• Tidak ada hasil yang ditemukan

KORELASI TINGKAT PENGETAHUAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENANGGULANGAN LONGSOR DI KECAMATAN PALOLO (KASUS DI DESA SINTUWU) | Narwastu | GeoTadulako 9006 29525 1 SM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KORELASI TINGKAT PENGETAHUAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENANGGULANGAN LONGSOR DI KECAMATAN PALOLO (KASUS DI DESA SINTUWU) | Narwastu | GeoTadulako 9006 29525 1 SM"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

KORELASI TINGKAT PENGETAHUAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT

DALAM PENANGGULANGAN LONGSOR

DI KECAMATAN PALOLO (Kasus Di Desa Sintuwu)

DIAN NARWASTU LAPENTO

JURNAL

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

(2)

KORELASI TINGKAT PENGETAHUAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT

DALAM PENANGGULANGAN LONGSOR

DI KECAMATAN PALOLO (Kasus Di Desa Sintuwu)

Oleh

Dian Narwastu Lapento1), Lilik Prihadi Utomo 2), Irmasari3)

1. Mahasiswa Progragm Studi Pendidikan Geografi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tadulako, Palu

2. Staf dosen Program Studi Pendidikan Geografi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tadulako, Palu

3. Staf dosen Fakultas Kehutanan Universitas Tadulako, Palu

ABSTRAK

Dian Narwastu Lapento, 2017. Korelasi Tingkat Pengetahuan dan Partisipasi Masyarakat dalam Penanggulangan Longsor di Kecamatan Palolo (Kasus Di Desa Sintuwu). Skripsi. Program Studi Pendidikan Geografi, Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tadulako. Pembimbing (I) Lilik Prihadi Utomo., (II) Irmasari.

Telah dilakukan penelitian mengenai Korelasi Tingkat Pengetahuan dan Partisipasi Masyarakat dalam Penanggulangan Longsor di Kecamatan Palolo (Kasus Di Desa Sintuwu). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan tentang longsor dengan partisipasi masyarakat dalam penanggulangan longsor. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan pendekatan lingkungan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan dan partisipasi masyarakat dalam penanggulangan longsor dengan nilai koefisien korelasi (r)= 0,291 atau kategori rendah. Faktor-faktor yang mempengaruhi adalah: 1) tingkat pendidikan responden 51% adalah tamat SD sehingga berpengaruh terhadap pola pikir dalam hal partisipasi. 2) Tingkat pendapatan responden sebanyak 53,65% mempunyai penghasilan rendah yaitu <Rp.500.000 dengan pekerjaan sebagai petani. 3) opini responden sebanyak 53,65% responden berpendapat bahwa pemerintah bertanggung jawab dalam penanggulangan longsor.

(3)

ABSTRACT

Dian Narwastu Lapento, 2017. The correlation of the knowledge level and community participation in the prevention of landslides in Palolo district (A case study in Sintuwu village). Essay. Program Study of geography education, Department of social science education. Faculty of Teacher Training Education University of Tadulako. Supervisor (I) Lilik Prihadi Utomo., (II) Irmasari.

The research about correlation between the level of knowledge and community participation in managing landslide in Palolo district (The case study in Sintuwu village) has been done. The aims is to determine the correlation between the level of knowledge about landslide and community participation in managing landslide. The research in quantitative research using environmental approach. The results showed that there was a correlation between the level of knowledge and community participation in managing landslide with correlation coefficient (r)= 0,291 or low category. Factors that influence were: 1) The level education of respondents. As much 51% respondents only finished primary school so that it will effect the mindset in terms of participation. 2) The level income. As much 53,65% respondents has low income <Rp.500.000 with a job as a farmer. 3) The opinion of respondents. As much 53,65% respondents think that the government is responsible in managing landslide.

(4)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Wilayah Indonesia merupakan wilayah yang rawan terjadi bencana, karena Indonesia

terletak pada pertemuan tiga lempeng dunia yaitu lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia

dan lempeng Pasifik, sehingga membentuk jalur Gunung Api dan jalur gempa bumi. Adanya

pertemuan lempeng-lempeng tersebut menyebabkan zona penghujaman lempeng yang

merupakan jalur gempa bumi dan membentuk undulasi di busur kepulauan dengan

kemiringan terjal sampai sangat terjal. Selain itu, Indonesia juga terletak di daerah tropis

dengan curah hujan yang tinggi, dan memiliki topografi yang bervariasi. Adanya posisi yang

seperti itu, maka secara geologis, geomorfologi dan klimatologis Indonesia selalu mengalami

kerentanan terhadap bencana seperti: banjir, kemarau panjang, tsunami, gempa bumi, gunung

berapi dan tanah longsor.

