• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGGUNAAN BACKWARD DESIGN DALAM MERANCANG PEMBELAJARAN MATEMATIKA YANG BERNUANSA OBSERVATION- BASED LEARNING

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGGUNAAN BACKWARD DESIGN DALAM MERANCANG PEMBELAJARAN MATEMATIKA YANG BERNUANSA OBSERVATION- BASED LEARNING"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PENGGUNAAN BACKWARD DESIGN

DALAM MERANCANG

PEMBELAJARAN MATEMATIKA

YANG BERNUANSA

OBSERVATION-BASED LEARNING

ABDUR RAHMAN AS’ARI 1

Jurusan Matematika, FMIPA Universitas Negeri Malang, ar.asari@yahoo.com atau abdurrahmanasari@gmail.com

Abstract: Didasarkan pada peran penting rancangan dalam kegiatan pembelajaran yang bermutu, perancangan pembelajaran matematika dalam konteks Kurikulum 2013 perlu dilakukan dengan hati-hati dan didasarkan atas ilmu yang benar. Di dalam tulisan ini, penulis mencoba memberikan penawaran kepada guru tentang bagaimana merancang pembelajaran matematika dengan ilmu perancangan yang disebut dengan Backward Design. Penulis menguraikan proses perancangan pembelajaran dengan pendekatan saintifik yang dibalik, yaitu dengan cara menganalisis apa yang harus dikomunikasikan siswa, apa yang harus diasosiasi, apa yang harus dikumpulkan, apa yang harus ditanya, dan apa yang harus diamati. Satu contoh tentang pembelajaran determinan matirk dikemukakan di dalam tulisan ini untuk membantu guru memperoleh gambaran yang lebih praktis.

Kata Kunci: Backward Design, Kurikulum 2013, Matematika, Observation-Based Learning, Pembelajaran, Pendekatan Saintifik, Perancangan.

1. Pendahuluan

Menurut Nuh [9], Observation-Based Learning atau biasa dikenal dengan Pendekatan Saintifik, menurut As’ari [1] dan [2], merupakan model pembelajaran yang harus diterapkan dalam setiap pembelajaran mata pelajaran apapun seiring dengan diberlakukannya Kurikulum 2013. Model pembelajaran ini menuntut keaktifan siswa, mulai dari mengamati, menanya atau mempertanyakan, mengumpulkan informasi, mengasosiasi, dan mengomunikasikan.

Model ini menuntut guru mengubah mindset dari aktif menerangkan menjadi fasilitator pengalaman belajar. Menurut [1] dan [2], penerapan Observation-Based Learning menuntut guru mengikuti paradigm konstruktivism. Guru harus lebih mengaktifkan siswa mengkonstruksi pengetahuan, keterampilan, dan sikap mereka sendiri.

Untuk itu, guru perlu mengubah rancangan pembelajarannya. Makalah ini dimaksudkan untuk menawarkan model perancangan pembelajaran matematika yang sesuai tuntutan Kurikulum 2013 yang disebut dengan Backward Design.

2. Perancangan Pembelajaran

Menurut Wiggins & Tighe [10], proses belajar mengajar yang diterapkan oleh guru hendaknya didasarkan kepada hasil kajianyang serius, bukan sekedar karena

(2)

buku teksnya, metodenya, atau kenyamanan kita dalam menjalankannya. Guru matematika harus merancang pembelajaran yang memberikan peluang terbesar untuk tercapainya tujuan yang disepakati.

Perancangan pembelajaran memungkinkan terjaminnya pembelajaran yang sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai, dan oleh karenanya, siswa akan menampilkan apa yang memang dikehendaki oleh pembelajaran tersebut [4]. Dikatakan lebih lanjut, bahwa dengan perancangan pembelajaran yang baik, selain apa dan bagaimana siswa harus mempelajari sesuatu, bagaimana siswa bersikap juga ikut dirancang. Karakter siswa juga dibentuk dari perancangan pembelajaran yang baik itu. Karena itu, perancangan pembelajaran adalah hal penting yang tidak boleh dilewatkan begitu saja.

