• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Faktor Internal Dan Eksternal Terhadap Kinerja Petugas Pengelola Obat Di Puskesmas Kota Subulussalam Tahun 2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Faktor Internal Dan Eksternal Terhadap Kinerja Petugas Pengelola Obat Di Puskesmas Kota Subulussalam Tahun 2011"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kinerja

2.1.1. Pengertian Kinerja

Menurut Mangkunegara (2006), kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya yang dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Kinerja menurut Ilyas (2001) adalah penampilan hasil kerja personel baik kuantitas maupun kualitas dalam suatu organisasi, kinerja dapat merupakan penampilan individu maupun kelompok kerja personel.

Suprihanto (2001), mengatakan bahwa kinerja atau prestasi kerja seorang karyawan pada dasarnya adalah hasil kerja seorang karyawan selama periode tertentu dibandingkan dengan berbagai kemungkinan (target, standart, sasaran atau kriteria yang telah ditentukan dan disepakati terlebih dahulu).

2.1.2. Penilaian Kinerja

Pada hakikatnya penilaian kinerja merupakan suatu evaluasi terhadap penampilan kerja personel dengan membandingkannya dengan standar baku penampilan (Ilyas, 2001).

(2)

tentang mutu hasil pekerjaannya dipandang dari sudut kepentingan perusahaan (Prawirosentono, 1999).

Dengan melakukan penilaian demikian, seorang pemimpin akan menggunakan uraian-uraian pekerjaan sebagai tolak ukur. Bila pekerjaan sesuai dengan uraian pekerjaan berarti pekerjaan itu berhasil dilaksanakan dengan baik, bila hasilnya dibawah uraian pekerjaan berarti pelaksanaan pekerjaan tersebut kurang (Ilyas, 2001).

(3)

keikhlasan, tidak menyalahgunakan wewenang dan senantiasa melaporkan hasil pekerjaan kepada atasan (Ilyas, 2001), (5) kerjasama merupakan kemampuan mental seorang personel untuk dapat bekerjasama dengan orang lain dalam menyelesaikan tugas yang telah diberikan (Ilyas, 2001). Kerjasama dapat dilakukan dengan mengetahui bidang tugas orang lain yang berkaitan dengan tugasnya, mampu menerima dan menghargai pendapat orang lain dan mampu bekerja dengan orang lain.

Penilaian kinerja pada dasarnya mempunyai 3 (tiga) tujuan pokok yaitu : 1) Merupakan tujuan mendasar dalam rangka penilaian personal secara individual,

yang dapat digunakan sebagai informasi untuk penilaian efektifitas manajemen sumber daya manusia.

2) Untuk pemeliharaan (Maintanance), menyangkut dorongan orang yang dinilai supaya melanjutkan hal-hal yang dikerjakan dengan baik.

3) Untuk mengembangkan (Development), sebagai informasi untuk mengambil keputusan guna pengembangan personal seperti promosi, mutasi, rotasi, terminasi dan penyesuaian kompensasi.

Sedangkan menurut Mangkunegara ( 2006) tujuan penilaian kinerja adalah 1) Sebagai dasar dalam mengambil keputusan yang digunakan untuk prestasi,

pemberhentian dan besarnya balas jasa.

2) Untuk mengukur sejauh mana seorang karyawan dapat menyelesaikan pekerjaannya.

(4)

4) Sebagai dasar untuk mengevaluasi program latihan dan keefektifan jadwal kerja, metode kerja, struktur organisasi, gaya pengawasan, kondisi kerja dan pengawasan.

5) Sebagai indikator untuk menentukan kebutuhan akan latihan bagi karyawan yang berada di dalam organisasi.

6) Sebagai alat untuk meningkatkan motivasi kerja karyawan sehingga dicapai performance yang baik.

7) Sebagai alat untuk dapat melihat kekurangan atau kelemahan dan meningkatkan kemampuan karyawan selanjutnya.

8) Sebagai kriteria menentukan seleksi dan penempatan karyawan.

9) Sebagai alat untuk memperbaiki atau mengembangkan kecakapan karyawan. 10)Sebagai alat untuk memperbaiki atau mengembangkan uraian tugas (job

description).

2.1.3. Metode Penilaian Kinerja

Menurut Rivai (2005) terdapat beberapa metode penilaian kinerja yang dapat digunakan yaitu:

1) Metode penilaian yang berorientasi masa lalu.

Teknik yang sering digunakan dalam metode ini, meliputi :

(5)

kuantitatif (bobot) yang mencerminkan nilai rata-rata untuk kemudian dihitung dan dibandingkan.

b) Checklist, adalah teknik penilaian yang digunakan untuk menyeleksi pernyataan yang menjelaskan karakteristik karyawan dengan menggunakan formulir yang berisi unsur unsur yang akan dinilai dengan tanda cek, misalnya formulir Weighted Performance Check List.

c) Metode Peristiwa Kritis (Critical Incident Methode) adalah metode penilaian yang mengarahkan membuat perbandingan untuk mencari pernyataan yang menggambarkan tingkah laku karyawan baik dan buruk dihubungkan dengan cara kerja mereka.

d) Metode Catatan Prestasi adalah metode ini berkaitan erat dengan metode kritis, yaitu catatan penyempurnaan yang banyak digunakan terutama oleh para profesional, misalnya penampilan, kemampuan berbicara, peran kepemimpinan, dan aktivitas lain yang berhubungan dengan pekerjaan.

e) Metode dengan Pilihan Terarah (Forced Choice Methode) adalah teknik penilaian untuk meningkatkan objektivitas dan mengurangi subjektivitas dalam penilaian.

