OLEH
BACHTIAR MALLO H14070004
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKOMONI DAN MANAJEMEN
RINGKASAN
BACHTIAR MALLO, Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan dan Kebijakan Pengentasannya di Provinsi DKI Jakarta (dibimbing oleh
MANUNTUN PARULIAN HUTAGAOL).
Fokus utama dari pembangunan ekonomi baik di tingkat global maupun di tingkat nasional telah menghadirkan isu penting tentang pertumbuhan ekonomi, ketidakmerataan pendapatan, dan kemiskinan. Analisis tentang ketiga hal yang
saling berkaitan tersebut telah menjadi bahan perdebatan yang sangat menarik terutama bagi para penentu kebijakan yang akan melakukan pemilihan strategi
kebijakan yang pantas untuk diterapkan.
Adanya permasalahan kemiskinan dan ketidakmerataan pendapatan juga akan menghambat laju pertumbuhan ekomoni itu sendiri. Menurut Galor (2000), hal ini
terjadi karena akumulasi kapital sebagai efek positif ketidakmerataan pendapatan akan di offset oleh rendahnya akumulasi human capital sebagai efek negatif adanya kemiskinan. Selain itu, kemiskinan dan ketidakmerataan pendapatan juga
akan memberikan dampak instabilitas sosial, ketidakpastian, dan tragedi kemanusiaan seperti kelaparan, tingkat kesehatan yang rendah dan gizi buruk. Bila keadaan tersebut terus berlanjut pada akhirnya akan mengganggu stabilitas
ekonomi makro dan kelangsungan pemerintahan yang ada.
Pemerintah DKI Jakarta telah banyak mengeluarkan kebijakan program-program yang bertujuan untuk mengurangi tingkat kemiskinan. Program-program tersebut
sekolah (BOS) agar penduduk miskin dapat pemperoleh pendidikan dasar yang layak.
Namun, jika dikaji dengan seksama, program-program terbebut cenderung berlaku secara umum dan belum tertuju langsung pada penduduk miskin. Program-program tersebut diberlakukan tanpa melihat adanya perbedaan masyarakat miskin dan yang terjadi adalah program-program yang berjalan kurang efisien untuk mengurangi kemiskinan. Sehingga perlu adanya integrasi dari faktor-faktor
yang menyebabkan kemiskinan yang kemudian perlu dilakukan studi terhadap faktor-faktor tersebut.
Penelitian ini akan mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kemiskinan di DKI Jakarta. Setelah diketahui tentang faktor-faktor tersebut, selanjutnya adalah menentukan program-program dan kebijakan apa saja yang perlu dilakukan untuk mengatasi keniskinan yang terjadi di DKI Jakarta secara lebih efisien. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di DKI Jakarta. Dari hasil identifikasi tersebut dapat memberikan gambaran tentang program-program dan kebijakan
yang dapat dilakukan untuk mengurangi kemiskinan secara lebih efisien. Berdasarkan hasil estimasi regresi data panel, maka variable yang mempengaruhi
tingkat kemiskinan di Provinsi DKI Jakarta adalah angka melek huruf, laju pertumbuhan ekonomi, PDRB sektor industri, dan tenaga kerja sektor industri.
Pemerintah telah menjalankan banyak kebijakan dan program-program dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Tetapi, program-program tersebut belum efektif untuk mengurangi kemiskinan secara signifikan. Program-program yang
dijalankan masih berlaku secara umum dan belum mengena langsung pada sumber penyebab kemiskinan. Sehingga yang terjadi adalah masih tingginya
angka kemiskinan di DKI Jakarta.
Pemerintah perlu menerapkan program-program yang langsung mengena pada sasaran kemiskinan. Program-program tersebut antara lain: (i) pemberantasan buta
yang ada di DKI Jakarta yang dilanjutkan dengan pemerataan distribusi pendapatan dengan pengoptimalan pemungutan pajak dan penegakan hukum, dan (iii) penciptaan iklim investasi, dengan memperbaiki sistem birokrasi, manajemen,
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI
KEMISKINAN DAN KEBIJAAN PENGENTASANNYA
DI PROVINSI DKI JAKARTA
Oleh
BACHTIAR MALLO H14070004
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa : Bachtiar Mallo
Nomor Registrasi Pokok : H14070004 Program Studi : Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi : Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Kemiskinan dan Kebijakan Pengentasannya di Provinsi DKI Jakarta
Dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Manuntun Parulian Hutagaol, Ph.D NIP. 19570904 198303 1005
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Dedi Budiman Hakim, Ph.D NIP. 19641022 198903 1 003
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, 2 Mei 2011
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Bachtiar Mallo, lahir pada tanggal 28 Juli 1989 di Tangerang, Banten. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara, dari pasangan Akir Mallo dan Umi Rochaya. Penulis menamatkan sekolah dasar di SD Negeri 17 Tangerang, kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 4 Tangerang, lalu melanjutkan di SMA Negeri 10 Tangerang dan lulus pada tahun 2007.
Pada tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi pada Perguruan Tinggi Negeri Institut Pertanian Bogor (IPB). Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USM IPB) dan diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM). IPB menjadi pilihan penulis dengan harapan besar agar penulis dapat memperoleh ilmu dan mengembangkan pola pikir, sehingga menjadi sumber daya manusia yang tangguh dan berguna bagi pembangunan Indonesia tercinta.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam beberapa organisasi kemahasiswaan, diantaranya yaitu Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (HIPOTESA) dan Center of Entrepreneurship and Development for Youth (CENTURY).
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena nikmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Judul skripsi ini adalah “Analisis Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Kemiskinan Dan Kebijakan Pengentasannya di DKI Jakarta”. Skripsi ini dibuat untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Provinsi DKI Jakarta dan cara menanggulanginya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini terutama kepada:
1. Allah SWT yang selalu memberikan perlindungan dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
2. Kedua orang tua, Akir Mallo dan Umi Rochaya, dan saudara tersayang, yang selalu memberikan doa dan dorongan yang tiada hentinya.
3. Manuntun Parulian Hutagaol, Ph.D selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberi ide dan saran yang sangat membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
4. Muhammad Firdaus, Ph.D selaku dosen penguji utama yang telah memberikan saran dan kritiknya demi penyempurnaan skripsi ini.
5. Sri Mulyatsih, M.Si selaku dosen penguji komisi pendidikan yang telah memberikan masukan dalam perbaikan tata bahasa dan pedoman penulisan skripsi.
6. Teman-teman seperjuangan satu pembimbing skripsi: Sari Rina, Ranti Purnamasari, Risya
7. Teman-teman sekaligus keluarga IE 44 atas kebersamaan selama empat tahun ini.
Segenap usaha maksimal telah penulis lakukan dalam menyelesaikan skripsi ini. Namun demikian, penulis mengakui bahwa penulisan skripsi ini belumlah sempurna, baik dalam segi materi maupun penyusunannya. Semoga skripsi dapat bermanfat bagi kita semua.
