• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

6

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan Umum

Perencanaan konstruksi jalan rel baik jalur tunggal maupun jalur ganda harus direncanakan sesuai perencanaan teknis, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara teknis, non teknis, dan ekonomis. (PM 60 tahun 2012)

Secara teknis diartikan konstruksi jalan rel tersebut harus dapat dilalui kendaraan pengguna rel dengan aman dengan tingkat kenyamanan tertentu selama umur konstruksinya. Secara nonteknis diartikan bahwa dalam pembangunan jalan rel tersebut harus memperhatikan kendala dan masalah-masalah yang dirasakan langsung maupun tidak langsung oleh masyarakat. Seperti halnya pembebasan tanah maupun pengambilan hak penggunaan lahan PT.KAI guna lahan area jalur baru yang selama ini dimanfaatkan oleh masyarakat, serta konstruksi jalan rel tersebut tidak menimbulkan permasalahan sosial dan lingkungan, sehingga masyarakat dapat menerima dengan baik dan tidak terganggu oleh keberadaannya. (PM 60 tahun 2012)

Secara ekonomis diharapkan agar pembangunan dan pemeliharaan konstruksi jalan rel tersebut dapat diselenggarakan dengan biaya sekecil mungkin namun masih dapat terjamin keamanan dan kenyamanannya. (PM 60 tahun 2012)

2.2 Kriteria Desain

Dalam perencanaan ini mengacu pada RIPNAS (Rencana Induk Perkeretaapian Nasional) yang menjelaskan tentang program utama pengembangan jaringan dan layanan kereta api antar kota telah di jelaskan mengenai sarana dan prasarana yang harus tersedia untuk mendukung pengembangan kereta api antar kota ini, sehingga tujuan mengurangi beban jalan raya dapat terpenuhi.

(2)

Pengembangan prasarana menurut peraturan dinas no 10 tahun 1986 mengenai perencanaan konstruksi jalan rel dilakukan dengan peningkatan

track modulus yang mengarah pada penggunaan rel tipe R-54 pada lintasan

utama dengan bantalan beton berjarak sekitar 60 cm satu sama lain dengan tekanan gandar lebih besar (tekanan gandar minimum 15 ton pada jalan rel baru dan jembatan pada semua jalur utama) dan penggunaan lebar sepur 1067 mm serta kecepatan rencana maksimal sebesar 120 km/jam.

Pola operasi kereta jalur ganda ini tiap jalurnya hanya digunakan searah, sehingga memaksimalkan waktu perjalanan kereta api karena ada 2 kereta yang dapat melakukan perjalanan sekaligus. Untuk menunjang jalur ganda ini pola operasi di stasiun juga mengalami perubahan yang sebelumnya hanya memiliki satu sepur utama, diperlukan penambahan sepur utama karena bila ada kereta api yang tidak berhenti di salah satu stasiun dapat langsung berjalan tanpa mengurangi waktu perjalanan kereta tersebut.

2.3 Penentuan Letak Jalur Kereta Api

Dengan menggunakan trase jalur kereta api yang sudah ada maka untuk perencanaan jalur baru menurut peraturan menteri perhubungan no PM 60 tahun 2012 mengenai persyaratan teknis jalur kereta api memiliki beberapa pertimbangan, sebagai berikut.

2.3.1 Pemilihan Letak Jalur Kereta Api

Pemilihan dilakukan mengacu pada posisi jalan rel lama, sehingga jarak di ruang bebas di ambil dari as rel jalan rel lama. Beberapa cara yang digunakan sebagai pertimbangan dalam pemilihan letak jalur baru, sehingga letak atau posisi jalur baru tersebut layak untuk dipilih. Beberapa poin pertimbangan untuk menentukan letak jalur baru berada disebelah kanan atau kiri eksisting, yaitu : (PM 60 tahun 2012)

- Posisi kanan : kondisi eksisting > 5,95m, lahan KAI > 5,95m, emplasemen stasiun tujuan sebelah kanan, letak jalur baru bisa digunakan.