Menurut Mahmud [9], para pakar pendidikan telah bersepakat bahwa perancangan pembelajaran merupakan hal yang penting dan vital bagi profesionalisme seorang guru. Perancangan ini merupakan kunci dalam menentukan bagaimana proses interaksi siswa dengan sumber belajar akan berlangsung, dan seberapa hebat hasil belajar yang bakal diraih. Karena itu, pengembangan rancangan pembelajaran tidak boleh dilakukan dengan sekenanya saja. Sekedar meniru rancangan pembelajaran yang telah dibuat oleh orang lain bukanlah hal yang tepat. Ada banyak alasan yang untuk tidak melakukan hal itu. Perbedaan karakteristik siswa, ketidaksamaan sumber belajar dan lingkungan belajar, serta tidak samanya tuntutan para pemangku kepentingan di sekolah sudah cukup menjadi alasan untuk meyakinkan bahwa rancangan pembelajaran di tempat lain tidak bisa ditiru begitu saja.

Perubahan kurikulum dari KTSP ke Kurikulum 2013, yang menuntut adanya perubahan model pembelajaran juga semakin menuntut guru untuk memiliki kemampuan merancang pembelajaran yang labih baik. Praktik “copy & paste” yang selama ini ditengarai banyak terjadi di lingkungan para guru, yang salah satunya disebabkan oleh ketidakmampuan guru merumuskan rancangan pembelajaran, harus dihentikan. Guru harus dibantu untuk menyusun rancangan pembelajaran yang baik.

3.

Backward Design

Wiggins & McTighe [10] mengemukakan adanya dua jenis fokus dalam perancangan pembelajaran, yaitu: (a) content-focused design, dan (b)

results-focused design. Kalau guru matematika menggunakan content-results-focused design,

mereka merancang pembelajaran dengan memulai kajiannya dari materi yang akan diajarkan, memilih sumber belajar yang diperlukan, memilih metode yang akan digunakan, dan kemudian berharap agar siswanya belajar. Namun, kedua penulis tersebut mengkritisi bahwa ketersediaan konten itu tidak serta merta menjamin terjadinya belajar. Mereka mengatakan bahwa rancangan itu tidak boleh didasarkan kepada “hope” saja, tetapi harus betul-betul “by design”.

Guru harus merancang tujuan dan bagaimana tujuan itu betul-betul dicapai. Kalau siswa diminta membaca, guru harus jelas apa yang harus dibaca, bagaimana membacanya, apa yang harus dihasilkan dari kegiatan membaca tersebut, kemungkinan bantuan apa saja yang harus diberikan agar maksimal hasil membacanya, bagaimana cara membagikan apa yang sudah dipahami dari bacaan tersebut dan lain sebagainya. Karena itu, mereka lebih cenderung untuk menggunakan results-focused design.

(3)

Backward Design yang merupakan model dari results-focused design terdiri dari 3 kegiatan pokok, yaitu: (1) menetapkan hasil yang diinginkan, (2) menetapkan bukti-bukti atau indikator ketercapaian hasil tersebut, dan (3) merancang pengalaman belajarnya. Menurut Fox and Doherty [5], backward design mampu menghasilkan perangkat pembelajaran yang mampu meningkatkan ‘communication literacy’ siswa. Pendapat ini didukung oleh Burson [3], yang menyatakan bahwa Backward Design mampu membangun perilaku positif siswa di dalam kelas (termasuk kedisiplinan dalam mengerjakan tugas), serta perhatian dan partisipasi siswa. Oleh karena itu, penulis berkeyakinan bahwa Backward Design layak untuk diterapkan dalam merancang pembelajaran matematika yang menggunakan Observation-Based Learning atau Pendekatan Saintifik.