Bogor, 2 Mei 2011
Bachtiar Mallo H14070004
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ... i
DAFTAR TABEL ... iii
DAFTAR GAMBAR ... v
DAFTAR LAMPIRAN ... vi
I. PENDAHULUAN ... 1
2.3Program Penanggulangan Kemiskinan ... ... 23
2.3.1 Perkembangan Program Kemiskinan di Indonesia ... ... 24
2.3.2 Perkembangan Program Kemiskinan di DKI Jakarta ... ... 30
IV. GAMBARAN UMUM ... ... 56
4.1 Perkembangan Tingkat Kemiskinan Provinsi DKI Jakarta .... ... 56
4.2 Perkembangan Pendidikan ... ... 57
4.3 Perkembangan Kependudukan ... ... 58
4.4 Perkembangan Perekonomian ... ... 60
4.5 Perkembangan PDRB Sektoral ... ... 62
4.6 Perkembangan Tenaga Kerja Sektoral ... ... 64
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... ... 67
5.1 Analisis Model Regresi Data Panel... ... 67
5.2 Faktor yang Memengaruhi Kemiskinan ... ... 69
5.2.1 Angka Melek Huruf ... ... 70
5.2.2 Perekonomian ... ... 71
5.2.3 PDRB Sektoral ... ... 74
5.2.4 Tenaga Kerja Sektoral ... ... 75
5.3 Formulasi Kebijakan Pengentasan Kemiskinan ... ... 77
5.3.1 Program Pengentasan Buta Huruf ... ... 77
5.3.2 Program Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi ... ... 79
5.3.3 Program Pengembangan Sektor Industri ... ... 82
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... ... 86
6.1 Kesimpulan ... ... 86
6.2 Saran ... ... 87
DAFTAR PUSTAKA ... ... 88
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1.1 Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita DKI Jakarta,
2001 – 2008 ………..………...3 1.2 Tingkat Pengangguran Terbuka Menurut Jenis Kelamin DKI Jakarta,
Tahun 1999 – 2008 (dalam persen) ……….4 2.1 Program dan Alokasi Dana Penanggulangan Kemiskinan di DKI Jakarta
Tahun 2004 ……….………...33 3.1 Kerangka Identifikasi Autokorelasi ………..54 4.1 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Provinsi DKI Jakarta
2002 – 2009 ……….………..…..………..…56 4.2 Angka Melek Huruf Provinsi DKI Jakarta Penduduk Usia 10 Tahun Ke
Atas Menurut Kabupaten/Kota,2002 - 2009 (Persen) ...58 4.3 Kepadatan Penduduk Provinsi DKI Jakarta Menurut Kabupaten /Kota,
2002-2009 (Jiwa/Km2) ………...……….……..……59 4.4 Rasio Ketergantungan Penduduk DKI Jakarta Menurut Kabupaten /Kota
2002-2009 ………..……….…………...………...60 4.5 Laju pertumbuhan PDRB DKI Jakarta Atas Dasar Harga Konstan 2000
Menurut Kabupaten/Kota, 2002-2009 (Persen) ……….……...61 4.6 Pendapatan Perkapita Provinsi DKI Jakarta Atas Dasar Harga Konstan
2000 Menurut Kabupaten/Kota, 2002-2009 (Juta Rupiah) ………..62 4.7 PDRB Sektor Industri DKI Jakarta Atas Dasar Harga Konstan 2000
Menurut Kabupaten/Kota, 2002-2009 (Milyar Rupiah) ……….…..63 4.8 PDRB Sektor Jasa DKI Jakarta Atas Dasar Harga Konstan 2000
Menurut Kabupaten/Kota, 2002-2009 (Milyar Rupiah) ………...64 4.9 Jumlah Tenaga Kerja Sektor Industri Provinsi DKI Jakarta Menurut
Kabupaten/Kota, 2002 – 2009 (Jiwa) ………...……….65 4.10 Jumlah Tenaga Kerja Sektor Jasa Provinsi DKI Jakarta Menurut
5.1 Hasil Estimasi Koefisien Data Panel Metode Fixed Effect Model
(FEM)………..67
5.2 Hasil Estimasi Koefisien Data Panel Metode Fixed Effect Model
(FEM) ……….………..………...69
5.3 Sektor Andalan (Leading Sectors) Provinsi DKI Jakarta Berdasarkan Koefisien Penyebaran dan Kepekaan Penyebaran ………80 5.4 Pengganda Output, Pendapatan, dan Tenaga Kerja Sektor-Sektor
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
DAFTAR LAMPIRAN
Hasil Estimasi Pool Least Square ………92
Hasil Estimasi Fixed Effect Model ……….93
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Fokus utama dari pembangunan ekonomi baik di tingkat global maupun di tingkat nasional telah menghadirkan isu penting tentang pertumbuhan ekonomi,
ketidakmerataan pendapatan, dan kemiskinan. Analisis tentang ketiga hal yang saling berkaitan tersebut telah menjadi bahan perdebatan yang sangat menarik
terutama bagi para penentu kebijakan yang akan melakukan pemilihan strategi kebijakan yang pantas untuk diterapkan. Pertama, apakah harus mendahulukan pertumbuhan ekonomi yang dalam hal ini berfokus pada peningkatan pendapatan
perkapita dengan mengesampingkan masalah pembagian distribusi pendapatan tersebut. Kedua, apakah harus mengutamakan distribusi pendapatan yang lebih
merata tanpa harus mengorbankan pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi bukan merupakan trade-off pemerataan pendapatan dalam upaya mengurangi kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi yang
tinggi dan pemerataan pendapatan harus dilakukan secara stimultan menjadi suatu bagian yang terintegrasi, agar dapat mengurangi kemiskinan dalam jangka panjang dan akan meningkatkan kesejahteraan yang berkelanjutan (Adam, 2004).
Pembangunan ekonomi dan distribusi pendapatan bukanlah dua hal yang saling bertentangan. Pembangunan ekonomi yang mempunyai dampak negatif seperti
ikut serta berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi. Keikutsertaan penduduk miskin bertujuan untuk memberdayakan dan meningkatkan kualitas sumberdaya,
antara lain melalui pendidikan, kesehatan, dan akses informasi.
Di sisi lain, adanya permasalahan kemiskinan dan ketidakmerataan pendapatan juga akan menghambat laju pertumbuhan ekomoni itu sendiri.
Menurut Galor (2000), hal ini terjadi karena akumulasi kapital sebagai efek positif ketidakmerataan pendapatan akan di offset oleh rendahnya akumulasi human
capital sebagai efek negatif adanya kemiskinan. Selain itu, kemiskinan dan ketidakmerataan pendapatan juga akan memberikan dampak instabilitas sosial, ketidakpastian, dan tragedi kemanusiaan seperti kelaparan, tingkat kesehatan yang
rendah dan gizi buruk. Bila keadaan tersebut terus berlanjut pada akhirnya akan mengganggu stabilitas ekonomi makro dan kelangsungan pemerintahan yang ada.
Kemiskinan tidak hanya terjadi di daerah atau pedesaan, tetapi kemiskinan juga banyak terdapat di perkotaan, bahkan kota-kota besar. Kota besar seperti Jakarta mempunyai masalah tersendiri tentang kemiskinan dan pemerataan
distribusi yang sampai saat ini belum dapat terpecahkan. Jumlah penduduk di Jakarta yang cenderung bertambah karena adanya arus migrasi masuk ke Jakarta yang lebih besar daripada arus migrasi keluar Jakarta, merupakan salah satu dari
sumber masalah yang ada di Jakarta. Para urban yang datang ke Jakarta tidak semuanya mempunyai keahlian dan keterampilan yang khusus dibidangnya yang
Tabel 1.1 menggambarkan jumlah PDRB perkapita penduduk DKI Jakarta dari tahun 2001-2008. Secara umum terlihat bahwa PDRB perkapita DKI Jakarta
mengalami peningkatan secara signifikan setiap tahunnya. Tahun 2001, total PDRB perkapita atas dasar harga berlaku adalah Rp 31.496.643 yang kemudian terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun hingga pada tahun 2008, total
PDRB perkapita atas dasar harga berlaku adalah Rp 74.037.731. Tabel 1.1 Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita DKI Jakarta,
2001 – 2008
Tabel 1.2 menunjukan persentase pengangguran terbuka menurut jenis
kelamin di DKI Jakarta periode 1999 – 2008. Terlihat bahwa terjadi fluktuasi pada tingkat pengangguran di DKI Jakarta. Pada tahun 1999, pengangguran terbuka mencapai 15,66 persen dan turun pada tahun berikutnya, tahun 2000, yaitu 12,50
persen. Tahun 2001, tingkat pengangguran terbuka turun kembali menjadi 11,76 persen, tetapi naik pada tahun berikutnya, tahun 2002, yaitu 15,52 persen.
Tabel 1.2 Tingkat Pengangguran Terbuka Menurut Jenis Kelamin DKI Jakarta, Tahun 1999 – 2008 (dalam persen)
Jenis
Kelamin 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Laki-laki 13,39 11,11 10,28 13,31 12,90 12,85 13,00 12,79 12,82 11,38 Perempuan 17,92 13,88 13,24 17,73 18,95 18,40 18,37 17,37 14,08 10,56 Jumlah 15,66 12,50 11,76 15,52 15,93 15,63 15,69 15,08 13,45 10,97 Sumber: BPS, 2010
Jika dibandingkan dengan PDRB perkapita yang mengalami peningkatan yang signifikan, tingkat pengangguran pada tiga tahun terakhir penelitian menunjukan penurunan. Jika dibandingkan dengan negara lain, seperti Jepang,
tingkat pengangguran di DKI Jakarta masih tergolong cukup tinggi untuk sebuah kota yang berkembang sangat pesat. Tingkat pengangguran di Jepang pada bulan
Juni 2009 sebesar 5,4 persen (Portal HR, 2009).
Hal ini sangat memungkinkan terjadinya masalah ketimpangan yang dikemukakan oleh teori pertumbuhan, dimana 90 persen dari pendapatan suatu
daerah dinikmati oleh 20 persen dari total penduduk, sedangkan sisanya yang 10 persen, dinikmati oleh 80 persen dari total penduduk satu daerah. Hal inilah yang
selanjutnya akan menjadi dasar dari konsep ketimpangan dan memunculkan masalah baru, yaitu kemiskinan.
Gambar 1.1 menunjukan perkembangan penduduk miskin yang ada di
DKI Jakarta selama periode 2002-2009. Terlihat pada Gambar 1.1 bahwa keadaan kemiskinan di Provinsi DKI Jakarta tidak mengalami penurunan yang signifikan,
terjadinya krisis energi yang menyebabkan kenaikan harga bahan bakar minyak, dimana tingkat kemiskinan mencapai angka 4,80 persen. Hingga tahun 2009, tren
kemiskinan mengalami penurunan walaupun tidak signifikan, yaitu menjadi 4,75 persen pada tahun 2007, 3,96 persen pada tahun 2008, dan pada tahun 2009 menjadi 3,88 persen.
Sumber: BPS, 2010
Gambar 1.1 Perkembangan Penduduk Miskin DKI Jakarta dalam Persen
Kemiskinan di DKI Jakarta memiliki suatu kehususan tersendiri, yaitu
urban poverty. Urban Poverty adalah kemiskinan yang terjadi akibat masuknya penduduk yang bermigrasi masuk ke DKI Jakarta tanpa membawa keahlian apapun, sehingga akan menjadi beban ketika mereka hidup di Jakarta. Para kaum
urban yang datang tanpa keahlian dan pelatihan serta dengan pendidikan yang rendah, tidak mampu bersaing dalam mencai pekerjaan dengan penduduk lainnya.
