• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGETAHUAN MASYARAKAT TERHADAP PENYEBAB DAN MITIGASI BENCANA LONGSOR DI KABUPATEN DAIRI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENGETAHUAN MASYARAKAT TERHADAP PENYEBAB DAN MITIGASI BENCANA LONGSOR DI KABUPATEN DAIRI"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

DI KABUPATEN DAIRI

SKRIPSI

KHAIRUNNISA NASUTION 151201008

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(2)

SKRIPSI

Oleh:

KHAIRUNNISA NASUTION 151201008

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan

Universitas Sumatera Utara

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(3)
(4)

PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : Khairunnisa Nasution

NIM : 151201008

Judul Skripsi : Pengetahuan Masyarakat Terahadap Penyebab dan Mitigasi Bencana Longsor di Kabupaten Dairi

Menyatakan Bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri. Pengutipan pengutipan yang penulis lakukan pada bagian bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan skripsi ini, telah penulis cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Medan, Januari 2020

Khairunnisa Nasution 151201008 .

(5)

ABSTRAK

KHAIRUNNISA NASUTION: Pengetahuan Masyarakat Terhadap Penyebab dan Mitigasi Bencana Longsor di Kabupaten Dairi. Dibawah bimbingan ACHMAD SIDDIK THOHA.

Pengetahuan masyarakat terhadap penyebab dan mitigasi bencana merupakan suatu pengetahuan yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat, karena bencana merupakan suatu kejadian yang banyak memeberikan efek negatif bagi kehidupan manusia dan tidak menutup kemungkinan bencana akan datang kapan saja dan di mana saja. Berdasarkan informasi tersebut maka perlu dilakukan pengetahuan mengenai kebencanaan kepada seluruh masyarakat khususnya masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana longsor. Lokasi Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Dairi, terkhususnya di Kecamatan Silahisabungan yaitu Desa Silalahi III dan Desa Paropo I, Kecamatan Silima Punggapungga yaitu Desa Bongkaras dan Kecamatan Tanah Pinem yaitu Desa Mangan Molih. Penelitian ini menggunakan metode pengambilan sampel 10% dari total populasi dan pengumpulan data menggunakan kuesioner. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat terhadap penyebab longsor di Kabupaten Dairi yang paling dominan adalah kondisi topografi yang curam, curah hujan yang tinggi, serta aktifitas manusia yaitu perambahan hutan. Pengetahuan masyarakat terkait mitigasi bencana longsor di lokasi studi masih terbatas pada upaya ketika terjadi bencana. Adapun pengetahuan masyarakat akan terjadinya bencana, peringatan dini saat bencana dan pasca bencana masih belum merata. Umumnya masyarakat melakukan mitigasi setelah timbul bencana longsor, sedangkan upaya antisipasi dan pemulihan pasca bencana belum dilakukan. pemerintah dan pihak- pihak terkait melakukan penyuluhan dan memperkuat pengetahuan masyarakat dengan sosialisasi yang melibatkan masyarakat untuk ikut terlibat dalam mengurangi bencana longsor.

Kata kunci : Pengetahuan masyarakat, Penyebab dan Mitigasi Bencana Longsor, Kabupaten Dairi.

(6)

ABSTRACT

KHAIRUNNISA NASUTION: Public Knowledge of the Causes and Mitigation of Landslides in Dairi District. Supervised of ACHMAD SIDDIK THOHA.

Public knowledge of the causes and mitigation of disasters is a knowledge that is very important for people's lives, because disaster is an event that has many negative effects on human life and does not rule out disasters that will come anytime and anywhere. Based on this information it is necessary to do knowledge about disaster to all communities, especially people who live in areas prone to landslides. The location of this research was conducted in Dairi Regency, specifically in Silahisabung District, Silalahi III Village and Paropo I Village, Silima Punggapungga District, Bongkaras Village and Tanah Pinem District, Mangan Molih Village. This study uses a sampling method of 10% of the total population and data collection using a questionnaire. The results of this study indicate that the most dominant public knowledge of the causes of landslides in Dairi Regency is steep topographic conditions, high rainfall, and human activities, namely forest encroachment. Public knowledge related to landslide mitigation in the study location is still limited to efforts when a disaster occurs. As for the public's knowledge of the occurrence of disasters, early warning during disasters and post-disasters is still uneven. In general, people mitigate after landslides, while efforts to anticipate and recover from disasters have not yet been made. the government and related parties conduct counseling and strengthen public knowledge through socialization involving the community to get involved in reducing landslides.

Keywords: Public knowledge, Causes and Mitigations of Landslide, Dairi District.

(7)

RIWAYAT HIDUP

Khairunnisa Nasution lahir di Pangkalan Susu, Provinsi Sumatera Utara pada 15 Mei 1997 dari Bapak Abdul Gani Nasution dan Ibu Sri Kurnia Dewi. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara.

Pada tahun 2009 Penulis lulus dari SD Swasta Dharma Patra Pangkalan Susu, kemudian penulis melanjutkan studi ke SMP Negeri 1 Pangkalan Susu dan lulus tahun 2012. Penulis lulus pada tahun 2015 dari SMA Negeri 1 BABALAN P.

Berandan dan tahun 2015, penulis diterima di Universitas Sumatera Utara (USU) melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) sebagai mahasiswa di Fakultas Kehutanan Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis juga bergabung dalam unit Rain Forest, dan HIMAKOVI (Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan).

Pada tahun 2017, penulis mengikuti kegiatan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di KHDTK Pondok Buluh selama Sepuluh hari. Pada tahun 2017, penulis pun masuk ke Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan. Penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNKS) DKI Jakarta selama Tiga puluh hari tahun 2018.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan segala berkat dan rahmat-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Pengetahuan Masyarakat Terhadap Penyebab dan Mitigasi Bencana Longsor di Kabupaten Dairi” ini berhasil diselesaikan dengan baik. Skripsi ini merupakan suatu aplikasi ilmu yang didapat dari pembelajaran di ruang perkuliahan dan syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan (S.Hut).

Penulis banyak menerima bimbingan, motivasi, saran dan juga doa dari berbagai pihak selama penulisan skripsi ini. Teristimewa dari kedua orang tua yang penuh dengan dukungan moril serta materil yang sangat penulis sayangi yaitu Ayahanda Abdul Gani Nasution dan Ibunda Sri Kurnia Dewi beserta keluarga besar penulis yang tidak pernah berhenti memberikan kasih sayang, doa, dukungan, materil serta juga nasihat yang tulus sampai sekarang ini.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Achmad Siddik Thoha, S.Hut., M.Si selaku dosen pembimbing yang senantiasa meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan ilmu, serta memberikan kritik dan saran terhadap penulisan skripsi ini.

2. Siti Latifah, S.Hut., M.Si., Ph.D. selaku Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Achmad Siddik Thoha, S.Hut., M.Si selaku Ketua Departemen Konservasi Hutan dan Dr. Nurdin Sulistyono, S.Hut., M.Si. selaku Sekretaris Departemen Konservasi Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara,

4. Dosen penguji sidang meja hijau ibu Dr. Deni Elfiati, S.P., M.P selaku dosen penguji I, bapak Dr. Apri Heri Iswanto, S.Hut, M.Si selaku dosen penguji II, dan ibu Dr. Anita Zaitunah S.Hut, M.Sc selaku dosen penguji III .

5. Rekan tim peneliti Divisi Mitigasi Bencana Dan Konflik yaitu Reza Azwar, Siti Aisyah, Hesty Triani, dan Dela Sundari yang telah membantu pelaksanaan dan memberikan semangat serta kerjasama yang baik saat penelitian. Sahabat yang selalu memberi dukungan semangat yaitu, heweh-heweh squad. Konservasi Sumberdaya Hutan 2015. HUT A 2015, Kehutanan 2015 atas dukungan dan doanya yang selalu memberikan semangat kepada penulis.