Terkait dengan itu, menurut [1] dan [2], guru dituntut harus mampu menganalisis KD dan menentukan indikator ketercapaian masing-masing KD. Ini bersesuaian dengan karakteristik rumusan KD yang ada dalam Permendikbud No 67, 68, 69 tahun2013 (lihat [6], [7], dan [8]). Karakteristik KD-KD yang lebih merepresentasikan kompetensi yang ingin dicapai, bukan materi, seharusnya mendorong guru mengguakan ‘results-focused design’, atau ‘Backward Design’.

4.

Hal Penting Dalam Backward Design

KD-KD yang ada di dalam mata pelajaran matematika, umumnya masih bersifat general. Kompetensi tersebut perlu dinyatakan secara lebih spesifik ke dalam indikator-indikator ketercapaian KD.

Mengingat pembelajaran dengan Observation-Based Learning menggunakan kaidah konstruktivism (menurut [1] dan [2]), indikator ketercapaian KD ini harus terlihat sebagai hasil konstruksi siswa. Indikator ini hendaknya tidak diperoleh dari mendengarkan penjelasan guru, melainkan dari hasil mengasosiasi. Oleh karena itu, hal penting pertama yang harus dilakukan guru untuk merancang pembelajaran yang sesuai adalah menguraikan KD-KD tersebut ke dalam beberapa indikator misalnya “Ooooh… jadi yang dimaksud dengan ini adalah ….” Atau “Ooooh … jadi hubungan antara ini dan itu adalah …. “.

Sesudah indikator ini terwujudkan secara eksplisit, guru harus mulai mempertimbangkan langkah-langkah dalam Pendekatan Saintifif atau Observation-Based Learning. Akan tetapi, urutannya harus dibalik. Indikator ketercapaian KD itu harus dipandang sebagai sesuatu yang harus dikomunikasikan (langkah terakhir dalam Pendekatan Saintifik atau Observation-Based Learning) dan diperoleh dari hasil mengasosiasi (langkah keempat).

Karena itu, di dalam kegiatan mengasosiasi, harus tersedia sejumlah banyak data untuk diasosiasi oleh siswa. Jadi, di dalam kegiatan mengasosiasi, guru harus membantu siswa mengumpulkan data atau informasi yang sesuai sebanyak mungkin. Sesuai dengan prinsip dalam standar proses bahwa siswa yang harus mencari tahu, bukan diberitahu, maka data-data ini harus digali dan dikumpulkan sendiri oleh siswa, terutama dalam kegiatan ketiga dari Pendekatan Saintifik atau

Observation-Based Learning, yaitu mengumpulkan informasi.

Agar siswa melakukan pengumpulan data dan mengasosiasi sehingga pada akhirnya mereka mengomunikasikan, siswa perlu dibantu agar mau dan mampu menanya dengan pertanyaan yang bersifat investigatif. Siswalah yang harus dibantu untuk mengajukan pertanyaan tersebut. Kalau pertanyaan itu muncul karena rasa ingin tahu siswa itu sendiri, maka pengumpulan informasinya akan

(4)

berjalan dengan seksama dan dilaksanakan dengan tekun. Data dan informasinya pun akan obyektif, jujur dan tidak dibuat-buat. Mereka memang betul-betul ingin mengetahui, bukan sekedar menjalankan tugas guru semata.

Terakhir, agar siswa mau menanya atau mengajukan pertanyaan investigative, guru harus mampu merancang bahan untuk diamati siswa. Guru harus merancang bahan pengamatan sedemikian rupa sehingga siswa tertarik dan tertantang untuk ingin tahu lebih jauh dan mengajukan pertanyaan investigatif.