Salah satu bencana alam yang sering terjadi di wilayah Indonesia adalah bencana

tanah longsor. Tanah longsor merupakan salah satu bencana alam yang selalu hampir terjadi

di setiap musim penghujan yang melanda daerah perbukitan pada daerah tropis basah karena

adanya curah hujan yang tinggi. Beberapa para ahli mendefinisikan Longsor merupakan

pergerakan batuan,tanah atau bahan rombakan material sebagai penyusun lereng yang

bergerak kearah bawah atau keluar lereng karena adanya pengaruh gravitasi.

Tanah Longsor terjadi jika gaya pendorong pada lereng lebih besar dibandingkan gaya

penahan lereng. Tanah longsor terjadi juga disebabkan semakin meluasnya pemanfaatan

lahan oleh manusia. Aktifitas masyarakat dalam memanfaatkan lahan untuk kepentingan

ekonomi seiring memicu tingginya tingkat kerawanan bencana tanah longsor. Penggunaan

lahan mempunyai pengaruh besar terhadap kondisi tanah dan air tanah, hal ini akan

mempengaruhi keseimbangan lereng. Pengaruhnya dapat bersifat memperbesar atau

memperkecil kekuatan geser tanah pembentuk lereng. Usaha penanggulangan bencana alam

akibat tanah longsor perlu dilakukan untuk mengurangi seminimal mungkin korban jiwa,

kerugian harta benda serta sarana dan prasaranaKegiatan manusia dikenal sebagai salah satu

faktor paling penting terhadap terjadinya tanah longsor yang cepat dan intensif.

Kegiatan-kegiatan tersebut berkaitan dengan perubahan penutup tanah akibat penggundulan hutan atau

pembabatan hutan untuk permukiman, lahan pertanian. Hal-hal yang mempengaruhi kegiatan

manusia berpotensi sebagai faktor penyebanya terjadinya longsor yaitu kurangnya

pengetahuan masyarakat tentang longsor itu sendiri, sehingga akan berpengaruh terhadap

(5)

Sulawesi Tengah tengah adalah salah satu daerah rawan bencana. Bencana yang

sering terjadi di provinsi Sulawesi Tengah meliputi bencana alam (gempa bumi, tsunami,

banjir bandang, tanah longsor) dan bencana sosial (konflik antar suku dan agama). Salah satu

bencana alam yang baru terjadi adalah bencana alam tanah longsor di Desa Sintuwu

Kecamatan Palolo Kabupaten Sigi pada tanggal 17 Mei 2016. Peristiwa tersebut adalah

peristiwa yang sampai menimbulkan kerusakan 1 buah masjid, 5 unit rumah rusak berat, 6

unit rumah rusak ringan, kerusakan jaringan air bersih ± 1 Km, terputusnya akses jalan ± 2

Km dan berpotensi mengakibatkan kerusakan lanjutan terhadap pemukiman penduduk,

sarana ibadah ( gereja) serta infrastruktur lainnya. (BPBD 2016). Faktor penyebab terjadinya

longsor di Desa Sintuwu adalah kondisi cuaca yang kurang kondusif, dimana sejak awal

bulan mei intensitas curah hujan dari awal bulan Mei 2016 cukup tinggi sebesar 290,5 mm (

BMKG Stasiun Meteorologi Mutiara Palu 2017).

Melihat kerentanan bencana tanah longsor yang terjadi di Kecamatan Palolo maka

penulis ingin mengetahui bagaimana pengetahuan masyarakat tentang bencana dan partisipasi

penanggulangan bencana. Hal ini menjadi penting disebabkan aspek pengetahuan sangat

berpengaruh pada cara masyarakat berpartisipasi di kawasan rawan bencana. Melihat

kejadian bencana yang baru-baru ini terjadi di Desa Sintuwu Kecamatan Palolo Kabupaten

Sigi maka penulis mengambil lokasi penelitian dilokasi tersebut. Utnuk itu penulis akan

melakukan penelitian dengan judul “ Korelasi Tingkat Pengetahuan Tentang Longsor Dengan

Partisipasi Masyarakat Dalam Penanggulangan Longsor di Kecamatan Palolo ( Kasus Di

Desa Sintuwu ).