(6)

yang kurang memuaskan, dibuat oleh pekerja sendiri, rekan sekerja dan atasan langsung masing-masing.

g) Metode Peninjauan Lapangan (Field Review Methode) adalah tehnik penilaian di mana penilai turun ke lapangan bersama-sama dengan ahli dari SDM. Spesialis SDM mendapat informasi dari atasan langsung perihal prestasi karyawannya, lalu mengevaluasi berdasarkan informasi tersebut.

h) Tes dan Observasi Prestasi Kerja (Performance Test and Observation) adalah tehnik penilaian yang dilaksanakan karena berbagai pertimbangan dan keterbatasan, penilaian prestasi dapat didasarkan pada tes pengetahuan dan keterampilan, berupa tes tertulis dan peragaan.

(7)

dengan memberikan sejumlah angka keseluruhan untuk dialokasikan kepada para pekerja dalam kelompok-kelompok.

2) Metode penilaian yang berorientasi masa depan

Metode penilaian kinerja berorientasi ke masa depan terfokus pada kinerja masa mendatang dengan mengevaluasi potensi karyawan atau menetapkan sasaran kinerja di masa mendatang secara bersama-sama antara pimpinan dengan karyawan.

Metode penilaian yang berorientasi masa depan meliputi 2 cara yang digunakan,yaitu : 1) Penilaian diri sendiri, (self appraisal, 2) Pendekatan manajemen berdasarkan sasaran (management by objective).

2.2. Penilaian Sendiri (Self Appraisal)

(8)

Salah satu keuntungan metode self appraisal, teknik evaluasi penilaian diri berguna bila tujuan evaluasi adalah untuk melanjutkan pengembangan diri. Bila karyawan menilai dirinya, perilaku defensif cenderung tidak terjadi, sehingga upaya perbaikan diri juga cenderung dilaksanakan. Kelemahan metode ini adalah responden akan melebih-lebihkan dalam membuat penilaian terhadap dirinya.

Ada beberapa alasan untuk pengunaan penilaian diri sendiri (self appraisal) ini yaitu:

1. Dapat berpartisipasi dalam proses penilaian prestasi kerja.

2. Dapat meningkatkan motivasi kerja karyawan yang dinilai sehingga dapat terjadi kompetisi yang sehat di antara karyawan dan selain itu dapat mengurangi penolakan pada saat dinilai.

3. Dapat memperbaiki diri-sendiri.

4. Dapat menentukan tujuan-tujuan yang akan datang secara mandiri

5. Melatih diri karyawan untuk menentukan dan merencanakan sendiri kariernya di masa yang akan datang.

2.3. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kinerja Petugas

Kinerja petugas dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang berasal dari individu pekerja itu sendiri maupun dari organisasi tempat dia bekerja. Dalam hal ini difokuskan kepada kinerja pengelola obat di puskesmas.

(9)

memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Jika masalah obat dan perbekalan kesehatan tidak dikelola dengan baik maka akan dapat menurunkan kualitas atau menganggu kelancaran pelayanan terhadap pasien. Hal ini yang menjadi masalah di bidang pelayanan obat, dan perbekalan kesehatan adalah menyangkut pengelolaan obat (Depkes RI, 2004).

Untuk memberikan atau melaksanakan pelayanan obat yang berorientasi pada penerapan hasil pengobatan yang optimal dan prima bagi pasien maka diperlukan jaminan ketersediaan obat dan dana yang cukup sehingga pelayanan kepada pasien berjalan lancar. Kelancaran komponen-komponen yang terlibat ataupun yang membawa pengaruh terhadap pelayanan tersebut, salah satunya adalah sumber daya manusia yang mengelola obat itu sendiri di puskesmas.

2.4. Faktor Internal dan Eksternal yang Memengaruhi Kinerja

Faktor yang memengaruhi kinerja personel secara teoritis ada tiga kelompok variabel yang memengaruhi kerja dan kinerja yaitu variabel individu, variabel organisasi dan variabel psikologis (Ilyas, 2001). Ketiga kelompok variabel tersebut mempengaruhi kerja yang pada akhirnya berpengaruh pada kinerja personel.

(10)

Variabel organisasi, berefek tidak langsung terhadap perilaku dan kinerja individu. Variabel organisasi digolongkan dalam sub variabel sumber daya, kepemimpinan, struktur dan desain pekerjaan. Mengemukakan sub variabel imbalan akan berpengaruh untuk meningkatkan motivasi kerja yang pada akhirnya secara langsung akan meningkatkan kinerja individu (Ilyas, 2001).

Faktor internal yang terkait dengan pelayanan kesehatan khususnya dalam pengelolaan obat antara lain: masa kerja, pendidikan, dan pengetahuan.

2.4.1. Masa Kerja

Robbins (2001), menyatakan keterkaitan lama kerja dengan kepuasan secara pasti berkaitan positif, hal ini ada hubungan dengan pengalaman kerja dan produktivitas sehingga sangat ampuh untuk menyatakan jati diri seorang karyawan. Lama kerja sering juga diungkap dengan masa kerja, sebagai ukuran pengalaman seseorang dalam bekerja dimana ukuran ini menimbulkan kepuasan kerja.

