi. Simbol-simbol penghargaan tersebut dibayarkan oleh

keluarga pihak laki-laki sebagai sebuah pengorbanan yang harus dilakukan untuk

mendapatkan dan pemindahan seorang yang dimuliakan, dihargai, yaitu

(36)

113 maka pengantin perempuan digotong dalam sebuah kursi kebesaran dan pakaian

kebesaran adat sampai ke rumah pengantin laki-laki—pengantin prempuan

dianggap sebagai ratu. Bagian kedua adalah pada zaman dahulu, seorang suami

memiliki istri resmi dan istri dari budak. bȍwȍ adalah sebuah ―kebahagiaan‖ dan

pemuliaan bagi perempuan di mana perempuan yang menikah tersebut telah

menjalani prosesi pernikahan melalui pengorbanan suaminya. Hal itu

membedakan istri yang disebut beli gana’a tersebut dengan istri-istri dari budak

yang tidak menjalani prosesi dan ritual pernikahan serta tidak pernah di beri bȍwȍ,

bagi orang tuanya.44

Bila dilihat dari sejarahnya, bȍwȍ yang di bahas di atas sebenarnya

terjadi setelah orang-orang Aceh, orang Arab masuk di Nias melakukan

perdagangan, terutama pembelian budak-budak yang kemudian di jual dimana

mereka singgah berdagang, itulah sebabnya nama seorang istri dari budak

disebut real (mata uang arab). Penentuan besaran bȍwȍ dengan menggunakan

firȍ, terjadi setelah VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie)masuk

dikepulauan Nias, sehingga Nias mulai mengenal mata uang sebagai alat tukar,

dan hal ini juga digunakan dalam penentuan ―bȍwȍ‖ (mahar).

Sebelum Arab, Aceh dan Belanda masuk di Nias, sebuah cerita rakyat

yang sangat dipercaya oleh masyarakat Nias bahwa bȍwȍ yang harus dibayarkan

oleh pengantin laki-laki jauh lebih besar. Konon suatu waktu Tuada Ho

melakukan pesta besar dengan mengundang para tua-tua adat, kemudian dalam

pesta adat tersebut Inada Nandrua (Istri Ho) berpenampilan kurang layak (tiak

rapi dan kurang bersih), karena itu orang-orang dekat Ho menyampaikan

(37)

114 kekecewaanya atas penampilan Nadrua dan mendorong Ho untuk menikah

kembali. Pada suatu waktu Ho berjalan tanpa arah alu sampailah Ho di Nakhe

Lauru, terus menelusuri arus air dan tibalah dia ke sungai Idanoi, dan di situ dia

menemukan ada sekam terbawa arus, lalu dia berpikir bahwa dihulu sungai

Idanoi pasti ada perkampungan. Lalu dia menelusuri sungai tersebut dan tibalah

di kampong Delamaera, sekarang disebut Onowaembo. Sebelum tiba

diperkampungan, Ho melihat seorang perempuan berparas cantik, setelah tiba di

perkampungan, dia menuju rumah Tuada Daeli. Setibanya di rumah tersebut

baru di menyampaikan keinginanya untuk melamar seorang gadis (yang

dilihatnya dipermandian) dan Tuada Daeli bertanya gerangan yang mau

dipasangkan dengan perempuan tersebut, lalu Tuada Ho menjawab bahwa dialah

yang akan meminang permpuan tersebut. dengan penolakan yang halus, tuada

daeli menyatakan persetujuan dengan persyaratan bȍwȍ yang harus di bahwa

adalah emas seberat badan anak gadisnya. Tuada Ho tidak keberatan, lalu pamit

dan berjanji akan kembali, beberapa hari kemudian Ho kembali bersama dengan

pelayanya yang memikul emas melebihi berat badan adak gadis tuada Daeli,

pernikahanpun dilangsungkan. Mulai saat itu, bȍwȍ menjadi budaya bagi

masyarakat Nias sebagai bagian penghargaan dan pemuliaan bagi perempuan

Nias.45

Dalam perkembangan akibat pergeseran budaya, maka bȍwȍ tidak

dipandang lagi sebagai pengorbanan, tetapi sebagai beban dan transaksional

ekonomi, dalam penentuan bȍwȍ sebuah pernikahan, tidak hanya ditentukan oleh

strata sosial (adat), tetapi berdasarkan strata sosial ekonomi, dan pendidikan, dan

45

(38)

115

pekerjaan calon pengantin. bȍwȍ tidak dihitung lagi dengan uang koin kuno,

tetapi dengan uang, emas dan babi, sehingga jumlah bȍwȍ yang harus dibayarkan

dalam pernikahan sekarang ini kurang lebih seratus juta.

