• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor yang Memengaruhi terhadap Kejadian Hipertensi pada Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Silinda Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor-Faktor yang Memengaruhi terhadap Kejadian Hipertensi pada Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Silinda Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2013"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Hipertensi

Hipertensi adalah keadaan penigkatan tekanan darah yang memberi gejala yang akan berlanjut ke suatu organ target seperti stroke (untuk otak), penyakit jantung koroner (untuk pembuluh darah jantung) dan hipertrofi ventrikel kanan/left ventricle hypertrophy (untuk otot jantung) (Bustan, 2007). Peningkatan tekanan darah yang

dianggap sebagai indikasi dari hipertensi adalah tekanan sistolik 140 mmHg atau lebih dan tekanan diastolik 90 mmHg atau lebih (Kaplan, 2006).

Menurut Smelttzer dan Bare (2000:896) mengemukakan bahwa hipertensi merupakan tekanan darah persisten atau terus-menerus sehingga melebihi batas normal dimana tekanan sistolik di atas 140 mmHg dan tekanan diastolik di atas 90 mmHg (Smelttzer dan Bare, 2000 dalam La Ode Sarif, 2012).

Isolated Systolic Hypertension (ISH) termasuk salah satu sub tipe hipertensi.

Hipertensi sistolik terisolasi (ISH) didefinisikan sebagai tekanan sistolik 140 mmHg atau lebih dan tekanan diastolik 90 mmHg atau kurang, semakin meningkat dengan pertambahan usia. ISH ini lebih banyak terjadi pada lansia karena disebabkan oleh berkurangnya elastisitas arteri dari atherosclerosis (Kaplan, 2006).Hipertensi pada usia lanjut didefinisikan sebagai tekanan sistolik ≥140 mmHg atau tekanan diastolik ≥ 90 mmHg ditemukan dua kali atau lebih pada dua atau lebih pemeriksaan yang

berbeda (JNC VI, 1997 dalam La Ode Sarif, 2012).

(2)

2.2 Lansia

2.2.1 Pengertian Lansia

Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada kehidupan manusia (Budi Anna Keliat,1999). Usia lanjut adalah kelompok orang yang sedang mengalami suatu proses perubahan yang bertahap dalam jangka waktu beberapa dekade.Menurut UU No.13 tahun 1998 Pasal 1 Ayat 2 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia menyatakan bahwa lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995), lanjut usia (lansia) adalah tahap masa tua dalam perkembangan individu dengan batas usia 60 tahun ke atas (Notoatmodjo, 2011).

Batasan penduduk lansia dapat dilihat dari aspek-aspek biologi, ekonomi, sosial, dan usia atau batasan usia, yaitu (Notoatmodjo,2011) :

a. Aspek Biologi

Aspek biologi menjelaskan bahwa penduduk lansia adalah penduduk yang telah menjalani proses penuaan, dalam arti menurunnya daya tahan fisik yang ditandai semakin rentan tubuh terhadap serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan seiring meningkatnya usia, sehingga terjadi perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem organ.

b. Aspek Ekonomi

(3)

lansia yang masih berada lapangan pekerjaan, produktivitasnya sudah menurun dan pendapatanya lebih rendah dibandingkan pekerja usia produktif. Akan tetapi, tidak semua penduduk yang termasuk dalam kelompok umur lansia ini tidak memiliki kualitas dan produktivitas rendah.

c. Aspek Sosial

Dari sudut pandang sosial, penduduk lansia merupakan kelompok sosial tersendiri. Di negara Barat, penduduk lansia menduduki strata sosial di bawah kaum muda. Di masyarakat tradisional di Asia seperti Indonesia, penduduk lansia menduduki kelas sosial yang tinggi yang harus dihormati oleh masyarakat yang usianya lebih muda.

d. Aspek Umur

Dari ketiga aspek di atas, pendekatan umur atau usia adalah yang paling memungkinkan untuk mendefinisikan penduduk usia lanjut.

Departemen Kesehatan RImembagi batasan usia lanjut yaitu : a. Kelompok Pertengahan umur :

Kelompok usia dalam masa viritas, yaitu masa persiapan usia lanjut yang menampakkan keperkasaan fisik dan kematangan jiwa (45-54 tahun). b. Kelompok Usia Lanjut Dini :

Kelompok dalam masa prasenium, yaitu kelompok yang mulai memasuki usia lanjut (55-64).

c. Kelompok Usia Lanjut :

(4)

d. Kelompok Usia Lanjut dengan Risiko Tinggi :

Kelompok yang berusia lebih dari 70 tahun atau kelompok usia lanjut yang hidup sendiri, terpencil, menderita penyakit berat atau cacat.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) lanjut usia meliputi :

a. Usia pertengahan (middle age) adalah kelompok usia antara 45-59 tahun. b. Usia lanjut (elderly) adalah kelompok usia antara 60-70 tahun

c. Usia lanjut tua (old) adalah kelompok usia antara 75-90 tahun. d. Usia sangat tua (very old) adalah kelompok usia di atas 90 tahun. 2.2.2 Masalah Kesehatan Lansia

Manusia lanjut usia adalah seseorang yang karena usianya mengalami perubahan biologis, fisik, kejiwaan, dan sosial. Perubahan ini akan memberikan pengaruh pada seluruh aspek kehidupan, terutama kesehatannya. Proses menua akan berkaitan dengan proses degeneratif tubuh dengan segala penyakit terkait. Golongan lansia akan memberikan masalah kesehatan yang khusus yang memerlukan bentuk pelayanan kesehatan tersendiri. Kehidupan lansia terisi dengan 40% masalah kesehatan (Fatimah, 2010).

(5)

Ada empat penyakit yang sangat erat hubungannya dengan proses menua atau lansia (Stieglitz,1954 dalam Nugroho, 2008), yakni :

1. Gangguan sirkulasi darah, misalnya hipertensi, kelainan pembuluh darah, gangguan pembuluh darah di otak , ginjal, dan lain-lain.

2. Gangguan metabolisme hormonal, misalnya diabetes melitus, klimakterim, dan ketidakseimbangan tiroid.

3. Gangguan pada persendian, misalnya osteoartritis, gout artritis, ataupun penyakit kolagen lainnya.

4. Berbagai macam neoplasma.

Timbulnya penyakit tersebut dapat dipercepat atau diperberat oleh faktor luar, misalnya makanan, kebiasaan hidup yang salah, infeksi, dan trauma. Sifat penyakit dapat mulai secara perlahan, sering kali tanpa tanda-tanda atau keluhannya ringan, dan baru diketahui sesudah keadaannya parah.

Lanjut usia dapat mengalami beberapa penyaklit secara bersamaan (multipatoligis), mengenai multi-organ/multisistem. Sifat penyakit lanjut usia biasanya progresif dan menimbulkan kecacatan sampai penderitanya mengalami kematian. Lanjut usia juga biasanya rentan penyakit lain karena daya tahan tubuh menurun.