(3)

- Posisi kiri : kondisi eksisting > 5,95m, lahan KAI > 5,95m, emplasemen stasiun tujuan sebelah kiri, letak jalur baru bisa digunakan. a) Ruang Bebas Pada Jalur Ganda (ROW)

Gambar 2.1 Ruang bebas pada bagian lurus untuk ganda Sumber : PM 60 Persyaratan Teknis Jalur Kereta Api,2012

Dimana :

Batas I = Untuk jembatan dengan kecepatan sampai 60 km/jam

Batas II = Untuk viaduct dan terowongan dengan kecepatan sampai 60 km/jam dan untuk jembatan tanpa pembatasan kecepatan Batas III = Untuk viaduct baru dan bangunan lama kecuali terowongan dan

jembatan

(4)

Gambar 2.2 Ruang bebas pada lintasan lengkung Sumber : PM 60 Persyaratan Teknis Jalur Kereta Api,2012

Dimana :

b) Kondisi Eksisting Lahan (letak daerah pemukiman, posisi pilar jembatan, sungai dan lain-lain)

Dalam penentuan trase dibuat agar seminimal mungkin melintasi daerah permukiman yang ada. Karena selain biaya yang dikeluarkan lebih tinggi jika dibandingkan dengan pembebasan lahan kosong, juga menghindari adanya konflik sosial yang muncul akibat pembangunan jalan tersebut. Mengingat terdapat trase jalur kereta api ini melintas dibawah beberapa jembatan untuk itu perlu diperhatikan posisi pilar jembatan yang sudah ada.

c) Lahan PT.KAI

Pertimbangan ini untuk mengantisipasi kesulitan pada saat akan dibangunnya jalur baru. Apabila ada bangunan yang menjadi hambatan

(5)

dalam ruang bebas (ROW) jalur baru dan masih merupakan lahan milik PT.KAI maka pembebasan lahan dapat dilakukan dan harus mengeluarkan biaya untuk membeli lahan baru.

d) Emplasemen Stasiun Tujuan

Dengan mempertimbangkan posisi sepur utama di emplasemen stasiun yang dituju akan mempertahankan kecepatan kereta api apabila kereta api tersebut tidak perlu berhenti di stasiun tersebut, sehingga waktu perjalanan dapat lebih di optimalkan.

2.4 Analisa Pola Operasional Kereta Api

Kajian operasional diawali dengan evaluasi terhadap kepadatan lintas jalur tunggal eksisting yang dihadapkan dengan kapasitas lintasnya. Dimana untuk saat ini pola operasi kereta api di atur oleh GAPEKA atau Grafik Perjalanan Kereta Api, GAPEKA adalah grrafik yang mengatur perjalanan kereta api seharian penuh selama 24 jam dimana kereta yang masuk stasiun diatur jam keberangkatan dan kedatangannya.Sebelumnya melakukan evaluasi terhadap kepadatan dan kapasitas lintas sekiranya perlu dipahami beberapa karakteristik dan sifat-sifat umum pada jalur tunggal dan jalur ganda berdasarkan peraturan menteri no PM 60 tahun 2012 mengenai persyaratan teknis jalur kereta api, sebagai berikut.

A. Jalur Tunggal

1) Kecepatan rata-rata kereta api pada sistem jalur tunggal sangat rendah dan semakin banyak kereta api yang dioperasikan semakin rendah pula kecepatan rata-ratanya. Hal ini disebabkan pada sistem jalur tunggal untuk keamanan operasional perjalanan kereta api dikenal adanya skala prioritas untuk memberikan kesempatan pada kereta api yang mempunyai kecepatan jelajah lebih tinggi, dan untuk kereta api yang memeiliki kecepatan yang lebih rendah wajib berhenti di stasiun untuk menunggu jalur yang dapat digunakan. Bagi kereta api yang berhenti dan menunggu di stasiun untuk persilangan akan mengalami kerugian waktu minimum ± 8menit dan maksimum di tambah waktu perjalanan

(6)

kereta api dari arah lawan pada petak depannya, sehingga kerugian total waktu persilangan rata-rata ± 10menit.

2) Penyusulan lebih sering dilaksanakan. Selama ada skala prioritas operasional perjalanan kereta api, maka bagi kereta api yang memiliki prioritas lebih rendah akan lebih sering mengalami persilangan dan akan lebih sering disusul oleh kereta api yang mempunyai prioritas lebih tinggi.