Laki-laki dalam tradisi dan Keluarga Nias.

Sebelum membahas Perempuan dalam keluarga, terlebih dahulu kita

membahas laki-laki dan anak dalam keluarga secara singkat. Laki-laki yang telah

berkeluarga sangat dituntut keterlibatannya dalam lingkungan sosial. Keterlibatan

bukan yang dimaksud adalah keaktifan dalam memecahkan permasalahan sosial

dan budaya. Setiap saat para laki laki yang terdiri dari tuhenöri, satua

mbanua,si’ulu, balö ji’ulu, si’ila (Nias Selatan), para tokoh yang lain berkumpul

bersama membahas segala sesuatu yang berhubungan dengan ―adat‖ desa yang

dihubungkan dengan tata cara hidup/etika, status, pernikahan, kematian,

pemberian nama, atau konflik antar desa (Nias selatan menyebutnya horö

mbanua), sengketa tanah atau segala sesuatu yang berhubungan kehidupan

bermasyarakat.

Laki-laki yang kemudian disebut ayah (Ama) sebagai kepala rumah tangga

(hȍgȍ wongambatȍ) berperan sebagai perencana masa depan anak dan atau

keluarga, pemberi keputusan, pelindung istri dan anak anaknya, melakukan

pekerjaan yang berat, berperan aktif mencari dan memenuhi kebutuhan keluarga46.

Selain itu, seorang ayah dianggap sebagai kepala keluarga yang diidentikkan

sebagai raja dalam keluarga, maka segala sesuatu yang dia putuskan menjadi

46Idealnya dalam tradisi Nias laki-laki adalah tulang punggung keluarga, dialah yang harus

bertanggungjawab mencari dan mencukupkan kebutuhan keluarga bertanggungjawab melakukan pekerjaan-pekerjaan berat, namun kenyataanya sebagian bapak-bapak menjadi bayi-bayi besar yang harus dipelihara, diberi kebutuhan oleh istrinya. Istri membawa kapak menebang kayu di ladang, bahkan ada yang memanjat kelapa, istri ikat pingganya kuat-kuat untuk menyadap karet, kerja diproyek demi sesuap nasi untuk anak-anak dan suaminya, bayar utang nikah, suami sibuk

(39)

116 hukum yang tidak boleh dilanggar atau didaulat oleh anak dan isterinya.

Keputusannya adalah hukum yang harus dilaksanakan, baik semasa dia hidup

maupun setelah meninggal.

Setelah kematian, seorang ayah dalam sebuah keluarga dikultuskan dan

dianggap sebagai tuhan (menghormati bahkan memujanya sebagai roh nenek

moyang—maka anak-anaknya membuatkan patung baginya yang disebut adu

jatua), karena itu setiap acara (menanam, panen, pernikahan, dll.) dalam

masyarakat Nias selalu melakukan ritus-ritus dan berdoa meminta bimbingan dan

izin sang ayah.

Anak Dalam Keluarga Masyarakat Nias

Ada ungkapan dalam bahasa Nias mengatakan ― Do hörö gana’a ba do

dödö Nono (leterlek ―darah mata emas dan darah hati adalah anak) artinya emas

dan harta adalah suatu yang indah dan menyenangkan sekaligus dengan memiliki

harta dan emas yang banyak akan mengankat strata sebuah keluarga di mata

masyarakat. Meraih harta dan emas perlu perjuangan dan kerja keras. Sementara

anak adalah buah hati yang didambakan kehadiranya dalam sebuah keluarga,

karena itu bila sebuah keluarga baru belum kunjung memiliki momongan, maka

keluarga itu melakukan berbagai ritus;