(6)

1. Penyakit bersifat multipatologis/penyakit lebih dari satu 2. Bersifat degeneratif, saling terkait, dan silent

3. Mengenai multi-organ/multisistem

4. Gejala penyakit muncul tidak jelas/tidak khas

5. Penyakit bersifat kronis dan cenderung menimbulkan kecacatan lama sebelum meninggal

6. Sering terdapat polifarmasi dan iatrogenik

7. Biasanya juga mengandung komponen psikologis dan sosial 8. Lanjut usia lebih sensitif terhadap penyakit akut.

2.3 Patofisiologi Hipertensi pada Lansia

Hipertensi pada usia lanjut adalah hipertensi sistolik terisolasi (isolated systolic hypertension) dimana terdapat kenaikan tekanan tekanan darah sistolik

(7)

2.4 Klasifikasi Hipertensi

WHO menetapakan klasifikasi hipertensi menjadi tiga tingkat yaitu (La Ode Sarif, 2012) :

1. Tingkat I : tekanan darah meningkat tanpa gejala-gejala dari gangguan atau kerusakan sistem kardiovaskuler.

2. Tingkat II : tekanan darah meningkat dengan gejala hipertropi kardiovaskuler, tetapi tanpa adanya gejala-gejala kerusakan atau gangguan alat atau organ lain.

3. Tingkat III : tekanan darah meningkat dengan gejala-gejala yang jelas dari kerusakan dan gangguan faal dari target organ.

Menurut kausa atau penyebabnya pengelompokan hipertensi terbagi menjadi 2 jenis yaitu:

a. Hipertensi Esensial (Hipertensi Primer)

Tipe ini terjadi pada sebagian besar kasus tekanan darah tinggi, sekitar 95%. Penyebabnya tidak diketahui, walaupun dikaitkan dengan kombinasi faktor gaya hidup seperti kurang bergerak (inaktivitas) dan pola makan. b. Hipertensi Sekunder

Tipe ini lebih jarang terjadi, hanya sekitar 5% dari seluruh kasus tekanan darah tinggi. Tekanan darah tinggi tipe ini disebabkan oleh kondisi medis lain (misalnya penyalit ginjal) atau reaksi terhadap obat-obatan tertentu (misalnya pil KB).

(8)

Tabel 2.1 Klasifikasi Tekanan Darah oleh JNC 7 untuk Pasien Dewasa (Umur≥ 18 Tahun)

Klasifikasi Tekanan Darah TDS (mmHg) TDD (mmHg)

Optimal <120 dan <80

Normal <130 dan <85

Normal Tinggi/Prehipertensi 130-139 dan 85-89

Hipertensi DerajatI 140-159 atau 90-99

Hipertensi DerajatII 160-179 atau 100-109

Hipertensi Derajat III ≥180 atau ≥110

Sumber : The seventh report of the Joint National Committee on Prevention,

Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure 2003,dalam

Kaplan, 2006 ; dalam Rasyid, 2008

Hipertensi pada lanjut usia dibedakan atas :

1. Hipertensi pada tekanan sistolik sama atau lebih besar dari 140 mmHg dan/atau tekanan diastolik sama atau lebih besar dari 90 mmHg.

2. Hipertensi sistolik terisolasi : tekanan sistolik lebih besar dari 160 mmHg dan

tekanan diastolik lebih rendah dari 90 mmHg.

Pada hipertensi sistolik, masih kontroversial mengenai target tekanan darah yang dianjurkan penurunannya bertahap smapai sekiatr sistolik 140-160 mmHg (R.P. Sidabutar, 1974 dalam Nugroho, 2008).

2.5 Gejala Klinis

Hipertensi memang dapat dikatakan sebagai pembunuh diam-diam atau the silent killer. Hipertensi umumnya terjadi tanpa gejala (asimptomatis). Sebagian besar

(9)

merasa menderita) jatuh ke dalam kondisi darurat,dan bahkan terkena penyakit jantung, stroke atau rusak ginjalnya (National Cardiovascular Center Harapan Kita, 2011).

Sebagian besar penderita tekanan darah tinggi (90 sampai 95%) tergolong hipertensi esensial. Istilah esensial digunakan karena hingga kini belum diketahui sebab utama penyakit ini. Secara umum pasien dapat terlihat sehat atau beberapa diantaranya sudah mempunyai faktor resiko tambahan, tetapi kebanyakan asimptomatik. Hipertensi esensial kadang tanpa gejala dan baru timbul gejala setelah terjadi komplikasi pada organ target seperti pada ginjal, mata, otak dan jantung. Namun terdapat pasien yang mengalami gejala dengan sakit kepala, epitaksis (National Cardiovascular Center Harapan Kita, 2011).

Pada kondisi hipertensi pada usia lanjut, tekanan darah tinggi tidak menimbulkan gejala maupun keluhan dari penderitanya. Meski demikian, apabila tekanan darah tinggi semakin meningkat atau tidak diobati dalam waktu yang lama maka akan terjadi kerusakan jantung, ginjal atau otak. Misalnya, kerusakan jantung mengakibatkan sesak nafas pendek, kaki bengkak, sering mengeluarkan air seni di tengah malam dan kadang-kadang menimbulkan rasa sakit di dada (angina) (Palmer, 2007).

(10)

1. Pusing 2. Gelisah

3. Penglihatan kabur 4. Sakit kepala

5. Jantung berdebar-debar 6. Kebingungan

7. Mengantuk 8. Rasa sakir di dada 9. Sulit bernapas

10. Mudah lelah, dan lain-lain.

Namun demikian, kejadian di atas sangat jarang dan hanyan timbul pada 1% dari populasi orang dengan tekanan darah tinggi.

2.6 Diagnosis

2.6.1 Evaluasi Hipertensi

Ada 3 tujuan evaluasi pasien dengan hipertensi (Depkes, 2006):

1. Menilai gaya hidup dan identifikasi faktor-faktor resiko kardiovaskularatau penyakit penyerta yang mungkin dapat mempengaruhi prognosissehingga dapat memberi petunjuk dalam pengobatan.

2. Mencari penyebab tekanan darah tinggi

(11)

Data diperoleh melalui anamnesis mengenai keluhan pasien, riwayat penyakit dahulu dan penyakit keluarga, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin, dan prosedur diagnostik lainnya.

Pemeriksaan fisik termasuk pengukuran tekanan darah yang benar, pemeriksaan funduskopi, perhitungan BMI (body mass index) yaitu berat badan (kg) dibagi dengan tinggi badan (meter kuadrat), auskultasi arteri karotis, abdominal, danbruit arteri femoralis; palpasi pada kelenjar tiroid; pemeriksaan lengkap jantungdan paru-paru; pemeriksaan abdomen untuk melihat pembesaran ginjal, massa intra abdominal, dan pulsasi aorta yang abnormal; palpasi ektremitas bawah untuk melihat adanya edema dan denyut nadi, serta penilaian neurologis.