6. Abang Radinal Muchtar Rangkuti, S.T yang telah membantu dan memberikan semangat kepada penulis.

Penulis sangat mengharapkan kritik, saran, dan masukan dari pembaca karena penulis sadar penelitian ini tidaklah sempurna. Semoga penelitian ini akan memberikan manfaat dan menyumbangkan kemajuan bagi ilmu pengetahuan, khususnya di bidang kehutanan. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, Januari 2020

Khairunnisa Nasution

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

PENGESAHAN SKRIPSI ... i

PERNYATAAN ORISINALITAS ... ii

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

RIWAYAT HIDUP ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Bencana Alam Longsor ... 4

Faktor Penyebab Bencana Longsor ... 4

Dampak Bencana Longsor ... 5

Parameter Bahaya Tanah Longsor ... 5

pengetahuan masyarakat terhadap bencana longsor ... 6

mitigasi bencana longsor ... 6

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat ... 8

Alat Penelitian ... 8

Prosedur Penelitian ... 9

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitan ... 10

Karakteristik Reponden ... 11

Karakteristik Bencana Longsor ... .14

Upaya Mitigasi Bencana Longsor Berbasis Masyarakat ... 20

KESIMPULAN DAN SARAN ... 30

DAFTAR PUSTAKA ... 31

LAMPIRAN ... 35

(10)

DAFTAR TABEL

No Teks Halaman

1. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dan Umur ... 11 2. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan dan Jenis Pekerjaan ... 12 3. Upaya Peringatan dan Penyebaran Informasi Bencana Longsor ... 21 4. Tanda Terjadinya Longsor dan Tindakan yang Dilakukan Masyarakat .... 23 5. Kesiapan Masyarakat dalam Menghadapi dan Upaya yang Dilakukan ... 26

(11)

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1. Peta Administrasi Kabupaten Dairi Provinsi Sumatera Utara ... 10

2. Peta Kemiringan Lereng ... 14

3. Peta Curah Hujan. ... 15

4. Frekuensi Terjadinya Longsor. ... 18

5. Aktifitas Masyarakat yang Terdapat pada Daerah Rawan Longsor ….. 19

6. Dampak Sosial Masyarakat Pasca Bencana Longsor……….. 20

7. Persentase Pengetahuan Masyarakat terhadap Rawan Longsor ... . 22

8. Papan Peringatan Bahaya Longsor di Kecamatan Silahisabungan ... 24

9. Tindakan Masyarakat Pasca Terjadi Bencana Tanah Longsor ... 26

10. Penyebab Bencana Tanah Longsor Menurut Persepsi Masyarakat ... 27

11. Persepsi Pengaruh Hutan terhadap Tanah Longsor………... 28

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

No Teks Halaman

1. Kuisioner untuk masyarakat yang menjadi responden ... 35

2. Jawaban Responden Berdasarkan Kuisioner ... 39

3. Persentase Distribusi Jawaban Responden ... 42

4. Poto Lokasi Longsor di Desa Mangan Molih dan Bongkaras ... 45

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan adalah sebutan bagi sebuah kawasan luas yang dipadati dengan tumbuh tumbuhan. Keberadaan hutan sangat penting mengingat kawasan hutan yang memiliki banyak manfaat, mulai dari manfaat ekologis, sosial budaya, dan juga manfaat ekonomis. Manfaat ekologis hutan dapat dilihat dari fungsi hutan yang menjadi habitat bagi kehidupan liar, pengatur tata air bagi kawasan sekitarnya, pengendali iklim mikro, juga penghasil oksigen. Sedangkan manfaat sosial budaya dapat dilihat bahwa banyak suku asli Indonesia yang menggantungkan kehidupannya pada hutan (Kamilia, 2015).

Tanah longsor merupakan salah satu bentuk hasil gerakan massa (mass movement) di sepanjang bidang luncurnya (bidang longsor nya) kritis.

Gerakan massa adalah perpindahan massa batuan, regolit dan tanah dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah karena pengaruh gaya gravitasi. Kebanyakan longsornya lereng tanah di Indonesia terjadi sesudah hujan lebat atau hujan yang berlangsung lama. Kejadian bahaya longsor (gerakan massa tanah) sering terjadi pada banyak tempat di Indonesia terutama di daerah-daerah lereng curam/terjal.

Dengan banyaknya kejadian longsor tersebut dapat menimbulkan berbagai permasalahan (tipe, faktor yang mempengaruhinya maupun waktu dan tempat kejadiannya) baik sebelum, saat dan pasca kejadian longsor. Secara prinsip tanah longsor terjadi jika gaya pendorong pada lereng bagian atas lebih besar dari pada gaya penahan (Priyono, 2015).

Dibandingkan dengan erosi, kejadian longsor sering memberikan dampak yang bersifat langsung dalam waktu yang singkat dan menjadi bencana. Hal ini dikarenakan proses pelepasan, pengangkutan dan pergerakannya berlangsung dalam waktu yang cepat dengan material yang jauh lebih besar atau lebih banyak jika dibandingkan dengan kejadian erosi. Oleh karena itu pengetahuan, pengenalan dan identifikasi area-area yang berpotensi longsor menjadi sangat penting. Upaya upaya antisipasi kejadian longsor dapat dimulai dengan melakukan identifikasi daerah rawan longsor, melakukan pemetaan daerah-daerah rawan longsor, menyusun rencana tindak penanggulangan longsor dan

(14)

implementasinya di daerah-daerah rawan longsor. Penanggulangan longsor pada dasarnya adalah pengendalian tata ruang dan penggunaan lahan serta penguatan

tebing pada kawasan-kawasan yang rentan terhadap bahaya longsor (Risdiyanto, 2016).

Pendidikan dan pengetahuan masyarakat mengenai bencana sangat penting dalam mengurangi risiko bencana. Masyarakat hendaknya mengetahui daerah mereka rawan akan berbagai ancaman bencana seperti, bencana gunung meletus dan gempa bumi. Pendidikan dan pengetahuan masyarakat mengenai bencana sangat penting dalam mengurangi risiko bencana dan meminimalisir terjadinya kerugian dan jatuhnya korban akibat bencana khususnya bencana alam longsor.

Hal tersebut perlu dilakukan karena potensi yang tinggi terkait tentang bencana alam longsor.

Mekanisme dalam menghadapi kejadian (coping mechanism) terbentuk dan lahir dari pengalaman, pengetahuan, pemahaman, dan pemaknaan terhadap setiap kejadian, fenomena, harapan dan masalah yang terjadi di sekitarnya.

Mekanisme tersebut diteruskan lewat proses sosialisasi dari generasi ke generasi dan pelaksanaannya tergantung pada kadar kualitas pemahaman dan implikasinya dalam kehidupan mereka. Sementara itu, berbagai pihak yang lain mungkin pula memiliki pengetahuan dan pemaknaan yang berbeda terhadap suatu kejadian atau fenomena yang dihadapi oleh suatu masyarakat lokal. Hal ini juga terbentuk dari proses panjang dan berkaitan dengan berbagai faktor seperti sistem pengetahuan yang digunakan, pengalaman, kepentingan, posisi sosial, dan sebagainya. Selama bertahun tahun masyarakat lokal telah memberikan tanggapan pada lingkungan mereka dan menyesuaikannya dengan perubahan, menggunakan baik ilmu pengetahuan modern maupun pengetahuan lokal (BNPB, 2012).

Berdasarkan informasi tersebut maka perlu dilakukan pengetahuan mengenai kebencanaan kepada seluruh masyarakat khususnya masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana longsor seperti di Kabupaten Dairi. Salah satu upaya untuk mendukung pencegahan yang efektif dan efesien adalah melalui penyediaan informasi tingkat kerentanan longsor dengan memanfaatkan hasil penelitian terkait tempat, terkait pengetahuan masyarakat terhadap penyebab dan mitigasi yang bisa dilakukan masyarakat.

(15)

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi penyebab bencana longsor berdasarkan pengetahuan masyarakat di Kabupaten Dairi.

2. Menentukan upaya mitigasi yang sesuai dengan pengetahuan masyarakat untuk menurunkan risiko bencana longsor di Kabupaten Dairi.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagaiberikut:

1. Sebagai sumber informasi mengenai kerugian yang di derita masyarakat akibat terjadinya bencana alam longsor.

2. Sebagai bahan evaluasi untuk menilai pengetahuan masyarakat dalam melakukan mitigasi bencana alam longsor.

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Bencana Alam Longsor

Bencana alam merupakan fenomena alam yang dapat terjadi setiap saat, dimana pun dan kapan pun, sehingga dapat menimbulkan kerugian material dan imaterial bagi kehidupan masyarakat. Indonesia memiliki kondisi alam yang tergolong rawan terhadap bencana-bencana seperti gempa, tsunami, dan longsor.

Namun bencana yang hampir terjadi pada setiap wilayah di Indonesia terutama saat intensitas hujan tinggi adalah bencana longsor, karena sekitar 45% luas lahan di Indonesia adalah lahan pegunungan berlereng yang peka terhadap longsor dan erosi. Beberapa parameter yang terdiri dari faktor faktor penyebab longsor antara lain iklim (curah hujan), topografi (kemiringan dan panjang lereng), vegetasi (penggunaan lahan), tanah (jenis tanah) dan faktor tindakan konservasi (pengelolaan tanah) dan faktor faktor lain (geomorfologi / bentuk lahan, tekstur tanah, kelembaban tanah, dan geologi) (Annisa, 2015).