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini bersifat penelitian kuantitatif dengan metode penelitian survey.

Menurut Sugiyono (2012) penelitian kuantitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian

yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau

sampel tertentu. Populasi penelitian yaitu jumlah KK yang terkena longsor. Teknik

pengambilan sampel dilakukan secara kuota sampling, pengumpulan data melalui wawancara

dan kuisioner, analisis data bersifat uji korelasi dengan tujuan untuk mencari hubungan antar

variabel.

Pendekatan penelitian menggunakan pendekatan lingkungan yaitu interelasi yang

menonjol antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Analisis lingkungan geografi

menelaah gejala interaksi dan interelasi antara komponen fisikal (alamiah) dengan nonfisik

(6)

a. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini yakni jumlah KK yang bertempat tinggal di wilayah

terkena longsor. Jumlah KK yang terkena longsor yakni 3 RT dengan sebaran sebagai berikut

:

RT 1 = 42 KK

RT 2 = 54 KK

RT 3 = 41 KK Jumlah keseluruhan 137 KK

Dalam penelitian ini penentuan sampel menggunakan pendekatan quota sampling

sebanyak 30% dari masing-masing RT. Hal ini dilakukan karena anggota populasi sejenis

atau homogen. Quota sampling adalah teknik mendasarkan jumlah yang telah ditentukan

(Suharsimi Arikunto, 2010). Sedangkan teknik penentuan sampel sebagai responden

menggunakan teknik undian. (Lihat pada Tabel 1).

Tabel 1. Responden Penelitian pada masing-masing RT

NO RT Populasi Responden (sampel)

Sumber : Hasil analisis data primer 2016

Selanjutnya memilih responden pada masing-masing RT menggunakan teknik acak.

b. Teknik Pengumpulan Data

(1) Observasi, metode ini dibutuhkan untuk langkah awal yang dilakukan peneliti yaitu untuk mendapatkan gambaran umum daerah penelitian pasca kejadian longsor; (2) Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini, menggunakan teknik wawancara mendalam (depth interview). Hal ini dilakukan untuk menggali informasi terhadap masyarakat terdampak longsor; (3) Kuisioner (Angket), Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi

seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawabnya.

(Sugiyono, 2014); (4) Dokumentasi adalah data yang berupa dokumen yang diperoleh di

lapangan berkaitan dengan obyek penelitian.

c. Pengolahan Data

(7)

Pengolahan data menggunakan statistik produk moment di bantu dengan program

SPSS. Analisis data mencari besaran nilai korelasi / nilai r. Klasifikasi nilai r menggunakan

klasifikasi sebagai berikut. Lihat pada Tabel 2.

Tabel 2. INTERPRETASI NILAI r

Sumber (Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, 2008 :201)

2) Pengolahan data

Data variabel X (pengetahuan) dan Y (partisipasi) yang terkumpul merupakan

data kuantitatif. Kemudian dibuatkan klasifikasi masing-masing variabel,

selanjutnya untuk mempermudah pengolahan data, peneliti memberikan skor pada

variabel X (pengetahuan) dan Y (partisipasi). Pengklasifikasian ini mengacu pada

penelitian Febriana Ika Setyari (2012), untuk tingkat pengetahuan masyarakat

tentang bencana tanah longsor menggunakan pengukuran 1)sangat tahu sekali,

2)tahu, 3)sedikit tahu, 4)tidak tahu, 5)tidak tahu sama sekali dengan penskoran 1-5.

Namun dalam penelitian ini telah dimodifikasi dengan pengukuran 1)tidak

mengetahui, 2)kurang mengetahui, 3)mengetahui, 4)sangat mengetahui dengan

penskoran 1-4 dan untuk pengukuran partisipasi yaitu 1)tidak berpartisipasi,

2)kurang berpartisipasi, 3)berpartisipasi, 4)sangat berpartisipasi dan penskoran 1-4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sebaran Tanah Longsor di Desa Sintuwu

Perkembangan suatu wilayah akan meningkatkan kebutuhan lahan sebagai tempat

tinggal dan aktivitas ekonomi, pihak lain ketersediaan lahan tidak mengalami perkembangan.