2.6.2 Diagnosis

Hipertensi seringkali disebut sebagai “silent killer” karena pasien dengan hipertensi esensial biasanya tidak ada gejala (asimptomatik). Penemuan fisik yang utama adalah meningkatnya tekanan darah. Pengukuran rata-rata dua kali ataulebih dalam waktu dua kali kontrol ditentukan untuk mendiagnosis hipertensi. Tekanan darah ini digunakan untuk mendiagnosis dan mengklasifikasikan sesuai dengan tingkatnya (Depkes, 2006).

(12)

jantung dan pembuluh darah. Uji laboratorium yang meliputi pemeriksaan contoh urin dan darah bertujuan untuk mengevaluasi fungsi ginjal dan memeriksa kadar gula darah seperti juga penggunaan elektrokardiogram dan sinar-X.

Tekanan darah diukur dengan sphygmomanometer. Alat tradisional dengan merkuri saat ini telah banyak digantikan oleh alat digital otomatis. Hasil pengukuran tekanan darah dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :

• Aktivitas yang lakukan sebelum pengukuran • Tekanan atau stres yang dialami

• Posisi saat pengukuran, berdiri atau duduk

• Waktu pengukuran

Oleh karena itu, diperlukan mengukur tekanan dalam keadaan terkontrol dan pengukurannya dilakukan oleh tenaga kesehatan profesional. Jika tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg, maka tekanan darah terlalu tinggi. Namun demikian, diagnosis tidak dibuat berdasarkan satu kali pengukuran, setidaknya dua kali. Biasanya saat awal dan akhir konsultasi. Jika tekanan darah tetap tinggi, maka akan didiagnosa menyandang hipertensi.

(13)

2.7 Epidemiologi Hipertensi

2.7.1 Distribusi dan Frekuensi Hipertensi

2.7.1.1 Distribusi dan Frekuensi Penderita Hipertensi Berdasarkan Orang

Menurut WHO, prevalensi tekanan darah yang meningkat adalah tertinggi di Afrika, di mana itu adalah 46% untuk kedua jenis kelamin. Baik pria maupun wanita memiliki tingkat tinggi tekanan darah yang meningkat di wilayah Afrika, dengan tingkat prevalensi lebih dari 40%. Prevalensi terendah tekanan darah yang meningkat adalah di Amerika di 35% untuk kedua jenis kelamin. Pria di wilayah ini memiliki prevalensi yang lebih tinggi dibandingkan perempuan (39% untuk pria dan 32% untuk perempuan). Di seluruh dunia, pria memiliki prevalensi sedikit lebih tinggi dari tekanan darah yang meningkat dibandingkan perempuan. Perbedaan ini secara statistik signifikan hanya di Amerika dan Eropa (WHO, 2013).

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 yang diselenggarakan Kementerian Kesehatan menunjukkan, prevalensi hipertensi hampir sama pada laki-laki dan perempuan, yaitu laki-laki-laki-laki sebesar 31,3% dan 31,9% pada perempuan. Berdasarkan hasil Riskesdas Balitbangkes tahun 2007, hipertensi tampak meningkat sesuai peningkatan umur responden. Prevalensi hipertensi pada responden yang berumur 45-54 tahun (42,40%), 55-64 tahun (53,70%), 65-74 tahun (63,50%), dan >75 tahun (67,30%) (Riskesdas, 2007).

(14)

2.7.1.2 Distribusi dan Frekuensi Penderita Hipertensi Berdasarkan Tempat Data menunjukkan 80% kematian akibat hipertensi terjadi di negara berkembang. Sekitar 54% penyakit stroke dan 47% penyakit jantung di dunia disebabkan oleh hipertensi, sedangkan lebih dari sepertiga kematian pada negara-negara pendapatan rendah di Eropa dan Asia Sentral disebabkan oleh tekanan darah yang tinggi (Kaplan, 2006).

Di negara-negara yang berada pada tahap pasca-peralihan perubahan ekonomi dan epidemiologi, selalu dapat ditunjukkan bahwa tekanan darah dan prevalensi hipertensi yang lebih tinggi terdapat pada golongan sosio-ekonomi rendah. Akan tetapi, dalam masyarkat yang berada dalam masa peralihan atau pra-peralihan, tekanan darah tinggi dan prevalensi hipertensi yang lebih tinggi terdapat pada golongan sosio-ekonomi yang lebih tinggi (WHO, 2013).

Prevalensi hipertensi tertinggi di daerah Afrika sebesar 46% pada orang dewasa berusia 25 tahun ke atas, sedangkan prevalensi terendah sebesar 35% ditemukan di Amerika. Secara keseluruhan, negara-negara berpendapatan tinggi memiliki prevalensi hipertensi rendah sebesar 35% dibandingkan kelompok negara-negara berpendapatan rendah sebesar 40% (WHO, 2013).

(15)

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 yang diselenggarakan Kementerian Kesehatan menunjukkan, prevalensi hipertensi di Indonesia lebih tinggi di daerah pedesaan sebesar 32,2%, sedangkan prevalensi di daerah perkotaan sebesar 30,8% (Riskesdas, 2007).

2.7.1.3 Distribusi dan Frekuensi Penderita Hipertensi Berdasarkan Waktu Secara global, 9,4 juta meninggal setiap tahun dan 1,5 miliar orang di seluruh dunia yang menderita karena tekanan darah tinggi atau hipertensi. Ini adalah faktor risiko terbesar untuk kematian terbesar dunia menyebabkan penyakit jantung, stroke dan ginjal penyakit dan diabetes. Prevalensi hipertensi meningkat secara signifikan pada periode (2001: 18,4%; 2004: 22,0%; 2008: 20,8%) (Faisal, 2013).

Di Indonesia masalah hipertensi cenderung meningkat. Hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan bahwa 8,3% penduduk menderita hipertensi dan meningkat menjadi 27,5% pada tahun 2004 (Rahajeng, dkk, 2009).

(16)

persentase 4,19% pada tahun 2009 meningkat menjadi 4,39% pada tahun 2010 (Buletin Penyakit Tidak Menular, Kemenkes, 2012).

2.7.2 Faktor Risiko Hipertensi

2.7.2.1 Faktor Risiko Hipertensi yang Tidak Dapat Diubah a. Umur

Umur memengaruhi terjadinya hipertensi. Dengan bertambahnya umur, risiko terkena hipertensi menjadi lebih besar sehingga prevalensi hipertensi di kalangan usia lanjut cukup tinggi, yaitu sekitar 40%, dengan kematian sekitar di atas 65 tahun. Pada usia lanjut, hipertesni terutama ditemukan hanya berupa kenaikan tekanan darah sitolik. Tingginya hipertensi sejalan dengan bertambahnya umur, disebabkan oleh perubahan struktur pada pembuluh darah besar, sehingga lumen menjadi lebih sempit dan dinding pembuluh darah menjadi lebih kaku, sebagai akibat adalah meningkatnya tekanan darah sistolik (Depkes, 2006).