Selanjutnya, yang terjadi adalah munculnya daerah yang menjadi kantong kemiskinan, seperti banyak ditemukan di DKI Jakarta.
Tiap warga negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Demikian diamanatkan oleh UUD 1945 pasal 27 ayat (2). Dalam hal ini,
berarti dengan dukungan sumber kekayaan yang melimpah, pemerintah bertanggung jawab terhadap masalah kesejahteraan masyarakat, salah satunya adalah masalah kemiskinan.
Upaya pengurangan kemiskinan dapat berjalan dengan maksimal dan lebih cepat bila didukung dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang cepat yang
dibarengi dengan pemerataan distribusi pendapatan (Bourguignon, 2004). Pertumbuhan ekonomi tersebut memberikan manfaat yang lebih banyak kepada penduduk miskin dan memberikan kesempatan yang lebih luas bagi mereka untuk
memperbaiki keadaan ekonominya atau bersifat pro poor growth.
Menurut Bellinger (2007), pengurangan kemiskinan juga dipengaruhi oleh
faktor ekonomi maupun non-ekonomi. Faktor ekonomi dapat berupa produktivitas dari sektor penyokong pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, dan distribusi pendapatan. Besarnya peranan produktivitas sektor terhadap
pengurangan kemiskinan bergantung pada karakteristik perekonomian dan ketenagakerjaan. Sedangkan faktor non-ekonomi dapat berupa akumulasi modal manusia yang dapat tercermin dari tingkat pendidikan dan kependudukan.
Pemerintah telah melaksanakan berbagai program dan kebijakan dalam upaya percepatan pengurangan kemiskinan. Upaya tersebut dilakukan melalui
pada triple track strategy yaitu pro growth, pro job, dan pro poor secara nyata telah diimplementasi sejak tahun 2005. Pemerintah juga terus meningkatkan
alokasi anggaran penanggulangan kemiskinan termasuk anggaran PNPM Mandiri sebesar Rp. 23 trilyun (2005), Rp. 42 trilyun (2006), Rp. 51 trilyun (2007), dan Rp. 62 trilyun (2008).
Percepatan pertumbuhan ekonomi (pro growth) terutama bertumpu pada perbaikan kinerja investasi dan ekspor, dan ditopang oleh mantapnya
pertumbuhan konsumsi penduduk. Untuk perbaikan kinerja investasi dan menjamin keberlangsungan pembangunan ekonomi, pemerintah meluncurkan paket kebijakan secara terintegratif meliputi perbaikan iklim investasi,
pembenahan sektor jasa keuangan, percepatan pembangunan infrastruktur, dan kebijakan pemberdayaan UMKM.
Sedangkan untuk percepatan pengurangan kemiskinan (pro poor) dilakukan dengan meningkatkan sasaran dan alokasi dana penanggulangan kemiskinan. Program tersebut diantaranya adalah program bantuan dan
perlindungan sosial, program berbasis pemberdayaan masyarakat, dan program pemberdayaan usaha mikro dan kecil.
Namun, kondisi riil yang terjadi di DKI Jakarta pada tahun 2009, sangat
berbeda dengan hasil yang diharapkan dari penerapan kebijakan dan program-program penanggulangan kemiskinan tersebut. Kebijakan yang ada selama ini
adanya penduduk miskin di DKI Jakarta yang mencapai 3,88 persen atau sekitar 337200 jiwa. Maka, disimpulkan bahwa kebijakan yang diterapkan oleh
pemerintah belum cukup efektif untuk mengurangi kemiskinan di DKI Jakarta. Program-program dan kebijakan penanggulangan kemiskinan tersebut masih memiliki banyak kelemahan dan kendala dalam penerapannya.
Menurut Rancangan Peraturan Daerah DKI Jakarta Tentang Kesejahteraan Daerah Bagian V Tentang Penanggulangan Kemiskinan, dikatakan bahwa
penanggulangan kemiskinan merupakan kebijakan, program, dan kegiatan yang dilakukan terhadap orang, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yang tidak mempunyai atau mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak dapat memenuhi
kebutuhan yang layak bagi kemanusiaan. Pelaksanaan penanggulangan kemiskinan menjadi tanggung jawab bersama pemerintah daerah dan masyarakat.
Penanggulangan kemiskinan ditujukan untuk:
a. meningkatkan kapasitas dan mengembangkan kemampuan dasar serta
kemampuan berusaha masyarakat miskin;
b. memperkuat peran masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan
kebijakan publik yang menjamin penghargaan, perlindungan dan pemenuhan hak – hak dasar.
c. mewujudkan kondisi dan lingkungan ekonomi, politik dan sosial yang
memungkinkan masyarakat miskin dapat memperoleh kesempatan seluas
luasnya dalam pemenuhan hak-hak dasar dan peningkatan taraf hidup secara berkelanjutan ; dan
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka perlu dianalisis tentang kemiskinan yang terjadi di DKI Jakarta, dengan perincian masalah sebagai
berikut:
1. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap kemiskinan di DKI Jakarta? 2. Program-program dan kebijakan apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi
kemiskinan yang terjadi di DKI Jakarta?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka tujuan
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di DKI Jakarta.
2. Memberikan masukan tentang program dan kebijakan yang dapat dilakukan
pemerintah dalam upaya penanggulangan kemiskinan.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Bagi penulis, penelitian ini berguna untuk mengaplikasikan ilmu yang telah diterima selama perkuliahan
2. Bagi pembaca, penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai sarana
pembelajaran dalam menambah wawasan dan sebagai salah satu sumber
informasi dan bahan untuk penelitian selanjutnya.
bahan masukan untuk merumuskan berbagai kebijakan di masa yang akan datang.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kemiskinan
Konsep kemiskinan menurut Bellinger (2007) melibatkan multidimensi, multidefenisi, dan alternatif pengukuran. Kemiskinan merupakan satu dari
masalah yang sulit untuk didefinisikan dan dijelaskan. Secara umum, kemiskinan dapat diukur dari dua dimensi yaitu dimensi income atau kekayaan tidak hanya diukur dari rendahnya pendapatan yang diterima karena pendapatan rendah
biasanya sifatnya sementara, tetapi diukur juga dengan kepemilikan harta kekayaan seperti lahan bagi petani kecil dan melalui akses jasa pelayanan publik.
Dalam perkembangannya, kemiskinan dimensi income lebih sering didiskusikan karena lebih mudah diukur. Kemiskinan dimensi income dapat
dibedakan menjadi kemiskinan absolute dan kemiskinan relatif. Kemiskinan
absolute mengacu pada ketidakcukupan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya seperti makanan, rumah, pakaian, transportasi, dan kesehatan dasar.
Sedangkan kemiskinan relatif diukur dengan membandingakan pendapatan rumah tangga dengan rata-rata pendapatan nasional.
Besarnya kemiskinan menurut Todaro dan Smith (2006) dapat diukur dengan mengacu pada garis kemiskinan (poverty line). Konsep yang mengacu pada garis kemiskinan disebut kemiskinan absolute, sedangkan bila pengukuran
tidak berdasarkan garis kemiskinan melainkan rata-rata pendapatan disebut kemiskinan relatif. Kemiskinan absoute adalah derajat kemiskinan dibawah
kebutuhan minimum untuk bertahan hidup. Ukuran ini relatif tetap dalam bentuk kebutuhan kalori minimum ditambah komponen bukan makanan yang juga sangat dibutuhkan untuk tetap bertahan. Garis kemiskinan berbeda untuk tiap negara,
tetapi yang umum dijadikan standar Bank Dunia untuk membandingkan antar negara adalah pendapatan perkapita sebesar US$ 1 atau US$ 2 per hari. US dolar yang digunakan adalah US $ PPP (Purchasing Power Parity), bukan nilai tukar
resmi (exchange rate).
Sedangkan kemiskinan relatif adalah ukuran mengenai kesenjangan di
negara biasanya dihitung sesuai dengan paritas daya beli penduduknya. Salah satu strategi praktis untuk menentukan garis kemiskinan lokal adalah dengan
menetapkan sekelompok makanan yang biasa dibeli oleh rumah tangga yang hampir tidak memenuhi persyaratan nutrisi minimum, ditambahkan pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan dasar yang lain, seperti pakaian tempat tinggal, dan
pelayanan kesehatan minimum.
BPS (2008) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi seseorang yang
hanya dapat memenuhi makanannya kurang dari 2100 kalori perkapita per hari yang setara dengan beras 320 kg perkapita per tahun di perkotaan. Kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan makanan
maupun yang bukan makanan yang bersifat mendasar seperti pakaian, perumahan, pendidikan, kesehatan dan pendudukan dasar lainnya, BPS setiap tahun
menetapkan besarnya garis kemiskinan berdasarkan hasil Susenas modul konsumsi. Garis kemiskinan berbeda-beda untuk tiap provinsi tergantung besarnya biaya hidup minimum masing-masing provinsi. Garis kemskinan yang
ditetapkan BPS pada tahun 2008 sebedar Rp. 204,896 untuk daerah perkotaan dan Rp. 161,831 untuk daerah pedesaan.
