2.1. Hipertensi 2.1.1.Definisi
Hipertensi adalah keadaan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan
tekanan diastolik lebih dari 90 mmHg (Mansjoer dkk, 1999).
Tekanan darah (blood pressure) merupakan hasil pengukuran dari tekanan
yang ditimbulkan oleh darah pada dinding arteri ketika darah yang berada di
jantung akan dipompakan ke seluruh tubuh dengan hasil ukur sistolik dan
diastolik. Faktor-faktor yang turut mempengaruhi tekanan darah adalah tahanan
perifer, curah jantung, volume darah, aliran balik vena, viskositas darah dan
elastisitas dinding arteri. Ada dua jenis tekanan darah; tekanan sistolik yang
menggambarkan tekanan tertinggi dalam ventrikel kiri pada waktu sistol, dan
tekanan diastolic yang merupakan tekanan terendah ketika ventrikel terisi selama
diastole. Kedua tekanan ini diukur secara tidak langsung dalam arteri braklialis
dengan menggunakan stetoskop serta sphygmomanometer dengan merek riester
dan pengukuran dilakukan dalam mm tekanan air raksa (mmHg). Tekanan darah
yang tipikal bagi dewasa muda adalah 120/70 mmHg. Tekanan darah arteri dapat
diukur secara langsung dengan menggunakan tranduser tekanan arteri (Christine,
2.1.2.Epidemiologi
Penyakit hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah yang memberi
gejala yang berlanjut untuk suatu target organ, seperti stroke untuk otak, penyakit
jantung koroner untuk pembuluh darah jantung dan untuk otot jantung. Penyakit
ini telah menjadi masalah utama dalam kesehatan masyarakat yang ada di
Indonesia maupun di beberapa negara yang ada di dunia. Semakin meningkatnya
populasi usia lanjut, maka jumlah pasien dengan hipertensi kemungkinan besar
juga akan bertambah. Diperkirakan sekitar seperempat jumlah penduduk di
Indonesia tahun 2014 berkisar 253,6 juta jiwa menderita hipertensi dengan kisaran
31,7%, lebih dari 80.3 juta penduduk Indonesia (BPJS Kesehatan, 2014).
Menurut Dewi (2013), Hipertensi adalah gangguan sistem peredaran darah
yang menyebabkan kenaikan tekanan darah di atas normal yaitu 140/90 mmHg.
Kecenderungan peningkatan prevalensi menurut peningkatan usia. Prevalensi
6-15% pada orang dewasa sebagai proses degeneratif, hipertensi hanya ditemukan
pada golongan orang dewasa. Banyak penderita hipertensi di perkirakan sebesar
15 juta penduduk Indonesia yang control hanya 4%. Terdapat 50% penderita
hipertensi tidak menyadari dirinya sebagai penderita hipertensi. Terdiri dari 70%
adalah hipertensi ringan dan 90% hipertensi esensial, hipertensi yang tidak
diketahui penyebabnya.
2.1.3.Etiologi
Sampai saat ini penyebab hipertensi esensial tidak diketahui dengan pasti.
Hipertensi primer tidak disebabkan oleh faktor tunggal dan khusus. Hipertensi ini
oleh faktor primer yang diketahui yaitu seperti kerusakan ginjal, gangguan obat
tertentu, stres akut, kerusakan vaskuler dan lain-lain. Adapun penyebab paling
umum pada penderita hipertensi maligna adalah hipertensi yang tidak terobati.
Risiko relatif hipertensi tergantung pada jumlah dan keparahan dari faktor risiko
yang dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor-faktor yang
tidak dapat dimodifikasi antara lain faktor genetik, umur, jenis kelamin, dan etnis.
Sedangkan faktor yang dapat dimodifikasi meliputi stres, obesitas dan nutrisi
(Levanita, 2011).
Menurut Zuraidah, dkk (2012) faktor resiko terjadinya hipertensi, adalah
antaralain:
1. Obesitas (kegemukan)
Merupakan ciri khas penderita hipertensi. Walaupun belum diketahui secara
pasti hubungan antara hipertensi dan obesitas, namun terbukti daya pompa
jantungdan sirkulasi volume darah penderita obesitas dengan hipertensi
lebih tinggi dari pada penderita hipertensi dengan berat badan normal.
Obesitas atau kegemukan di mana berat badan mencapai indeks massa tubuh
> 27 (berat badan (kg) dibagi kuadrat tinggi badan (m)) juga merupakan
salah satu faktor risiko terhadap timbulnya hipertensi. Obesitas merupakan
ciri dari populasi penderita hipertensi. Curah jantung dan sirkulasi volume
darah penderita hipertensi yang obesitas lebih tinggi dari penderita
hipertensi yang tidak obesitas. Pada obesitas tahanan perifer berkurang atau
normal, sedangkan aktivitas saraf simpatis meninggi dengan aktivitas renin
terjadi penimbunan lemak yang berlebihan di jaringan lemak tubuh, dan
dapat mengakibatkan terjadinya beberapa penyakit. Parameter yang umum
digunakan menentukan keadaan tersebut adalah indeks masa tubuh
seseorang 25-29,9 kg/m2.