Bencana alam sebagai salah satu fenomena alam dapat terjadi setiap saat, di manapun dan kapan pun, sehingga dapat menimbul kan kerugian material dan imaterial bagi kehidupan masyarakat. Bencana tanah longsor adalah salah satu bencana alam yang sering mengakibatkan kerugian harta benda maupun korban jiwa serta menimbulkan kerusakan sarana dan prasarana yang bisa berdampak pada kondisi ekonomi dan sosial. Tanah longsor adalah suatu dari proses gangguan keseimbangan yang menyebabkan bergeraknya massa tanah dan batuan dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah. Pergerakan tersebut terjadi karena adanya faktor gaya yang terletak pada bidang tanah yang tidak rata atau disebut dengan lereng (Kurniawan, 2018).

Faktor Penyebab Bencana Alam Longsor

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kerentanan masyarakat pada kawasan rawan tanah longsor ditinjau dari teori-teori terkait kerentanan longsor berdasarkan kerentanan lingkungan, fisik, sosial dan ekonomi.Ada tiga hal utama yang menyebabkan kelongsoran, yaitu faktor topografi, drainase, dan geologi (Apriyono, 2009)

(17)

Dampak Bencana Alam Longsor

Menurut Nandi (2007) banyak dampak yang ditimbulkan akibat terjadinya tanah longsor baik dampak terhadap kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan maupun dampak terhadap keseimbangan lingkungan.

1. Dampak terhadap Kehidupan

Terjadinya bencana tanah longsor memiliki dampak yang sangat besar terhadap kehidupan, khususnya manusia. Bila tanah longsor itu terjadi pada wilayah yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi, maka korban jiwa yangditimbulkan akan sangat besar, terutama bencana tanah longsor itu terjadi secara tiba-tiba tanpa diawali adanya tanda-tanda akan terjadinya tanah longsor.

Menurut (Arif, 2015) adapun dampak yang ditimbulkan dengan terjadinya tanah longsor terhadap kehidupan adalah sebagai berikut.

a. Bencana longsor banyak menelan korban jiwa.

b. Terjadinya kerusakan infrastruktur publik seperti jalan, jembatan dan sebagainya.

c. Kerusakan bangunan seperti gedung perkantoran dan perumahan penduduk serta sarana peribadatan.

d. Menghambat proses aktivitas manusia dan merugikan baik masyarakat yang terdapat di sekitar bencana maupun pemerintahan.

2. Dampak terhadap Lingkungan

Adapun dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan akibat terjadinya tanah longsor adalah sebagai berikut:

a. Terjadinya kerusakan lahan.

b. Hilangnya vegetasi penutup lahan.

c. Terganggunya keseimbangan ekosistem.

d. Lahan menjadi kritis sehingga cadangan air bawah tanah menipis.

e. Terjadinya tanah longsor dapat menutup lahan yang lain seperti sawah, kebun dan lahan produktif lainnya.

Parameter Bahaya Tanah Longsor

Tanah longsor terjadi kerena ada gangguan kestabilan pda tanah/ batuan penyusun lereng. Gangguan kestabilan lereng tersebut dapat dikontrol oleh kondisi morfologi (terutama kemiringan lereng), kondisi batuan/tanah penyusun

(18)

lereng, dan kondisi hidrologi atau tata air pada lereng. Secara umum kejadian longsor disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor pendorong dan faktor pemicu.

Faktor pendorong adalah faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi material sendiri, sedangkan faktor pemicu adalah faktor yang menyebabkan bergeraknya material tersebut. Potensi terjadinya pada lereng tergantung pada kondisi batuan dan tanah penyusunannya, struktur geologi, curah hujan dan penggunaan lahan.

Tanah longsor umumnya terjadi pada musim hujan dengan curah hujan yang tinggi. Tanah yang kasar akan lebih berisiko terjadi longsor karena tanah tersebut mempunyai kohesi agregat tanah yang rendah (Faizana, 2014)

Pegetahuan Masyarakat terhadap Bencana Alam Longsor

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, yang didapatkan seseorang melalui proses penginderaan terhadap suatu kejadian tertentu. Masyarakat sebagai pelaku awal penanggulangan bencana sekaligus korban bencana telah melihat, mengamati, mendengar dan merasakan secara langsung bagaimana terjadinya tanah longsor di lingkungannnya (Juhadi, 2016).

Menurut Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) nomor 4 tahun 2008 dinyatakan bahwa masyarakat sebagai pelaku awal penanggulangan bencana sekaligus korban bencana harus mampu dalam batasan tertentu menangani bencana, sehingga diharapkan bencana tidak berkembang ke skala yang lebih besar. Masyarakat perlu pemahaman tentang upaya menghadapi risiko bencana longsor yang dapat mengancam keselamatan. Meningkatnya potensi bencana tanah longsor karena peningkatan jumlah penduduk dan aktivitas dari masyarakat dalam mengelola lingkungan. Hal ini berarti kesadaran masyarakat terhadap upaya pengurangan resiko bencana tanah longsor sangat penting.

Mitigasi Bencana Alam Longsor

Mitigasi menurut UU Nomor 27 Tahun 2007 adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Mitigasi sebagaimana dilakukan untuk mengurangi risiko bencana bagi masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana. Kegiatan mitigasi dilakukan melalui

(19)

pelaksanaan penataan ruang, pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur, tata bangunan dan penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan baik secara konvensional maupun modern.

Upaya pengurangan risiko bencana dilakukan dengan pertimbangan beberapa aspek, seperti aspek keberlanjutan dan partisipasi dari semua elemen masyarakat yang ada. Prioritas pengurangan risiko bencana perlu diimplementasikan ke dalam sektor pendidikan dengan tujuan untuk mewujudkan generasi tangguh bencana. Peningkatan pemahaman mengenai kebencanaan dapat dilakukan melalui kegiatan sosialisasi yang dapat mengedukasi dengan tujuan dapat mengurangi risiko terjadi bencana di suatu wilayah (Pahleviannur, 2019).

(20)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Juli 2019. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Dairi, Provinsi Sumatera Utara. Kegiatan pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah laptop, kamera, drone dan alat tulis. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta administrasi Kabupaten Dairi, peta kerentanan longsor dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan kuisioner.

Prosedur Penelitian Jenis data

Jenis data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder.

Data primer adalah data yang diperoleh berdasarkan hasil pengamatan di lapangan. Data yang dikumpulkan berupa hasil wawancara menggunakan kuisioner dengan masyarakat dan key informant.

Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari sumber kedua atau pihak lain yang terkait dengan permasalahan penelitian. Data ini diperoleh dari instansi terkait dan studi literatur.

Teknik dan tahap pengambilan data

Tahapan pengambilan data yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Pengumpulan data

Data desa rawan longsor Kabupaten Dairi dan peta kerentanan longsor dari BPBD tahun 2017 Kab. Dairi Provinsi Sumatera Utara sebagai acuan penentuan daerah rawan longsor di Desa Silalahi, Desa Paropo, Desa Mangan Molih Dan Desa Bongkaras. Desa tersebut dipilih berdasarkan tingkat kerentanan tinggi yang dibuat pada Peta Rawan Longsor oleh BPBD Kabupaten Dairi.

2. Observasi

(21)

Pengumpulan data dilaksanakan dengan melakukan observasi langsung.

Observasi dilakukan berdasarkan hasil penentuan daerah rawan longsor. Lokasi cek lapangan juga berdasarkan informasi dari instansi teknis mengenai bencana longsor. Lokasi dengan tingkat kerawanan longsor yang tinggi menjadi lokasi cek lapangan.

3. Wawancara

Wawancara terstruktur dengan memakai kuisioner dilakukan pada masyarakat yang menjadi responden penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah jumlah kepala keluarga pada desa yang memiliki tingkat kerawanan longsor tinggi. Pengambilan sampel yang dilakukan untuk mewakili jumlah populasinya. Sampel yang diambil pada penelitian ini adalah 10% dari jumlah populasi. Metode pengambilan sampel dilakukan dengan cara purposive sampling (sampel bertujuan). Purposive sampling merupakan pemilihan sekelompok subjek didasarkan atas ciri atau sifat tertentu yang dipandang mempunyai hubungan yang erat dengan ciri atau sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Metode ini disesuaikan dengan kebutuhan tujuan penelitian (Jogiyanto, 2004). Jumlah responden yang dijadikan sampel adalah sebagai berikut:

1). Apabila jumlah penduduk ≤ 100 kepala keluarga, maka di ambil seluruh responden.

