KORELASI TINGKAT PENGETAHUAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT
DALAM PENANGGULANGAN LONGSOR
DI KECAMATAN PALOLO (Kasus Di Desa Sintuwu)
DIAN NARWASTU LAPENTO
JURNAL
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
KORELASI TINGKAT PENGETAHUAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT
DALAM PENANGGULANGAN LONGSOR
DI KECAMATAN PALOLO (Kasus Di Desa Sintuwu)
Oleh
Dian Narwastu Lapento1), Lilik Prihadi Utomo 2), Irmasari3)
1. Mahasiswa Progragm Studi Pendidikan Geografi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tadulako, Palu
2. Staf dosen Program Studi Pendidikan Geografi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tadulako, Palu
3. Staf dosen Fakultas Kehutanan Universitas Tadulako, Palu
ABSTRAK
Dian Narwastu Lapento, 2017. Korelasi Tingkat Pengetahuan dan Partisipasi Masyarakat dalam Penanggulangan Longsor di Kecamatan Palolo (Kasus Di Desa Sintuwu). Skripsi. Program Studi Pendidikan Geografi, Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tadulako. Pembimbing (I) Lilik Prihadi Utomo., (II) Irmasari.
Telah dilakukan penelitian mengenai Korelasi Tingkat Pengetahuan dan Partisipasi Masyarakat dalam Penanggulangan Longsor di Kecamatan Palolo (Kasus Di Desa Sintuwu). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan tentang longsor dengan partisipasi masyarakat dalam penanggulangan longsor. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan pendekatan lingkungan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan dan partisipasi masyarakat dalam penanggulangan longsor dengan nilai koefisien korelasi (r)= 0,291 atau kategori rendah. Faktor-faktor yang mempengaruhi adalah: 1) tingkat pendidikan responden 51% adalah tamat SD sehingga berpengaruh terhadap pola pikir dalam hal partisipasi. 2) Tingkat pendapatan responden sebanyak 53,65% mempunyai penghasilan rendah yaitu <Rp.500.000 dengan pekerjaan sebagai petani. 3) opini responden sebanyak 53,65% responden berpendapat bahwa pemerintah bertanggung jawab dalam penanggulangan longsor.
ABSTRACT
Dian Narwastu Lapento, 2017. The correlation of the knowledge level and community participation in the prevention of landslides in Palolo district (A case study in Sintuwu village). Essay. Program Study of geography education, Department of social science education. Faculty of Teacher Training Education University of Tadulako. Supervisor (I) Lilik Prihadi Utomo., (II) Irmasari.
The research about correlation between the level of knowledge and community participation in managing landslide in Palolo district (The case study in Sintuwu village) has been done. The aims is to determine the correlation between the level of knowledge about landslide and community participation in managing landslide. The research in quantitative research using environmental approach. The results showed that there was a correlation between the level of knowledge and community participation in managing landslide with correlation coefficient (r)= 0,291 or low category. Factors that influence were: 1) The level education of respondents. As much 51% respondents only finished primary school so that it will effect the mindset in terms of participation. 2) The level income. As much 53,65% respondents has low income <Rp.500.000 with a job as a farmer. 3) The opinion of respondents. As much 53,65% respondents think that the government is responsible in managing landslide.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Wilayah Indonesia merupakan wilayah yang rawan terjadi bencana, karena Indonesia
terletak pada pertemuan tiga lempeng dunia yaitu lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia
dan lempeng Pasifik, sehingga membentuk jalur Gunung Api dan jalur gempa bumi. Adanya
pertemuan lempeng-lempeng tersebut menyebabkan zona penghujaman lempeng yang
merupakan jalur gempa bumi dan membentuk undulasi di busur kepulauan dengan
kemiringan terjal sampai sangat terjal. Selain itu, Indonesia juga terletak di daerah tropis
dengan curah hujan yang tinggi, dan memiliki topografi yang bervariasi. Adanya posisi yang
seperti itu, maka secara geologis, geomorfologi dan klimatologis Indonesia selalu mengalami
kerentanan terhadap bencana seperti: banjir, kemarau panjang, tsunami, gempa bumi, gunung
berapi dan tanah longsor.
