• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2 Faktor yang Memengaruhi Kemiskinan

5.2.1 Angka Melek Huruf

Pendidikan merupakan salah satu faktor yang memengaruhi tingkat kemiskinan. Dalam model ini ditunjukan oleh angka melek huruf. Berdasarkan tabel estimasi, angka melek huruf mempunyai pengaruh terhadap pengurangan kemiskinan, dengan koefisien -0,396. Hal ini berarti setiap kenaikan satu persen angka melek huruf akan mengurangi kemiskinan sebesar 0,396 persen, dengan asumsi cateris paribus.

Hasil estimasi tersebut menunjukan pentingnya peran pendidikan sebagai investasi modal manusia (human capital) dalam upaya pengurangan kemiskinan. Rendahnya tingkat pendidikan penduduk suatu daerah masih menjadi salah satu faktor yang menyebabkan tingginya jumlah penduduk miskin daerah tersebut dan dapat menjadi salah satu penyebab timbulnya lingkaran setan kemiskinan. Menurut Bank Dunia (2006), rendahnya tingkat pendidikan penduduk miskin akan menyebabkan produktivitas rendah, produktivitas yang rendah akan membuat output dan pendapatan rendah, sehingga terjadi kemiskinan. Rumah tangga miskin akan kesulitan untuk membiayai anak-anaknya sekolah sehingga akan melahirkan generasi selanjutnya yang berpendidikan rendah dan menimbulkan kemiskinan baru. Dengan demikian, salah satu upaya untuk menurunkan tingkat kemiskinan sekaligus memotong rantai kemiskinan adalah dengan meningkatkan pendidikan penduduk miskin.

Pengentasan kemiskinan dalam bidang pendidikan pernah dilakukan pemerintah DKI Jakarta dengan memberikan program Bantuan Operasional Sekolah. Tetapi pada kenyataannya, program BOS yang telah dijalankan tidak efektif untuk mengurangi angka kemiskinan, karena program BOS sangat berlaku secara umum. Dana bantuan yang diberikan adalah untuk siswa yang telah ada di bangku sekolah untuk dapat melanjutkan sekolahnya dan mengurangi angka putus sekolah guna keberhasilan program yang lainnya, yaitu program wajib belajar 9 tahun. Namun pada kenyataannya, dana bos yang diberikan, salah satunya dalam bentuk beasiswa, kebanyakan bukan untuk orang miskin dan sering terjadi penyelewengan dalam penggunaan dana BOS.

5.2.2. Perekonomian

Faktor lainnya yang memengaruhi tingkat kemiskinan di Provinsi DKI Jakarta adalah dilihat dari sisi perekonomian yang tercerminkan pada laju pertumbuhan ekonomi. Diharapkan sekali bahwa di Provinsi DKI Jakarta terjadi laju pertumbuhan ekonomi dan pendapatan ekonomi yang besar yang sejalan dengan distribusi pendapatan pada setiap warganya yang merata.

Dari hasil analisis pengolahan data panel, terlihat bahwa koefisien laju pertumbuhan ekonomi adalah -0,36. Hal ini berarti bahwa setiap terjadi kenaikan laju pertumbuhan ekonomi sebesar satu persen, maka akan menurunkan tingkat kemiskinan di Provinsi DKI Jakarta sebanyak 0,36 persen, dengan asumsi cateris paribus. Hasil yang cukup untuk menjelaskan betapa pentingnya peningkatan laju pertumbuhan ekonomi dalam upaya pengurangan kemiskinan di Provinsi DKI Jakarta.

Hal ini berarti bahwa peningkatan laju pertumbuhan ekonomi adalah penting untuk membantu usaha pemerintah dalam mengurangi jumlah penduduk miskin. Peningkatan laju pertumbuhan ini diharapkan sejalan dengan pemerataan distribusi pendapatan sehingga penduduk dapat memperoleh pelayanan publik yang meliputi pelayanan akan kebutuhan dasar seperti kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan pangan menjadi lebih mudah karena memiliki akses, dalam hal ini pendapatan, untuk menjangkaunya. Laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang sejalan dengan peningkatan distribusi pendapatan akan mendorong pemerintah untuk dapat menyediakan pelayanan kebutuhan dasar yang lebih baik kepada masyarakat, sehingga dapat meningkatkan kualitas dan produktivitas masyarakat, yang pada akhirnya akan tercapai peningkatan investasi sumberdaya manusia yang lebih baik lagi.

Pada kenyataan beberapa tahun terakhir, fokus pemerintah DKI Jakarta hanyalah pada peningkatan pertumbuhan ekonomi tanpa melihat adanya peningkatan kesejahteraan sosial. Pertumbuhan ekonomi dipandang sebagai tujuan bukan dipandang sebagai alat, sehingga yang terjadi adalah program- program yang dijalankan pemerintah hanya memengaruhi perbaikan kondisi makroekonomi tanpa memperhatikan keadaan mikro dan keadaan riil yang terjadi di masyarakat. Contohnya adalah program Bantuan Langsung Tunai (BLT). Salah satu manfaat positif yang diberikan dari adanya bantuan ini adalah peningkatan pertumbuhan ekonomi. Hal ini terjadi karena BLT yang diberikan adalah untuk meningkatkan daya beli masyarakat yang secara agregat akan meningkatkan

output dan pendapatan nasional dalah jangka pendek tetapi tidak dapat mempertahankan kestabilan pertumbuhan dalam jangka panjang.

Kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang dilakukan pemerintah kurang efektif untuk mengurangi kemiskinan. Penyaluran bantuan tidak tepat sasaran baik karena data yang tidak valid maupun kurangnya penerapan prinsip

good governance di lembaga penyaluran bantuan. Data BPS (2002-2009) menunjukan bahwa penyaluran BLT ternyata masih diterima oleh penduduk yang memiliki pendapatan di atas pendapatan rata-rata walaupun angkanya masih dibawah 10 persen. Selain itu, dari sisi psikologi, pemberian bantuan langsung ini cenderung menjadikan masyarakat miskin menjadi semakin malas untuk bekerja karena sudah terbiasa menerima bantuan. Lalu, bantuan yang diberikan seringkali tidak digunakan untuk hal investasi dalam melanjutkan kehidupan, tetapi digunakan untuk kebutuhan konsumsi yang akan habis dalam sekali penggunaannya tanpa memberikan hasil apapun dikemudian hari.

Pemerintah juga menyadari bahwa laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak akan mampu meningkatkan kesejahteraan penduduk dan mengurangi kemiskinan, jika masih terjadi banyak ketimpangan terutapa pada pendistribusian pendapatan. Sering kali yang terjadi adalah 90 persen dari pendapatan dinikmati oleh 20 persen dari total penduduk, sedangkan sisanya yang 10 persen, dinikmati oleh 80 persen dari total penduduk satu daerah. Oleh karena itu, pemerintah mengeluarkan kebijakan berupa penerapan pajak progresif untuk mengatasinya.

Tetapi pada kenyataannya, penerapan pajak progresif juga belum efektif untuk mengurangi ketimpangan pendapatan. Penetapan pajak progresif yang

dilakukan baru menyentuh pada pajak progresif kendaraan, rumah, dan barang mewah lainnya. Penetapan pajak progresif belum dilakukan pada pendapatan. Lalu, penerapan pajak progresif juga menyebabkan trade-off kebijakan yang merugikan bagi pengusaha. Hal ini disebabkan, apabila pajak progresif diterapkan pada pendapatan, maka akan menimbulkan pembengkakkan biaya produksi, karena akan lebih banyak lagi biaya yang dikeluarkan untuk membayar pegawai. Pembengkakan biaya produksi akan membuat pengusaha untuk lebih melakukan penekanan pada inputnya, salah satunya adalah dengan mengurangi tenaga kerja. 5.2.3. PDRB Sektoral

Besarnya pengaruh peningkatan PDRB sektoral dapat dilihat dari besarnya nilai koefisien parameter yang juga menunjukan nilai estimasinya. Berdasarkan Tabel 5.3, PDRB sektoral pada sektor industri mempunyai pengaruh yang nyata terhadap pengurangan kemiskinan, dengan pengaruh sebesar -0,124. Hal ini berarti bahwa setiap terjadi kenaikan PDRB sektor industri sebesar 1 trilyun rupiah, maka akan mengurangi 0,124 persen tingkat kemiskinan, dengan asumsi

cateris paribus.

Peningkatan produktivitas seluruh sektor mempunyai peran yang sangat penting dalam upaya pengurangan kemiskinan di DKI Jakarta, terutama sektor jasa dan industri. Hal ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Suparno (2010) bahwa salah satu yang mempunyai andil besar dalam upaya menurunkan kemiskinan adalah peningkatan di sektor jasa dan sektor industri. Hasil ini sejalan pula dengan temuan Suryahadi (2006) yang menyatakan bahwa

pertumbuhan pada sektor jasa di perkotaan memberikan nilai elastisitas kemiskinan yang tinggi di semua sektor.

Hal ini terjadi karena di DKI Jakarta sektor yang menjadi sektor unggulan adalah industri sehingga memberikan share yang cukup banyak di seluruh perekonomian di DKI Jakarta. Hasilnya akan menyebar ke seluruh bidang kehidupan termasuk pada penguragan tingkat kemiskinan. Perlu adanya penekanan kembali pada kebijakan pemerintah DKI Jakarta dalam upaya mengurangi kemiskinan yang kaitannya dalam produktivitas sektor ekonomi.

Dalam sektor industri, pemerintah berfokus pada perindungan pengusaha dalam negeri. Pemerintah menerapkan kebijakan yang menghalangi masuknya investor dari luar luar. Dalam satu sisi, kebijakan berupa hambatan-hambatan dengan subsidi ekspor dan subtitusi impor dapat melindungi pengusaha dalam negeri, tetapi juga akan menghambat adanya investor yang masuk, yang pada akhirnya berdampak pada kondisi persaingan di pasar. Persaingan yang terjadi tidak membuat pengusaha lokal bergairah untuk lebih melakukan efisiensi pada peningkatan kualitas dan nilai tambah, melainkan persaingan yang terjadi adalah persaingan pada tingkat harga. Kebijakan tersebut merupakan kebijakan yang terlalu memanjakan pengusaha dan jika berlangsung secara berkelanjutan, maka peningkatan pertumbuhan pada sektor industri tidak akan terjadi dan tidak akan memacu pada pengurangan tingkat penduduk miskin.

Dokumen terkait