Obesitas terutama tipe sentral/abdominal atau sering dihubungkan dengan
beberapa keadaan seperti diabetes melitus, hiperlipidemia, penyakit jantung,
hipertensi, penyakit hepatobiliar dan peningkatan resiko mortalitas dan
morbiditas. Swedish Obese Study (1999) mendapatkan kejadian pada 13,6%
populasi obesitas sedangkan Tromo study membuktikan adanya hubungan
antara peningkatan indeks massa dengan peningkatan tekanan darah baiik
pada laki-laki dan wanita. Peningkatan resiko ini juga sering dengan
peningkatan waist hip-rasio (WHR) dan waist circumference dimana
dikatakan resiko tinggi bila memiliki WHR ≥ 0,95 untuk laki-laki dan ≥
0,85 untuk wanita, serta waistcircumference > 102 cm untuk laki-laki dan >
88 cm untuk wanita. Laki-laki memiliki resiko angka kejadian penyakit
kardiovaskular yang lebih tinggi dibandingkan wanita. Hal ini disebabkan
adanya perbedaan distribusi lemak tubuh antara laki-laki dan wanita. Pada
laki-laki distribusi lemak tubuh terutama pada daerah abdomen sedangkan
pada wanita lebih banyak pada daerah gluteal dan femoral.
Meskipun telah banyak yang dilakukan, akan tetapi patogenesis hipertensi
pada obesitas masih belum jelas benar. Beberapa ahli berpendapat peranan
faktor genetik sangat menentukan kejadian hipertensi pada obesitas, tetapi
yang lebih utama. Hal ini dapat dilihat dari terjadinya peningkatan
prevalensi obesitas dari tahun ke tahun tanpa adanya perubahan genetik,
selain itu pada beberapa populasi/ras dengan genetik yang sama mempunyai
angka prevalensi yang sangat berbeda. Mereka berkesimpulan walaupun
faktor genetik berperan tetapi faktor lingkungan mempunyai andil yang
sangat besar. Saat ini dugaan yang sangat mendasari timbulnya hipertensi
pada obesitas berhubungan dengan hiperinsulinemia, resistensi insulin dan
sleep apnea syndrome, akan tetapi pada tahun-tahun akhir ini terjadi
pergeseran konsep, dimana dugaan terjadi perubahan neurohormonal yang
mendasari kelainan ini. Hal ini mungkin disebabkan karena kemajuan
pengertian tentang obesitas yang berkembang pada tahun-tahun terakhir ini
dengan ditemukannya leptin.
Perubahan berat badan juga merupakan salah satu faktor penting pada
survival rate penderita hipertensi. Perubahan berat badan merupakan
sebanyak 5 kg (meningkat ataupun menurun) pada kurun waktu 10-15 tahun
akan meningkatkan angka mortalitas sebesar 1,5-2 kali lebih tinggi. Pada
satu studi prosfektif-epidemiologi didapatkan angka mortalitas penyakit
kardiovaskuler lebih rendah pada populasi dengan berat badan yang stabil
selama kurun waktu tertentu. Pada obesitas biasanya sering didapatkan
adanya fluktuasi peningkatan dan penurunan berat badan secara periodik
2. Stres
Diduga melalui aktivitas saraf simpatis (saraf yang bekerja pada saat kita
beraktivitas). Peningkatan aktivitas saraf simpatis mengakibatkan
meningkatkan tekanan darah secara intermitten (tidak menentu).
Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf
simpatis, yang dapat meningkatkan tekanan darah secara bertahap. Apabila
stress menjadi berkepanjangan dapat berakibat tekanan darah menjadi tetap
tinggi.
Menurut Arieska Ann Soenarta ,2008 dalam Zuraidah, dkk (2012)
menyatakan bahwa stres akan meningkatkan resistensi pembuluh darah
perifer dan curah jantung. Sehingga akan menstimulasi aktivitas saraf
simpatetik. Adapun stress ini dapat berhubungan dengan pekerjaan, kelas
sosial, ekonomi, dan karakteristik personal.
3. Keturunan (genetik)
Apabila riwayat hipertensi didapati pada kedua orang tua, makan dugaan
hipertensi essensial akan sangat besar. Demikian pula dengan kembar
monozigot (satu sel telur) apabila salah satunya adalah penderita hipertensi.
Peran faktor genetik terhadap timbulnya hipertensi terbukti dengan
ditemukannya kejadian bahwa hipertensi lebih banyak pada kembar
monozigot dari pada heterozigot (berbeda sel telur). Seorang penderita
mempunyai sifat genetik hipertensi primer (essensial) apabila dibiarkan
secara alamiah tanpa intervensi terapi, bersama lingkungannya akan
tahun akan timbul tanda dan gejala hipertensi dengan kemungkinan
komplikasinya. Orang-orang dengan riwayat keluarga yang mempunyai
penyakit tidak menular lebih sering menderita penyakit yang sama. Jika ada
riwayat keluarga dekat yang mempunyai faktor keturunan hipertensi, akan
memepertinggi risiko terkena hipertensi pada keturunannya. Keluuarga yang
memiliki riwayat hipertensi akan meningkatkan risiko hipertensi sebesar 4
kali lipat.
Dari data statistik terbukti bahwa seseorangmemiliki kemungkinan lebih
besar mendapatkan penyakit tidak menular jika orang tuanya penderita
PTM. Jika seorang dari orang tua memberi PTM, maka kemungkinan
sepanjang hidup keturunannya mempunyai peluang 25% terserang penyakit
tersebut. Jika kedua orang tua mempunyai penyakit tidak menular maka
kemungkinan mendapatkan penyakit tersebut sebesar 60%.