Siagian (1995), mengatakan lama kerja dan kepuasan berkaitan secara positif, semakin lama kerja seseorang bekerja makin terampil dan makin berpengalaman pula dalam melaksanakan pekerjaan. Pendapat ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Richard (2009), di Kabupaten Sibolga tentang kinerja petugas pengelola puskesmas yang mempunyai lama kerja lebih dari atau sama dengan 5 tahun ternyata mempunyai kinerja kategori baik dalam pengelolaan obat.

(11)

Sriana bahwa di Propinsi Jawa Timur sebagian besar petugas pengelola obat telah bekerja sekitar 6-10 tahun demikian juga di Propinsi Sumatera Barat umumnya petugas pengelola obat mempunyai lama kerja 11-15 tahun.

2.4.2. Pendidikan

Pendidikan adalah suatu jenjang pendidikan formal yang ditempuh seseorang sampai mendapatkan sertifikat kelulusan/ijazah, baik itu pendidikan dasar, menengah, maupun pendidikan tinggi. Pendidikan sebagai suatu proses atau kegiatan untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan individu atau masyarakat. Ini berarti bahwa pendidikan adalah suatu pembentukan watak yaitu nilai dan sikap disertai dengan kemampuan dalam bentuk kecerdasan, pengetahuan dan ketrampilan.

Tingkat pendidikan yang lebih tinggi pada umumnya menyebabkan orang lebih mampu dan bersedia menerima posisi yang bertanggung jawab (Gibson, 1997). Siagian (1995), menyatakan makin tinggi pendidikan seseorang makin besar keinginan untuk memanfaatkan pengetahuan dan ketrampilan.

Green (1980), menyatakan bahwa pendidikan adalah salah satu faktor predisposisi seseorang untuk bertindak dan berperilaku. Melalui pendidikan perkembangan kognitif seseorang bisa dimajukan dengan jalan mengatur bahan pelajaran. Hasil Penelitian yang dilakukan Richard (2009) di Kabupaten Sibolga adanya hubungan bermakna antara pendidikan dengan kinerja pengelola obat puskesmas.

(12)

yang berpendidikan farmasi lebih tinggi daripada yang latar pendidikannya non farmasi dalam pengelolaan obat di puskesmas.

2.4.3. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan salah satu faktor predisposisi seseorang untuk bertindak atau berperilaku positif. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari pengetahuan (Green, 1980). Menurut Gibson (1997), pengetahuan merupakan variabel psikologis yang memengaruhi kinerja.

Pengetahuan/kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan yakni: awareness (kesadaran) di mana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui lebih dahulu terhadap stimulus (objek), interest, dimana orang mulai tertarik pada stimulus, evaluation, (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya, dan trial, dimana seseorang telah mencoba berperilaku baru (adoption), di mana sesorang telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dengan sikapnya dengan stimulus.

(13)

pengetahuan. Orientasi pembelajaran umumnya menyesuaikan diri pada kemampuan tinggi individu tapi tidak berefek pada kemampuan rendah seseorang. Sebaliknya efek dari orientasi kinerja merupakan kesatuan dari kedua level individu dari kemampuan kognitif dan hasil outcome (Bell, 2002).

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Ada lima tingkatan pengetahuan yang dicakup yaitu (Notoatmodjo, 2003) : (1) Tahu (Know) yaitu mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya yang termasuk tingkatan ini adalah mengingat kembali sesuatu yang spesifik dari keseluruhan bahan yang telah dipelajari, tingkatan ini merupakan tingkatan paling rendah, (2) Memahami (Comprehention) adalah suatu kemampuan menjelaskan dan menginterprestasikan secara benar tentang obyek yang diketahuinya, (3) Aplikasi (Application) yaitu kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi yang sebenarnya, (4) Analisis (Analysis) merupakan kemampuan untuk menjabarkan suatu materi ke dalam komponen tetapi masih dalam struktur organisasi tersebut dan masih berkaitan satu sama lain, (5) Evaluasi (Evaluation) adalah kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu objek atau materi.

(14)

2.4.4. Sarana

Sarana dan prasarana adalah segala jenis peralatan yang dimiliki organisasi dipergunakan untuk melaksanakan kegiatan dalam rangka mengemban misi organisasi yang bersangkutan. Ketersediaan sarana dan prasarana yang ada di puskesmas bertujuan untuk mendukung jalannya organisasi. Sarana penyimpanan obat dan perbekalan kesehatan yang baik bertujuan untuk memelihara mutu obat, menghindari penggunaan yang tidak bertanggung jawab, menjaga kelangsungan persediaan dan memudahkan pencarian dan pengawasan.

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu adanya sarana dan prasarana yang ada di puskesmas. Adapun sarana yang minimal sebaiknya tersedia adalah sebagai berikut:1) luas gudang obat (penyimpanan obat) minimal 3x4 m2, ruangan kering, tidak lembab, terdapat ventilasi yang cukup, lantai terbuat dari tegel, dinding dibuat licin dan mempunyai pintu yang dilengkapi dengan pintu ganda, 2) tersedia sarana penyimpanan, seperti lemari, rak, pallet, pengatur udara, 3) sarana administrasi, seperti meja,kursi, komputer, printer, 4) sarana pengamanan, seperti alarm, pemadam kebakaran, tralis. (Depkes RI, 2005).