Selain menggunakan ukuran konsumsi kalori perkapita perhari dan garis
kemiskinan, BPS juga menjelaskan kemiskinan dengan 14 kriteria untuk mengetahui keluarga/rumah tangga yang tergolong keluarga/rumah tangga miskin,
diantaranya:
3. Jenis dinding tempat tinggal dari bambu / rumbia / kayu berkualitas rendah /
tembok tanpa diplester
4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar / bersama-sama dengan rumah tangga
lain
5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik
6. Sumber air minum berasal dari sumur / mata air tidak terlindung / sungai /air
hujan
7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar / arang / minyak
tanah
8. Hanya mengkonsumsi daging / susu / ayam satu kali dalam seminggu 9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun
10. Hanya sanggup makan sebanyak satu / dua kali dalam sehari
11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas / poliklinik 12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah : petani dengan luas lahan
500 m2, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan dan atau
pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp. 600.000,- per bulan 13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga : tidak sekolah / tidak tamat SD/
hanya SD
14. Tidak memiliki tabungan / barang yang mudah dijual dengan minimal Rp.
500.000,- seperti sepeda motor kredit / non kredit, emas, ternak, kapal motor,
atau barang modal lainnya.
1. Kemiskinan Absolut
Kemiskinan absolut selain dilihat dari pemenuhan kebutuhan dasar
minimum yang memungkinkan seseorang dapat hidup layak, juga ditentukan oleh tingkat pendapatan untuk memenuhi kebutuhan. Dengan demikian, tingkat pendapatan minimum merupakan pembatas antara keadaan yang disebut miskin
atau sering disebut dengan istilah garis kemiskinan. Seseorang termasuk golongan miskin absolut apabila hasil pendapatannya berada dibawah garis kemiskinan,
tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum, seperti pangan, sandang, kesehatan, papan, dan pendidikan.
2. Kemiskinan Relatif
Sekelompok orang dalam masyarakat dikatakan mengalami kemiskinan relatif apabila pendapatannya lebih rendah dibandingkan kelompok lain tanpa
memperhatikan apakah mereka masuk dalam kategori miskin absolut atau tidak. Penekanan dalam kemiskinan relatif adalah adanya ketimpangan pendapatan dalam masyarakat antara yang kaya dan yang miskin atau dikenal dengan isltilah
ketimpangan distribusi pendapatan. Ketimpangan relatif untuk menunjukan ketimpangan pendapatan berguna untuk mengukur ketimpangan pada suatu wilayah. Kemiskinan relatif juga dapat digunakan untuk mengukur ketimpangan
antar wilayah yang digunakan pada suatu wilayah tertentu. Pengukuran relatif diukur berdasarkan tingkat pendapatan, ketimpangan sumberdaya alam serta
Kemiskinan struktural mengacu pada sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya yang tidak mau berusaha untuk memperbaiki
tingkat kehidupan meskipun ada usaha dari pihak luar untuk membantunya. Kemiskinan struktural merupakan kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat tidak dapat ikut menggunakan
sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Kemiskinan struktural meliputi kekurangan fasiltas pemukiman yang sehat, kekurangan
pendidikan, kekurangan komunikasi dengan dunia sekitarnya. Kemiskinan struktural juga dapat dihitung dari kurangnya perlindungan dari hukum dan pemerintah sebagai birokrasi atau peraturan resmi yang mencegah seseorang
memanfaatkan kesempatan yang ada. 4. Kemiskinan Kronis
Kemiskinan kronis disebabkan oleh beberapa hal, yaitu kondisi sosial budaya yang mendorong sikap dan kebiasaan hidup masyarakat yang tidak produktif, keterbatasan sumberdaya dan keterisoliran, rendahnya derajat
pendidikan dan perawatan kesehatan, terbatasnya lapangan kerja dan ketidakberdayaan masyarakat dalam mengikuti ekonomi pasar.
5. Kemiskinan Sementara
Kemiskinan sementara terjadi akibat adanya: 1) perubahan siklus ekonomi dari kondisi normal menjadi krisis ekonomi, 2) perubahan yang bersifat musiman,
dan 3) bencana alam atau dampak dari suatu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan suatu masyarakat.
2.2.1. Pendidikan
Menurut teori pertumbuhan endogen yang dipelopori Lucas dan Romer,
pertumbuhan ekonomi tidak hanya dipengaruhi oleh besarnya modal dan tenaga kerja tetapi juga dipengararuhi oleh akumulasi modal manusia melalui pertumbuhan teknologi. Akumulasi modal manusia merupakan akumulasi dari
pendidikan dan pelatihan. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan keterampilan penduduk menunjukan semakin tinggi modal manusia. Secara umum, semakin
berpendidikan seseorang maka tingkat pendapatannya semakin baik. Hal ini dimungkinkan karena orang yang berpendidikan lebih produktif bila dibandingkan dengan yang tidak berpendidikan. Produktivitas yang lebih tinggi tersebut
dikarenakan memiliki keterampilan teknis yang diperoleh dari pendidikan. Jika tingkat pendidikan lebih tinggi, maka akses ke dunia kerja menjadi lebih mudah
dan dapat memperoleh posisi yang lebih baik.
Sementara itu, unit usaha yang diisi oleh mereka yang memiliki kemampuan lebih baik dalam menyerap teknologi akan menjadi lebih produktif.
Tingkat upah pekerja pun akan meningkat yang berarti kesejahteraan rumah tangganya juga meningkat. Oleh karena itu, salah satu tujuan yang ingin dicapai melalui pendidikan adalah mengembangkan keterampilan hidup. Inilah
sebenarnya arah kurikulum berbasis kompetensi, pendidikan life skill and broad
based education yang dikembangkan di Indonesia akhir-akhir ini (Nurkholis, 2004).
Penduduk miskin yang berpendidikan rendah akan menyebabkan produktivitasnya rendah, produktivitas rendah akan membuat output dan pendapatan yang diterima
rendah, sehingga terjadi kemiskinan. Rumah tangga miskin akan kesulitan untuk membiayai anak-anaknya sekolah sehingga melahirkan generasi selanjurnya yang berpendidikan rendah dan menimbulkan kemiskinan baru. Sehingga salah satu
upaya untuk menurunkan tingkat kemiskinan sekaligus memotong lingkaran setan kemiskinan adalah dengan meningkatkan pendidikan penduduk miskin.
Peran penting peningkatan sumberdaya manusia melalui pendidikan dalam rangka pengentasan kemiskinan juga dikemukakan Bank Dunia maupun Asian
Development Bank (ADB). Bank Dunia (2006) dalam kerangka kerja untuk memerangi kemiskinan menyebutkan salah satu pilar yang harus dilakukan adalah peningkatan kesempatan penduduk miskin. Pilar ini dilaksanakan dengan
peningkatan akses penduduk miskin terhadap aset modal fisik dan modal manusia (pendidikan dan kesehatan) serta peningkatan rate of return dari aset-aset tersebut. Menurut ADB (1999), salah satu pilar dari strategi penurunan kemiskinan adalah
pengembangan sosial yang terdiri dari pengembangan modal manusia (pendidikan dan kesehatan), modal sosial, perbaikan status perempuan, dan perlindungan sosial.
Peran optimal pendidikan dalam pengurangan kemiskinan tergantung pada akses bagi masyarakat miskin dalam menyelesaikan pendidikan yang lebih tinggi,
miskin untuk membiayai sekolah anaknya di negara berkembang sering tidak sejalan dengan ekspetasi manfaat yang diterima di kemudian hari. Biaya yang
dikeluarkan sering menjadi penghalang atau tidak sebesar manfaat relatif yang akan diterima di masa depan (Tambunan, 2006).
Bila penduduk miskin tidak memperoleh akses yang lebih luas untuk
mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi terutama di negara ketiga, justru akan mempertahankan atau bahkan semakin memperlebar jurang kesenjangan
pendapatan, yang pada akhirnya akan menghambat upaya pengurangan kemiskinan. Hal ini dikarenakan tingkat penghasilan yang diterima sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Pendapatan penduduk yang telah
menyelesaikan sekolah atau universitas 300 persen atau 800 persen lebih besar dari penduduk yang hanya berpendidikan sekolah dasar atau kurang dari itu
(Todaro and Smith, 2006).
Menurut penelitian Wiraswara (2005), salah satu variabel yang mempengaruhi kemiskinan adalah angka melek huruf. Angka melek huruf
memiliki hubungan yang negatif terhadap tingkat kemiskinan, dimana setiap kenaikan pesentase pada angka melek huruf maka akan mengakibatkan penurunan persentase tingkat kemiskinan.
2.2.2. Kependudukan dan Ketergantungan
Berdasarkan penelitian Nasir, et all (2006), faktor jumah anggota rumah
juga akan berat jika semakin banyak anggota keluarga yang usianya belum/tidak produktif. Dengan beban yang lebih banyak, maka kemungkinan menjadi miskin
akan lebih besar.