4. Jenis kelamin (gender)
Pria lebih banyak mengalami kemungkinan menderita hipertensi dari pada
wanita. Hipertensi berdasarkan jenis kelamin ini dapat pula dipengaruhi oleh
faktor psikologis. Pada wanita seringkali dipicu oleh perilaku yang tidak
sehat (merokok, kelebihan berat badan), depresi dan rendahnya stastus
pekerjaan. Sedangkan pada pria lebih berhungan dengan pekerjaan, seperti
perasaan kurang nyaman terhadap pekerjaan dan pengangguran.
Secara teoritis penyakit hipertensi cenderung lebih tinggi pada perempuan
dibandingkan laki-laki. Hal ini disebabkan karena penyakit hipertensi pada
ibu rumah tangga apalagi ibu rumah tangga yang bekerja dengan tingakat
stress yang tinggi.hipertensi essensial mulai terjadi seiring bertambahnya
umur. Pada populasi umum, pria lebih banyak yang menderita penyakit ini
dari pada wanita (39% pria dan 31% wanita). Prevalensi hipertensi pada
wanita sebesar 22%-39% yang dimulai dari umur 50 sampai lebih dari 80
tahun, sedangkan pada wanita berumur kurang dari 85 tahun prevlensinya
sebesar 22% dan meningkat sampai 52% pada wanita berumur lebih dari 85
tahun (Trenkwalder P et al,2004 dalam Zuraidah dkk, 2012).
5. Usia
Dengan semakin bertambahnya usia, kemungkinan seseorang menderita
hipertensi juga semakin besar. Penyakit tidak menular tertentu seperti
penyakit kardiovaskular, diabetes mellitus, dan lain-lain erat kaitannya
dengan umur. Semakin tua seseorang maka semakin besar risiko terserang
penyakit tersebut. Umur > 40 tahun mempunyai risiko terkena hipertensi
dan penyakit DM. Dengan bertambahnya umur, risiko terkena hipertensi
lebih besar sehingga prevalensi dikalangan usia lanjut cukup tinggi yaitu
sekitar 40% dengan kematian sekitar 50% diatas umur 60 tahun. Arteri
kehilangan elastisitas atau kelenturan serta tekanan darah meningkat seiring
dengan bertambahnya usia. Peningkatan kasus hipertensi akan berkembang
pada umur lima puluhan dan enam puluhan.
Hipetensi dapat terjadi pada segala usia, namun paling sering dijumpai pada
usia 35 tahun atau lebih. Sebenarnya biasa saja bila tekanan darah kita
perubahan alami pada jantung, pembuluh darah, dan hormon. Hanya saja
perubahan ini disertai faktor-faktor lain maka bisa memicu terjadinya
hipertensi.
6. Asupan garam
Melalui peningktan volume plasma (cairan tubuh) dan tekanan darah yang
akan diikuti oleh peningkatan ekskresi kelebihan garam sehingga kembali
pada keadaan hemodinamik (sistem perdarahan) yang normal. Pada
hipertensi essensial mekanisme inilah yang terganggu.
Arieska Ann Soenarta, (2008) dalam Zuraidah dkk, (2012) menyatakan
bahwa Sodium adalah penyebab dari hipertensi essensial, asupan garam
yang tinggi akan menyebabkan pengeluaran berlebihan dari hormon
natriouretik yang secara tidak langsung akan meningkatkan tekanan darah.
Sodium secara eksperimental menunjukkan kemampuan untuk menstimulasi
mekanisme vasopressor pada susunan syaraf pusat.
7. Gaya hidup yang kurang sehat
Walaupun tidak terlalu jelas hubungannya dengan hipertensi namun
kebiasaan merokok, minum minuman beralkohol dan kurang berolah raga
dapat pula mempengaruhi peningkatan tekanan darah.
Adapun gejala klinis yang dialami oleh para penderita hipertensi biasanya berupa:
- Pusing
- Mudah marah
- Telinga berdengung
- Sesak napas
- Rasa berat di tengkuk
- Mudah lelah
- Mata berkunang-kunang
- Mimisan (jarang dilaporkan)
2.1.4.Klasifikasi
Tekanan darah diklasifikasikan berdasarkan pada pengukuran rata-rata dua
kali atau lebih pengukuran pada dua kali atau lebih kunjungan.
Tabel 2.1. Klasifikasi Tekanan Darah Menurut ESH-2007
Kategori Sistol (mmHg) Disatol (mmHg)
Optimal < 120 dan < 80
Normal 120-129 dan/atau 80-84
Normal Tinggi 130-139 dan/atau 85-89 Hipertensi Derajat 1 140-159 dan/atau 90-99 Hipertensi Derajat 2 160-179 dan/atau 100-109 Hipertensi Derajat 3 ≥ 180 dan/atau ≥ 110 Hipertensi Sistolik
Terisolasi
≥ 140 dan < 90
Sumber : Bandira, 2009
Pedoman menurut ESH-2007 menetapkan stratifikasi risiko sebagai dasar
rekomendasi pengobatan hipertensi. Stratifikasi risikopada ESH-2007 hampir
sama dengan ESH-2003 diambil dari pedoman WHO/ISH-2003 dengan
memasukkan kelompok normal dan normal tinggi di samping hipertensi derajat
1,2,dan 3.