(15)

2.4..5. Kepemimpinan

Menurut Stoner (1990), kepemimpinan sebagai proses pengarahan dan mempengaruhi aktifitas yang berkaitan dengan fungsi manajemen yang amat penting yaitu: penggerakan pelaksanaan (actuating), pengarahan (directing) atau memerintah (command), kemampuan koordinasi (coordinating), pengawasan dan pengendalian (controling), berkomunikasi(comunicating), membimbing, memimpin (leading) dan mengambil keputusan (decision making) dan menjadi narasumber (resourcing). Mengingat pengelolaan obat merupakan salah satu sub sistem dalam pelayanan kesehatan di puskesmas, maka secara struktural petugas pengelola obat berada dalam lingkungan organisasi yang mempunyai rentang kendali antara atasan dan bawahan. Dalam hal pelayanan kesehatan di puskesmas, maka pimpinan puskesmas menjadi atasan dari petugas pengelola obat di puskesmas. Kualitas kepemimpinan kepala puskesmas turut menentukan kualitas pengelolaan obat.

(16)

Gaya kepemimpinan seseorang berbeda dengan lainnya karena gaya kepemimpinan tersebut bersifat unik. Walaupun demikian ada tiga gaya kepemimpinan yaitu otoriter, demokrasi dan liberal.

1. Authoritarian (otoriter)

Gaya kepemimpinan otoriter antara lain berciri: a. Wewenang mutlak terpusat pada pimpinan. b. Keputusan selalu dibuat oleh pimpinan. c. Kebijaksanaan selalu dibuat pimpinan.

d. Komunikasi berlangsung satu arah dari pimpinan ke bawahan. e. Lebih banyak kritik daripada pujian.

f. Pimpinan menuntut prestasi sempurna dari bawahan tanpa syarat. g. Pimpinan menuntut kesetiaan mutlak tanpa syarat.

h. Cenderung adanya paksaan, ancaman dan hukuman . i. Kasar dalam bertindak.

j. Kaku dalam bersikap.

k. Tanggung jawab keberhasilan organisasi hanya dipikul oleh pimpinan. 2. Democratic (Demokratis)

Kepemimpinan gaya demokratis adalah kemampuan mempengaruhi orang lain agar bersedia bekerjasama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan cara berbagai kegiatan yang akan dilakukan ditentukan bersama antara pimpinan dan bawahan.

(17)

a. Wewenang pimpinan tidak mutlak.

b. Pemimpin bersedia melimpahkan sebagian wewenang kepada bawahan. c. Keputusan dibuat bersama antara pimpinan dan bawahan.

d. Kebijakan dibuat bersama antara pimpinan dan bawahan. e. Komunikasi berlangsung timbal balik.

f. Banyak kesempatan bagi bawahan untuk menyampaikan saran, pertimbangan atau pendapat.

g. Pimpinan memperhatikan perasaan dalam bersikap dan bertindak.

h. Terdapat suasana saling percaya, saling hormat-menghormati dan saling harga-menghargai.

i. Tanggungjawab keberhasilan organisasi dipikul bersama antara pimpinan dan bawahan.

3. Libertarian (Liberal)

Kepemimpinan gaya liberal adalah kemampuan mempengaruhi orang lain agar bersedia bekerjasama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan cara berbagai kegiatan yang akan dilakukan lebih banyak diserahkan kepada bawahan.

Kepemimpinan liberal antara lain berciri:

a. Pimpinan melimpahkan wewenang sepenuhnya kepada bawahan. b. Keputusan lebih banyak dibuat oleh para bawahan.

c. Kebijaksanaan lebih banyak dibuat oleh para bawahan.

(18)

e. Hampir tidak ada pengarahan dari pimpinan.

f. Kepentingan pribadi lebih utama dan pada kepentingan kelompok. g. Tanggungjawab keberhasilan organisasi dipikul oleh orang per orang. h. Hampir tidak ada pengawasan terhadap sikap, tingkahlaku, perbuatan,

atau kegiatan yang dilakukan para bawahan. 2.4.6. Supervisi

Supervisi berasal dari kata super (lebih tinggi) dan vision (melihat) sehingga secara umum dapat diartikan secara umum dapat diartikan sebagai mengawasi dari atas oleh atasan. Dalam pengertian manajemen, supervisi adalah pekerjaan atau kegiatan dilakukan dengan mengamati bagaimana pekerjaan atau kegiatan itu dilaksanakan serta menjaga agar pekerjaan atau kegiatan tersebut tidak menyimpang dari ketentuan atau intruksi yang diberikan.

Supervisi adalah proses memacu anggota unit kerja untuk berkontribusi secara positif agar tujuan organisasi tercapai (Ilyas, 2001). Prinsip pokok dalam supervisi adalah (Azwar,1996) : (a) tujuan utama supervisi adalah untuk lebih meningkatkan penampilan bawahan bukan untuk mencari kesalahan, (b) sifat supervisi adalah edukatif dan suportif, bukan otoriter, (c) dilakukan secara teratur dan berkala dan jadwal yang jelas,(d) terjalin kerjasama yang baik antara atasan dan bawahan, (e) dilaksanakan secara fleksibel dan selalu disesuaikan dengan perkembangan.

(19)

tentang hal tersebut. Pengalaman lebih besar dampaknya pada keahlian supervisor daripada pengatahuan supervisor. Kemampuan juga lebih besar dampaknya pada pengetahuan supervisor daripada keahliannya (Borman, 1993).