Pada umumnya dengan terjadinya persilangan bagi kereta api yang skala prioritas perjalanannya lebih rendah akan mengakibatkan penurunan kecepatan jelajahnya, sehingga terjadi penyusulan oleh kereta api di belakangnya yang memiliki prioritas perjalanan lebih tinggi. Kerugian waktu minimum bagi kereta api yang berhenti dan menuggu di stasiun untuk penyusulan ± 15menit dan maksimum ditambah waktu perjalanan kereta api yang bersangkutan pada petak jalan dimukanya, sehingga kerugian waktu rata-rata menjadi ± 20menit.

3) Pada jalur tunggal usaha meningkatkan kapasitas lintas hanya bisa dilakukan dengan memperpendek jarak secara fisik di antara 2 stasiun untuk persilangan.

4) Pemasangan persinyalan elektrik dan peningkatan kecepatan kereta api sebagai usaha meningkatkan kapasitas lintas pengaruhnya relatif sangat kecil.

B. Jalur Ganda

1) Kecepatan rata-rata kereta api pada sistem jalur ganda lebih tinggi bila dibandingkan dengan jalur tunggal, bahkan di jalur ganda ini kecepatan rata-ratanya hampir mendekati kecepatan kereta api yang direncanakan GAPEKA (Grafik Perjalanan Kereta Api).

Hal ini disebabkan karena pada sistem jalur ganda tidak ada persilangan sehingga kecepatan rata-rata bagi semua kereta api menjadi lebih singkat (mendekati waktu perjalanan dalam GAPEKA) bila dibandingkan waktu perjalanan pada jalur tunggal.

(7)

2) Penyusulan jarang sekali terjadi karena tergantung dari kecepatan rata-rata dan pola opersi di lintas yang bersangkutan sehingga kerugian operasi perjalanan rata-rata di jalur ganda relatif lebih kecil. Pengaturan penyusulan lebih mudah perencanannya yaitu dengan mengatur pola operasi perjalanan kereta api saat menyusun GAPEKA.

3) Setiap stasiun yang dilalui oleh jalur ganda harus memiliki sepur samping di kanan atau kiri sepur utama guna menempatkan kereta yang terkena susulan.

2.5 Geometri Jalan Rel

Perencanaan geometri jalan rel akan dilakukan sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Peraturan Dinas No.10 1986 mengenai perencanaan konstruksi jalan rel yang dalam hal ini kecepatan rencana akan ditingkatan sampai dengan 120 km/jam, sehingga di beberapa lengkungan perlu diadakan penyesuaian terutama jari-jari (radius) sesuai dengan kecepatan rencana. Berdasarkan karakteristik dasar jalan rel (kecepatan rencana serta ukuran-ukuran kereta yang melewatinya) para perancang dapat membuat geometrik jalan rel, semisal alinyemen vertikal dan alinyemen horizontal. Keduanya harus dirangkai dengan baik, teliti penempatan struktur dari jalan rel harus ditempatkan secara baik pula. Selain itu geometri jalan rel juga direncanakan berdasarkan dengan memperhatikan faktor keamanan, kenyamanan, ekonomi dan keserasian dengan lingkungan sekitarnya.

2.5.1 Alinyemen Vertikal

Alinyemen vertikal adalah proyeksi sumbu jalan rel pada bidang vertikal yang melalui sumbu jalan rel tersebut, bila terdapat perbedaan kelandaian maka lengkung vertikal digunakan, sehingga peralihan dapat terjadi secara berangsur-angsur dari suatu landai ke kelandaian berikutnya sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Peraturan Dinas No.10 1986 mengenai perencanaan konstruksi jalan rel. Alinyemen vertikal terdiri dari

(8)

garis lurus dengan atau tanpa kelandaian dan lengkung vertikal yang berupa busur lingkaran.

1. Lengkung vertikal

Pada setiap pergantian landai harus dibuat lengkung vertikal yang memenuhi keamana dan kenyamana. Panjang lengkung vertikal berupa busur lingkaran yang menghubungkan dua kelandaian lints berbeda, ditentukan berdasarkan besarnya jari-jari lengkung vertikal dan perbedaan kelandaian.