2.1.5.Patofisiologi
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II
dari angiotensin I oleh angiotensin I converting enzyme (ACE). ACE memegang
renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I. Oleh ACE yang
terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II
inilah yang memiliki peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui dua
aksi utama. Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormon antidiuretik
(ADH) dan rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan
bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan
meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh
(antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk
mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara
menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat yang
pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah.
Aksi kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal.
Aldosteron merupakan hormon steroid yang memiliki peranan penting pada
ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi
ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya
konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume
cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan
darah. Patogenesis dari hipertensi esensial merupakan multifaktorial dan sangat
komplek. Faktor-faktor tersebut merubah fungsi tekanan darah terhadap perfusi
jaringan yang adekuat meliputi mediator hormon, aktivitas vaskuler, volume
sirkulasi darah, kaliber vaskuler, viskositas darah, curah jantung, elastisitas
pembuluh darah dan stimulasi neural. Patogenesis hipertensi esensial dapat dipicu
stress dapat berinteraksi untuk memunculkan gejala hipertensi. Perjalanan
penyakit hipertensi esensial berkembang dari hipertensi yang kadangkadang
muncul menjadi hipertensi yang persisten. Setelah periode asimtomatik yang
lama, hipertensi persisten berkembang menjadi hipertensi dengan komplikasi,
dimana kerusakan organ target di aorta dan arteri kecil, jantung, ginjal, retina dan
susunan saraf pusat.
Progresifitas hipertensi dimulai dari prehipertensi pada pasien umur 10-30
tahun (dengan meningkatnya curah jantung) kemudian menjadi hipertensi dini
pada pasien umur 20-40 tahun (dimana tahanan perifer meningkat) kemudian
menjadi hipertensi pada umur 30-50 tahun dan akhirnya menjadi hipertensi
dengan komplikasi pada usia 40-60 tahun (Levanita, 2011).
2.1.6.Komplikasi
Hipertensi merupakan faktor resiko utama untuk terjadinya penyakit
jantung, gagal jantung kongesif, stroke, gangguan penglihatan dan penyakit ginjal.
Hipertensi yang tidak diobati akan mempengaruhi semua sistem organ dan
akhirnya memperpendek harapan hidup sebesar 10-20 tahun. Dengan pendekatan
sistem organ dapat diketahui komplikasi yang mungkin terjadi akibat hipertensi,
yaitu terdapat pada tabel 2.4 dibawah ini:
Tabel 2.2. Komplikasi Hipertensi
Sistem organ Komplikasi Komplikasi Hipertensi
Jantung Gagal jantung kongestif
Angina pectoris Infark miokard
Sistem saraf pusat Ensefalopati hipertensif
Ginjal Gagal ginjal kronis
Mata Retinopati hipertensif
Komplikasi yang terjadi pada hipertensi ringan dan sedang mengenai mata,
ginjal, jantung dan otak. Pada mata berupa perdarahan retina, gangguan
penglihatan sampai dengan kebutaan. Gagal jantung merupakan kelainan yang
sering ditemukan pada hipertensi berat selain kelainan koroner dan miokard. Pada
otak sering terjadi perdarahan yang disebabkan oleh pecahnya mikroaneurisma
yang dapat mengakibakan kematian. Kelainan lain yang dapat terjadi adalah
proses tromboemboli dan serangan iskemia otak sementara (Transient Ischemic
Attack/TIA) (Levanita, 2011).
2.1.7.Penatalaksanaan
Menurut Levanita (2011), tujuan pengobatan pasien hipertensi adalah:
1. Target tekanan darah yatiu <140/90 mmHg dan untuk individu berisiko
tinggi seperti diabetes melitus, gagal ginjal target tekanan darah adalah
<130/80 mmHg.
2. Penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler.
3. Menghambat laju penyakit ginjal.
Terapi dari hipertensi terdiri dari terapi non farmakologis dan farmakologis seperti
penjelasan dibawah ini.
1. Terapi Non Farmakologis
a. Menurunkan berat badan bila status gizi berlebih.
Peningkatan berat badan di usia dewasa sangat berpengaruh terhadap
tekanan darahnya. Oleh karena itu, manajemen berat badan sangat
b. Meningkatkan aktifitas fisik.
Orang yang aktivitasnya rendah berisiko terkena hipertensi 30-50%
daripada yang aktif. Oleh karena itu, aktivitas fisik antara 30-45 menit
sebanyak >3x/hari penting sebagai pencegahan primer dari hipertensi.
c. Mengurangi asupan natrium.
Apabila diet tidak membantu dalam 6 bulan, maka perlu pemberian
obat anti hipertensi oleh dokter.
d. Menurunkan konsumsi kafein dan alkohol
Kafein dapat memacu jantung bekerja lebih cepat, sehingga
mengalirkan lebih banyak cairan pada setiap detiknya. Sementara
konsumsi alkohol lebih dari 2-3 gelas/hari dapat meningkatkan risiko
hipertensi.