Supervisi pengelolaan obat adalah proses pengamatan secara terencana oleh petugas pengelola obat pada unit yang lebih tinggi (Instalasi Farmasi/seksi kefarmasian dan puskesmas) terhadap pelaksanaan pengelolaan obat oleh petugas pada unit yang lebih rendah (pustu, poskesdes, UPT lainnya). Tujuan supervisi adalah meningkatkan produktivitas para petugas pengelola obat agar mutu pelayanan obat dapat ditingkatkan secara optimum (Depkes RI, 200).

Ruang lingkup supervisi pengelolaan obat meliputi: (a) mengamankan pelaksanaan kebijaksanaan, (b) mengamankan pelaksanaan program dan kendala, (c) mengidentifikasi masalah dan kendala, (d) menemukan fakta dan kendala, (e) menilai hasil pelaksanaan pengelolaan obat, (f) meningkatkan kemampuan tehnis, (g) melakukan pembinaan sumber daya manusia (Depkes RI, 2003).

(20)

mencari faktor penyebab timbulnya masalah, (d) menilai hasil pelaksanaan kerja, (e) membina dan melatih para pelaksana, (f) mengumpulkan masukan untuk penyempurnaan kebijaksanaan dan program (Depkes RI, 2003)

Manfaat yang bisa di peroleh setelah dilaksanakan supervisi yaitu antara lain: (1) petugas mengetahui kekuatan dan kelemahannya dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, (2) petugas mengetahui apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki kekurangannya, (3) petugas tahu apa yang dapat diperoleh apabila mampu meningkatkan prestasinya, (4) petugas memiliki kemampuan untuk melakukan perubahan. Langkah pembinaan dari supervisi yang dilakukan dapat diharapkan dapat menghasilkan program pengembangan prestasi kerja dan tumbuhnya motivasi (Depkes RI, 2003).

Hasil penelitian Purwanto (2008), menunjukkan bahwa perlu melakukan supervisi secara berkala terhadap pengelolaan logistik obat termasuk kepatuhan petugas kepada pedoman pengobatan. Penelitian yang dilakukan Haflin (2002) di Kabupaten Muaro Jambi dan Kota Jambi menjelaskan adanya hubungan bermakna antara supervisi dengan kinerja pengelola obat puskesmas.

2.5. Pengelolaan Obat 2.5.1. Pengertian Obat

(21)

penetapan diagnosa, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi (Depkes RI, 1993).

Obat merupakan komponen yang penting dalam upaya pelayanan kesehatan baik di pusat pelayanan kesehatan primer maupun di tingkat pelayanan kesehatan yang lebih tinggi. Keberadaan obat merupakan merupakan kondisi pokok yang harus terjaga ketersediaannya. Penyediaan obat sesuai dengan tujuan pembangunan kesehatan yaitu menjamin tersedianya obat dengan mutu terjamin dan tersedia merata dan teratur sehingga mudah diperoleh pada tempat dan waktu yang tepat.

2.5.2. Proses Pengelolaan Obat

Pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan di puskesmas bertujuan untuk menjamin kelangsungan ketersediaan dan keterjangkauan pelayanan obat yang efisien, efektif dan rasional. Pengelolaan obat merupakan suatu proses yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Proses pengelolaan obat dapat terwujud dengan baik apabila didukung dengan kemampuan sumberdaya yang tersedia dalam suatu sistem. Tujuan utama pengelolaan obat Kabupaten / Kota adalah tersedianya obat yang berkualitas baik, tersebar secara merata, jenis dan jumlah sesuai dengan kebutuhan pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat di unit pelayanan kesehatan. Pengelolaan obat yang efektif dan efisien diharapkan dapat menjamin :

1. Tersedianya rencana kebutuhan jenis dan jumlah obat sesuai dengan kebutuhan pelayanan kesehatan dasar di Kabupaten / Kota.

(22)

3. Terlaksananya pengadaan obat yang efektif dan efisien 4. Terjaminnya penyimpanan obat dengan mutu yang baik

5. Terjaminnya pendistribusian obat yang efektif dengan waktu tunggu (lead time) yang pendek

6. Terpenuhinya kebutuhan obat yang mendukung pelayanan kesehatan dasar sesuai dengan jenis, jumlah dan waktu yang dibutuhkan

7. Tersedianya Sumber Daya Manusia (SDM) dengan jumlah dan kualifikasi yang tepat

8. Digunakannya obat secara rasional sesuai dengan pedoman yang disepakati.

9. Tersedianya informasi pengelolaan dan penggunaan obat yang sahih, akurat dan muktakhir.

Untuk mencapai tujuan tersebut, maka sistem pengelolaan dan penggunaan obat Kabupaten/Kota mempunyai 4 fungsi dasar, yaitu :perumusan kebutuhan (selection), pengadaan (procurement), distribusi (distribution) dan penggunaan obat (use). Keempat fungsi tersebut didukung oleh penunjang pengelolaan yang terdiri dari organisasi(organization), pembiayaan dan kesinambungan (financing and sustainability), pengelolaan informasi (information management) dan pengelolaan dan pengembangan SDM (human resources magament).