(17)

b. Jenis Kelamin

Faktor gender berpengaruh pada terjadinya hipertensi, di mana pria lebih banyak yang menderita hipertensi dibandingkan dengan wanita, dengan rasio sekitar 2,29 untuk peningkatan tekanan darah sistolik. Pria diduga memiliki gaya hidup yang cenderung dapat meningkatkan tekanan darah dibandingkan dengan wanita. Namun, setelah memasuki menopause, prevalensi hipertensi pada wanita meningkat. Bahkan setelah usia 65 tahun, terjadinya hipertensi pada wanita lebih tinggi dibandingkan dengan pria yang diakibatkan oleh faktor hormonal (Depkes, 2006).

c. Suku

Tekanan darah tinggi sangat sering terjadi pada orang berkulit hitam, yaitu 3 kali lebih sering dibandingkan orang berkulit putih. Perbedaan ini timbul akibat perbedaan genetik kedua populasi tersebut.

Penelitian klinis yang melibatkan sejumlah besar orang menunjukkan bahwa orang keturunan Afrika atau Afro-Karibia memiliki tekanan darah yang lebih tinggi dibandingkan orang Kaukasia (berkulit putih). Hipertensi pada orang keturunan afrika lebih sensitif terhadap garam dalam pola makan, yang diperkirakan berkaitan dengan sistem renin-angiotensin. Orang berkulit hitam memiliki kadar renin yang lebih rendah.

(18)

darah rata-rata antara kedua goloongan tersebut beragam, mulai dari yang lebih rendah dari 5 mmHg (0,67 kPa pada usia 20-an sampai hampir 20 mmHg (2,67 kPa) pada usia 60-an (WHO, 2001).

d. Keturunan

Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi (faktor keturunan) juga mempertinggi risiko terkena hipertensi, terutama hipertensi primer (esensial). Tentunya faktor genetik ini juga dipengaruhi faktor-faktor lingkungan lain, yang kemudian menyebabkan seorang menderita hipertensi. Faktor genetik juga berkaitan dengan metabolisme pengatruran garam dan rennin membrane sel. Menurut Davidson, bila kedua orang tuanya menderita hipertensi maka sekitar 45% akan turun ke anak-anaknya dan bila salah satu orang tuanya yang menderita hipertensi maka sekitar 30% akan turun ke anak-anaknya (Depkes, 2006).

(19)

2.7.2.2 Faktor Risiko Hipertensi yang Dapat Diubah a. Kegemukan (Obesitas)

Obesitas atau kegemukan adalah keadaan dimana berat badan mencapai indeks massa tubuh > 25 (berat badan (kg) dibagi kuadrat tinggi badan (m) juga merupakan salah satu faktor risiko terhadap timbulnya hipertensi. Obesitas merupakan cirri dari populasi penderita hipertensi.

Keadaan ini disebabkan karena pola konsumsi yang berlebihan, banyak mengandung (lemak, protein dan karbohidrat) yang tidak sesuai dengan kebutuhan. Proses metabolisme yang menurun pada usia lanjut, tidak diimbangi dengan peningkatan aktivitas fisik atau penurunan jumlah makanan, sehingga kalori yang berlebih akan diubah menjadi lemak mengakibatkan kegemukan. Berat badan yang berlebih akan meningkatkan beban jantung untuk memompa darah ke seluruh tubuh. Akibatnya tekanan darah cenderung lebih tinggi. Disamping itu pembuluh darah pada usia lanjut lebih tebal dan kaku (aterosklerosis) sehingga tekanan darah akan meningkat (Depkes, 2005).

(20)

Kelebihan bobot badan berkaitan dengan 2-6 kali kenaikan risiko mendapat hipertensi. Pada populasi Barat, jumlah kasus hipertensi yang disebabkan oleh obesitas diperkirakan 30-65%. Dari data pengamatan, regresi multivariat tekanan darah menunjukkan kenaikan TDS 2-3 mmHg (0,13-0,2 kPa) dan TDD 1-3 mmHg (0,13-0,4 kPa) untuk setiap kenaikan 10 kg bobot (WHO, 2001).

b. Konsumsi Makanan Asin

Garam merupakan faktor yang sangat penting dalam patogenesis hipertensi. Hipertensi hampir tidak pernah ditemukan pada suku bangsa dengan asupan garam yang minimal. Asupan garam kurang dari 3 gram tiap hari menyebabkan prevalensi hipertensi yang rendah, sedangkan jika asupan garam antara 5-15 gram perhari prevalensi hipertensi meningkat menjadi 15-20%. Pengaruh asupan terhadap timbulnya hipertensi terjadi melalui peningkatan volume plasma, curah jantung dan tekanan darah.

(21)

Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh, karena menarik cairan diluar sel agar tidak keluar, sehingga akan meningkatkan volume dan tekanan darah. Pada manusia yang mengkonsumsi garam 3 gram atau kurang ditemukan tekanan darah rata-rata rendah, sedangkan asupan garam sekitar 7-8 gram tekanan darahnya rata-rata lebih tinggi. Konsumsi garam yang dianjurkan tidak lebih dari6 gram/hari setara dengan 110 mmol natrium atau 2400mg/hari.

c. Merokok

Zat-zat kimia beracun seperti nikotin dan karbon monoksida yang dihisap melalui rokok yang masuk ke dalam aliran darah dapat merusak lapisan endotel pembuluh darah arteri, dan mengakibatkan proses artereosklerosis, dan tekanan darah tinggi. Pada studi autopsi, dibuktikan kaitan erat antara kebiasaan merokok dengan adanya artereosklerosis pada seluruh pembuluh darah. Merokok juga meningkatkan denyut jantung dan kebutuhan oksigen untuk disuplai ke otot-otot jantung.Merokok pada penderita tekanan darah tinggi semakin meningkatkan risiko kerusakan pada pembuluh darah arteri (Depkes, 2006).

(22)

lain menemukan perokok memiliki tekanan darah yang lebih rendah. Namun demikian, semua yang merokok harus sangat disarankan untuk berhenti. Merokok dikaitkan dengan resistensi insulin dan redaman relaksasi terikat endotelium. Beberapa efek samping yang jelas menambah kelainan jantung utama yang disebabkan oleh merokok (Kaplan, 2006).