Beberapa penelitian di negara-negara yang sedang berkembang menunjukan bahwa terdapat korelasi negatif yang kuat antara besaran rumah
tangga dengan konsumsi (pendapatan) per orang. Sering disimpulkan bahwa penduduk yang hidup dengan keluarga besar lebih miskin daripada penduduk
yang hidup dengan keluarga yang kecil (Ravallion dan Lanjouw, 1994).
Di negara-negara dunia ketiga seringkali anak dijadikan sebagi investasi karena tidak adanya sistem jaminan sosial dari negara. Bagi rumah tangga miskin,
keberadaan anak yang banyak diharapkan akan dapat menyokong ekonomi keluarga terutama ketika para orang tua semakin lanjut usianya. Pola pikir masa
lalu yang sering diterapkan yaitu “banyak anak banyak rezeki”.
Rasio ketergantungan dihitung sebagai rasio jumlah anggota rumah tangga yang tidak berada dalam angkatan kerja (baik tua maupun muda) terhadap mereka
yang berada pada angkatan kerja dalam rumah tangga tersebut. Hal ini menunjukan bahwa, suatu rasio ketergantungan yang tinggi akan berkorelasi positif terhadap tingkat kemiskinan rumah tangga. Semakin besar angka rasio
ketergantungan maka semakin besar pula kemungkinan untuk meningkatkan kemiskinan (BPS, 2002a).
2.2.3. Perekonomian
perekonomian yang buruk tidak mempunyai kendali untuk mendorong pembangunan di daerah tersebut, apalagi untuk daerah sekitarnya. Hal ini akan
menyebabkan masyarakat sekitarnya hidup dalam perekonomian yang buruk dan berpotensi besar untuk menjadi penduduk miskin.
Dalam proses pembangunan ekonomi, perubahan ketidakmerataan
pendapatan senantiasa menyertai pertumbuhan ekonomi. Perubahan ketidakmerataan pendapatan dapat digambarkan dengan perubahan angka Gini
ratio. Ketidakmerataan dapat dikelompokan menjadi tiga berdasarkan angka rasio Gini, yaitu:
1. Ketidakmerataan rendah apabila angka rasio Gini lebih kecil dari 0,3 2. Ketidakmerataan sedang apabila angka rasio Gini terletak antara 0,3-0,4
3. Ketidakmerataan tinggi apabila angka rasio Gini lebih besar dari 0,4
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Suparno (2010), angka rasio Gini selama periode 2002-2008 menunjukan tingkat ketidakmeratan di Indonesia tergolong sedang karena masih berada pada kisaran 0,3-0,4 walaupun dengan
angka yang berfluktuasi. Pada tahun 2002, angka rasio gini tercatat sebesar 0,34 kemudian meningkat menjadi 0,40 pada 2005 dan sedikit menurun pada tahun 2008 menjadi sebesar 0,37. Angka rasio Gini tersebut sedikit berbeda dengan
angka yang dipublikasikan BPS, karena data yang dianalisis pada penelitiannya tidak mencangkup provinsi NAD, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat.
seharusnya. Hal ini dikarenakan pendapatan pengeluaran perkapita hanya relevan untuk menggambarkan pendapatan kelompok penduduk dengan yang
berpenghasilan rendah. Dalam jangka panjang pengeluaran perkapita penduduk berpenghasilan rendah akan mendekati pendapatan perkapitanya. Sedangkan pendapatan perkapita kelompok penduduk berpenghasilan menengah ke atas pada
umumnya lebih tinggi daripada pengeluaran perkapitanya. Dengan demikian, ketidakmerataan pendapatan yang terjadi di Indonesia akan lebih tinggi bila
dihitung berdasarkan pendapatan perkapitanya.
2.2.4. PDRB Sektoral
Peubah PDRB sektoral menggambarkan jumlah output agregat sektor yang
dihasilkan suatu daerah. Peningkatan nilai PDRB sektoral menurut harga konstan menunjukan adanya pertumbuhan ekonomi sektoral. Pertumbuhan ekonomi
menurut teori ekonomi mengindikasikan semakin banyaknya kesempatan kerja yang tercipta dan semakin banyak orang yang bekerja, sehingga akan mengurangi pengangguran dan kemiskinan. PDRB sektoral per tenaga kerja menurut harga
konstan merupakan nilai PDRB sektoral menurut harga konstan tahun 2000 dibagi dengan jumlah tenaga kerja di sektor tersebut. PDRB sektor pertanian, industri dan jasa per tenaga kerja juga digunakan untuk mengetahui secara langsung
kesempatan kerja yang terjadi juga menyebar di sektor dimana penduduk miskin berada melalui peningkatan produktivitas. Selain itu, secara tidak langsung
industri dan sektor jasa yang ditengarai memberikan kontribusi terhadap pengurangan jumlah penduduk miskin (Siregar dan Wahyuniarti, 2007)
Pengaruh kegiatan ekonomi menurut sektoral terhadap pengurangan kemiskinan juga dikemukakan oleh Montalvo dan Ravallion (2009) dengan menguji hipotesa pola pertumbuhan sektoral. Kegiatan ekonomi menurut sektor
memiliki dampak pengurangan kemiskinan secara keseluruhan yang independen terhadap pertumbuhan ekonomi agregat. Hipotesis tersebut berdasarkan dua
alasan. Pertama, kerelevanan ketidakmerataan antar sektor yang cukup besar menyebabkan pola pertumbuhan antar sektor secara sistematis akan merubah distribusi pendapatan dan lebih luas lagi pada tingkat kemiskinan dengan tingkat
rata-rata pendapatan tertentu. Secara instuisi, jika pertumbuhan ekonomi sangat intens dalam sektor-sektor tersebut dan tidak memberikan manfaat kepada
penduduk miskin maka akan meningkatkan ketidakmerataan, dampaknya akan mengurangi manfaat pertumbuhan secara keseluruhan bagi penduduk miskin.
Kedua, komposisi kegiatan ekonomi menurut sektor merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi tingkat ketidakmerataan awal. Hal ini akan tetap berlangsung apabila proses pertumbuhan selanjutnya bersifat netral atau semua pendapatan tumbuh dengan sifat yang sama. Secara instuisi, ketika penduduk
miskin memiliki share pendapatan yang rendah terhadap total pendapatan, mereka cenderung akan memiliki share manfaat agregat pendapatan yang lebih rendah
2.3. Program Penanggulangan Kemiskinan
Kemiskinan adalah permasalahan global bukan hanya permasalahan negara-negara sedang berkembang. Masalah ini mendapat perhatian global
termasuk Perserikatan Bangsa Bangsa dimana pada tahun 2000 seluruh anggota PBB membuat Deklarasi Milenium PBB (United Nation Millennium Declaration)
yang salah satu isinya adalah menghilangkan kemiskinan. Deklarasi ini kemudian
dijabarkan dalam Millennium Development Goals (MDGs) yang berisi delapan tujuan yang harus dicapai pada tahun 2015. Tujuan pertama dari MDGS adalah
menghilangkan kemiskinan dan kelaparan yang ekstrim. Target yang ingin dicapai adalah mengurangi setengah dari proporsi penduduk yang hidup dengan pendapatan kurang dari satu dolar perhari dan mengurangi setengah proporsi
penduduk yang menderita kelaparan.
Millennium Development Goals yang merupakan kesepakatan global dilaksanakan pula oleh Indonesia. Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu ditingkatkan pemahaman mengenai penyebab kemiskinan. Secara makro, penyebab kemiskinan adalah kesempatan kerja yang terbatas, akses yang terbatas
pada sumber-sumber finansial dan non-perbankan, dan banyaknya migran dengan keterampilan rendah. Kesempatan kerja yang terbatas sangat erat kaitannya
dengan kondisi perekonomian. Laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi diharapkan mampu mendorong terciptanya kesempatan kerja. Namun sering dicurigai bahwa pertumbuhan ekonomi yang cepat berakibat buruk pada kaum
Bank Dunia tahun 1990 yang mengatakan bahwa diskusi mengenai kebijakan yang berkenaan dengan golongan miskin biasanya berfokus kepada trade-off
antara pertumbuhan dan kemiskinan. Namun telaah terhadap pengalaman berbagai negara menyimpulkan bahwa kedua hal tersebut bukanlah suatu trade-off yang tidak bisa diatasi. Dengan kebijakan yang tepat, golongan miskin dapat
berpatisipasi dan berkontribusi terhadap pertumbuhan, dan jika mereka dapat melaksanakan hal tersebut, bukan tidak mungkin penurunan tingkat kemiskinan
akan terjadi begitu cepat dan konsisten dengan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
2.3.1. Perkembangan Program Kemiskinan di Indonesia
Program penanggulangan kemiskinan mulai dilaksanakan pemerintah sejak Pelita III. Berbagai program sektoral yang bertujuan untuk mengurangi
kemiskinan mewarnai program pembangunan di Indonesia. Di bidang pertanian, pemerintah mengenalkan program BIMAS dan INMAS untuk penyuluhan pada petani, perluasan lahan pertanian dan transmigrasi. Kemudian BULOG didirikan
untuk menjaga stabilitas harga beras, gula, dan barang kebutuhan pokok lainnya. Di sektor keuangan, pemerintah mulai memperhatikan sektor usaha kecil dan menengah dengan mengenalkan berbagai macam program kredit untuk pengusaha
kecil. Program tersebut antara lain berupa Kredit Investasi Kecil (KIK), Kredit Usaha Kecil (KUK), Kredit Candak Kulak (KCK), dan Kredit Modal Kerja
Program khusus pengurangan kemiskinan mulai dilaksanakan pemerintah sejak 1988 dengan adanya program Pengembangan Kawasan terpadu (PKT) yang
berupa transfer langsung kepada masyarakat. Dalam progam ini pemerintah memberikan bibit pertanian dan peternakan kepada masyarakat miskin di pedesaan. Pada tahun 1993, PKT berkembang dari sekedar pemenuhan kebutuhan
akan bibit menjadi pemenuhan akan sarana dan prasarana dasar, seperti jalan, jembatan, saluran irigasi dan sebagainya, terutama bagi daerah tertinggal.