(23)

Berdasarkan Depkes RI (2004), proses pengelolaan obat terdiri dari beberapa tahap yaitu tahap perencanaan, tahap pengadaan, tahap permintaan dan penerimaan, tahap penyimpanan, tahap pendistribusian, tahap pengendalian penggunaan, serta tahap pencatatan dan pelaporan

1. Perencanaan

Pada prinsipnya perencanaan obat merupakan suatu proses kegiatan menentukan jenis dan jumlah obat dalam rangka pengadaan obat agar sesuai dengan kebutuhan untuk pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Adapun tujuan perencanaan pengadaan obat antara lain untuk :

1. Mengetahui jenis dan jumlah obat yang tepat sesuai dengan kebutuhan 2. Menghindari terjadinya kekosongan obat

3. Meningkatkan penggunaan obat yang rasional 4. Meningkatkan efisiensi penggunaan obat

(24)

kebutuhan obat publik dan perbekalan kesehatan kabupaten / kota yang dilengkapi dengan teknik-teknik perhitungannya.

Disamping itu Depkes RI (2004), juga mengatakan bahwa perencanaan kebutuhan obat puskesmas, data mutasi obat yang dihasilkan oleh puskesmas merupakan salah satu faktor dalam mempertimbangkan perencanaan kebutuhan obat tahunan. Data ini sangat penting untuk perencanaan kebutuhan obat di puskesmas. Ketepatan dan kebenaran data di puskesmas akan berpengaruh terhadap ketersediaan dan perbekalan kesehatan secara keseluruhan di kabupatan/kota. Dalam proses perencanaan kebutuhan obat per tahun, puskesmas diminta menyediakan data pemakaian obat dengan menggunakan LPLPO yaitu formulir yang lazim digunakan di unit pelayanan kesehatan dasar milik pemerintah. Selanjutnya Unit Pengelola Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan (UPOPPK) yaitu pengelola obat di tingkat kota seperti instalasi farmasi, gudang farmasi, seksi farmasi yang akan melakukan kompilasi dan analisa terhadap kebutuhan obat puskesmas di wilayah kerjanya.

Perencanaan kebutuhan obat merupakan kegiatan utama sebelum melakukan proses pengadaan obat. Langkah-langkah yang diperlukan dalam kegiatan perencanaan kebutuhan obat antara lain: (1) tahap pemilihan obat, (2) tahap kompilasi pemakaian obat, dan (3) tahap perhitungan kebutuhan obat.

(25)

sebelumnya. Sedang perhitungan dengan metode morbiditas adalah perhitungan berdasarkan pola penyakit.

2. Pengadaaan

Pengadaan obat publik dan perbekalan kesehatan adalah suatu proses untuk penyediaan obat yang dibutuhkan di unit pelayanan kesehatan. Pengadaan obat publik dan perbekalan kesehatan dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah.Tujuan pengadaan obat publik dan perbekalan kesehatan yaitu tersedianya obat dengan jenis dan jumlah yang cukup sesuai kebutuhan pelayanan kesehatan, mutu obat dapat terjamin,dan obat dapat diperlukan pada saat diperlukan (Depkes RI, 2002).

3. Permintaan

Tujuan permintaan obat adalah untuk memenuhi kebutuhan obat di masing-masing unit pelayanan kesehatan sesuai dengan pola penyakit yang ada di wilayah kerjanya. Sumber penyediaan obat di puskesmas adalah berasal dari Dinas Kesehatan. Kabupaten/Kota. Obat yang diperkenankan untuk disediakan di puskesmas adalah obat esensial yang jenis dan itemnya ditentukan setiap tahun oleh Menteri Kesehatan dengan merujuk kepada Daftar Obat Essensial Nasional (DOEN).

(26)

sub unit ke kepala puskesmas dilakukan secara periodik menggunakan LPLPO sub unit. Berdasarkan pertimbangan efisiensi dan ketepatan waktu penyerahan obat kepada puskesmas, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat menyusun petunjuk lebih lanjut mengenai alur permintaan dan penyerahan obat secara langsung dari instalasi farmasi, gudang farmasi atau seksi farmasi ke puskesmas.

Kegiatan dalam permintaan antara lain: (1) permintaan rutin dilakukan sesuai dengan jadwal yang disusun oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk masing-masing puskesmas, (2) permintaan khusus, dilakukan diluar jadwal distribusi rutin apabila kebutuhan meningkat, menghindari kekosongan dan bila penanganan kejadian luar biasa, obat rusak dan kadaluarsa, (3) permintaan obat dilakukan dengan menggunakan formulir LPLPO, (4) permintaan obat ditujukan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan selanjutnya diproses oleh Instalasi Farmasi, Gudang Farmasi atau Seksi Farmasi (Depkes RI, 2004).

4. Penerimaan

(27)

obat puskesmas. Tujuan penerimaan obat ini adalah agar obat yang diterima sesuai dengan kebutuhan berdasarkan perencanaan dan pengadaan obat oleh dinas kesehatan serta berdasarkan permintaan yang diajukan oleh puskesmas.

Semua petugas yang terlibat dalam kegiatan pengelolaan obat bertanggung jawab atas ketertiban penyimpanan, pemindahan, pemeliharaan dan penggunaan obat berikut kelengkapan catatan yang menyertainya.

Petugas penerimaan obat wajib melakukan pengecekan dan pemeriksaan terhadap obat-obat yang diserahkan oleh petugas kabupaten/Kota, mencakup jumlah kemasan/peti, dan jumlah obat, bentuk obat dan jenis obat sesuai dengan isi dokumen SBBK. Bila pada saat pengecekan ada ketidaksesuaian antara jumlah fisik obat dengan jumlah dan jenis yang ada di SBBK, maka penerima obat wajib dapat

mengajukan keberatan dan bisa meminta kembali kekurangan obat tersebut. Setiap penambahan obat-obatan, dicatat dan dibukukan pada buku penerimaan obat dan kartu stok (Depkes RI, 2004).