Aktivitas masyarakat dalam hal eksploitasi lahan tanpa memperhatikan daya dukung lahan

mengakibatkan tingkat kerawanan terhadap kebencanaan misalnya tanah longsor.

Pemanfaatan lahan sebagai area kebun dan pemukiman pada daerah rawan bencana tanah

(8)

Persebaran titik-titik longsor di daerah penelitian dilakukan melalui observasi

langsung dilapangan. Titik-titik longsor yang dituju didasarkan pada informasi longsor dari

penduduk Desa Tanah longsor yang terjadi di desa Sintuwu yaitu terjadi pada penggunaan

lahan kebun. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Aulia Bahadhori Mukti (2012) dengan

hasil penelitian bahwa “ titik-titik longsor yang terjadi di Kabupaten Garut Jawa Barat paling besar berada pada penggunaan lahan kebun campuran. Hal ini mengindikasikan bahwa

peluang terjadinya longsor pada penggunaan lahan kebun campuran cukup besar, sehingga

perlu diwaspadai atau perlu dilakukan pengelolaan yang baik, seperti pembuatan teras atau

konservasi tanah lainnya secara intensif karena sebagian kebun campuran berada pada

lereng-lereng yang curam”.

Sebaran titik longsor yaitu ada 3 titik. Pada titik 1 dengan koordinat S: 109’50,54” dan E: 12002’19,59’’ kejadian longsor yaitu berada dekat dengan aliran sungai, sehingga material longsor terbawa oleh aliran sungai menuju area pemukiman. Hal ini berdampak pada

kerusakan sarana ibadah, rumah warga dan akses jalan.

Pada titik 2 dengan koordinat S: 109’53” dan E: 12002’25’’ kejadian longsor pada titik ini terjadi pada area perkebunan dengan material longsor menutupi akses jalan yang menuju

ke RT 1. Hal ini tidak berdampak pada kerusakan yang parah karena terjadi hanya pada akses

jalan. Pada titik 3 dengan koordinat S: 1010’3” dan E: 12002’32’’ kejadian longsor pada titik ini hanya terjadi pada area kebun. Namun jika tidak dilakukan pencegahan maka akan

berdampak terhadap pemukiman, karena letak pemukiman dengan kebun sangat berdekatan.

Berdasarkan ketiga titik longsor tersebut titik longsor terparah terjadi pada titik

longsor pertama karena berdampak langsung dengan area pemukiman yang mengakibatkan

kerusakan sarana ibadah, rumah warga dan akses jalan. Untuk melihat titik longsor lebih jelas

maka penggunaan skala dalam Peta Sebaran Titik longsor, harus lebih detail. Sehingga

mempermudah dalam membaca peta. Dalam penelitian ini peta sebaran longsor dilihat

berdasarkan peta penggunaan lahan dengan skala awal 1 : 60.000 (1 cm di peta sama dengan

600 m di lapangan) diubah menjadi skala 1 : 20.000 (1 cm di peta sama dengan 200 m di

lapangan). (Gambar 1)

Titik-titik longsor di Desa Sintuwu tersebar pada daerah perbukitan. Untuk persebaran

titik-titik longsor di wilayah ini tampak mempunyai pola memanjang. Pola memanjang ini

sesungguhnya lebih disebabkan oleh pola jalan yang dipakai untuk mencari titik-titik longsor,

karena longsor banyak ditemukan tidak jauh dari tepi jalan. Dengan demikian sesungguhnya

masih dimungkinkan terdapat titik-titik longsor lain yang belum dapat ditemukan

(9)

Berdasarkan peta lereng didapatkan hasil bahwa kejadian longsor terjadi pada

kemiringan >40%, 30%-40%, dan 20%-30%. Dapat disimpulkan bahwa kemiringan lereng

mempunyai pengaruh yang besar sebagai penyebab terjadinya tanah longsor. Semakin terjal

suatu lereng maka material yang ada di atas permukaan tersebut akan semakin mudah untuk

jatuh/tergelincir ke bawah oleh adanya gaya gravitasi. Hal ini sejalan dengan pendapat

Parlindungan dkk, (2008) menyatakan bahwa “longsor terjadi apabila ada gangguan

keseimbangan lereng, dimana gaya pendorong menjadi lebih besar daripada gaya penahan.