Kegiatan tersebut berkembang menjadi program INPRES Desa Tertinggal (IDT). Tahun 1993-1996, program IDT menarik minat berbagai lembaga keuangan internasional untuk ikut membiayai dan berkembang menjadi Program
Pengembangan Prasarana Desa Tertinggal (P3DT) yang pembiayaannya diperoleh dari Bank Dunia dan JBIC. Di samping itu, pemerintah melalui Departemen
Sosial, meluncurkan Kredit Usaha Bersama (KUBE) yang diberikan kepada kelompok usaha di desa.
Memasuki masa krisis multidimensi pada tahun 1997-1998, pemerintah
dalam menjalankan program penanggulangan kemiskinan mulai memperkenalkan Padat Karya I (Oktober-Desember 1997) yang disertai dengan Padat Karya II (Desember 1997-Februari 1998). Akan tetapi, program tersebut belum
sepenuhnya berjalan secara efetif dan mulai dirubah dengan program yang menganut pendekatan pelibatan dan pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu
Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) serta Program Pendukung Masyarakat dan Pemerintah Daerah (P2MPD) (Komite, 2009).
Di era otonomi daerah, pemerintah mempunyai komitmen untuk mempercepat pemecahan masalah kemiskinann dengan membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan pada tahun 2001. Pada akhir tahun 2003, Komite
Penanggulangan Kemiskinan mengeluarkan dan mengesahkan dokumen I-PRSP (Interim Poverty Reduction Strategy Paper) sebagai panduan bagi penyusunan
dokumen Strategi Nasional Penanggulangan Kemikinan (SNPK). Pada tahun 2004, pemerintah telah menyusun Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan. SNPK merupakan strategi dan rencana aksi untuk mempercepat tujuan dan
sasaran penanggulangan kemiskinan. SNPK dituangkan dalam RPJM tahun 2004-2009 yang memuat kebijakan pembangunan dan rencana kerja pemerintah selama
lima tahun. Dengan mengacu RPJM, pemerintah setiap tahun akan menyusun Rencana Kerja Pemerintah (RKP) sebagai penjabaran dan operasionalisasi RPJM. Pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota, pemerintah daerah membentuk Strategi
Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD) dengan mengacu pada SNPK dan menjadi bagian integral dari rencana pembangunan di tingkat pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.
Pada tahun 2005, pemerintah membentuk Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan yang beranggotakan lintas departemen dan diketuai
terarah, bersinergi satu sama lain dan tidak tumpang tindih. TKPK menetapkan upaya penanggulangan kemiskinan dengan paradigma pola penanganan yang
bersifat multisektoral. Sedangkan ditingkat daerah, pemerintah membentuk Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) guna mengefektifkan program penanggulangan kemiskinan di tingkat daerah. TKPK mengelompokan
program penanggulangan kemiskinan berdasarkan segmentsi masyarakat penerima program sebagai berikut:
1. Program berbasis bantuan dan perlindungan sosial yang terdiri atas program
yang bertujuan untuk pemenuhan hak dasar, pengurangan beban hidup, serta peningkatan kualitas hidup masyarakat miskin. Program ini berbentuk bantuan
raskin, jamkesmas, bantuan fakir miskin, bantuan korban bencana, bantuan langsung tunai, PKH, beasiswa siswa miskin, serta peningkatan kapasitas
kelembagaan pengarusutamaan gender (PUG) dan pengarusutamaan anak (PUA).
2. Program berbasis pemberdayaan masyarakat melalui PNPM mandiri. Program
ini dilakukan dengan pendekatan partisipatif berdasarkan kebutuhan masyarakat, berupaya menguatkan kapasitas kelembagaan masyarakat, dan kegiatannya dilaksanakan oleh masyarakat secara swakelola dan berkelompok. 3. Program berbasis pemberdayaan usaha kecil dan mikro terdiri atas
program-program yang bertujuan untuk memberikan akses dan penguatan ekonomi bagi
Program PNPM mandiri diluncurkan oleh presiden pada 30 April 2007. PNPM Mandiri merupakan harmonisasi dan sinkronasi kebijakan dari
program-program pemberdayaan masyarakat dalam hal pemilihan sasaran, prinsip dasar, strategi, pendekatan, mekanisme, dan prosedur yang diperlukan untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan dan mempercepat penciptaan lapangan
kerja. Secara bertahap dikonsolidasikan untuk digabung dengan berbagai program-program pemberdayaan masyarakat untuk penanggulangan kemiskinan
yang tersebar di kementrian/lembaga seperti PPK, P2KP, Proyek Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K), Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP), dan lain sebagainya.
PNPM Mandiri dikategorikan menjadi dua jenis, yakni PNPM Inti dan PNPM Penguatan. PNPM Inti terdiri dari program berbasis kewilayahan seperti
PNPM Pedesaan (PPK), PNPM Perkotaan (P2KP), PNPM Daerah Tertinggal (P2DTK), PNPM Infrastruktur Pedesaan (PPIP) dan PNPM Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah (PISEW). Sedangkan dengan kategori PNPM Penguatan yang
terdiri dari program pemberdayaan masyarakat berbasiskan sektoral, kewilayahan serta khusus mendukung penanggulangan kemiskinan seperti Program Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP), BLM untuk Keringanan Investasi Pertanian (BLM
KIP), PNPM Mandiri Kelautan dan Perikanan, PNPM Mandiri Pariwisata, PNPM Mandiri Perumahan dan Pemukiman serta PNPM Mandiri Generasi (TP PNPM,
2007)
UMKM dalam rangka penanggulangan kemiskinan, KUR khusus diperuntukan bagi UMKM dan Koperasi yang usahanya layak namun tidak mempunyai agunan
yang cukup sesuai persyaratan yang ditetapkan perbankan. Selain itu, KUR memberikan akses kredit kepada kelompok masyarakat yang telah dilatih dan ditingkatan keberdayaan serta kemandiriannya pada program berbasis
pemberdayaan masyarakat PNPM Mandiri, sehingga mampu untuk memanfaatkan skema pendanaan yang berasal dari lembaga keuangan formal seperti Bank,
Koperasi, BPR, dan sebagainya. UMKM dapat langsung mengakses KUR di Bank Pelaksana yaitu Bank BRI, Bank Mandri, Bank BNI, Bank BTN, Bank Bukopin, dan Bank Syariah Mandiri atau melalui lembaga keuangan mikro serta melalui
kegiatan linkage program lainnya yang bekerja sama dengan bank pelaksana. Sejak bulan Februari 2008, diluncurkan KUR mikro dengan plafon maksimum
lima juta rupiah per nasabah usaha mikro yang disalurkan melalui bank pelaksana KUR (TKPK, 2009).
2.3.2. Perkembangan Program Kemiskinan di DKI Jakarta
Dalam menanggulangi kemiskinan, berbagai kebijakan telah dilakukan oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta. Batasan kemiskinan mengacu kepada hasil Konferensi Dunia untuk Pembangunan Sosial (World Summit for Social
Development) tahun 1995 dikatakan sebagai wujud yang majemuk, termasuk rendahnya tingkat pendidikan, dan sumberdaya yang produktif yang menjamin
kehidupan gelandangan dan tempat tinggal yang tidak memadai; lingkungan yang tidak aman dan diskriminatif serta keterasingan sosial. Dari batasan tersebut dapat
dilihat bahwa masalah kemiskinan bukan merupakan masalah satu sektor saja melainkan multi dimensional/multi sektor, sehingga dalam penanggulangannya perlu dikoordinasikan dari berbagai sektor.
Menindaklanjuti Keputusan Presiden Nomor 124 Tahun 2001 Tentang Komite Penanggulangan Kemiskinan, maka Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan melalui Keputusan Gubernur Nomor 1582/2002. Komite yang terdiri dari berbagai instansi terkait ini mempunyai tugas pokok yang salah satunya adalah meningkatkan keberhasilan
penanggulangan kemiskinan di Provinsi DKI Jakarta yang diantara dengan melakukan langkah-langkah nyata untuk mempercepat pengurangan jumlah
penduduk miskin. Upaya penanggulangan kemiskinan ini diperkuat pula dengan Keputusan Gubernur Nomor 1791/2004 tentang Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Provindi DKI Jakarta.