Salah satu bencana alam yang sering terjadi di wilayah Indonesia adalah bencana
tanah longsor. Tanah longsor merupakan salah satu bencana alam yang selalu hampir terjadi
di setiap musim penghujan yang melanda daerah perbukitan pada daerah tropis basah karena
adanya curah hujan yang tinggi. Beberapa para ahli mendefinisikan Longsor merupakan
pergerakan batuan,tanah atau bahan rombakan material sebagai penyusun lereng yang
bergerak kearah bawah atau keluar lereng karena adanya pengaruh gravitasi.
Tanah Longsor terjadi jika gaya pendorong pada lereng lebih besar dibandingkan gaya
penahan lereng. Tanah longsor terjadi juga disebabkan semakin meluasnya pemanfaatan
lahan oleh manusia. Aktifitas masyarakat dalam memanfaatkan lahan untuk kepentingan
ekonomi seiring memicu tingginya tingkat kerawanan bencana tanah longsor. Penggunaan
lahan mempunyai pengaruh besar terhadap kondisi tanah dan air tanah, hal ini akan
mempengaruhi keseimbangan lereng. Pengaruhnya dapat bersifat memperbesar atau
memperkecil kekuatan geser tanah pembentuk lereng. Usaha penanggulangan bencana alam
akibat tanah longsor perlu dilakukan untuk mengurangi seminimal mungkin korban jiwa,
kerugian harta benda serta sarana dan prasaranaKegiatan manusia dikenal sebagai salah satu
faktor paling penting terhadap terjadinya tanah longsor yang cepat dan intensif.
Kegiatan-kegiatan tersebut berkaitan dengan perubahan penutup tanah akibat penggundulan hutan atau
pembabatan hutan untuk permukiman, lahan pertanian. Hal-hal yang mempengaruhi kegiatan
manusia berpotensi sebagai faktor penyebanya terjadinya longsor yaitu kurangnya
pengetahuan masyarakat tentang longsor itu sendiri, sehingga akan berpengaruh terhadap
Sulawesi Tengah tengah adalah salah satu daerah rawan bencana. Bencana yang
sering terjadi di provinsi Sulawesi Tengah meliputi bencana alam (gempa bumi, tsunami,
banjir bandang, tanah longsor) dan bencana sosial (konflik antar suku dan agama). Salah satu
bencana alam yang baru terjadi adalah bencana alam tanah longsor di Desa Sintuwu
Kecamatan Palolo Kabupaten Sigi pada tanggal 17 Mei 2016. Peristiwa tersebut adalah
peristiwa yang sampai menimbulkan kerusakan 1 buah masjid, 5 unit rumah rusak berat, 6
unit rumah rusak ringan, kerusakan jaringan air bersih ± 1 Km, terputusnya akses jalan ± 2
Km dan berpotensi mengakibatkan kerusakan lanjutan terhadap pemukiman penduduk,
sarana ibadah ( gereja) serta infrastruktur lainnya. (BPBD 2016). Faktor penyebab terjadinya
longsor di Desa Sintuwu adalah kondisi cuaca yang kurang kondusif, dimana sejak awal
bulan mei intensitas curah hujan dari awal bulan Mei 2016 cukup tinggi sebesar 290,5 mm (
BMKG Stasiun Meteorologi Mutiara Palu 2017).
Melihat kerentanan bencana tanah longsor yang terjadi di Kecamatan Palolo maka
penulis ingin mengetahui bagaimana pengetahuan masyarakat tentang bencana dan partisipasi
penanggulangan bencana. Hal ini menjadi penting disebabkan aspek pengetahuan sangat
berpengaruh pada cara masyarakat berpartisipasi di kawasan rawan bencana. Melihat
kejadian bencana yang baru-baru ini terjadi di Desa Sintuwu Kecamatan Palolo Kabupaten
Sigi maka penulis mengambil lokasi penelitian dilokasi tersebut. Utnuk itu penulis akan
melakukan penelitian dengan judul “ Korelasi Tingkat Pengetahuan Tentang Longsor Dengan
Partisipasi Masyarakat Dalam Penanggulangan Longsor di Kecamatan Palolo ( Kasus Di
Desa Sintuwu ).