Merokok dapat meningkatkan tekanan darah secara temporer, yakni tekanan darah sistolik yang naik sekitar 10 mmHg dan tekanan darah diastolik naik sekitar 8 mmHg. Kenaikan tekanan darah itu terjadi saat sedang merokok dan sesaat setelah merokok selesai. Tekanan darah akan tetap pada ketinggian ini sampai 30menit setelah berhenti mengisap rokok. Sementara efek nikotin perlahan-lahan menghilang, tekanan darah juga akan menurun dengan perlahan. Namun pada perokok berat tekanan darah akan berada pada level tinggi sepanjang hari (Hayens, 2006).

d. Stres Psikososial

(23)

Stres tidak hanya meningkatkan ekskresi natrium oleh aktivitas sistem saraf simpatik (Schneider et al, 2001), tetapi mungkin terlibat dalam patogenesis hipertensi primer dengan sejumlah mekanisme lain juga (Bryton&Steptoe, 2005). Beberapa studi menunjukkan bahwa orang-orang yang terkena tekanan psikogenik berulang dapat mengembangkan hipertensi daripada orang yang dinyatakan tidak stres (Kaplan, 2006).

Stres atau ketegangan jiwa (rasa tertekan, murung, rasa marah, dendam, rasa takut, rasa bersalah) dapat merangsang kelenjar anak ginjal melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat serta lebih kuat, sehingga tekanan darah akan meningkat. Jika stres berlangsung lama, tubuh akan berusaha mengadakan penyesuaian sehingga timbul kelainan organis atau perubahan patologis (Depkes, 2006).

Dalam penelitian Framingham dalam Yusida tahun 2001 bahwa bagi wanita berusia 45-64 tahun, sejumlah faktor psikososial seperti keadaan tegangan, ketidakcocokan perkawinan, tekanan ekonomi, stres harian, mobilitas pekerjaan, gejala ansietas dan kemarahan terpendam didapatkan bahwa hal tersebut berhubungan dengan peningkatan tekanan darah dan manifestasi klinik penyakit kardiovaskular (Depkes, 2006).

(24)

bekerja atau hidup di lingkungan yang penuh kebisingan atau keributan juga berkaitan dengan tingkat kasus hipertensi (Kaplan, 2006).

Demikian juga pada orang yang mengalami stres, akan mengalami peningkatan nafsu makan dan ada beberapa perubahan hormonal tubuh yang mempengaruhi sistem metabolisme tubuh. Hal tersebut menyebabkan peningkatan timbunan lemak tubuh dan peningkatan berat badan (obesitas), yang akhirnya akan meningkatkan tekanan darah.

Kondisi stres dalam situasi tertentu dapat meningkatkan tekanan darah secara berkelanjutan. Bila kondisi stres ini berlangsung terus menerus maka peningkatan tekanan darah juga menjadi permanen.

e. Kurang Aktivitas Fisik (Kurang Olahraga)

(25)

Orang normotensi atau kurang gerak dan tidak bugar mempunyai risiko 20-50% lebih besar untuk terkena hipertensi selama masa tindak lanjut jika dibandingkan dengan orang yang lebih aktif dan bugar (WHO, 2001).

f. Alkohol

Banyak studi menyebutkan bahwa semakin banyak mengonsumsi alkohol makan semakin tinggi tekanan darah, sehingga peluang terkena hipertensi semakin tinggi. Beberapa laporan menyimpulkan bahwa efek alkohol dimulai dari asupan alkohol yang paling rendah. Jadi, seseorang yang tidak mengonsumsi alkohol maka cenderung memiliki tekanan darah yang normal. Laporan lain menunjukkan, ada batas/ambang tertentu dari alkohol yang dapat mempengaruhi tekanan darah. Jadi, satu atau dua gelas alkohol mungkin belum berpengaruh terhadap tekanan darah (sama dengan orang yang tidak mengonsumsi alkohol). Efek alkohol terhadap tekanan darah tinggi baru kelihatan ketikameminum tiga gelas alkohol per hari. Namun, ada juga sedikit studi yang melaporkan bahwa individu yang minum alkohol (satu atau dua gelas) mempunyai tekanan darah yang lebih rendah dibandingkan individu yang mengonsumsi alkohol tiga gelas per hari. Dengan kata lain, mengonsumsi tiga atau emapat gelas per hari jelas meningkatkan tekanan darah tinggi. Namun bila mengonsumsi lebih rendah dari takaran tersebut maka efeknya terhadap tekanan darah belum dapat diketahui secara pasti (Hayens, 2006).

(26)

berturut-turut 6,6 mmHg (0,89 kPa) dan 4,7 mmHg (0,63 kPa) dibandingkan dengan peminum sekali seminggu (WHO, 2001).

g. Konsumsi Makanan Berlemak

Seseorang yang cenderung mengkonsumsi pangan tinggi kalori (tinggi lemak dan karbohidrat) daripada pangan tinggi serat, dapat menyebabkan obesitas yang berdampak pada peningkatan tekanan darah dan penyakit degeneratif. Makanan yang tinggi kalori (tinggi lemak dan karbohidrat) berkontribusi dalam peningkatan timbunan lemak tubuh yang berujung pada peningkatan berat badan, penimbunan lemak berlebih dan peningkatan tekanan darah. Peningkatan asupan kalori juga berhubungan dengan peningkatan insulin plasma, yang berperan sebagai faktor natriuretik dan menyebabkan peningkatan reabsorbsi natrium ginjal sehingga menyebabkan meningkatnya tekanan darah.

2.8 Komplikasi Hipertensi

Pada umumnya komplikasi terjadi pada hipertensi berat yaitu apabila tekanan darah > 130 mmHg atau kenaikan tekanan darah yang mendadak tinggi. Komplikasi dapat berupa terganggunya fungsi atau kerusakan berbagia organ tubuh, ini disebut dengan istilah target hipertensi.

(27)

attack), penyakit arteri koroner (infark miokard, angina), gagal ginjal,dementia, dan

atrial fibrilasi. Bila penderita hipertensi memiliki faktor-faktor risiko kardiovaskular lain, maka akan meningkatkan mortalitas dan morbiditas akibat gangguan kardiovaskularnya tersebut. Menurut Studi Framingham, pasien dengan hipertensi mempunyai peningkatan resiko yang bermakna untuk penyakit jantung koroner, stroke, penyakit arteri perifer, dan gagal jantung (Depkes, 2006).

a. Otak

Hipertensi merupakan penyebab utama stroke. Sekitar 50% dari stroke disebabkan oleh hipertensi, risiko meningkat seiring dengan meningkatnya tekanan darah. Hipertensi berada pada 3-4 kali risiko lebih besar untuk stroke dan orang-orang dengan tekanan darah di atas 130/85 mmHg sebesar 1,5 kali risiko yang lebih besar dibandingkan normotensif (Kaplan, 2006).

(28)

Kedua, penyempitan yang terjadi di dalam arteri yang tergolong besar menyebabkan terhambatnya suplai darah. Akibatnya terjadi athero thrombotic stroke. Yang terakhir, bila tekanan darah cukup tinggi, maka arteri pecah dan mnyebabkan pendarahan di otak, yang disebut hemorrhagic stroke (Hayens, 2006).