2. Terapi Farmakologis
Penatalaksanaan farmakologis adalah penatalaksanaan hipertensi dengan
menggunakan obat-obatan kimiawi, seperti jenis obat anti hipertensi. Ada
berbagai macam jenis obat anti hipertensi pada penatalaksanaan
farmakologis, yaitu:
a. Diuretika
Obat-obatan jenis ini bekerja dengan cara mengeluarkan cairan tubuh
(melalui kencing). Dengan demikian, volume cairan dalam tubuh
berkurang sehingga daya pompa jantung lebih ringan. Diuretik
menurunkan tekanan darah dengan cara megurangi jumlah air dan
tekanan darah secara perlahan-lahan mengalami penurunan karena
hanya ada fluida yang sedikit di dalam sirkulasi dibandingkan dengan
sebelum menggunakan diuretik. Selain itu, jumlah garam di dinding
pembuluh darah menurun sehingga menyebabkan pembuluh darah
membesar. Kondisi ini membantu tekanan darah menjadi normal
kembali, misalnya : jenis thiazide (Thiaz) atau aldosteron antagonis.
b. Beta Blocker
Mekanisme kerja anti-hipertensi obat ini adalah melalui penurunan
daya pompa jantung. Jenis betabloker tidak dianjurkan pada penderita
yang telah diketahui mengidap gangguan pernapasan seperti asma
bronkial. Pemberian β-bloker tidak dianjurkan pada penderita
gangguan pernapasan seperti asma bronkial karena pada pemberian β
-bloker dapat mengkambat reseptor beta 2 di jantung lebih banyak
dibandingkan reseptor beta 2 di tempat lain. Penghambatan beta 2 ini
dapat membuka pembuluh darah dan saluran udara (bronki) yang
menuju ke paru-paru. Sehingga penghambatan beta 2 dari aksi
pembukaan ini dengan β-bloker dapat memperburuk penderita asma.
c. Calcium Chanel Blocker atau Calcium Antagonist
Antagonis Kalsium adalah sekelompok obat yang berkerja
mempengaruhi jalan masuk kalsium ke sel-sel dan mengendurkan otot-
otot di dalam dinding pembuluh darah sehingga menurunkan
perlawanan terhadap aliran darah dan tekanan darah. Antagonis
menurunkan daya pompa jantung dengan cara menghambat kontraksi
jantung (kontraktilitas). Yang termasuk golongan obat ini adalah :
Nifedipin, Diltiasem dan Verapamil. Efek samping yang mungkin
timbul adalah : sembelit, pusing, sakit kepala dan muntah.
d. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)
Obat ini bekerja melalui penghambatan aksi dari sistem
renin-angiotensin. Efek utama ACE inhibitor adalah menurunkan efek enzim
pengubah angiotensin (angiotensin-converting enzym). Kondisi ini
akan menurunkan perlawanan pembuluh darah dan menurunkan
tekanan darah.
2.2. Hijamah 2.2.1.Definisi
Hijamah adalah pengobatan yang sudah dikenal sejak ribuan tahun sebelum
masehi. Nama lainnya adalah bekam, canduk, canthuk, kop, mambakan di Eropa
dikenal dengan istilah “Cuping Therapeutic Method”. Dalam bahasa Mandarin
disebut Pa Hou Kuan (Kasmui, 2010).
Kata “Hijamah” berasal dari bahasa Arab, dari kata Al hijmu yang berarti
pekerjaan membekam. Al Hajjam berarti ahli hijamah. Al Hijmu berarti
menghisap atau menyedot. Al Hajjam sama dengan Al Mashshah, yaitu tukang
menghisap atau tukang menyedot. Sedangkan Al Mihjam atau Al Mihjamah
merupakan gelas yang digunakan untuk menampung darah yang keluar dari kulit
Kesimpulan definisi hijamah menurut bahasa adalah ungkapan tentang
menghisap darah dan mengeluarkannya dari permukaan kulit, yang kemudian
ditampung di dalam gelas hijamah, yang menyebabkan pemusatan dan penarikan
darah di sana, lalu dilakukan penyayatan permukaan kulit dengan pisau bedah,
guna untuk mengeluarkan darah (Kasmui, 2010)
Hijamah merupakan metode pengobatan dengan cara mengeluarkan darah
kotor dari dalam tubuh melalui permukaan kulit. Yang dimaksud darah kotor
adalah darah yang mengandung racun atau darah statis yang menyumbat
peredaran darah, mengakibatkan sistem peredaran darah dalam tubuh tidak
berjalan sebagaimana adanya, sehingga menyebabkan terganggunya kesehatan
seseorang, baik fisik maupun mental (Umar, 2013).
Hijamah merupakan metode pengobatan Nabawi dengan cara mengeluarkan
toksin dalam tubuh atau unsur-unsur yang tidak dikehendaki keberadaannya
dalam tubuh, melalui torehan tipis di kulit (Suhardi & Syafa’ah, 2010).
2.2.2.Terapi Hijamah Untuk Pengobatan Hipertensi
Dalam terapi hijamah terdiri atas 5 jenis yaitu hijamah kering (dry cupping),
hijamah basa (wet cupping), hijamah luncur (sliding cupping), hijamah tarik, dan
hijamah api.
Terapi hijamah yang digunakan untuk pengobatan hipertensi di Rumah
Sehat Wahida hanya digunakan 2 metode yaitu hijamah basah (wet cupping) dan
1. Hijamah Basah (Wet Cupping)
Permukaan kulit “dibuka” (ditusuk-tusuk jarum/ditoreh), kemudian disedot
untuk menarik darah yang tercampur toksin. Biasanya setelah dihijamah basah
pasien akan merasa lega dan ringan badannya.