Jadi, kalau diperhatikan, tampak bahwa dalam rangka merancang pembelajaran yang bernuansa Observation-Based Learning, guru harus menetapkan secara berturut-turut hal-hal berikut: (1) merancang indikator kompetensi yang ingin dicapai (yaitu sesuatu yang dihasilkan dari kegiatan mengasosiasi dan akan dikomunikasikan siswa), (2) merancang bentuk kegiatan asosiasi yang memungkinkan kesimpulan yang berupa indikator tersebut, (3) merancang bentuk kegiatan menggali informasi yang memungkinkan diperolehnya data dan informasi yang dibutuhkan dalam kegiatan asosiasi, (4) merancang kegiatan yang memungkinkan siswa mau dan mampu mengajukan pertanyaan investigatif yang untuk memperoleh jawabannya siswa harus mengumpulkan data dan informasi yang sesuai, (5) merancang bentuk dan bahan pengamatan yang mendorong dan menantang anak untuk mau dan mampu mengajukan pertanyaan investigatif.

Kalau semua hal di atas sudah teridentifikasi dengan baik dan lengkap, dalam konteks perancangan pembelajaran, tugas berikutnya dari guru adalah menata kembali rangkaian rancangan tersebut dengan urutan terbalik. Guru harus menuliskan setiap kegiatan tersebut dari kegiatan mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi, dan mengomunikasikan.

5.

Satu Contoh

Sebagai contoh, perhatikan hal berikut. Andaikan kita ingin siswa mengomunikasikan bahwa “ooo determinan matriks 2 x 2 itu adalah …”. Pernyataan “ooo determinan matriks 2 x 2 itu adalah …” harus kita tetapkan sebagai apa yang harus diwujudkan dalam pembelajaran determinan matriks. Inilah target utama dari pembelajaran. Setelah mengikuti pembelajaran, siswa diharapkan mengkonstruksi pernyataan bahwa “determinan matriks ordo 2 x 2 adalah …..”.

Agar mereka mampu mengkonstruksi pernyataan di atas, siswa tentu perlu banyak contoh dan bukan contoh dari matriks 2 x 2 berikut nilai determinan masing-masing. Mengingat pembelajaran ini bersifat induktif, guru tidak boleh memberitahu apa yang dimaksudkan dengan determinnan matrik. Hal penting yang harus dilakukan guru adalah mengupayakan agar siswa mereka bisa menyimpulkan cara menentukan determinannya dengan mengkaji contoh dan bukan contoh yang ada. Semakin banyak contoh, semakin baik pula kualitas asosiasi yang dilakukan oleh siswa. Oleh karena itu, pada saat siswa melakukan kegiatan asosiasi ini, guru harus mengupayakan agar siswa bisa dan mampu mengumpulkan contoh dan bukan contoh dari determinan matriks ordo 2 x 2.

Agar siswa mengumpulkan sebanyak mungkin contoh dan bukan contoh determinan matriks ordo 2 x 2, guru perlu membantu siswa tertarik dan tertantang untuk mengajukan pertanyaan “apa ya yang dimaksud dengan determinan matriks ordo 2 x 2 tersebut?”. Guru harus mengupayakan agar siswa penasaran dengan

(5)

konsep determinan matriks ordo 2 x 2 ini. Untuk itu, guru harus memperlihatkan beberapa contoh dan bukan contoh penentuan determinan dari matriks ordo 2 x 2. Agar membuat mereka penasaran, guru b bisa saja mengajak mereka bermain-main dengan determinan matriks. Minta mereka menuliskan beberapa matriks 2 x 2 di kertas masing-masing, dan guru menetapkan nilai determinan masing-masing matriks tanpa memberitahukan caranya. Lakukan itu di dalam kelompok kecil, maka murid akan dengan sendirinya akan saling bertanya dan mencoba mengasosiasi.