1. Menemui si’o/telangkai47 (perantara yang mempersatukan dua keluarga—

keluarga pihak perempuan dan pihak laki-laki sehingga terjadi suatu

pernikahan), dengan membawa löwö-löwö (anak babi yang disembelih sesuai

dengan adat Nias) serta membawa firö (sejenis mata uang logam Belanda

jaman dulu) yang bisa diganti dengan uang ratusan ribu. Kemudian si’o berdoa

47 Sirait Laoli Rostina R., dkk, Adat dan Upacara Pernikahan Daerah Nias, Depdikbud Prov

(40)

117 agar keluarga baru tersebut diberkati Tuhan yang ditandai dengan kehadiran

buah hati (seorang anak).

2. Menemui paman isteri (saudara ibu isteri—dengan ritus yang sama)

3. Menemui orang tua isteri (dengan ritus yang sama)

Jika ritus tersebut telah dilakukan dan ternyata belum juga mendapatkan

momongan, maka akan menjadi gunjingan dalam suatu masyarakat bahwa isteri

seseorang itu mandul. Dengan demikian maka suami berhak menikah kembali,

demi mendapatkan keturunan yang berfungsi sebagai pwearis baginya. Tetapi

jika seorang isteri hamil maka, keluarga melakukan ritus lanjutan, yaitu menemui

orangtua perempuan (isteri) untuk memberitahukan bahwa keluarga baru itu akan

mendapatkan momongan (isteri telah hamil) yang disebut dengan istilah

faruwusi48.

Jika keluarga baru telah melakukan beberapa ritus tetapi istri belum

menunjukan tanda-tanda hamil, atau telah memiliki beberapa anak perempuan—

belum ada anak laki-laki, maka dalam tradisi Nias Kuno, suami bisa menikah,

namun setelah Kekritenan menjadi Agama suku‖ Nias hidup berpoligami di

larang keras. Untuk mendapatkan anak (pewaris) cukup mengadaopsi anak49 dari

saudaranya.

Ritus adopsi anakpun harus dilalui oleh pasangan suami istri yang

mengadopsi seorang anak bagi mereka. Keluarga kecil ini harus memenuhi

persyaratan-persyaratan adat misalnya menjamu makan semua masyarakat dan

48 Mendrofa Sw, Tingkatan Dan Proses Hukum Tradisional Ononiha, Sejak Manusia Itu Lahir

Sampai MenikahBerumah Tangga, Gunungsitoli, 1992, hal 2-3

49 Ada sebua kepercayaan bagi masyarakat Nias bahwa mengadopsi anak bertujuan untuk

―memanggil anak‖ mereka yang masih berada di dunia lain, bila proses ini dilakukuan maka

Gambar

Gambar 1. Peta Pulau Nias2
Tabel 1 : Data pemeluk agama di kepulauan Nias tahun 20153.
Tabel 2. Contoh perbedaan dalam pengungkapan
Tabel 3: Syair yang menuturkan peranan Silewe Hai Nazarata dalam menata kehidupan Masyarakat Nias
+5

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Secara rinci, pada tahap perencanaan ini, prosedur tindakan yang dilakukan peneliti adalah (1) membagi guru dalam beberapa kelompok kecil, (2) peneliti memberikan

Selanjutnya, sebagai landasan berpijak bagi IPB dalam melaksanakan kewajiban Tridharma Perguruan Tinggi yang melekat padanya sesuai dengan mandat yang diberikan oleh negara kepada

 Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus diberikan atau disediakan oleh pemerintah daerah

Jadi, kalau diperhatikan, tampak bahwa dalam rangka merancang pembelajaran yang bernuansa Observation-Based Learning, guru harus menetapkan secara berturut-turut

Terima kasih kepada kedua orang tua saya yang setiap waktu memberikan doa, memberikan perhatian, semangat, nasihat, dan saran sehingga saya dapat menyelesaikan

Pada penelitian ini dirancang sebuah prototipe alat keseimbangan tubuh manusia dan membuat perangkat lunak yang akan menghasilkan informasi yang dapat membantu seorang dokter

[r]

Penambahan pereaksi Nash akan mengubah larutan menjadi berwarna kuning akibat terhidrolisis ke bentuk enol setelah pemanasan dan untuk memenuhi syarat agar dapat