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini bersifat penelitian kuantitatif dengan metode penelitian survey.
Menurut Sugiyono (2012) penelitian kuantitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian
yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau
sampel tertentu. Populasi penelitian yaitu jumlah KK yang terkena longsor. Teknik
pengambilan sampel dilakukan secara kuota sampling, pengumpulan data melalui wawancara
dan kuisioner, analisis data bersifat uji korelasi dengan tujuan untuk mencari hubungan antar
variabel.
Pendekatan penelitian menggunakan pendekatan lingkungan yaitu interelasi yang
menonjol antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Analisis lingkungan geografi
menelaah gejala interaksi dan interelasi antara komponen fisikal (alamiah) dengan nonfisik
a. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini yakni jumlah KK yang bertempat tinggal di wilayah
terkena longsor. Jumlah KK yang terkena longsor yakni 3 RT dengan sebaran sebagai berikut
:
RT 1 = 42 KK
RT 2 = 54 KK
RT 3 = 41 KK Jumlah keseluruhan 137 KK
Dalam penelitian ini penentuan sampel menggunakan pendekatan quota sampling
sebanyak 30% dari masing-masing RT. Hal ini dilakukan karena anggota populasi sejenis
atau homogen. Quota sampling adalah teknik mendasarkan jumlah yang telah ditentukan
(Suharsimi Arikunto, 2010). Sedangkan teknik penentuan sampel sebagai responden
menggunakan teknik undian. (Lihat pada Tabel 1).
Tabel 1. Responden Penelitian pada masing-masing RT
NO RT Populasi Responden (sampel)
Sumber : Hasil analisis data primer 2016
Selanjutnya memilih responden pada masing-masing RT menggunakan teknik acak.
b. Teknik Pengumpulan Data
(1) Observasi, metode ini dibutuhkan untuk langkah awal yang dilakukan peneliti yaitu untuk mendapatkan gambaran umum daerah penelitian pasca kejadian longsor; (2) Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini, menggunakan teknik wawancara mendalam (depth interview). Hal ini dilakukan untuk menggali informasi terhadap masyarakat terdampak longsor; (3) Kuisioner (Angket), Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi
seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawabnya.
(Sugiyono, 2014); (4) Dokumentasi adalah data yang berupa dokumen yang diperoleh di
lapangan berkaitan dengan obyek penelitian.
c. Pengolahan Data
Pengolahan data menggunakan statistik produk moment di bantu dengan program
SPSS. Analisis data mencari besaran nilai korelasi / nilai r. Klasifikasi nilai r menggunakan
klasifikasi sebagai berikut. Lihat pada Tabel 2.
Tabel 2. INTERPRETASI NILAI r
Sumber (Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, 2008 :201)
2) Pengolahan data
Data variabel X (pengetahuan) dan Y (partisipasi) yang terkumpul merupakan
data kuantitatif. Kemudian dibuatkan klasifikasi masing-masing variabel,
selanjutnya untuk mempermudah pengolahan data, peneliti memberikan skor pada
variabel X (pengetahuan) dan Y (partisipasi). Pengklasifikasian ini mengacu pada
penelitian Febriana Ika Setyari (2012), untuk tingkat pengetahuan masyarakat
tentang bencana tanah longsor menggunakan pengukuran 1)sangat tahu sekali,
2)tahu, 3)sedikit tahu, 4)tidak tahu, 5)tidak tahu sama sekali dengan penskoran 1-5.