Jadi, kalau dirangkai terbalik, rancangan pembelajarannya bisa dilakukan sebagai berikut:

TABEL 1. Contoh Deskripsi Kegiatan Guru dalam Penerapan Observation-Based Learning Jenis Kegiatan Siswa Deskripsi Kegiatan Guru

Mengamati Meminta siswa menuliskan matriks ordo 2 x 2 di kertas masing-masing (mungkin setiap siswa menulis sebanyak 5 matriks). Sesudah selesai menuliskan matriksnya, guru berkeliling kelas, dan menentukan nilai determinan dari salah satu matriks (dari lima matriks yang dibuat siswa, pilih salah satu matriks dan tentukan nilai determinannya). Lakukan sedemikian rupa sehingga setiap kelompok kecil akan memperoleh sedikitnya 4 matriks dan 4 nilai determinannya.

Menanya Tanyakan kepada siswa: “Apakah kalian sudah tahu cara guru menentukan nilai determinan matriks tersebut? Apakah kalian ingin tahu?”

Kalau siswa menjawab ingin tahu, suruhlah mereka menuliskan di kertas mereka masing-masing apa yang ingin diketahuinya? Dorong agar pertanyaan itu adalah pertanyaan dari kelompok.

Kalau siswa menjawab tidak ingin tahu, tetapi penyebab utamanya adalah kurang termotivasi, beritahu mereka bahwa akan ada permainan misalnya “yang mampu menghasilkan 10 matriks ordo 2 x 2 dengan determinan sama dengan 2 dalam waktu yang secepat-cepatnya, akan diberi hadiah.

Catatan: yang paling penting, upayakan agar mereka mengajukan pertanyaan investigatif. Kalau perlu, siswa bisa dibiasakan membuat pertanyaan investigatif dengan setiap hari harus melakukan “sarapan menanya”, yaitu setiap hari mengajukan pertanyaan investigatif.

Mengumpulkan informasi Setiap siswa tadi kan sudah membuat 5 matriks, dan satu matriks sudah ditetapkan nilai determinannya.

Agar siswa mau mengumpulkan informasi, mintalah siswa mengemukakan matriksnya ke pada guru (mungkin ditulis di papan), dan guru menuliskan nilai determinannya tanpa memberitahu bagaimana cara mencarinya. Kalau ini dilakukan untuk setiap anak satu matriks, sudah cukup banyak bahan bagi siswa untuk mengumpulkan contoh-contoh matriks dan nilai determinannya.

Mintalah setiap kelompok menuliskan matriks-matriks tersebut agar mereka memiliki kumpulan informasi yang memadai sehingga mereka termungkinkan untuk melakukan asosiasi atau penalaran. Mengasosiasi Setelah setiap kelompok memiliki kumpulan matriks dan nilai

determinanya, mintalah mereka untuk melakukan diskusi atau kerja kelompok guna menemukan cara untuk menentukan nilai determinan dari matriks-matriks tersebut. Selanjutnya, mintalah mereka menguji dugaan tentang cara menentukan nilai determinan ini dengan menerapkannya kepada kumpulan matriks tersisa yang

(6)

masih dimilikinya dan berikan penilaian benar atau salah terhadap hasil kerja mereka. Yang lebih penting lagi, mintalah mereka mengemukakan justifikasi mengapa mereka menentukan hasil seperti itu. Yakinkan mereka untuk membuat bahan presentasi tentang apa yang telah mereka pikirkan.

Mengomunikasikan Mintalah kelompok siswa untuk berbagi dengan mengemukakan hasil pemikiran mereka. Variasinya bisa dibuat dengan cara meminta wakil kelompok mempresentasikan ide mereka di depan kelas, atau kunjung karya, dan karya kunjung serta berbagai macam cara mengomunikasikan lainnya. Yang penting, upayakan agar siswa tidak bosan dan jenuh dengan cara pengkomunikasian yang dilakukan.

6. Penutup

Dari uraian di atas, tampak bahwa penggunaan backward design memberikan peluang besar untuk dilaksanakannya observation-based learning atau pendekatan saintifik. Dengan rancangan seperti di atas, siswa akan mengembangkan kemampuan berpikir induktif dan karenanya masih diperlukan lagi satu tahapan penting dalam pembelajaran matematika ala Kurikulum 2013 ini.