Gaya pendorong dapat disebabkan oleh faktor-faktor luar, seperti pengaruh air (air hujan,

kolam ikan, bak mandi, atau selang pipa air yang bocor), kemiringan lereng yang besar, atau

adanya pengelupasan lereng oleh manusia (perubahan tata guna lahan), dan pendirian

bangunan pada puncak bukit. Karena gaya penahan akan sangat tergantung pada jenis

tanahnya”.

Titik longsor yang terjadinya pada daerah penelitian berada pada jenis tanah ultisol.

Tanah ultisol terbentuk pada sembarang induk, terutama yang berumur Plistosen atau yang

lebih tua. Hal ini menandakan bahwa kaitan antara bahan induk, umur formasi geologi

(proses pelapukan), dan jenis tanah yang terbentuk mempunyai kaitan erat sebagai pemicu

terjadinya longsor.

Berdasarkan hal ini, maka peluang terjadinya longsor diwilayah ini cukup logis,

dikarenakan bahan yang siap dilongsorkan sudah cukup tersedia (solum tanah dalam), apalagi

ditunjang oleh kondisi topografi berupa perbukitan yang pada umumnya kaya dengan lereng

yang miring hingga terjal.

Berdasarkan data curah hujan yang ada, adanya titik longsor berkaitan erat dengan

curah hujan. Seperti diketahui bahwa curah hujan bersifat sebagai pemicu terjadinya longsor,

apalagi terhadap tanah-tanah yang berusia lanjut pada wilayah ini. Hal tersebut

memperlihatkan bahwa peluang terjadinya longsor di daerah penelitian memperlihatkan

kecenderungan bahwa semakin besar curah hujan maka semakin besar pula peluang

terjadinya longsor.

Pernyataan ini diperkuat oleh pendapat Zakaria (2011) bahwa curah hujan

mempengaruhi kadar air dan kejenuhan air sehingga memicu terjadinya longsor. hujan dapat

meningkatkan kadar air dalam tanah dan menyebabkan kondisi fisik tubuh lereng

berubah-ubah. Kenaikan kadar air tanah akan memperlemah sifat fisik-mekanik tanah yang

(10)

Korelasi Antara Pengetahuan Dan Partisipasi Masyarakat Dalam Penanggulangan

Longsor

Uji korelasi pengetahuan dan partisipasi masyarakat dalam penanggulangan longsor di

daerah penelitian sebanyak 41 responden, menunjukkan bahwa hasil nilai r=0,291. Hubungan

pengetahuan dan partisipasi masyarakat dalam penanggulangan longsor menunjukan

hubungan rendah.

Melihat hubungan antara pengetahuan dan partisipasi masyarakat dalam

penanggulangan longsor rendah maka dapat disimpulkan bahwa ada faktor-faktor yang

mempengaruhi rendahnya hubungan tingkat pengetahuan dan partisipasi masyarakat dalam

penanggulangan longsor. Apabila dilihat tingkat pengetahuan tentang longsor 61% responden

di daerah penelitian masuk dalam kategori kurang mengetahui. Dalam artian bahwa tingkat

pengetahuan masyarakat tersebut sudah mengetahui namun tidak terlalu mendalam tetapi

secara garis besar mereka memahami penyebab dan akibat serta pencegahan longsor tersebut.

Menurut Burhanuddin Salam (2000) pengetahuan yang dimiliki manusia ada 4 yaitu :

pengetahuan biasa karena seseorang memiliki sesuatu dimana ia menerima secara baik,

pengetahuan ilmu adalah pengetahuan yang diperolehnya dengan ilmu melalui observasi,

(11)

pada universalitas dan kedalaman kajian tentang sesuatu. dan pengetahuan agama adalah

pengetahuan yang diperoleh dari Tuhan.

Contoh-contoh pengetahuan untuk pencegahan tanah longsor untuk mengurangi

dampak bencana yaitu : 1) kenali daerah tempat tinggal kita sehingga jika terdapat ciri-ciri

daerah rawan longsor kita dapat menghindar, 2) tanami daerah lereng dengan tanaman yang

sistem perakarannya dalam ( akar tunggang), 3) sealalu waspada pada saat musim hujan

terutama pada saat curah hujan yang tinggi dalam waktu lama.