Namun dalam penelitian ini telah dimodifikasi dengan pengukuran 1)tidak
mengetahui, 2)kurang mengetahui, 3)mengetahui, 4)sangat mengetahui dengan
penskoran 1-4 dan untuk pengukuran partisipasi yaitu 1)tidak berpartisipasi,
2)kurang berpartisipasi, 3)berpartisipasi, 4)sangat berpartisipasi dan penskoran 1-4.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebaran Tanah Longsor di Desa Sintuwu
Perkembangan suatu wilayah akan meningkatkan kebutuhan lahan sebagai tempat
tinggal dan aktivitas ekonomi, pihak lain ketersediaan lahan tidak mengalami perkembangan.
Aktivitas masyarakat dalam hal eksploitasi lahan tanpa memperhatikan daya dukung lahan
mengakibatkan tingkat kerawanan terhadap kebencanaan misalnya tanah longsor.
Pemanfaatan lahan sebagai area kebun dan pemukiman pada daerah rawan bencana tanah
Persebaran titik-titik longsor di daerah penelitian dilakukan melalui observasi
langsung dilapangan. Titik-titik longsor yang dituju didasarkan pada informasi longsor dari
penduduk Desa Tanah longsor yang terjadi di desa Sintuwu yaitu terjadi pada penggunaan
lahan kebun. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Aulia Bahadhori Mukti (2012) dengan
hasil penelitian bahwa “ titik-titik longsor yang terjadi di Kabupaten Garut Jawa Barat paling besar berada pada penggunaan lahan kebun campuran. Hal ini mengindikasikan bahwa
peluang terjadinya longsor pada penggunaan lahan kebun campuran cukup besar, sehingga
perlu diwaspadai atau perlu dilakukan pengelolaan yang baik, seperti pembuatan teras atau
konservasi tanah lainnya secara intensif karena sebagian kebun campuran berada pada
lereng-lereng yang curam”.
Sebaran titik longsor yaitu ada 3 titik. Pada titik 1 dengan koordinat S: 109’50,54” dan E: 12002’19,59’’ kejadian longsor yaitu berada dekat dengan aliran sungai, sehingga material longsor terbawa oleh aliran sungai menuju area pemukiman. Hal ini berdampak pada
kerusakan sarana ibadah, rumah warga dan akses jalan.
Pada titik 2 dengan koordinat S: 109’53” dan E: 12002’25’’ kejadian longsor pada titik ini terjadi pada area perkebunan dengan material longsor menutupi akses jalan yang menuju
ke RT 1. Hal ini tidak berdampak pada kerusakan yang parah karena terjadi hanya pada akses
jalan. Pada titik 3 dengan koordinat S: 1010’3” dan E: 12002’32’’ kejadian longsor pada titik ini hanya terjadi pada area kebun. Namun jika tidak dilakukan pencegahan maka akan
berdampak terhadap pemukiman, karena letak pemukiman dengan kebun sangat berdekatan.
Berdasarkan ketiga titik longsor tersebut titik longsor terparah terjadi pada titik
longsor pertama karena berdampak langsung dengan area pemukiman yang mengakibatkan
kerusakan sarana ibadah, rumah warga dan akses jalan. Untuk melihat titik longsor lebih jelas
maka penggunaan skala dalam Peta Sebaran Titik longsor, harus lebih detail. Sehingga
mempermudah dalam membaca peta. Dalam penelitian ini peta sebaran longsor dilihat
berdasarkan peta penggunaan lahan dengan skala awal 1 : 60.000 (1 cm di peta sama dengan
600 m di lapangan) diubah menjadi skala 1 : 20.000 (1 cm di peta sama dengan 200 m di
lapangan). (Gambar 1)
Titik-titik longsor di Desa Sintuwu tersebar pada daerah perbukitan. Untuk persebaran
titik-titik longsor di wilayah ini tampak mempunyai pola memanjang. Pola memanjang ini
sesungguhnya lebih disebabkan oleh pola jalan yang dipakai untuk mencari titik-titik longsor,
karena longsor banyak ditemukan tidak jauh dari tepi jalan. Dengan demikian sesungguhnya
masih dimungkinkan terdapat titik-titik longsor lain yang belum dapat ditemukan
Berdasarkan peta lereng didapatkan hasil bahwa kejadian longsor terjadi pada
kemiringan >40%, 30%-40%, dan 20%-30%. Dapat disimpulkan bahwa kemiringan lereng
mempunyai pengaruh yang besar sebagai penyebab terjadinya tanah longsor. Semakin terjal
suatu lereng maka material yang ada di atas permukaan tersebut akan semakin mudah untuk
jatuh/tergelincir ke bawah oleh adanya gaya gravitasi. Hal ini sejalan dengan pendapat
Parlindungan dkk, (2008) menyatakan bahwa “longsor terjadi apabila ada gangguan
keseimbangan lereng, dimana gaya pendorong menjadi lebih besar daripada gaya penahan.