Tata cara hijamah basah :
a. Sebelum proses hijamah dilakukan sebaiknya terapis dan pasien yang akan
dihijamah terlebih dahulu mengambil air wudhu, kemudian ukur tekanan
darah. Selanjutnya lakukan pemijatan / urut seluruh tubuh dengan minyak
habbats atau but-but atau zaitun selama 5-10 menit, agar peredaran darah
menjadi lancar dan pengeluaran toksid menjadi optimal.
b. Lakukan tindakan desinfektan pada daerah yang akan di hijamah
kemudian hisap / vacum dengan gelas hijamah pada permukaan kulit yang
sudah di desinfektan dan sudah ditentukan titik-titiknya. Lakukan
pemompaan sebanyak 3-5 kali pompa atau di sesuai dengan ketahanan
pasien, biarkan selama 3-5 menit untuk memberikan kekebalan pada kulit
saat dilakukan penyayatan atau tusukan. Selama proses pemvacuman, pada
daerah yang dihijamah akan terjadi penarikan kulit yang disebabkan
tekanan di dalam vacum tinggi sehingga terjadi penumpukan toksin dan
zat-zat yang tidak dibutuhkan oleh tubuh serta sumbatan-sumbatan yag ada
pada pembuluh darah akan berkumpul menjadi satu di daerah yang
divacum sehingga aliran darah dalam tubuh menjadi lancar. Kemudian
akan menstimulasi secara kuat syaraf permukaan kulit akan merangsang
merangsang syaraf aferen simpatik yang berefek menekan rasa nyeri
(anastesi alami).Pada system endokrin terjadi pengaruh pada system
sentral melalui hypothalamus dan pituitary sehingga menghasilkan ACTH,
TSH, FSH-LH, ADM. Sedangkan melalui system perifer langsung berefek
pada organ untuk menghasilkan hormon-hormon seperti insulin, thyroxin,
adrenalin, corticotrophin, estrogen, progesteron, testosteron.
Hormon-hormon inilah yang bekerja di tempat jauh dari yang dihijamah.
c. Sebelum dilakukan penyayatan hendaknya terapis dan pasien membaca
doa untuk kesehatan. Kemudian lepas gelas hijamah tersebut, basuh kulit
dengan betadine untuk membersihkan permukaan kulit yang akan
dihijamah dari kuman, lakukan penyayatan dengan lancet/ jarum/ pisau
bedah, sayatan disesuaikan dengan diameter/ lingkaran gelas tersebut, lalu
hisap dengan alat cupping set dan hand pump untuk menyedot darah kotor.
Hisap/ vacum sebanyak 3-5 kali pompa (disesuaikan dengan ketahanan
pasien) dan biarkan selama 3-5 menit.
d. Buang darah yang kotor (pada cawan yang telah disiapkan), kemudian
lakukan hijamah lagi pada tempat yang sama. Biarkan 2-3 menit, lakukan
hal ini sampai 3 kali dan maksimal 5 kali hingga cairan plasma keluar.
e. Setelah selesai bekas hijamah diberi anti septik /minyak But-but, agar
tidak terjadi infeksi dan agar luka cepat sembuh, anjurkan pasien untuk
istirahat selam 10 menit kemudian ukur kembali tekanan darah serta
berikan pendidikan tentang kesehatannya dan berikan air jahe atau air
f. Hijamah dapat dilakukan tiap hari pada titik-titik yang berbeda-beda dan
berikan jangka waktu 2-3 pekan untuk titik yang sama. Atau 4 pekan
sekali melakukan hijamah.Sebaiknya dilakukan diagnosa sebelum hijamah
agar dicapai suatu ketepatan dalam pengobatan dan tidak membahayakan
pasien.
2. Hijamah Luncur (Sliding Cupping)
Untuk merangsang mikrosirkulasi darah kapiler dibawah kulit, disamping
berguna untuk menarik angin. Biasa dilakukan pada langka awal sebelum
dilakukan hijamah basah.
Metode ini sebagai ganti kerokan yang dapat membahayakan kulit karena
dapat merusak pori-pori. Tindakan ini bermanfaat untuk membuang angin pada
tubuh, melemaskan otot-otot dan melancarkan peredaran darah.
Cara hijamah luncur :
a. Urut seluruh badan bagian belakang dengan menggunakan minyak
secukupnya sebagai pelemasan.
b. Hisap/vacum dengan gelas hijamah pada permukaan kulit 1-3 kali pompa,
kemudian gerakkan gelas hijamah tersebut dari arah bawah ke atas atau dari
atas ke bawah dengan perlahan sampai tampak warna kemerahan. Hal ini
cukup dilakukan 2-3 menit.
c. Lepas gelas hijamah tersebut dan urut kembali dengan minyak selama 2-3
2.2.3. Manfaat Terapi Hijamah
Adapun manfaat dari terapi hijamah menurut Rahmadi (2012) adalah
sebagai berikut ;
a. Melancarkan peredaran darah dengan menghilangkan sumbatan dalam
pembuluh darah.
b. Menghilangkan zat sisa endapan pada sumbatan pembuluh darah kecil
biasanya terdapat pada kulit, sisa endapan tersebut dapat menghambat arus
pembuluh darah balik, endapan tersebut biasanya cholesterol, thrombus
ataupun sisa metabolik dan toxin.
c. Mencegah arterosclerosis dan kekakuan pembuluh darah.
d. Merangsang pembentukan sel darah merah yang baru (efek transfusi).
e. Merangsang aktivitas sumsum tulang.
f. Meningkatkan efektifitas penyampaian zat makanan dan oksigen ke semua
sel karena terbentuknya sel darah merah yang baru.
g. Mengurangi beban kerja limpa karena darah yang sudah tua tidak di
metabolisme di limpa tapi dikeluarkan dengan hijamah.
h. Merangsang sistem imun dengan keluarnya beberapa zat kimia tubuh seperti
prostaglandin, tromboxan, leukotrien, prostasiklin.
i. Mencegah timbulnya kanker dan penyakit infeksi.