Tingkat pengetahuan, ternyata berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat dalam

penanggulangan longsor, hal ini ditunjukan dari persentase tertinggi masyarakat yang tidak

berpartisipasi. Masyarakat yang masuk kategori berpartisipasi hanya mencapai 7,3%, kurang

berpartisipasi mencapai 39%, tidak berpartisipasi mencapai 53,7% dari 41 responden.

Melihat kondisi diatas faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya hubungan tingkat

pengetahuan dan partisipasi masyarakat dalam penanggulangan longsor yaitu tingkat

pendidikan responden 51% adalah tamatan SD. Pendidikan akan berpengaruh terhadap pada

pola pikir seseorang, dikarenakan pendidikan merupakan proses pengembangan pengetahuan,

keterampilan dan sikap seseorang yang dilakukan secara terencana, sehingga memperoleh

perubahan bagi peningkatan hidup. Hal ini sesuai dengan pendapat Notoatmodjo (2007),

bahwa tingkat pendidikan yang tinggi akan meningkatkan pengetahuan. Semakin rendah

tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin rendah juga pola pikirnya dalam hal

partisipasi.

Tingkat pendapatan responden adalah 53,65% mempunyai penghasilan rendah yaitu

<Rp.500.000, dengan pekerjaan sebagai petani. Hal ini akan berpengaruh terhadap

partisipasi masyarakat dalam penganggulangan longsor di daerah penelitian. Ketika tingkat

pendapatan rendah, maka hal yang akan dilakukan untuk menambah penghasilan, masyarakat

akan mencari pekerjaan sampingan sehingga kurang mempunyai waktu untuk berpartisipasi

dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk penanggulangan longsor.

Pengetahuan tentang pencegahan tanah longsor adalah sebesar 53,65%. responden

memiliki pandangan bahwa pemerintah yang memiliki kekuasaan daerah, pemerintah berhak

memberdayakan masyarakat untuk berperan serta dalam pencegahan longsor. sehingga yang

seharusnya dilakukan masyarakat untuk pencegahan longsor mereka cenderung tidak tahu,

karena hanya menunggu pelaksanaan program dari pemerintah.

Sehingga dalam hal ini kegiatan-kegiatan sosialisasi atau penyuluhan harus

dilaksanakan untuk lebih memberikan pemahaman dan informasi tentang pentingnya

(12)

Bentuk partisipasi masyarakat dalam penanggulangan Tanah Longsor Di Desa Sintuwu

Bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dalam penanggulangan tanah longsor yang

telah dilakukan atau sementara diupayakan pemerintah Desa Sintuwu yaitu :

1. Menyusun rancangan kegiatan penanggulangan tanah longsor

Dalam hal ini masyarakat bersama dengan pemerintah Desa sama-sama mengambil

bagian dalam penyusunan rancangan kegiatan penanggulangan longsor, serta ikut

memberikan pendapat atau ide-ide yang bersifat membangun untuk kegiatan

penanggulangan.

2. Memberikan penyuluhan kepada masyarakat

Terkait tanah longsor dan bahaya yang mengikutinya. Seringkali penyebab rusaknya

kawasan hutan sekitar lereng karena dilakukannya penebangan pohon oleh

masyarakat sekitar yang memang belum memiliki kesadaran dan pengetahuan

mengenai dampak negatif yang akan terjadi. Dengan memberikan penyuluhan akan

membuka wawasan dan kesadaran dari masyarakat untuk tidak melakukan hal-hal

yang dapat memicu terjadinya bencana.

3. Reboisasi dan Penghijauan

Kegiatan reboisasi merupakan penghutanan kembali kawasan hutan bekas tebangan

maupun lahan-lahan kosong yang terdapat di dalam kawasan hutan. Reboisasi

meliputi kegiatan permudaan pohon, penanaman jenis pohon lainnya di area hutan

lindung sesuai rencana tata guna lahan yang diperuntukkan sebagai hutan. Dengan

demikian, membangun hutan baru pada area bekas tebang habis, bekas tebang pilih

atau pada lahan kosong lainnya yang terdapat dalam kawasan hutan termasuk

reboisasi. Penghijauan merupakan kegiatan penanaman pada lahan kosong di luar

kawasan hutan, terutama pada tanah milik rakyat dengan tanaman keras, misalnya

jenis-jenis pohon hutan, pohon buah, tanaman perkebunan, tanaman penguat teras,

tanaman pupuk hijau, dan rumput pakan ternak. Tujuan penanaman ini agar lahan

tersebut dapat dipulihkan, dipertahankan, dan ditingkatkan kembali kesuburannya.