Gaya pendorong dapat disebabkan oleh faktor-faktor luar, seperti pengaruh air (air hujan,
kolam ikan, bak mandi, atau selang pipa air yang bocor), kemiringan lereng yang besar, atau
adanya pengelupasan lereng oleh manusia (perubahan tata guna lahan), dan pendirian
bangunan pada puncak bukit. Karena gaya penahan akan sangat tergantung pada jenis
tanahnya”.
Titik longsor yang terjadinya pada daerah penelitian berada pada jenis tanah ultisol.
Tanah ultisol terbentuk pada sembarang induk, terutama yang berumur Plistosen atau yang
lebih tua. Hal ini menandakan bahwa kaitan antara bahan induk, umur formasi geologi
(proses pelapukan), dan jenis tanah yang terbentuk mempunyai kaitan erat sebagai pemicu
terjadinya longsor.
Berdasarkan hal ini, maka peluang terjadinya longsor diwilayah ini cukup logis,
dikarenakan bahan yang siap dilongsorkan sudah cukup tersedia (solum tanah dalam), apalagi
ditunjang oleh kondisi topografi berupa perbukitan yang pada umumnya kaya dengan lereng
yang miring hingga terjal.
Berdasarkan data curah hujan yang ada, adanya titik longsor berkaitan erat dengan
curah hujan. Seperti diketahui bahwa curah hujan bersifat sebagai pemicu terjadinya longsor,
apalagi terhadap tanah-tanah yang berusia lanjut pada wilayah ini. Hal tersebut
memperlihatkan bahwa peluang terjadinya longsor di daerah penelitian memperlihatkan
kecenderungan bahwa semakin besar curah hujan maka semakin besar pula peluang
terjadinya longsor.
Pernyataan ini diperkuat oleh pendapat Zakaria (2011) bahwa curah hujan
mempengaruhi kadar air dan kejenuhan air sehingga memicu terjadinya longsor. hujan dapat
meningkatkan kadar air dalam tanah dan menyebabkan kondisi fisik tubuh lereng
berubah-ubah. Kenaikan kadar air tanah akan memperlemah sifat fisik-mekanik tanah yang
Korelasi Antara Pengetahuan Dan Partisipasi Masyarakat Dalam Penanggulangan
Longsor
Uji korelasi pengetahuan dan partisipasi masyarakat dalam penanggulangan longsor di
daerah penelitian sebanyak 41 responden, menunjukkan bahwa hasil nilai r=0,291. Hubungan
pengetahuan dan partisipasi masyarakat dalam penanggulangan longsor menunjukan
hubungan rendah.
Melihat hubungan antara pengetahuan dan partisipasi masyarakat dalam
penanggulangan longsor rendah maka dapat disimpulkan bahwa ada faktor-faktor yang
mempengaruhi rendahnya hubungan tingkat pengetahuan dan partisipasi masyarakat dalam
penanggulangan longsor. Apabila dilihat tingkat pengetahuan tentang longsor 61% responden
di daerah penelitian masuk dalam kategori kurang mengetahui. Dalam artian bahwa tingkat
pengetahuan masyarakat tersebut sudah mengetahui namun tidak terlalu mendalam tetapi
secara garis besar mereka memahami penyebab dan akibat serta pencegahan longsor tersebut.