Menurut Kasmui (2010) dalam teknik pengobatan hijamah adalah suatu
proses membuang darah kotor (toksin/racun) yang berbahaya dari dalam tubuh
melalui bawah permukaan kulit. Toksin adalah endapan racun/zat kimia yang
toksin/racun, atau darah statis yang menyumbat peredaran darah sehingga sistem
peredaran darah tidak dapat berjalan lancar. Kondisi ini sedikit demi sedikit akan
mengganggu kesehatan, baik fisik maupun mental. Akibatnya akan terasa lesu,
murung, resa, linu, pusing, dan senantiasan merasa kurang sehat, cepat bosan, dan
mudah naik pitam. Ditambah lagi dengan angin yang sulit dikeluarkan dari dalam
tubuh, akibatnya tubuh akan mudah kena penyakit mulai dari yang akut seperti
influenza sampai dengan penyakit degenerative semacam stroke, darah tinggi,
kanker, kencing manis, bahkan sampai gangguan kejiwaan.
Toksin dalam tubuh manusia dapat berasal dari :
a. Pencemaran udarah
b. Makanan siap saji (fast food) karena mengandung zat kimia yang tidak baik
untuk tubuh seperti pengawet, pewarna, essence, penyedap rasa, dan
sebagainya.
c. Hasil pertanian seperti pestisida(insektisida, fungisida, herbisida)
d. Kebiasaan buruk (bad habit) seperti merokok, makan tidak teratur/bersih,
makan tidak seimbang, terlalu panas atau dingin, terlalu asam dan lain-lain.
e. Obat-obatan kimia, karena mempunyai efek merusak organ atau mikroba
yang normal dalam tubuh.
2.2.4.Waktu Paling Baik Untuk Melakukan Hijamah
Waktu paling baik untuk berhijamah adalah sekitar pukul 14.00 s/d 15.00
(dalam kitab Ibnu Sina) karena waktu itu saluran darah mengembang sehingga
Tanggal terbaik untuk berhijamah adalah 17, 19 dan 21 bulan qomariyah.
Apabila membutuhkan penanganan segera, uapkan pasien selama setengah jam
baik menggunakan lampu TDP selama 20 menit, kemudian istirahatkan 10 menit
baru dilakukan terapi hijamah. Lakukan bekam di ruangan hangat untuk
menghindari demam karena sejuknya ruangan.
Hari terbaik untuk hijamah adalah hari senin, selasa, dan kamis, sedangkan
hari yang tidak disunnahkan adalah hari rabu, karena rabu merupakan hari dimana
nabi Ayyub tertimpah malapetaka. Tidaklah timbul penyakit kusta dan lepra,
kecuali pada hari rabu atau malam hari rabu dan waktu yang paling baik untuk
hijamah adalah saat tengah hari yaitu selepas Zuhur (Umar, 2013).
2.2.5.Titik-Titik Hijamah dan Manfaatnya
Adapun beberapa titik-titik hijamah dan manfaat hijamah terdapat pada tabel 2.5
berikut :
Tabel 2.3. Titik-Titik Hijamah dan Manfaatnya
Gejalah yang di rasakan Tanda-Tanda Tubuh Titik Hijamah Manfaat Penglihatan agak kabur
Di lihat dari mata Di tengkuk Memperbaiki
penglihatan Pusing, migraine,
vertigo, daya ingat menurun
Garis biru atau kehijauan pada telapak tangan
Dua urat leher Melancarkan darah kebagian kepala
Hipertensi, asam urat, kolesterol, sulit mengawal emosi
Ruas ujung jari berwarnah lebih merah dan keras
Kedua bahu Menormalkan
tekanan darah dan kadar asam urat Berdebar-debar,
mudah kaget, nafas pendek, mudah ngantuk, sulit tidur, dada kiri sakit bila di tekan
Di telapak tangan, di perut, ibu jari ada urat berwarna kehijauan atau kebiruan
Di punggung, di sebelah ke dua belikat
Menormalkan kerja
jantung dan pernafasan
gemuk tulang iga Sumber: Umar, 2013.
Menurut Suhardi & Syafa’ah (2010), dari sekian banyak titik-titik hijamah
hanya beberapa yang digunakan dalam pengobatan hipertensi yaitu :
a. KHL1 (Kaahil/punduk) : posisi titik ini tepat berada di bawah tulang
cervical ke 7.
b. UN2 & UN3 ( Akhdain) : posisi ini tepat berada pada daerah urat di
kedua sisi leher.
c. UM (Ummu Mughis) : posisi ini tepat berada pada daerah puncak
kepala.
Menurut Susiyanto (2013) dengan menggunakan metode ODT untuk
keluhan hipertensi adalah 9 point wajib, ditambah sensor saraf pusat.
a. Kaahil/punduk : posisi titik ini tepat berada di bawah tulang
cervical ke 7.
b. Akhda’in : posisi ini tepat berada pada daerah urat di
kedua sisi leher.
c. Katifain : posisi ini tepat berada pada daerah bahu.
d. Warik : posisi ini tepat berada pada daerah pinggang.
e. UM (Ummu Mughis) : posisi ini tepat berada pada daerah puncak
kepala.