5. Penyimpanan

(28)

Dalam penyimpanan obat, setiap obat yang disimpan dilengkapi dengan kartu stok untuk mencatat setiap mutasi obat. Penyimpanan obat harus sedemikian rupa sehingga memudahkan distribusi obat secara FIFO (first in first out) dan FEFO (first expired first out)

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyimpanan obat adalah: (1) persyaratan gudang dan pengaturan penyimpanan obat, (2) kondisi penyimpanan, untuk menjaga mutu obat perlu diperhatikan faktor-faktor seperti kelembaban, sinar matahari, temperatur/panas, kerusakan fisik, kontaminasi bakteri dan pengotoran,(3) tata cara menyimpan dan menyusun obat, (4) pengamatan mutu (Depkes RI, 2004). 6. Pendistribusian

Pendistribusian obat adalah rangkaian kegiatan dalam rangka pengeluaran dan penyerahan obat-obatan yang bermutu, terjamin keabsahan serta tepat jenis dan jumlah secara merata dan teratur untuk memenuhi kebutuhan unit-unit pelayanan kesehatan. Tujuan distribusi adalah: (1) terlaksananya pengiriman obat secara merata dan teratur sehingga dapat diperoleh pada saat dibutuhkan, (2) terjaminnya kecukupan dan terpeliharanya penggunaan obat di unit pelayanan kesehatan, (3) terlaksananya pemerataan kecukupan obat sesuai kebutuhan pelayanan dan program kesehatan (Depkes RI, 2004).

7. Pencatatan dan pelaporan

(29)

disimpan, didistribusikan dan digunakan di puskesmas dan atau unit pelayanan lainnya.

Pencatatan dan pelaporan obat merupakan fungsi pengendalian dan evaluasi administratif obat mulai dari perencanaan, pengadaan, penyimpanan, sampai pendistribusian obat. Pencatatan perencanaan kebutuhan jumlah dan jenis obat digunakan untuk mengevaluasi kesesuaian dengan pengadaan obat. Pencatatan penggunaan total semua jenis obat pada pasien puskesmas, sisa stok obat, dan pola penyakit dapat digunakan untuk perencanaan kebutuhan obat tahun mendatang.

Tujuan pencatatan dan pelaporan adalah tersedianya data mengenai jenis dan jumlah penerimaan, persediaan, pengeluaran/penggunaan dan data mengenai waktu dari seluruh rangkaian kegiatan mutasi obat (Depkes RI, 2004).

2.6. Pembagian Tugas dan Peran Pengelolaan Obat di Puskesmas 1. Puskesmas mempunyai tugas pokok dan peran yaitu:

a. Menyediakan data dan informasi mutasi obat dan perbekalan kesehatan serta kasus penyakit dengan baik dan akurat.

b. Setiap akhir bulan menyampaikan laporan pemakaian obat dan perbekalan kesehatan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

c. Bersama tim perencanaan obat terpadu membahas rencana kebutuhan puskesmas.

(30)

e. Melaporkan dan mengirim kembali semua jenis obat rusak /kadaluarsa kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

f. Melaporkan kejadian obat dan perbekalan kesehatan yang hilang kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

2. Tugas dan tanggung jawab petugas pengelola obat di puskesmas yaitu Melaksanakan :

a. Permintaan obat dan perbekalan kesehatan ke Dinas Kesehatan Kab/Kota.

b. Penerimaan obat dan perbekalan kesehatan dari Dinas Kesehatan Kab/Kota. c. Pemeriksaan kelengkapan obat dan perbekalan kesehatan..

d. Penyimpanan dan pengaturan obat dan perbekalan kesehatan. e. Penyusunan persediaan obat dan perbekalan kesehatan. f. Menjaga mutu dan keamanan obat dan perbekalan kesehatan.

g. Pendistribusian obat dan perbekalan kesehatan untuk sub unit pelayanan. h. Pengendalian penggunaan obat.

i. Pencatatan dan pelaporan.

j. Penyusunan laporan ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (Depkes RI,2004).

(31)

pencatatan dan pelaporan, dengan uraian tugas masing-masing tahap kegiatan sebagai berikut:

a. Permintaan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan obat di masing-masing unit pelayanan kesehatan sesuai dengan pola penyakit yang ada di wilayah kerjanya. Tugas pengelola obat dalam kegiatan permintaan ini adalah: (1) melakukan permintaan rutin sesuai dengan kebutuhan , (2) membuat surat pesanan obat sesuai dengan jumlah dan jenis obat yang dibutuhkan, (3) melakukan permintaan khusus apabila ada kebutuhan yang meningkat, menghindari kekosongan, atau KLB.

b. Penerimaan merupakan kegiatan dalam menerima obat dan perbekalan kesehatan dari unit pengelola yang lebih tinggi kepada unit pengelola di bawahnya.Tugas pengelola obat dalam kegiatan penerimaan ini adalah: (1) melakukan pengecekan terhadap obat yang diterima mencakup jumlah kemasan/peti, jenis dan jumlah obat, bentuk obat sesuai dengan isi dokumen atau surat bukti penerimaan barang, (2) mencatat setiap penerimaan obat ke dalam buku penerimaan obat dan kartu stok.