Tekanan darah tinggi dapat menyebabkan dua jenis stroke, yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik. Jenis stroke yang paling sering (sekitar 80% kasus) adalah stroke iskemik. Stroke ini terjadi karena aliran darah di arteri otak terganggu dengan mekanisme yang mirip dengan gangguan aliran darah di arteri koroner saat serangan jantung atau angina. Otak menjadi kekurangan oksigen dan nutrisi. Stroke hemoragik, (sekitar 20% kasus) timbul saat pembuluh darah di otak atau di dekat otak pecah, penyebab utamanya adalah tekanan darah tinggi yang persisten. Hal ini menyebabkan darah meresap ke ruang di anatar sel-sel otak. Walaupun stroke hemoragik tidak sesering stroke iskemik, namun komplikasinya dapat menjadi lebih serius.

Hipertensi sistolik terisolasi (ISH) pada lansia dikaitkan dengan insiden stroke2,7 kali lebih besardaripada lansia yang norrmotensif. Hipertensi pada lansia lebih sering mengalami penyakit serebrovaskular dan lesi putih di otak yang akhirnya dapat menyebabkan atrofi dan demensia vaskular (Kaplan, 2006).

b. Jantung

(29)

tinggi selama beberapa waktu tertentu, namun selama beberapa tahun berikutnya mungkin kondisinya semkain melemah. Bila hal ini terjadi, fliuda dari darah terdorong ke paru-paru dan paru-paru menjadi “waterlogged” atau penuh berisi air. Karena jantung mengalami kesulitan dalam memompa darah ke otot, maka jantung membutuhkan oksigen ekstra untuk bekerja atau berolahraga, sehingga seorang akan bernafas pendek-pendek. Pada saat-saat awal, kondisi napas pendek ini memang hanya terjadi bila seseorang dalam kondisi aktif. Namun akhirnya pada saat istirahat pun akan mengalami kesulitan bernafas. Masalah seperti ini sering disebut gagal jantung (Hayens, 2006).

Jantung juga memiliki suplai darah sendiri melalui pembuluh yang disebut arteri koronaria. Arteri yang menuju ke jantung dapat mengeras dan menyempit dengan cara yang sama seperti arteri yang menuju organ-organ lainnya. Ketika arteri koronaria menjadi terlalu sempit untuk mengangkut oksigen ke jantung, maka seseorang akan merasa sesak dadanya, seolah-olah ada tekanan pada dada, tangan atau rahangnya selama sekitar 5 menit. Rasa nyeri atau sakit seperti ini disebut angina pectoris atau angina sesaat. Meskipun demikian rasa ketidaknyamanan dalam angina ini hanya peringatan kecil dari begitu sedikitnya suplai darah yang menuju jantung, dan belum ada kerusakan permanen yang ditimbulkannya. Seringkali, hanya dengan menurunkan tekanan darah dapat mengurangi kerja jantung sehingga cukup untuk menghilangkan angin.

(30)

Kondisi ini disebut serangan jantung atau myocardial infarction atau “coronary” trombosis koronaria. Kondisi ini umumnya ditandai dengan rasa sakit di dada yang berkepanjangan yang melebihi angina (paling tidak terjadi selama 15 menit atau sering lama lagi) seperti juga rasa letih dan keluar banyak keringat.

Pada usia lanjut tekanan darah tinggi menjadi faktor risiko penyakit kardiovaskular yang harus segera disembuhkan (Hayens, 2006).

c. Tungkai

Penyakit arteri perifer adalah penyakit yang menyerang arteri yang menyuplai darah ke tungkai. Dengan berjalannya waktu, penderita tekanan darah tinggi akan mengalami pengerasan pada arterinya. Pengerasan arteri terjadi terutama karena adanya penebalan dinding arteri, hingga kurang bersifat elastis. Peningkatan ketebalan ini menyebabkan penyempitan arteri, sehingga dapat menghambat aliran darah yang mengakibatkan aliran darah berkurang. Tekanan darah tinggi dapat meningkatkan laju pergeseran arteri.

Apabila peningkatan tekanan darah hanya terjadi sedikit, maka laju peningkatan penebalan arteri juga tidak terlalu tinggi. Penyakit arteri perifer menyebabkan nyeri pada tungkai dan kaki sehingga akan sulit untuk berjalan (Palmer, 2005).

d. Ginjal

(31)

Ginjal merupakan organ penting yang sering rusak akibat hipertensi. Dalam waktu beberapa tahun saja, hipertensi parah atau ganas (dipercepat) sering mengakibatkan insufisiensi ginjal, sebagai akibat nekrosis febrinoid arteri-ginjal kecil. Pada hipertensi yang tidak parah, kerusakan ginjal akibat arterisklerosis biasanya ringan dan berkembang lebih lambat. Perkembangan kerusakan ginjal pada hipertensi biasanya ditandai oleh proteinuria. Definisi proteinuria yang dimaksud adalah pengeluaran protein melalui urin sebanyak lebih dari 300 mg sehari. Proteinuria dapat dikurangi dengan menurunkan tekanan darah secara efektif (WHO, 2001).

Hipertensi merupakan penyebab utama penyakit ginjal, yaitu pada 15-20% dari semua kasus gagal ginjal di Amerika Serikat dan 33% pada Amerika berkulit hitam.

Tekanan darah tinggi mengurangi aliran darah ke ginjal. Pergeseran arteri yang disebabkan tekanan darah tinggi juga mengurangi aliran darah ke ginjal. Apabila suplai darah ke ginjal dihambat oleh pergeseran arteri makan akan terjadi nefrosklerosis sehingga ginjal menjadi berkerut dan dapat mengalami gagal ginjal. Pada awalnya, tugas ginjal untuk menyaring darah menjadi zat-zat sampah memang tidak dipengaruhi. Tetapi bila hipertensi menjadi lebih berat lagi atau berlangsung lama, maka secara bertahan terjadi pengurangan aliran darah ke ginjal (Hayens, 2006).

(32)

ginjal. Akibatnya, lambat laun ginjal tidak mampu membuang zat-zat sampah dari aliran darah yang masuk, sehingga terjadi penumpukan di dalam tubuh. Makin tinggi hipertensi maka makin cepat terjadi kerusakan sistem penyaringan.

e. Mata

Tekanan darah tinggi dapat mempersempit atau menyumbat arteri di mata, sehingga menyebabkan kerusakan pada retina (area pada mata yang sensitif terhadap cahaya). Keadaan ini disebut penyakit vaskular retina.Penyakit ini dapat menyebabkan kebutaan dan merupakan indikator awal penyakit jantung (Palmer, 2007).

2.9 Penatalaksanaan Hipertensi

Penatalaksanaan hipertensi dapat dilakukan dengan (Depkes, 2006): 1. Terapi Nonfarmakologi

Menerapkan gaya hidup sehat bagi setiap orang sangat penting untuk mencegah tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang penting dalam penanganan hipertensi. Semua pasien dengan prehipertensi dan hipertensi harus melakukan perubahan gaya hidup. Disamping menurunkan tekanan darah pada pasien-pasien dengan hipertensi, modifikasi gaya hidup juga dapat mengurangi berlanjutnya tekanan darah ke hipertensi pada pasien-pasien dengan tekanan darah prehipertensi.