2.2.6.Kontra Indikasi Hijamah
Adapun kontra indikasi hijamah menurut Rahmadi (2012) yaitu :
a. Kulit keriput
b. Anemia
c. Orang yang mengkonsumsi obat pengencer darah, seperti asam salisilat,
warfarin dan heparin.
d. Penyakit kulit kronis (tempat penghijamahan).
e. DM (diabetes mellitus) dengan GDS (gula darah sewaktu) >300 mg/dl,
khususnya di daerah neuropathy.
f. Hipertensi maligna (Systole >190).
g. Kelainan darah seperti; Hemophilia, Leukemia, Malignan Enemia,
Thrombositopenia
h. Oedema anasarka.
Menurut Mustika (2012) dalam pengantar buku berjudul Bekam Sunnah
Nabi dan Mukjizat Medis, cara kerja hijamah adalah di bawah kulit dan otot
terdapat banyak titik syaraf. Titik-titik ini saling berhubungan antara organ tubuh
satu dengan lainnya sehingga bekam dilakukan tidak selalu pada bagian tubuh
yang sakit namun pada titik simpul syaraf terkait. Penghijamahan biasanya
dilakukan pada permukaan kulit (kutis), jaringan bawah kulit (sub kutis) jaringan
ini akan “rusak”.
Akibat kerusakan ini akan dilepaskan beberapa zat seperti serotonin,
histamine, bradiknin, slow reaction substance (SRS) serta zat-zat lain yang belum
reaction pada daerah yang dihijamah. Dilatasi kapiler juga dapat terjadi
menyebabkan terjadi perbaikan mikrosirkulasi pembuluh darah. Akibatnya timbul
efek relaksasi (pelemasan) otot-otot yang kaku serta akibat vasodilatasi umum
akan menurunkan tekanan darah secara stabil. Yang terpenting adalah
dilepaskannya corticotrophin releasing factor (CRF), serta releasing factors
lainnya oleh adenohipofise. CRF selanjutnya akan menyebabkan terbentuknya
ACTH, corticotrophin dan corticosteroid. Corticosteroid ini mempunyai efek
menyembuhkan peradangan serta menstabilkan permeabilitas sel.
Sedangkan golongan histamine yang ditimbulkannya mempunyai manfaat
dalam proses reparasi (perbaikan) sel dan jaringan yang rusak, serta memacu
pembentukan reticulo endothelial cell, yang akan meninggikan daya resistensi
(daya tahan) dan imunitas (kekebalan tubuh). Sistem imun ini terjadi melalui
pembentukan interleukin dari sel karena faktor neural, peningkatan jumlah sel T
karena peningkatan set-enkephalin, enkephalin dan endorphin yang merupakan
mediator antara susunan sistem saraf pusat dan sistem imun, substansi P yang
mempunyai fungsi parasimpatis dan sistem imun, serta peranan kelenjar pituitary
dan hypothalamus anterior yang memproduksi CRF.
Pada endokrin terjadi pengaruh pada sistem sentral melalui hypothalamus
dan pituitary sehingga menghasilkan ACTH, TSH, FSH-LH, ADM. Sedangkan
melalui sistem perifer langsung berefek pada organ untuk menghasilkan
hormon-hormon insulin, thyroxin, testosteron. Hormon-hormon inilah yang akan bekerja
Pada penelitian yang dilakukan Nindar (2011) dalam Mustika masih dalam
hubungan terapi hijamah dengan penurunan tekanan darah di klinik Al Hijamah
Sleman Yogyakarta, didapatkan hubungan antara terapi hijamah dengan
penurunan tekanan darah pada subyek yang menderita hipertensi, hal ini terbukti
dengan terjadinya tren penurunan pada 20 subyek penelitian dengan tingkat
kepercayaan 95% menghasilkan nilai p=0.000.
Dari hasil penelitian Mustika (2012) dengan menggunakan desain pre
eksperiment designs dengan model one group pretest posttest pada penderita
hipertensi yang diperoleh secara accidental sampling. Pengumpulan data
dilakukan dengan tensimeter digital dan lembar observasi. Hasil uji univariat
menunjukkan rata-rata tekanan darah sistolik sebelum terapi bekam 153,10
mmHg, dengan standar deviasi 21,361 mmHg, nilai minimum 132 mmHg, dan
nilai maksimum 199 mmHg. Rata-rata tekanan darah sistolik setelah terapi
hijamah 143,75 mmHg, dengan standar deviasi 19,740 mmHg, nilai minimum 124
mmHg dan nilai maksimum 186 mmHg. Sedangkan rata-rata tekanan darah
diastolik sebelum terapi hijamah 94,50 mmHg dengan standar deviasi 10,923
mmHg, nilai minimum 80 mmHg dan nilai maksimum 111 mmHg. Hasil uji
Wilcoxon, terdapat pengaruh yang bermakna pada tekanan darah siastolik dan
diastolic pasien hipertensi sebelum dan setelah terapi hijamah dengan nilai p
0,000 (sistolik) dan 0,003 (diastolik) dimana p<0,05. Hal ini menunjukkan bahwa
Hal yang sama juga didapatkan pada penelitian Agustin (2010) dalam
Mustika, dimana dari hasil penelitian menunjukkan terapi hijamah dapat