2). Apabila jumlah responden > 100 kepala keluarga, maka diambil 10%-15% dari jumlah kepala keluarga (Arikunto, 2006).

Wawancara dan diskusi dilakukan menggunakan kuisioner dengan para responden dengan jumlah responden masing-masing desa 20 responden, maka jumlah keseluruhan responden adalah 80 orang. Informasi data yang dibutuhkan meliputi:

- latar belakang terjadinya longsor - frekuensi longsor

- aktifitas masyarakat sekitar daerah rawan longsor

- teknik mitigasi yang dilakukan masyarakat ataupun instansi lain jika ada longsor

- pandangan masyarakat terhadap upaya penanggulangan longsor

(22)

Analisis data

1. Analisis Data Penyebab dan Upaya Mitigasi Dalam Penurunan Resiko Bencana Longsor.

Analisis data yang dilakukan adalah analisis deskriptif dan tabulasi digunakan untuk mengetahui dan menganalisis data yang terkumpul dari hasil kuisioner, wawancara mendalam, observasi dan studi pustaka yang telah dilakukan. Menganalisis upaya masyarakat dalam memitigasi untuk menurunkan tingkat resiko bencana longsor dari hasil kuisioner dan wawancara mendalam dengan masyarakat sekitar desa.

(23)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kabupaten Dairi berada di Dataran Tinggi Bukit Barisan dengan ketinggian sekitar 400 - 1.700 meter diatas permukaan laut (mdpl) atau sekitar 200 meter diatas permukaan Danau Toba. Luas wilayah Kabupaten Dairi 192.780 Ha dengan Ibukota Kabupaten adalah Sidikalang, terdiri dari 15 (lima belas) kecamatan, 169 desa/kelurahan. Karakter topografi yang spesifik dan bervariasi didominasi dengan kelerengan terjal sekitar 88.097 Ha atau 45,70% dari luas total wilayah Kabupaten Dairi, kelerengan curam sekitar 27.824 Ha atau 14,43%, selebihnya bergelombang, berombak, dan sebagian kecil datar sehingga sangat rentan terhadap erosi maupun longsoran tanah. Curah hujan Kabupaten Dairi cukup besar disetiap tahun nya. Secara ekologis, Kabupaten Dairi merupakan penyangga ekosistem Danau Toba dan menyumbang sebagian besar input air ke Danau Toba melalui belasan sungai sungainya. Peta batas administrasi Kabupaten Dairi dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Peta Administrasi Kabupaten Dairi Provinsi Sumatera Utara

(24)

Penelitian ini dilakukan di empat desa di tiga kecamatan yang terdapat di Kabupaten Dairi. Adapun empat desa beserta luasnya yang menjadi tempat penelitian ini adalah sebagai berikut :

Desa Silalahi III Kecamatan Silahisabungan memiliki luas 1.752 Ha.

Desa Paropo I Kecamatan Silahisabungan memiliki luas 1.291 Ha.

Desa Mangan Molih Kecamatan Tanah Pinem memiliki luas 800 Ha.

Desa Bongkaras Kecamatan Silima Pungga – Pungga memiliki luas 565 Ha.

Jumlah penduduk masing-masing lokasi penelitian adalah Desa Mangan Molih Kecamatan Tanah Pinem berjumlah 754 jiwa, Desa Bongkaras Kecamatan Silima Pungga-Pungga berjumlah 755 jiwa, Desa Paropo I Kecamatan Silahisabungan berjumlah 403 jiwa dan silalahi III Kecamatan Silahisabungan berjumlah 1.031 jiwa. Saputri (2012) menyatakan bahwa Kondisi penduduk yang berkaitan dengan jumlah penduduk dan komposisinya pada suatu wilayah yang memiliki keterkaitan dengan beberapa unsur dalam kependudukan antara lain mengenai jumlah penduduk dan komposisi penduduknya. Kondisi demografis pada suatu wilayah tersebut dapat dijadikan patokan dalam menentukan kebijaksanaan pembangunan bagi pemerintah setempat.

Karakteristik Responden

Wawancara dan diskusi pada empat desa lokasi penelitian dilakukan menggunakan kuisioner dengan para responden dengan jumlah responden masing- masing desa 20 responden, maka jumlah keseluruhan responden adalah 80 orang.

Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin dan umur disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik Responden berdasarkan Jenis Kelamin dan Umur

No Karekteristik Frekuensi Persentase (%)

1

Jenis Kelamin

a. Laki-laki 57 71,25

b. Perempuan 23 28,75

Jumlah 80 100

2

Umur

a. 20 – 30 tahun 20 25,00

b. 31 – 40 tahun 23 28,75

c. 41 – 50 tahun 16 20,00

d. 51 – 60 tahun 12 15,00

e. > 60 tahun 9 11,25

Jumlah 80 100

(25)

Berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan bahwa responden berjenis kelamin laki-laki lebih dominan dibandingkan perempuan, dengan jumlah frekuensi laki-laki 57 orang (71,25%), dan perempuan dengan jumlah frekuensi 23 orang (28,75%). Hal ini dapat terjadi karena pada umunya seorang kepala rumah tangga dianggap dapat mewakili pengetahuan anggota keluarganya mengenai kejadian longsor yang berada pada wilayah mereka tersebut.

Karakteristik responden berdasarkan umur menunjukkan bahwa perbedaan umur responden tidak menunjukkan rentang jumlah yang cukup jauh. Kecuali pada umur > 60 hanya terdapat sedikit responden yaitu 9 orang. Hal ini dapat terjadi karena responden yang berada pada usia produktif dianggap memiliki pola pikir yang lebih maju dan dapat mengetahui berbagai hal tentang bencana longsor.

Aji (2016) menyatakan bahwa usia produktif berusia 15 sampai 64 tahun.

Tingkat pendidikan masyarakat sangat berpengaruh terhadap pendapatan dan jawaban responden mengenai bencana alam longsor. Herawati dan Sasana (2013) menyatakan bahwa untuk memperoleh sumber daya manusia yang berkualitas maka dibutuhkan pendidikan, karena pendidikan dianggap mampu menghasilkan tenaga kerja yang bermutu tinggi, mempunyai pola pikir dan cara bertindak yang modern. Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Karakteristik Responden berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Jenia Pekerjaan

No Karekteristik Frekuensi Persentase (%)

1

Tingkat Pendidikan

a. tamat SD 7 8,75

b. SD/Sederajat 16 20,00

c. SMP/Sederajat 20 25,00

d. SMA/Sederajat 33 41,25

e. Perguruan tinggi 4 5,00

Jumlah 80 100

2

Jenis Pekerjaan

a. Petani 51 63,75

b. Pedagang 16 20,00

c. Nelayam 8 10,00

d. PNS 4 5,00

e. Perangkat desa 1 1,25

Jumlah 80 100

(26)

Hasil wawancara menunjukkan bahwa yang memiliki persentase terbesar yaitu responden yang berpendidikan tingkat SMA dengan nilai persentase sebesar 41,25% sedangkan nilai persentase terkecil ada pada responden yang berpendidikan perguruan tinggi yaitu sebesar 5%. Hal ini sesuai dengan pernyataan Saputri (2012) bahwa tingkat pendidikan merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur kualitas sumberdaya manusia.

Pendidikan merupakan suatu kebutuhan dasar dalam kehidupan serta sebagai faktor yang dominan dalam pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas.

Pendidikan merupakan faktor yang sangat penting terhadap perubahan sikap dan perilaku masyarakat untuk mengerti pentingnya menjaga hutan. Hutan yang terjaga kelestarianya akan mengurangi bencana alam berupa longsor, akan tetapi jika bencana longsor sudah terjadi maka masyarakat diharapkan lebih siap dalam melakukan mitigsai bencana longsor.

Responden dalam penelitian ini lebih banyak berprofesi sebagai petani.

Hal ini dikarenakan tanah yang dimiliki masyarakat pada desa tersebut subur untuk bercocok tanam. Selain itu, masyarakat lebih mengerti tentang teknik bertani yang diajarkan secara turun menurun. Sebagian masyarakat yang tidak memiliki tanah atau lahan bekerja sebagai buruh tani di lahan milik petani lainnya.