Kriteria alinyemen vertikal sebagai berikut :

a. Beberapa kelandaian yang berlainan dalam jarak pendek disederhanakan menjadi satu kelandaian.

b. Jika penurunan beralih ke pendakian atau pendakian beralih ke penurunan disediakan bagian mendatar dengan panjang minimum 200 m.

c. Tinggi puncak rel sedapat mungkin tidak diturunkan, kecuali tidak memenuhi syarat-syarat yang disebutkan sebelumnya,

Gambar 2.3 Skema Lengkung Vertikal Sumber : Rosyidi, 2015

Keterangan :

R = jari-jari lengkung vertikal L = panjang lengkung vertikal

(9)

A = titik pertemuan antara perpanjangan kedua landai atau garis lurus OA = 0,5 L

Perhitungan lengkung peralihan vertikal dapat dipakai persamaan :

𝑋𝑚 =𝑅

2 𝜑

𝑌𝑚 =𝑅

2 𝜑²

Besar jari-jari minimum dari lengkung vertikal bergantung pada besar kecepatan rencana sebagaimana tercantum pada tabel 2.1.

Tabel 2.1 Jari-Jari minimum lengkung vertikal Kecepatan rencana

(km/jam)

Jari-jari minimum lengkung vertikal (m)

> 100 8000

0-100 6000

Sumber : PM 60 Persyaratan Teknis Jalur Kereta Api,2012

Lengkung vertikal diusahakan tidak berhimpit atau bertumpangan dengan lengkung horizontal.

2.5.2 Alinyemen Horizontal

Alinyemen horizontal adalah proyeksi sumbu jalan di bidang horizontal. Alinyemen horizontal terdiri dari garis lurus dan lengkungan sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Peraturan Dinas No.10 1986 mengenai perencanaan konstruksi jalan rel. Untuk berbagai kecepatan rencana, besar jari-jari minimum yang diijinkan adalah seperti yang tercantum dalam tabel 2.2.

(10)

Tabel 2.2 jari-jari lengkung horizontal

Sumber : PD 10 Perencanaan Konstruksi Jalan Rel,1986

a. Lengkung tanpa peralihan (Full Circle)

Lengkung tanpa peralihan (full circle) terdiri dari dua bagian lurus yang perpanjangannya membentuk sudut harus dihubungkan dengan lengkungan yang membentuk lingkaran.

Gambar 2.4 Skema lengkung lingkaran

Sumber : PD 10 Perencanaan Konstruksi Jalan Rel,1986

Parameter lengkung tanpa peralihan :

𝑇𝑐 = 𝑅 ∗ 𝑡𝑔1 2∆ 𝐸 = 𝑅 𝑐𝑜𝑠(12)∆− 𝑅 𝐿𝑐 = (∆𝜋 180) ∗ 𝑅

(11)

Keterangan :

Tc = panjang tangen dari PI (Point Of Intersection), (m) R = jari-jari alinyemen horizontal, (m)

∆ = sudut alinyemen horizontal, (°)

E = jarak dari PI ke sumbu jalan arah pusat lingkaran, (m) Lc = panjang busur lingkaran, (m)

b. Lengkung Peralihan (Spiral – Circle - Spiral)

Lengkung peralihan adalah suatu lengkung dengan jari-jari yang berubah beraturan. Lengkung peralihan dipakai sebagai peralihan antara bagian yang lurus, bagian lingkaran dan sebagai peralihan antara dua jari-jari lingkaran yang berbeda. Panjang minimum dari lengkung peralihan ditetapkan dengan rumus berikut :

𝐿 = 0,01ℎ𝑣

Keterangan :

Lh = panjang minimum lengkung peralihan (m)

h = pertinggian relatif antara dua bagian yang dihubungkan (mm) v = kecepatan rencana untuk lengkungan peralihan (km/jam) Sudut spiral

Sudut yang dibentuk pada titik SC dan CS

𝜃𝑠 = 90𝐿𝑠

𝜋𝑅 Keterangan :

Ls = panjang lengkung peralihan (m) R = jari-jari lengkung horizontal (m) Panjang busur lingkaran

Panjang lengkung antara titik SC dan CS

𝐿𝑐 =(∆ − 2𝜃𝑠) ∗ 𝜋𝑅

180 Keterangan :

R = jari-jari lengkungan horizontal (m) 𝜃𝑠 = sudut spiral yang dibentuk

(12)

∆ = sudut tikungan Panjang proyeksi titik p

Titik p adalah panjang proyeksi antara garis bantu PI tegak lurus terhadap pusat lingkaran.