Strategi induk penanggulangan masalah kemiskinan Provinsi DKI Jakarta adalah mendorong terciptanya lembaga keuangan mikro professional berbasis non-kolateral di tingkat kelurahan sebagai intitusi yang diharapkan dapat
mendorong peningkatan kemampuan dasar masyarakat miskin dalam meningkatkan pendapatan sekaligus akses terhadap sumberdaya ekonomi. Strategi
ini dilakukan melalui dua pendekatan yaitu (a) community empowerment dan
Community empowerment dan capacity building adalah upaya meningkatkan pendapatan melalui produktivitas dengan penguatan kemampuan
masyarakat miskin dalam pengelolaan, memperoleh peluang dan perlindungan untuk membentuk hasil yang lebih baik dalam berbagai kegiatan ekonomi, politik, sosial dan budaya. Seangkan social protection adalah upaya untuk mengurangi
pengeluaran masyarakat melalui pemberian subsidi dan bantuan untuk mengurangi pengurangan beban kebutuhan dasar seperti akses teradap pendidikan,
kesehatan, dan infrastruktur yang mempermudah mendukung kegiatan sosial ekonomi.
Untuk mencapai strategi induk diperlukan strategi penunjang yaitu:
1. Pengembangan basis data dan penetapan indikator penduduk miskin sesuai
dengan kondisi faktual DKI Jakarta sehingga diperoleh pemetaan dan
identifikasi masalah kemiskinan yang komperhensif sebagai dasar berbagai program intervensi penanggulangan kemiskinan.
2. Pengembangan multi process card penduduk miskin sebagai mekanisme
wujud perlindungan sosial yang menjamin ketetapan pemberian subsidi dan bantuan dalam upaya peningkatan akses penduduk miskin kepada layanan kebutuhan dasar yang bersifat langsung seperti pendidikan, kesehatan serta
layanan dasar lainnya.
3. Pembentukan jejaring kerja antara pemerintah, legislatif, dunia usaha dan
Pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan dilaksanakan secara terpadu dan terkoordinasi yang meliputi aspek-aspek pendidikan, kesehatan,
ekonomi, subsidi, fisik lingkungan, tenaga kerja, pemberdayaan masyarakat dan perlindungan sosial. Berbagai program aksi telah dilaksanakan untuk aspek-aspek tersebut. Khusus untuk aspek subsidi, beberapa program yang telah dilaksanakan
adalah beras miskin, bantuan beasiswa siswa/mahasiswa kurang mampu, dan bantuan air bersih.
Dalam rangka penaggulangan kemiskinan, pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2004 telah mengalokasikan 884 milyar rupiah. Alokasi tertinggi adalah untuk pemberdayaan masyarakat yang di dalamnya termasuk
Program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (PPMK). Selain pemberdayaan masyarakat, sektor yang menjadi fokus penanggulangan kemiskinan adalah
bidang pendidikan dan kesehatan. Salah satu cara untuk memutuskan rantai kemiskinan rumah tangga adalah dengan meningkatkan pendidikan anggota rumah tangga sehingga mereka berpeluang untuk mendapatkan pekerjaan yang
lebih baik.
Tabel. 2.1 Program dan Alokasi Dana Penanggulangan Kemiskinan di DKI Jakarta Tahun 2004
Bidang yang di berikan Bantuan Besarnya Bantuan (Rp) Usaha Kecil Menengah dan Koperasi 26.002.000.000 Permukiman 4.045.665.000 Perindustrian 310.000.000 Pariwisata 50.000.000
Peternakan dan Perikanan 1.184.000.000
Pendidikan 267.987.835.000
Pemberdayaan Masyarakat 359.550.000.000
Pemerintahan 3.809.663.000 Kependudukan dan Keluarga Berencana 8.141.939.088 Pemakaman 752.400.000 Kesehatan 207.632.069.100 Total 884.112.555.188 Sumber: Bapeda Pemprov DKI Jakarta, 2005
Program Pemberdayaan Mayarakat Kelurahan (PPMK) adalah program yang digulirkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk memberdayakan
masyarakat yang mencangkup seluruh aspek kehidupan dan penghidupan masyarakat baik fisik maupun non-fisik melalui lembaga kemasyarakatan yang ada di kelurahan, dengan mengadakan bantuan langsung kepada masyarakat.
Pelaksanaan PPMK mengacu pada Pelaksanaan P2KP. Bantuan langsung diberikan dengan pendekatan Tribina, yaitu bina ekonomi adalah sebesar 60
persen berupa dana bergulir, untuk bina fisik dan sosial masing-masing 20 persen. Di samping itu prinsip-prinsip dari pelaksanaan PPMK ini mengacu pula pada prinsip P2KP seperti demokrasi, transparansi, partisipatif, dan akuntabilitas.
Program ini digulirkan pada tahun 2001 dengan pemberian dana sebesar dua milyar rupiah pada beberapa kelurahan. Sejak tahun 2002, seluruh kelurahan
mendapatkan dana PPMK sebesar 250 juta rupiah. Nilai dana PPMK terus mengalami peningkatan, pada tahun 2003 naik menjadi 500 juta rupiah per kelurahan dan pada tahun 2004 menjadi 700 juta rupiah. Pada tahun 2005 setiap
kelurahan memperoleh dana PPMK sebesar satu milyar rupiah.
Pemerintah DKI Jakarta sangat memperhatikan masalah pendidikan karena
dapat terus berada di luar lingkaran kemiskinan. Program penanggulangan kemiskinan yang berkaitan dengan masalah pendidikan telah dilakukan baik untuk
pendidikan dasar (SD dan SMP) maupun tingkat pendidikan menengah (SMU/K dan PT). Dana yang disalurkan untuk pendidikan hingga tahun 2004 adalah sebesar 268 milyar rupiah. Dana tersebut dialokasikan untuk berbagai kegiatan
diantaranya:
a. Bantuan biaya pendidikan b. Penyelenggaraan SD Wajar
c. Penyelenggaraan program Paket A dan Paket B d. Penyelenggaraan guru kunjung
e. Program pemberian makanan tambahan anak murid SD
f. Pembinaan keterampilan menjahit anak putus sekolah g. Pembinaan keterampilan tata boga anak putus sekolah
Di samping pendidikan, bidang kesehatan menjadi prioritas utama dalam penanggulangan kemiskinan. PRSP Sourcebook Bank Dunia menjelaskan bahwa
dampak kondisi kesehatan yang buruk berpengaruh terhadap kemiskinan, yang meliputi dimensi sebagai berikut:
1. Ketidakmampuan untuk mempertahankan pekerjaan
2. Ketidakmampuan untuk memperoleh pendapatan yang memadai
3. Menurunnya kemampan belajar dan berfikir 4. Risiko cidera dan kecelakaan
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2004 mengalokasikan dana sebesar 207,6 milyar rupiah bagi penanggulangan kemiskinan di bidang
kesehatan, diantaranya adalah untuk: a. Pelayanan keluarga miskin b. Imunisasi posyandu
c. Intervensi balita gizi buruk
d. Pemberian makanan tambahan untuk balita kurang gizi e. Pemberian makanan tambahan untuk ibu hamil
Kegiatan-kegiatan ini sebagian besar dilakukan di puskesmas, karena puskesmas adalah tempat pelayanan kesehatan yang paling banyak dikunjungi
oleh rumah tangga miskin. Harga yang relatif terjangkau dan lokasi yang relatif dekat dengan tempat tinggal menjadi faktor utama pemilihan puskesmas sebagai
tempat berobat rumah tangga miskin.
Faktor utama yang menyebabkan rumah tangga terjerat dalam kemiskinan adalah tingkat pendapatan yang rendah. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
mengalokasikan dana sebesar 26 milyar rupiah untuk membantu usaha kecil dan menengah agar mereka mampu untuk meningkatkan pendapatan mereka. Beberapa kegiatan yang dilakukan diantaranya adalah:
1. Bimbingan teknis usaha kecil dan menengah
2. Bimbingan konsultasi usaha kecil dan menengah 3. Pembuatan depo/warung usaha kecil dan menengah
5. Diklat kewirausahaan dan manajemen bagi kelompok usaha kecil dan
menengah
6. Pembinaan teknis usaha skala mikro
7. Pasar rakyat
8. Pembentukan usaha kecil dan sejenisnya
Bidang kependudukan menjadi perhatian dalam program penanggulangan kemiskinan. Pada tahun 2004, dana yang dialokasikan untuk bidang
kependudukan dan keluarga berencana sekitar delapan milyar rupiah. Kegiatan keluarga berencana ditekankan pada pengadaan alat kontrasepsi dan pelayanan KB bagi akseptor KB yang berasal dari keluarga miskin.
2.4. Kerangka Pemikiran
Dalam analisis ekonomi regional, secara implisit seringkali diasumsikan bahwa daerah atau region yang dianalisis adalah homogen. Padahal secara faktual
terdapat perbedaan yang menciptakan suatu hubungan unik antara suatu bagian dengan bagian lainnya dalam wilayah tersebut. Dalam suatu wilayah, ada penduduk atau kegiatan yang terkonsentrasi pada suatu tempat, yang disebut
dengan berbagai istilah seperti: kota, pusat perdagangan, pusat industri, pusat pertumbuhan, simpul distribusi, pusat permukiman, atau darah modal. Sebaliknya,
daerah di luar pusat konsentrasi dinamakan: daerah pedalaman, wilayah belakang (hinterland), daerah pertanian atau daerah pedesaan (Tarigan, 2004).