Yang termasuk dalam rangkaian kegiatan penghijauan misalnya pembuatan

sengkedan (terasering).

Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Desa ( Bapak Abidin) pemerintah Desa telah

(13)

bibit pohon telah diadakan namun terkendala pada pembagian bibit yang belum merata

sampai kepada masyarakat. sehingga sampai sekarang sebagian masyarakat masih menunggu

bantuan bibit tersebut.

KESMIPULAN DAN SARAN

a. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan sebagai berikut.

1. Nilai koefisien korelasi (r) = 0,291 dapat disimpulkan bahwa berdasarkan

pedoman interpretasi koefisien korelasi menyatakan hubungan pengetahuan dan

partisipasi masyarakat dalam penanggulangan longsor menunjukan hubungan

rendah.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya partisipasi masyarakat yaitu :

tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan peran pemerintah.

b. Saran

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat diberikan saran-saran sebagai berikut:

1. Perlu dilakukan penyuluhan untuk meningkatkan pengetahuan dan partisipasi

masyarakat dalam penanggulangan longsor.

2. Perlu adanya kesadaran dari masyarakat akan pentingnya partisipasi dalam

penanggulangan longsor.

DAFTAR RUJUKAN

Anonim (2017). Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Stasiun Meteorologi Mutiara Palu , Tahun 2017.

(2016). Badan Penanggulangan Bencana Daerah. Kabupaten Sigi. Tahun 2016

Arikunto Suharsimi. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. PT Rineka Cipta. Jakarta.

Mukti A B. (2012). “Pola Persebaran Titik Longsor Dan Keterkaitannya Dengan Faktor-Faktor Biogeofisik Lahan (Studi Kasus : Kabupaten Garut Jawa Barat). Skripsi. Bogor: Program Studi Manajemen Sumberdaya Lahan Departemen Ilmu Tanah Dan Sumber Daya Lahan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. (Diunduh tanggal 16 Juni 2017).

Notoatmodjo. (2007). Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka Cipta

(14)

Salam, B. (2000). Pengantar Filsafat. Jaakarta : Bina Aksara

Setyari F I. (2012). “Pemahaman Masyarakat terhadap tingkat kerentanan bencana tanah longsor di desa Tieng kecamatan kejajar kabupaten wonosobo. Skripsi. Yogyakarta: Program Studi Pendidikan Geografi Fakultas Ilmu Soisial Sosial Universitas Negeri Yogyakarta. (Diunduh tanggal 04 Agustus 2016).

Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

(2014). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Usman H dan Akbar P S. (2008), Pengantar Statistik. Bumi Aksara. Jakarta.

Gambar

Tabel 2. INTERPRETASI NILAI r

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan terhadap kepatuhan ( p- value= 0,044), sehingga diketahui terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan ibu hamil

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dengan partisipasi pria dalam KB kondom di desa Bangsalan Kecamatan

Dengan demikian, secara statistik hipotesis yang menyatakan terdapat hubungan antara sikap masyarakat (X1) dan tingkat pendidikan (X2) dengan partisipasi masyarakat (Y)

Dari hasil temuan lapangan mengenai partisipasi masyarakat dalam penanggulangan bencana yang dilakukan di Desa Sindangjaya Kecamatan Cikalong dapat diketahui upaya

Tingkat partisipasi masyarakat terbanyak berada pada tingkat informing sebesar 32% , yaitu meskipun tidak memiliki pengetahuan mengenai pengelolaan air bersih, masyarakat

Hasil penelitian yang terkait dengan partisipasi masyarakat setempat dalam keikutsertaannya mengelola ekowisata mangrove Wonorejo menunjukkan hasil tingkat

Tingkat partisipasi masyarakat terbanyak berada pada tingkat informing sebesar 32%, yaitu meskipun tidak memiliki pengetahuan mengenai pengelolaan air bersih, masyarakat

SARAN Dalam penelitian ini terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan dengan tindakan kesiapsiagaan dalam penanggulangan bencana kebakaran, sehingga disarankan