𝑝 =𝐿𝑠²

6𝑅 − 𝑅(1 − 𝑐𝑜𝑠𝜃𝑠)

Keterangan :

Ls = panjang lengkung peralihan (m) R = jari-jari lengkung horizontal (m) 𝜃𝑠 = sudut spiral yang dibentuk Panjang titik k

Titik k adalah panjang proyeksi datar antara titik TS dengan SC.

𝜅 = 𝐿𝑠 − 𝐿𝑠3

40𝑅2− 𝑅 ∗ 𝑠𝑖𝑛𝜃𝑠

Keterangan :

Ls = panjang lengkung peralihan (m) R = jari-jari lengkung horizontal (m) 𝜃𝑠 = sudut spiral yang dibentuk Panjang titik TS

Panjang titik TS adalah panjang dari titik TS ke titik PI.

𝑇𝑠 = (𝑅 + 𝑝) ∗ 𝑡𝑔 (1

2∆) + 𝑘

Keterangan :

R = jari-jari lengkung horizontal (m) P = panjang proyeksi garis bantu PI (m) K = panjang antara titik TS dengan SC (m) ∆ = sudut tikungan

Panjang titik E

Panjang titik E adalah titik yang menghubungkan titik PI ke pusat lingkaran.

𝐸 = (𝑅 + 𝑝)

(13)

Keterangan :

R = jari-jari lengkung horizontal (m) P = panjang proyeksi garis abntu PI (m) ∆ = sudut tikungan

Panjang Xs Dan Ys

Koordinat peralihan dari circle ke spiral

𝑌𝑠 = 𝐿𝑠²

6 ∗ 𝑅

𝑋𝑠 =ℎ ∗ 𝑉

144 Keterangan :

R = jari-jari lengkung horizontal (m) Ls = panjang peralihan (m)

h = peninggian rel (m)

V = kecepatan rencana (km/jam)

Gambar 2.5 Skema lengkung lingkaran Spiral-Circle-Spiral Sumber : Rosyidi, 2015

Keterangan :

Xc = jarak dari titik TS ke SC

Yc = jarak tegak lurus ke titik SC pada lengkung Ls = panjang dari titik TS ke SC atau CS ke ST

Lc = panjang busur lingkaran (panjang dari titik SC ke CS) Ts = panjang tangen dari titik PI ke titik TS atau ke titik ST

(14)

TS = titik dari tangen ke spiral SC = titik dari spiral ke lingkaran Es = jarak dari PI ke busur lingkaran Rc = jari-jari lingkaran

p = pergeseran tangen terhadap spiral k = absis dari p pada garis tangen spiral 2.5.3 Pelebaran Spoor

Pelebaran spoor dilakukan agar roda kendaraan rel dapat melewati lengkung tanpa mengalami hambatan dimana spoor disini berarti jalur dengan dua rel yang harus dilintasi kendaraan rel yang lebih mengacu pada infrastruktur rel daripada lokomotif dan gerbong. Pelebaran spoor dicapai dengan menggeser rel dalam ke arah dalam. Besar pelebaran sepur untuk berbagai jari-jari tikungan adalah seperti yang tercantum dalam tabel 2.3.

Tabel 2.3 Pelebaran Spoor

Pelebaran spoor (mm) Jari-jari tikungan (m)

0 R > 600

5 550 < R > 600

10 400 < R > 600

15 350 < R > 400

20 100 < R > 350

Sumber : Peraturan Dinas PJKA, 1986 2.6 Struktur Jalan Rel

2.6.1 Penentuan Profil Rel

Menurut profilidis (2006) pemilihan profil rel didasarkan pada lebar track, berat rel dan lebar rel berdasarkan berat rel ditabelkan sebagai berikut :

(15)

Tabel 2.4 Struktur Jalan Rel

Sumber : PD 10 Perencanaan Konstruksi Jalan Rel,1986

1) Penambat

Penambat rel menurut Peraturan Dinas No.10 1986 mengenai perencanaan konstruksi jalan rel merupakan sebuah komponen jalan rel yang berfungsi untuk mengikatkan rel pada bantalan, sehingga kedudukan rel tetap, kokoh dan tidak bergeser dari bantalannya, semakin berat beban dan kecepatan yang semakin tinggi kereta yang melewati rel maka penambat yang digunakan harus lebih kokoh dan kuat..