Masyarakat menanam berbagai jenis tanaman perladangan seperti di Desa Mangan molih yang banyak masyarakat yang bertani jagung (Zea mays), namun sebelum menjadi ladang jagung, sebagian besar masyarakat mengusahakan kemiri (Aleurites moluccanus) pada ladangnya. Tahun 1992 harga kemiri turun ataupun murah sehingga masyarakat mengganti kemiri dengan jagung. pada dasarnya akar jagung tidak dapat menahan tanah dari laju air, sehingga menyebabkan erosi.

Valderrama et al. (2018) menyatakan bahwa perusakan hutan berdampak pada tanah untuk produksi pertanian yakni menyebabkan erosi dan perubahan siklus produksi air.

Berbeda dengan Desa Mangan Molih, Desa Bongkaras yang terletak di kecamatan silimapungga-pungga mayoritas pekerjaan penduduknya sebagai petani gambir. Tanaman gambir merupakan tanaman kecil seperti perdu yang akarnya tidak akan kuat menahan tanah. Kondisi hutan yang semakin lama

(27)

semakin gundul akibat adanya kegiatan pembukaan lahan untuk bertani gambir dan adanya alih fungsi lahan maka mengakibatkan bencana longsor di Desa Bongkaras. Selain sebagai petani mereka juga terkadang bekerja sebagai pedagang atau wiraswasta dengan membuka usaha dipekarangan rumah atau di pasar.

Karakteristik Bencana Alam Longsor

Kabupaten Dairi merupakan daerah dengan permukaan perbukitan dan kondisi kelestarian hutannya masih cukup baik dan terjaga. Namun, seiring berjalannya waktu dengan meningkatnya kebutuhan hidup masyarakat maka masyarakat di daerah Kabupaten Dairi menyambung hidup dengan berprofesi sebagai petani. Adanya kegiatan pembukaan lahan maka hutan sedikit demi sedikit mulai rusak dan akan berdampak buruk bagi masyarakat di sekitar hutan.

Salah satu bencana yang rawan terjadi jika hutan mulai rusak adalah longsor.

Apabila kondisi hutan daerah perbukitan mulai gundul maka perlahan-lahan tanah akan mulai bergerak (terdegradasi).

Gambar 2 Peta Kemiringan Lereng,

(Sumber : DEMNAS Badan Informasi Geopsasial, 2019)

(28)

Tabel 3. Nilai Hasil Harkat Parameter Kemiringan Lereng

No. Kemiringan Lereng Kriteria Luas (Ha) Persentase (%)

1. kemiringan 0 - 8% datar 72657,08 35,66

2. kemiringan 8 - 16% landai 49237,53 24,17

3. kemiringan 16 - 25% agak curam 3754,85 18,43

4. kemiringan 25 – 36% curam 30273,20 14,86

5. kemiringan 36 – 73% sangat curam 14017,09 6,88

Total 203730,35 100

Diketahui dari peta kemiringan lereng dan tabel nilai harkat parameter kemiringan lereng bahwa 3 kecamatan di Kabupaten Dairi memiliki kelerengan yang curam dengan total luas hektar 203730,35 dan persentase 100%.

Gambar 3. Peta Curah Hujan

(Sumber : BPS Kabupaten Dairi, 2018)

Tabel 4. Nilai Hasil Harkat Parameter Curah Hujan

No. Curah Hujan Luas (Ha) Persentase (%)

1. 2517 mm/tahun 203735,31 100

Total 203735,31 100

(29)

Data curah hujan setiap tahun di Kabupaten Dairi diketahui dari peta curah hujan oleh Badan Pusat Statistk (BPS) Kabupaten Dairi 2018 dan tabel nilai hasil harkat parameter curah hujan dengan total curah hujan 2517 mm di setiap tahun.

Kabupaten Dairi memiliki tiga kecamatan yang sangat rawan dengan bencana alam longsor, yaitu: Kecamatan Silima pungga-pungga, Kecamatan Tanah Pinem dan Kecamatan Silahisabungan pada empat desa, yaitu: Desa Bongkaras, Desa Mangan Molih, Desa Paropo dan Desa Silalahi III. Pemilihan lokasi pengambilan sampel berdasarkan daerah dengan tingkat kerentanan bencana tanah longsor tinggi yang diperoleh dari Kajian BPBD Kabupan Dairi Provinsi Sumatera Utara. Dikatakan bahwa daerah yang memiliki tingkat kerentanan tinggi (kepadatan penduduk dan merupakan lahan produktif) terpusat di Kecamatan Tanah Pinem, Kecamatan Silima Pungga-pungga, dan Kecamatan Silahisabungan

Menurut pernyataan responden bencana tanah longsor telah terjadi beberapa kali di daerah tersebut. Frekuensi terjadinya longsor menurut responden dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Frekuensi Terjadinya Longsor

Hasil wawancara menunjukkan banyak responden yang menyatakan bahwa bencana alam longsor lumayan sering terjadi di lokasi penelitian. Sebanyak 52% masyarakat menjawab lumayan sering, 28% menjawab tidak pernah dan 20% masyarakat menjawab sering terjadi longsor. Daerah-daerah yang mengalami longsor merupakan wilayah dengan topografi berbukit dengan kelerengan yang curam. Disaat tanah tidak dapat menahan laju air, dengan topografi yang curam maka akan terjadi longsor. Menurut Forbes dan Broadhead (2011) menyatakan

(30)

bahwa prediksi perubakhan iklim menunjukkan frekuensi bencana tanah longsor meningkat karena frekuensi badai ekstrim meningkat. Kekeringan akibat kebakaran juga dapat mempengaruhi kondisi tanah akan cenderung mengurangi penguatan akar tanah dan meningkatkan potensi bencana longsor.

Longsor yang terjadi pada berbagai lokasi yang dijadikan sampel berbeda- beda. Desa yang mengalami kejadian longsor paling besar adalah Desa Bongkaras Kecamatan Silima Pungga-pungga. Bencana tanah longsor datang dan kemudian berlanjut dengan banjir bandang. Longsor terjadi di wilayah perladangan masyarakat. Hampir sama dengan Desa Bongkaras, pada Desa Mangan Molih Kecamatan Tanah Pinem longsor yang terjadi juga berada pada daerah perladangan. Namun longsor terjadi dalam skala kecil. Potensi bencana tanah longsor dapat dilihat dengan besarnya tingkat erosi pada Kecamatan Tanah Pinem. Longsor yang terjadi pada Kecamatan Silahisabungan juga terjadi pada skala kecil. Longsor tersebut berada pada perbukitan di pinggir jalan. Sehingga walaupun longsor terjadi dalam skala kecil, namun longsor tersebut dapat mengganggu dan menghambat aktifitas masyarakat yang ingin melintas jalan tersebut.

Berbagai aktifitas manusia pada lokasi rawan longsor dapat mempengaruhi terhadap penyebab bencana longsor tersebut. Selain dapat mempengaruhi penyebab bencana longsor, aktifitas manusia pada lokasi rawan longsor juga dapat berpotensi menjadi korban apabila sewaktu-waktu terjadi bencana tersebut.

Berbagai aktifitas masyarakat yang terdapat pada daerah rawan longsor dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Aktifitas Masyarakat yang Terdapat pada Daerah Rawan Longsor

(31)

Sebagian besar aktifitas masyarakat yang terdapat pada daerah rawan longsor adalah berladang sebesar 47%. Sebagian besar masyarakat Desa Bongkaras mengusahakan tanaman gambir (Uncaria gambir) pada lading mereka.

Gambir merupakan tumbuhan perdu yang dapat dimanfaatkan sebagai pewarna.

Kecamatan Silahisabungan sebagian besar masyarakat mengusahakan tanaman bawang merah pada ladang mereka. Terdapat juga sebagian masyarakat yang mencari ikan di Danau Toba, karena letak Kecamatan Silahisabungan berada di pinggiran Danau Toba.

Desa Mangan Molih sebagian besar masyaratnya mengusahakan jagung (Zea mays) pada ladang mereka. Menurut pernyataan responden sebelum menjadi ladang jagung (Zea mays), sebagian besar masyarakat mengusahakan kemiri (Aleurites moluccanus) pada ladangnya. Tahun 1992 harga kemiri turun ataupun murah sehingga masyarakat mengganti kemiri dengan jagung. pada dasarnya akar jagung tidak dapat menahan tanah dari laju air, sehingga menyebabkan erosi.

Valderrama et al. (2018) menyatakan bahwa perusakan hutan berdampak pada tanah untuk produksi pertanian yakni menyebabkan erosi dan perubahan siklus produksi air.