(32)

(First Expired First Out, (2) melakukan pengamatan mutu secara berkala, paling tidak setiap awal bulan.

d. Pendistribusian adalah rangkaian kegiatan dalam rangka pengeluaran dan penyerahan obat-obatan yang bermutu, terjamin keabsahan serta tepat jenis dan jumlah secara merata dan teratur untuk memenuhi kebutuhan unit-unit pelayanan kesehatan. Tugas pengelola obat dalam tahap pendistribusian adalah: (1) menentukan frekuensi distribusi, (2) menentukan jumlah dan jenis obat yang diperlukan, dengan mempertibangkan pemakaian rata-rata per jenis obat, sisa stok, pola penyakit dan jumlah kunjungan, (3) melaksanakan penyerahan obat, (4) melakukan pencacahan/pemeriksaan besar untuk mengetahui kecocokan antara kartu stok dengan fisik obat, (5) melakukan pengendalian obat untuk menghindari kelebihan dan kekosongan obat di unit pelayanan.

(33)

Tupoksi berdasarkan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan di puskesmas (Depkes RI, 2004) merupakan pedoman umum untuk puskesmas di seluruh Indonesia, namun pelaksanaannya di lapangan, setiap puskesmas dapat membuat tupoksi tersendiri dengan tetap berpedoman kepada pedoman umum yang telah ditetapkan.

Puskesmas dalam wilayah Kota Subulussalam ditetapkan tupoksi petugas pengelola obat sebagai berikut: (1) petugas menerima obat dan mengecek obat yang berasal dari Instalasi Farmasi sesuai dengan SBBK, (2) petugas menyimpan obat sesuai dengan bentuk sediaan, abjad, dan sistem FIFO /FEFO serta memperhatikan waktu kadaluarsa, (3) petugas mencatat per jenis obat ke dalam kartu stok, (5) petugas mendistribusikan obat ke sub unit pelayanan sesuai dengan permintaan, (6) petugas mencatat obat yang telah didistribusikan ke unit pelayanan ke dalam kartu stok dan buku pengeluaran harian serta merekapitulasi setiap akhir bulan ke dalam formulir penggunaan obat bulanan, (9) petugas membuat LPLPO setiap akhir bulan dan dikirim ke Dinas Kesehatan Kab/Kota sebelum tanggal 5 (lima) setiap bulannya.

2.8. Landasan Teori

(34)

pendidikan dan pengetahuan, sedangkan faktor organisasi (faktor eksternal) adalah sarana, kepemimpinan dan supervisi

Secara skematis teori Gibson (1997), Ilyas (2001) tentang faktor-faktor yang memengaruhi kinerja dapat dilihat pada Gambar 2.1 di bawah ini :

.

Gambar 2.1. Diagram Skematis Teori Perilaku dan Kinerja

Berdasarkan skema pada Gambar 2.1 dapat dijelaskan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi kinerja petugas pengelola obat yang mempunyai latar belakang pendidikan yang sesuai, pengetahuan yang memadai, serta pengalaman (masa kerja) yang cukup dibidang pengelolaan obat yang didukung sikap kepemimpinan dari seorang pimpinan, sarana penyimpanan yang memenuhi standar, serta supervisi yang dilakukan oleh atasan berupa pembinaan dan pengawasan kepada petugas pengelola obat akan menjamin tercapainya tujuan pembangunan dibidang kesehatan khususnya

(35)

bidang obat dan perbekalan kesehatan yaitu terjaminnya ketersediaan obat, pemerataan obat dan mutu obat.

Adanya permasalahan seperti di atas seperti ketersediaan obat yang kurang lengkap dan merata terkait dengan sistem perencanaan dan pendistribusian obat , serta kualitas obat yang kurang terjamin terkait dengan sistem penyimpanan obat, sehingga kiranya perlu dilakukan telaah lebih lanjut untuk mengetahui gambaran pengaruh faktor internal dan faktor ekternal terhadap kinerja pengelola obat di puskesmas dengan melihat variabel-variabel yang diuraikan pada kerangka konsep penelitian.

2.9. Kerangka Konsep Penelitian

Faktor Internal : 1. Masa Kerja 2. Pendidikan 3. Pengetahuan

Faktor Eksternal : 1. Sarana

2. Kepemimpinan

3. Supervisi

Kinerja Petugas Pengelola Obat : 1. Permintaan

2 Penerimaan 3. Penyimpanan

4. Pendistribusian

5. Pencatatan dan Pelaporan

Gambar

Gambar 2.1.  Diagram Skematis Teori Perilaku dan Kinerja
Gambar  2.2. Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Pembentukan Satuan Tugas Penanganan Perundingan sebagaiman dimaksud dalam ayat (1) bertujuan untuk membantu menangani perundingan yang dilakukan oleh Delegasi Republik Indonesia

[r]

Hampir 80% layanan internet disedot oleh website Untuk menampilkan informasi mengenai Majalah wanita Gogirl maka dibuatlah sebuah website dengan menggunakan software

Nilai Filosofi Jawa dalam Serat Centhini (Artikel Ilmiah dimuat pada Jurnal Nasional

[r]

Menimbang : bahwa dengan berlakunya Keputusan Bupati Bantul Nomor 221 Tahun 2013 tentang Kecamatan Penyelenggara Pelayanan Administasi Terpadu Kecamatan (PATEN),

[r]

[r]