Jenis penambat yang dipergunakan adalah penambat elastik dan penambat kaku. Penambat kaku terdiri atas paku rel, tirpon(tirefond) atau mur, baut, dengan atau tanpa pelat balas.

Gambar 2.6 Mur dan baut, tirpon dan paku rel Sumber : Rosyidi, 2015

(16)

Gambar 2.7 Pelat landas Sumber : Rosyidi, 2015

Gambar 2.8 Penambat kaku pada bantalan kayu menggunakan pelat landas, paku rel dan tirpon(tirefond)

(17)

Gambar 2.9 Penambat kaku pada bantalan kayu menggunakan pelat landas dan tirpon(tirefond)

Sumber : Utomo, 2009

Penambat elastik terdiri dari dua jenis, yaitu penambat elastik tunggal dan penambat elastik ganda. Penambat elastik memiliki macam sistem antara lain penambat elastik tunggal terdiri dari pelat landas, batang jepit elastik, tirpon, mur dan baut. Penambat elastik ganda terdiri dari pelat landas, batang jepit elastik, alas rel, tirpon, mur dan baut. Pada bantalan beton tidak diperlukan pelat landas tetapi dalam hal ini tebal karet alas (rubber pad) rel harus disesuaikan dengan kecepatan maksimum.

Penambat kaku tidak boleh dipakai untuk semua kelas jalan rel, penambat elastik tunggal hanya boleh dipergunakan pada jalan kelas 4 dan kelas 5, sedangkan penambat elastik ganda dapat dipergunakan pada semua kelas jalan rel, tetapi tidak dianjurkan untuk jalan rel kelas 5. Beberapa macam contoh penambat elastik sebagai berikut :

(18)

a) Dorken

Gambar 2.10 Penambat elastik dorken Sumber : Rosyidi, 2015

b) Pandrol E-Clip

Gambar 2.11 Penambat elastik pandrol e-clip Sumber : Rosyidi, 2015

(19)

c) Pandrol Fastclip

Gambar 2.12 Penambat elastik pandrol fastclip Sumber : Rosyidi, 2015

d) D.E Spring Clip

Gambar 2.13 D.E Spring Clip pada bantalan beton Sumber : Rosyidi, 2015

(20)

2.6.2 Bantalan (Sleepers)

Bantalan rel menurut Peraturan Dinas No.10 1986 mengenai perencanaan konstruksi jalan rel merupakan landasan tempat rel untuk bertumpu dan diikat dengan penambat rel, bantalan rel memiliki fungsi untuk mengikat rel, sehingga jarak antara rel dan kemiringan kedudukan rel dapat dipertahankan, memberikan stabilitas kedudukan spoor di balas, menghindari kontak langsung antara rel dengan air tanah, mendistribusikan beban dari rel ke balas. Beberapa macam contoh bantalan sebagai berikut :

Gambar 2.14 Bantalan kayu Sumber : Utomo, 2009

Gambar 2.15 Bantalan baja Sumber : Utomo, 2009

(21)

Gambar 2.16 Bantalan beton blok ganda Sumber : Rosyidi, 2015

Gambar 2.17 Bantalan beton blok tunggal Sumber : Rosyidi, 2015

2.7 Emplasemen

Emplasemen adalah kumpulan jalan rel di area stasiun dengan batas-batas tertentu dan dilengkapi dengan alat pengaman. Emplasemen stasiun menurut Peraturan Dinas No.10 1986 mengenai perencanaan konstruksi jalan rel terdiri dari jalan-jalan rel yang tersusun sedemikian rupa sesuai dengan fungsinya. Dalam penggambaran skema emplasemen, jalan rel ditunjukkan dengan garis tunggal.