Apa yang dicapai siswa dari belajar dengan pendekatan saintifik ini lebih banyak sebatas menghasilkan konjektur atau dugaan yang belum terbukti secara matematis. Tugas guru sesudahnya adalah membantu siswa melihat secara deduktif aksiomatis. Guru bisa meminta siswa mencari buku rujukan lain, atau belajar dari sumber lain.

Daftar Pustaka

[1] As’ari, A.R.a. Berbagai Permasalahan Pembelajaran Matematika dalam

Kurikulum 2013, dan Beberapa Upaya untuk Mengatasinya: Makalah

disajikan dalam Seminar Nasional ‘Solusi Problematika Implementasi Kurikulum 2013 untuk Mewujudkan Pembelajaran yang Berkualitas. Jember: Himpunan Mahasiswa Matematika FKIP Universitas Jember, 16 Maret 2014

[2] As’ari, A.R. b. Mewujudkan Pendekatan Saintifik dalam Kelas Matematika. Makalah disajikan dalam Seminar Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Malang. 6 Maret 2014.

[3] Burson, T. The Effects of Backward-Designed Curriculum and Instruction

on Classroom Instruction. A Dissertation submitted to the Education

Faculty of Lindenwood University. 2011.

[4] Duncan, G.& Met, M. M. Startalk: From Paper to Pencil. College Park. MD: National Foreign Language Center at the University of Maryland. Available at www.startalk.umd.edu/lesson_planning. 2010.

[5] Fox, B. E. and Doherty, J. J. Design to Learn and Learn to Design:Using Backward Design for Information Literacy Instruction. Communications in

Literacy. Volume 5. Issue No 2. 2012

[6] Kemdikbud. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 67 tahun

2013: tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah. Jakarta: 2013

(7)

[7] Kemdikbud. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 68 tahun

2013: tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah. Jakarta: 2013

[8] Kemdikbud. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 69 tahun

2013: tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah. Jakarta: 2013

[9] Mahmud, N. Learning to Plan: An Investigation of Malaysian Student

Teacher’s Lesson Planning During Their Practicum. A Thesis to be Submitted to University of East Anglia for the degree of Doctor of Philosophy. University of East Anglia. 2010.

[9] Nuh, M. Menyemai Kreator Peradaban. Mizan, 2014.

[10] Wiggins, G. and McTighe, J. Understanding by Design: Extended 2nd

(8)

Referensi

Dokumen terkait

PENGGUNAAN PROBLEM BASED LEARNING ( PBL ) PADA PEMBELAJARAN TEMATIK TEMA BELANJA DALAM.. MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA DAN IPS DI KELAS III SDN KACANGAN

Pengaruh Penggunaan Pendekatan Brain – Based Learning Berbantuan Geogebra Dalam Pembelajaran Matematika Terhadap Conceptual And Procedural Knowledge Siswa SMA.. Universitas

Hasil kajian menunjukkan bahwa penggunaan model problem based learning berbantuan media pembelajaran seperti media geogebra, modul, google classroom, multimedia, mobile

Artikel ini bertujuan untuk membahas secara konseptual penggunaan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) pada aktivitas peserta didik dan hasil belajar

Model pembelajaran Problem Based Learning dengan model pembelajaran kooperatif tipeTwo Stay Two Strayyang memiliki langkah-langkah pembelajaran yang hampir

Berdasarkan variabel penelitian maka definisi operasional yang perlu dijelaskan: 1) Model pembelajaran Problem Based Learning yaitu model pembelajaran menggunakan

Problem-Based Learning (PBL) adalah suatu model pembelajaran yang diawali dengan pemberian masalah kepada siswa, selanjutnya siswa menyelesaikan masalah tersebut

Terbukti adanya peningkatan nilai siswa normal dan banyaknya siswa yang mendapat nilai secara berurutan menunjukkan bahwa penggunaan model pembelajaran Project Based Learning juga dapat