Proses aglomerasi pada pusat pertumbuhan di Jakarta, menjadikan Jakarta
penduduk yang senantiasa meningkat. Pertumbuhan penduduk yang pesat akan menimbukan berbagai masalah, antara lain masalah penyediaan lapangan kerja,
perumahan, infrastruktur, kriminalitas, kependudukan dan lingkungan.
Ketika lapangan kerja formal yang tersedia tidak dapat menyerap seluruh angkatan kerja, maka mereka yang tidak terserap akan masuk ke sektor kerja yang
informal dan sebagian dari mereka akan menjadi pengangguran. Pendapatan yang diterima di sektor informal jauh lebih rendah dibandingkan yang diperoleh di
sektor formal. Dengan pendapatan rendah tersebut, maka mereka sulit untuk mengakses pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, air bersih, dan tempat tinggal yang layak.
Kebijakan-kebijakan pembangunan yang diterapkan oleh pemerintah DKI Jakarta sering kali berdampak pada timbulnya kemiskinan. Iklim usaha yang tidak
baik dapat berdampak pula pada kemiskinan. Penerapan Upah Minimum Provinsi (UMP) yang dirasakan cukup berat dapat menyebabkan mengurangi jumlah pegawainya. Kebijakan ekonomi dimasa lalu telah menyebabkan krisis ekonomi
yang cukup parah di Indonesia. Roda perekonomian yang lumpuh telah menyebabkan banyak perusahaan harus melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran. Hal ini berdampak pada peningkatan jumlah penduduk
miskin. Di samping itu, kebijakan dalam bidang tenaga kerja yang ada belum dapat mengatasi masalah pengangguran, dampaknya adalah jumlah pengangguran
yang tinggi.
membedakan karakteristik penyebab kemiskinan pada penduduk miskin itu sendiri. Sehingga, faktor-faktor yang ada tidak terbentuk menjadi integerasi yang
utuh dan sulit untuk dikaji untuk membuat kebijakan yang lebih efektif.
Program yang bersifat bantuan langsung seperti raskin, BLT, PKH, jamkesmas, dan beasiswa miskin mempunyai kelemahan terutama dalam
penetapan sasaran. Penyaluran bantuan tidak tepat sasaran baik karena data yang tidak valid maupun minimnya penerapan prinsip good governance di lembaga
penyaluran bantuan.
Program-program pemberdayaan masyarakat seperti PPK, P2KP, P4K yang saat ini masih terintegerasi dengan PNPM Mandiri masih menggunakan
logika proyek, belum optimal melibatkan penduduk miskin dalam menentukan jenis maupun sosialisasi kegiatan sehingga manfaat yang diperoleh tidak sesuai
dengan kebutuhan penduduk miskin. Program PNPM Mandiri juga belum terlaksana di seluruh daerah karena keterbatasan anggaran (Ardaninggar, 2009). Kendala eksternal yang terjadi seperti krisis energi pada tahun 2005 dan krisis
global yang mulai terasa dampaknya pada tahun 2008 membawa pengaruh terhadap seluruh sendi perekonomian. Guncangan ini mengakibatkan peningkatan inflasi dan penurunan permintaan dan penawaran agregat sehingga banyak
penduduk miskin semakin terpuruk.
Penelitian ini akan menduga dari sisi sosial-ekonomi, bahwa pendidikan,
./
Analisis Pemerintah
Analisis Penelitian
Program-program dan Kebijakan Pengurangan Kemiskinan
Pemerintah DKI Jakarta
Tingginya Angka Kemiskinan Provinsi DKI Jakarta
1. Terdapat faktor yang menyebabkan kemiskinan, diantaranya:
a. Angka melek huruf mempengaruhi kemiskinan. Penurunan angka
melek huruf akan memperbanyak jumlah penduduk miskin dan sebaliknya.
b. Kepadatan penduduk mempengaruhi kemiskinan. Penurunan
kepadatan penduduk akan menurunkan jumlah penuduk miskin dan sebaliknya
c. Tingkat ketergantungan mempengaruhi penduduk miskin. Semakin
kecil tingkat ketergantungan maka jumlah penduduk miskin akan
semakin berkurang dan sebaliknya.
d. Laju pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta mempengaruhi kemiskinan.
Peningkatan perekonomian DKI Jakarta akan menurunkan jumlah
penduduk miskin dan sebaliknya
e. Pendapatan perkapita mempengaruhi kemiskinan. Peningkatan pendapatan perkapita akan mengurangi tingkat kemiskinan dan
sebaliknya
f. PDRB sektor industri mempengaruhi kemiskinan. Semakin besar
PDRB sektor industri maka penduduk miskin akan semakin berkurang. g. PDRB sektor jasa mempengaruhi kemiskinan. Semakin besar PDRB
h. Tenaga kerja sektor industri mempengaruhi kemiskinan. Semakin
banyak tenaga sektor industri maka penduduk miskin akan semakin
berkurang.
i. Tenaga kerja sektor jasa mempengaruhi kemiskinan. Semakin banyak tenaga sektor jasa maka penduduk miskin akan semakin berkurang 2. Terdapat program-program yang telah dilakukan oleh pemerintah DKI
Jakarta maupun pemerintah nasional untuk mengatasi masalah
kemiskinan. Namun program-program tersebut belum dapat bekerja secara efektif dalam mengurangi angka kemiskinan secara signifikan. Maka, berdasarkan hasil analisis, akan diperoleh program-program dan kebijakan
III. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data yang diperlukan meliputi: angka meleh huruf, kepadatan penduduk, tingkat
ketergantungan, pendapatan perkapita, laju pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta, PDRB sektor industri, PDRB sektor jasa, tenaga kerja sektor industri, enaga kerja
sektor jasa.
Sumber data diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan publikasi dari beberapa penelitian terdahulu. Periode analisis pada penelitian ini adalah tahun
2002 sampai dengan tahun 2009.
3.2. Metode Analisis
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
deskriptif dan analisis panel data. Analisis deskriptif digunakan untuk memberikan gambaran umum tentang keadaan kemiskinan di DKI Jakarta. Sedangkan analisis panel data digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi kemiskinan di DKI Jakarta. Pengolahan data dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Microsoft Excel dan E-Views 6.
3.2.1. Analisis Panel Data
Data panel adalah data yang memiliki dimensi ruang (individu) dan waktu. Dalam data panel, jika setiap unit cross section memiliki jumlah observasi time
Penggabungan data cross section dan time series dalam studi data panel digunakan untuk mengatasi kelemahan dan menjawab pertanyaan yang tidak bisa
dijawab oleh model cross section dan time series murni.
Secara umum, keunggulan dari penggunaan data panel dalam analisis ekonometrik antara lain:
1. Mampu mengontrol heterogenitas individu
2. Memeberikan informasi yang lebih banyak dan beragam, meminimalkan
masalah kolinearitas, meningkatkan jumlah derajat bebas dan lebih efisien. 3. Data panel umumnya lebih baik jika digunakan dalam studi dynamics of
adjustment.
4. Data panel lebih baik dalam mengukur dan mengidentifikasi efek yang
tidak dapat dideteksi apabila menggunakan data cross section dan time
series murni.
5. Data panel dapat digunakan untuk mengkonstruksi dan menguji model
perilaku yang lebih kompleks dibandingkan data cros section atau time
series murni
Kendati demikian, analisis panel data juga memiliki beberapa kelemahan dan keterbatasan dalam penggunaannya khususnya apabila data panel
dikumpulkan atau diperoleh dengan metode survei. Permasalahan tersebut antara lain:
1. Relatif besarnya data panel karena melibatkan komponen cross section
coverage, nonresponse, kemampuan daya ingat responden, frekuensi dan waktu wawancara)
2. Distorsi kesalahan pengamatan (measurement error) yang umumnya
terjadi karena kegagalan respon (contoh: pertanyaan yang tidak jelas dan ketidaktepatan informasi)
3. Masalah selektivitas, yakni: selfselectivity, nonrespond, attrition (jumlah
responden yang terus berkurang pada survey lanjutan)
4. Cross section dependence (contoh: apabila macro panel data dengan unit
analisis negara atau wilayah dengan deret waktu yang panjang mengabaikan cross-country dependence maka dapat mengakibatkan
kesimpuln yang tidak tepat)
Model umum regresi panel data dapat diformulasikan sebagai berikut:
yit = α + βit + uit……….(3.1)
dimana uit ~ HD(0,σ2) dan i = 1, 2, 3, …, N adalah jumlah observasi antar individu sementara t = 1, 2, 3, …, T adalah observasi runtut waktu. Dalam persamaan
tersebut, intersep (α) dan slope (β) diasumsikan homogenus antara seluruh N individu dan T runtut waktu. Namun kondisi ini tidak selamanya sesuai dengan kerangka ekonomi yang dianalisis. Ketidaksesuaian ini dimungkinkan atas dua
kemungkinan, yaitu:
1. Suatu kondisi dimana intersep dalam model bersifat heterogen (αi≠αj)
sementara slopenya homogen (βi=βj)