(22)

Untuk perencanaan sepur di emplasemen stasiun direncanakan dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, jadwal perjalanan kereta api, sistem pengamanan dan lain-lain. Panjang efektif spoor siding minimum yaitu 400 m sedangkan kecepatan rencana 30 km/jam. Penentuan tata letak jalan kereta api di stasiun berdasarkan pada kondisi perjalanan kereta api pada saat waktu masih dengan sistem jalur tunggal, sebagai berikut.

Jika pada waktu dengan sistem jalur tunggal terjadi persilangan, maka bentuk emplasemennya seperti gambar berikut :

Gambar 2.18 Emplasemen stasiun jalur tunggal Sumber : Utomo, 2009

Sudah diketahui secara pasti, bahwa pola operasi kereta api di emplasemen pada jalur ganda sama sekali berbeda dengan sistem jalur tunggal. Pada sistem jalur tunggal konfigurasi emplasemen gerak operasi kereta api yang saling berlawanan jurusan digambarkan boleh saling menggangggu (interference) sebagai berikut :

Gambar 2.19 Emplasemen jalur tunggal gerak operasi berlawanan Sumber : Utomo, 2009

(23)

Sebaiknya, pada sistem jalur ganda konfigurasi emplasemen gerak operasi kereta api yang saling berlawanan jurusan digambarkan tidak boleh saling mengganggu (no interference) kecuali jika keadaan teknik tidak memungkinkan, sebagai berikut :

Gambar 2.20 Emplasemen jalur ganda gerak operasi berlawanan Sumber : Utomo, 2009

Untuk itu pola operasi kereta api pada sistem jalur ganda sudah baku, jika dibutuhkan tambahan spoor kereta api tetapi lahan terbatas dapat ditambah

spoor kereta api yang saling mengganggu, sebagi berikut :

Gambar 2.21 Penambahan sepur dalam emplasmen jalur ganda Sumber : Utomo, 2009

Maka hendaknya operasi kereta api tidak dicampur aduk antara sistem jalur tunggal dengan sistem jalur ganda. Disamping itu dari segi empiris, operasi kereta api pada waktu masih dengan sistem jalur tunggal akan tertampung dalam sistem jalur ganda sepanjang jumlah spoor kereta apinya pada sistem jalur ganda masih sama atau lebih banyak dibandingkan pada waktu jalur tunggal.

(24)

2.8 Wesel

Wesel menurut Peraturan Dinas No.10 1986 mengenai perencanaan konstruksi jalan rel merupakan penghubung antara dua jalan rel dan berfungsi untuk mengalihkan kereta api dari suatu spoor ke spoor lainnya. Berdasarkan jumlah pembagian track dan arah track beloknya wesel dibagi menjadi empat jenis, yaitu :

1) Wesel biasa, terdiri dari spoor lurus dan spoor belok yang membentuk sudut terhadap spoor lurus. Menurut arah beloknya terdapat dua jenis wesel biasa, yaitu :

a. Wesel biasa kanan b. Wesel biasa kiri

Gambar 2.22 Wesel biasa Sumber : Utomo, 2009

2) Wesel dalam lengkung pada dasarnya ialah seperti wesel biasa, tetapi sepur lurusnya berbentuk lengkung, sehingga dapat dikatakan bahwa wesel dalam lengkung terdiri dari spoor lengkung dan spoor belok yang membentuk sudut terhadap spoor lengkung. Berdasarkan arah beloknya, terdapat tiga jenis wesel dalam lengkung, yaitu :

a. Wesel searah lengkung

b. Wesel berlawanan arah lengkung c. Wesel simetris

(25)

Gambar 2.23 Wesel dalam lengkung Sumber : Utomo, 2009

3) Wesel tiga jalan terdiri dari tiga spoor. Berdasarkan atas arah dan letaknya terdapat empat jenis wesel, yaitu :

a. Wesel tiga jalan searah

b. Wesel tiga jalan berlawanan arah c. Wesel tiga jalan searah tergeser

d. Wesel tiga jalan berlawanan arah tergeser

Gambar 2.24 Wesel tiga jalan Sumber : Utomo, 2009

(26)

4) Wesel inggris, pada suatu persilangan kereta api hanya dapat berjalan pada spoor lurus yaitu dari A ke B dan dari C ke D atau sebaliknya. Dengan lidah-lidah dapat dibuat spoor belok sehingga memungkinkan kereta api berjalan juga dari A ke D atau B ke C dan sebaliknya.