(33)

pola makan DASH (Dietary Approach to Stop Hypertension) yang kaya akan kalium dan kalsium; diet rendah natrium; aktifitas fisik; dan mengkonsumsi alkohol sedikit saja. Pada sejumlah pasien dengan pengontrolan tekanan darah cukup baik dengan terapi satu obat antihipertensi; mengurangi garam dan berat badan dapat membebaskan pasien dari menggunakan obat.

Program diet yang mudah diterima adalah yang didisain untuk menurunkan beratbadan secara perlahan-lahan pada pasien yang gemuk dan obes disertai pembatasan pemasukan natrium dan alkohol. Untuk ini diperlukan pendidikan kepasien, dan dorongan moril.

Fakta-fakta berikut dapat diberitahukan kepada pasien supaya pasien mengertirasionalitas intervensi diet:

a. Hipertensi 2 – 3 kali lebih sering pada orang gemuk dibanding orang dengan berat badan ideal.

b. Lebih dari 60 % pasien dengan hipertensi adalah gemuk (overweight)

c. Penurunan berat badan, hanya dengan 10 pound (4.5 kg) dapat menurunkan tekanan darah secara bermakna pada orang gemuk

d. Obesitas abdomen dikaitkan dengan sindroma metabolik, yang juga prekursor dari hipertensi dan sindroma resisten insulin yang dapat berlanjut ke DM tipe 2, dislipidemia, dan selanjutnya ke penyakit kardiovaskular.

(34)

f. Walaupun ada pasien hipertensi yang tidak sensitif terhadap garam, kebanyakan pasien mengalami penurunaan tekanan darah sistolik dengan pembatasan natrium.

JNC VII menyarankan pola makan DASH yaitu diet yang kaya dengan buah, sayur, dan produk susu redah lemak dengan kadar total lemak dan lemak jenuh berkurang. Natrium yang direkomendasikan < 2.4 g (100 mEq)/hari. Aktifitas fisik dapat menurunkan tekanan darah. Olah raga aerobik secara teratur paling tidak 30 menit/hari beberapa hari per minggu ideal untuk kebanyakan pasien. Studi menunjukkan olah raga aerobik, seperti jogging, berenang, jalan kaki, dan menggunakan sepeda, dapat menurunkan tekanan darah. Keuntungan ini dapat terjadi walaupun tanpa disertai penurunan berat badan. Pasien harus konsultasi dengan dokter untuk mengetahui jenis olahraga mana yang terbaik terutama untuk pasien dengan kerusakan organ target.

Merokok merupakan faktor risiko utama independen untuk penyakit kardiovaskular. Pasien hipertensi yang merokok harus dikonseling berhubungan dengan risiko lain yang dapat diakibatkan oleh merokok.

Tabel 2.2 Modifikasi Gaya Hidup untuk Mengontrol Hipertensi

No Modifikasi Rekomendasi

Kira-kira

Diet kaya dengan buah, sayur, dan produk susu rendah lemak

(35)

Tabel 2.2 (Lanjutan)

No Modifikasi Rekomendasi

Kira-kira sodium atau 6 g sodium klorida)

2-8 mmHg

(36)

yang menunjukkan penurunan mortalitas dan morbiditas kardiovaskular atau kerusakan target organ akibat hipertensi. Bukti ilmiah menunjukkan kalau sekadar menurunkan tekanan darah, tolerabilitas, dan biaya saja tidak dapat dipakai dalam seleksi obat hipertensi. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor ini, obat-obat yang paling berguna adalah diuretik, penghambat enzim konversi angiotensin(ACEI), penghambat reseptor angiotensin (ARB), penyekat beta, dan antagoniskalsium (CCB).

3. Mencapai Tekanan Darah pada Masing-masing Pasien

Kebanyakan pasien dengan hipertensi memerlukan dua atau lebih obat anti hipertensi untuk mencapai target tekanan darah yang diinginkan. Penambahan obat kedua dari kelas yang berbeda dimulai apabila pemakaian obat tunggal dengan dosis lazim gagal mencapai target tekanan darah. Apabila tekanan darah melebihi 20/10 mm Hg diatas target, dapat dipertimbangkan untuk memulai terapi dengan dua obat. Yang harus diperhatikan adalah resiko untuk hipotensi ortostatik, terutama pada pasien-pasien dengan diabetes, disfungsi autonomik, dan lansia.

4. Terapi Kombinasi

Ada 6 alasan mengapa pengobatan kombinasi pada hipertensi dianjurkan: a. Mempunyai efek aditif

b. Mempunyai efek sinergisme c. Mempunyai sifat saling mengisi

d. Penurunan efek samping masing-masing obat

(37)

f. Adanya “fixed dose combination” akan meningkatkan kepatuhan pasien (adherence)

Fixed-dose combination yang paling efektif adalah sebagai berikut:47 1. Penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI) dengan diuretik 2. Penyekat reseptor angiotensin II (ARB) dengan diuretik

3. Penyekat beta dengan diuretik

4. Diuretik dengan agen penahan kalium

5. Penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI) dengan antagonis kalsium 6. Agonis α-2 dengan diuretik

7. Penyekat α-1 dengan diuretik

2.10 Kebijakan Pengelolaan Penyakit Hipertensi Menurut Kemenkes

Untuk mengelola penyakit hipertensi, Kemenkes membuat kebijakan yaitu (Kemenkes, 2012) :

1. Mengembangkan dan memperkuat kegiatan deteksi dini hipertensi secara aktif (skrining).

2. Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan deteksi dini melalui kegiatan Posbindu PTM.

3. Meningkatkan akses penderita terhadap pengobatan hipertensi melalui :

(38)

upaya pengendalian PTM khususnya tatalaksana PTM di fasilitas pelayanan kesehatan dasar seperti puskesmas;

b. Peningkatan manajemen pelayanan pengendalian PTM secara komprehensif (terutama promotif dan preventif) dan holistik;

c. Peningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana promotif-preventif, maupun sarana prasarana diagnostik dan pengobatan.