Kegiatan lainnya di daerah rawan longsor yang paling sedikit adalah berkendara yaitu hanya 5%. Yang dimaksud dengan kegiatan berkendara adalah masyarakat yang melintas jalan raya. Kegiatan berkendara lainnya adalah masyarakat yang mengangkut ataupun membawa hasil perladangan dari ladang tersebut.

Berbagai kejadian bencana tanah longsor yang terjadi mengakibatkan dampak sosial yang dapat merugikan masyarakat. Dampak sosial yang diderita masyarakat tergantung dengan intensitas kejadian tanah longsor tersebut.

Berbagai dampak sosial yang diderita masyarakat pasca bencana tanah longsor dapat dilihat pada Gambar 7.

(32)

Gambar 7. Dampak Sosial yang Diderita Masyarakat Pasca Bencana Tanah Longsor.

Sebagian besar dampak sosial yang diderita masyarakat adalah hilangnya mata pencaharian. Khususnya di Desa Bongkaras, pasca terjadinya bencana tanah longsor dan banjir bandang banyak masyarakat yang kehilangan ladang dan sawah mereka. Dampak terkecil yaitu korban jiwa sebesar 2%. Dampak sosial berupa korban juwa juga terjadi di Desa Bongkaras. Hal ini dikarenakan bencana tanah longsor dan banjir bandang terjadi pada saat masyarakat masih berada di ladang mereka. Kronologis terjadinya bencana tanah longsor dan banjir bandang tersebut diawali dengan hujan deras yang mengguyur desa sekita pukul 15.00 WIB. Hujan deras tersebut terus mengguyur desa selama lebih kurang 2 jam. Sehingga masyarakat terjebak di ladang dan tidak dapat kembali ke rumah.

Masyarakat yang meyatakan tidak terkena dampak longsor sebagian merupakan responden pada Kecamatan Silahisabungan dan Kecamatan Tanah Pinem. Hal ini dapat terjadi karena seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa bencana tanah longsor terjadi dalam skala kecil.

Selain dampak sosial, pasca terjadinya bencana tanah longsor juga menimbulkan berbagai pengaruh terhadap masyarakat, khususnya pada kerugian ekonomi yang diderita masyarakat. Intensitas pengaruh bencana tanah longsor terhadap kerugian ekonomi yang diderita masyarakat dapat dilihat pada Gambar 8.

(33)

(a) (b)

Gambar 8. (a) Ada Tidaknya Pengaruh Pendapatan Pasca Bencana Tanah Longsor, dan (b) Intensitas Kerugian Ekonomi Pasca Bencana Tanah Longsor.

Longsor berpengaruh terhadap pendapatan masyarakat. Sebanyak 56%

responden (Gambar 8 a) menyatakan bahwa longsor sangat berpengaruh terhadap pendapatan mereka. Adanya pengaruh bencana tanah longsor terhadap pendapatan khususnya terjadi di Desa Bongkaras Kecamatan Silima Pungga-pungaa dan juga Desa Mangan Molih Kecamatan Tanah Pinem yaitu pasca bencana tanah longsor pendapatan mereka berkurang karena ladang mereka rusak. Namun banyak juga masyarakat yang merasa bahwa bencana tanah longsor tidak berpengaruh terhadap pendapatan mereka yaitu khususnya di Kecamatan Silahisabungan.

Bagi masyarakat yang mengalami kerugian ekonomi berupa berkurangnya pendapatan mereka pasca bencana tanah longsor, intensitas kerugian yang diderita masyarakat berbeda-beda. Masyarakat yang menyatakan mengalami kerugian banyak sebesar 49% (Gambar 8 b). Hal ini terjadi pada masyarakat yang kehilangan ladang mereka karena rusak akibat bencana tanah longsor. Pasca terjadinya bencana tanah lonsor masyarakat masih enggan mendekati dan membersihkan kembali ladang mereka yang telah rusak. Hal ini dapat terjadi karena masyarakat masih trauma dan merasa takut. Sehingga mereka tidak memiliki ladang lagi untuk diusakahan.

Masyarakat yang mengalami kerugian ekonomi dengan intensitas sedikit terjadi pada Desa Mangan Molih Kecamatan Tanah Pinem. Hal ini dapat terjadi karena longsor yang terjadi pada Desa Mangan Molih tidak sampai merusak ladang mereka yang luas. Hanya merusak sebagian kecil dari ladang mereka yang

(34)

Upaya Mitigasi Bencana Tanah Longsor Berbasis Masyarakat

Masyarakat yang tinggal pada daerah rawan longsor merupakan orang yang paling berpotensi terkena dampak langsung dari bencana tersebut. Maka dari itu keselamatan mereka harus diperhatikan. Pengetahuan masyarakat itu sendiri dapat menjadi tolak ukur terhadap kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Pengetahuan masyarakat terhadap daerah rawan longsor dapat dilihat pada Gambar 9.

52%

48% Tahu

Tidak Tahu

Gambar 9. Persentase Pengetahuan Masyarakat terhadap Daerah Rawan Longsor Berdasarkan Gambar 9 dapat dilihat lebih banyak masyarakat yang yang mengetahui bahwa wilayah mereka ataupun desa mereka merupakan daerah dengan tingkat kerawanan longsor yang tinggi. Masyarakat menyadari hal tersebut karena sebagian besar masyarakat mengetahui kondisi desa dengan topografi berbukit dan curah hujan yang cukup tinggi. Masyarakat juga melihat adanya perubahan pada perladangan mereka. Contohnya pada kecamatan Tanah Pinem dulu masyarakat mengusahan kemiri dan sekarang beralih ke jagung.

Terdapat banyak juga masyarakat yang tidak mengetahui bahwa daerah mereka termasuk kedalam daerah dengan tingkat kerawanan longsor tinggi. Oleh karena itu pemberitahuan maupun peringatan sangat penting disosialisasikan kepada masyarakat. Beberapa upaya peringatan dan penyebaran informasi tentang bencana longsor menurut masyarakat dapat dilihat pada pada Tabel 5.

Tabel 5. Upaya peringatan dan Penyebaran Informasi tentang Bencana Longsor.

No Karakteristik Persentase (%)

1

Peringatan oleh Pemerintah Setempat

a. Ada 9

b. Tidak Ada 91

Jumlah 100

(35)

a. Sosialisasi di Desa 2

b. Sosialisasi di Sekolah 0

c. Bunyi Sirine 4

d. Diskusi Masyarakat 94

Jumlah 100

3

Media yang Paling Efektif

a. Surat Pengumuman 0

b. Papan Peringatan 4

c. Pertemuan Agama 30

d. Diskusi Masyarakat 66

Jumlah 100

Peringatan tentang bahaya bencana longsor penting dilakukan agar masyarakat mengerti dan dapat mengantisipasi bencana tersebut. Berdasarkan Tabel 5 sebagian besar masyarakat (91%) menyatakan bahwa tidak ada peringatan mengenai bahaya bencana longsor dari pemerintah. Informasi dan peringatan dari pemerintah telah dilakukan namun belum merata ke semua desa yang termasuk daerah dengan tingkat kerawanan longsor tinggi.

Selama ini sistem penyebaran informasi mengenai bencana longsor yang paling banyak dijumpai oleh masyarakat adalah melalui diskusi masyarakat (94%) itu sendiri. Sebagian masyarakat yang mengetahui informasi tentang bahaya longsor menyampaikan kepada masyarakat lainnya. Media yang paling efektif untuk penyebaran informasi menurut masyarakat juga memalui diskusi masyarakat yaitu sebanyak 66%. Hal ini dapat terjadi karena masyarakat sering berkumpul bersama dan bermusyawarah walaupun tidak dalam kondisi yang formal. Sekecil apapun informasi dapat disebarkan oleh masyarakat dengan mudah.

Media lainnya yang efektif dalam penyebaran informasi mengenai bahaya bencana longsor adalah pertemuan agama (30%) dan papan peringatan (4%).

Pada Kecamatan Silahisabungan cukup banyak dijumpai papan peringatan mengenai bahaya longsor. Papan peringatan berada di pinggir jalan dengan tebing di sisinya. Berikut dapat dilihat dokumentasi papan peringatan mengenai bahaya longsor pada Gambar 10.

(36)

Gambar 10. Papan Peringatan Bahaya Longsor di Kecamatan Silahisabungan.