Menurut Burhanuddin Salam (2000) pengetahuan yang dimiliki manusia ada 4 yaitu :
pengetahuan biasa karena seseorang memiliki sesuatu dimana ia menerima secara baik,
pengetahuan ilmu adalah pengetahuan yang diperolehnya dengan ilmu melalui observasi,
pada universalitas dan kedalaman kajian tentang sesuatu. dan pengetahuan agama adalah
pengetahuan yang diperoleh dari Tuhan.
Contoh-contoh pengetahuan untuk pencegahan tanah longsor untuk mengurangi
dampak bencana yaitu : 1) kenali daerah tempat tinggal kita sehingga jika terdapat ciri-ciri
daerah rawan longsor kita dapat menghindar, 2) tanami daerah lereng dengan tanaman yang
sistem perakarannya dalam ( akar tunggang), 3) sealalu waspada pada saat musim hujan
terutama pada saat curah hujan yang tinggi dalam waktu lama.
Tingkat pengetahuan, ternyata berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat dalam
penanggulangan longsor, hal ini ditunjukan dari persentase tertinggi masyarakat yang tidak
berpartisipasi. Masyarakat yang masuk kategori berpartisipasi hanya mencapai 7,3%, kurang
berpartisipasi mencapai 39%, tidak berpartisipasi mencapai 53,7% dari 41 responden.
Melihat kondisi diatas faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya hubungan tingkat
pengetahuan dan partisipasi masyarakat dalam penanggulangan longsor yaitu tingkat
pendidikan responden 51% adalah tamatan SD. Pendidikan akan berpengaruh terhadap pada
pola pikir seseorang, dikarenakan pendidikan merupakan proses pengembangan pengetahuan,
keterampilan dan sikap seseorang yang dilakukan secara terencana, sehingga memperoleh
perubahan bagi peningkatan hidup. Hal ini sesuai dengan pendapat Notoatmodjo (2007),
bahwa tingkat pendidikan yang tinggi akan meningkatkan pengetahuan. Semakin rendah
tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin rendah juga pola pikirnya dalam hal
partisipasi.
Tingkat pendapatan responden adalah 53,65% mempunyai penghasilan rendah yaitu
<Rp.500.000, dengan pekerjaan sebagai petani. Hal ini akan berpengaruh terhadap
partisipasi masyarakat dalam penganggulangan longsor di daerah penelitian. Ketika tingkat
pendapatan rendah, maka hal yang akan dilakukan untuk menambah penghasilan, masyarakat
akan mencari pekerjaan sampingan sehingga kurang mempunyai waktu untuk berpartisipasi
dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk penanggulangan longsor.
Pengetahuan tentang pencegahan tanah longsor adalah sebesar 53,65%. responden
memiliki pandangan bahwa pemerintah yang memiliki kekuasaan daerah, pemerintah berhak
memberdayakan masyarakat untuk berperan serta dalam pencegahan longsor. sehingga yang
seharusnya dilakukan masyarakat untuk pencegahan longsor mereka cenderung tidak tahu,
karena hanya menunggu pelaksanaan program dari pemerintah.
Sehingga dalam hal ini kegiatan-kegiatan sosialisasi atau penyuluhan harus
dilaksanakan untuk lebih memberikan pemahaman dan informasi tentang pentingnya
Bentuk partisipasi masyarakat dalam penanggulangan Tanah Longsor Di Desa Sintuwu
Bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dalam penanggulangan tanah longsor yang
telah dilakukan atau sementara diupayakan pemerintah Desa Sintuwu yaitu :
1. Menyusun rancangan kegiatan penanggulangan tanah longsor
Dalam hal ini masyarakat bersama dengan pemerintah Desa sama-sama mengambil
bagian dalam penyusunan rancangan kegiatan penanggulangan longsor, serta ikut
memberikan pendapat atau ide-ide yang bersifat membangun untuk kegiatan
penanggulangan.