Upaya Pencegahan dan Penanggulangan hipertensi dimulai dengan meningkatkan kesadaran masyarakat dan perubahan pola hidup ke arah yang lebih sehat. Untuk itu Puskesmas sebagai fasilitas pelayanan kesehatan dasar perlu melakukan :

a. Pencegahan Primer

Pencegahan primer yaitu kegiatan untuk menghentikan atau mengurangi faktor risiko Hipertensi sebelum penyakit hipertensi terjadi, melalui promosi kesehatan seperti diet yang sehat dengan cara makan cukup sayur-buah, rendah garam dan lemak, rajin melakukan aktifitas dan tidak merokok

b. Pencegahan Sekunder

Puskesmas juga perlu melakuka pencegahan sekunder yang lebih ditujukan pada kegiatan deteksi dini untuk menemukan penyakit.Bila ditemukan kasus, maka dapat dilakukan pengobatan secara dini.

c. Pencegahan Tertier

(39)

dan pengelolaan hipertensi yang tepat serta minum obat teratur agar tekanan darah dapat terkontrol dan tidak memberikan kompslikasi seperti penyakit ginjal kronik, stroke dan jantung. Penanganan respon cepat juga menjadi hal yang utama agar kecacatan dan kematian dini akibat penyakit hipertensi dapat terkendali dengan baik.Pencegahan tertier dilaksanakan agar penderita hipertensi terhindar dari komplikasi yang lebih lanjut serta untuk meningkatkan kualitas hidup dan memperpanjang lama ketahanan hidup. Untuk mendeteksi atau menegakkan diagnosis penyakit hipertensi, sangat sederhana yaitu dengan mengukur tekanan darah menggunakan tensimeter.

Hipertensi ditegakkan bila tekanan darah ≥ 140/90 mmHg. Pengobatan atau penatalaksanaan hipertensi membutuhkan waktu lama, seumur hidup dan harus terus menerus. Jika modifikasi gaya hidup tidak menurunkan tekanan darah ke tingkat yang diinginkan, maka harus diberikan obat.

2.11 Pos Pembinaan Terpadu Penyakit Tidak Menular (Posbindu PTM)

Sarana dan prasarana untuk diagnosis dan mengobati hipertensi, termasuk mendeteksi kemungkinan terjadi kerusakan organ target atau komplikasi pada dasarnya sudah tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan.

(40)

akses untuk mendeteksi atau monitoring tekanan darah nya. Jika mampu membeli tensimeter sendiri untuk memonitor tekanan darah keluarga secara rutin akan lebih baik. Namun yang paling penting adalah meningkatkan perilaku hidup sehat. Keberadaan Posbindu PTM di masyarakat lebih tepat untuk mengendalikan faktor risiko Penyakit Tidak Menular (obesitas, hiperkolesterol, hipertensi, hiperglikemi, diet tidak sehat, kurang aktifitas dan merokok). Kegiatan deteksi dini pada Posbindu PTM dilakukan melalui monitoring faktor risiko secara terintegrasi, rutin dan periodik. Kegiatan monitoring mencakup kegiatan minimal yaitu hanya memantau masalah konsumsi sayur/buah dan lemak, aktifitas fisik, indeks massa tubuh (IMT), dan tekanan darah, dan kegiatan monitoring lengkap yaitu memantau kadar glukosa darah, dan kolesterol darah, pemeriksaan uji fungsi paru sederhana dan IVA. Tindak lanjut dini berupa peningkatan pengetahuan masyarakat tentang cara mencegah dan mengendalikan faktor risiko PTM dilakukan melalui penyuluhan/dialog interaktif secara massal dan / atau konseling faktor risiko secara terintegrasi pada individu dengan faktor risiko, sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Kasus faktor risiko PTM yang ditemukan yang tidak dapat dikendalikan melalui konseling dirujuk ke fasilitas pelayanan dasar di masyarakat (puskesmas, klinik swasta, dan dokter keluarga) untuk tidak lanjut dini.

2.12 Landasan Teori

(41)
(42)

FAKTOR RESIKO

HOST LINGKUNGAN Gambar 2.2. Model Segitiga Epidemiologi Mutakhir (Timmreck, 2005)

2.13 Kerangka Konsep

Kerangka konsep merupakan penyederhanaan dari kerangka teori. Dalam pelaksanaan kegiatan penelitian berdasarkan kerangka teori yang ada, peneliti memilih beberapa faktor risiko yang fisibel (dapat diukur) untuk diteliti sebagai variabel penelitian. Variabel yang terpilih selanjutnya disusun dalam satu kerangka konsep. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kejadian hipertensi pada lansia, sedangkan variabel independennya adalah riwayat keluarga/keturunan, konsumsi garam (natrium), konsumsi lemak, olah raga,merokok, stres, dan obesitas.

Dalam penelitian ini terdapat variabel independen yang tidak akan diteliti berdasarkan suatu alasan, berikut ini adalah variabel yang tidak diteliti meliputi: 1. Variabel umur, tidak diikutsertakan karena semua sampel adalah usia ≥ 55

tahun yang termasuk dalam kategori lanjut usia dan responden dengan usia tersebut memiliki risiko yang sama untuk terkena hipertensi.

(43)

2. Variabel etnis, merupakan faktor risiko yang kurang tepat diteliti karena lokasi penelitian mayoritas penduduknya mempunyai etnis atau ras yang sama atau homogen.

Berikut ini merupakan bagan dari kerangka konsep penelitian, yakni:

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.3 Kerangka Konsep Faktor-faktor yang Memengaruhi Kejadian Hipertensi pada Lansia

Faktor Risiko yang Tidak Dapat Diubah

1. Riwayat

Keluarga/Keturunan Faktor Risiko yang Dapat Diubah

1. Obesitas

2. Kebiasaan Konsumsi Makanan Asin 3. Kebiasaan Merokok 4. Stres Psikologis

5. Kebiasaan Aktivitas Fisik 6. Kebiasaan Minum Alkohol 7. Kebiasaan Konsumsi

Makanan Berlemak

Gambar

Tabel 2.2 (Lanjutan)
Gambar 2.2. Model Segitiga Epidemiologi Mutakhir (Timmreck, 2005)
Gambar 2.3 Kerangka Konsep Faktor-faktor yang Memengaruhi  Kejadian Hipertensi pada Lansia

Referensi

Dokumen terkait

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 30 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 39 Tahun 2009 Tentang Pemenuhan Beban

bahwa sebagai tindak lanjut Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2000 tentang Ketertiban, Keindahan, Kesehatan Lingkungan dan Retribusi Pelayanan Persampahan / Kebersihan, perlu

bahwa Peraturan Bupati Bantul Nomor 53 Tahun 2009 tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Bidang Perizinan yang Dikelola oleh Dinas Perijinan Kabupaten Bantul

Penilaian evaluasi RT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 dilakukan dengan melihat keadaan pada 2 (dua) tahun terakhir dan membandingkan data tingkat perkembangan RT

Menimbang : bahwa sehubungan dengan terbitnya beberapa peraturan perundang-undangan mengenai pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang

Hypermarket adalah sarana atau tempat usaha untuk melakukan penjualan barang- barang kebutuhan rumah tangga termasuk kebutuhan sembilan bahan pokok secara eceran dan langsung

Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir Menggunakan fungsi perintah dalam perangkat lunak Menjelaskan konsep dasar sheet metal sesuai keilmuan yang mendukung mata

Perangkap kemiskinan; kemiskinan di sektor pertanian bukan hanya masalah ekonomi melainkan juga masalah sosial budaya dimana para petani terperangkap dalam lingkaran