Kegiatan saat terjadi bencana seharusnya mencakup kegiatan tanggap darurat untuk meminimalisisr korban korban yang terdampak, pengungsian dan lain sebagainya. Masyarakat harus mengetahui tanda-tanda bencana longsor tersebut akan terjadi. Berikut dapat dilihat pertanda longsor akan datang dan tindakan yang dilakukan oleh masyarakat pada Tabel 6.

Tabel 6. Tanda Akan Terjadi Longsor dan Tindakan yang Dilakukan oleh Masyarakat

No Karakteristik Persentase (%)

1

Tanda akan terjadi longsor

a. Suara pohon tumbang 10

b. Suara gemuruh dari bukit 34

c. Ada retakan tanah 41

d. Akar pohon naik ke permukaan tanah 11

e. Kerikil jatuh dari bukit 4

Jumlah 100

2

Tindakan masyarakat setelah mengetahui longsor akan terjadi

a. Memberi informasi ke masyarakat lain 22

b. Mengungsi 9

c. Berdiam diri 69

Jumlah 100

(37)

Berdasarkan pertanda yang diketahui masyarakat saat longsor akan terjadi, pertanda yang paling banyak dirasakan masyarakat adalah retakan tanah (41%).

Pada saat longsor akan terjadi retakan terlihat dan guncangan sangat dirasakan oleh masyarakat yang melakukan aktifitas di ladang. Pertanda lain yang paling banyak adalah terdengar suara gemuruh dari atas bukit (34%).

Semula masyarakat tidak menyadari bahwa longsor dan banjir bandang akan terjadi. Namun ketika suara itu makin terdengar disertai pohon tumbang dan kerikil berjatuhan, masyarakat langsung mengambil tindakan sebisa mungkin memberi tahu kepada masyarakat lain agar dapat mengungsi. Namun sebagian besar masyarakat hanya dapat pasrah dan berdiam diri. Hal ini dikarenakan posisi masyarakat di ladang ketika terjadinya longsor dan banjir bandang terkepung diantara aliran air dan tanah tersebut. Masyarakat tidak bisa segera menyalamatkan diri. Hanya sebagian masyarakat yang dapat berlari dan memberi informasi kepada masyarakat lainnya. Sebagian besar masyarakat berdiam diri dan sebisa mungkin menghindar dari aliran air dan tanah tersebut.

Masyarakat belum terpikir mengenai apa yang harus dilakukan ketika terjadi bencana di wilayah mereka. Begitupula dengan aparat pemerintah desa, dimana pemerintah desa belum menentukan wilayah mana yang aman untuk pengungsian maupun tempat berkumpul ketika terjadi bencana. Wilayah desa yang cukup luas dengan karakteristik perbukitan juga menyulitkan bagi aparat desa untuk menentukan daerah yang aman. Meskipun demikian, dari hasil temuan lapangan juga dapat diketahui bahwa masyarakat desa pada umumnya masih menunjukkan nilai-nilai kekeluargaan. Nilai-nilai tersebut seperti saling bergotong royong dan saling membantu satu sama lain.

Kegiatan pasca bencana merupakan kegiatan yang mencakup pemulihan, rehabilitasi, dan rekonstruksi. Berikut dapat dilihat kegiatan pemulihan yang dilakukan masyarakat pasca bencana tanah longsor pada Gambar 11.

(38)

Gambar 11. Tindakan yang Dilakukan Masyarakat Pasca Terjadi Bencana Tanah Longsor

Sebagian besar kegiatan pemulihan yang dilakukan masyarakat adalah menggarap lahan kembali (85%). Hal ini dapat terjadi karena perkaitan dengan mata pencaharian masyarakat. Apabila masyarakat tidak bergerak cepat dalam mengushakan lahan mereka kembali, maka pendapatan mereka tidak ada kecuali mereka yang mencari pekerjaan lain sembari menunggu kondisi aman kembali.

Namun banyak juga masyarakat yang masih berdiam diri dan tidak melakukan apapun selama 4 bulan pasca bencana tanah longsor tersebut. Hal ini dapat terjadi karena masyarakat masih trauma dan merasa takut untuk beraktifitas di ladang kembali.

Selama ini para korban terdampak bencana, dan masyarakat desa pada umumnya, juga belum pernah diberikan pemahaman mengenai rehabilitasi seperti trauma therapy, dan lainnya. Hal ini dikarenakan adanya pemahaman masyarakat bahwa bencana merupakan takdir, sehingga para korban maupun masyarakat pada umumnya, harus sabar menerima kejadian becana tersebut.

Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan bencana tanah longsor dapat terjadi. Hasil wawancara menunjukkan sedikitnya terdapat tiga penyebab bencana tanah longsor menurut persepsi masyarakat. Penyebab bencana longsor dapat dilihat pada Gambar 12.

(39)

26%

56%

18% Curah Hujan yang Tinggi

Daerah yang Curam

Perambahan dan Konversi lahan

Gambar 12. Penyebab Bencana Tanah Longsor Menurut Persepsi Masyarakat Hasil wawancara menunjukkan menurut masyarakat penyebab longsor yang paling besar adalah daerah yang curam (56%). Penyebab bencana longsor lainnya adalah curha hujan yang tinggi (26%0), serta perambahan dan konversi lahan (18%). Ada tiga hal utama yang menyebabkan kelongsoran, yaitu faktor topografi, drainase, dan geologi (Apriyono, 2009).

Hutan dengan keberadaan vegetasi penahan air sangat berpengaruh terhadap bencana longsor. Jika hutan rusak, maka fungsi hutan sebagai pengatur tata air juga akan terganggu yang dapat menimbulkan potensi bencana seperti tanah longsor. Persepsi masyarakat mengenai pengaruh hutan terhadap bencana tanah longsor dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13. Persepsi Masyarakat Mengenai Ada Tidaknya Pengaruh Hutan terhadap Tanah Longsor

Sebagian besar marayakat percaya bahwa hutan sangat berpengaruh terhadap bencana tanah longsor, yakni sebanyak 56% responden menjawab ya

(40)

bahwa mereka percaya dengan adanya hutan yang terjaga maka dapat mengurangi terjadinya bencana longsor.

Vegetasi hutan dapat menjaga kesuburan tanah dan besarnya pori-pori tanah, karena adanya aktifitas mikroorganisme dan akar-akar vegetasi tersebut.

Dengan tidak adanya vegetasi hutan berarti tidak ada aktifitas mikroorganisme dan akar-akar vegetasi hutan sehingga tanah akan menjadi padat. Disaat tanah tidak dapat lagi menahan laju air maka tidak terelakkan lagi pada bagian tebing dengan lereng yang curam tanah akan mudah jatuh (Latuamuri dkk., 2012).

Kesiapan masyarakat dalam mengahadapi bencana tanah longsor sangat berpengaruh terhadap pengetahuan masyarakat untuk menghadapi bencana tersebut. Upaya-upaya yang dilakukan masyarakat untuk meminimalisir bencana longsor juga sangat berpengaruh terhadap kesiapan mereka dalam mengahadapi bencana. Berikut dapat dilihat kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana tanah longsor serta upaya yang dilakukan masyarakat untuk meminimalisir bencana tanah longsor pada Tabel 7.

Tabel 7. Kesiapan Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Tanah Longsor serta Upaya yang Dilakukan Masyarakat untuk Meminimalisir Bencana Tanah Longsor

No Karakteristik Presentase (%)

1

Kesiapan Menghadapi Bencana Tanah Longsor

a. Siap 26

b. Cukup siap 42

c. Tidak siap 32

Jumlah 100

2

Upaya Meminimalisir Bencana Tanah Longsor

a. Memberi peringatan perambah hutan 36

b. Bekerja sama dengan menjalankan program

pemerintah setempat untuk meminimalisir longsor 9 c. Tidak mengetahui upaya yang dapat dilakukan/ tidak

melakukan apapun 55

Jumlah 100

Hasil wawancara menunjukkan masyarakat cukup siap dalam mengahadapi bencana tanah longsor, yakni sebanyak 42% responden menyatakan cukup siap, 26% responden menyatakan siap dan 32 % responden menyatakan tidak siap. Hal ini dikarenakan masyarakat merasa dapat menanggulangi bencana longsor yang terjadi jika longsor tersebut terjadi dalam skala kecil. Sebagian banyak longsor yang ditemui tidak menimbulkan dampak kerugian dan juga

(41)

korban jiwa kecuali longsor yang terjadi di Desa Bongkaras. Namun walaupun longsor tidak menimbulkan kerugian yang cukup besar, akan tetapi longsor tersebut perlu diperhatikan dan dilakukan pencegahan. Karena tidak menutup kemungkinan bencana tanah longsor yang lebih besar akan terjadi di kemudian hari, mengingat bahwa daerah tersebut merupakan daerah dengan tingkat kerawanan longsor yang tinggi.