Gambar 2.25 Wesel inggris dan persilangan Sumber : Utomo, 2009

Sesuai dengan fungsi dan kemampuannya sebagai persilangan dan wesel untuk perpindahan jalur, terdapat dua jenis wesel inggris, yaitu : a. Wesel inggris penuh

Gambar 2.26 Wesel inggris penuh Sumber : Utomo, 2009

b. Wesel inggris setengah

Gambar 2.27 Wesel inggris setengah Sumber : Utomo, 2009

(27)

Agar wesel dapat berfungsi sebagaimana mestinya, wesel terdiri dari komponen-komponen wesel sebagai berikut :

1. Lidah, merupakan bagian ujung rel wesel yang dapat bergerak atau bergeser dengan pertolongan suatu pembalik wesel.

2. Jarum atau rel pancung, berujung tajam dan merupakan konstruksi rel yang diperlukan untuk bersilangnya dua batang rel yang diperlukan untuk bersilangnya dua batang rel sebelah dalam sudut. 3. Rel sayap, terletak disebelah rel pancung yang berfungsi untuk

membantu rel pancung mendukung roda dan mengarahkan flens roda pada posisi yang tepat sehingga kereta tetap aman bergerak pada arah yang benar.

4. Rel lantak, berfungsi sebagai sandaran dari rel-rel lidah.

5. Rel paksa, terletak di sisi lawan rel sayap, berfungsi untuk memaksa flens roda tetap pada posisi yang benar dan melindungi rel pancung. 6. Penggerak wesel, berfungsi untuk menggerakkan lidah wesel.

Gambar 2.28 Wesel beserta komponennya Sumber : Utomo, 2009

Perpotongan antara sumbu-sumbu jalan rel (lurus dan belok) disebut titik pusat wesel atau akar wesel.

Gambar

Gambar 2.1 Ruang bebas pada bagian lurus untuk ganda  Sumber : PM 60 Persyaratan Teknis Jalur Kereta Api,2012  Dimana :
Gambar 2.2 Ruang bebas pada lintasan lengkung  Sumber : PM 60 Persyaratan Teknis Jalur Kereta Api,2012  Dimana :
Gambar 2.3 Skema Lengkung Vertikal  Sumber : Rosyidi, 2015
Tabel 2.1 Jari-Jari minimum lengkung vertikal  Kecepatan rencana
+7

Referensi

Dokumen terkait

2) Melakukan komunikasi, konsultasi dan advokasi dengan Pengurus PMI Kabupaten/Kota /Kepala Markas dalam rangka penyelenggaraan program SUKARELAWAN di Organisasi PMI. 3)

Peranan notaris dalam pembuatan akta pembagian harta suarang di Minangkabau terbilang masih sedikit dikarenakan adanya kedudukan lain yang lebih tinggi dari Notaris yaitu

Imajući to u vidu, oslanjajući se na postojeće teorijsko-metodo- loške i empirijske rezultate, u ovom radu se analizi- raju efikasnosti poslovanja, finansijske performanse i

b) Telah menyelesaikan studi pada program sarjana/sarjana terapan dan tidak berlaku bagi mereka yang telah menyelesaikan program magister baik dalam maupun luar

Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penerapan standar ISO 9001 berpengaruh signifikan terhadap kualitas produk, hal tersebut dapat dilihat dari hasil penelitian yang

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui besar pengaruh suhu perawatan terhadap kuat tekan beton dan dengan suhu perawatanmanakah yang menghasilkan kuat tekan beton yang

Perancangan interior Gedung Pusat Pengkajian Islam Islamic Center NTB ini menggunakan gaya Eklektik. Gaya eklektik adalah lambang kebebasan berekspresi karena gaya

Dalam studi ini di teliti beberapa faktor yang dapat mempengaruhi minat mahasiswa akuntansi mengikuti pendidikan profesi akuntansi faktor- faktor tersebut adalah