2. Memberikan penyuluhan kepada masyarakat
Terkait tanah longsor dan bahaya yang mengikutinya. Seringkali penyebab rusaknya
kawasan hutan sekitar lereng karena dilakukannya penebangan pohon oleh
masyarakat sekitar yang memang belum memiliki kesadaran dan pengetahuan
mengenai dampak negatif yang akan terjadi. Dengan memberikan penyuluhan akan
membuka wawasan dan kesadaran dari masyarakat untuk tidak melakukan hal-hal
yang dapat memicu terjadinya bencana.
3. Reboisasi dan Penghijauan
Kegiatan reboisasi merupakan penghutanan kembali kawasan hutan bekas tebangan
maupun lahan-lahan kosong yang terdapat di dalam kawasan hutan. Reboisasi
meliputi kegiatan permudaan pohon, penanaman jenis pohon lainnya di area hutan
lindung sesuai rencana tata guna lahan yang diperuntukkan sebagai hutan. Dengan
demikian, membangun hutan baru pada area bekas tebang habis, bekas tebang pilih
atau pada lahan kosong lainnya yang terdapat dalam kawasan hutan termasuk
reboisasi. Penghijauan merupakan kegiatan penanaman pada lahan kosong di luar
kawasan hutan, terutama pada tanah milik rakyat dengan tanaman keras, misalnya
jenis-jenis pohon hutan, pohon buah, tanaman perkebunan, tanaman penguat teras,
tanaman pupuk hijau, dan rumput pakan ternak. Tujuan penanaman ini agar lahan
tersebut dapat dipulihkan, dipertahankan, dan ditingkatkan kembali kesuburannya.
Yang termasuk dalam rangkaian kegiatan penghijauan misalnya pembuatan
sengkedan (terasering).
Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Desa ( Bapak Abidin) pemerintah Desa telah
bibit pohon telah diadakan namun terkendala pada pembagian bibit yang belum merata
sampai kepada masyarakat. sehingga sampai sekarang sebagian masyarakat masih menunggu
bantuan bibit tersebut.
KESMIPULAN DAN SARAN
a. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Nilai koefisien korelasi (r) = 0,291 dapat disimpulkan bahwa berdasarkan
pedoman interpretasi koefisien korelasi menyatakan hubungan pengetahuan dan
partisipasi masyarakat dalam penanggulangan longsor menunjukan hubungan
rendah.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya partisipasi masyarakat yaitu :
tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan peran pemerintah.
b. Saran
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat diberikan saran-saran sebagai berikut:
1. Perlu dilakukan penyuluhan untuk meningkatkan pengetahuan dan partisipasi
masyarakat dalam penanggulangan longsor.
2. Perlu adanya kesadaran dari masyarakat akan pentingnya partisipasi dalam
penanggulangan longsor.
DAFTAR RUJUKAN
Anonim (2017). Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Stasiun Meteorologi Mutiara Palu , Tahun 2017.
(2016). Badan Penanggulangan Bencana Daerah. Kabupaten Sigi. Tahun 2016
Arikunto Suharsimi. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. PT Rineka Cipta. Jakarta.
Mukti A B. (2012). “Pola Persebaran Titik Longsor Dan Keterkaitannya Dengan Faktor-Faktor Biogeofisik Lahan (Studi Kasus : Kabupaten Garut Jawa Barat). Skripsi. Bogor: Program Studi Manajemen Sumberdaya Lahan Departemen Ilmu Tanah Dan Sumber Daya Lahan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. (Diunduh tanggal 16 Juni 2017).
Notoatmodjo. (2007). Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka Cipta
Salam, B. (2000). Pengantar Filsafat. Jaakarta : Bina Aksara
Setyari F I. (2012). “Pemahaman Masyarakat terhadap tingkat kerentanan bencana tanah longsor di desa Tieng kecamatan kejajar kabupaten wonosobo. Skripsi. Yogyakarta: Program Studi Pendidikan Geografi Fakultas Ilmu Soisial Sosial Universitas Negeri Yogyakarta. (Diunduh tanggal 04 Agustus 2016).
Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
(2014). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Usman H dan Akbar P S. (2008), Pengantar Statistik. Bumi Aksara. Jakarta.