Upaya yang dilakukan masyarakat untuk meminimalisir longsor adalah memberi peringatan adanya aktifitas perambahan hutan jika masyarakat melihatnya secara langsung. Karena masyarakat sekitar hutan sangat berperan penting dalam menjaga hutan. Upaya lainnya adalah dengan menjalankan program pemerintah untuk meminimalisir longsor dengan cara ikut penanaman, rehabilitasi, rekonstruksi, dan lain sebagainya. Namun banyak juga masyarakat yang tidak mengetahui harus berbuat apa untuk melakukan upaya meminimalisir longsor. Hal ini dikarenakan kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat mengenai kegiatan mitigasi yang dapat dilakukan untuk meminimalisir longsor.

Mitigasi tanah longsor dilakukan sebagai salah satu upaya pencegahan dan penanggulangan dalam menghadapi dampak yang ditimbulkan akibat tanah longsor. Mitigasi tanah longsor dapat dilakukan dengan memperhatikan keberlangsungan kondisi tanah pada suatu lereng. Mengingat bahwa Kabupaten Dairi memilik kondisi lahan yang curam dan curah hujan yang tinggi, maka sebaiknya masyarakat melakukan pertanian atau perladangan model terasering.

Seperti pernyataan dari Maretya (2010) bahwa terasering dibuat oleh petani untuk mengurangi panjang lereng dan menahan atau memperkecil aliran permukaan agar air dapat meresap ke dalam tanah. Dengan demikian maka erosi dapat tercegah.

Model pertanian terasering dapat menurunkan resiko longsor dan sebaiknya masyarakat tidak hanya menanam tanaman pertanian karena akar dari tanaman pertanian tidak sekuat akar tanaman hutan yang dapat menahan erosi dan tanah longsor di atas bukit.

Sistem pertanian agroforestri juga dapat digunakan sebagai alternatif sistem penggunaan lahan dalam melindungi tanah dari bahaya tanah longsor.

Pradnya dkk. (2016) menyatakan bahwa sistem agroforestri yang dapat digunakan pada lahan berlereng curam menjadi suatu nilai lebih dibandingkan sistem

(42)

penggunaan lahan lain sehingga sistem ini dinilai dapat terus berkembang.

Pemanfaatan sistem agroforestri dengan penanaman rumput-rumputan dengan semak dan pepohonan diterapkan untuk mengurangi erosi dan aliran permukaan serta memelihara kesuburan tanah.

Mitigasi bencana mencakup kegiatan perencanaan dan pelaksanaan tindakan-tindakan untuk mengurangi resiko dampak dari suatu bencana yang dilakukan sebelum bencana itu terjadi, termasuk kesiapan dan tindakan-tindakan pengurangan resiko jangka panjang. Sesuai dengan pendapat Suwaryo (2017) yang menyatakan bahwa upaya mitigasi juga dapat dilakukan dalam bentuk non struktural, diantaranya seperti menghindari wilayah bencana dengan cara membangun menjauhi lokasi bencana yang dapat diketahui melalui perencanaan tata ruang dan wilayah serta dengan memberdayakan masyarakat dan pemerintah daerah. Upaya memitigasi daerah rawan longsor meliputi :

1. Pendidikan, yaitu memberi info seputar pengetahuan masyarakat mengenai penyebab dan cara-cara memitigasi bencana longsor. Seperti contoh : Penyuluhan tentang penyebab bencana longsor di kantor desa dan tempat tempat keagamaan.

2. Rehabilitasi lahan, yaitu membuat budidaya pertanian yang cocok di daerah yang memiliki kelerengan yang curam. Seperti contoh : Membuat terasering ataupun tanaman agroforestry.

3. Perlindungan kawasan dari upaya perusakan fungsi hutan, yaitu memperketat kawasan hutan lindung dari upaya perambahan dan membuat tata air.

(43)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Penyebab bencana longsor di kabupaten Dairi menurut pengetahuan masyarakat yang paling dominan adalah kondisi topografi yang curam, curah hujan yang tinggi, serta aktifitas manusia yaitu perambahan hutan.

2. Pengetahuan masyarakat terkait mitigasi bencana longsor di lokasi studi masih terbatas pada upaya ketika terjadi bencana. Adapun pengetahuan masyarakat akan terjadinya bencana, peringatan dini saat bencana dan pasca bencana masih belum merata. Umumnya masyarakat melakukan mitigasi setelah timbul bencana longsor, sedangkan upaya antisipasi dan pemulihan pasca bencana belum dilakukan.

Saran

Sebaiknya pemerintah dan pihak-pihak terkait melakukan penyuluhan dan memperkuat pengetahuan masyarakat dengan sosialisasi yang melibatkan masyarakat untuk ikut terlibat dalam mengurangi bencana longsor.

(44)

DAFTAR PUSTAKA

Aji SB. 2016. Analisis Pengaruh Jumlah Penduduk Usia Produktif, Jumlah Lulusan SMA dan Investasi terhadap Pengangguran Terdidik di Provinsi Jawa Tengan Tahun 1985-2014. Skripsi. Universitas Diponegoro.

Semarang.

Annisa J, Sutikno S, Rinaldi. 2015. Analisis Daerah Rawan Longsor Berbasis Sistem Informasi Geografis. (Studi Kasus : Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat). Universitas Riau. 2 (2):2 - 12.

Apriyono A. 2009 .Analisis Penyebab Tanah Longsor Di Kalitlaga Banjarnegara (Landslide Caused Analysis In Kalitlaga Banjarnegara). Universitas Sudirman. 5(2): 3-18.

Arif, F. 2015. Analisis Kerawanan Tanah Longsor Untuk Menentukan Upaya Mitigasi Di Kecamatan Kemiri Kabupaten Purworejo. Jurusan Geografi Fakultas Ilmu Sosial.Universitas Negeri Semarang. Semarang. 5(2): 4-25.

Arifin, S. 2006. Implementasi Penginderaan Jauh dan SIG untuk Inventarisasi

Daerah Rawan Bencana Longsor .Jurnal Penginderaan Jauh LAPAN 3(4): 3-23.

Arikunto S. 2006. Prosedur penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta. Asdi Mahasatya.

[BNPB] Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2012. Jurnal Penanggulangan Bencana. Terbitan Berkala Badan Nasional Pennggulangan Bencana. 3(1). ISSN 20876306X.

[BPBD] Badan Penanggulangan Bencana Daerah. 2017. Kajian Risiko Bencana Alam Kabupaten Dairi Tahun 2018-2022. Dairi.

Faizana F. 2014. Pemetaan Risiko Bencana Tanah Longsor Kota Semarang.

Skripsi. Universitas Diponegoro. Semarang.

Forbes K, Broadhead J. 2011. Forest and Landslides The Role of Trees and Fores in The Prevention of Landslides and Rehabilitation of Landslides- Affected Areas in Asia. FAO. Bangkok. Thailand.

Hardjowigeno, S, Widiatmika. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan Dan Perencanaan Tataguna Lahan. Gadjah Mada University Press.

Herawati N, Sasana H. 2013. Analisis Pengaruh Pendidikan Upah Pengalaman Kerja Jenis Kelamin dan Umur Terhadap produktifikas Tenaga Kerja Industri Shutllecock Kota Tegal. Diponegoro Journal of Economic. 2 (4):

1-8.

Jogiyanto. 2004. Metodologi Penelitian Bisnis. Yogyakarta. BPFE.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) Pendekatan problem posing efektif dalam pembelajaran matematika pada materi persamaan garis lurus di kelas VIII A, hal ini terlihat

[r]

Moreover, greater responsiveness to environmental issues than social issues by MNCs, as well as varia- tions between Colombia and Peru, and compared with other company

Manfaat yang ingin diperoleh dari penelitian ini adalah aplikasi bunga mawar menjadi suatu produk baru berupa flower leather , memperkenalkan flower leather dari

[r]

Diketahui terdapat hubungan faktor dukungan keluarga dan masyarakat dengan keaktifan kader pada kegiatan posyandu di Desa Purwojati. Tujuan khusus.. a) Mengetahui

menanggulangi tindak pidana penggelapan mobil rental yang terjadi di

Variabel umur petani secara statistik berpengaruh nyata terhadap tingkat efisiensi teknis di daerah penelitian, dibuktikan dari nilai t hitung sebesar 4,028 yang lebih